Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
remaja dan insidensinya diperkirakan mencapai 1,34 pada 1.0000.000 orang di Israel 1 Tetapi belum ada
evaluasi spesifik dari insidensi pada anak-anak. Hal ini dikarakteristikan dengan disfungsi medulla
spinalis bilateral dengan menghasilkan kelemahan anggota gerak bawah dengan atau tanpa gejala sensoris
dan disfungsi kandung kemih. Secara tipikal bermanifestasi dari jam hingga satu minggu. 2, 3 Magnetic
resonance imaging (MRI) spinalis, tes electrophysiologis dan analisis cairan serebrospinal (CSF)
dilakukan untuk mendiagnosis ATM dan emngeluarkan kondisi yang bisa diterapi. ATM dapat
disebabkan oleh sejumlah kelainan termasuk trauma, lesi, malformasi vaskular, kelainan vaskulitis oklusif
yang menyebabkan infark medulla spinalis4, 5, 6 penyakit autoimmune7, 8 dan infeksi lain baik bakteri, virus
atau spirochaeta.9 ATM telah dijabarkan setelah infeksi dengan virus Epstein-Barr virus,
cytomegalovirus, cytomegalovirus pada pasien kompromise imune, infeksi virus simpleks herpes dan
sitomegalo, rubella, chickenpox, infeksi mononukleosis, dan campak. 2 ATM dapat menjadi presentasi
awal dari leukimia limphoblastik akut. <span style=”position:relative;top:-4pt;”>10 Poliomyelitis dan Sindroma Guillain-
Barre tetap merupakan dua diagnosis banding yang penting. Setelah diagnosis dari ATM, dosis tinggi IV
steroid merupakan terapi yang menjanjikan. Prognosis bervariasi dan gejala residual sering terjadi. 13
Insidensi
Usia dari kondisi ini dapat didapat dari infant hingga orang dewasa yang lebi tua (5 bulan hingga 80
tahun). Puncak usia untuk diagnosis TM adalah 10-19 dan 30-39 tahun. Laki-laki dan wanita sama dalam
diagnosa. TM merupakan kelainan yang jarang dengan penjumlahan insidensi 300 kasus baru di United
Kingdom. 1
Pemulihan dari TM pada umumnya dimulai dalam 8 minggu dari onset. Pemulihan seringkali cepat
selama bulan ke 3-6 dan dapat berlanjut hingga lebih dari 2 tahun setelah onset. Satu pertiga dari mereka
yang didiagnosa dengan TM mendapatkan pemulihan yang baik, satu pertiga hanya mempunyai
pemulihan sedikit (disabilitas permanent derajat sedang), dan satu pertiga tidak menunjukkan pemulihan. 2
TM secara umum merupakan penyakit monofasik (hanya satu kali timbul). Bagaimanapun, persentase
kecil pasien dapat mendapat reurensi, terutama jika ada penyakit yang mendasarinya. 2
Definisi
TM merupakan kelainan neurologis yang jarang, satu dari kelompok penyakit ‘neuroimmunologic’ dari
sistem saraf pusat, dimana juga termasuk ADEM, NMI (penyakit Devic) dan MS. Kondisi ini
kesemuanya melibatkan penyerangan inflamasi di sistem saraf pusat. Mereka dibedakan secara primer
oleh lokasi lesi, dan oleh penyerangannya baik monofasik atau episode yang multipel. Kelainan ini
membagi mekanisme yang sering dan mempunyai banyak gejala yang sama. 3
Ada bermacam variabilitas dalam presentasi gejala, dimana didasari oleh level medulla spinalis yang
dipengaruhi dan ada variasi yang luar buasa dalam penampakkan gejala, dimana didasari dari lesi medulla
spinalis yang terkenda dan keparahan kerusakan mielin dan serat saraf di neuron. Gejala TM termasuk
kelemahan otot, paralisis, parastehesias, atau sesnsasi saraf yang tidak nyaman, nyeri neuropatik,
spastisitas, depressi serta disfungsi usus, kandung kemih dan seksual. TM daoat akut atau berkembang
perlahan. Ada beberapa variasi dari diagnosis TM. 4
Etiologi
TM merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses inflamasi dari substansia putih dan abu-
abu medulla spinalis, dan dapay menyebaban demielinisasi aksonal. Demieliniasasi ini meningkat secara
idiopatik yang diikuti dengan infeksi atau vaksinasi, atau dikarenakan multiple sclerosis. Satu teori utama
yang menyebabkannya adalah inflamasi mediasi imun sebagai hasil akibat terpapar dengan antigen viral.
Lesi ini bersifat inflamasi dan melibatkan medulla spinalis pada kedua sisinya. Dengan transverse
myelitis akut, onset terjadi mendadak dan berkembang dengan cepat dalam beberapa jam dan beberapa
hari. Lesi dapat tampak dimana saja di medulla spinalis, meskipun demikian biasanya terbatas pada
bagian kecil. 5
Dalam beberapa kasus, penyakit ini diasumsikan disebabkan oleh infeksi viral atau vaksinasi dan juga
telah dikaitkan dengan cedera medulla spinalis, reaksi imun, schistosomiasus, dan aliran darah yang
insufisien melalui pembuluh darah spinalis. Gejala termasuk kelemahan dan kebas di kedua tungkai untuk
motor, defisit sensorik dan sfingter. Nyeri pinggang dapat timbul pada beberapa pasien saat onset
penyakit berjalan. Terapi biasanya hanya simptomatik, kortikosteroid digunakan dengan kesuksesan yang
terbatas. Perbedaan utama untuk dibuat adalah kondisi yang sama akibat kompressi medulla spinalis,
akibat penyakit yang mengelilingi kolumna vertebralis. 6
TM dapat timbul dalam isolasi atau dengan penyakit lain. Ketika TM timbul tanpa penyakit penyerta
yang tampak, hal ini diasumsikan untuk menjadi idiopatik. TM idiopatik diasumsikan untuk sebagai hasil
dari aktivasi abnormal sistem imune melawan medulla spinalis. TM seringkali timbul bersamaan dengan
infeksi bakteri dan virus. 6
Sekitar satu pertiga pasien dengan TM melaporkan penyakit seperti flu dengan demam, dengan onset
waktu gejala neurologis. Vaksinasi juga dikaitkan dengan TM dan terutama ADEM, tetapi hubungannya
tidak dapat dibuktikan. 6
Terapi
Obat kortikosteroid secara umum digunakan sebagai terapi inflamasi medulla spinalis dengan pasien TM.
Pertukaran plasma atau terapi immunosupressant radikal yang lebih dapat digunakan jika steroidnya tidak
bekerja. Semua terapi lain hanya menujukan gejala pada saat ini. Rehabilitasi, terutama fisioterapi, sangat
penting. Pasien sebaiknya mengikuti regimen rehabilitasi untuk kerusakan spinal. 7
Evaluasi Pasien dengan TM Akut
Setiap pasien yang dicurigai mempunyai disfungsi medulla spinalis akut harus dievaluasi cepat.
Semenjak secara relatif beberapa pasien mempunyai trias disfungsi motorik, sensorik, dan otonomik yang
penuh pada saat gejala, klinisi harus mempunyai ambang rendah untuk merekomendasikan evaluasi yang
lebih jauh. Sayangnya, nyeri pinggang dengan nyeri radikuler lebih sering dan merupakan gejala awal
yang tidak spesifik. Bagaimanapun, komplain dari pasien tentang kesulitan berkemih atau inkontinensia
onset baru dan komplain sensorik transversa (kumpulan penekanan, nyeri atau kebas) sebaiknya
mendorong klinisi untuk melakukan evaluasi yang lebih jauh lagi. Hal yang sama, kelemahan tungkai
progresif akut bilateral dengan setiap adanya gejala yang diatas harus dilakukan evaluasi yang cepat.
Banyak pasien, yang memperlihatkan dengan paraparesis progresif, tidak tepat didiagnosa dengan
sindroma Guillain-Barre (GBS). Bagaimanapun, sebaliknya terhadap GBS, TM tidak menampakkan
palsies sistem saraf pusat, dan GBS amat jarang pada pasien dnegan disfungsi kandung kemih dan
komplain sensoris. 7
Evaluasi awal pasien dengan melibatkan mielopati harus dibedakan dari penyebab struktural (diskus
herniasi, fraktur vertebral patologis, metastasis tumor atau spondylolisthesis) dapat diidentifikasi. Secara
ideal dengan kontrast gadolinium MRI dilakukan dalam beberapa jam setelah penampakkan gejala. Jika,
bagaimanapun tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang pendek, CT-myelography atau CT spinalis
merupakan alternative yang beralasan. Dua studi ini mempunyai ketidakuntungan yang berbeda dari tidak
bisanya untuk menilai patologis intramedularis, dan semua pasien yang didiagnosa dengan TM
sebaikanya mempunyai MR secepatnya pada fase akut. Jika ada keterlambatan dalam mendapatkan studi
pencitraan dan pasien secara klinismielopati cepat, kemudian sebaiknya metilprenidsolone secara empiris
diberikan sebagai berikut : <3 jam dari onset, 30 mg/kgBB setelah satu jam diikuti dengan 5,4 mg/kg/ jam
untuk penambahan 23 jam berikutnya; diantara 3-8 jam onset gejala-30 mg/kgBB bolus diikuti dengan
5,4 mg/kg/jam untuk penambahan selama 47 jam. Jika penyebab struktural bisa diidentifikasi untuk
mielopati, evaluasi pembedahan saraf merupakan hal yang wajib dilakukan. 8
Jika tidak ada penyebab struktural yag diidentifikasi pada pasien dengan mielopati transversus akut atau
subakut, terapi secara besar tegantung pada penyebab potensial. Pungsi lumbal sebaiknya dilakukan dan
CSF dievaluasi untuk studi rutin sebagaimana kgabungan oligoclonal, indeksIgG, vPCR virus, antibodi
lyme dan mikoplasma, dan VDRL. Meskipun studi yang dilakukan dalam list ini tidak bersifat
komprehensiv, hal ini bisa secara potensial menterapi penyebab mielopati transversus akut. Studi
serologis tambahan dapat dijamin tergantung daripada skenario klinik. Sementara meninggu studi
serologis dan PCR, kita akan sering mengawali terapi dengan asiklovir secara empirik (10 mg/kg IV TID
untuk 14-21 hari), jika pasien mempunyai bukti klinis atau radiologis, maka terapi TM juga sebaiknya
memasukkan doxycycline (100 mg PO BID) atau azitromisin (500 mg sekali satu, kemudian 250 mg PO
qD ). Hal yang sama dalam keadaan klinis yang perlu, satu yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis
neuroborreliosis (Lyme). Pasien dengan imunosupressi dengan riwayat retinopati CMV atau
poliradikulopati sebaiknya menerima gancyclovir (5 mg/kg IV per 12 jam). Pertimbangan dari penyebab
mikrobiologi TM sebaiknya tidak digunakan aggressive untuk kortikosteroid intra vena terutama jika ada
riwayat terbakar, nyeri radikular atau radikulitis zoster yang menyebabkan mielitis. 9
Pemberian steroid intravena dosis tinggi seringkali diberikan sekali ketika diagnosis TM ditegakkan, dan
beberapa studi kecil mendukung bahwa hal ini meningkat menjadi ambulasi yang independent dan
pemulihan motorik yang luar biasa. Banyak klinis mengawali terapi dengan methyl prednisolone 1000mg
IV qD untuk 5 hari, dan regimen ini sebaiknya dimulai pada kebanyakan pasien secepatnya ketika
diagnosis TM dipertimbangkan. Weinshenker dan teman-temannya menunjukkan bahwa subset pasien
steroid-refrakter dengan kelainan demielinisasi inflamasi berespon terhadap plasmapheresis. Untuk itu,
pada institus kami, pasien dengan TM akut diberikan terapi 5 hari dengan solumedrol IV diikuti dengan
plasma pheresis pada 1,1 volume plasma QOD untuk dua minggu. Hal ini belum jelas kapan sebaiknya
dilakukan plasmapheresis, tetapi kita menunggu selama stau minggi mengikuti pemberian steroid untuk
mengawali plasmapheresis. 10
Pada pasien TM dengan diketahui atau dicurigai kalinan jaringan ikat seperti SLE, investigasi harus
dilakukan untuk mengeliminasi bukti adanya vaskulitis sistemik, atau secara alternative, buktidari
predisposisi protrombotik pada dasara antibodi antiphospolipid. Etiologi vaskulitis dapat dicurigai dengan
kadar komplemen yang menurun, tingginya titer ANA, hematuria, tingginya ESR atau manifestasi
sistemik lain dari SLE aktive. Pasien seperti ini sebaiknya menerima dosis tinggi kortikosteroid dan
pertimbangan untuk cyclophospamide IV (500-1000 mg/m2). Cyclophospamide selanjutnya sebaiknya
diberikan perbulan pada dosis yang didesain pada hitung darah leukosit 3,000-4,000/mm3. Pasien dengan
antibodi antiphospolipid seringkali melaporkan kejadian trombosis vena atau arterial sebelumnya, gugur
kandungan. Pasien ini akan seringkali membutuhkan antikoagulasi intensive untuk mencegah TM
berulang dan secara potensial sebagai terapi akut. 10
Terapi Kronis Pasien TM
Ketika TM biasanya merupakan kelainan monofasik, terapi pasien yang diikuti dengan cedera akut
difokuskan dalam management gejala. Banyak dari strategi management ini sama dengan mereka yang
mengambil pasien dengan kerusakan medulla spinalisa dan tidak dilihat lebih detail disini. 1
Beberapa prinsip bantuan harus diamati dalam management pasien dengan TM. Jika kesemuanya
memungkinkan untuk bisa berdiri atau berjalan pada pasien, hal ini harus dilakukan sedikitnya setiap hari.
Asumsi dari postur tegak lurus adalah kritis untuk menjaga arsitektur tulang dan otot sama halnya dengan
reaktivasi sistem sirkulasi. Hal ini juga mengurangi insidensi infeksi traktus urinarius dan deep vein
tromboses (DVT). pAsien mungkin membutuhkan alat untuk berdiri atau brace orthotic spesial, atau
membutuhkan terapi akuatik dalam melakukan hal ini. Pasien TM sebaiknya diskreening untuk depressi
semenjak hal ini menjadi lebih sering dan seringkali menyebabkan penurunan compliance dengan
regimen terapi fisik dan secara jauh mempengaruhi hasil. Disfungsi seksual merupakan masalah sering
pada pasien TM, dan pria dengan disungsi ereksi seringkali melaporkan peningkatan fungsi seksual
dengan sildenafil (50 mg 1 hari sebelum aktivitas seksual, jika tidak ada respon dapat ditingkatkan hingga
100 mg sebelum aktivitas seksual). Pasien sebaiknya diskreening untuk osteoporosis meskipun jika
penurunan atau absen yang tegas dalam akselerasi penyerapan dimediasi osteokalst. Penilaian
densitometri tulang diikuti dengan terapi (Ca++ 1000 mg/hari dengan vitamin D 400 I.U/hari, dan
pertimbangan terapi bifosfat) mengurangi fraktur patologik selanjutnya dan deteriorasi fungsi. 11
Pasien seringkali meninggalkan disfungsi kandung kemih yang melibatkan waktu dari kandung kemih
atonik secara awal yang spastik dengan episode inkontinensia urine. Perubahan ini disebabkan oleh
perkembangan hiperaktivitas detrussor diikuti dengan kerusakan serat mikturisi descending. Pasien
dengan TM sacral (keterlibatan conus medullaris) dapat ditinggal dengan kandung kemih akontrakile
permanen jika lower motor neuron pada kandungkemih rusak. USG renal sebaiknya dilakukan dalam 3
bulan pertama untuk mengevaluasi kerusakan traktus atas, dan uji urodinamis juga sebaiknya dilakukan
kadangkala dalam enam bulan pertama diikuti TM untuk mengevaluasi penyimpanan tekanan tinggi dan
pengosongan sebagaimana DESD (detrusor-external sphincter dyssynergia). 12
Kondisi ini dapat menpredisposisi kedua kerusakan kronis terhadap traktus urinarius atas dan bawah
yang seringkali secara klinis diam. Evaluasi lebih jauh akan membantu klinisi dalam membedakan terapi
farmakologis untuk memaksimalkan fungsi urine. Tujuan dari management yang efektif dari disfungsi
kandung kemih adalah tekanan penyimpanan yang rendah (<10-15 cm H20), tekanan pengisian rendah
(<40-60 cm H20 pada pria dan <20-30 cm H20 pada wanita), dan pengurangan dalam volume residual
(<50-100cc). Hiperaktivitas detrusor yang mudah dapat ditangani dengan obat antikolinergik seperti
oxybutinin pelepasan jauh (5-10 mg qD atau BID), hyoscyamine (0.15-0.3 mg PO QID), tolterodine (1-2
mg BID) atau propantheline (15 mg PO q4-6), dimana DESD menjamin konsultasi urologi dan seringkali
terapi kombinasi. Stimulasi saraf sakral menjanjikan terapi baru yang dapat mengijinkan pasien untuk
mengurangi atau mengeliminasi kebutuhan kateterisasi intermittent. 12
Pasien seringkali meninggalkan kelemahan permanent diikuti TM. Strategi rehabilitasi standar seringkali
menghasilkan fungsionalitas peningkatan yang relevabt dan sebaiknya secara agresif dilakukan.
Rehabilitasi aquatik terutama menguntungkan pada pasien TM dengan latihan kardiovaskular,
pengurangan spastisitas, resumsi dari posisi tegak lurus, dan menjaga independensi sensorik. Beberapa
pasien melaporkan peningkatan yang signifikan dalam kekuatan dan disfungsi kandung kemih dalam
penggunaan dengan fampridine (4-AP). Obat ini merupakan bloker saluran potasium yang menginhibisi
repolarisasi baru di neuron. Maka, untuk itu, menambah konduksi dari saraf yang telah rusak. Obat ini
sebaiknya diberikan dengan perhatian akibat efek samping yang potensial meliputi paresthesia, agitasi,
peningkatan tekanan darah, insomnia dan nyeri kepala. Fampridine diawali pada 10 mg qD dan dititrasi
hingga dosis harian total 0.5-0.7 m/kg/hari. Dosis yang lebih tinggi dari 0.8 mg/kg/hari telah
menunjukkan menyebabkan kejang pada beberapa pasien dan sebaiknya dihindari. 12
Nyeri atau dyesthesia merupakan sekuele jangka panjang yang meresahkan pada 40% pasien TM. Gejala
seringkali ditangani dengan terapi gabapentin (hingga diatas 4800 mg/hari terbagi TID atau QID),
Pelepasan luas carbamazepine (hingga 1200 mg/hari terbagi BID), nortriptyline (hingga 100 mg/hari
diberikan qHS), atau tramadol (hingga 400 mg/hari terbagi TID atau QID). Opioids biasanya tidak lebih
efektif daripada obat-obatan diatas dan sebaiknya dihindari jika kesemuanya memungkinkan efek
samping dari konstipasi sekunder dan retensi urine. Opioid Intrathecal dapat diberikan melalui pompa
implant dan menawarkan bantuan signifikan dengan efek samping yang lebih sedikit pada individu yang
dipilih. TENS unit dapat diaplikasikan ke area lokal dysesthesia dengan bantuan yang signifikan untuk
ketidaknyamanan. 12
Konstipasi merupakan masalah berlanjut pada pasien TM yang seringkali membutuhkan kombinasi
stimulasi digital dan laksan. Tujuan dari management usus sebaiknyaevakuasi reguler dari feses yang
semi terbentuk untuk dorongan kronis. Banyak pasien yang berespon terhadap regimen dulcolax (dua kali
PO pada malam hari) and senekot (dua kali PO pada malam hari). Sebagai tambahan, penggunaan
intermitent dari bisacodyl pada dasar air (The Magic Bullet) sangat efektif dalam mayoritas pasien. 11
Spastisitas mempengaruhi secara virtual pada semua pasien dengan TM dan seringkali terbatas
perluasannya dalam penyembuhan. Pasien dapat melaporkan kekakuan, ketarikan, atau spasmus yang
nyeri dan seringkali timbul di paha dan kaki. Spastisitas dapat membatasi ambulasi, terutama pada
stimulus yang membuat destabilisasi postural. Baclofen (dimulai pada dosis 10 mg qd, dititrasi hingga
100-120 mg/d) seringkali berguna sebagai terapi lini tpertama dan efektif pada sekitar 60% individu.
Lemas dan perkembangan kelemahan merupakan efek samping yang potensial. Tizanidine (dimulai pada
dosis 2 mg/hari dititrasi hingga 24-32 mg/hari dalam tidga dosis terbag) merupakan medikasi yang secara
presinap menghambat neuron motorik pada medulla spinalis, dan secara teoritis lebih spesifik untuk
interneuron daripada baclofen. Dengan demikian dapat untuk kurang menyebabkan kelemahan, tetapi
tetap pada efek samping yang lemas. Diazepam (dimulai pada dosis 5 mg, dititrasi hingga 30-40 mg
dalam tiga dosis terbagi) dapat efektif pada pasien dengan spastisitas yang tidak dimodulasi baik oleh
tizanidine atau baclofen. 12
Untuk pasien yang secara fungsional terbatas spastisitas tidak ditangani dengan secara efktif dengan obat
oral, pemberian intratekal baclofen secara potensial merupakan alternatif yang efektif. Mengikuti uji coba
diagnostik pemberian baclofen melalui jarum lumbar pugsi (50 mcg, lalu jika tidak ada respon 75 mcg
atau 100 mcg), pompa subkutan diimplantasikan dimana memberikan baclofen ke ruang CSF. Angka
pemberian pompa dapat dimodulasi secara eksternal, dan pompa harus diisi secara perkutan 3-5
kali/tahun. Efek samping yang potensial termasuk infeksi pompa dan kelemahan, tetapi kelelahan dan
konstipasi yang memburuk biasanya tidak terlihat. 13
DAFTAR PUSTAKA
1) Defresne P, Meyer L, Tardieu M, Scalais E, Nuttin C, Bont B.D, et al: Efficacy of high dose steroid
therapy in children with severe acute transverse myelitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001;71:272-4.
2) Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy. Report of
two cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9.
3) Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol. 2000
Dec; 247(12): 943-8.
4) Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.
5) Choi JU, Hoffman HJ, Hendrick EB, Humphreys RP, Keith WS. Traumatic infarction of the
spinal cord in children. J Neurosurg 1986;65:608-10
6) Linssen W.H.J.P, Praamstra P, Gabreels F.J.M, Rotteveel J.J: Vascular insufficiency of the
cervical spinal cord due to minor trauma with hyperextension of spine in a child. Pediatr Neurol
1990;6:123-5.
7) Morris A.M, Elliott E.J, D’Souza R.M, Antony J, Kennett M, Longbottom H: Acute flaccid
paralysis in Australian children. J-Paediatr-Child-Health. 2003 Jan-Feb; 39(1): 22-6.
Yavuz H, Cakir M: Transverse myelopathy: an initial presentation of acute leukemia. Pediatr-
Neurol. 2001 May; 24(5): 382-4.
9) Knebusch M, Reiners K. Acute transverse myelitis in childhood: nine cases and review of
literature. Developmental Medicine & Child Neurology 1998;40:631-9.
10) De-Goede CG: Urinary problems following acute transverse myelitis in children. Dev-Med-
Child-Neurol. 2002 Mar; 44(3): 212-3.
11) Ganesan V, Borzyskowski M. Characteristics and course of urinary tract dysfunction after acute
transverse myelitis in. Dev Med Child Neurol 2001; 43(7): 437-5.
12) Krishnan C, Kaplin AL, Deshpande DM, Pardo CA, Kerr DA. Transverse Myelitis:
Pathogenesis, Diagnosis and Treatment. Frontiers in Bioscience 2004;9:1483-99.
13) Wilmshurst JM, Walker MC, Pohl KRE. Rapid onset transverse myelitis in adolescence:
implications for pathogenesis and prognosis. Arch-Dis-Child 1999;80(2): 137-42.
A. ANAMNESA
perlu ditanyakan keluhan utama pasien. Pada setiap keluhan ditanyakan :
1. Sejak kapan timbul
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis makan, dsb.)
5. Keluhan lain yang ada kaitannya
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk serangan, dsb.
Pada setiap pasien dengan penyakit syaraf, harus dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau kelainan di
bawah ini, dengan mengajukan pertanyaan.
9. Nyeri kepala
10. Muntah
11. Vertigo
12. Gangguan penglihatan
13. Gangguan pendengaran
14. Gangguan syraf otak lainnya
15. Gangguan fungsi luhur
16. Gangguan kesadaran
17. Gangguan motorik
18. Gangguan sensibilitas
19. Gangguan syaraf otonom
B. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN
Prinsip :
Untuk Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma glasgow yang
memperhatikan tanggapan / respon pasien terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon tersebut.
Tanggapan atau respon pasien yang perlu diperhatikan ialah : Respon Membuka mata (Eye), Respon
verbal (V), dan respon motorik (M).
Skala Glasgow
Area Pengkajian Nilai
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supra orbita atau kuku jari) 2
Tidak ada reaksi ( dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1
Respon verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi 5
Kacau (Confused), dapat berbicara dalam kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat 4
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata,
Namun tidak berupa kalimat atau tidak tepat 3
Mengerang (tidak mengucapkan kata,
hanya mengeluarkan suara erangan 2
Tidak ada respon 1
Motor Response
Menurut perintah (misalnya suruh pasien angkat tangan) 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supra orbita.
Bila pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud
menepis rangsangan tersebut, berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri
Reaksi menghindar / Withdraws 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) Abnormal Flexion 3
Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras
seperti ballpoint pada kuku jari, Bila sebagai jawaban siku memfleksi,
terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri
Reaksi ekstensi abnormal /Abnormal extention / desebrasi 2
Dengan rangsangan nyeri tersebut diatas, terjadi ekstensi pada siku.
Ini selalu disertai fleksi spastic pada pergelangan tangan.
Tidak ada reaksi 1
(harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa rangsangan nyeri telah adekuat
C. PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL
Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing seperti darah, maka
dapat merangsang selaput otak
1. Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara :
a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring
b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat ditekuk,
malah sering kepala terkedik ke belakang.
f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala.
2. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus,
b. lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan.
f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 o
3. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur.
b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,
c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah dan tungkai atas.
e. Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135o
4. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala
sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan.
d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
5. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan
lurus.
c. Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi perhatikan apakah ada kelumpuhan
pada tungkai.
D. PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK
1. Inspeksi
- Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak,
- Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas,
- Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan
- Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor, khorea, atetose,
distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni.
2. Palpasi
- Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya
- Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot
3. Pemeriksaan gerakan aktif
- Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa menahan gerakan
tersebut
- Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia menahan
Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat :
1. Fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan otot ekstremitas (skala
0 – 5)
1) 0 = tidak ada gerakan
2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak
3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya berat
6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa
Pada pemeriksaan kekuatan otot digunakan skala dari 0-5. Seperti pada gambar di bawah ini:
4. Pemeriksaan gerakan pasif
5. Koordinasi gerak
E. PEMERIKSAAN SENSORIK
1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri, Pemeriksaan rasa suhu
2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap
3. Pemeriksaan rasa getar
4. Pemeriksaan rasa tekan
5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam
6. Nyeri rujukan
F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius
Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)
Cara Pemeriksaan :
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip, karena
dapat mengurangi ketajaman penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol, amoniak, alkohol
dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung yang lainnya dengan
tangan.
2. Pemeriksaan N. II : Optikus
Fungsi : Sensorik khusus melihat
Tujuan pemeriksaan :
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada visus disebabkan oleh
kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf.
b. Mempelajari lapangan pandangan
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga tidak
mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandangan
Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan pemeriksaan
oftalmoskopik.
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :
1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa yang normal.
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan ditanyakan pukul
berapa.
3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku.
4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan menggunakan
gambar snellen.
6. Pemeriksaan snellen chart
a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m
b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya.
c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya norma (6/6)
d. Bila tidak normal :
i. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m, pasien hanya dapat memaca pada
jaral 6 m, namun bila pasien dapat melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang, lubang peniti),
huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi.
ii. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya gerakan atau tidak
iii. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang
Pemeriksaan Lapangan Pandangan :
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap normal., dengan
menggunakan metode konfrontasi dari donder.
1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangan
atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat
mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dan
pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan dibandingkan dengan
pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan
tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.
3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius
Fungsi : Sematomotorik, visero motorik
Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m levator
palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa mata).
4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis
Fungsi : Somatomotorik
Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah dan nasal.
5. Pemeriksaan N. V Trigeminus
Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan rahang ke
bahwa dan samping dan membuka mulut.
Bagian sensorik cabang Oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus
paranasal dan sebagian mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum
durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3
bagian depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak.
Cara pemeriksaan fungsi motorik :
a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan m. Temporalis,
perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.
b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh
Cara pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang dipersyarafi.
b. Periksa reflek kornea
6. Pemeriksaan N. VI Abdusen
Fungsi : Somatomotorik
Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah temporal
Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstra
okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara pemeriksaannya
bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus dan
strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil,
reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia disuruh ia
membuka matanya.
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang / menekan ringan
pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama ukurannya, apakah
bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada pupil.
Normal akan mengecil
iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena penyinaran pupil mata tadi
disebut dengan reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh.
7. Pemeriksaan N. VII Fasialis
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
Cara Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, plika
nasolabialis dan sudut mulut.
b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.
c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan gerakan seperti
menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris.
d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
e. Suruh pasien memejamkan mata
f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan menyebabkan
kontraksi otot mata yang di persyarafi.
Fungsi pengecapan :
a. Pasien disuruh menjulurkan lidah
b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran
c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.
d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.
8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus
Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan
Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :
a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber
Cara untuk menilai keseimbangan :
a. Tes romberg yang dipertajam :
- Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di depan jari-
jari kaki yang lain
- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih
b. Tes melangkah di tempat
- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan berjalan
seperti biasa
- Suruh pasien untuk tetap di tempat
- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan berputar
lebih 30 o
c. Tes salah tunjuk
- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa
- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke
posisi semula
- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk
9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
10. Pemeriksaan N. X Vagus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik
N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik :
- Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa
- Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama sekali.
- Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air
- Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia
- Pasien disuruh membuka mulut
- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula dalam
keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara. Abnormal
bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.
11. Pemeriksaan N. XI aksesorius
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara :
- pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan gerakannya.
- Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
b. Lihat otot trapezius
- apakah ada atropi atau fasikulasi,
- apakah bahu lebih rendah,
- apakah skapula menonjol
- Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien
- Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan :
- besarnya lidah,
- kesamaan bagian kiri dan kanan
- adanya atrofi
- apakah lidah berkerut
c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan
G. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)
Derajatnya : 0 = absen reflek
1=Menurun
2 = Normal
3 = Hiperreflek
4 = Hiperreflek dengan klonus
2. Reflek superficial
a. Reflek kulit perut :
epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen digores dari arah luar
menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut
b. Kremaster ( L 1-2)
Paha bagian dalam digores—kontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas
c. Reflek anus ( S3-4-5)
Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa kontraksi spingter ani
d. Reflek bulbokavernosus
Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus
5. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)
Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski
H. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS
1. Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul dorso fleksi ibu
jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
2. Chadock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan
3. Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+ = babinski)
4. Gordon
Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)
5. Scahaefer
Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles
6. Rosollimo
Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki
7. Mendel Rechterew
Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki
8. Hoffman –Trommer
Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah
Referensi :
Lumbantobing (2000) Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental, FKUI, Jakarta
Diposkan oleh Nenny Afrini di 03:12 0 komenta
Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma,
oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal baru kemudian
tumor pada lobus parietal dan temporal. (4,9,10)
Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik neuroimaging
tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan gejala hilangnya
kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan
bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak
menetap. (4,8,9)
Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut juga
mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari, dimana
muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya massa intrakranial. (4,8,9)
2. Gejala Klinik Lokal
Manifestasi lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi parenkim, infark atau edema.
Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen,
enzim proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi fokal yang reversibel. (4,9)
Tumor Kortikal
Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum yang diikuti paralisis pos-iktal.
Meningioma kompleks atau parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang. Tanda
lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant
dipengaruhi. Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus olfaktorius. (4,9)
Tumor Lobus Temporalis
Gejala tumor lobus temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal kontralateral, defisit
lapangan pandang homonim, perubahan kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks.
Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan sensoris dan berkurangnya konsentrasi
yang merupakan gejala utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain diantaranya disfungsi
traktus kortikospinal kontralateral, hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral dan
simple motor atau kejang sensoris. (4,9)
Tumor Lobus Oksipital
Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia homonym yang kongruen. Kejang fokal
lobus oksipital sering ditandai dengan persepsi kontralateral episodic terhadap cahaya senter, warna
atau pada bentuk geometri.
Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal
Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga menghambat ventrikel atau aquaduktus
dan menyebabkan hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan ventrikel sehingga
terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini
juga menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea, galaktorea dan gangguan
pengecapan dan pengaturan suhu. (4,9)
Tumor Batang Otak
Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan
kelemahan ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan hidrosepalus obstruktif dan
menimbulkan gejala-gejala umum. (4,9)
Tumor Serebellar
Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput merupakan gejala yang sering ditemukan
pada tumor serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol. (4,9)
3. Gejala Lokal yang Menyesatkan (False Localizing Features)
Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil dari lokasi tumor yang
sebenarnya. Sering disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-
struktur intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang menyebabkan kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor
pada korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia). (9)
V. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak yaitu melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu yaitu CT-Scan dan MRI. () Dari anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan
oleh penderita yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada
tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik mungkin
ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan deficit lapangan pandang. (2,5)
Pemeriksaan Penunjang
CT scan dan MRI memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur investigasi
awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit otak yang difus atau
fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan
tumor dari abses ataupun proses lainnya.
Foto polos dada dan pemeriksaan lainnya juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah
tumornya berasal dari suatu metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun multiple
pada otak.
Pemeriksaan cairan serebrospinal juga dapat dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan
juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di
otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan patologi anatomi,
sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri). (8,11)
VI. TERAPI
Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain :
- kondisi umum penderita
- tersedianya alat yang lengkap
- pengertian penderita dan keluarganya
- luasnya metastasis. (5)
adapun terapi yang dilakukan, meliputi Terapi Steroid, pembedahan, radioterapi dan kemoterapi.
Terapi Steroid
Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak berefek
langsung terhadap tumor. (4)
Pembedahan
Pembedahan dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis histologik dan untuk mengurangi efek
akibat massa tumor. Kecuali pada tipe-tipe tumor tertentu yang tidak dapat direseksi. (12)
Radioterapi
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-6000 cGy tiap
fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini didasarkan pada alasan bahwa sel-
sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan subletal dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis
tersebut. Radioterapi akan lebih efisien jika dikombinasikan dengan kemoterapi intensif. (12)
Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap diperlukan
sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor tertentu seperti
meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang otak, terapi tambahan berupa
kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif. (12)
VII. DIAGNOSIS BANDING
Gejala yang paling sering dari tumor otak adalah peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan
tanda deficit neurologik fokal yang progresif. Setiap proses desak ruang di otak dapat menimbulkan
gejala di atas, sehingga agak sukar membedakan tumor otak dengan beberapa hal berikut :
- Abses intraserebral
- Epidural hematom
- Hipertensi intrakranial benigna
- Meningitis kronik. (5)
VIII. PROGNOSIS
Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-negara maju, dengan
diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan dengan radioterapi,
angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun
(10 years survival) berkisar 30-40%. Terapi tumor otak di Indonesia secara umum prognosisnya masih
buruk, berdasarkan tindakan operatif yang dilakukan pada beberapa rumah sakit di Jakarta. (4,6)
DAFTAR PUSTAKA
1. Informasi tentang Tumor Otak dalam http://www.medicastore.com dikutip tanggal 13 November
2004
2. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Manual of Neurology
edisi 7, McGraw Hill, New York, 2002 : 258 – 263
3. Adams and Victors, Intracranial Neoplasms and Paraneoplastic Disorders in Principles of Neurology
edisi 7, McGraw Hill, New York, 2001 : 676 – 721
4. Syaiful Saanin, dr, Tumor Intrakranial dalam
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Pendahuluan.html, dikutip tanggal 13 November
2004
5. Harsono, Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1999 : 201 – 207
6. What you need to Know about Brain Tumor at http://www.cancer.gov
7. Mahar, M., Proses Neoplasmatik di Susunan Saraf dalam Neurologi Klinis Dasar edisi 5, Dian
Rakyat, Jakarta, 2000 : 390 – 402
8. Meyer, J.S., Gilroy J., Tumors of the Central Nervous System in Medical Neurology edisi 2,
McMillan Publishing C. Inc, New York, 1995 : 611 – 629
9. Bradley, Walter G., Neuro-Oncology in Pocket Companion to Neurology in Clinical Practice edisi
3, Butterworth, Boston 2000 : 239 – 267
10. Howard L.W., Lawrence P. L., Malignancy and the Nervous System in Neurology edisi 5, Williams
& Wilkins, Philadelphia, : 139 – 142
11. Facts About Brain Tumors at http://www.braintumor.org, dikutip tanggal 13 November 2004
12. John R.M., Howard K.W, A ,B, Cs of Brain Tumors — From Their Biology to Their Treatments at
http://www.brain-surgery.com, dikutip tanggal 13 November 2004
Meningioma, Tumor selaput otak
Tumor jinak , berasal dari sel arachnoid. Arachnoid adalah salah satu dari 3 lapisan selaput pembungkus
otak ( Mening).
Umumnya tumor ini jinak, menyerang lebih banyak pada wanita dibanding pria.
Pada umumnya, tingkat kesulitan operasi kelainan di otak ( tumor, gumpalan darah atau benda asing )
tergantung lokasi tumor. Makin ditengah dan makin didasar tengkorak, makin sulit.
Berikut ditampilkan sakah satu gambar kasus meningioma dan tindakan operasinya, yang dilakukan di
RS Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.