Você está na página 1de 23

Analisis Masalah

1. Apa saja sarana prasarana yang tersedia di RSUD tingkat kabupaten yang relevan
dengan kasus emergency?

Sarana prasarana yang wajib tersedia di RSUD tingkat kabupaten (diasumsikan RS


tipe C), sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes
RI) nomor 856 tahun 2009 tentang standar instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit,
berupa:
A. Bangunan, dengan persyaratan fisik antara lain:
1. Luas bangunan IGD disesuaikan dengan beban kerja RS dengan
memperhitungkan kemungkinan penanganan korban massal / bencana.
2. Lokasi gedung harus berada dibagian depan RS, mudah dijangkau oleh
masyarakat dengan tanda-tanda yang jelas dari dalam dan luar Rumah
Sakit.
3. Harus mempunyai pintu masuk dan keluar yang berbeda dengan pintu
utama (alur masuk kendaraan/pasien tidak sama dengan alur keluar)
kecuali pada klasifikasi IGD level I dan II.
4. Ambulans/kendaraan yang membawa pasien harus dapat sampai di
depan pintu yang areanya terlindung dari panas dan hujan (catatan: untuk
lantai IGD yang tidak sama tinggi dengan jalan ambulans harus membuat
ramp).
5. Pintu IGD harus dapat dilalui oleh brankar.
6. Memiliki area khusus parkir ambulans yang bisa menampung lebih dari 2
ambulans (sesuai dengan beban RS)
7. Susunan ruang harus sedemikian rupa sehingga arus pasien dapat lancar
dan tidak ada “cross infection” , dapat menampung korban bencana sesuai
dengan kemampuan RS, mudah dibersihkan dan memudahkan kontrol
kegiatan oleh perawat kepala jaga.
8. Area dekontaminasi ditempatkan di depan/diluar IGD atau terpisah dengan
IGD.
9. Ruang triase harus dapat memuat minimal 2 (dua) brankar.
10. Mempunyai ruang tunggu untuk keluarga pasien.
11. Apotik 24 jam tersedia dekat IGD.
12. Memiliki ruang untuk istirahat petugas (dokter dan perawat)
Lanjutan tabel 1.

Tabel 1. Persyaratan sarana fisik untuk IGD


Sumber: Permenkes no 856 tahun 2009.
A. Fasilitas/ prasarana medis, berupa:
2. Bagaimana interpretasi dan mekanisme keluhan nyeri dada, nyeri perut, dan betis
kanan?
Interpretasi : semua abnormal (nomalnya tidak ada nyeri pada regio thorax/dada,
perut/abdomen, dan ektremitas/betis).
Mekasnisme
1) Nyeri dada: Trauma tumpul  Pulmonary bleb pecah  pelepasan material iritan
ke rongga pleura  inflamasi pada pleura parietal  nyeri

2) Nyeri perut
Pasien pada saat kecelakaan mobil mengalami deselerasi dan badan akan
telempar kedepan. Lanjutan dari gerakan badan ke depan adalah benturan badan
(dada/perut) dengan batang kemudi atau dash board. Cedera yang terjadi bisa
berupa patah tulang iga, perdarahan rongga dada, robekan paru, perdarahan rongga
perut akibat ruptur hepar atau limba atau robeknya usus. Robekan pankreas,
duodenum, kolon ataupun jejunum akibat gencetan lingkar kemudi dengan tulang
belakang.
Kemungkinan bila terjadi perdarahan intra abdomen yang serius pasien akan
memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang disertai penurunan hitung sel darah merah
dan akhirnya gambaran klasik syok hemoragik. Bila suatu organ viseral mengalami
perforasi, maka tanda –tanda perforasi dan tanda-tanda iritasi peritonium cepat
tampak. Tanda-tanda dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan
(mungkin menandakan iritasi peritonium karena cairan gastrointestinal atau darah),
nyeri spontan, nyeri lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi
peritonitis umum.
3) Betis kanan
Pada pasien terjadi fraktur os. tibia sinistra tertutup akibat trauma yang dialami
(disebabkan oleh terlempar keluarnya sang supir dari dalam mobil melalui kaca
depan dan mendarat pada bagian kiri dari tubuh sehingga terjadinya transfer energy
yang melebihi toleransi jaringan sehingga terjadi disrupsi jaringan dan terjadi suatu
trauma, terutama pada femur). Fraktur tersebut akan menyebabkan terpecahnya
frakmen-frakmen tulang yang dapat mengenai serabut syaraf disekitarnya yang
menyebabkan timbulnya rasa nyeri.
Selain itu, pada fraktur tibia juga dapat terkena pembuluh darah yang
menyebabkan terjadinya eksudasi darah ke jaringan dan menimbulkan hematoma,
hematoma ini akan merangsang reaksi inflamasi dengan mengeluarkan bradikinin
dan merangsang nosiseptor dan menyebabkan timbulnya rasa nyeri.

3. Bagaimana interpretasi dan mekanisme kelainan thorax?


No. Hasil Pemeriksaan Mekanisme Abnormal
1. Toraks
Inspeksi:
 Gerakan dinding dada asimetris, Dinding dada yang asimetris dapat menunjukkan
kiri tertinggal adanya perbedaan volume kedua paru. Hal ini dapat
disebabkan adanya pneumothoraks pada paru kanan
menyebabkan paru-paru kanan kolaps, sehingga saat
bernapas paru kanan maupun dinding dada tidak ikut
mengembang.
frekuensi nafas 40x/menit Sesak nafas diakhibatkan terganggunya proses
respirasi akibat adanya gangguan pada 3 proses
berikut:
1) Ventilasi
2) Difusi
3) Perfusi
Trauma tumpul di thorax fraktur kosta  tension
pneumothoraks kanan  sesak napas  RR meningkat

 Tampak memar di sekitar dada kiri Kemungkinan berasal dari trauma tumpul dari
bawah sampai ke samping perut tabrakan minibus dengan pohon beringin yang
mengakibatkan fraktur costae 9,10, 11.
Trauma → fraktur costae → pembuluh darah (kapiler)
pecah → darah meresap ke jaringan sekitarnya →
memar (berwarna merah kebiruan)

 Trakea bergeser ke kanan Trauma tumpul  tension pneumothoraks kiri 


udara di rongga pleura  peningkatan tekanan intra
pleural  trakea bergeser ke kanan (menjauhi sisi
yang mengalami pneumothoraks)

Tekanan pada jantung (atrium kiri) akibat


peningkatan tekanan udara paru kiri  gangguan
aliran darah masuk ke jantung  bendungan darah
 Vena jugularis distensi balik ke jantung penimbunan darah di vena
(jugular)  distensi vena

Paru kanan kolaps karena tension pneumotoraks,


paru-paru jauh karena rongga pleura terisi udara
Bunyi jantung terdengar jelas cepat frekuensi
Auskulasi: 100x/menit menunjukkan adanya takikardi (normal
 Bunyi nafas kanan melemah, 80-100 x/menit) yang menunjukkan adanya
bising nafas kiri terdengar jelas kompensasi untuk memompa darah ke seluruh tubuh
 Bunyi jantung terdengar jelas, dengan cepat, menunjukkan adanya tanda-tanda syok
cepat, frekuensi 110x/menit pada tubuh.

Trauma tumpul pada thorax  fraktur kosta 9, 10,


11  kosta menusuk pleura atau peregangan pleura
akibat perubahan tegangan rongga pleura 
Palpasi: perangsangan nociceptor saraf intercostae akibat
 Nyeri tekan pada dada kanan kerusakan struktur  nyeri
bawah, sampai ke samping (lokasi Fragmen fraktur costae akan teraba saat dilakukan
memar) palpasi

Udara masuk ketika inspirasi tapi tidak dapat keluar


 Krepitasi pada kosta 9, 10, 11 dan terperangkap di parietal saat ekspirasi 
kanan depan akumulasi udara dalam rongga pleura  suara yang
Perkusi: lebih nyaring saat perkusi / hipersonor (udara
 Kanan hipersonor, kiri sonor merupakan penghantar gelombang suara yang baik)

4. Bagaimana interpretasi dan mekanisme kelainan abdomen?


Abdomen Terjadi akut abdomen yaitu peritonitis.
Inspeksi: Trauma abdomen dapat menyebabkan perforasi organ
 Dinding perut datar dalam abdomen yang menyebabkan perdarahan.
Auskultasi: Pada kasus ini diduga terjadi ruptur hepar akibat fraktur
 Bising usus melemah kosta 9-11.
Perkusi: Darah atau cairan dalam rongga peritonium  tanda –
 Nyeri ketok (+) tanda rangsangan peritonium  nyeri tekan dan defans
Palpasi: muskular (otot dinding perut menunjukkan defans
 Nyeri tekan (+) muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
Defanse muscular (+) meradang dan menghindari gerakan atau tekanan
setempat), pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas
di bawah diafragma. Bising usus menurun sampai hilang
akibat kelumpuhan sementara peristaltik usus (Wilson et
al., 2008).
Learning Issue

1. Tension Pneumothorax
1.1. Patofisiologi
Tension Pneumothoraks terjadi karena mekanisme check valve, dimana saat inspirasi,
udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga
pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura
meningkat, semakin kuat penekanan paru sehingga dapat menimbulkan gagal nafas.
Tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat,
mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena ke atrium
kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat mediastinum terdorong kearah
kontralateral dan diafragma tertekan kebawah sehingga menimbulkan rasa sakit.
Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus
segera ditangani kalau tidak akan berakibat fatal.

1.2. Komplikasi
• Gagal napas akut (3-5%)
• Henti jantung-paru
• Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
• Kematian
• timbul cairan intra pleura, misalnya.
• Pneumothoraks disertai efusi pleura : eksudat, pus.
• Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
• Syok

2. Syok
2.1. Definisi
Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan menurunnya
volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi
karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler
menyebabkan penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir distol yang
akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac output).

2.2. Klasifikasi
a. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak,
otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi
rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran
tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis
metabolik tidak ada atau ringan.
b. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-
organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak,
kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam)
dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
c. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi
untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi
vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat,
gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah
jantung menurun).

2.3. Etiologi
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler,
misalnya terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir
keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik
terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan
darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500–1000 ml
perdarahan atau fraktur femur menampung 1000–1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan
protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
- Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
- Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
- Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman
jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan
keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita
bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi
oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan
dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama.

2.4. Manifestasi klinik


1. Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal
2. Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, na-
di cepat dan lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah menca-
pai 30%.
3. Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi
tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan
tidak sadar.
4. Sistim pencernaan : mual, muntah
5. Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)
6. Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.
Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung
yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya
diraba.
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:
1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial
rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih
2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian
kapiler yang jelek. Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada
usia, kondisi premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya
berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons
kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan
cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan
volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia
lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang
cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia,
penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa
menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
· Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler
selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
· Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons
homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke
mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
· Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah
sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
· Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik.
Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan;
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan
oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik
dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat
juga berhubungan dengan kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia,
hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik,
ketonuria), dan pada dehidrasi berat
2.5. Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga
timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan
gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan
aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air.
Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah
arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas
otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk
memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi
karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi
glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler
juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan
tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi
mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan
darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,
gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan
akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak
mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return)
menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan
tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis
kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC =
Disseminated Intravascular Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak
menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini
menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya
toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut
memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan
anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin
dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi
detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah
nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga
rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik
menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan
asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok.
Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang
cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan
akhirnya anoksia dan hiperkapnea.

2.6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien syock hipovolemik adalah :
· Kerusakan organ susunan saraf.
· Kerusakan hati.
· Kerusakan gingal.
Walaupun kerusakan organ akhir jarang terjadi pada syock hipovolemik, tetapi
gagal ginjal merupakan komplikasi yang sangat penting pada syock ini.

2.7. Pemeriksaan penunjang


· Pada anamnesis Pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat
sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang
mengetahui kejadiannya, cari : Riwayat trauma (banyak perdarahan atau
perdarahan dalam perut),
· Riwayat penyakit jantung (sesak nafas), Riwayat infeksi (suhu tinggi),
Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)
· Pemeriksaan fisik Kulit
· Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara,
karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia). Warna pucat (kemerahan pada
syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
· Tekanan darah
· Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita
yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok
septic)
· Status jantung
· Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.
· Status respirasi
· Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian
menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
· Status Mental
· Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi
menurun, sopor sampai koma. Fungsi Ginjal Oliguria, anuria (curah urin < 30
ml/jam, kritis)
· Fungsi Metabolik
· Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik
dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi
akibat takipnea. Sirkulasi Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik,
meninggi pada syok kardiogenik. Keseimbangan Asam Basa Pada awal syok pO2
dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena
adanya aliran pintas di paru). Pemeriksaan Penunjang Darah (Hb, Hmt, leukosit,
golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Analisa
gas darah, EKG.

2.8. Penatalaksanaan
· Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri
bantuan ventilator tambahan sesuai kebutuhan.
· Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat
sesuai ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi,
dan mempertahankan perfusi jaringan.
· Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan
untuk bertindak sebagai petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena
sentral kontinu (CVP) memberi petunjuk dan derajat perubahan dari pembacaan
data dasar; kateter juga sebagai alat untuk penggantian volume cairan darurat.
· Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer.
Dua atau lebih kateter mungkin perlu untuk penggantikan cairan cepat dan
pengembalian ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian
volume.
· Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih
kateter mungkin perlu untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian
ketidakstabilan hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.
· Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia,
golongan darah dan pencocokan silang, dan hemtokrit.
· Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada
tingkat yang memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan
pada kondisi klinis pasien.
· Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan
ini mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya,
sediakan waktu untuk pemeriksaan golongan darah dan pencocokkan silang,
perbaiki sirkulasi, dan bertindak sebagai tambahan terapi komponen darah.
· Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat
kehilangan darah telah parah atau pasien terus mengalami hemoragi.
· Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan
hematokrit sering bila dicurigai berlanjutnya perdarahan
· Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan
memberi cairan dan darah sesuai ketentuan.
· Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30
menit, volume urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.
· Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.
· Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-
tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG,
hematokrit, Hb, gambaran koagulasi, elektrolit, haluaran urine-untuk mengkaji
respon pasien terhadap tindakan. Pertahankan lembar alur tentang parameter ini;
analisis kecenderungan menyatakan perbaikan atau pentimpangan pasien.
· Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan
mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada
pasien dengan cidera kepala). Hindarkan gejala yang tidak perlu.
· Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti
dopamen) untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.
· Dukung mekanisme devensif tubuh
· Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk
menghilangkan rasa khawatir.
· Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau narkotik.
· Pertahankan suhu tubuh.
- Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan mekanisme
kompensasi tubuh dari vasokontriksi dan meningkatnya hilangnya caiiran karena
perspirasi.
- Pasien yang mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam tinggi
meningkatkan efek metabolik selular terhadap syok.
Daftar Pustaka

Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Darovic G O,


ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical Application. USA : EB.
Saunders Co. 1995 ; 441 – 499.
Alexander R H, Proctor H J. Shock. Advanced Trauma Life Support Course for
Physicians. USA, 1993 ; 75 – 94
Haupt M T, Carlson R W. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. : Shoemaker W C,
Ayres S, Grenvik A eds, Texbook of Critical Care. Philadelphia, 1989 ; 993 – 1002.
Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan
makalah: Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia, August 30 –
September 1, 1996 ; 1 – 4.
Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and Management of
Shock, Fundamental Critical Support. Society of Critical Care Medicine, 1997.
Atkinson R S, Hamblin J J, Wright J E C. Shock. : Hand book of Intensive Care. London:
Chapman and Hall, 1981; 18-29.
Wilson R F, ed. Shock. : Critical Care Manual. 1981; c:1-42
Syock hipovolemik. Ika prasetya wijaya (ed). 2006. BAIPD. E IV. J I. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. p 180-30.

Você também pode gostar