Você está na página 1de 16

PAPER PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

“NASIONALISME KEWARGANEGARAAN”

Dosen : Yanto Supriyatno, Drs.,M.Si.

OLEH :
Nama : Ardian Putra Laksono
NIM : 41183506150049
Jurusan : Ilmu Pemerintahan

UNIVERSITAS ISLAM 45 KOTA BEKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
2015/2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Dalam peradaban manusia, tidak terlepas dari perbuatan yang menciptakan

hukum dan peraturan. Perbuatan tersebut sangat berguna dalam peraturan dan

tingkah laku manusia sehari-hari. Hal inilah yang membuat seorang manusia akan

berarti dalam kehidupannya. Perbuatan yang menciptakan hukum ini, memerlukan

sebuah lembaga atau tempat untuk menciptakan hal itu.

Tempat dan lembaga tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan disebut

daerah. Secara mendasar daerah inilah yang memerlukan akan hukum dan

perbuatan hukum. Apabila kedua hal tersebut ada didalam daerah itu, maka daerah

tersebut akan teratur dan tentram.

Lalu disisi lain suatu daerah memerlukan sebuah pengikat masyarakat

dalam pemersatu satu kesatuan. Hal inilah yang membuat sebuah daerah yang

mempunyai hukum yang jelas memerlukan sebuah alat pemersatu yang membuat

bagi daerah tersebut agar tidak terjadi perpecahan.

Daerah yang memerlukan hal seperti itu adalah negara, sedangkan

terhadap alat yang diperlukan untuk memersatukan bangsa serta keutuhan negara

adalah nasionalisme.

Secara umum nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu alat pemersatu

yang membuat bangsa serta suatu negara lebih kuat serta solid dalam menghadapi

tekanan serta penjajahan yang terjadi dan rongrongan untuk memecah belah

negara tersebut. Selain itu juga ada yang mengartikan nasionalisme adalah satu
paham yang menciptakan dan mempertahankankedaulatan sebuah negara (dalam

bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk

sekelompok manusia.

Selain itu juga nasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah institusi

kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabadikan langsung kepada

negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Munculnya nasionalisme ini terbukti

sangat efektif sebagai alat perjuangan bersama merebut sebuah kemerdekaan dari

tangan penjajah.

BABII

LATAR BELAKANG

1.2 Latar Belakang

Dari kajian diatas, maka timbullah sebuah pertanyaan tentang bagaimana

eksistensi suatu negara tanpa adanya nasionalisme dalam negara tersebut. Banyak

sekali teori yang mengatakan bahwa nasionalisme sangat dibutuhkan dalam suatu

negara selain itu juga tanpa nasinalisme maka negara dan bangsa tersebut akan

hancur serta akan mudah dijajah oleh negara asing. Maka hal serupa pernah terjadi

dalam negara Indonesia ini. Yaitu saat Indonesia mulai memasuki satu era

“transisi” kekuasaan, yaitu pada saat tahun 1966 dan tahun 1998.

Lalu ada yang mengartikan nasionalisme dari dua sudut pandang, yaitu:
 Nasionalisme dalam arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan

bangsanya sendiri, sekaligus tidak menghargai bangsa lain sebagaimana

mestinya. Sikap seperti ini jelas mencerai-beraikan bangsa yang satu

dengan bangsa yang lain. Keadaan seperti ini sering disebut chauvinisme.

 Sedang dalam arti luas, nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa

cinta yang wajar terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati

bangsa lain.

 Apabila kita lihat maka ada hal yang bisa membuat suatu perpecahan

dalam dan luar negeri yang diakibatkan oleh paham nasionalisme yang

kurang tepat dalam pemahamannya.

Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia : Tantangan Globalisasi

Mengawali makalah ini sebuah pertanyaan yang sering diajukan orang

patut kembali saya kemukakan di sini; benarkah ‘nasionalisme' sudah mati? Atau

setidaknya, apakah betul ‘nasionalisme' tidak relevan lagi? Dan pertanyaan lebih

lanjut; apakah hubungan antara nasionalisme dengan agama-dalam hal ini Islam-

dan bahkan dengan etnisitas?. Menjawab pertanyaan pertama, menurut saya

"secara imperatif tidak". Orang yang menyatakan riwayat "nasionalisme"-yang

dipahami sebagai suatu ideologi-telah tamat, sering mengutip karya klasik Daniel

Bell, The End of Ideology (1960); atau lebih akhir lagi, karya Francis Fukuyama,

The End of History and the Last Man (1992).

Kesimpulan Bell yang secara implisit menyatakan bahwa nasionalisme,

sebagai ideologi-telah berakhir adalah kekeliruan yang cukup fatal dan distortif.

Pendapat Bell justru bertolak belakang. Ringkasnya, menurut Bell, ketika


ideologi-ideologi intelektual lama abad ke-19-khususnya Marxisme-telah

exhausted (kehabisan tenaga, lumpuh) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa

Barat dan Amerika, ideologi-ideologi "baru" semacam industrialisasi,

modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru

menemukan momentumnya, khususnya di negara negara yang baru bangkit di

Asia Afrika seusai Perang Dunia II.

Lebih jauh, dalam pandangan Bell, ideologi-ideologi lama sebagai sistem

intelektual yang dapat mengklaim ‘kebenaran' atas pandangan dunia mereka, telah

kehilangan raison d'etre-nya di tengah perubahan sosial masyarakat barat yang

amat kompleks, khususnya menjelang dan terus berlanjut sampai usainya Perang

Dunia II. Ideologi lama kehilangan tenaga karena lenyapnya semangat yang

menyala-nyala(passion), sebagai akibat proses rasionalisasi dan antromorfisasi.

Pendeknya, ideologi-ideologi lama yang dalam segi-segi tertentu bersifat

universalistik, humanistik yang dikonseptualisasikan kaum intelektual, kehilangan

"kebenaran" dan kekuatan untuk memikat banyak orang di barat.

Pada pihak layn, ideologi-ideologi baru yang sedang bangkit itu bersifat

parokial dan instrumental. Ia dirumuskan, dikonseptualisasikan dan dibentuk para

politisi. Impulsi-impulsi yang melatarbelakangi pertumbuhannya terutama adalah

pembangunan ekonomi dan kekuatan nasional. Hal ini melibatkan koersi atas

seluruh penduduk dan berbarengan dengan muncul dan berkuasanya elit penguasa

baru yang menggiring dan memaksa rakyat atas nama kepentingan nasional.

Justifikasi pun diberikan; bahwa tanpa koersi dan ‘stabilitas nasional', kemajuan

ekonomi tidak bisa dicapai. Tentu saja, di sini muncul persoalan klasik: Apakah

negara-negara baru dapat tumbuh dengan mengembangkan institusi-institusi


demokratis dan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk membuat pilihan-

pilihan sendiri atau apakah elit penguasa baru dengan kekuasaan yang mereka

genggam sebaliknya menggunakan cara-cara otoriter memaksakan transformasi

masyarakat mereka atas nama kepentingan nasional?

Karya Bell, The End of Ideology, mungkin sudah terlalu klasik; lagi pula,

ia tidak secara khusus membahas subyek nasionalisme. Namun jelas,

‘nasionalisme' tidak mati; walau pun ia memang kelihatan surut di negara-negara

maju. Simaklah pendapat Hobsbawm, ahli nasionalisme Marxis, dalam bukunya

Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality (1990).

Menurutnya, nasionalisme kini memang tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam

perkembangan historis masyarakat dunia. Ia tidak lagi menjadi program politik

global sebagaimana pernah terjadi pada abad XIX dan XX. Namun, ini tidak

berarti bahwa nasionalisme tidak lagi mengemuka dalam politik dunia sekarang

ini, atau sudah sangat berkurang dibandingkan masa sebelumnya. Nasionalisme

dapat menjadi satu faktor yang rumit atau katalis bagi perkembangan lain.

Namun penting dicatat, pada saat Hobsbawm menulis karyanya tadi, Uni

Soviet sedang ambruk; mendorong akselarasi gerakan-gerakan nasionalisme yang

amat kuat di berbagai wilayahnya, atau bahkan di Eropa Timur secara

keseluruhan. Pada saat yang sama, negara-negara di Timur Tengah juga

mengalami gejolak nasionalisme yang lebih hebat dibandingkan masa-masa

sebelumnya. Lagi-lagi, pada saat yang sama, jumlah negara-negara baru yang

menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus bertambah sebagai

akibat kristalisasi nasionalisme.


Semua gejala ini menjelaskan bahwa nasionalisme sedang mengalami

kebangkitan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang berada dalam

transisi ke arah kebudayaan industrial. Ini juga merupakan argumen Fukuyama

dalam karya terkenalnya, The End of History and The Last Man (1992). Dengan

nada mirip Bell dan Hobsbawn, Fukuyama menilai, nasionalisme tidak lagi

menjadi kekuatan signifikan dalam sejarah. Ia melihat semakin surutnya

nasionalisme ‘lama' di negara-negara demokrasi paling liberal dan maju di Eropa.

Kalau pun mereka masih berpegang pada ‘nasionalisme', itu lebih bersifat kultural

ketimbang politik, dan karenanya lebih toleran.

Akan tetapi, Fukuyama juga berargumen, ‘nasionalisme baru' yang lebih

politis kini juga sedang bangkit, khususnya di wilayah-wilayah yang baru mulai

atau berada pada tingkat pembangunan sosial ekonomi yang relatif rendah.

Nasionalisme baru ini cenderung primitif, yakni tidak toleran, chauvinistik, dan

secara internal agresif. Ini mempunyai presedennya dalam sejarah. Sebagai

contoh, Jerman dan Italia-dua negara paling akhir dalam proses industrialisasi dan

bersatu secara politik di Eropa-merupakan tempat tumbuhnya nasionalisme

radikal dalam bentuk gerakan fascist ultra-nasionalis. Nasionalisme baru itu juga

tumbuh paling kuat di wilayah-wilayah Dunia Ketiga bekas koloni Eropa yang

berada dalam tahap awal modernisasi dan industrialisasi. Tidak heran kalau

nasionalisme terkuat dewasa ini juga dapat ditemukan di bekas wilayah Uni

Soviet dan Eropa Timur, saat industrialisasi datang begitu terlambat, dan

identitas-identitas nasional begitu lama terlindas.

Kesimpulannya, nasionalisme tetap bergelora di banyak bagian Dunia

Ketiga dan Eropa Timur. Bahkan, dalam segi-segi tertentu, dapat diprediksikan
kekuatan gelombangnya hampir sama dengan kebangkitan nasionalisme pada

abad ke-19 dan 20. Dan ia akan bertahan lebih lama dibandingkan pengalaman

nasionalisme di Eropa Barat dan Amerika. Proses globalisasi yang berlangsung

demikian cepat belakangan ini memang kelihatan cenderung melenyapkan batas-

batas nasionalisme; namun, pada saat yang sama, ia juga mendorong peningkatan

nasionalisme yang diekspresikan dalam berbagai cara dan medium.

BAB III

PEMBAHASAN

1.3 Pembahasan

Nasionalisme, Modernisme, dan Globalisasi

Bagaimana perkembangan nasionalisme kontemporer di Indonesia? Agak

sulit memberikan peta yang pasti dan akurat. Harus diakui, terdapat semacam

kelangkaan studi tentang nasionalisme di Indonesia dalam dasawarsa terakhir.

Masih langkanya studi tentang subyek ini mengisyaratkan bahwa umumnya para

ahli tentang Asia Tenggara agaknya menganggap nasionalisme bukan lagi isu

penting bagi kawasan ini. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa gejolak dan

gemuruh nasionalisme yang begitu menyala-nyala sejak awal abad 20 sampai

akhir dekade 1960-an, kini semakin menyurut di Asia Tenggara.

Memang, dalam beberapa dasawarsa terakhir, salah satu isu sentral di

kawasan ini adalah modernisasi dan industrialisasi atau pembangunan, khususnya


di Indonesia. Namun, sejauhmana dampak atau pengaruh modernisasi terhadap

nasionalisme?

Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor

penting yang bertanggung jawab bagi menyurutnya nasionalisme di Indonesia.

Namun, bertolak belakang dengan argumen Fukuyama tadi, ideologi modernisasi

dan developmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalisme (politik) yang

menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum tahun 1970-an. Kebutuhan dan

pertimbangan-pertimbangan pragmatis untuk mencapai tingkat pertumbuhan

ekonomi yang direncanakan seolah memaksa Indonesia dan banyak negara

berkembang lainnya mengorbankan sentimen nasionalisme mereka vis-à-vis

kekuatan-kekuatan dominan internasional. Dengan meminjam teori

"ketergantungan" (dependency theory), kita melihat Indonesia dan banyak negara

yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga-atau lebih baik, negara-negara tengah

berkembang (developing countries)-terseret ke dalam orbit kapitalisme

internasional.

Gejala ini kian menguat dengan meningkatnya globalisasi sejak 1980-an.

Bermula dengan globalisasi pasar dan ekonomi yang berintikan liberalisasi pasar

dan ekonomi, globalisasi juga dengan segera mengimbas ke dalam bidang politik,

sosial, budaya dan seterusnya. Dalam bidang politik, globalisasi berarti liberalisasi

politik yang memunculkan gelombang-gelombang demokrasi, yang pada akhirnya

membuat berakhirnya negara-negara dengan rejim-rejim otoriter. Dan Indonesia

pun mengalami liberalisasi politik ini sejak 1998.


Pada saat yang sama, secara kontradiktif globalisasi yang mendorong

terjadinya liberalisasi politik, juga memunculkan nasionalisme etnis (ethnic

nationalism) dan bahkan tribalism yang bernyala-nyala, sebagaimana bisa dilihat

pada kasus negara-negara bekas Uni Soviet, dan Yugoslavia sampai sekarang ini.

Indonesia-dalam krisis ekonomi dan politik 1998 dan seterusnya-bahkan juga

sempat dicemaskan banyak pengamat asing sebagai segera mengalami proses

Balkanisasi, persisnya disintegrasi. Tetapi, prediksi itu tidak terbukti; dan,

sebaliknya, negara-bangsa Indonesia tetap bertahan hingga kini.

Dengan bertahannya negara-bangsa Indonesia, nasionalisme juga jelas

tidak sepenuhnya berakhir di Indonesia. Bahkan, dengan modernisasi dan

developmentalism-seperti dikemukakan di atas-kita melihat terjadinya transisi

atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politik-kecuali dalam

bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah-memang terlihat semakin menyurut,

apalagi dengan berakhirnya perang dingin. Dalam konteks itu, kita melihat lenyap

atau semakin berkurangnya konflik-konflik yang berakar dari nasionalisme politik

di Indonesia.Sekali lagi, di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan

kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi

yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan

Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan

mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di

negara-negara maju. Di sini nasionalisme ekonomi Indonesia dan negara-negara

berkembang harus berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju,

khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat. Runtuhnya Nasionalisme? Yang

merupakan norma, sejarah adalah polietnisitas, bukan kesatuan nasional.


Konsekuensinya adalah kembalinya hirarki piietnik, agar bisa memenuhi

kembali kebutuhan mendesak untuk mendapatkan pasokan tenaga kerja terampil.

Masyarakat KonsumenYang merupakan maksudnya adalah penggabungan sastra

nasional tersebut, bukan pemudarannya sebagai sekedar barang antik pro-ilmiah.

Artinya, kerangka teknologi informasi komputer dan realitas maya yang

diciptakannya harus dibungkus dengan darah dan daging budaya-budaya yag

selalu ada, atau dengan kata lain, dengan motif dan unsur yang dipilih (kepingan

dan tambahan) darii budaya tersebut, digabungkan dalam suatu satir yang lucu

dan sinis, dan makna – maknanya yang asli disesuaikan dengan massa kini yang

sukar dipahami.

Internasionalisme Nasionalisme

Fakta bahwa versi budaya global yang ilmiah maupun ekiektik sama-sama

tidak begitu mempunyai gaung dan daya tahan populer memperlihatkan bahwa

kondisi yang diperlukan bagi terjadinya penggantian pasca-modern terhadap

nasionalisme belum juga terwujudkan dan juga bahwa globalisasi tidak sedikitpun

mengarah pada penggantian nasionalisme.Dalam zaman pasca-modern, hasilnya

adalah terbentuknya lapisan politik yang terdiri dari tiga tingkatan : tingkat etnik

lokal, regional, jender atau ekologi ; tingkat negara nasional; dan akhirnya tingkat

supranasional yang mencakup komunitas kontinenta ! (Sebagian menyebutnya

komunitas Global) (Giddens 1991).

Sungguh paradoksikal bahwa sebenarnya efek proses globalisasi yang

paling besar adalah pada negara nasional tingkatan menengah. Tetapi, sekali lagi,

dua kekuatan besar globalisasi, yakni interdependensi ekonomi akibat dari operasi
perusahaan- perusahaan transnasional dan komunikasi massa yang diakibatkan

karena diperkenalkannya teknologi informasi dan digital, hanya akan

mempercepat dan memperluas tren politik yang sudah ada.Kita dapat menyebut

tren ini sebagai internasionalisasi nasionalisme. Terdapat tiga bentuk. Pertama-

tama nasionalisme dan doktrin penetuan diri nasional telah tertanam sebagai

prinsip dasar dalam piagam persatuan Bangsa-Bangsa dan dalam berbagai

konvensi serta kesepakatan , juga berulang kali disebut – disebut dalam segala

macam perselisihan dan krisis. Dalam malisasi ’ bangsa-bangsa dan nasionalisme,

baik sebagai ideologi aktor-aktor kolektif yang telah menjadi biasa dan sepadan

(lihat Mayali 1990)

Kedua, gerakan nasionalis selalu melihat kepedahuluannya jauh atau

dekat, untuk mendapatkan strategi taktik. Efek demonstrasi nasionalisme tentu

saja sangat dibantu oleh komunikasi massa aliansi politik, interdependensi

ekonomi Tetapi semua itu hanya membesarkan pesan nasionalis yang mendasar.

Dalam masyarakat nasionalisme juga berperan, tapai berperannya

nasionalisme dalam masyarakat bukan sebagai satu paham yang harus

mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan cara mewujudkan suatu

konsep, melainkan terciptanya sifat-sifat dalam masyarakat tersebut sehingga

terwujudnya suatu konsep dalam negara, yang pada akhirnya menajadi

nasionalisme sifat- sifat yang tertanam pada masyarakat tersebut sebagai berikut :

Berbuat kebaikan

Kebajikan dapat diartikan kebaikan, sesuatu yang mendatangkan kebaikan

keselamatan, keuntungan, dan kebahagiaan. Kebaikan adalah realisasi dari cita-


cita atau apa yang dicita-citakan. Kebaikan bersumber pada unsur budaya –

budaya, yaitu karsa.Berbuat baik berarti kebaikan berbuat buruk berarti

kesengsaraan, tidak bahagia. Kebaikan itu datang dari manusia itu sendiri ini

memang benar karena manusia itu mahluk sosial yang mempunyai kebutuhan dan

kebutuhan itu terpenuhi karena mereka hidup bermasyarakat. Kekuasan itu adalah

Kekuasan Tuhan.

Jadi kebajikan itu ada (Dua) sumbernya yaitu kebajikan manusia dan

kebajikan Tuhan. Kebajikan manusia adalah kebajikan karena usaha atau

perjuangan manusia, baik kebajikan Tuhan adalah karunia Tuhan. Manusia adalah

sekedar lataran saja yang menentukan adalah Tuhan.

Bertanggung Jawab

Konsep tanggung jawab muncul berkenaan dengan pemenuhan kewajiban

secara wajar atau seharusnya sesuai dengan norma kehidupan, ini disebut

“tanggung jawab positif” yang bersifat ideal dan sempurna (ideal or complete

responsibility). Ideal artinya menajadi idaman kehidupan manusia, sempurna

artinya tidak ada cacat atau kekurangannya. Tanggung jawab positif lazim disebut

“tanggung jawab”saja (responsbility). Memenuhi kewajiban sesuai dengan norma

kehidupan sesuai kehidupan disebut tanggung jawab (responsbility), hal ini adalah

wajar.

Pemenuhan kewajiban tidak wajar atau tidak sesuai dengan norma

kehidupan, ini disebut “tanggung jawab negatif” bersifat tidak sempurna

(Incomplete responsbility). Tidak sempurna artinya ada kekurangannya, ada

cacatnya, bahkan tidak ada pemenuhan sama sekali. Tanggung jawab negative
lazim disebut “tidak bertanggung jawab” (Unresponsibility). Tidak sesuai dengan

norma kehidupan artinya dipenuh, tetapi kurang; atau dipenuhi, tetapi keliru; atau

dipenuhi tetapi cacat; atau tidak dipenuhi sama sekali, hal ini adalah tidak wajar

Memelihara keindahan dan estetika

Keindahan berasal dari kata dasar “indah”, yang dapat diartikan bagus,

cantik, molek, elok, dan permai, yaitu sifat yang menyenangkan, mengembirakan,

menarik perhatian, dan berupa benda, ciptaan, perbuatan, atau keadaan. Melalui

pancaindera unsur rasa dalam diri manusia berkomunikasi itu merupakan

penilaian atau penanggapan itu disebut nilai. “Keindahan“ merupakan konsep

abstrak yang tidak mempunyai arti apa-apa karena tidak dihubungkan dengan

suatu bentuk.

Konsep Kasih Sayang

Kasih sayang merupakan konsep yang mengandung arti psikologis yang

dalam. Mungkin baru dapat dipahami makna yang jelas apabila konsep tersebut

sudah diwujudkan dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia

terhadap manusia yang lainnya, atau terhadap alam lingkungnya, atau

terhadapTuhan.

Kasih sayang yang dilengkapi dengan tanggung jawab menciptakan

keserasian, keseimbangan, dan kedamaian antara sesama manusia, antara manusia

dan alam lingkungan, serta antara manusia dan Tuhan.


Kasih sayang merupakan kata mejemuk panduan dari (2) istilah ”kasih”

dan ”sayang” yang satu sama lain ada kesamaan makna walaupun bentuk katanya

berbeda. Apabila kedua istilah tersebut dipadu menjadi 1(satu) dalam bentuk

majemuk maknanya menjadi lebih berbobot dan pas.

Konsep Keindahan dan Keadilan

Adil adalah sifat perbuatan manusia. Menurut arti katanya, ”Adil” artinya

tidak sewenang-wenang kepada diri sendiri maupun kepada pihak lain itu meliputi

anggota masyarkat, alam lingkungan, dan Tuhan Sang Pencipta. Jadi, konsep adil

berlaku kepada diri sendiri sebagai induvidu, dan kepada pihak lain sebagai

anggota masyarakat, alam lingkungan dan Tuhan Sang Pecipta.

Tidak sewenang-wenang dapat berupa keadaan yang :

a. Sama (seimbang), nilai bobot yang tidak berbeda

b. Tidak berat sebelah, perlakuan yang sama, tidak pilih kasih;

c. Wajar, seperti ada adanya, tidak menyimpang, tidak lebih dan tidak kurang

d. Patut /layak, dapat diterima karena sesuai, harmonis, dan Proporsional

e. Perlakuan kepada diri sendiri, sama seperti perlakuan kepada pihak lain dan

sebaliknya.

Dalam konsep adil berlaku tolak ukur yang sama kepada pihak berbuat dan

kepada pihak lain terhadap mana perbuatan ini ditunjukan. Implikasi perlakuan

kepada pihak lain. Bagaimana berbuat adil kepada pihak lain jika kepada diri

sendiri saja sudah tidak adil.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.tniad.mil.id/1artikel.php?pil=2&dn=20080711010639

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&

http://budi-irwanto-sg.blogspot.co.id/2010/04/makalah-kewarganegaraan-

tentang.html

Você também pode gostar