Você está na página 1de 4

JUSTIFIKASI TEORI KEPRIBADIAN JUNG DALAM PANDANGAN ISLAM

Alam Sadar

Menurut Jung, bayangan mengenai kesadaran (conscious) merupakan hal yang dapat dirasakan oleh
ego, sementara elemen ketidaksadaran tidak ada kaitannya dengan ego. Dan, walaupun ego adalah
pusat kesadaran, ia bukanlah inti (core) dari kesadaran itu. Kepriadian yang menyeluruh adalah ego
yang harus dilengkapi dengan diri (self).
Sementara itu, syari’at Islam mengenal konsep ego milik Jung dengan sebutan “akal”.
Akal berasal dari bahasa Arab “al-‘aqlu” yang memiliki beberapa arti. Diantaranya adalah:
ketetapan dalam berbagai perkara, menahan, mencegah, mengikat, dan mengekang. Akal akan
mengekang agar tidak terjatuh dalam sesuatu yang tidak membuat pemiliknya tidak nyaman.
Adapun menurut istilah, al’aqlu adalah komponen dasar dalam perilaku individu. Akal adalah
kaidah utama yang menyebabkan individu berpikir, memindai, menganalisa, dan memahami stimuli.
Dalam ilmu usul fikih, akal merupakan salah satu syarat utama sahnya mengerjakan suatu
amalan. Orang yang tidak berakal adalah orang yang hilang kesadarannya. Orang yang hilang
kesadarannya (seperti orang yang mabuk, tidur, pingsan, koma) tidak bisa memahami khitob (titah
Allah); sehingga ia tidak termasuk mukallaf (yang diwajibkan mengerjakan titah) ataupun mahkum
‘alaih (objek yang dijatuhi hukum syara’).

Ketidaksadaran Personal

Ketidaksadaran personal mencakup semua pengalaman yang direpresi, dilupakan, atau dipersepsi
secara subliminal oleh individu. Ketidaksadaran personal dibentuk oleh pengalaman individual
sehingga unik bagi masing-masing individu. Isi dari ketidaksadaran personal adalah kompleks.
Kompleks merupakan konstelasi perasaan-perasaan, emosi, pikiran-pikiran, persepsi-
persepsi, dan ingatan-ingatan yang terdapat dalam ketidaksadaran. Pengalaman pribadi dengan
ayah, misalnya, akan berkumpul di sekeliling inti emosional; sehingga kata ‘ayah’ akan menimbulkan
respon emosional tertentu.
Contoh lain untuk kompleks adalah seorang muslim diajarkan tentang hal ini boleh
dikonsumsi dan hal itu tidak boleh dikonsumsi. Pengalamannya tentang hal-hal apa saja yang boleh
dikonsumsi akan menumbuhkan kompleks ‘halal’ dan pengalamannya tentang hal-hal yang dilarang
akan menumbuhkan kompleks ‘haram’. Kata ‘halal’ dan ‘haram’ akan menimbulkan respon
emosional tertentu bagi seorang muslim. Jadi, Allah memberikan batasan-batasan yang sangat jelas
mengenai halal dan haram. Barangsiapa yang melanggar batasan-batasannya, maka ia telah ingkar
kepada Allah. Ada suatu waktu ketika seorang muslim tidak memiliki pengalaman terhadap suatu
hal. Ia tidak tahu apakah sesuatu tersebut halal atau haram. Atau dengan kata lain, ia tidak memiliki
kompleks apapun mengenai sesuatu tersebut. Hal ini dinamakan umur mutasyabihat atau syubhat.
Maka, Islam melarang kita untuk mendekati hal syubhat tersebut. “Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas. Di antara keduanya, perkara-perkara yang
syubhat. Banyak manusia yang tidak mengetahuinya. Barangsisapa yang menjaga dirinya dari
syubhat, maka ia telah merdeka untuk agama dan kehormatannya....”
Ada suatu waktu ketika perasaan, emosi, pikiran, persepsi, dan ingatan tersebut tidak
terkkonstelasi dengan baik. Maka, ini tidak akan membentuk kompleks pada ketidaksadaran
personal seorang individu. Hal tersebut akan membentuk suatu keraguan dalam inrterpretasinya.
Inilah yang harus dihindari oleh seorang muslim. Rasulullah SAW bersabda: “tinggalkanlah hal yang
meragukanmu menuju hal yang tidak meragukanmu”.
Ada juga kalanya kompleks mampu memegang kontrol atas kepribadian dan menggunakan
psyche untuk tujuan-tujuannya sendiri, karena telah membentuk suatu kepribadian otonom. Sebagai
contoh, seorang muslim memiliki kompleks tentang daging babi yang haram. Saat tersesat di hutan
dan kelaparan, ia tidak menemukan satu pun makanan melainkan daging babi. Ia pun tidak mampu
memakannya sampai mati. Padahal Islam membolehkan memakan daging babi di saat-saat seperti
itu. Tetapi, karena kompleks tentang babi menjadi kepribadian otonom dalam diri muslim tersebut,
ia pun mati sia-sia.
Seorang muslim juga memiliki suatu kompleks tertentu tentang orang non muslim (kafir).
Syari’at telah memberi batasan-batasan hukum mengenai orang kafir. Ada dua macam orang kafir.
Pertama, kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang haram darahnya (tidak boleh dibunuh). Kedua, kafir
harbi, yaitu orang kafir yang halal darahnya untuk dibunuh. Seseorang yang kompleksnya tentang
orang kafir tidak dilandasi dengan ilmu agama (hanya dengan persepsi-persepsinya saja), maka
dikhawatirkan ia akan membentuk kompleks otonom yang mengontrol pribadinya. Dengan
mudahnya, ia akan men-judge seorang muslim kafir dan menghalalkan darahnya begitu saja. Ia bisa
saja membunuh seorang muslim yang dianggapnya kafir tersebut seraya berteriak Allahu Akbar.
Dan, ia pun menjadi teroris yang mengatasnamakan agama Islam. Na’udzubillahi min dzalik.
Diceritakan bahwasanya Imam Abu Hanifah r.a. memiliki karomah (kejadian luar biasa yang
diberikan Allah kepada hamba-Nya yang sholeh dan berakidah lurus). Imam Abu Hanifah r.a.
melihat-dengan kekuasaan Allah-dosa-dosa yang turun dari air bekas wudhu orang mukmin. Hal ini
lama-kelamaan membentuk kompleks dalam diri sang Imam, sehingga beliau mengeluarkan fatwa
bahwa sisa wudhu orang mukmin hukumnya najis. Karena takut kompleks otonom mengendalikan
kepribadian Imam Abu Hanifah r.a., maka beliau pun menyesal telah mengeluarkan fatwa tersebut
dan berdoa pada Allah SWT agar karomah (bisa melihat dosa yang berguguran melalui sisa wudu
orang mukmin) dihilangkan.

Ketidaksadaran Kolektif

Isi dari ketidaksadaran kolektif diwarisi dan didapat dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai
potensi psikis. Manusia dipengaruhi secara tidak sadar oleh pengalaman primordial nenek moyang
primitif mereka.
Kandungan ketidaksadaran kolektif kurang lebih sama bagi setiap orang di semua budaya.
Oleh karena itu, kita harus menanamkan kebaikan jauh di dalam sanubari kita agar anak cucu dan
keturunan kita secara kolektif akan terdorong untuk menjadi baik.
Diceritakan dalam surat al-Maidah ayat 27-31, bahwasanya Qabil bin (Nabi) Adam a.s.
membunuh saudaranya sendiri dikarenakan rasa dengki dan iri hati. Jadi, secara teknis, Qabil adalah
manusia yang pertama kali mempraktekkan perilaku pembunuhan. Oleh sebab itu, Qabil
mendapatkan dosa membunuh Habil (saudaranya) beserta dosa-dosa para pembunuh dari
keturunan Qabil.
Mengapa demikian?
Karena Qabil mewariskan perilaku pembunuhan ke dalam ketidaksadaran kolektif anak
keturunannya. Sementara Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengerjakan-yang menurut
Islam-perilaku baik, maka ia akan mendapatkan pahalanya beserta pahala orang-orang yang
mengamalkan kebaikan itu setelahnya; tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan,
barangsiapa yang mengerjakan-yang menurut Islam-perilaku buruk, maka ia akan menanggung
dosanya beserta dosa orang-orang yang mengamalkan keburukan tersebut setelahnya; tanpa
mengurangi dosa mereka sedikitpun.” Disamping menanggung beban dosa karena membunuh Habil,
Qabil juga akan menanggung jumlah dosa-dosa yang sama yang dimiliki oleh para pembunuh dari
keturunan Qabil, (tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka).
Jadi, walaupun keturunan Qabil tidak secara langsung mellihat adegan pembunuhan
terhadap Habil, tetapi mereka memiliki Ketidaksadaran Kolektif tentang perilaku pembunuhan
tersebut. Pembunuhan karena rasa dengki dan iri hati.

Arketipe
Isi dari ketidaksadaran kolektif adalah arketipe. Arketipe merupakan bentuk pikiran-pikiran universal
yang mengandung unsur emosi yang besar, kemudian menciptakan gambaran atau visi yang dalam
kehidupan sadar yang normal berkaitan dengan aspek tertentu dari situasi.
Di dalam Islam, ada yang namanya arketipe akidah. Arketipe akidah menghasilkan gambaran
tentang akidah yang paling benar. Akidah yang fitrah. Akidah yang suci. Yaitu, bahwasanya tiada
Tuhan selain Allah. Bayi lahir telah diwarisi konsepsi tentang akidah dari leluhurnya yang
menentukan bagaimana bayi tersebut akan mempersepsikan akidahnya. Akan tetapi, persepsi bayi
tentang akidah nanti akan dipengaruhi oleh akidah yang dibawa oleh kedua orang tuanya. Dari Abu
Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW. Bersabda: “Tidaklah setiap anak itu dilahirkan kecuali dalam
keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani
maupun seorang Majusi.”
Pada dasarnya, agama yang paling benar dan pertama kali ada di dunia adalah seperti apa
yang dibawakan oleh manusia pertama kali tercipta, Nabi Adam (alaihs salam). La ilaha illallah.
Itulah sebabnya Nabi Ibrahim as. Meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan di dunia ini, meskipun
beliau belum mendapatkan wahyu, belum menjadi Nabi, dan warga di sekitar beliau menyembah
berhala-berhala. Dalam surat al-An’am ayat 79, Nabi Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

 Persona

Sebuah sisi kepribadian yang ditunjukkan orang kepada dunia luar. Kita harus menyatakan diri pada
komunitas. Tetapi, terlalu mengidentifikasi dengan persona akan membuat kita kehilangan inner
self, sehingga akan selalu tergantung pada harapan komunitas pada kita. Karena hal ini bisa sangat
membahayakan iman kita. Seorang wanita muslimah melepas hijabnya karena tuntutan dunia kerja
yang mengharuskan karyawati tidak boleh pakai jilbab. Ia kehilangan identitasnya sebagai pemeluk
agama Islam. Lebih parah lagi, seorang muslim bisa saja murtad di tengah lingkungan sosialnya yang
mayoritas kafir. na’udzubillahi min dzalik. Di dalam surat al-Kafirun ayat terakhir, kita diajarkan
toleransi antar umat beragama. Bukan berarti kita boleh bertoleransi dalam hal akidah. Rasulullah
SAW saja sangat melarang kita untuk berperilaku seperti perilaku orang kafir. Bahkan mengucapkan
salam/selamat hari raya kepada umat beragama lain adalah haram hukumnya. Karena seorang
muslim tidak boleh melepas identitas keislamannya.

 Bayangan (shadow)

Represi yang menampilkan kualitas-kualitas yang tidak kita akui keberadaanya serta berusaha
disembunyikan dari diri kita sendiri dan orang lain. Bayangan mengandung keberatan moral,
mencerminkan sisi binatang pada kodrat manusia. Melahirkan dalam diri kita konsepsi tentang dosa
awal.

Shadow membedakan manusia dengan malaikat. Itulah sebabnya malaikat tidak dianugerahi
sebagai makhluk yang paling sempurna. Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya (QS. at-Tin: 4). Sifat konstan malaikat adalah selalu menaati perintah-Nya dan tidak
pernah mengabaikan-Nya. Namun, manusia yang bisa saja bermaksiat malah dianugerahi sebagai
makhluk paling sempurna. Adanya shadow merupakan cobaan dari Allah, siapa di antara kita yang
paling baik amalannya. Jika dengan adanya shadow manusia bisa taat kepada Allah, maka manusia
lebih tinggi derajatnya daripada malaikat.

Seks adalah contoh shadow yang ada pada manusia. Kecenderungan untuk berhubungan
seks tidak boleh dihilangkan, tapi harus diarahkan. Yaitu, dengan menikah. Ada sahabat Nabi yang
tidak ingin menikah karena ingin mengabdikan diri kepada Allah seutuhnya. Mendengar hal tersebut,
Nabi Muhammad mengecam sahabat tersebut dan bersabda bahwasanya menikah adalah sunnah
beliau. Barangsiapa yang benci terhadap sunnah, maka tidak termasuk golongan Nabi Muhammad.

 Diri (self)

Diri adalah tujuan hidup, suatu tujuan yang terus menerus diperjuangkan orang untuk terus
bergerak menuju perubahan, kesempurnaan, dan kelengkapan. Agar diri bisa muncul, berbagai
komponen kepribadian harus terlebih dahulu berkembang sepenuhnya dan terindividuasikan. Dalam
akidah kita, hal ini hanya bisa diperoleh melalui cara-cara yang dicontohkan oleh Nabi besar kita,
Muhammad SAW. Yaitu, dengan beriman dan beramal soleh.

Allah SWT berfirman: “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun (1). Dan demi bukit Sinai (2). Dan
demi kota (Mekah) ini yang aman (3). Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (4). Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (5).
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya (6). Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan
sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? (7). Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya? (8).”
(QS. At-Tin: 1-8).

Bertakwa kepada Allah akan mendorong kita menjadi pribadi yang penuh dengan
kelengkapan, kesempurnaan, dan diri yang penuh dengan kecukupan.

Allah SWT berfirman: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan
jalan keluar baginya (2). Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan
barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi
setiap sesuatu (3).” (QS. At-Thalaq: 2-3).

 Realisasi diri

Sebuah pengetahuan yang nyata, yang ada pada diri kita. Mengetahui kodrat siapa diri kita. Semua
orang Islam adalah hamba Allah dan umat Nabi yang terbaik. Maka dari itu, kita harus masuk Islam
secara menyeluruh dan tidak setengah-setengah. “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,
ibadaHku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya;
dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am: 162-163).

Untuk mencapai realisasi diri, seorang muslim harus menyadari bahwasanya dia hidup di dunia
hanya untuk beribadah. Sesungguhnya, kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu. Dan
sesungguhnya akhirat adalah tempat yang kekal, yang lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.

Você também pode gostar