Você está na página 1de 51

Acute Transverse Myelitis (ATM) merupakan penyakit yang jarang terjadi pada masa anak-anak dan

remaja dan insidensinya diperkirakan mencapai 1,34 pada 1.0000.000 orang di Israel 1 Tetapi belum ada
evaluasi spesifik dari insidensi pada anak-anak. Hal ini dikarakteristikan dengan disfungsi medulla
spinalis bilateral dengan menghasilkan kelemahan anggota gerak bawah dengan atau tanpa gejala sensoris
dan disfungsi kandung kemih. Secara tipikal bermanifestasi dari jam hingga satu minggu. 2, 3 Magnetic
resonance imaging (MRI) spinalis, tes electrophysiologis dan analisis cairan serebrospinal (CSF)
dilakukan untuk mendiagnosis ATM dan emngeluarkan kondisi yang bisa diterapi. ATM dapat
disebabkan oleh sejumlah kelainan termasuk trauma, lesi, malformasi vaskular, kelainan vaskulitis oklusif
yang menyebabkan infark medulla spinalis4, 5, 6 penyakit autoimmune7, 8 dan infeksi lain baik bakteri, virus
atau spirochaeta.9 ATM telah dijabarkan setelah infeksi dengan virus Epstein-Barr virus,
cytomegalovirus, cytomegalovirus pada pasien kompromise imune, infeksi virus simpleks herpes dan
sitomegalo, rubella, chickenpox, infeksi mononukleosis, dan campak. 2 ATM dapat menjadi presentasi
awal dari leukimia limphoblastik akut. <span style=”position:relative;top:-4pt;”>10 Poliomyelitis dan Sindroma Guillain-
Barre tetap merupakan dua diagnosis banding yang penting. Setelah diagnosis dari ATM, dosis tinggi IV
steroid merupakan terapi yang menjanjikan. Prognosis bervariasi dan gejala residual sering terjadi. 13
Insidensi
 Usia dari kondisi ini dapat didapat dari infant hingga orang dewasa yang lebi tua (5 bulan hingga 80
tahun). Puncak usia untuk diagnosis TM adalah 10-19 dan 30-39 tahun. Laki-laki dan wanita sama dalam
diagnosa. TM merupakan kelainan yang jarang dengan penjumlahan insidensi 300 kasus baru di United
Kingdom. 1
 Pemulihan dari TM pada umumnya dimulai dalam 8 minggu dari onset. Pemulihan seringkali cepat
selama bulan ke 3-6 dan dapat berlanjut hingga lebih dari 2 tahun setelah onset. Satu pertiga dari mereka
yang didiagnosa dengan TM mendapatkan pemulihan yang baik, satu pertiga hanya mempunyai
pemulihan sedikit (disabilitas permanent derajat sedang), dan satu pertiga tidak menunjukkan pemulihan. 2
 TM secara umum merupakan penyakit monofasik (hanya satu kali timbul). Bagaimanapun, persentase
kecil pasien dapat mendapat reurensi, terutama jika ada penyakit yang mendasarinya. 2
Definisi
 TM merupakan kelainan neurologis yang jarang, satu dari kelompok penyakit ‘neuroimmunologic’ dari
sistem saraf pusat, dimana juga termasuk ADEM, NMI (penyakit Devic) dan MS. Kondisi ini
kesemuanya melibatkan penyerangan inflamasi di sistem saraf pusat. Mereka dibedakan secara primer
oleh lokasi lesi, dan oleh penyerangannya baik monofasik atau episode yang multipel. Kelainan ini
membagi mekanisme yang sering dan mempunyai banyak gejala yang sama. 3
 Ada bermacam variabilitas dalam presentasi gejala, dimana didasari oleh level medulla spinalis yang
dipengaruhi dan ada variasi yang luar buasa dalam penampakkan gejala, dimana didasari dari lesi medulla
spinalis yang terkenda dan keparahan kerusakan mielin dan serat saraf di neuron. Gejala TM termasuk
kelemahan otot, paralisis, parastehesias, atau sesnsasi saraf yang tidak nyaman, nyeri neuropatik,
spastisitas, depressi serta disfungsi usus, kandung kemih dan seksual. TM daoat akut atau berkembang
perlahan. Ada beberapa variasi dari diagnosis TM. 4
Etiologi
 TM merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses inflamasi dari substansia putih dan abu-
abu medulla spinalis, dan dapay menyebaban demielinisasi aksonal. Demieliniasasi ini meningkat secara
idiopatik yang diikuti dengan infeksi atau vaksinasi, atau dikarenakan multiple sclerosis. Satu teori utama
yang menyebabkannya adalah inflamasi mediasi imun sebagai hasil akibat terpapar dengan antigen viral.
Lesi ini bersifat inflamasi dan melibatkan medulla spinalis pada kedua sisinya. Dengan transverse
myelitis akut, onset terjadi mendadak dan berkembang dengan cepat dalam beberapa jam dan beberapa
hari. Lesi dapat tampak dimana saja di medulla spinalis, meskipun demikian biasanya terbatas pada
bagian kecil. 5
 Dalam beberapa kasus, penyakit ini diasumsikan disebabkan oleh infeksi viral atau vaksinasi dan juga
telah dikaitkan dengan cedera medulla spinalis, reaksi imun, schistosomiasus, dan aliran darah yang
insufisien melalui pembuluh darah spinalis. Gejala termasuk kelemahan dan kebas di kedua tungkai untuk
motor, defisit sensorik dan sfingter. Nyeri pinggang dapat timbul pada beberapa pasien saat onset
penyakit berjalan. Terapi biasanya hanya simptomatik, kortikosteroid digunakan dengan kesuksesan yang
terbatas. Perbedaan utama untuk dibuat adalah kondisi yang sama akibat kompressi medulla spinalis,
akibat penyakit yang mengelilingi kolumna vertebralis. 6
 TM dapat timbul dalam isolasi atau dengan penyakit lain. Ketika TM timbul tanpa penyakit penyerta
yang tampak, hal ini diasumsikan untuk menjadi idiopatik. TM idiopatik diasumsikan untuk sebagai hasil
dari aktivasi abnormal sistem imune melawan medulla spinalis. TM seringkali timbul bersamaan dengan
infeksi bakteri dan virus. 6
 Sekitar satu pertiga pasien dengan TM melaporkan penyakit seperti flu dengan demam, dengan onset
waktu gejala neurologis. Vaksinasi juga dikaitkan dengan TM dan terutama ADEM, tetapi hubungannya
tidak dapat dibuktikan. 6
Terapi
 Obat kortikosteroid secara umum digunakan sebagai terapi inflamasi medulla spinalis dengan pasien TM.
Pertukaran plasma atau terapi immunosupressant radikal yang lebih dapat digunakan jika steroidnya tidak
bekerja. Semua terapi lain hanya menujukan gejala pada saat ini. Rehabilitasi, terutama fisioterapi, sangat
penting. Pasien sebaiknya mengikuti regimen rehabilitasi untuk kerusakan spinal. 7
Evaluasi Pasien dengan TM Akut
 Setiap pasien yang dicurigai mempunyai disfungsi medulla spinalis akut harus dievaluasi cepat.
Semenjak secara relatif beberapa pasien mempunyai trias disfungsi motorik, sensorik, dan otonomik yang
penuh pada saat gejala, klinisi harus mempunyai ambang rendah untuk merekomendasikan evaluasi yang
lebih jauh. Sayangnya, nyeri pinggang dengan nyeri radikuler lebih sering dan merupakan gejala awal
yang tidak spesifik. Bagaimanapun, komplain dari pasien tentang kesulitan berkemih atau inkontinensia
onset baru dan komplain sensorik transversa (kumpulan penekanan, nyeri atau kebas) sebaiknya
mendorong klinisi untuk melakukan evaluasi yang lebih jauh lagi. Hal yang sama, kelemahan tungkai
progresif akut bilateral dengan setiap adanya gejala yang diatas harus dilakukan evaluasi yang cepat.
Banyak pasien, yang memperlihatkan dengan paraparesis progresif, tidak tepat didiagnosa dengan
sindroma Guillain-Barre (GBS). Bagaimanapun, sebaliknya terhadap GBS, TM tidak menampakkan
palsies sistem saraf pusat, dan GBS amat jarang pada pasien dnegan disfungsi kandung kemih dan
komplain sensoris. 7
 Evaluasi awal pasien dengan melibatkan mielopati harus dibedakan dari penyebab struktural (diskus
herniasi, fraktur vertebral patologis, metastasis tumor atau spondylolisthesis) dapat diidentifikasi.  Secara
ideal dengan kontrast gadolinium MRI dilakukan dalam beberapa jam setelah penampakkan gejala. Jika,
bagaimanapun tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang pendek, CT-myelography atau CT spinalis
merupakan alternative yang beralasan. Dua studi ini mempunyai ketidakuntungan yang berbeda dari tidak
bisanya untuk menilai patologis intramedularis, dan semua pasien yang didiagnosa dengan TM
sebaikanya mempunyai MR secepatnya pada fase akut. Jika ada keterlambatan dalam mendapatkan studi
pencitraan dan pasien secara klinismielopati cepat, kemudian sebaiknya metilprenidsolone secara empiris
diberikan sebagai berikut : <3 jam dari onset, 30 mg/kgBB setelah satu jam diikuti dengan 5,4 mg/kg/ jam
untuk penambahan 23 jam berikutnya; diantara 3-8 jam onset gejala-30 mg/kgBB bolus diikuti dengan
5,4 mg/kg/jam untuk penambahan selama 47 jam. Jika penyebab struktural bisa diidentifikasi untuk
mielopati, evaluasi pembedahan saraf merupakan hal yang wajib dilakukan. 8
 Jika tidak ada penyebab struktural yag diidentifikasi pada pasien dengan mielopati transversus akut atau
subakut, terapi secara besar tegantung pada penyebab potensial. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan dan
CSF dievaluasi untuk studi rutin sebagaimana kgabungan oligoclonal, indeksIgG, vPCR virus, antibodi
lyme dan mikoplasma, dan VDRL. Meskipun studi yang dilakukan dalam list ini tidak bersifat
komprehensiv, hal ini bisa secara potensial menterapi penyebab mielopati transversus akut. Studi
serologis tambahan dapat dijamin tergantung daripada skenario klinik.  Sementara meninggu studi
serologis dan PCR, kita akan sering mengawali terapi dengan asiklovir secara empirik (10 mg/kg IV TID
untuk 14-21 hari), jika pasien mempunyai bukti klinis atau radiologis, maka terapi TM juga sebaiknya
memasukkan doxycycline (100 mg PO BID) atau azitromisin (500 mg sekali satu, kemudian 250 mg PO
qD ).  Hal yang sama dalam keadaan klinis yang perlu, satu yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis
neuroborreliosis (Lyme). Pasien dengan imunosupressi dengan riwayat retinopati CMV atau
poliradikulopati sebaiknya menerima gancyclovir (5 mg/kg IV per 12 jam). Pertimbangan dari penyebab
mikrobiologi TM sebaiknya tidak digunakan aggressive untuk kortikosteroid intra vena terutama jika ada
riwayat terbakar, nyeri radikular atau radikulitis zoster yang menyebabkan mielitis. 9
 Pemberian steroid intravena dosis tinggi seringkali diberikan sekali ketika diagnosis TM ditegakkan, dan
beberapa studi kecil mendukung bahwa hal ini meningkat menjadi ambulasi yang independent dan
pemulihan motorik yang luar biasa. Banyak klinis mengawali terapi dengan methyl prednisolone 1000mg
IV qD untuk 5 hari, dan regimen ini sebaiknya dimulai pada kebanyakan pasien secepatnya ketika
diagnosis TM dipertimbangkan. Weinshenker dan teman-temannya menunjukkan bahwa subset pasien
steroid-refrakter dengan kelainan demielinisasi inflamasi berespon terhadap plasmapheresis. Untuk itu,
pada institus kami, pasien dengan TM akut diberikan terapi 5 hari dengan solumedrol IV diikuti dengan
plasma pheresis pada 1,1 volume plasma QOD untuk dua minggu. Hal ini belum jelas kapan sebaiknya
dilakukan plasmapheresis, tetapi kita menunggu selama stau minggi mengikuti pemberian steroid untuk
mengawali plasmapheresis. 10
 Pada pasien TM dengan diketahui atau dicurigai kalinan jaringan ikat seperti SLE, investigasi harus
dilakukan untuk mengeliminasi bukti adanya vaskulitis sistemik, atau secara alternative, buktidari
predisposisi protrombotik pada dasara antibodi antiphospolipid. Etiologi vaskulitis dapat dicurigai dengan
kadar komplemen yang menurun, tingginya titer ANA, hematuria, tingginya ESR atau manifestasi
sistemik lain dari SLE aktive. Pasien seperti ini sebaiknya menerima dosis tinggi kortikosteroid dan
pertimbangan untuk cyclophospamide IV (500-1000 mg/m2). Cyclophospamide selanjutnya sebaiknya
diberikan perbulan pada dosis yang didesain pada hitung darah leukosit 3,000-4,000/mm3. Pasien dengan
antibodi antiphospolipid seringkali melaporkan kejadian trombosis vena atau arterial sebelumnya, gugur
kandungan. Pasien ini akan seringkali membutuhkan antikoagulasi intensive untuk mencegah TM
berulang dan secara potensial sebagai terapi akut. 10
Terapi Kronis Pasien TM
 Ketika TM biasanya merupakan kelainan monofasik, terapi pasien yang diikuti dengan cedera akut
difokuskan dalam management gejala. Banyak dari strategi management ini sama dengan mereka yang
mengambil pasien dengan kerusakan medulla spinalisa dan tidak dilihat lebih detail disini. 1
 Beberapa prinsip bantuan harus diamati dalam management pasien dengan TM. Jika kesemuanya
memungkinkan untuk bisa berdiri atau berjalan pada pasien, hal ini harus dilakukan sedikitnya setiap hari.
Asumsi dari postur tegak lurus adalah kritis untuk menjaga arsitektur tulang dan otot sama halnya dengan
reaktivasi sistem sirkulasi. Hal ini juga mengurangi insidensi infeksi traktus urinarius dan deep vein
tromboses (DVT). pAsien mungkin membutuhkan alat untuk berdiri atau brace orthotic spesial, atau
membutuhkan terapi akuatik dalam melakukan hal ini. Pasien TM sebaiknya diskreening untuk depressi
semenjak hal ini menjadi lebih sering dan seringkali menyebabkan penurunan compliance dengan
regimen terapi fisik dan secara jauh mempengaruhi hasil. Disfungsi seksual merupakan masalah sering
pada pasien TM, dan pria dengan disungsi ereksi seringkali melaporkan peningkatan fungsi seksual
dengan sildenafil (50 mg 1 hari sebelum aktivitas seksual, jika tidak ada respon dapat ditingkatkan hingga
100 mg sebelum aktivitas seksual). Pasien sebaiknya diskreening untuk osteoporosis meskipun jika
penurunan atau absen yang tegas dalam akselerasi penyerapan dimediasi osteokalst. Penilaian
densitometri tulang diikuti dengan terapi (Ca++ 1000 mg/hari dengan vitamin D 400 I.U/hari, dan
pertimbangan terapi bifosfat) mengurangi fraktur patologik selanjutnya dan deteriorasi fungsi. 11
 Pasien seringkali meninggalkan disfungsi kandung kemih yang melibatkan waktu dari kandung kemih
atonik secara awal yang spastik dengan episode inkontinensia urine. Perubahan ini disebabkan oleh
perkembangan hiperaktivitas detrussor diikuti dengan kerusakan serat mikturisi descending. Pasien
dengan TM sacral (keterlibatan conus medullaris) dapat ditinggal dengan kandung kemih akontrakile
permanen jika lower motor neuron pada kandungkemih rusak. USG renal sebaiknya dilakukan dalam 3
bulan pertama untuk mengevaluasi kerusakan traktus atas, dan uji urodinamis juga sebaiknya dilakukan
kadangkala dalam enam bulan pertama diikuti TM untuk mengevaluasi penyimpanan tekanan tinggi dan
pengosongan sebagaimana DESD (detrusor-external sphincter dyssynergia). 12
 Kondisi ini dapat menpredisposisi kedua kerusakan kronis terhadap traktus urinarius atas dan bawah
yang seringkali secara klinis diam. Evaluasi lebih jauh akan membantu klinisi dalam membedakan terapi
farmakologis untuk memaksimalkan fungsi urine. Tujuan dari management yang efektif dari disfungsi
kandung kemih adalah tekanan penyimpanan yang rendah (<10-15 cm H20), tekanan pengisian rendah
(<40-60 cm H20 pada pria dan <20-30 cm H20 pada wanita), dan pengurangan dalam volume residual
(<50-100cc). Hiperaktivitas detrusor yang mudah dapat ditangani dengan obat antikolinergik seperti
oxybutinin pelepasan jauh (5-10 mg qD atau BID), hyoscyamine (0.15-0.3 mg PO QID), tolterodine (1-2
mg BID) atau propantheline (15 mg PO q4-6), dimana DESD menjamin konsultasi urologi dan seringkali
terapi kombinasi. Stimulasi saraf sakral menjanjikan terapi baru yang dapat mengijinkan pasien untuk
mengurangi atau mengeliminasi kebutuhan kateterisasi intermittent. 12
 Pasien seringkali meninggalkan kelemahan permanent diikuti TM. Strategi rehabilitasi standar seringkali
menghasilkan fungsionalitas peningkatan yang relevabt dan sebaiknya secara agresif dilakukan.
Rehabilitasi aquatik terutama menguntungkan pada pasien TM dengan latihan kardiovaskular,
pengurangan spastisitas, resumsi dari posisi tegak lurus, dan menjaga independensi sensorik. Beberapa
pasien melaporkan peningkatan yang signifikan  dalam kekuatan dan disfungsi kandung kemih dalam
penggunaan dengan fampridine (4-AP). Obat ini merupakan bloker saluran potasium yang menginhibisi
repolarisasi baru di neuron. Maka, untuk itu, menambah konduksi dari saraf yang telah rusak. Obat ini
sebaiknya diberikan dengan perhatian akibat efek samping yang potensial meliputi paresthesia, agitasi,
peningkatan tekanan darah, insomnia dan nyeri kepala. Fampridine diawali pada 10 mg qD dan dititrasi
hingga dosis harian total 0.5-0.7 m/kg/hari. Dosis yang lebih tinggi dari 0.8 mg/kg/hari telah
menunjukkan menyebabkan kejang pada beberapa pasien dan sebaiknya dihindari. 12
 Nyeri atau dyesthesia merupakan sekuele jangka panjang yang meresahkan pada 40% pasien TM. Gejala
seringkali ditangani dengan terapi gabapentin (hingga diatas 4800 mg/hari terbagi TID atau QID),
Pelepasan luas carbamazepine (hingga 1200 mg/hari terbagi BID), nortriptyline (hingga 100 mg/hari
diberikan qHS), atau tramadol (hingga 400 mg/hari terbagi TID atau QID). Opioids biasanya tidak lebih
efektif daripada obat-obatan diatas dan sebaiknya dihindari jika kesemuanya memungkinkan efek
samping dari konstipasi sekunder dan retensi urine. Opioid Intrathecal dapat diberikan melalui pompa
implant dan menawarkan bantuan signifikan dengan efek samping yang lebih sedikit pada individu yang
dipilih. TENS unit dapat diaplikasikan ke area lokal dysesthesia dengan bantuan yang signifikan untuk
ketidaknyamanan. 12
 Konstipasi merupakan masalah berlanjut pada pasien TM yang seringkali membutuhkan kombinasi
stimulasi digital dan laksan. Tujuan dari management usus sebaiknyaevakuasi reguler dari feses yang
semi terbentuk untuk dorongan kronis. Banyak pasien yang berespon terhadap regimen dulcolax (dua kali
PO pada malam hari) and senekot (dua kali PO pada malam hari). Sebagai tambahan, penggunaan
intermitent dari bisacodyl pada dasar air (The Magic Bullet) sangat efektif dalam mayoritas pasien. 11
 Spastisitas mempengaruhi secara virtual pada semua pasien dengan TM dan seringkali terbatas
perluasannya dalam penyembuhan. Pasien dapat melaporkan kekakuan, ketarikan, atau spasmus yang
nyeri dan seringkali timbul di paha dan kaki. Spastisitas dapat membatasi ambulasi, terutama pada
stimulus yang membuat destabilisasi postural. Baclofen (dimulai pada dosis 10 mg qd, dititrasi hingga
100-120 mg/d) seringkali berguna sebagai terapi lini tpertama dan efektif pada sekitar 60% individu.
Lemas dan perkembangan kelemahan merupakan efek samping yang potensial. Tizanidine (dimulai pada
dosis 2 mg/hari dititrasi hingga 24-32 mg/hari dalam tidga dosis terbag) merupakan medikasi yang secara
presinap menghambat neuron motorik pada medulla spinalis, dan secara teoritis lebih spesifik untuk
interneuron daripada baclofen. Dengan demikian dapat untuk kurang menyebabkan kelemahan, tetapi
tetap pada efek samping yang lemas. Diazepam (dimulai pada dosis 5 mg, dititrasi hingga 30-40 mg
dalam tiga dosis terbagi) dapat efektif pada pasien dengan spastisitas yang tidak dimodulasi baik oleh
tizanidine atau baclofen. 12
 Untuk pasien yang secara fungsional terbatas spastisitas tidak ditangani dengan secara efktif dengan obat
oral, pemberian intratekal baclofen secara potensial merupakan alternatif yang efektif. Mengikuti uji coba
diagnostik pemberian baclofen melalui jarum lumbar pugsi (50 mcg, lalu jika tidak ada respon 75 mcg
atau 100 mcg), pompa subkutan diimplantasikan dimana memberikan baclofen ke ruang CSF. Angka
pemberian pompa dapat dimodulasi secara eksternal, dan pompa harus diisi secara perkutan 3-5
kali/tahun. Efek samping yang potensial termasuk infeksi pompa dan kelemahan, tetapi kelelahan dan
konstipasi yang memburuk biasanya tidak terlihat. 13
DAFTAR PUSTAKA
 1)      Defresne P, Meyer L, Tardieu M, Scalais E, Nuttin C, Bont B.D, et al: Efficacy of high dose steroid
therapy in children with severe acute transverse myelitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001;71:272-4.
2)      Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy. Report of
two cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9.
3)      Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol. 2000
Dec; 247(12): 943-8.
4)      Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.
5)      Choi JU, Hoffman HJ, Hendrick EB, Humphreys RP, Keith WS. Traumatic infarction of the
spinal cord in children. J Neurosurg 1986;65:608-10
6)      Linssen W.H.J.P, Praamstra P, Gabreels F.J.M, Rotteveel J.J: Vascular insufficiency of the
cervical spinal cord due to minor trauma with hyperextension of spine in a child. Pediatr Neurol
1990;6:123-5.
7)      Morris A.M, Elliott E.J, D’Souza R.M, Antony J, Kennett M, Longbottom H: Acute flaccid
paralysis in Australian children. J-Paediatr-Child-Health. 2003 Jan-Feb; 39(1): 22-6.
      Yavuz H, Cakir M: Transverse myelopathy: an initial presentation of acute leukemia. Pediatr-
Neurol. 2001 May; 24(5): 382-4.
9)      Knebusch M, Reiners K. Acute transverse myelitis in childhood: nine cases and review of
literature. Developmental Medicine & Child Neurology 1998;40:631-9.
10)   De-Goede CG: Urinary problems following acute transverse myelitis in children. Dev-Med-
Child-Neurol. 2002 Mar; 44(3): 212-3.
11)   Ganesan V, Borzyskowski M. Characteristics and course of urinary tract dysfunction after acute
transverse myelitis in. Dev Med Child Neurol 2001; 43(7): 437-5.
12)   Krishnan C, Kaplin AL, Deshpande DM, Pardo CA, Kerr DA. Transverse Myelitis:
Pathogenesis, Diagnosis and Treatment. Frontiers in Bioscience 2004;9:1483-99.
13)   Wilmshurst JM, Walker MC, Pohl KRE. Rapid onset transverse myelitis in adolescence:
implications for pathogenesis and prognosis. Arch-Dis-Child 1999;80(2): 137-42.
A. ANAMNESA
perlu ditanyakan keluhan utama pasien. Pada setiap keluhan ditanyakan :
1. Sejak kapan timbul
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis makan, dsb.)
5. Keluhan lain yang ada kaitannya
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk serangan, dsb.
Pada setiap pasien dengan penyakit syaraf, harus dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan di
bawah ini, dengan mengajukan pertanyaan.
9. Nyeri kepala
10. Muntah
11. Vertigo
12. Gangguan penglihatan
13. Gangguan pendengaran
14. Gangguan syraf otak lainnya
15. Gangguan fungsi luhur
16. Gangguan kesadaran
17. Gangguan motorik
18. Gangguan sensibilitas
19. Gangguan syaraf otonom
B. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN
Prinsip :
Untuk Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma glasgow yang
memperhatikan tanggapan / respon pasien terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut.
Tanggapan atau respon pasien yang perlu diperhatikan ialah : Respon Membuka mata (Eye), Respon
verbal (V), dan respon motorik (M).
Skala Glasgow
Area Pengkajian Nilai
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supra orbita atau kuku jari) 2
Tidak ada reaksi ( dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1
Respon verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi 5
Kacau (Confused), dapat berbicara dalam kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat 4
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata,
Namun tidak berupa kalimat atau tidak tepat 3
Mengerang (tidak mengucapkan kata,
hanya mengeluarkan suara erangan 2
Tidak ada respon 1
Motor Response
Menurut perintah (misalnya suruh pasien angkat tangan) 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supra orbita.
Bila pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud
menepis rangsangan tersebut, berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri
Reaksi menghindar / Withdraws 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) Abnormal Flexion 3
Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras
seperti ballpoint pada kuku jari, Bila sebagai jawaban siku memfleksi,
terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri
Reaksi ekstensi abnormal /Abnormal extention / desebrasi 2
Dengan rangsangan nyeri tersebut diatas, terjadi ekstensi pada siku.
Ini selalu disertai fleksi spastic pada pergelangan tangan.
Tidak ada reaksi 1
(harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa rangsangan nyeri telah adekuat
C. PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL
Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing seperti darah, maka
dapat merangsang selaput otak
1. Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara :
a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring
b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat ditekuk,
malah sering kepala terkedik ke belakang.
f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.
2. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus,
b. lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan.
f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 o
3. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur.
b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,
c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah dan tungkai atas.
e. Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135o
4. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala
sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
5. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan
lurus.
c. Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi perhatikan apakah ada kelumpuhan
pada tungkai.
D. PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK
1. Inspeksi
- Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak,
- Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas,
- Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan
- Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor, khorea, atetose,
distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni.
2. Palpasi
- Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya
- Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot
3. Pemeriksaan gerakan aktif
- Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa menahan gerakan
tersebut
- Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia menahan
Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat :
1. Fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan otot ekstremitas (skala
0 – 5)
1) 0 = tidak ada gerakan
2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak
3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya berat
6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa
Pada pemeriksaan kekuatan otot digunakan skala dari 0-5. Seperti pada gambar di bawah ini:
4. Pemeriksaan gerakan pasif
5. Koordinasi gerak
E. PEMERIKSAAN SENSORIK
1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri, Pemeriksaan rasa suhu
2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap
3. Pemeriksaan rasa getar
4. Pemeriksaan rasa tekan
5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam
6. Nyeri rujukan
F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius
Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)
Cara Pemeriksaan :
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip, karena
dapat mengurangi ketajaman penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol, amoniak, alkohol
dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung yang lainnya dengan
tangan.
2. Pemeriksaan N. II : Optikus
Fungsi : Sensorik khusus melihat
Tujuan pemeriksaan :
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada visus disebabkan oleh
kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf.
b. Mempelajari lapangan pandangan
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga tidak
mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandangan
Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan pemeriksaan
oftalmoskopik.
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :
1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa yang normal.
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan ditanyakan pukul
berapa.
3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku.
4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan menggunakan
gambar snellen.
6. Pemeriksaan snellen chart
a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m
b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya.
c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya norma (6/6)
d. Bila tidak normal :
i. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m, pasien hanya dapat memaca pada
jaral 6 m, namun bila pasien dapat melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang, lubang peniti),
huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi.
ii. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya gerakan atau tidak
iii. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang
Pemeriksaan Lapangan Pandangan :
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap normal., dengan
menggunakan metode konfrontasi dari donder.
1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangan
atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat
mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dan
pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan dibandingkan dengan
pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan
tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.
3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius
Fungsi : Sematomotorik, visero motorik
Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m levator
palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa mata).
4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis
Fungsi : Somatomotorik
Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah dan nasal.
5. Pemeriksaan N. V Trigeminus
Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan rahang ke
bahwa dan samping dan membuka mulut.
Bagian sensorik cabang Oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus
paranasal dan sebagian mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum
durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3
bagian depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak.
Cara pemeriksaan fungsi motorik :
a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan m. Temporalis,
perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.
b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh
Cara pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang dipersyarafi.
b. Periksa reflek kornea
6. Pemeriksaan N. VI Abdusen
Fungsi : Somatomotorik
Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah temporal
Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstra
okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara pemeriksaannya
bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus dan
strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil,
reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia disuruh ia
membuka matanya.
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang / menekan ringan
pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama ukurannya, apakah
bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada pupil.
Normal akan mengecil
iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena penyinaran pupil mata tadi
disebut dengan reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh.
7. Pemeriksaan N. VII Fasialis
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
Cara Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut.
b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.
c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan gerakan seperti
menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris.
d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
e. Suruh pasien memejamkan mata
f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan menyebabkan
kontraksi otot mata yang di persyarafi.
Fungsi pengecapan :
a. Pasien disuruh menjulurkan lidah
b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran
c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.
d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.
8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus
Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan
Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :
a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber
Cara untuk menilai keseimbangan :
a. Tes romberg yang dipertajam :
- Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di depan jari-
jari kaki yang lain
- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih
b. Tes melangkah di tempat
- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan berjalan
seperti biasa
- Suruh pasien untuk tetap di tempat
- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan berputar
lebih 30 o
c. Tes salah tunjuk
- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa
- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke
posisi semula
- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk
9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
10. Pemeriksaan N. X Vagus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik
N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik :
- Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa
- Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama sekali.
- Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air
- Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia
- Pasien disuruh membuka mulut
- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula dalam
keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara. Abnormal
bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.
11. Pemeriksaan N. XI aksesorius
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara :
- pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan gerakannya.
- Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
b. Lihat otot trapezius
- apakah ada atropi atau fasikulasi,
- apakah bahu lebih rendah,
- apakah skapula menonjol
- Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien
- Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan :
- besarnya lidah,
- kesamaan bagian kiri dan kanan
- adanya atrofi
- apakah lidah berkerut
c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan
G. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)
Derajatnya : 0 = absen reflek
1=Menurun
2 = Normal
3 = Hiperreflek
4 = Hiperreflek dengan klonus
2. Reflek superficial
a. Reflek kulit perut :
epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen digores dari arah luar
menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut
b. Kremaster ( L 1-2)
Paha bagian dalam digores—kontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas
c. Reflek anus ( S3-4-5)
Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa kontraksi spingter ani
d. Reflek bulbokavernosus
Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus
5. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)
Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski
H. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
1. Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul dorso fleksi ibu
jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
2. Chadock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan
3. Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+ = babinski)
4. Gordon
Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)
5. Scahaefer
Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles
6. Rosollimo
Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki
7. Mendel Rechterew
Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki
8. Hoffman –Trommer
Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah
Referensi :
Lumbantobing (2000) Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta
Diposkan oleh Nenny Afrini di 03:12 0 komenta

Anatomi Fisiologi Persarafan


Ns. Lukman, SKep,MM
 
Struktur dan Fungsi
Sistem persarafan terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron dan jaringan penunjang yang disebut
neuroglia . Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas
otak dan medula spinalis sedangkan sistem saraf tepi merupakan susunan saraf diluar SSP yang
membawa pesan ke dan dari sistem saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi dalam mempertahankan
kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap mencapai keseimbangan.
Stimulasi yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari lingkungan internal maupun eksternal
menyebabkan berbagai perubahan dan menuntut tubuh dapat  mengadaptasi sehingga tubuh tetap
seimbang. Upaya tubuh dalam mengadaptasi perubahan berlangsung melalui kegiatan saraf yang dikenal 
sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan terjadi kondisi yang  tidak
seimbang atau sakit.
Stimulasi dapat Menghasilkan Suatu Aktifitas
Stimulasi diterima oleh  reseptor sistem saraf  yang selanjutnya akan dihantarkan oleh sistem saraf  tepi
dalam bentuk impuls listrik ke sistem saraf pusat. Bagian sistem saraf tepi yang menerima rangsangan
disebut reseptor, dan diteruskan menuju sistem saraf pusat oleh sistem saraf sensoris. Pada sistem saraf
pusat impuls diolah dan diinterpretasi untuk kemudian jawaban   atau respon diteruskan kembali melalui
sistem saraf tepi menuju efektor yang berfungsi sebagai pencetus jawaban akhir. Sistem saraf yang
membawa jawaban atau respon adalah sistem saraf motorik. Bagian sistem saraf tepi yang mencetuskan
jawaban disebut efektor. Jawaban yang terjadi dapat berupa jawaban yang dipengaruhi oleh kemauan
(volunter) dan jawaban yang tidak dipengaruhi oleh kemauan (involunter). Jawaban volunter melibatkan
sistem saraf somatis sedangkan yang involunter melibatkan sistem saraf otonom. Efektor dari sitem saraf
somatik adalah otot rangka sedangkan untuk sistem saraf otonom, efektornya adalah otot polos, otot
jantung dan kelenjar sebasea.
Fungsi Saraf
1.      Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh melalui saraf sensori . Saraf
sensori disebut juga Afferent Sensory Pathway.
2.      Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat.
3.      Mengolah informasi yang diterima baik ditingkat medula spinalis maupun di otak untuk selanjutnya
menentukan jawaban  atau respon.
4.      Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ tubuh sebagai kontrol
atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga Efferent Motorik Pathway.
Sel Saraf (Neuron)
Merupakan sel tubuh yang berfungsi mencetuskan dan menghantarkan impuls listrik. Neuron merupakan
unit dasar dan fungsional sistem saraf yang mempunyai sifat exitability artinya siap memberi respon saat
terstimulasi. Satu sel saraf mempunyai badan sel  disebut soma yang mempunyai satu atau lebih tonjolan
disebut dendrit. Tonjolan-tonjolan ini keluar dari sitoplasma sel saraf. Satu dari dua ekspansi yang sangat
panjang disebut akson. Serat saraf adalah akson dari satu neuron. Dendrit dan badan sel saraf berfungsi
sebagai pencetus impuls sedangkan akson berfungsi sebagai pembawa impuls. Sel-sel saraf membentuk
mata rantai yang panjang dari perifer ke pusat dan sebaliknya, dengan demikian impuls dihantarkan
secara berantai dari satu neuron ke neuron lainnya. Tempat dimana terjadi kontak antara satu neuron ke
neuron lainnya disebut sinaps. Pengahantaran impuls dari satu neuron ke neuron lainnya berlangsung
dengan perantaran zat kimia yang disebut neurotransmitter
Jaringan Penunjang
Jaringan penunjang saraf terdiri atas neuroglia. Neuroglia adalah sel-sel penyokong untuk neuron-neuron
SSP, merupakan 40% dari volume otak dan medulla spinalis. Jumlahnya lebih banyak dari sel-sel neuron
dengan perbandingan sekitar 10 berbanding satu. Ada empat jenis sel neuroglia  yaitu: mikroglia,
epindima, astrogalia, dan oligodendroglia
Mikroglia
Mempunyai sifat fagositosis, bila jaringan saraf rusak maka sel-sel ini bertugas untuk mencerna atau
menghancurkan  sisa-sisa jaringan yang rusak. Jenis ini ditemukan diseluruh susunan saraf pusat dan di
anggap berperan penting dalam proses melawan infeksi. Sel-sel ini mempunyai sifat yang mirip dengan
sel histiosit yang ditemukan dalam jaringan penyambung perifer dan dianggap sebagai sel-sel yang
termasuk dalam sistem retikulo endotelial sel.
Epindima
Berperan dalam produksi cairan cerebrospinal. Merupakan neuroglia yang membatasi sistem ventrikel
susunan saraf pusat. Sel ini  merupakan epitel dari pleksus choroideus ventrikel otak.
Astroglia
Berfungsi sebagai penyedia nutrisi esensial yang diperlukan oleh neuron dan membantu neuron
mempertahankan potensial bioelektris yang sesuai untuk konduksi dan transmisi sinaptik. Astroglia
mempunyai bentuk seperti bintang dengan banyak tonjolan. Astrosit berakhir pada pembuluh darah
sebagai kaki I perivaskuler dan menghubungkannya dalam sistem transpot cepat metabolik. Kalau ada
neuron-neuron yang mati akibat cidera, maka astrosit akan berproliferasi dan mengisi ruang yang
sebelumnya dihuni oleh badan sel saraf dan tonjolan-tonjolannya. Kalau jaringan SSP mengalami
kerusakan yang berat maka akan terbentuk suatu rongga yang dibatasi oleh astrosit
Oligodendroglia
Merupakan sel yang bertanggungjawab menghasilkan myelin dalam SSP. Setiap oligodendroglia
mengelilingi beberapa neuron, membran plasmanya membungkus tonjolan neuron sehingga terbentuk
lapisan myelin. Myelin merupakan suatu komplek putih lipoprotein yang merupakan insulasi sepanjang
tonjolan saraf. Myelin menghalangi aliran ion kalium dan natrium melintasi membran neuronal .
 Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan medula spinalis. SSP dibungkus oleh selaput meningen yang
berfungsi untuk melindungi otak dan medula spinalis dari benturan atau trauma. Meningen terdiri atas
tiga lapisan yaitu durameter, arachnoid dan piamater.
 Rongga Epidural
Berada diantara tulang tengkorak dan durameter. Rongga ini berisi pembuluh darah dan jaringan lemak
yang berfungsi sebagai bantalan. Bila cidera mencapai lokasi ini akan menyebabkan perdarahan yang
hebat oleh karena pada lokasi ini banyak pembuluh darah sehingga mengakibatkan perdarahan  epidural
 Rongga Subdural
Berada diantara durameter dan arachnoid, rongga ini berisi  berisi cairan serosa.
 Rongga Sub Arachnoid
Terdapat diantara arachnoid dan piameter. Berisi cairan cerebrospinalis yang salah satu fungsinya adalah
menyerap guncangan atau shock absorber. Cedera yang berat disertai perdarahan dan memasuki ruang
sub arachnoid  yang akan menambah volume CSF  sehingga dapat menyebabkan kematian sebagai akibat
peningkatan tekanan intra kranial (TIK).
 Otak
Otak, terdiri dari otak besar yang disebut cerebrum, otak kecil disebut cerebellum dan batang otak 
disebut brainstem. Beberapa karateristik khas Otak orang dewasa yaitu mempunyai berat lebih kurang
2% dari berat badan dan mendapat sirkulasi darah  sebenyak 20% dari cardiac out put serta
membutuhkan kalori sebesar 400 Kkal setiap hari. Otak merupakan jaringan yang paling banyak
menggunakan energi yang didukung oleh metabolisme oksidasi glukosa. Kebutuhan oksigen dan glukosa
otak relatif konstan, hal ini disebabkan oleh metabolisme otak yang merupakan proses yang terus
menerus tanpa periode istirahat yang berarti. Bila kadar oksigen dan glukosa kurang dalam jaringan otak
maka metabolisme menjadi terganggu dan jaringan saraf akan mengalami kerusakan. Secara struktural,
cerebrum terbagi menjadi bagian korteks yang disebut korteks cerebri dan sub korteks yang disebut
struktur subkortikal. Korteks cerebri terdiri atas korteks sensorik yang berfungsi untuk mengenal
,interpretasi impuls sensosrik yang diterima sehingga individu merasakan, menyadari adanya suatu
sensasi rasa/indra tertentu. Korteks sensorik juga menyimpan sangat  banyak data memori sebagai hasil
rangsang sensorik selama manusia hidup. Korteks motorik  berfungsi untuk memberi jawaban atas
rangsangan yang diterimanya.
 Struktur sub kortikal
a.   Basal ganglia; melaksanakan fungsi motorik dengan merinci dan mengkoordinasi gerakan dasar,
gerakan halus  atau gerakan trampil dan sikap tubuh.
b.   Talamus; merupakan pusat rangsang nyeri
c.   Hipotalamus; pusat tertinggi integrasi dan koordinasi sistem saraf otonom dan terlibat dalam
pengolahan perilaku insting  seperti makan, minum, seks dan motivasi
d.   Hipofise
      Bersama dengan hipothalamus mengatur kegiatan sebagian besar kelenjar endokrin 
      dalam sintesa dan pelepasan hormon.
 Cerebrum 
Terdiri dari dua belahan yang disebut hemispherium cerebri dan keduanya dipisahkan oleh fisura
longitudinalis. Hemisperium cerebri  terbagi menjadi hemisper kanan dan kiri. Hemisper kanan dan kiri
ini dihubungkan oleh bangunan yang disebut corpus callosum. Hemisper cerebri dibagi menjadi lobus-
lobus yang diberi nama sesuai dengan tulang diatasnya, yaitu:
1.      Lobus frontalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang frontalis
2.      Lobus parietalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang parietalis
3.      Lobus occipitalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang occipitalis
4.      Lobus temporalis, bagian cerebrum yang berada dibawah tulang temporalis
 Cerebelum  (Otak Kecil)
Terletak di bagian belakang kranium menempati fosa cerebri posterior di bawah lapisan durameter
Tentorium Cerebelli. Di bagian depannya terdapat batang otak. Berat cerebellum sekitar 150 gr atau 8-
8% dari berat batang otak seluruhnya. Cerebellum dapat dibagi menjadi hemisper cerebelli kanan dan
kiri yang dipisahkan oleh vermis. Fungsi cerebellum pada umumnya adalah mengkoordinasikan gerakan-
gerakan otot sehingga gerakan dapat terlaksana dengan sempurna.
 Batang Otak  atau Brainstern
Terdiri atas diencephalon, mid brain, pons dan medula oblongata. Merupakan tempat berbagai macam
pusat vital seperti pusat pernafasan, pusat vasomotor, pusat pengatur kegiatan jantung dan pusat muntah,
bersin dan batuk.
 Komponen Saraf  Kranial
a.  Komponen sensorik somatik : N I, N II, N VIII
b.  Komponen motorik omatik : N III, N IV, N VI, N XI, N XII
c.  Komponen campuran sensorik somatik dan motorik somatik : N V, N VII, N IX, N X
d.  Komponen motorik viseral
Eferen viseral merupakan  otonom mencakup  N III, N VII, N IX, N X. Komponen eferen viseral
yang 'ikut' dengan beberapa saraf kranial ini, dalam  sistem saraf otonom tergolong pada divisi
parasimpatis kranial.
 1.  N. Olfactorius
Saraf ini berfungsi sebagai saraf sensasi penghidu, yang terletak dibagian atas dari mukosa hidung di
sebelah atas dari concha nasalis superior.
2.  N. Optikus
Saraf ini penting untuk fungsi penglihatan dan merupakan saraf eferen sensori khusus. Pada dasarnya
saraf ini merupakan penonjolan dari otak ke perifer.
3.  N. Oculomotorius
Saraf ini mempunyai nucleus yang terdapat pada mesensephalon. Saraf ini berfungsi sebagai saraf
untuk mengangkat bola mata
4.  N.  Trochlearis
Pusat saraf ini terdapat pada mesencephlaon. Saraf ini mensarafi muskulus oblique yang berfungsi
memutar bola mata
5.   N. Trigeminus
Saraf ini terdiri dari tiga buah saraf yaitu saraf optalmikus, saraf maxilaris dan  saraf mandibularis
yang merupakan gabungan saraf sensoris dan motoris. Ketiga saraf ini mengurus sensasi umum pada
wajah dan sebagian kepala, bagian dalam hidung, mulut, gigi dan meningen.
6.   N. Abducens
Berpusat di pons bagian bawah. Saraf ini menpersarafi muskulus rectus lateralis. Kerusakan saraf ini
dapat menyebabkan bola mata dapat digerakan ke lateral dan sikap bola mata tertarik ke medial
seperti pada Strabismus konvergen.
7.   N. Facialias
Saraf ini merupakan gabungan saraf aferen dan eferen. Saraf aferen  berfungsi untuk sensasi umum
dan pengecapan sedangkan saraf eferent untuk otot wajah.
8.   N. Statoacusticus
Saraf ini terdiri dari komponen saraf  pendengaran dan saraf  keseimbangan
9.   N. Glossopharyngeus
Saraf ini mempersarafi lidah dan pharing. Saraf ini mengandung serabut sensori khusus. Komponen
motoris saraf ini mengurus otot-otot pharing untuk menghasilkan gerakan menelan. Serabut sensori
khusus mengurus pengecapan di lidah. Disamping itu juga mengandung serabut sensasi umum di
bagian belakang lidah, pharing, tuba, eustachius dan telinga tengah.
10  N. Vagus
Saraf ini terdiri dari tiga komponen: a) komponen motoris yang mempersarafi otot-otot pharing yang 
menggerakkan pita suara, b) komponen sensori yang mempersarafi bagian bawah pharing, c)
komponen saraf parasimpatis yang mempersarafi sebagian alat-alat dalam tubuh.
11. N. Accesorius
Merupakan komponen saraf kranial yang berpusat pada nucleus ambigus dan komponen spinal yang
dari nucleus motoris segmen C 1-2-3. Saraf ini mempersarafi muskulus Trapezius dan
Sternocieidomastoideus.
12. Hypoglosus
Saraf ini merupakan saraf eferen atau motoris yang mempersarafi otot-otot lidah. Nukleusnya terletak
pada medulla di dasar ventrikularis IV dan menonjol sebagian pada trigonum hypoglosi.
 Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan perpanjangan medula oblongata ke arah kaudal di dalam kanalis vertebralis
mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I memanjang hingga setinggi cornu vertebralis lumbalis I - II.
Terdiri dari 31 segmen yang setiap segmennya terdiri dari satu pasang saraf spinal. Dari medula spinalis
bagian cervical keluar 8 pasang , dari bagian thorakal 12 pasang, dari bagian lumbal 5 pasang dan dari
bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf spinalis. Seperti halnya otak, medula
spinalispun terbungkus oleh selaput  meninges yang berfungsi melindungi saraf spinal dari benturan atau
cedera.
 
Gambaran penampang medula spinalis memperlihatkan bagian-bagian substansia grissea dan substansia
alba. Substansia grisea ini mengelilingi canalis centralis sehingga membentuk columna dorsalis, columna
lateralis dan columna ventralis. Massa grisea dikelilingi oleh substansia alba atau badan putih yang
mengandung serabut-serabut saraf yang diselubungi oleh myelin. Substansi alba berisi berkas-berkas
saraf yang membawa impuls sensorik dari SST menuju SSP dan impuls motorik dari SSP menuju SST.
Substansia grisea berfungsi sebagai pusat koordinasi refleks yang berpusat di medula
spinalis.Disepanjang medulla spinalis terdapat jaras saraf yang berjalan dari medula spinalis menuju otak
yang disebut sebagai jaras acenden dan dari otak menuju medula spinalis yang disebut sebagai jaras
desenden. Subsatansia alba berisi berkas-berkas saraf yang berfungsi membawa impuls sensorik dari
sistem tepi saraf tepi ke otak dan impuls motorik dari otak ke saraf tepi. Substansia grisea berfungsi
sebagai pusat koordinasi refleks yang berpusat dimeudla spinalis.
 Refleks-refleks yang berpusat di sistem saraf puast yang bukan medula spinalis, pusat koordinasinya
tidak di substansia grisea medula spinalis. Pada umumnya penghantaran impuls sensorik di substansia
alba medula spinalis berjalan menyilang garis tenga. ImPuls sensorik dari tubuh sisi kiri akan
dihantarkan ke otak sisi kanan dan sebaliknya. Demikian juga dengan impuls motorik. Seluruh impuls
motorik dari otak yang dihantarkan ke saraf tepi melalui medula spinalis akan menyilang.
 Upper Motor Neuron (UMN) adalah  neuron-neuron motorik yang berasal dari korteks motorik serebri
atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat. Lower
motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-
serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka.
Gangguan fungsi UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat kelumpuhan
UMN berbeda dengan sifat kelumpuhan UMN. Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang
'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia).
Pada kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan otot tinggi
(hipertonus) dan mudah ditimbulkan refleks otot rangka (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian medial,
dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang
sama sampai berkas lateral ini tiba di medula spinalis. Di segmen medula spinalis tempat berkas bersinap
dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot
rangka akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan
pada otot-otot sisi yang berlawanan.
 Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat refleks. Fungsi tersebut
diselenggarakan oleh substansia grisea medula spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap
rangsang, melindungi tubuh terhadap pelbagai perubahan yang terjadi baik dilingkungan internal maupun
di lingkungan eksternal. Kegiatan refleks  terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung
refleks
 Fungsi medula spinalis
1.      Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.
2.      Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai
3.      Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4.      Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.
 Lengkung refleks
o       Reseptor: penerima rangsang
o       Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat (ke pusat refleks)
o       Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia grisea), tempat terjadinya
sinap ((hubungan antara neuron dengan neuron dimana terjadi pemindahan /penerusan impuls)
o       Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel efektornya berupa
otot, maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf /penggerak)
o       Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban refleks. Dapat berupa sel
otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel kelenjar.
 Sistem Saraf Tepi
Kumpulan neuron diluar jaringan otak dan medula spinalis membentuk sistem saraf tepi (SST). Secara
anatomik digolongkan ke dalam saraf-saraf otak sebanyak 12 pasang dan 31 pasang saraf spinal. Secara
fungsional, SST  digolongkan ke dalam: a) saraf sensorik (aferen) somatik : membawa informasi dari
kulit, otot rangka dan sendi, ke sistem saraf pusat, b) saraf motorik (eferen) somatik : membawa
informasi dari sistem saraf pusat ke otot rangka, c) saraf sesnsorik (eferen) viseral : membawa informasi
dari dinding visera ke sistem saraf pusat, d) saraf mototrik (eferen) viseral : membawa informasi dari
sistem saraf pusat ke otot polos, otot jantung dan kelenjar. Saraf eferen viseral disebut juga sistem saraf
otonom. Sistem saraf tepi terdiri atas saraf otak (s.kranial) dan saraf spinal.
 Saraf Otak (s.kranial)
Bila saraf spinal membawa informasi impuls dari perifer ke medula spinalis dan membawa impuls
motorik dari medula spinalis ke perifer, maka ke 12 pasang saraf kranial menghubungkan jaras-jaras
tersebut  dengan batang otak. Saraf cranial sebagian merupakan saraf campuran artinya memiliki saraf
sensorik dan saraf motorik
 Saraf Spinal
Tiga puluh satu pasang saraf spinal keluar dari medula apinalis dan kemudian dari kolumna vertabalis
melalui celah sempit antara ruas-ruas tulang vertebra. Celah tersebut dinamakan foramina
intervertebrelia. Seluruh saraf spinal merupakan saraf campuran karena mengandung serat-serat eferen
yang membawa impuls baik sensorik maupun motorik. Mendekati medula spinalis, serat-serat eferen
memisahkan diri dari  serat –serat eferen. Serat eferen masuk ke medula spinalis membentuk akar
belakang (radix dorsalis), sedangkan serat eferen keluar dari medula spinalis membentuk akar depan
(radix ventralis). Setiap segmen medula spinalis memiliki sepasang saraf spinal, kanan dan kiri. Sehingga
dengan demikian terdapat 8 pasang saraf spinal servikal, 12 pasang saraf spinal torakal, 5 pasang saraf
spinal lumbal, 5 pasang saraf spinal sakral dan satu pasang saraf spinal koksigeal. Untuk kelangsungan
fungsi integrasi, terdapat neuron-neuron penghubung disebut interneuron yang tersusun sangat bervariasi
mulai dari yang sederhana satu interneuron sampai yang sangat  kompleks  banyak interneuron. Dalam
menyelenggarakan fungsinya, tiap saraf spinal melayani suatu segmen tertentu pada kulit, yang disebut
dermatom. Hal ini hanya untuk fungsi sensorik. Dengan demikian gangguan sensorik pada dermatom
tertentu dapat memberikan gambaran  letak kerusakan.
 Sistem Saraf Somatik
Dibedakan 2 berkas saraf  yaitu saraf eferen somatik dan eferen viseral. Saraf eferen somatik : membawa
impuls motorik ke otot rangka yang menimbulkan gerakan volunter  yaitu gerakan yang dipengaruhi
kehendak. Saraf eferen viseral : membawa impuls mototrik ke otot polos, otot jantung dan kelenjar yang
menimbulkan gerakan/kegiatan involunter (tidak dipengaruhi kehendak). Saraf-saraf eferen viseral
dengan ganglion tempat sinapnya dikenal dengan sistem saraf otonom yang keluar dari segmen medula
spinalis torakal 1 – Lumbal 2 disebut sebagai divisi torako lumbal (simpatis). Serat eferen viseral terdiri
dari eferen preganglion dan eferen postganglion. Ganglion sistem saraf simpatis membentuk mata rantai
dekat kolumna vertebralis yaitu sepanjang sisiventrolateral kolumna vertabralis, dengan serat
preganglion yang pendek dan serat post ganglion yang panjang. Ada tiga ganglion simpatis yang tidak
tergabung dalam ganglion paravertebralis yaitu ganglion kolateral yang terdiri dari ganglion seliaka,
ganglion mesenterikus superior dan ganglion mesenterikus inferior. Ganglion parasimpatis terletak relatif
dekat kepada alat yang disarafinya bahkan ada yang terletak didalam organ yang dipersarafi.
Semua serat preganglion baik parasimpatis maupun simpatis serta semua serat postganglion parasimpatis,
menghasilkan asetilkolin sebagai zat kimia perantara. Neuron yang menghasilkan asetilkolin sebagai zat
kimia perantara dinamakan neuron kolinergik sedangkan neuron yang menghasilkan nor-adrenalin
dinamakan neuron adrenergik. Sistem saraf parasimpatis dengan demikian dinamakan juga sistem saraf
kolinergik, sistem saraf simpatis sebagian besar merupakan sistem saraf adrenergik dimana
postganglionnya menghasilkan nor-adrenalin dan sebagian kecil berupa sistem saraf kolinergik  dimana 
postganglionnya menghasilkan asetilkolin. Distribusi anatomik sistem saraf otonom ke alat-alat visera,
memperlihatkan  bahwa terdapat keseimbangan pengaruh simpatis dan parasimpatis pada satu alat.
Umumnya tiap alat visera dipersarafi oleh keduanya. Bila sistem simpatis yang sedang meningkat, maka
pengaruh parasimpatis terhadap alat tersebut kurang tampak, dan sebaliknya. Dapat dikatakan pengaruh
simpatis terhadap satu alat berlawanan dengan pengaruh parasimpatisnya. Misalnya peningkatan simpatis
terhadap jantung mengakibatkan kerja jantung meningkat, sedangkan pengaruh parasimpatis
menyebabkan kerja jantung menurun. Terhadap sistem pencernaan, simpatis mengurangi kegiatan,
sedangkan parasimpatis meningkatkan kegiatan pencernaan. Atau dapat pula dikatakan, secara umum
pengaruh parasimpatis adalah anabolik, sedangkan pengaruh simpatis adalah katabolik.
Sirkulasi Darah pada Sistem Saraf Pusat
Sirkulasi darah pada sistem saraf terbagi atas sirkulasi pada otak dan medula spinalis. Dalam keadaan
fisiologik jumlah darah yang dikirim ke otak  sebagai blood flow cerebral adalah 20% cardiac out put
atau 1100-1200 cc/menit untuk seluruh jaringan otak yang berat normalnya 2% dari berat badan orang
dewasa. Untuk mendukung tercukupinya suplai oksigen, otak mendapat sirkulasi yang didukung oleh
pembuluh darah besar.
Suplai Darah Otak
1.   Arteri Carotis Interna kanan dan kiri
–        Arteri communicans posterior
Arteri ini menghubungkan arteri carotis interna dengan arteri  cerebri posterior
–        Arteri choroidea anterior, yang nantinya membentuk plexus choroideus di dalam ventriculus
lateralis
–        Arteri cerebri anterrior
            Bagian ke frontal disebelah atas nervus opticus diantara belahan otak kiri dan  kanan. Ia kemudian
akan menuju facies medialis lobus frontalis cortex cerebri. Daerah yang diperdarahi arteri ini
adalah: a) facies medialis lobus frontalis cortex cerebro, b) facies medialis lobus parietalis, c)
facies convexa lobus frontalis cortex cerebri, d) facies convexa lobus parietalis cortex cerebri, e)
Arteri cerebri media
–        Arteri cerebri media
2.   Arteri Vertebralis kanan dan kiri
Arteri Cerebri Media
Berjalan lateral melalui fossa sylvii dan kemudian bercabang-cabang untuk selanjutnya menuju daerah
insula reili. Daerah yang disuplai darah oleh arteri ini adalah Facies convexa lobus frontalis coretx
cerebri mulai dari fissura lateralis sampai kira-kira sulcus frontalis superior, facies convexa lobus
parielatis cortex cerebri mulai dari fissura lateralis sampai kira-kira sulcus temporalis media dan facies
lobus temporalis cortex cerebri pada ujung frontal.
Arteri Vertebralis kanan dan kiri
Arteri vertebralis dipercabangkan oleh arteri sub clavia. Arteri ini berjalan ke kranial melalui foramen
transversus vertebrae ke enam sampai pertama kemudian membelok ke lateral masuk ke dalam foramen
transversus magnum menuju cavum cranii. Arteri ini kemudian berjalan ventral dari medula oblongata
dorsal dari olivus, caudal dari tepi caudal pons varolii. Arteri vertabralis kanan dan kiri akan bersatu
menjadi arteri basilaris yang kemudian berjalan frontal untuk akhirnya bercabang menjadi dua yaitu
arteri cerebri posterior kanan dan kiri. Daerah yang diperdarahi oleh arteri cerbri posterior ini adalah
facies convexa lobus temporalis cortex cerebri mulai dari tepi bawah sampai setinggi sulcus temporalis
media, facies convexa parietooccipitalis, facies medialis lobus occipitalis cotex cerebri dan lobus
temporalis cortex cerebri. Anastomosis antara arteri-arteri cerebri berfungsi utnuk menjaga agar aliran
darah ke jaringan otak tetap terjaga secara continue. Sistem carotis yang berasal dari arteri carotis interna
dengan sistem vertebrobasilaris yang berasal dari arteri vertebralis, dihubungkan oleh circulus arteriosus
willisi  membentuk Circle of willis yang terdapat pada bagian dasar otak. Selain itu terdapat anastomosis
lain yaitu antara arteri cerebri media dengan arteri cerebri anterior, arteri cerebri media dengan arteri
cerebri posterior.
                                        
Suplai Darah Medula Spinalis
Medula spinalis mendapat dua suplai darah dari dua sumber yaitu:          1)  arteri Spinalis anterior yang
merupakan percabangan arteri vertebralis, 2) arteri Spinalis posterior, yang juga      merupakan
percabangan arteri vertebralis.
 Antara arteri spinalis tersebut diatas terdapat banyak anastomosis sehingga merupakan anyaman plexus
yang mengelilingi medulla spinalis dan disebut vasocorona. Vena di dalam otak tidak berjalan bersama-
sama arteri. Vena jaringan otak bermuara di jalan vena yang terdapat pada permukaan otak dan dasar
otak. Dari anyaman plexus venosus yang terdapat di dalam spatum subarachnoid darah vena dialirkan
kedalam sistem sinus venosus yang terdapat di dalam durameter diantara lapisan periostum dan selaput
otak.
 Cairan Cerebrospinalis  (CSF)
Cairan cerebrospinalis atau banyak orang terbiasa menyebutnya cairan otak merupakan bagian yang
penting di dalam SSP yang salah satu fungsinya mempertahankan tekanan  konstan dalam kranium.
Cairan ini  terbentuk di Pleksus chroideus ventrikel otak, namun bersirkulasi disepanjang rongga sub
arachnoid dan ventrikel otak. Pada orang dewasa volumenya berkisar 125 cc, relatif konstan dalam
produksi dan absorbsi. Absorbsi  terjadi disepanjang sub arachnoid oleh vili arachnoid. Ada empat buah
rongga  yang saling berhubungan yang disebut ventrikulus cerebri  tempat pembentukan cairan ini yaitu:
1) ventrikulus lateralis , mengikuti hemisfer cerebri, 2) ventrikulus lateralis II, 3) ventrikulus tertius III
dtengah-tengah otak, dan 4) ventrikulus quadratus IV, antara pons varolli dan medula oblongata.
 Ventrikulus lateralis berhubungan dengan ventrikulus tertius melalui foramen monro. Ventrikulus tertius
dengan ventrikulus quadratus melalui foramen aquaductus sylvii yang terdapat di dalam mesensephalon.
Pada atap ventrukulus quadratus bagian tengah kanan dan kiri terdapat lubang yang disebut foramen
Luscka dan bagian tengah terdapat lubang yang disebut foramen magendi. Sirkulasi cairan otak sangat
penting dipahami karena bebagai kondisi patologis dapat terjadi akibat perubahan produksi dan sirkulasi
cairan otak. Cairan otak yang dihasilkan oleh flexus ventrikulus lateralis kemudian masuk kedalam
ventrikulus lateralis, dari ventrikulus lateralis kanan dan kiri cairan otak mengalir melalui foramen
monroi ke dalam ventrikulus III dan melalui aquaductus sylvii masuk ke ventrikulus IV. Seterusnya
melalui foramen luscka dan foramen megendie masuk kedalam spastium sub arachnoidea kemudian
masuk ke lakuna venosa dan selanjutnya masuk kedalam aliran darah.
Guillan Barre Syndrome
Posted on Februari 24, 2009 by idmgarut
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic
Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan
menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang
didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel
saraf.
Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending
Paralysis).
Etiologi
Kondisi yang khas adalah adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada ekstremitas
yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat
data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun.
Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh
infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV,
Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh
Campylobacter jejuni.
Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu sebelum
onset, antara lain :
- Peradangan saluran napas bagian atas
- Vaksinasi
- Diare
- Kelelahan
- Peradangan masa nifas
- Tindakan bedah
- Demam yang tidak terlalu tinggi
Patofisiologi
Sistem imunitas tubuh normalnya menyerang benda dan organisme asing, tetapi pada penyakit Guillain
Barre Syndrome (GBS), sistem imunitas malah menyerang sel saraf yang membawa impuls ke otak,
sehingga pelindung serabut saraf (serabut myelin) menjadi rusak dan mempengaruhi proses penjalaran
impuls sehingga menyebabkan kelemahan, keadaan mati rasa, ataupun kelumpuhan (paralisis).
Serabut myelin merupakan membran yang berlapis yang mengelilingi dan membungkus serabut saraf.
Serabut myelin ini terdiri dari lipid, termasuk sfingomielin dan gangliosid.
Guillain-Barré syndrome
Gambar 1. Serabut Saraf Normal
Gambar 2. Damaged Myelin
Gambar 3. Patofisiologi
Pada GBS, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh
mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin
ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan
lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri
patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk
gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan
adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan
menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
Gejala Klinik
Gejala dari penyakit GBS ini terjadi sangat cepat dan juga cepat memburuk. Adanya penurunan dari
proses myelinisasi dari serabut saraf mengakibatkan terjadinya kelumpuhan otot dan hilangnya sensasi.
Pada awalnya, gejala akan dirasakan terutama di daerah tungkai. Selanjutnya kelemahan dan adanya rasa
nyeri akan menyebar ke seluruh tubuh terutama di bagian ekstremitas dan punggung bawah. Semakin
besar serabut myelin yang hilang karena kerusakan yang terjadi, semakin buruk gejala yang timbul. Pada
akhirnya kedua lengan dan kedua tungkai akan mengalami kelumpuhan hanya dalam beberapa hari.
Gejala klinik timbul secara mendadak atau perlahan-lahan dalam waktu beberapa jam sampai 2-4
minggu, biasanya setelah adanya infeksi gastrointestinal atau gangguan pernapasan. Masa prosresifitas
tidak lebih dari 4 minggu.
Leneman (1966) dan Ravn (1967) membagi penderita GBS ke dalam 2 golongan, yaitu :
1. Kasus Primer
Gejala klinis yang timbul tanpa didahului atau disertai keadaan atau penyakit.
2. Kasus Sekunder
Gejala klinis timbul setelah didahului atai disertai suatu keadaan atau penyakit.
Keadaan atau penyakit yang menyertai :
1. Infeksi virus
2. Infeksi bakterial
3. Tindakan operasi
4. Pengobatan dengan demam
5. Proses keganasan
6. Kehamilan dan masa nifas
7. Vaksinasi
8. Penyakit lain :
- Alkoholisme dan penyakit hati
- Hipertiroid dan disfungsi adrenal
- Myasthenia gravis
- Sengatan serangga
Keluhan dan gejala awal tersering yang didapatkan adalah :
- Paresthesi
- Hipesthesi
- Kelumpuhan dan nyeri
Gejala Neurologis Maksimal
1. Gangguan Fungsi Motorik
Kelumpuhan otot dengan derajat kelumpuhan yang luas, mulai dari ataksia sampai kelumpuhan total.
2. Gangguan Saraf Kranialis
- Hampir seluruh saraf kranialis terkena kecuali N.I dan VIII.
- Sering terkena adalah N.VII (bilateral)
- N. IX dan X menyebabkan gangguan menelan dan berbicara
- N.III, IV, dan VI menyebabkan oftalmoplegia
3. Gejala Gangguan Sensibilitas
Lebih sering didapatkan pada anggota badan bagian bawah dibandingkan dengan anggota badan bagian
atas dan distribusinya seperti sarung tangan dan kaus kaki (Glove-Stocking Phenomena).
4. Gangguan Fungsi Otonom
- Sekresi air liur, kelenjar keringat, bronkus
- Gangguan fungsi spingter
- Gangguan fungsi vasomotor
- Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Diagnosis
A. Gambaran yang diperlukan untuk diagnosa
- Kelemahan motorik secara progresif pada kedua lengan atau kedua tungkai
- Arefleksia; hilangnya refleks tendo yang biasanya menyeluruh
B. Gambaran yang menyokong diagnosa
- Progresifitas gejala dari beberapa hari sampai 4 minggu
- Relatif simetris
- Keluhan dan gejala sensibilitas ringan
- Saraf otak terkena; hampir 50% N.VII terkena dan sering bilateral. Saraf otak lainnya juga dapat
terkena terutama saraf untuk lidah dan menelan.
- Penyembuhan dimulai dari 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, penyembuhan umumnya
fungsionil dapat kembali
- Gangguan otonom; takikardia dan aritmia jantung, hipotensi
- Afebril pada saat onset
- Tingginya kadar protein dalam LCS tetapi kurang dari 10 x 106/L
- Variasi gambaran elektrodiagnostik
C. Gambaran yang tidak menyokong diagnose
- Terdapat riwayat infeksi diphteri disertai atau tanpa miokarditis dalam waktu hampir bersamaan
- Gambaran klinis yang sesuai dengan keracunan timah hitam atau lead neuropathy (kelumpuhan lengan
dengan wrist drop, asimetris)
- Hilangnya sensasi yang murni tanpa adanya kelumpuhan
Diagnosis Banding
- Poliomielitis
- Mielitis Akut
- Neuropati Akut (diphteri, porfiria, intoksikasi obat)
- Hipokalemia
Tabel 1. Diagnosa Banding
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
- LED; umumnya normal atau sedikit meningkat
- Leukosit; umumnya dalam batas normal
- Hemoglobin; normal
2. Pemeriksaan cairan Serebrospinal
Kadang-kadang ditemukan protein yang meninggi tetapi jumlah sel masih dalam batas normal (disosiasi
sitoalbuminik).
3. EKG
- Gelombang T yang mendatar atau terbalik
- Peninggian kompleks QRS
- Deviasi sumbu ke kiri
- Penurunan segmen ST
- Memanjangnya interval QT
- Kelainan ini dapat terjadi pada keadaan tekanan darah normal dan tidak ada hubungannya dengan
derajat kelumpuhan.
4. EMG
Gangguan konduksi serta perubahan pola kontraksi otot.
Terapi
Dikarenakan etiologi yang belum jelas, sehingga pengobatan biasanya bersifat simptomatis dan suportif.
a. Terapi Suportif (Umum)
- Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi
- Pasang NGT
- Monitor EKG
- Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat gerak, menjaga
fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan
- Fisioterapi pasif setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot.
b. Terapi Simptomatis (Khusus)
- Plasmaphoresis
Pertukaran plasma yang ditujukan untuk membuang antibodi yang rusak. Tindakan ini dipercaya dapat
membebaskan plasma darah dari antibodi yang rusak yang menyerang sistem saraf tepi.
- Imunoglobulin intravena
Immunoglobulin donor mengandung antibodi yang sehat. Dosis tinggi dapat mengurangi jumlah antibodi
yang sudah rusak.
- Kortikosteroid
Belum terbukti manfaatnya. Interferonβ pernah dilaporkan pada beberapa kasus tetapi efisiensi dan
efikasinya belum teruji secara klinis.
Prognosis
Pada umumnya mempunyai prognosa yang baik, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal
atau mempunyai gejala sisa.
- 65% penderita mengalami penyembuhan hampir sempurna dengan defisit yang minimal
- 15% penderita mengalami penyembuhan neurologis yang sempurna
- 5-10% mempunyai disabilitas yang permanen
- 5-8% kematian
Prognosa akan semakin buruk bila :
- Umur > 60 tahun
- Progresifitas menjadi quadriparesis < 7 hari
- Membutuhkan bantuan ventilator
Pada sebagian besar penderita anak-anak akan mempunyai gejala sisa bila penyembuhan baru terjadi
setelah 18 hari dan timbul gejala neurologis maksimal.
SINDROMA GUILLAIN-BARR� (SGB)
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak � FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
BATASAN
Sinonimnya: Guillain-Barr� Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
(AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis adalah kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi. Sering
disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului oleh infeksi
virus.
PATOFISIOLOGI
Adanya infeksi virus menyebabkan penurunan kadar supresor sel-T sehingga kadar sel-T, sel-B dan
limfosit meningkat. Kemudian sel limfosit dan makrofag melakukan infiltrasi ke dalam membran basalis
serabut saraf sehingga menimbulkan kerusakan mielin dan degenerasi Wallerian, yang kemudian
menimbulkan inflamasi saraf tepi terutama di daerah radiks saraf.
Beberapa pemicu patogen terjadinya SGB antara lain: virus Epstein-Barr, virus sitomegalo, hepatitis,
varisela, Mycoplasma pneumonia dan Campylobacter jejuni.
Dugaan bahwa imunitas selular atau humoral berperan dalam kerusakan mielin masih merupakan
kontroversi.
CD4+ helper-inducer T-cell merupakan mediator penting terjadinya SGB. Antigen spesifik seperti myelin
P-2, ganglioside GQ1b, GM1, dan GT1a diduga ikut berperan dalam proses penyakit.
Ada 2 bentuk SGB, yaitu:
1. Tipe demyelinating
Terjadi demielinisasi segmental saraf tepi yang disebabkan oleh infiltrasi sel-sel radang
2. Tipe axonal
Terjadi degenerasi akson tanpa proses demielinisasi atau peradangan
GEJALA KLINIS
�        Kelumpuhan akut, simetris dan ascending
�        Nyeri dan gangguan sensori
�        Hipotensi ortostatik
�        Pengeluaran keringat abnormal
�        Takikardia
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
 Anamnesis:
o Riwayat infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya
o Retensi urin (10-15%)
o Nyeri (50%), sehingga anak menjadi rewel dan irritable
 Pemeriksaan fisik:
o Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB).
o Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama. Dan kelemahan ini dapat
mengenai otot-otot pernafasan hingga membutuhkan respirator.
o Instabilitas otonom (26%). Berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis
dan parasimpatis dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil,
pengeluaran keringat abnormal dan takikardia.
o Ataksia (23%)
o Gangguan saraf kranial (35-50%)
�        Pemeriksaan laboratorium:
Cairan Serebro Spinal (CSS): hasil analisa CSS normal dalam 48 jam pertama, kemudian
diikuti kenaikan kadar protein CSS pada minggu II tanpa atau disertai sedikit kenaikan lekosit
(albuminocytologic dissociation).
�        Pemeriksaan elektrofisiologi:
EMG dan Nerve Conduction Velocity (NCV):
o Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%), prolong distal
latencies (75%), blok pada konduksi (58%) dan penurunan kecepatan konduksi (50%).
o Minggu II: terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%)
dan penurunan kecepatan konduksi (84%).
�        Pemeriksaan radiologi:
MRI: Sebaiknya MRI dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan
MRI dengan menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan
kontras di daerah lumbosakral terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB
adalah 83%.
 DIAGNOSIS BANDING
 Poliomielitis
 Miositis akut
 Lesi medula spinalis
PENATALAKSANAAN
1. Intravenous Imunoglobulin (IVIG) 0,4 g/KgBB/hari IV, selama 5 hari. Perbaikan klinis mulai
tampak setelah hari ke 2-3. Terapi ini dapat menurunkan beratnya penyakit dan mempersingkat
lamanya sakit.
2. Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia,
perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
3. Dexamethasone 0,5 mg/Kg/hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial).
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama.
5. Alat bantu pernafasan (respirator): apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan.
 KOMPLIKASI
 Konstipasi (40%)
 Aritmia (30%)
 Hipertensi (10-30%)
 Pnemoni ortostatik
 Syndrome inapropriate antidiuretic hormone (SIADH) (3%)
 Dekubitus
 Kontraktur
PROGNOSIS
Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa dropfoot atau
tremor postural (25-36%).
Pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat prognosisnya jelek dengan angka kematian 1-5% dan
kematian biasanya disebabkan karena gagal nafas.
Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic
Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP)
DAFTAR PUSTAKA
1.      Abd-Allah SA, Jansen PW, Ashwal S ; Intravenous immunoglobulin as therapy for pediatric
Guillain-Barre syndrome. J Child Neurol, 1997 ; 12 : 376-380.
2.      Hughes RA. Rees JH : Clinical and epidemiological features of Guillain-Barre syndrome. J Infect
Dis 1997 ; 176 : S92-8.
3.      Jones HR : Childhood Guillain-Barre syndrome : clinical presentation, diagnosis and therapy. J
Child Neurol 1996 ; 11 : 4-12.
4.      Korinthenberg R, Monting JS : Natural history and treatment effects in Guillain-Barre syndrome : a
multicentre study. Arch Dis Child 1996 ; 74 : 281-7.
5.      Prevots DR, Sutter RW : Assessment of Guillain-Barre syndrome mortality and morbidity in the
United States : implications for acute flaccid paralysis surveillance. J Infect Dis 1997 ; 175 : S151.
6.      Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan pedoman diagnosis &
terapi, Neurologi anak.
   TRAUMA CLASIFICATIONS 
 Mechanism of injury
 Flexion
 Hyperextension
 Flexion – rotation
 Compression
 
 Level of injury
 Cervical
 Thoracal
 Lumbar
 Sacral
 
 Degree of injury
 Complete cord lesion
 Incomplete cord lesion
 CLINICAL MANIFESTATIONS 
Quadriplegia
 C1-C3: usually fatal injury, vagus nerve domination of heart, respiration, blood vessels, all organs
below injury 
 C4-C8: Vagus nerve domination of hearth,respirations, and all vessel and organ below injury 
CLINICAL MANIFESTATIONS 
Paraplegia
T1-T6: Sympathetic inervation to hearth, Vagus nerve domination of hearth,respirations, and all vessel
and organ below injury
 T6-T12: Vagus nerve domination only of leg vessels,GI & Genitourinary organs
 L1-L2: Vagus nerve domination of leg vessels
 L3-L4: Partial Vagus nerve domination of leg vessels, GI & Genitourinary organs 
CLINICAL MANIFESTATIONS 
 Lesi S1-S5
Terdapat perubahan posisi dari telapak kaki, tidak ada paralisis tapi kemungkinan kehilangan
sensasi area sadel, skrotum, dan gland penis, perineum area anal, dan 1/3 atas aspek posterior
paha 
EMERGENCY MANAGEMENT 
Initial
 Ensure patient airway
 Stabilize cervical spine
 Administer oxygen
 Establish IV line
 Asses for other injuries
 Control external bleeding
 CT scan
 Prepare for stabilization (cranial tongs or traction)
 Administer high-dose methylprednisolone 
EMERGENCY MANAGEMENT Cont… 
On Going Monitoring
 Monitoring vital signs, level of consciousness, oxygen saturation, cardiac rhythm, urine output
 Keep warm
 Monitor for urinary retention, hypertension
 Anticipate need for intubation if gag reflex absent 
Penatalaksanaan 
 Penatalaksanaan Medis
o Stabilitas Hemodinamik
o Dekompresi & Imobilisasi medula
o Penatalaksanaan pernafasan
o Nutrisi
o Mobilisasi dini
o Tindakan terhadap ileus paralitik
o Penatalaksaan perkemihan
o Obat-obatan
Penatalaksanaan 
 Penatalaksanaan kolaboratif
o Imobilisasi Spinal
o Kontrol suhu
o Pencegahan trombosis vena dalam
o Penatalaksanaan perkemihan
o Dukungan psikologis
 Penatalaksanaan 
 Penatalaksanaan Keperawatan
o Penatalaksanaan pernafasan
o Latihan usus
o Perawatan kulit
o Pemberian obat
o Latihan kandung kemih
o Seksualitas dan konsep diri
 NURSING CARE PLAN 
NURSING DIAGNOSIS 
 Impaired gas exchange related to muscle fatigue & retained secretions
 Inability to sustain spontaneous ventilation r.t. diaphragmatic fatigue or paralysis
 Decreased cardiac output r.t. venous pooling of blood and immobility
 Impaired skin integrity r.t. immobility & poor tissue perfusion
 Constipation r.t. the injury, inadequate fluid intake, diet low in roughage, & immobility
 NURSING DIAGNOSIS 
 Urinary retention r.t. injury & limited fluid intake
 Impaired physical mobility r.t. spinal cord injury, vertebral column instability, or forced
immobilization by traction
 Risk for autonomic dysreflexia r.t. reflex stimulation of sympathetic nervous system
 Altered nutrition: less than body requirements r.t. increased metabolic demand & inability to eat
independently
 Sexual dysfunction r.t. inability to achieve erection or perceive pelvic sensation & lack of
knowledge of alternate means of achieving sexual satisfaction
 NURSING DIAGNOSIS 
 Risk for injury r.t. sensory deficit & lack of self protection abilities
 Altered family process r.t. change in function of ill family member
 Risk for ineffective individual coping r.t. loss of control over bodily functions & altered lifestyle
secondary to paralysis
 Body image disturbance r.t. paralysis
 Th.10
L2
 Posisi fr lumbal
 PEMERIKSAAN FISIK 
NEUROLOGIS
PADA SPINAL CORD INJURY (SCI)
Definisi 
Tetraplegia
 Kerusakan atau hilangnya fungsi motorik dan/atau sensorik pada segmen servikal karena
kerusakan elemen saraf dalam kanalis spinalis. Tetraplegia berakibat kerusakan pada fungsi
ekstremitas atas, tubuh, ekstremitas bawah dan organ pelvis. Kerusakan tidak termasuk lesi pada
pleksus brakialis atau cedera nervus perifer di luar kanalis spinalis.
 Paraplegia
 Kerusakan atau hilangnya fungsi motorik dan/atau sensorik pada segmen torakal, lumbal atau
sakral (selain servikal), sekunder dari kerusakan elemen saraf di dalam kanalis spinalis.
 Dermatom
 Area kulit yang dipersarafi oleh akson sensorik pada tiap segmen saraf ( radiks). 
Miotom
 Kumpulan serabut otot yang dipersarafi oleh akson motorik pada tiap segmen saraf ( radiks).
 Level neurologis, Level sensorik dan Level motorik 
 Level neurologis
 Segmen terbawah pada medula spinalis dengan fungsi sensorik dan motorik normal pada kedua
sisi tubuh.
 Level sensorik
 Segmen terbawah dari medula spinalis dengan fungsi sensorik normal pada kedua sisi tubuh. 
    Menentukan tingkat lesi dengan memeriksa titik2 sensorik pada 28 dermatom pada sisi kanan dan 28
dermatom pada sisi kiri tubuh
 Titik berikut harus dites pada kedua sisi. Tanda bintang menunjukkan bahwa titik tersebut berada di
garis mid-klavikula: 
C.2 Protuberensia oksipitalis
C.3 Fossa supraklavikula
C.4 Puncak dari sendi akromioklavikular
C.5 Sisi lateral fossa antekubital
C.6 Ibu jari
C.7 Jari tengah
C.8 Jari kelingking
T.1 Sisi medial fossa antekubital
T.2 Puncak aksila
T.3 Sela iga ke-3)*
T.4 Sela iga ke-4 ( linea mamaria)*
T.5 Sela iga ke-5*
T.6 Sela iga ke-6 (prosesus xifoideum)*
T.7 Sela iga ke-7*
T.8 Sela iga ke-8*
T.9 Sela iga ke-9*
T.10 Sela iga ke-10 ( umbilicus)*
T.11 Sela iga ke-11*
T.12 Pertengahan inguinal
L.1 Pertengahan antara T12 –L2
L.2 Pertengahan paha sisi anterior
L.3 Medial kondilus medial
L.4 Maleolus medialdorsum pedis pada
MTP 3
S.1 Tumit lateral
S.2 Pertengahan fosa popliteal
S.3 tuberositas ischium
S.4 – 5 area perianal 
Level motorik
 Segmen terbawah dari medula spinalis dengan fungsi motorik normal pada kedua sisi tubuh.
     Otot kunci pada 10 miotom pada sisi kanan dan 10 miotom pada sisi kiri tubuh. 
 
Kekuatan tiap otot dibagi berdasarkan skala 6 poin 
0 = paralysis total
1 = dapat teraba atau terlihat ada kontraksi
2 = gerakan aktif, lingkup gerak sendi penuh, tetapi tidak bisa melawan gravitasi.
3 = gerakan aktif, LGS penuh, dapat melawan gravitasi.
4 = gerakan aktif , LGS penuh dapat melawan tahanan sedang
5 = gerakan aktif , LGS penuh, dapat melawan tahanan penuh.
NT = not testable
 Berikut ini adalah otot-otot yang harus diperiksa dan dinilai berdasarkan skala di atas. Otot-otot ini
dipilih, karena secara konsisten dipersarafi oleh segmen saraf spinal yang akan diperiksa dan dapat
diperiksa dengan mudah dalam situasi klinis. Dalam hal ini pasien harus berada pada posisi berbaring
telentang. 
C5 – fleksor siku ( biceps, brachialis)
C6 – ekstensor pergelangan tangan ( extensor carpi radialis longus dan brevis)
C7 – ekstensor siku (triceps)
C8 – fleksor jari-jari (flexor digitorum profundus) jari tengah
T1 – abduktor jari kelingking (abductor digiti minimi)
L2 – fleksor panggul ( iliopsoas)
L3 – ekstensor lutut (quadriceps)
L4 – dorsofleksor pergelangan kaki ( tibialis anterior)
L5 – ekstensor jari tengah kaki (extensor hallucis longus)
S1 – plantarfleksor pergelangan kaki ( Gastrocnemius , soleus)
 
Motor 
key muscle 
Finger abduktor (kelingking) 
T1 
Finger flexsor (tengah) 
 
C8 
Elbow extensor 
 
C7 
Wrist extensor 
 
C6 
Elbow fleksor 
 
C5 


UE 
JUMLAH TOTAL : 50
 
Motor 
key muscle 
Angkel plantar flexsor 
S1 
Long toe extensor 
L5 
Angkel dorso flexsor 
L4 
Knee extensor  
L3 
Hip flexsor 
L2 


LE 
JUMLAH TOTAL : 50
 Level skeletal:
 Ditentukan melalui pemeriksaan radiologis, dengan melihat korpus vertebra mana yang paling
kerusakan paling berat.
  Spondilitis TB L 4-5 
AP 
L
 MRI Spondilitis TB L 4-5
 Cedera inkomplit
    Bila masih ada sensorik dan/ atau motorik yang masih berfungsi parsial dan meliputi segmen sacral
terbawah, maka cedera dikatakan inkomplit. Sensasi sacral termasuk pada sensasi pada mukokutan anus
begitu pula sensasi dalam anus. Tes fungsi motorik berupa adanya kontraksi volunter pada sfingter ani
eksterna pada palpasi. 
Cedera komplit
    CMS dikatakan komplit bila tidak ada fungsi sensorik dan motorik pada segmen sacral terbawah.
  
PEMERIKSAAN  
Any Anal sensation ( AAS) dan  
Voluntery Anal Contraction (VAC) 
 Tujuannya
    untuk menentukan komplit atau inkomplit dari cedera spinal cord yang dialami oleh pasien
 CARANYA  
 Atur posisi pasien yang paling nyaman (berbaring miring ke kiri )
 Perawat menginformasikan pada pasien akan dilakukan colok dubur dengan jari perawat
 Kemudian rasakan apakah ada gerakan konstriksi dari pada anus yang terasa pada jari perawat
bila terjadi reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan sensasi (+) dan bila tidak ada reflek konstriksi
pada anal hal ini dinyatakan sensasi negatif (-) 
 Kemudian instruksikan pasien untuk menjepit jari perawat …perawat merasakan apakah ada
jepitan atau tidak bila ada jepitan pada anal hal ini dinyatakan voluntery konstriksi (+), dan bila tidak ada
jepitan pada anal hal ini dinyatakan voluntery konstriksi (-) 
 Kemudian minta pasien untuk melepas jepitan dan seterusnya
 INTERPRETASI HASIL 
 Bila ada sensasi dan volunteri konstriksi (+) artinya spinal cord injury INKOMPLIT 
 Sebaliknya bila tidak ada sensasi dan volunteri konstriksi (-) artinya spinal cord injury KOMPLIT
 PEMERIKSAAN  
ACR / BCR 
 Pemeriksaan Anal Cutanius Reflec (ACR )
 Pengertian:
    Melakukan pemeriksaan dengan merangsang area anal menggnakan pin prick kemudian akan terjadi
reflek pada anal hal ini dinyatakan ACR (+) dan bila tidak ada reflek pada anal hal ini dinyatakan ACR
(-)  
 Untuk menentukan atau mengidentifiksi adanya spinal syock pada pasien dengan Spinal Cord
Injury
 CARANYA  
 Atur posisi pasien yang paling nyaman
  (berbaring miring atau terlentang dengan kedua kaki ditekuk ke
  arah dada )
 Perawat menginformasikan pada pasien akan dilakukan perangsangan pada daerah anal dengan
pin prick
 Kemudian perhatikan reaksi yang terjadi pada daerah anal akan terjadi reflek konstriksi pada
anal hal ini dinyatakan ACR (+) dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan
ACR (-)
 INTERPRETASI HASIL 
 Bila terjadi reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan ACR (+) artinya pasien tidak pada
keadaan spinal syock 
 Dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan ACR (-) artinya pasien masih
dalam kondisi spinal syock  
 Pemeriksaan Bulbocavernosus Cutanius Reflec (BCR )  
 Pengertian:
    Melakukan pemeriksaan dengan merangsang area glen penis (lk) kelentit (Pr) kemudian akan terjadi
reflek pada anal hal ini dinyatakan BCR (+) dan bila tidak ada reflek pada anal hal ini dinyatakan BCR
(-)  
 Untuk menentukan atau mengidentifiksi adanya spinal syock pada pasien dengan Spinal Cord
Injury 
CARANYA  
 Atur posisi pasien yang paling nyaman (berbaring miring atau terlentang dengan kedua kaki
ditekuk ke arah dada )
 Perawat menginformasikan pada pasien akan dilakukan perangsangan pada daerah penis (Lk),
kelentit (Pr)
 Kemudian perhatikan reaksi yang terjadi pada daerah anal akan terjadi reflek konstriksi pada
anal hal ini dinyatakan BCR (+) dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan BCR (-)
INTERPRETASI HASIL 
 Bila terjadi reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan BCR (+) artinya pasien tidak pada
keadaan spinal syock 
 Dan bila tidak ada reflek konstriksi pada anal hal ini dinyatakan BCR (-) artinya pasien masih
dalam kondisi spinal syock.
 KLASIFIKASI AIS 
Skala berikut digunakan untuk klasifikasi derajat kelainan: 
A = komplit.
Tidak ada fungsi sensorik dan motorik normal pada segmen sakral S2-S4 
B = inkomplit.
Di bawah level neurologik, fungsi sensorik dan segmen sakral S2-S4 yang
normal ( fungsi motorik terganggu) . 
C = inkomplit.
Di bawah level neurologik, fungsi motorik ada,dan kurang dari separuh otot di bawah
tingkat neurologik memiliki kekuatan otot kurang dari 3. 
D = inkomplit.
Fungsi motorik di bawah tingkat neurologik ada dan paling sedikit separuh dari otot
kunci di bawah tingkat neurologik memiliki kekuatan otot lebih atau sama dengan 3. 
E = normal.
Fungsi sensorik dan motorik normal.
 TERIMA KASIH
Meningioma
8:36 AM Posted by Irga
I. PENDAHULUAN
Meningioma adalah tumor pada meninx, yang merupakan selaput pelindung yang melindungi otak dan
medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun medulla
spinalis, tetapi, umumnya terjadi di hemisphere otak di semua lobusnya. Kebanyakan meningioma
bersifat jinak (benign). Meningioma malignant jarang terjadi 1.
Meningioma merupakan neoplasma intracranial nomor 2 dalam urutan frekuensinya yaitu mencapai
angka 20%. Ia lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria terutama pada golongan umur antara 50-
60 tahun dan memperlihatkan kecenderungan untuk ditemukan pada beberapa anggota di satu keluarga.
Korelasi dengan trauma kapitis kurang meyakinkan. Pada umumnya meningioma dianggap sebagai
neoplasma yang berasal dari glioblas di sekitar vili arachnoid. Sel di medulla spinalis yang sebanding
dengan sel tersebut ialah sel yang terletak pada tempat pertemuan antara arachnoid dengan dura yang
menutupi radiks 1.
Tempat predileksi di ruang cranium supratentorial ialah daerah parasagital. Yang terletak di krista
sphenoid, parasellar, dan baso-frontal biasanya gepeng atau kecil bundar. Bilamana meningioma terletak
infratentorial, kebanyakan didapati di samping medial os petrosum di dekat sudut serebelopontin.
Meningioma spinalis mempunyai kecenderungan untuk memilih tempat di bagian T.4 sampai T.8.
Meningioma yang bulat sering menimbulkan penipisan pada tulang tengkorak sedangkan yang gepeng
justru menimbulkan hyperostosis 1.
Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat menimbulkan manifestasi
klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terganggu. Sekitar 40% meningioma
berlokasi di lobus frontalis dan 20% menimbulkan gejala sindroma lobus frontalis. Sindroma lobus
frontalis sendiri merupakan gejala ketidakmampuan mengatur perilaku seperti impulsif, apati,
disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, dan ketidakmampuan mengatur mood 1.
II. EPIDEMOLOGI DAN INSIDEN
Tumor ini mewakili 20% dari semua neoplasma intracranial dan 12 % dari semua tumor medulla
spinalis. Meningioma biasanya jinak, tetapi bisa kambuh setelah diangkat. Tumor ini lebih sering
ditemukan pada wanita dan biasanya muncul pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak tertutup kemungkinan
muncul pada masa kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut.Paling banyak meningioma tergolong
jinak(benign) dan 10 % malignant. Meningioma malignant dapat terjadi pada wanita dan laki-
laki,meningioma benign lebih banyak terjadi pada wanita 2.
III. ETIOLOGI
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan
sebagian besar menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Para
peneliti sedang mempelajari beberapa teori tentang kemungkinan asal usul meningioma. Di antara 40%
dan 80% dari meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal pada lokus gen neurofibromatosis 2
(NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12, ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma
sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang
menjadi meningioma multiple, dan sering terjadi pada usia muda. Disamping itu, deplesi gen yang lain
juga berhubungan dengan pertumbuhan meningioma 3.
Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor. Penyebab kelainan ini tidak
diketahui. Meningioma juga sering memiliki salinan tambahan dari platelet diturunkan faktor
pertumbuhan (PDGFR) dan epidermis reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang mungkin memberikan
kontribusi pada pertumbuhan tumor ini. Sebelumnya radiasi ke kepala, sejarah payudara kanker, atau
neurofibromatosis tipe 2 dapat risiko faktor untuk mengembangkan meningioma. Multiple meningiomas
terjadi pada 5% sampai 15% dari pasien, terutama mereka dengan neurofibromatosis tipe 2. Beberapa
meningiomas memiliki reseptor yang berinteraksi dengan hormon seks progesteron, androgen, dan jarang
estrogen. Ekspresi progesteron reseptor dilihat paling sering pada jinak meningiomas, baik pada pria dan
wanita. Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya dipahami, dan demikian, sering kali menantang bagi
dokter untuk menasihati pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka memiliki
sejarah suatu meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam pertumbuhan meningioma belum
ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat
pada saat kehamilan 2,3.
IV. ANATOMI
Meninx adalah suatu selaput jaringan ikat yang membungkus enchepalon dam medulla spinalis. Terdiri
dari duramater, arachnoid dan piamater, yang letaknya berurutan dari superficial ke profunda. Bersama-
sama,araknoid dan piamater disebut leptomening 4
Dura mater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari lamina meningialis dan
lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis melekat erat pada dinding canalis
vertebralis, menjadi endosteum(=periosteum),sehingga di antara lamina meningialis dan lamina
endostealis terdapat spatium extraduralis(spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak dan
pleksus venosus. Antara dura mater dan archnoid terdapat spatium subdurale yang berisi cairan lymphe.
Pada enchepalon lamina endostealis melekat erat pada permukaan interior cranium, terutama pada sutura,
basis crania dan tepi foramen occipital magnum. Lamina meningialis mempunyai permukaan yang licin
dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan membentuk empat buah septa, yaitu 4;
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebella
3. Falx cerebella
4. Diaphragm sellae
Arachnoid bersama-sama dengan pia mater disebut leptomeninges. Kedua lapisan ini dihubungkan satu
sama lain oleh trabekula arachnoideae.Arachniod adalah suatu selubung tipis, membentuk spatium
subdurale dengan dura mater. Antara archnoid dan pia mater terdapat spatium subarachnoideum yang
berisi liquor cerebrospinalis. Arachnoid yang membungkus basis serebri berbentuk tebal sedangkan yang
membungkus facies superior cerebri tipis dan transparant. Arachnoid membentuk tonjolan-tonjolan kecil
disebut granulation arachnoidea, masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus sagitallis superior 4.
Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri dan diantara folia cerebri.Membentuk tela
chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut reticularis dan elastic,ditutupi oleh pembuluh-
pembuluh darah cerebral. Pia terdiri dari lapisan sel mesodermal tipis seperti endothelium. Berlawanan
dengan arachnoid, membrane ini ini menutupi semua permukaan otak dan medulla spinalis 4.
V. PATOFISIOLOGI
Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal yang belum diketahui dari meningioma.
Tumor otak yang tergolong jinak ini secara histopatologis berasal dari sel pembungkus arakhnoid
(arakhnoid cap cells) yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk. Patofisiologi terjadinya
meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan dalam
tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral 3.
VI. KLASIFIKASI
WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah diketahui, termasuk
meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat pada hasil biopsi yang dilihat di bawah
mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya 7.
a. Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat . Jika tumor tidak menimbulkan gejala, mungkin pertumbuhannya
sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodic. Jika tumor semakin bverkembang, maka pada
akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah dapat direkomendasikan.
Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan tindakan bedah dan observasi yang continue 7.
b. Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih cepat dibandingkan
dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi juga. Pembedahan adalah
penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi setelah
pembedahan 7.
c. Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma malignant atau meningioma
anaplastik. Meningioma malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian meningioma.
Pembedahan adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuri dengan terapi radiasi. Jika
terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi 7.
Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtype berdasarkamn lokasi dari tumor 8.
1. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalah selaputyang terletak
antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh
darah besar. Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx
2. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada permukaan atas otak.
3. Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah belakang mata. Banyak
terjadi pada wanita.
4. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan otak
dengan hidung.
5. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan bawah bagian belakang otak.
6. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar tengkorak
dimana terdapat kelenjar pituitary.
7. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang berumur antara 40 dan 70
tahun. Akan selalu terjadi pda medulla spinbalis setingkat thorax dan dapat menekan spinal cord.
Meningioma spinalis dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling dinding dada,
gangguan kencing, dan nyeri tungkai.
8. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang paa atau di sekitar mata cavum
orbita.
9. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan di seluruh bagian otak.
VII. DIAGNOSA
 Manifestasi klinik
Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor pada otak dan medulla
spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh terganggunay fungsi normal dari bagian khusus dari
otak atau btekanan pada nervus atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma tidak bisa didiagnosa
pada gejala awal 8.
Gejala umumnya seperti 8;
- Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau pada pagi hari.
- Perubahan mental
- Kejang
- Mual muntah
- Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.
Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor 8;
- Meningioma falx dan parasagittal; nyeri tungkai
- Meningioma Convexitas; kejang, sakit kepala, deficit neurologis fokal, perubahan status mental
- Meningioma Sphenoid; kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang, kebutaan, dan
penglihatan ganda.
- Meningioma Olfactorius; kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.
- Meningioma fossa posterior; nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme otot-otot wajah,
berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya berjalan,
- Meningioma suprasellar; pembengkakan diskus optikus, masalah visus
- Spinal meningioma ; nyeri punggung, nyeri dada dan lengan
- Meningioma Intraorbital ; penurunan visus, penonjolan bola mata
- Meningioma Intraventrikular ; perubahan mental, sakit kepala, pusing
 Pemeriksaan Radiologi
Foto polos
Hiperostosis adalah salahsatu gambaran mayor dari meningioma pada foto polos. Dinidikasikan untuk
tumor pada meninx. Tampak erosi tulang dan dekstruksi sinus sphenoidales, kalsifikasi dan lesi litik pada
tulang tengkorak. Pembesaran pembuluh darah meninx menggambarkan dilatasi arteri meninx yang
mensuplai darah ke tumor. Kalsifikasi terdapat pada 20-25% kasus dapat bersifat fokal maupun difus 9.
CT-Scan
CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak meningioma. Tampak
gambran isodense hingga hiperdense pada foto sebelum kontras, dan gambaran peningkatan densitas
yang homogeny pada foto kontras. Tumor juga memberikan gambaran komponen cystic dan kalsifikasi
pada beberapa kasus. Udem peritumoral dapat terlihat dengan jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral
sampai akumulasi cairan dapat terlihat 9.
MRI
MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi meningioma. MRI
memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala tergantung pada lokasi tumor berada 9.
ANGIOGRAFI
Umumnya meningioma merupakan tumor vascular. Dan dapat menimbulkan gambaran “spoke wheel
appearance”. Selanjutnya arteri dan kapiler memperlihatkan gambaran vascular yang homogen dan
prominen yang disebut dengan mother and law phenomenon 10 .
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meningioma terganting darilokasi dan ukuran tumor itu sendiri. Terapi meningioma
masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi
operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan
pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan atau radioterapi.
Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi
tumor. Tindakan operasi tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan
lunak, dan tulang untuk menurunkan kejadian rekurensi 12.
Rencana preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat segera diberikan,
deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari sebelum operasi
dilaksanakan. Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua pasien untuk
organisme stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki aktifitas terhadap
organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk organisme anaerob) ditambahkan apabila
operasi direncanakan dengan pendekatan melalui mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid 12.
Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intracranial 12.
Grade I Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal
Grade II Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura
Grade III Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan dura, atau mungkin perluasan
ekstradural ( misalnya sinus yang terserang atau tulang yang hiperostotik)
Grade IV Reseksi parsial tumor
Grade V Dekompresi sederhana (biopsy)
Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai untuk terapi. External
beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi operasi meningioma
reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan operasi sebelumnya ataupun tidak.
Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi yang sulit, keadaan pasien yang buruk,
atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi, external beam irradiation masih belum menunjukkan
keefektifitasannya. Teori terakhir menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif
pada kasus meningioma yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini
belum banyak dikemukakan 12.
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan komplikasi yang
ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan akibat
radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat
radioterapi 12.
Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an
menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik radioterapi ini semakin
banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui teknik yang
bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co gamma (gamma knife)
atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik
radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi, terutama pada lesi dengan diameter
kurang dari 2,5 cm 12.
Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan
diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat
dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2
tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien yang
diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan tumor sekitar 93 % kasus
dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan
stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 % 12.
Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui efikasinya untuk
terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk rekuren meningioma
atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen
kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan adriamycin)
menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte dan Yung), walaupun regimen tersebut
efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak. Laporan dari Chamberlin pemberian terapi
kombinasi menggunakan cyclophosphamide, adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka
harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5,3 tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea
sedang dalam penelitian. Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan
menginduksi apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu
kasus pemberian hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan
meningioma yang tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang
waktu terjadinya rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang
menimbulkon toksisitas dibanding pemberian dengan kemoterapi 12.
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan meningioma. Preparat
yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti progesteron). Tamoxifen (40
mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah digunakan oleh kelompok
onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit dilakukan reseksi dan refrakter.
Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien,
dan respon minimal atau parsial pada tiga pasien 12.
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200 mg perhari selama 2 hingga 31
bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan perbaikan secara objektif yaitu
sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien dan satu pasien gangguan lapang pandangnya
membaik walaupun tidak terdapat pengurangan massa tumor; terdapat pertumbuhan ulang pada salah
satu pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari kelompok Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang
menunjukkan pertumbuhan tumor berlanjut pada empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan
ukuran yang minimal pada tiga pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan
jumlah sampel yang lebih besar pada meningioma tetapi sampai sekarang belum ada terapi yang menjadi
prosedur tetap untuk terapi pada tumor ini 12.
IX. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang sempurna akan
memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa snrvivalnya relatif lebih tinggi
dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima tahun adalah 75%. Pada anak-anak lebih
agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar. Pada
penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan mengalami keganasan dan
kekambuhannya tinggi 13.
Sejak 18 tahun meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila letaknya mudah dapat diangkat
seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada13:
 invasi dan kerusakan tulang
 tumor tidak berkapsul pada saat operasi
 invasi pada jaringan otak.
Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan teknik
dan pengalaman operasi para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan
angka kematian post operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–1966) adalah8,5%.
Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu perdarahan dan edema otak 13.\
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P. Dalam: Neurologi klinis dasar. : Fakultas Kedokteran Universtas Indonesia;
2003. Hal 393-4.
2. Focusing on tumor meningioma[ cited 2009 November 20]. Availble from:
http://www.abta.org/meningioma.pdf
3. Patogenesis, histopatologi, dan klasifikasi meningioma[cited 2009 November 20]. Availble from:
http://www.neuroonkologi.com/articles/Patogenesis,%20histopatologi%20dan%20klasifikasi
%20meningioma.doc
4. Luhulima JW. Menings. Dalam: Anatomi susunan saraf pusat. Makassar: Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003. Hal.
5. Image of meninx. [cited 2009 November 20]. Available from:www. American Society of Oncology
6. Netter HF, etc. Spinal nerve origin. In: Neuroanatomy and neurophysiology. USA: Icon Custom
Communication: 2002. P. 24
7. Meningiomas. [cited 2009 November 20]. Available from: www. Mayfieldclinic.com
8. Meningioma[cited 2009 November 20]. Available from:. http://www.cancer.net
9. Fyann E, Khan N, Ojo A. Meningioma. In: SA Journal of Article Radiology. SA: Medical University
of Southern Africa; 2004. p. 3-5.
10. Neuroradiology Imaging Teaching Files Case Thirty Six-Meningioma. [cited 2009 November 20].
Available from: http://www.uhrad.com/mriarc/mri036.htm
11. Meningioma[cited 2009 November 20]. Available from:
http://www.meddean.luc.edu/Lumen/meded/radio/curriculum/N/Meningioma1.htm
12. Manajemen Meningioma. [cited 2009 November 20]. Available from: www.google . com
13. Widjaja D, Meningioma intracranial[cited 2009 November 23]. Available from:
http://www.portalkalbe.co.id/files/cdk/files/09MeningiomaIntrakranial016.pdf/09MeningiomaIntrakrania
l016.html
I. PENDAHULUAN
Tumor otak adalah suatu pertumbuhan jaringan yang abnormal di dalam otak. Yang terdiri atas
Tumor otak benigna dan maligna. Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan abnormal di dalam
otak, tetapi tidak ganas, sedangkan tumor otak maligna adalah kanker di dalam otak yang berpotensi
menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau yang telah menyebar (metastase) ke otak dari
bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.(1)
Tumor otak dibagi menjadi dua tipe :
1. Tumor primer, yaitu tumor yang berasal dari dalam otak sendiri. Bisa berasal dari astrosit,
oligodendrosit, ependimosit, fibroblast arakhnoidal, neuroblas-meduloblas.
2. Tumor sekunder, yaitu tumor yang berasal dari karsinoma metastasis yang terjadi di bagian
tubuh lainnya, contohnya yang paling sering adalah yang berasal dari tumor paru-paru pada
pria dan tumor payudara pada wanita. (2)
Insidens tumor otak primer terjadi pada sekitar enam kasus per 100.000 populasi per tahun.
Dimana tumor otak primer tersebut kira-kira 41% adalah glioma, 17% meningioma, 13% adenoma
hipofisis dan 12% neurilemoma. Pada orang dewasa 60% terletak supratentorial sedang pada anak 70%
terletak infratentorial. Pada anak yang paling sering ditemukan adalah tumor serebellum yaitu
meduloblastoma dan astrositoma, sedangkan pada dewasa adalah glioblastoma multiforme. (2,3,4)
II. KLASIFIKASI
Ada beberapa macam klasifikasi, tetapi yang paling sering dijumpai adalah klasifikasi
berdasarkan lokasi, yaitu :
1. Tumor supratentorial
a. Hemisfer otak, terbagi lagi :
Glioma :
- Glioblastoma multiforme
- Astrositoma
- Oligodendroglioma
Meningioma
Tumor Metastasis
b. Tumor struktur median
- Adenoma hipofisis
- Tumor glandula pienalis
- Kraniofaringioma
2. Tumor infratentorial
a. Schwanoma akustikus
b. Tumor metastasis
c. Meningioma
d. Hemangioblastoma (4,5,6)
III. ETIOLOGI
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun telah banyak
penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada meningioma,
astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose
atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai manifestasi pertumbuhan baru,
memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-
buakti yang kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang mempunyai
morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan
embrional tertinggal dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya.
Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan
degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan
bahwa meningioma terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan dengan
maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat
ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf
pusat.
5. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini telah diakui
bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini
berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan (7,8)
IV. GEJALA KLINIK
Gejala klinik pada tumor intrakranial dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
1. Gejala umum
2. Gejala lokal
3. Gejala lokal yang menyesatkan (False lokalizing features)
1. Gejala Klinik Umum
Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau akibat infiltrasi difus dari
tumor. Gejala yang paling sering adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala
hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan gejala yang lebih
progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat
berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit neurologis,
dan pada mulanya hanya memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior atau
pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian
memberikan gejala umum. (4,9)
Nyeri Kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang kemudian berkembang
menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh
perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan
terutama pada bagian frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.
(4,9,10)

Perubahan Status Mental


Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya
inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau temporal. Gejala
ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.
(4,9,10)

Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma,
oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian
tumor pada lobus parietal dan temporal. (4,9,10)
Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik neuroimaging
tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya
kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan
bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak
menetap. (4,8,9)
Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut juga
mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana
muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa intrakranial. (4,8,9)
2. Gejala Klinik Lokal
Manifestasi lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim, infark atau edema.
Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen,
enzim proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel. (4,9)
Tumor Kortikal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti paralisis pos-iktal.
Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda
lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant
dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius. (4,9)
Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit
lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks.
Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi
yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan
simple motor atau kejang sensoris. (4,9)
Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen. Kejang fokal
lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral episodic terhadap cahaya senter, warna
atau pada bentuk geometri.
Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel atau aquaduktus
dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga
terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini
juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan gangguan
pengecapan dan pengaturan suhu. (4,9)
Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan
kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum. (4,9)
Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala yang sering ditemukan
pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol. (4,9)
3. Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Features)
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang
sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-
struktur intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor
pada korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia). (9)
V. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak yaitu melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu yaitu CT-Scan dan MRI. () Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan
oleh penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik mungkin
ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit lapangan pandang. (2,5)
Pemeriksaan Penunjang
CT scan dan MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur investigasi
awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit otak yang difus atau
fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan
tumor dari abses ataupun proses lainnya.
Foto polos dada dan pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
tumornya berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun multiple
pada otak.
Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan
juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di
otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan patologi anatomi,
sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri). (8,11)
VI. TERAPI
Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain :
- kondisi umum penderita
- tersedianya alat yang lengkap
- pengertian penderita dan keluarganya
- luasnya metastasis. (5)
adapun terapi yang dilakukan, meliputi Terapi Steroid, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Terapi Steroid
Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak berefek
langsung terhadap tumor. (4)
Pembedahan
Pembedahan dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis histologik dan untuk mengurangi efek
akibat massa tumor. Kecuali pada tipe-tipe tumor tertentu yang tidak dapat direseksi. (12)
Radioterapi
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-6000 cGy tiap
fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini didasarkan pada alasan bahwa sel-
sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis
tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika dikombinasikan dengan kemoterapi intensif. (12)
Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap diperlukan
sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu seperti
meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi tambahan berupa
kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif. (12)
VII. DIAGNOSIS BANDING
Gejala yang paling sering dari tumor otak adalah peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan
tanda deficit neurologik fokal yang progresif. Setiap proses desak ruang di otak dapat menimbulkan
gejala di atas, sehingga agak sukar membedakan tumor otak dengan beberapa hal berikut :
- Abses intraserebral
- Epidural hematom
- Hipertensi intrakranial benigna
- Meningitis kronik. (5)
VIII. PROGNOSIS
Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-negara maju, dengan
diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi,
angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun
(10 years survival) berkisar 30-40%. Terapi tumor otak di Indonesia secara umum prognosisnya masih
buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit di Jakarta. (4,6)
DAFTAR PUSTAKA
1. Informasi tentang Tumor Otak dalam http://www.medicastore.com dikutip tanggal 13 November
2004
2. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Manual of Neurology
edisi 7, McGraw Hill, New York, 2002 : 258 – 263
3. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Principles of Neurology
edisi 7, McGraw Hill, New York, 2001 : 676 – 721
4. Syaiful Saanin, dr, Tumor Intrakranial dalam
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Pendahuluan.html, dikutip tanggal 13 November
2004
5. Harsono, Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1999 : 201 – 207
6. What you need to Know about Brain Tumor at http://www.cancer.gov
7. Mahar, M., Proses Neoplasmatik di Susunan Saraf dalam Neurologi Klinis Dasar edisi 5, Dian
Rakyat, Jakarta, 2000 : 390 – 402
8. Meyer, J.S., Gilroy J., Tumors of the Central Nervous System in Medical Neurology edisi 2,
McMillan Publishing C. Inc, New York, 1995 : 611 – 629
9. Bradley, Walter G., Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in Clinical Practice edisi
3, Butterworth, Boston 2000 : 239 – 267
10. Howard L.W., Lawrence P. L., Malignancy and the Nervous System in Neurology edisi 5, Williams
& Wilkins, Philadelphia, : 139 – 142
11. Facts About Brain Tumors at http://www.braintumor.org, dikutip tanggal 13 November 2004
12. John R.M., Howard K.W, A ,B, Cs of Brain Tumors — From Their Biology to Their Treatments at
http://www.brain-surgery.com, dikutip tanggal 13 November 2004
Meningioma, Tumor selaput otak
Tumor jinak , berasal dari sel arachnoid. Arachnoid adalah salah satu dari 3 lapisan selaput pembungkus
otak ( Mening).
Umumnya tumor ini jinak, menyerang lebih banyak pada wanita dibanding pria.
Pada umumnya, tingkat kesulitan operasi kelainan di otak ( tumor, gumpalan darah atau benda asing )
tergantung lokasi tumor. Makin ditengah dan makin didasar tengkorak, makin sulit.
Berikut ditampilkan sakah satu gambar kasus meningioma dan tindakan operasinya, yang dilakukan di
RS Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.

gambar scan otak dengan kontras: meningioma


tampak putih bulat di sebelah kiri adalah sang tumor (meningioma)
operasi pengangkatan meningioma

hasil operasi : kiri tumor (meningioma), kanan tulang kepala yang


terinfiltrasi tumor
 Guest Book
MENINGIOMA
Posted on July 18, 2009. Filed under: Uncategorized |
LATAR BELAKANG.
Karena kemajuan tehnik diagnosa pada dewasa ini, kasus-kasus tumor intrakranial menjadi lebih sering
dilaporkan. Pada umumnya, tumor intrakranial timbul dengan cepat dan progressif, sehingga mendorong
penderitanya untuk segera mendapatkan pengobatan ke dokter. Namun tidak demikian halnya dengan
kasus-kasus meningioma dimana penderita datang pada keadaan yang sudah lanjut dan tentunya ukuran
tumor sudah menjadi  sangat besar. Bahkan oleh karena perjalanannya yang sangat lambat sebagian besar
kasus tanpa disertai adanya gejala-gejala klinik. Meningioma yang kecil atau dengan gejala yang minimal
seringkali diketemukan secara kebetulan. Dari semua otopsi tumor, dilaporkan terdapat 1,44%
meningioma intrakranial yang sebagian besar tanpa adanya gejala-gejala klinik. 1
Seperti banyak kasus neoplasma lainnya, masih banyak hal yang belum diketahui dari meningioma.
Tumor otak yang tergolong jinak ini secara histopatologis berasal dari sel pembungkus arakhnoid
(arakhnoid cap cells) yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk.2 Meningioma intrakranial
merupakan tumor kedua yang tersering disamping Glioma, dan merupakan 13-20% dari tumor susunan
saraf pusat.1 Etiologi tumor ini diduga berhubungan dengan genetik, terapi radiasi, hormon sex, infeksi
virus dan riwayat cedera kepala. Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. 2
DEFINISI
Meningioma adala tumor otak jinak yang berasal dari sel-sel yang terdapat pada lapisan meningen serta
derivat-derivatnya. Di antara sel-sel meningen itu belum dapat dipastikan sel mana yang membentuk
tumor tetapi terdapat hubungan erat antara tumor ini dengan villi arachnoid. Tumbuhnva meningioma
kebanvakan di temnat ditemukan banyak villi arachnoid. Dari observasi yang dilakukan Mallary (1920)
dan didukung Penfield (1923) didapatkan suatu konsep bahwa sel yang membentuk tumor ini ialah
fibroblast sehingga mereka menyebutnya arachnoid fibroblast atau meningeal Fibroblastoma. 3
Meningioma berasal dari leptomening yang biasanya berkembang jinak. Cushing, 1922 menamakannya
meningioma karena tumor ini yang berdekatan dengan meningen. 4
Ahli patologi pada umumnya lcbih menyukai label histologi dari pada label anatomi untuk suatu tumor.
Namun istilah meningioma yang diajukan Cushing (1922) ternyata dapat diterima dan didukung oleh
Bailey dan Bucy (1931).3
Orville Bailey (1940) mengemukakan bahwa sel-sel arachnoid berasal dari neural crest, sel-sel arachnoid
disebut Cap cells; pendapat ini didukung Harstadius (1950), bermula dari unsur ectoderm. Zuich tetap
menggolongkan meningioma ke dalam tumor mesodermal.3
INSIDENSI
Meningioma dapat dijumpai pada semua umur, namun paling banyak dijumpai pada usia pertengahan.
Meningioma intrakranial merupakan 15-20% dari semua tumor primer di regio ini. Meningioma juga bisa
timbul di sepanjang kanalis spinalis, dan frekuensinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tumor lain
yang tumbuh di regio ini.3
Di intracranial, meningioma banyak ditemukan pada wanita dibanding pria (2 : 1), sedangkan pada
kanalis spinalis lebih tinggi lagi (4 : 1). Meningioma pada bayi lebih banyak pada pria. 3
Meningioma intrakranial merupakan tumor kedua yang tersering disamping Glioma, merupakan 13–20%
dari tumor susunan saraf pusat. Meningioma dapat terjadi pada semua usia namun jarang didapatkan pada
bayi dan anak-anak. Angka tertinggi penderita meningioma adalah pada usia 50-60 tahun. Meskipun
demikian dilaporkan juga dua kasus meningioma kongenital pada bayi. KOOS dan MULLER
menyatakan mulai usia 12 tahun insidens meningioma meningkat secara progressif. Meningioma ini lebih
banyak didapatkan pada wanita dari pada laki-laki. Perbandingan antara wanita dan laki-laki adalah 3 : 2,
sedangkan JACOBSON dkk mendapatkan perbandingan wanita dan laki-laki adalah 7 : 4. 1
ETIOLOGI
Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma, kehamilan, dan virus. Pada
penyelidikan dilaporkan 1/3 dari meningioma mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada hubungan
langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga disimpulkan bahwa
penyebab timbulnya meningioma adalah trauma. Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti
yang menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan trauma. 1
Dilaporkan juga bahwa meningioma ini sering timbul pada akhir kehamilan, mungkin hal ini dapat
dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak yang meningkat pada saat itu. 1
Teori lain menyatakan bahwa virus dapat juga sebagai penyebabnya. Pada penyelidikan dengan light
microscope ditemukan virus like inclusion bodies dalam nuclei dari meningioma. Tetapi  penyelidikan ini
kemudian dibantah bahwa pemeriksaan electron misroscope inclusion bodies ini adalah proyeksi
cytoplasma yang berada dalam membran inti. 1
PATOGENESA
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid diduga
memainkan peranan dalam tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral.2
Dari lokalisasinya Sebagian besar meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens ini meningkat
terutama ada daerah yang mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi terbanyak pada daerah
parasagital dan yang paling sedikit pada fossa posterior. 1
Etiologi tumor ini diduga berhubungan dengan genetik, terapi radiasi, hormon sex, infeksi virus dan
riwayat cedera kepala. Sekitar 40-80% tumor ini mengalami kehilangan material genetik dari lengan
panjang kromosom 22, pada lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor
pada 22Q12, ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa
non-NF2 sindrom familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma multiple, dan sering terjadi
pada usia muda. Disamping itu, deplesi gen yang lain juga berhubungan dengan pertumbuhan
meningioma.2
Terapi radiasi juga dianggap turut berperan dalam genesis meningioma. Bagaimana peranan radiasi dalam
menimbulkan meningioma masih belum jelas. Pasien yang mendapatkan terapi radiasi dosis rendah untuk
tinea kapitis dapat berkembang menjadi meningioma multipel di tempat yang terkena radiasi pada dekade
berikutnya. Radiasi kranial dosis tinggi dapat menginduksi terjadinya meningioma setelah periode laten
yang pendek.2
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti halnya faktor etiologi lainnya mekanisme
hormon sex hingga memicu meningioma hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pada sekitar 2/3
kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya progesteron, reseptor hormon lain juga
ditemukan pada tumor ini termasuk  estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor untuk platelet derived
growth factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan oleh meningioma. Dengan teknik
imunohistokimia yang spesifik dan teknik biologi molekuler diketahui bahwa estrogen diekspresikan
dalam konsentrasi yang rendah. Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam sitosol dari meningioma.
Reseptor somatostatin juga ditemukan konsisten pada meningioma. 2
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi dibandingkan pada meningioma soliter.
Reseptor progesteron yang ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan pada karsinoma
mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara bermakna tidak berhubungan dengan
karsinoma mammae, tapi beberapa penelitian lainnya melaporkan  hubungan karsinoma mammae dengan
meningioma.2
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan tidak menginvasi otak maupun
medulla spinalis. Stimulus hormon merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan meningioma.
Pertumbuhan meningioma dapat menjadi cepat selama periode peningkatan hormon, fase luteal pada
siklus menstruasi dan kehamilan.2
Trauma dan virus sebagai kemungkinan penyebab meningioma telah diteliti, tapi belum didapatkan bukti
nyata hubungan trauma dan virus sebagai penyebab meningioma. Philips et al melaporkan adanya sedikit
peningkatan kasus meningioma setelah trauma kepala pada populasi western Washington state.2
KLASIFIKASI
Gambaran mikroskopik meningioma amat bervariasi, macam-macam klasifikasi diusulkan, namun Orville
Bailey (1940) menganggap klasifikasi meningioma tidak diperlukan. Pandangan ini didasarkan secara
biologis karma variasi-variasi histologis tersebut tidak banyak kaitannya dengan perangai biologi
kelompok tumor ini.3
Klasifikasi menurut Kernohan dan Sayre, yaitu Meningioma meningotheliomatosa (syncytial,
endothclimatous), Meningioma fibroblastic dan Meningioma angioblastik. Yang terakhir ada yang
menggolongkan sebagai haemangioperisitoma. Tipe transisional atau tipe campuran digolongkan ke
dalam kelompok meningioma meningotheliomatosa.3
WHO juga membuat suatu klasifikasi untuk meningioma, lihat table 2.1.
Low risk of Recurrence and Aggressive Growth
Grade I
Meningothelial meningioma
Fibrous (fibroblastic) meningioma
Transitional (mied) meningioma
Psammomatous Meningioma
Angiomatous meningioma
Mycrocystic meningioma
Lymphoplasmacyte-rich meningioma
Metaplastic meningioma
Secretory meningioma
Greater Likelihood of Recurrence, Aggressive behavior, or any Type with a High
Proliferative Index
Grade II
Atypical meningioma
Clear cell meningioma (Intracranial)
Choroid meningioma
Grade III
Rhabdoid meningioma
Papillary meningioma
Anaplastic (malignant) meningioma
Tabel 2.1 Klasifikasi Meningioma menurut WHO 2
Meningioma meningotheliomatosa
Terdiri atas sel-sel uniform, berinti bulat atau oval, mengandung satu atau dua nukleoli yang nyata,
sedangkan membran sel tidak jelas, sebagian dari kelompok-kelompok sel tersebut tersusun dalam
lobulus-lobulus membentuk massa yang solid. Jaringan ikat pada batas-batas lobulus. Whorls dan
psammoma bodies juga merupakan gambaran khas tumor ini. Meningioma ftbroblastik Terdiri alas sel-sel
pipih yang membentuk berkas-berkas yang sating beranyaman, kadang-kadang dengan bagian-bagian
menyerupai struktur palisade. Sel-sel tersebut mirip dengan fibroblast, namun inti sel identik dengan inti
sel meningioma meningiomatosa. Adanya serabut retikulin yang berlebihan dan serabut kolagen yang
menjadi pemisah antara sel pada meningioma tipe ini, merupakan tanda yang khas. 3
Meningioma angioblastik
Terdiri alas sel-sel tersusun padat, batas-batas sitoplasma tidak jelas, inti sel tersusun rapat. Sel-sel
tersebut umumnya menempel pada dinding kapiler, namun kapiler-kapiler tersebut sebagian mengalami
dilatasi, sebagian lagi kompresi, sehingga sukar untuk diidentifikasi. Bailey dkk. (1928) beranggapan
bahwa sel-sel tumor ini berasal dari elemen dinding pembuluh darah. Beberapa penulis melaporkan
bahwa meningioma angioblastik lebih sering kambuh.3
GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Meningioma intrakranial banyak ditemukan di regio parasagital, selanjutnya di daerah permukaan
konveks lateral dan falx cerebri. Di kanalis spinalis meningioma lcbih sering menempati regio torakal.
Pertumbuhan tumor ini mengakibatkan tekanan hebat pada jaringan sekitamya, namun jarang menyebuk
ke jaringan otak. Kadang-kadang ditemukan fokus-fokus kalsifikasi kecil-kecil yang berasal dari
psammoma bodies, bahkan dapat ditemukan pembentukan jaringan tulang baru. 3
Secara histologis, meningioma biasanya berbentuk globuler dan meliputi dura secara luas. Pada
permukaan potongan, tampak pucat translusen atau merah kecoklatan homogen serta dapat seperti
berpasir. Dikatakan atipikal jika ditemukan proses mitosis pada 4 sel per lapangan pandang elektron atau
terdapat peningkatan selularitas, rasio small cell dan nukleus sitoplasma yang tinggi, uninterupted
patternless dan sheet-like growth. Sedangkan pada anaplastik akan ditemukan peningkatan jumlah mitosis
sel, nuklear pleomorphism, abnormalitas pola pertumbuhan meningioma dan infiltrasi serebral. 
Imunohistokimia dapat membantu diagnosis meningioma. Pada pasien dengan meningioma, 80%
menunjukkan adanya epithelial membrane antigen (EMA) yang positif. Stain negatif untuk anti-Leu 7
antibodi (positif pada Schwannomas) dan glial fibrillary acidid protein (GFAP).2
MANIFESTASI KLINIK
Meningioma tumbuhnya perlahan-lahan dan tanpa memberikan gejala-gejala dalam waktu yang lama,
bahkan sampai bertahun-tahun. Ini khas untuk meningioma tetapi tidak pathognomonis. Diperkirakan
meningioma intrakranial yang merupakan 1,44% dari seluruh otopsi sebagian besar tidak menunjukkan
gejala-gejala dan didapatkan secara kebetulan. Dari permulaan sampai timbulnya gejala-gejala rata-rata ±
26 bulan, dilaporkan juga gejala-gejala yang lama timbulnya yaitu antara 20 — 30 tahun. Walaupun
demikian gejala-gejala yang cepat tidak menyingkir kan adanya meningoma.1
Gejala-gejala umum, seperti juga pada tumor intracranial yang lain misalnya sakit kepala, muntah-
muntah, perubahan mental atau gejala-gejala fokal seperti kejang-kejang, kelumpuhan, atau hemiplegia.
Gejala umum ini sering sudah ada sejak lama bahkan ada yang bertahun-tahun sebelum penderita
mendapat perawatan dan sebelum diagnosa ditegakkan. 1
Gejala-gejala yang paling sering didapatkan adalah sakit kepala. Gejala klinis lain yang paling sering
adalah berturut-turut sebagai berikut :
 kejang-kejang (±48%)
 gangguan visus (± 29%)
 gangguan mental (± 13%)
 gangguan fokal (± 10%)
Tetapi timbulnya tanda-tanda dan gejala-gejala ini tergantung pada letak tumor dan tingginya tekanan
intrakranial. Tanda-tanda fokal sangat tergantung dari letak tumor, gejala-gejala  bermacam-macam
sesuai dengan fungsi jaringan otak yang ditekan atau dirusak, dapat perlahan-lahan atau cepat. Menurut
LEAVEN gangguan fungsi otak ini penting untuk diagnosa dini. Gejala-gejala ini timbul akibat
hemodynamic steal dalam satu hemisfer otak, antara hemisfer atau dari otak kedalam tumor. 1
Sakit Kepala
Merupakan gejala yang paling sering, sakit kepala ini tidak khas, dapat umum atau terlokalisir  ada daerah
yang berlainan. Hal ini sudah lazim walaupun tidak dikaitkan dengan meningkatnya tekanan intracranial.
Meningioma Intra Ventrikuler seringkali mengalami sakit kepala dan peningkatan tekanan intrakranial,
karena meningioma di tempat tersebut dapat bergerak dan dapat mengadakan penyumbatan pada aliran
cairan serebrospinalis. Sakit kepala tersebut bersifat unilateral dan gejala-gejala ini mungkin hilang
timbul. Selain sakit kepala juga disertai mual dan muntah-muntah. 1
Kejang
Didapati 48% dari kasus meningioma mengalami kejang-kejang terutama pada meningioma parasagittal
dan lobus temporalis, Adanya kejang-kejang ini akan memperkuat diagnosa. 1
Gangguan Mata
Gangguan mata yang terjadi pada meningioma dapat berupa :
 penurunan visus
 papil oedema
 nystagmus
 gangguan yojana penglihatan
 gangguan gerakan bola mata
 exophthalmus.1
Hemiparese
Lebih sering didapatkan pada meningioma dibandingkan dengan tumor-tumor intrakranial yang lain. 10%
dari kasus meningiomadidapati kelumpuhan fokal, Crose dkk mendapatkan tiga dari 13 kasusnya dengan
hemi parese disertai gangguan sensoris dari N V. 1
Gangguan mental
Sering juga didapatkan gangguan mental, tentunya berhubungan pula dengan lokalisasi dari
tumor.Dilaporkan 13% dari kasus-kasus RAAF (29) dengan gangguan mental. Gejala mental seperti:
dullness, confusion stupor merupakan gejala-gejala yang paling sering. 1
Disamping gejala-gejala tersebut di atas juga sering didapatkan gangguan saraf otak (nervus cranialis)
terutama yang paling sering dari kasus-kasus Crouse yaitu N II, V, VI, IXdan X. Gejala yang menarik
adalah adanya Intermittent cerebral symptoms. Pada 219 penderita dengan meningioma supra tentorial
didapatkan ganggnan fungsi serebral yang mendadak intermitten dan sementara dapat beberapa menit
atau lebih dari sehari. Gejala-gejala dapat berupa afasia, kelumpuhan dari muka dan lidah, hemi plegia,
vertigo, buta, ataxia, hallusinasi (olfaktoris) dan kejang-kejang. Setengah dari kasus-kasus ini gangguan
fungsi serebral berulang-ulang, karena terjadi pada usia lanjut maka seringkali diagnosa membingungkan
dengan suatu infark otak atau insuffuiensia serebrovaskuler, migrain, dan multiple sclerosis. Pada
umumnya C.V.A. dapat dibedakan dengan tumor intrakranial dengan adanya gejala-gejala yang
mendadak dan perlahan-lahan diikuti dengan kemajuan dari gejala-gejala neurologis. Bermacam-macam
gejala eurologis yang paling sering menimbulkan kesalahan diagnose. 1
Tanda-tanda yang menyesatkan (False Localizing Signs = FLS)
FLS dari tumor-tumor intrakranial adalah tanda-tanda yang tidak semuanya berhubungan dengan
gangguan fungsi pada tempat tumor tersebut. Biasanya terlihat sebagai gejala fokal dari tempat-tempat
yang jauh dari tumor di mana hal ini dapat membingungkan untuk menentukan lokalisasi tumor tersehut.
Seperti biasanya diagnosa klinik ditegakkan dari kumpulan/tanda-tanda, tetapi kurangnya pengetahuan
akan FLS menyebabkan kesalahan-kesalahan pada diagnosa, apabila pada kasus-kasus yang tanda-
tandanya tidak jelas. Dari 250 kasus meningioma intrakranial didapatkan 101 kasus dengan FLS.
Diagnosa yang salah karena gejala-gejala yang tidak jelas disertai adanya FLS. Gejala-gejala yang tidak
jelas dapat disebabkan oleh karena adanya Silent area di mana tumor-tumor itu pada permulaannya tidak
menunjukkan gejala-gejala. Yang termasuk silent area: parasagital anterior, konveksitas frontal dan
intraventrikuler.1
PROSEDUR DIAGNOSTIK
Diagnosa meningioma dapat ditentukan atas beberapa pemeriksaan sebagai berikut :
 Elektroensefalografi (E.E.G.).
 X ray foto tengkorak.
 Angiografi
 Pneumoensefalografi atau Ventrikulografi.
 Brain Scan.
 Computerized Tomography Scan (CT scan).
 Histopatologik.
 Tissue Culture1
Elektroensefalografi (EEG)
Tumor otak memberi EEG abnormal pada 75–85% dari kasus dan 15 — 25% dari penderita dengan
tumor otak mempunyai EEG yang normal. Tumor otak sendiri tidak memberi aktivitas listrik abnormal.
Hanya neuron-neuron yang membuat ini pada daerah dekat tumor menjadi abnormal sedemikian rupa
sehingga hypersynchronisasi dari pelepasan-pelepasan listrik dari beribu-ribu atau berjuta-juta sel saraf
membentuk gelombang lambat atau gelombang runcing pada EEG. Mungkin tumor ini memberi kelainan
metabolik dari neuron-neuron didekatnya, mungkin dengan tekanan langsung, oedema atau mengacau
(merusak) innervasi daerahnya. Meningoma menunjukkan sedikit abnormalitas pada E.E.G. Pada kasus-
kasus didapatkan 53% dengan focus abnormal. Pada meningioma intraventriculer enam dari delapan
kasus menunjukkan EEG yang abnormal.1
Foto Tengkorak
Beberapa sarjana menyatakan bahwa perubahan-perubahan dari X foto tengkorak pada meningioma
22,5% adalah normal, 75,5% abnormal. Kelainan radiologis tersebut adalah:
 Hyperostosis : 25% – 44,1%
 Pembesaran dari canalis yang dilalui oleh arteri meningiamedia (foramen Spinosum) : 25%
 Perkapuran dari tumor : 3% — 20%
 Kerusakan dari tulang : 1,5% – 16,1%
 Pembuatan specule : 4,3%  adalah pembuatan tulang-tulang baru sebagai tiang yang ramping
tegak lurus pada permukaan tulang yang normal.
 Penebalan tulang yang difus
Hyperostosis dan kalsifikasi tumor terutama Psammomatous merupakan tanda yang paling penting untuk
diagnosa meningioma disamping peningkatan Vascularisasi dan kerusakan tulang. 1
Angiografi
Kelainan pembuluh darah yang paling khas pada meningioma adalah adanya pembuluh darah yang
memberi darah pada neoplasma oleh cabang-cabang arteri sistim karotis eksterna. Bila mendapatkan
arteri karotis ekstema yang memberi darah ke tumor yang letaknya intrakranial maka ini mungkin sekali
neningioma.1
Meningioma menunjukkan ciri-ciri paling khas sebagai berikut:: (i) Mendapat darah dari sistim karotis
eksterna. (ii) Homogenous akan tetapi sharphy sircumscribed cloud, ya itu adanya tumor cloud yang
homogen dari cairan kontras pada seluruh tumor. Batas vaskuler intrinsik dari meningioma sering jelas
sekali dan konfigurasinya berbentuk bulat-bulatan (lobulated). Dan (iii). Tetap adanya cairan kontras
dalam tumor.1
Terdapat tetap adanya tumor cloud untuk waktu yang agak lama pada serialogram. Tumor Stain masih
terlihat pada film terakhir ialah delapan sampai sembilan detik setelah permulaan dari injeksi cairan
kontras. (iii) lebih dapat dipercaya daripada (ii). 1
Pneumoensefalografi atau Ventrikulografi
Pneumografi dapat menunjukkan paling jelas tumor intraventrikuler dan tumor yang letaknya dalam,
dekat pada ventrikel atau mengadakan invasi pada struktur di garis tengah (invading midline structures). 1
Brain Scan
Brainscan biasanya kurang cermat untuk diagnosa dari tumor yang tumbuh lambat dan berasal dari glia.
Mungkin tak lebih dari separo menunjukkan Brainscan yang positip. Keterbatasan atau kejelekan dari
radionucleide brainscan ini ialah tak dapat memberi petunjuk yang dapat dipercaya mengenai jenis atau
macam nature dari lesi. Ia hanya menunjukkan suatu daerah dengan uptake yang abnormal dalam kepala,
yang dapat sebagai neoplasma, vaskuler, radang atau trauma. Ia tak memberi informasi mengenai status
dari otak dan derajad dari deformitas atau adanya edema otak, dilatasi ventrikel atau tekanan intrakranial
yang tinggi. Dalam hal ini, C.T. scan dari otak lebih superior dibandingkan dengan isotop brainscan. 1
Computerized Tomography scan (CT scan)
Meningioma biasanya lebih padat dibandingkan dengan otak oleh karena adanya Calcium dalam tumor.
Nilai absorpsi mungkin antara 20 – 300 Um, dan lesi-lesi itu dengan densitas sedang, bertambah jelas
dengan penyuntikan, kontras walau dengan jumlah yang sedikit (20 – 40 cc). Bila meningioma dengan
densitas sangat mendekati otak,maka kita dapat salah menerka edema sebagai tumor dan dapat
mendiagnosis salah sebagai glioma. Sesuai dengan laporan BECKER dkk (1) bila meningioma
mengandung banyak calcium, ia sangat padat dan diagnosisnya jelas. 1
CT. Scan dapat menunjukkan ventrikel dan ruangan subarachnoid, juga massa tumor, sering dapat
memberi informasi tentang lokalisasi secara terperinci. Histopatologik. Histopatologi dari meningioma
menunjukkan gambaran yang beraneka ragam. Beberapa sarjana membagi menjadi gambaran yang
sederhana didasarkan jenis yang paling sering didapatkan. 1
Pembiakan jaringan (Tissue Culture)
Sejak tahun 1928 pembiakan jaringan meningioma telah dilakukan, tetapi tidak didapatkan bentuk-bentuk
pertumbuhan, sampai COSTERO dkk pada th 1955 mendapatkan pertumbuhan meningioma whorls yang
khusus. Bentuk whorls tidak selalu didapatkan pada semua pembiakan jaringan meningioma, tetapi
whorls ini merupakan tanda khas adanya meningioma dan tidak pernah didapatkan pada tumor-tumor
yang lain baik intra maupun ekstraserebral. 1
Menurut U.I.C.C. (Unio Internationalis Contra Cancrum) gambaran histopatologi sebagai berikut:
 Epitheloid
 Meningotheliomatous
 Endotheliomatous
 Fibroblastic / Fibromatous
 Psammomatous1
2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama. Beberapa faktor yang
mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi,
vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi sebelumnya dan
atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya berubah berdasarkan faktor resiko, pola,
dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura,
jaringan lunak, dan tulang untuk menurunkan kejadian rekurensi. 4 Klasifikasi Simpson untuk reseksi
meningioma intracranial dapat dilihat pada table 2.2
Rencana preoperatif
Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat segera diberikan,
deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari sebelum operasi
dilaksanakan.4
Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua pasien untuk organisme
stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki aktifitas terhadap organisem
pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk organisme anaerob) ditambahkan apabila operasi
direncanakan dengan pendekatan melalui mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid. 4
Grade I Gross total resection of tumor, dural attachments and abnormal bone
Grade II Gross total resection of tumor, coagulation of dural attachments
Grade III Gross total resection of tumor, without resection or coagulation of dural attachments,
or alternatively of its extradural extensions ( e.g invaded sinus or hyperostotic bone)
Grade IV Partial resection of tumor
Grade  V Simple decompression (biopsy)
Tabel 2.2 Klasifikasi Simpson untuk reseksi meningioma intracranial 4
Operasi
Meningioma yang terletak di vault biasanya dapat dioperasi seluruhnya. Pada basis otak terdapat
kesukaran tekhnis untuk diambil seluruhnya.1
Drainage ventrikel
Cara ini digunakan umpamanya pada neoplasma dari fossa posterior dengan obstruksi akut dari sistem
ventrikel, tekanan intrakranial meningkat secara massif dan oedema otak yang ikut menyertainya. 1
Penutupan vaskuler
Cara ini digunakan paling sering pada meningioma dengan banyak sekali pembuluh darah (highly
vascular meningioma). Biasanya dilakukan ± 24 jam sebelum operasi yaitu penutupan dari arteria karotis
eksterna yang memberi darah pada tumor dengan macam-macam tehnik embolisasi. 1
Pembesaran lapangan operasi (Operative magnification)
Penggunaan microscope bedah atau loupe dengan cahaya fiberoptic memberi dimensi baru untuk
pendekatan operasi, dari banyak tnmor.1
Terapi Ajuvan
Radioterapi
Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai untuk terapi. External
beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi operasi meningioma
reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan operasi sebelumnya ataupun tidak.
Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena lokasi yang sulit, keadaan pasien yang buruk,
atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi, external beam irradiation masih belum menunjukkan
keefektifitasannya. Teori terakhir menyatakan  terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif
pada kasus meningioma yang agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini
belum banyak dikemukakan.4
Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan komplikasi yang
ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan akibat
radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi  pituitari ataupun nekrosis akibat
radioterapi.4
Radiasi Stereotaktik
Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1960an
menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik  radioterapi ini semakin
banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui teknik yang
bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co gamma (gamma knife)
atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik
radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi, terutama pada lesi dengan diameter
kurang dari 2,5 cm.4
Steiner dan koleganya menganalisa pasien meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan
diobservasi selama 5 tahun. Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat
dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2
tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien yang
diikuti selama 5 hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan tumor  sekitar 93 % kasus
dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan
stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 %.4
Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui efikasinya untuk
terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk rekuren meningioma
atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi menggunakan regimen
kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine (DTIC) dan adriamycin)
menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte dan Yung), walaupun regimen tersebut
efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak. Laporan dari Chamberlin pemberian terapi
kombinasi menggunakan cyclophosphamide, adriamycin, dan vincristine dapat memperbaiki angka
harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5,3 tahun. Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea
sedang dalam penelitian. Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan
menginduksi apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus
pemberian hydroxyurea ini memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan meningioma yang
tidak dapat direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang waktu terjadinya
rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas
dibanding pemberian dengan kemoterapi.4
Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan meningioma. Preparat
yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti progesteron). Tamoxifen (40
mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah digunakan oleh kelompok
onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit dilakukan reseksi dan refrakter.
Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan
respon minimal atau parsial pada tiga pasien.
Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200 mg perhari selama 2 hingga 31
bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan perbaikan secara objektif yaitu
sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien dan satu pasien gangguan lapang pandangnya
membaik walaupun tidak terdapat pengurangan massa tumor; terdapat pertumbuhan ulang pada salah satu
pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari kelompok Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang
menunjukkan pertumbuhan tumor berlanjut pada empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan
ukuran yang minimal pada tiga pasien. Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan
jumlah sampel yang lebih besar pada meningioma tetapi sampai sekarang belum ada terapi yang menjadi
prosedur tetap untuk terapi pada tumor ini.4
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding tergantung dari bentuk gejala sebenarnya dan usia penderita. Telah dibuat sejumlah
diagnosa banding pada beberapa penyelidikan.Kira-kira separo dari kasus-kasus dengan insuffisiensia
serebral sepintas lalu dan berulang-ulang pada penderita yang tua menyerupai infark otak atau
insuffiensia serebro vaskuler. Seringkali juga menyerupai chronic subdural hematoma, perdarahan
subarachnoid dan meningitis serosa.1
PROGNOSIS
Pada umnmnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang sempurna akan
memberikan peyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa snrvivalnya relatif lebih tinggi
dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima tahun adalah 75%. Pada anak-anak lebih
agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat besar. Pada
penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan mengalami keganasan dan
kekambuhannya tinggi.1
Sejak 18 tahun meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila letaknya mndah dapat diangkat
seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada:
 invasi dan kerusakan tulang
 tumor tidak berkapsul pada saat operasi
 invasi pada jaringan otak.1
Angka kematian (mortalitas) meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan tehnik
dan pengalaman operasi para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan
angka kematian post operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–1966) adalah8,5%.
Sebab-sebab kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitn perdarahan dan oedema otak. 1
KESIMPULAN
Meningioma intrakranial merupakan tumor intrakranial kedua yang tersering disamping glioma,
perjalananya sangat lambat dan lebih sering didapatkan pada wanita pada usia 50 – 60 th. Diduga sebagai
penyebabnya adalah trauma, kehamilan dan virus. Lokalisasi tersering didaerah supra tentorial di para
sagital. Permulaan sampai timbul gejala-gejala rata-rata 26 bulan. Gejala-gejala umum seperti tumor
intrakranial disertai gejala-gejala fokal tergantung lokalisasi dari tumor. Diagnosa dibuat berdasarkan
pemeriksaan tumor intracranial pada umumnya, yaitu dibuat berdasarkan pemeriksaan klinik , E.E.G., x-
foto tengkorak, angiografi, PEG atau ventrikulografi. Diagnosa banding seringkali menyerupai
insuffisiensi serebral sementara dan berulang-ulang,infark otak, chronic  subdural hematoma, perdarahan
sub archnoid dan meningitis.serosa. Pengobatan dengan operasi, drainage ventrikel, penutupan vaskuler,
pembesaran lapangan operasi. Prognosa pada umumnya baik, survival rate lima tahun adalah 75%. Angka
kematian : diperkirakan post operasi selama lima tahun (1942 – 1946) adalah 7,9% dan (1957 – 1966)
adalah 8,5%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widjaja D, Fauziah B. Meningioma Intrakranial. 1979. Diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09MeningiomaIntrakranial016.pdf/09MeningiomaIntrakran
ial016.html
2. 2. Manajemen Meningioma. Diunduh dari http://www.neuro-onkologi.com/articles/Manajemen
Meningioma.doc
3. 3. Patogenesis Histopatologi dan lasifikasi Meningioma. Diunduh dari www.neuro-
onkologi.com/…/Patogenesis, histopatologi dan klasifikasi meningioma.doc
4. Yusup FXEG. Histopatologi Tumor Otak. 1992. Diumduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09HistopatologiTumorOtak077.pdf/09HistopatologiTumor
Otak077.html

Você também pode gostar