Você está na página 1de 14

HAK ASASI MANUSIA BAGI PARA LGBT

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pendidikan Kewarganegaraan
yang dibina oleh Neo Adhi Kurniawan S.pd M.H

Oleh :
Siti Aisyah Rohmatin (150351600593)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA
PEBRUARI 2016

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan

LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan
transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan
frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang
telah disebutkan.

Baru-baru ini dunia digemparkan dengan kebijakan Mahkamah Agung AS yang


mnetapkan pelegalan pernikahan sesame jenis, selain mendatangkan pro dan
kontra dari berbagai pihak, kebijakan tersebut juga memunculkan gerakan-
gerakan kaum LGBT dari berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Kini banyak komunitas LGBT di Indonesia yang menyuarakan suara-suara
mereka dalam memperoleh Hak Asasi Mereka dalam kebebasan berkeluarga dan
memilih pasangannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah perkembangan LGBT di Indonesia?
2. Bagaiamankah gambaran umum HAM Kaum LGBT di Indonesia?
3. Bagaimanakah kebijakan pemerintah bagi para LGBT di Indonesia?
4. Bagaimanakah Tindakan Diskriminatif Yang Dialami Kelompok LGBT
5. Bagaimanakah upaya yang dilakukan kelompok LGBT dalam
memeperjuangkan Hak-Hak kaum LGBT?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perkembangan LGBT di Indonesia
2. Mengetahui gamabaran umum HAM kaum LGBT di Indonesia
3. Mengetahui kebijakan pemerintah bagai kaum LGBT
4. Mengetahui perlakuan apa saja yang diterima oleh kaum LBGT
5. Mengetahui upaya-upaya apa saja yang dilakukan kelompok LGBT dalam
memperjuangkan hak-haknya.
BAB II
PEMBAHASAN
5.1 Pengertian LGBT

LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan
transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan
frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang
telah disebutkan.

Akronim ini dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya


yang berdasarkan identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT
digunakan untuk semua orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya
homoseksual, biseksual, atau transgender. Maka dari itu, seringkali huruf Q
ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih mempertanyakan identitas
seksual mereka juga terwakili (contoh. "LGBTQ" atau "GLBTQ", tercatat
semenjak tahun 1996[4]).

Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk penunjukkan diri. Istilah ini juga
diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas
seksualitas dan gender di Amerika Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris
lainnya.

Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan akronim ini. Beberapa
orang dalam kelompok yang disebutkan merasa tidak berhubungan dengan
kelompok lain dan tidak menyukai penyeragaman ini. Beberapa orang
menyatakan bahwa pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama dengan
pergerakan kaum "LGB". Gagasan tersebut merupakan bagian dari keyakinan
"separatisme lesbian & gay", yang meyakini bahwa kelompok lesbian dan gay
harus dipisah satu sama lain. Ada pula yang tidak peduli karena mereka merasa
bahwa: akronim ini terlalu politically correct; akronim LGBT merupakan sebuah
upaya untuk mengategorikan berbagai kelompok dalam satu wilayah abu-abu;
dan penggunaan akronim ini menandakan bahwa isu dan prioritas kelompok yang
diwakili diberikan perhatian yang setara. Di sisi lain, kaum interseks ingin
dimasukkan ke dalam kelompok LGBT untuk membentuk "LGBTI" (tercatat
sejak tahun 1999[12]). Akronim "LGBTI" digunakan dalam The Activist's Guide of
the Yogyakarta Principles in Action.

2.2.1 Dukungan terhadap kaum LGBT


Cikal bakal LGBT di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1960-an dengan
pendirian Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), yang difasilitasi oleh Gubernur
DKI Jakarta pada waktu itu, Jenderal Marinir Sadikin. Istilah inikemudian pada
rahun 1978 diganti dengan waria (wanita pria) karena Majelis Ulama Indonesia
menilai tidak patut nama seorang nabi dijadikan (Adam) bagian pada istilah
untuk kaum laki-laki yang mengekspresikan jendernya dengan cara yang lebih
menyerupai perempuan.

Kalangan pria homoseksual kemudian pada tahun 1982 mulai merintis usaha
pengorganisasian dengan mendirikan Lambda Indonesia, yaitu G: gaya hidup
ceria (1982-1986), mendorong kaum pria gay dan wanita lesbian untuk
mengungkapkan identitasnya, karena homoseksualitas bukan merupakan
gangguan jiwa atau penyakit, dan perbuatan homoseksual bukan merupakan
kejahatan mernurut hokum pidana (KUHP).

Pada tahun 1986 beberpaa lesbian Jakarta sempat mendirikan Persatuan Lesbian
Indonesia (Perselin), karena merasa terdorong dengan perkawinan dua wanita
pada tahun 1981 yang memndapat liputan media massa dan terinspirasidari
keikutsertaan mereka di organisasi Lambda Indonesia cabang Jakarta. Organisasi
ini tidak terkenal secara luas sebagaimana halnya organisasi gay, dan hanya
bertahan kurang dari satu tahun (Agustine, 2008)

Pada tahun 1985, cabang Yogyakarta membentuk dirinya sebagai organisasi


mandiri setempat dengan nama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) Yang juga
menerbitkan majalah Jaka. Beberapa mantan aktivis cabang Lambda Indonesia di
Surabaya mendirikan Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara, disingkatkan
menjadi GAYa NUSANTARA, dan menerbitkan majalah yang juga diberi nama
GAYa NUSANTARA. Organisasi ini memiliki tujuan antara lain mendorong
pendirian komunitas dan organisasi di berbagai daerah di Indonesia. Selanjutnya
PGY mengganti namanya pada tahun 1988 menjadi Indonesian Gay Society.
Menjelang akhir tahun 1993, terdapat cukup banyak organisasi dan aktivitas
individu sehingga mampu menyelenggarakan Kongres Lesbian dan Gay
Indonesia pertama (KLGI) di Kaliurang, dekat Yogyakarta. Semakin banyak
organisasi didirikan di berbagai wilayah Indonesia, yaitu : Medan, Batam. Ambon
dan lain sebagainya. Hingga saat ini keberadaan komunitas LGBT semakin
meningkat dengan nama komunitas yang berbeda-beda dan tersebar hamper di
seluruh Indonesia.

2.2 Gambaran Umum HAM Kaum LGBT di Indonesia

Peraturan Undang-undang Indonesia hanya menetapkan dua jender saja, yaitu pria
dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman tegas tentang pria dan
wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan ketentuan serupa
mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-undang Administrasi
Kependudukan (UU No. 23/2006).

Pasal 1 UU Perkawinan:

“Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin anatara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-undang Pornografi (UU No. 44/2008) memasukkan istilah


"persenggamaan yang menyimpang" sebagai salah satu unsur pornografi. Dalam
penjelasan pengertian istilah ini mencakup antara lain "persenggamaan atau
aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian
[sic], dan homoseksual [sic]." Meskipun larangan berlaku terhadap produksi dan
penyebaran pornografi, undang-undang ini dipahami oleh banyak pria gay dan
wanita lesbian sebagai hukum yang memidanakan hubungan seks homoseksual.9
Sekali lagi, cukup menarik bahwa kaum transgender tidak disebutkan.

Peraturan Pemerintah No. 54/2007 tentang Adopsi secara tegas menetapkan


bahwa orang tua yang mengadopsi tidak boleh berupa pasangan homoseksual.
Adopsi oleh orang yang belum kawin tidak diperkenankan.

2.2 Kebijakan Pemerintah

Pada tahun 1983 Direktorat Kesehatan Jiwa di Kementerian Kesehatan mengubah


klasifikasi homoseksualtias dalam Pedoman Diagnosa dan Klasifikasi Gangguan
Jiwa (PPDGJ) edisi kedua, menjadi homoseksualitas ego-distonik dan
homosekualitas ego-sintonik. Hanya kondisi yang pertama saja, pada dasarnya
dalam hal orang yang menentang dan tidak menerima seksualitasnya, yang
digolongkan sebagai gangguan jiwa.

Dalam Peraturan Menteri Sosial tahun 2012 (Permensos No. 8/2012) diatur
tentang orang yang disebut sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di
antaranya adalah mereka yang karena perilaku seksualnya menjadi terhalang
dalam kehidupan sosial, yaitu waria (pria transgender tidak disebutkan), pria gay
dan wanita lesbian. Solusi untuk hal ini secara kurang jelas disebut sebagai
"rehabilitasi."

Komnas HAM dan Komnas Perempuan telah menyediakan ruang aman bagi
kalangan aktivis LGBT untuk menyelenggarakan acara seperti diskusi dan
festival. Rencana Tindakan Hak Asasi Manusia Nasional tahun 2004 telah
mencantumkan tentang advokasi bagi "kelompok populasi yang rentan."
Walaupun kelompok LGBT tidak secara tegas disebutkan, ada beberapa
konsultasi yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pada tahun 2006. Namun
setelah itu, tidak ada kegiatan lagi yang menjadi program sistematis. Pada tahun
2010, Komnas Perempuan menyatakan waria sebagai perempuan. Pada
pertengahan tahun 2013, Komnas HAM untuk pertama kali dalam sejarahnya
selama sepuluh tahun, mencantumkan hak-hak LGBT pada agenda sidang
plenum. Langkah ini sempat menimbulkan kontroversi antara para komisioner
dan di media massa. Kesepakatan yang tercapai adalah bahwa kelompok LGBT
harus mendapatkan perlindungan negara dari tindak kekerasan dan diskriminasi.
Yang menarik, hal ini juga disetujui oleh Majelis Ulama Indonesia (lihat sub-
bagian di bawah, yang terkait tentang agama). Komnas HAM dan Forum
LGBTIQ Indonesia juga telah menandatangani Naskah Kesepakatan (MoU) yang
mengatur dukungan Komnas HAM bagi Forum karena fokusnya pada hak asasi
manusia.

2.4.1 Perlindungan Hak Kelompok LGBT

Pembahasan, studi kasus dan analisa di berbagai bidang ini dibawakan oleh para
peserta Dialog Nasional selama paruh kedua hari pertama, dengan peserta dibagi
menjadi tujuh kelompok pembahasan topik. Masing-masing kelompok difasilitasi
oleh dua pimpinan komunitas yang telah ditugaskan sebelumnya, kecuali untuk
kelompok yang membahas media dan TIK dipimpin oleh satu orang fasilitator
saja. Kelompok pembahasan topik dan pimpinannya dipilih sebagai berikut:

1. Kesempatan kerja dan tempat tinggal, difasilitasi oleh Rendie Arga


(Gaylam/GWL- INA) dan Edi “Edyth” Siswanto (GAYa NUSANTARA)

2. Pendidikan dan generasi muda, difasilitasi oleh Alexa (SWARA) dan Anna
Arifin (Arus Pelangi)

3. Kesehatan dan kesejahteraan, difasilitasi oleh Suhendro (GAYa NUSANTARA)


dan Agustine (Ardhanary Institute)

4. Urusan keluarga dan sikap sosial budaya, difasilitasi oleh Suleman "Eman"
Abu (Komunitas Sehati Makassar) dan Juita Manurung (Talitakum)
5. Media dan TIK (teknologi komunikasi informasi), difasilitasi oleh King Oey
(Arus Pelangi/ILGA Asia/ASEAN SOGI Caucus)

6. Hukum, hak asasi manusia dan politik, difasilitasi oleh Yuli Rustinawati (Arus
Pelangi/Forum LGBTIQ Indonesia) dan Ienes Angela (GWL-INA)

7. Kasus istimewa Aceh, difasilitasi oleh Edi “Echa” Saputra (Violet Grey) dan
Ridwan Bakar (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).

2.5 Tindakan Diskriminatif Yang Dialami Kelompok LGBT

1. Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan

Kelompok LGBT mengalami penolakan untuk diterima sesuai bidangnya


sehingga meskipun ada kelompok LGBT yang capable untuk bekerja sesuai
bidangnya ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang menerima
mereka saja.

2. Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan

Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT seringkali


diselesaikan di luar pengadilan karena dianggap aib, memalukan. Hal tersebut
menyebabkan korban enggan untuk melapor.

3. Diskriminasi dalam pemilihan pasangan

Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan. Misalnya,


banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang
masa pernikahannya korban merasa diperkosa.
2.6 Upaya yang dilakukan kelompok LGBT dalam memeperjuangkan
Hak-Hak LGBT

1. Internalisasi bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual Diversity) adalah


HAM, karena itu menyuarakan hak-hak LGBT sama pentingnya dengan
menyuarakan hak-hak perempuan.
2. Melakukan dekonstruksi sosial (destabilised) atas konsep-konsep seksualitas
yang dianggap baku dengan menggunakan kerangka dasar semua dokumen hak
asasi manusia melalui :
 Perubahan sistim hukum termasuk hukum agama (reintrepretasi tafsir
kitab suci)
 Counter discourse atau perebutan wacana dan makna atas issue-issue
seksualitas yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan
 Penghapusan praktek-praktek yang mendiskriminasikan kelompok-
kelompok yang dianggap “abnormal” atau masuk dalam kategori non
normative sexuality
 Sosialisasi Yogyakarta principles. Yogyakarta Principles adalah suatu
tatanan prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang HAM yang
terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Gambaran singkat
tentang isi prinsip Yogyakarta adalah sbb :

Prinsip 1 : Hak untuk Penikmatan HAM secara universal


Prinsip 2 : Hak atas Kesetaran dan Non Diskriminasi
Prinsip 3 : Hak atas Pengakuan di mata Hukum
Prinsip 4 : Hak untuk Hidup
Prinsip 5 : Hak atas Keamanan Seseorang
Prinsip 6 : Hak atas Privasi
Prinsip 7 : Hak atas Kebebasan dari Kesewenang-wenangan terhadap
perampasan kebebasan
Prinsip 8 : Hak atas Pengadilan yang Adil
Prinsip 9 : Hak untuk Mendapatkan Perlakuan Manusiawi selama
dalam tahanan
Prinsip 10 : Hak atas Kebebasan dari Siksaan dan Kekejaman,
Perlakuan atau Hukuman yang tidak manusiawi atau
merendahkan
Prinsip 11 : Hak atas Perlindungan dari Semua Bentuk Eksploitasi,
Penjualan dan Divisi Litbang dan Pendidikan Komnas
Perempuan Perdagangan manusia
Prinsip 12 : Hak untuk Bekerja
Prinsip 13 : Hak atas Keamanan Sosial dan Atas Tindakan Perlindungan Sosial
Lainnya
Prinsip 14 : Hak Untuk mendapatkan Standar Kehidupan yang Layak
Prinsip 15 : Hak atas Perumahan yang layak
Prinsip 16 : Hak Atas Pendidikan
Prinsip 17 : Hak atas Pencapaian Tertinggi Standar Pendidikan
Prinsip 18 : Perlindungan atas Kekerasan Medis
Prinsip 19 : Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi
Prinsip 20 : Hak atas Kebebasan Berkumpul dengan damai dan Berasosiasi
Prinsip 21 : Hak atas kebebasan Berpikir
Prinsip 22 : Hak atas Kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23 : Hak untuk mencari Perlindungan
Prinsip 24 : Hak untuk Menemukan Keluarga
Prinsip 25 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Publik
Prinsip 26 : Hak untuk Berpartisipasi dalam Kehidupan Budaya
Prinsip 27 : Hak untuk Memajukan HAM
Prinsip 28 : Hak atas Pemulihan dan Ganti Rugi yang Efektif
Prinsip 29 : Akuntabilitas
2.7 Perkembangan upaya penegakan hak-hak LGBT :
1. Jika ditinjau dari segi jumlah organisasi yang melakukan upaya penegakan hak-hak
LGBT, terjadi peningkatan terutama sejak Reformasi. Pada awalnya organisasi yang
memperjuangkan hak-hak LGBT hanya Gaya Nusantara yang tersebar di cukup
banyak wilayah di Indonesia. Seiring dengan era reformasi, organisasi sejenis mulai
banyak muncul, misalnya Ardhanary Institute (bagian dari KPI), Perempuan Pelangi,
Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley.
2. Dari segi kegiatan, perkembangan dapat dilihat dengan semakin bervariasinya isu
yang diangkat organisasi LGBT. Jika sebelumnya lebih banyak mengangkat isu yang
identik dengan kelompok LGBT, misalnya isu HIV/AIDS atau kesehatan reproduksi
LGBT, saat ini mulai beragam, misalnya isu-isu perempuan yang lain, bahkan ada
yang menggunakan media olahraga sebagai pintu masuk penyadaran masyarakat
tentang hak-hak LGBT. Untuk Ardhanary sendiri, jika awalnya lebih banyak bergerak
di bidang penelitian dan pendidikan isu seksualitas, saat ini mulai melakukan
pendampingan.
3. Upaya untuk menggandeng kalangan agama sudah mendapatkan respon positif dari
beberapa orang, misalnya Ibu Musdah Mulia. Ibu Musdah Mulia sudah melakukan
reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dapat menjadi rujukan penetapan
hukum terhadap kelompok LGBT. Ibu Musdah berpendapat perkawinan antar
pasangan lesbian maupun gay halal untuk dilakukan (http://www.icrp-
online.org/wmview.php). Namun demikian, dasar argumentasi Ibu Musdah yang
menganggap bahwa orientasi seksual LGBT adalah terberi sehingga harus
diperlakukan sama dengan manusia dengan orientasi seksual yang lain berarti tidak
mencakup LGBT yang merupakan pilihan individu dan bukan karena faktor biologis.
Selain itu Ibu Masruchah dari KPI juga menjadi tempat untuk bertanya tentang
tinjauan agama Islam terhadap LGBT. Sebenarnya dukungan kalangan agama secara
individual sudah cukup banyak, namun belum menjadi sikap institusi agama secara
resmi.
4. Dukungan juga mulai diperoleh dari kalangan akademisi, misalnya dengan
banyaknya kajian tentang seksualitas dan LGBT dengan mengundang kelompok
LGBT untuk ikut berbicara dalam forum-forum ilmiah meskipun masih sebatas
testimoni.
5. Pada Komnas HAM, kelompok LGBT telah melakukan sosialisasi terhadap issue
mereka meskipun sampai saat ini posisi Komnas HAM masih sebagai support system
dan belum dapat memasukkan isu LGBT dalam program kegiatannya.

2.6.1 Hambatan terhadap penegakan hak-hak LGBT


Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai contoh muncul di dalam FBI
bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling berat. Penafsiran
ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit untuk diubah
sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT mendapatkan
pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama belakangan
ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak LGBT.
Lebih jauh lagi, tafsir agama yang tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut
mendapatkan pengesahan dari negara melalui aturan hukum seperti pada UU
Perkawinan yang tidak mengakui perkawinan sejenis. Hal tersebut menyebabkan
advokasi kebijakan tidak dapat dilakukan secara langsung oleh kelompok LGBT
karena menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak
strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap kelompok LGBT secara frontal

.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan
transgender". Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan
frasa "komunitas gay" karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang
telah disebutkan. Dalam kasus LGBT bukan orangnyalah yang kita bersalah tapi
perilakunya, para LGBT merupakan orang-orang yang sedang sakit dimana
membuthkan bantuan kita untuk sembuh, bukan malah memusuhinya ataupun
menjauhinya. Faktanya belum ada undang-undang yang mengatur tentang LGBT
sehingga mereka rentan akan tindak kekerasan yang terjadi.

SARAN

LGBT merupakan penyakit dan bukan merupakan kejahatan, sesuai hokum dan
agama LGBT merupakan periaku yang menyimpang, namun dalam menghadapi
kasus-kasus LGBT kita tidak boleh menggunakan kekerasan karena buakn
orangnya yang bersalah tapi perilakunya yang membutuhkan uluran tangan kita
semua untuk menyembuhkan mereka dan mengembalikan mereka ke kodrat
aslinya.
DAFTAR RUJUKAN

Acronyms, initialisms & abbreviations dictionary, Volume 1, Part 1 Gale


Research Co., 1985, ISBN 978-0-8103-0683-7. Factsheet five, Issues
32-36, Mike Gunderloy, 1989
Swain, Keith W. (21 June 2007). "Gay Pride Needs New Direction". Denver
Post. Diakses tanggal 2008-07-05.

-------. 2008. “Rahasia Sunyi: Gerakan Lesbian di Indonesia,” Jurnal Perempuan


58 (Maret), hal 59–72.

https://kabarlgbt.files.wordpress.com/2016/02/prinsip-prinsip-yogyakarta-divisi-
litbang-dan-komnas-perempuan.pdf diakses pada 27 februari 2016.

http://www.solopos.com/2015/06/29/as-legalkan-pernikahan-sejenis-keputusan-
amerika-pengaruhi-gerakan-lgbt-dunia-619314 diakses pada 27
februari 2016.

Você também pode gostar