Você está na página 1de 5

Anak Laki-Laki Itu Bernama...

Oleh: Gelar Riksa Abdillah

Mardi menghela nafas panjang, matanya menatap kosong ke arah si jabang bayi. Tidak
benar-benar kosong, setidaknya bibirnya menunjukkan bahwa ada sejumput kebahagiaan di
dalam hatinya, namun tidak benar-benar bahagia. Senyumnya yang pas-pasan itu sejatinya tidak
ditujukan untuk bayinya yang baru lahir, tapi lebih kepada menghargai perjuangan istrinya yang
tergolek lemas di samping bayinya itu. Mardi pun mengecup istrinya dan anggota keluarga
barunya. Setelah melakukan segala prosedur yang dibutuhkan, Mardi pun dipersilakan untuk
menunggu di luar oleh perawat.
Di ruang tunggu pasien, Mardi menatap nanar lampu yang tergantung di langit-langit,
tidak lama sanak saudara pun datang dan bermaksud untuk memberikan selamat atas buah
hatinya yang baru.
“Selamat ya Mar, untuk putri ke duanya.” Ucap kakaknya.
“Ayah, aku jadi kakak kan? Siapa namanya?” itu adalah Lara, anak pertamanya yang sudah
berumur lima tahun, ia sebelumnya menunggu di rumah, dan kini datang bersama rombongan.
Mardi mengangguk, ia tidak banyak bicara dan enggan untuk banyak berkata apa-apa, ia hanya
merangkul Lara dan duduk sambil berusaha tersenyum.
Ia berharap semua keluarganya mengerti untuk tidak banyak bicara, tapi kemudian kali
ini ibunya sendiri yang menepuk bahunya, “Semua kehidupan yang terlahir itu adalah berkah.”
Mardi lantas menatap ibunya, hanya kepada ibunya itu, iya menatap seperti memelas, kemudian
mengangguk. Sambil memejamkan mata dan memijat pelipisnya, Mardi menggumam,
hmm...perempuan lagi.

Beberapa bulan sebelumnya, Mardi bersama Laksmi, istrinya pergi ke dokter untuk USG,
beberapa kali cek untuk melihat kondisi si jabang bayi tersebut tidak memuaskan Mardi.
Meskipun dokter mengatakan bahwa bayinya sehat dan tumbuh dengan baik, lalu asupan nutrisi
juga sesuai dan tidak ada masalah. Tapi bukan itu yang ingin Mardi dengar, ia ingin tahu apa jenis
kelamin si bayi. Ia ingin ketegasan, bahwa anak yang masih dikandung istrinya itu laki-laki atau
perempuan. Tapi betapa aneh karena bayi itu setiap kali dicek USG, posisinya tidak pernah
menunjukkan selangkangannya. Entah apa yang terjadi, tapi si bayi seolah pintar, dengan selalu
menyembunyikannya setiap Mardi ingin tahu.
“Sudahlah, toh nanti saat lahir pun kita akan tahu,” kata Laksmi. Tapi Mardi tidak mau
terima, dia ingin memastikan bahwa jabang bayi yang dikandung istrinya adalah seorang anak
laki-laki.
“Kalau di USG sudah ketahuan bahwa itu perempuan, kamu juga tidak akan bisa apa-apa
kan?” kata Laksmi di suatu malam.
“Ya, tapi setidaknya aku tidak perlu menunggu cemas sampai hari kelahirannya.” Jawab
Mardi.
“Kenapa sih kamu begitu ingin punya anak laki-laki? Apa anak perempuan kurang berarti
buatmu?” Tanya Laksmi.
“Bukan begitu! Tapi.....”
“Tapi apa!?” Potong Laksmi
“Ah sudahlah, kamu tidak akan mengerti.” Kata Mardi sambil melengos.
Bertahun-tahun sebelumnya, ketika Lara masih dalam kandungan pun, hal serupa terjadi,
USG tidak berhasil memastikan jenis kelaminnya sampai hari kelahirannya. Mardi yang berharap
besar anak yang terlahir adalah laki-laki harus kecewa berat karena yang terlahir adalah
perempuan. Lima tahun berselang ia harus mengalami kekecewaan yang sama.
Jangan salah sangka, Mardi sama sekali tidak membenci anak perempuan, ia menyayangi
kedua anaknya itu. Mardi membesarkan mereka dengan baik, menafkahi keluarganya dengan
penuh tanggung jawab dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan anak-anaknya. Hanya saja,
semua itu terasa ada yang kurang. Ia menginginkan anak yang bisa diajaknya menonton
sepakbola bersama suatu hari nanti, anak yang mau main pukul-pukulan dengannya, membelikan
robot dan mobil-mobilan, alih-alih membeli boneka dan bola bekel.
Sebetulnya, ketika merencanakan kehamilan anaknya yang kedua itu, Mardi sudah
melakukan riset dan penelusuran tentang berbagai cara mendapatkan anak laki-laki. Mulai dari
menggunakan posisi tertentu saat melakukan senggama, jamu spesial, sampai mengondisikan
istrinya dengan pola makan dan pola tidur yang khusus. Semua pengetahuan yang didapatnya
dari browsing internet itu ia amalkan, namun apa mau dikata, hal tersebut pada akhirnya tidak
berhasil juga memenuhi hasratnya itu. Sungguh menyakitkan, semua kerja keras itu sia-sia, dan
sekali lagi, Mardi harus belajar untuk menerima kenyataan.
Tiga tahun sudah berlalu sejak kelahiran anaknya yang kedua, anak itu ia beri nama Rana.
Kedua anaknya sudah cukup besar untuk bermain bersama, Lara tumbuh menjadi anak yang
manis dan baik, adiknya Rana sangat lucu dan terlihat lebih ekspresif. Ia akan menggelayut di
tangan Mardi setiap malam sepulang kerja ayahnya itu, mengajaknya bermain sampai tertidur
pulas.
Mardi sudah memikirkannya cukup matang, dia pun berdiskusi dengan Laksmi, sekali lagi,
sekali lagi ia ingin mencoba. Tiga anak jelas melanggar standar keluarga berencana, tapi jumlah
itu sama sekali normal di negeri ini, selama orang tuanya mampu memberi makan semua perut
anak yang tinggal di rumahnya, maka berapa pun tidak jadi soal. Laksmi tidak keberatan soal ini,
toh dia juga belum terlalu tua, dan memiliki tiga anak dengan jarak kelahiran yang cukup jauh
tampaknya bukan ide yang buruk.
“Tapi jika yang terlahir anak perempuan juga, kamu harus menyerah.” Kata Laksmi.
“Iya, aku mengerti.” Jawab Mardi dengan penuh pengertian. Inilah harapan terakhirnya,
dia hanya berharap bahwa pertaruhannya yang terakhir ini bisa berbuah manis. Mardi pun tiba-
tiba rajin berpuasa dan berdo’a agar anaknya itu bisa berjenis kelamin laki-laki. Anak yang akan
meneruskan namanya dan menjadi kebanggaan bagi keluarga kecilnya. Ia ingin anaknya nanti
tahu bahwa dia adalah hasil perjuangan yang panjang dan melelahkan.
Berselang dua bulan setelah diskusi mereka, Laksmi pun resmi mengandung jabang bayi
di rahimnya. Mardi bahagia, begitu juga Lara dan Rana yang akan punya adik baru. Setiap pagi
mereka bergiliran menciumi perutnya Laksmi sambil mengajak bicara bayi itu. Sesekali juga Madi
mengajak Laksmi menonton sepakbola di televisi. “Supaya dia terbiasa,” katanya, seolah itu
membantu. Laksmi hanya tersenyum sambil mengusapi perutnya yang mulai membesar.
Beberapa bulan berselang, Mardi pun memberanikan diri untuk menemani Laksmi cek
USG, dia sudah terlanjur trauma untuk datang USG ke rumah sakit dan harus kecewa melihat si
jabang bayi menyembunyikan identitasnya lagi.
“Tenanglah, kamu kan sudah bilang siap untuk semua kemungkinan.” Kata Laksmi
menenangkan suaminya itu.
Mardi mengangguk, rasa was-was terus membayanginya, bagaimana jika tidak ketahuan
lagi, atau lebih parah jika ketahuan dan hasilnya adalah perempuan? Maka itu akan menjadi
kekecewaannya yang ketiga, ia seolah dipermalukan oleh nasib. Buru-buru Mardi menghapus
pikiran yang tidak berguna itu.
Di ruangan itu, dokter memeriksa dengan seksama, menempelkan alat sensor itu di kulit
perut Laksmi dan menjamah setiap sudutnya untuk melihat kondisi dalam kandungan. Mardi
melihat isi perut istrinya lewat layar penampil tapi sama sekali tidak mengerti seperti biasanya,
ia tidak bisa menentukan di mana posisi kepala atau perut si calon bayi. Dokter bergumam dan
seolah meneliti sambil tidak begitu yakin, hingga akhirnya sang dokter tersenyum sambil
menatap Mardi.
“Selamat, sembilan puluh persen anak Anda sepertinya laki-laki.” Kata dokter.
Mata Mardi membesar dan hampir saja ia berteriak saking senangnya, ia meraih bahu
Laksmi dan memeluknya, “akhirnya!!!” dia membisik di telinga istrinya itu. Laksmi membalas
pelukannya itu, sama bahagianya dengan Mardi. Mardi merasa kini nasib sudah berpihak
padanya, usaha dan do’a-do’a nya didengar langit sekarang. Tinggal menunggu beberapa bulan
saja, ia akan menyaksikan jagoan barunya itu. Tanpa sadar mata Mardi basah karena bahagia.
Mardi benar-benar dalam kondisi yang bagus, ia berangkat kerja dengan penuh
semangat, tidak sabar gajian supaya bisa membeli perlengkapan bayi laki-laki yang selama ini
ingin ia beli, iya pulang ke rumah dengan penuh antusias untuk segera bercengkerama dengan
calon bayinya itu lewat perut Laksmi. Lara dan Rana pun ikut merasakan perubahan perasaan
ayahnya itu.
“Ayah, ayah sekarang tertawa terus.” Kata Lara di suatu malam.
Mardi menatap Lara dengan sumringah, “Tentu saja, kamu akan punya adik baru, mana
mungkin ayah tidak senang.” Jawab Mardi.
“Rana juga senang punya adik.” Kata Rana menyahut.
“Ya, kamu harus menjadi kakak yang baik.” Jawab Mardi sambil mengusap kepala Rana.
Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba, Mardi menitipkan Lara dan Rana kepada ibunya,
dan memintanya menyusul dengan keluarga lainnya setelah ia kabari nanti. Setelah membawa
perbekalan, Mardi pun berangkat ke rumah bersalin untuk menemani Laksmi. Baik Mardi
maupun Laksmi sudah berpengalaman untuk urusan ini, sehingga keduanya sudah tahu persis
apa yang harus dilakukan.

“Ayo tarik nafas sayang....dorong yang kuat...iya...sedikit lagi...” Begitu Mardi


memberikan semangat kepada istrinya itu, sembari harap-harap cemas, ia memegang erat
tangan istrinya. Laksmi benar-benar berjuang keras dan mengerahkan seluruh tenaganya seolah
tidak ada lagi hari esok. Setelah berjuang selama dua jam yang terasa seperti selamanya itu,
dokter berkata, “Ya, cukup, sudah ke luar.”
Heh, ini aneh. Mendadak Mardi merasa sangat tidak nyaman karena bayinya tidak
menangis, hal itu ditambah dengan raut wajah dokter yang berganti dengan keterkejutan.
Perawat yang ada di seberang tempat tidur menghampiri dokter dan tercekat sambil menutup
mulut, “Astagfirullah” katanya.
“Ada apa?” tanya Mardi, setelah tahu ada yang tidak beres. Ia menghampiri dokter itu
dan melihat apa yang ada di tangan si dokter, Mardi kehilangan kata-kata. Hatinya mencelos,
lututnya terasa lemas sekali, ia melihat makhluk yang ada di depannya, itu sudah jelas bayi
manusia. Tapi posisi tangan dan kakinya terlihat sangat aneh, untuk ukuran bayi mata bayi itu
membelalak cukup lebar, tangannya terlampau kecil dibandingkan ukuran badannya dan lebih
aneh lagi kedua tangan itu tergolek, seolah ia tidak bisa digerakkan, bayi itu untuk bernafas saja
seolah perlu mengerahkan seluruh tenaganya.
“Sayang....bayinya...” Laksmi melenguh lemas, memecah keheningan di antara mereka,
semesta Mardi telah terlahap habis oleh apa yang dilihatnya, ia lupa Laksmi ada di sana. Sang
dokter pun dengan wajah yang tidak karuan memperlihatkan bayi itu kepada ibunya. Melihat
makhluk kecil yang terbungkus itu Laksmi menjerit, histeris tidak karuan dan menangis, kemudian
pingsan.
Mardi masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat, ia tidak sanggup
menghubungi keluarganya sementara telepon genggamnya terus saja berdering sedari tadi. Anak
laki-laki yang dinantinya, yang akhirnya berhasil ia dapatkan ternyata....Mardi memukul tembok
sambil menangis. Ia merasa nasib seperti mencoba mengerjainya, ia seperti diberi harapan palsu.
Nyatanya itu memang seorang anak laki-laki, tapi melihatnya sebentar saja ia tahu bahwa anak
itu bukanlah anak yang ada dalam impiannya, yang nanti bisa diajak bermain bola, bermain
layangan atau menemaninya memancing di kolam.
“Apa salahku??” ia meratap, “Apa do’aku kurang lengkap? Apa ini yang namanya takdir?”
Mardi benar-benar hancur, ia tahu takdir selalu bersembunyi dibalik harapan sambil menunggu
untuk hadir mengejutkan manusia saat mereka berada di puncak pengharapan itu. Iya seperti
tengah berlari lomba maraton dan tinggal selangkah lagi menggapai garis finish, tapi kakinya
malah keram dan terpaksa tidak bisa melanjutkan lomba, ia hampir menang, hampir saja. Tapi
takdir menjegal dan seolah memaksanya tunduk bahwa selalu ada satu hal yang tidak pernah
bisa ia dapatkan di dunia ini.
Dokter menghampirinya dan menepuk pundaknya, “Saya baru selesai menaruhnya di
inkubator.” Mardi merasa dokter itu tidak sedang membicarakan sebuah makhluk hidup. Ia lihat
dokter itu melepas kacamatanya dan memijat titik di ujung sudut matanya sambil menghela
nafas panjang. “Anak Anda menderita cerebral palsy, atau kelumpuhan pada otak sejak lahir.”
Dalam jeda hening yang lama karena Mardi tidak mengerti harus bereaksi bagaimana, dokter itu
melanjutkan, “hingga kini belum ada obatnya, tapi efeknya bisa dikurangi dengan menjalani
terapi khusus.” Dokter itu menepuk lagi pundak Mardi dan meninggalkannya dalam kegamangan.
Mardi merasa benar-benar sendiri sekarang, ia menyerah untuk berontak, dalam kelelahan itu ia
benar-benar tenggelam.

Anak itu bernama Duka, begitu Mardi menamainya. Anak itu adalah sebuah kehidupan
yang baru, seperti apa pun, ia adalah kehidupan. Namun bagi Mardi, kenyataan itu juga tetap
menyisakan sesak. Duka sekarang sudah besar, ia berusia sepuluh tahun, Laksmi menjaganya
sepanjang waktu, menemaninya dan mengajaknya bicara meskipun ia tahu itu percuma, Duka
tidak pernah menjawab meskipun Laksmi tahu bahwa ia mengerti apa yang dikatakannya. Yang
bisa Mardi lakukan hanyalah mencintainya, apa pun yang terjadi, setidaknya Duka tahu, bahwa
ia pernah dicintai. Sejak hari pertama ia melihat Duka terlahir saat itu, sejak hari itu sampai
selamanya, Mardi tidak pernah meminta apa pun lagi dalam hidupnya, tidak pernah.

Você também pode gostar