Você está na página 1de 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kertas kerja merupakan suatu dasar dalam penerapan standar auditing terutama
dalam hal pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Pentingnya konsep materialitas
yakni sebagai pertimbangan seorang auditor dalam menjalankan tugasnya.

Definisi materialitas mengharuskan seorang auditor dalam mempertimbangkan


keadaan baik yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang akan
meletakkan kepercayaannya. Materialitas merupakan dasar penerapan standar auditing,
terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Materialitas adalah besarnya
nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang
melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap
pertimbangan orang yang meletakan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena
adanya penghilangan atau salah saji itu.

Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak
memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya atas suatu laporan keuangan yang
mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya,
semakin rendah resiko audit yang auditor bersedia menanggung nya. Tujuan akhir auditor
dalam perencanaan dan pelakasanaan proses audit adalah mengurangi risiko audit ke
tingkat yang cukup rendah untuk mendukung pendapatnya. Tujuan ini dicapai dengan
mengumpulkan bukti audit tentang asersi yang terdapat dalam laporan keuangan yang
disajikan oleh manajemen. Oleh karena itu pentingnya materialitas, risiko dan strategi
audit awal guna memperlancar tugas seorang auditor serta sebagai bahan
pertimbangannya yang akan dibahas selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi materialitas?

2. Bagaimana cara menetapkan tingkat materialitas?

3. Apa saja jenis-jenis resiko audit?

1
4. Bagaimana hubungan masing-masing risiko audit?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi materialitas

2. Untuk mengetahui cara menetapkan tingkat materialitas

3. Untuk mengetahui jenis-jenis resiko audit

4. Untuk mengetahui hubungan masing-masing risiko audit

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Materialitas


2.1.1 Konsep Materialitas
Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi
akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan
perubahan atas suatu pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan
kepercayaan terhadap informasi itu, karena adanya penghilangan atau salah saji itu. Hal
itu mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan keadaan yang berkaitan dengan
entitas dan kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan
keuangan auditan.
Contohnya, jumlah yang material dalam laporan keuangan entitas tertentu
mungkin tidak material dalam laporan keuangan entitas lain yang memiliki ukuran dan
sifat yang berbeda. Maka, auditor dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas akun
modal kerja lebih rendah bagi perusahaan yang berada dalam situasi bangkrut bila
dibandingkan dengan suatu perusahaan yang memiliki current ratio 4 : 1.

2.1.2 Konsep Materialitas Penting dalam Audit atas Laporan keuangan


Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan
jaminan (guarantee) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan
keuangan auditan adalah akurat. Hal ini karena akan memerlukan waktu dan biaya yang
jauh melebihi manfaat yang dihasilkan. Karena itu, dalam audit atas laporan keuangan,
auditor memberikan keyakinan berikut ini :
1) Bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta
pengungkapannya telah dicatat, diingkas, digolongkan, dan dikompilasi.
2) Bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar
memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3) Dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi, dalam hal terdapat
perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar
dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan kecurangan.
Ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor :

3
1) Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yangdapat diterima
oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji
tersebut.
2) Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah
pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.

2.1.3 Pertimbangan Awal tentang Materialitas


Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam
perencanaan auditnya yang disebut materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda
dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit
dan dalam mengevaluasi temuan audit karena (1) keadaan yang melingkupi berubah
(2) informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif
berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan
keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah
saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena
penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut.
Contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor adalah :
1) Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti:
- Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan
- Total aktiva dan ekiutas pemegang saham dalam neraca
2) Faktor kualitatif seperti:
- Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum dan
kecurangan.
- Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang
mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa ratio keuangan pada
tingkat minimum tertentu.
- Adanya gangguan dalam trend laba
- Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan

Sebagai contoh, auditor memutuskan kombinasi salah saji berjumlah 8 % dari laba
bersih sebelum pajak dipandang material untuk laporan laba-rugi, dengan memperhatikan
faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Oleh karena itu, jika kombinasi salah saji
kurang dari 3 %, auditor akan memandang sebagai salah saji yang tidak material, dengan
4
memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Salah saji berada diantara 3 %
dan 8 % memerlukan pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya. Jika
misalnya, laba bersih sebelum pajak yang dipakai sebagai jumlah kunci berjumlah Rp
100 juta, maka batas materialitas (materiality border) untuk laporan laba-rugi berada
dalam kisaran :
Rp 3.000.000 sampai Rp 8.000.000
Batas bawah dihitung 3% x Rp100.000.000 dan batas dihitung 8% x Rp 100.000.000.
Contoh berikut ini menunjukan batas materialitas yang ditentukan oleh auditor :
1) Untuk total aktiva dalam neraca Rp 41 juta s.d Rp 100 juta
2) Untuk aktiva lancar Rp 25 juta s.d Rp 60 juta
3) Untuk total ekuitas pemegang saham dalam neraca Rp 15 juta s.d Rp 45 juta
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua
tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas lapoaran sebagai keseluruhan dan
tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan
menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.

2.1.4 Materialitas pada tingkat Laporan Keuangan


Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas yaitu:
1) Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dengan
membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah
dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah
pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan.
2) Kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit.
Contoh panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik :
a) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji 5 % sampai 10 % dari laba sebelum pajak.
b) Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji ½ % sampai 1 % dari total aktiva.
c) Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat
salah saji 1 % dari total pasiva.

2.1.5 Materialitas pada Tingkat Saldo akun


Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin
terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep
5
materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo
akun material.

2.1.6 Alokasi Materialitas laporan Keuangan ke Akun


Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memverifikasi akun tersebut.

2.2 Cara Menetapkan Tingkat Materialitas


Tahap kegiatan (penetapan materialitas awal) :
2.2.1 Penentuan dasar penetapan materialitas
Dasar penetapan materialitas diantaranya adalah laba bersih sebelum pajak, total
aset, ekuitas, total penerimaan, atau total belanja.
Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar, sebaiknya
mempertimbangkan :
a) Karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitas yang
diperiksa.
b) Area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan oleh pengguna
laporan keuangan
c) Kestabilan atau keandalan nilai yang akan dijadikan dasar.
Dasar penetapan materialitas yang dapat digunakan:
a) Total penerimaan atau total belanja, untuk entitas nirlaba
b) Laba sebelum pajak atau pendapatan, untuk entitas yang bertujuan mencari
laba, dan
c) Nilai aset bersih atau ekuitas, untuk entitas yang berbasis aset.
Mengenai angka yang harus diambil, apakah angka tahun lalu, tahun berjalan, atau
angka ekspektasi, tergantung pertimbangan reliabilitas atau keakuratan data. Praktik yang
umum dengan mengambil angka tahun lalu, kemudian disesuaikan dengan inflasi atau
perkiraan anggaran. Cara lain adalah dengan mengambil data actual pada saat
perencanaan, kemudian diekstrapolasi ke dalam sejumlah periode.
Misalnya : Dep Kesehatan mengemban tugas untuk meningkatkan kesehatan di
seluruh Indonesia sering melakukan proyek penelitian dan pengembangan mengenai
masalah-masalah kesehatan dan mendirikan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan, seperti
rumah sakit, pukesmas, dan sebagainya yang dibiayai oleh pemerintah. Nilai total belanja
6
pada Laporan Realiasi Anggaran(LRA) departemen tersebut cukup tinggi, dan pengguna
laporan keuangan diperkirakan akan tertarik untuk mengetahui penggunaan dana dari
pemerintah tersebut. Oleh karena itu, dasar penetapan materialitas yang paling
sesuaiuntuk pemeriksaan laporan keuangan departemen ini adalah total belanja.
2.2.2 Mempertimbangkan tingkat yang akan digunakan dalam menghitung
materialitas awal :
Tingkat materialitas
Keterangan entitas Tingkat Materialitas
Entitas nirlaba 0.5% - 5% dari total penerimaan atau total belanja
Entitas yang bertujuan mencari 5%-10% dari laba sebelum pajak atau 0.5% - 1%
laba dari total penjualan/pendapatan
Entitas berbasis aset 1% dari ekuitas atau 0.5% - 1% dari total aktiva

Kesalahan gabungan (E+) dalam laporan keuangan yang diperiksa, harus


dipertimbang -kan sebagai berikut:
• E+ > 10% ; dinilai “MATERIAL”
• E+ < 5% ; dinilai “TIDAK MATERIAL” bila tidak ada faktor kualitatif
• 5% < E+ < 10% ; memerlukan tindak lanjut berdasarkan kebijakan profesional auditor
bersangkutan untuk menentukan materialitasnya

Pedoman umum penerapan tingkat materialitas :


• 0.5% dari belanja/ pendapatan digunakan pada entitas nirlaba pada saat pemeriksaan
yang baru pertama kali dilakukan atau pada kondisi SPI entitas belum memadai.
Pemeriksa dapat berangsur-angsur meningkatkan tingkat materialitas yang akan
digunakannya pada pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya samapi dengan tingkat
materialitas 5 % dari total belanja / pendapatan
• 5 % - 10% dari laba sebelum pajak. Tingkat materialitas 10% digunakan pada
perusahaan nonpublic dan anak perusahaannya dan 5 % digunakan pada perusahaan
publik.
• 0.5% - 1% dari penjualan, apabila sebuah perusahaan telah beroperasi pada atau
mendekati titik impas dan keuntungan / kerugian bersih berfluktuasi dari tahun ke
tahun.

7
• 1% dari ekuitas pada saat hasil dari operasi sangat rendah yang menyebabkan
likuiditas sebagai perhatian utama/ pada saat pengguna laporan keuangan lebih
memfokuskan perhatian pada ekuita dari pada hasil dari operasi.
• 0.5% - 1% dari total aktiva pada saat ekuitas mengalami penurunan pada titik paling
rendah.
Dianjurkan : kepada pemeriksa menggunakan tingkat materialitas yang paling
rendah (paling konservatif) pada pemeriksaan atas laporan keuangan entitas yang baru
kali pertama diperiksa. Selain itu, tingkat materialitas yang konservatif juga harus
digunakan pada pemeriksaan atas laporan keuangan entitas-entitas yang mempunyai
risiko pemeriksaan tinggi atau belum mempunyai system pengendalian intern yang
memadai.

Penetapan Nilai Materialitas Awal


Nilai Materialitas Awal (PM) merupakan nilai materialita awal untuk tingkat
laporan keuangan secara keseluruhan. Nilai materialitas awal yang diperoleh merupakan
bearnya kesalahan yang mempengaruhi pertimbangan pengguna Laporan Keuangan.

Ilustrasi penetapan nilai materialitas awal :


Dasar Penetapan Materialitas : Total Belanja
Tingkat Materialitas : 1%
Nilai Total Belanja pada Laporan Rp 15.560.855,20 juta
Keuangan :
PM (penetapan nilai materialitas 1 % X Rp 15.560.855,20 juta = Rp
awal) : 155.608,55 juta

2.3 Jenis – Jenis Risiko Audit


2.3.1 Risiko Deteksi Terencana
Risiko deteksi terencana (planned detection risk) merupakan ukuran risiko
bahwa bukti audit atas segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah
saji yang melebihi suatu nilai salah saji yang masih dapat ditoleransi, andaikan
salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama tentang risiko deteksi
terencana ini yaitu sebagai berikut :

8
1) Risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model.
Risiko deteksi terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan
perubahan pada salah satu dari ketiga faktor lainnya tersebut.
2) Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk
dikumpulkan, yang merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana
itu sendiri.
Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus mengumpulkan
lebih banyak bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang ini.
2.3.2 Risko inheren
Risko inheren (inheren risiko) merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh
auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji yang
material (kekeliruan atau kecurangan) dalam suatu segmen sebelum ia
mempertimbangkan keefektifan dan pengendalian intern yang ada. Dengan
mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka risiko inheren ini dapat dinyatakan
sebagai kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya salah saji yang material. Jika
auditor, dengan mengabaikan pengendalian intern, menyimpulkan bahwa terdapat suatu
kecenderungan yang tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, maka auditor akan
menyimpulkan bahwa tingkat risiko inherennya tinggi. pengendalian intern diabaikan
dalam menetapkan dalam menetapkan nilai risiko inheren karena pengendalian intern ini
dipertimbangkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai risiko pengendalian.
Penilaian ini cenderung didasarkan atas sejumlah diskusi yang telah dilakukan dengan
pihak manajemen, pemahaman yang dimiliki akan perusahaan, serta hasil-hasil yang
diperoleh dari tahun-tahun sebelumnya.
Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit
yang direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan
risiko deteksi terencana serta memiliki hubungan yang searah dengan bukti audit.
Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat
risiko inheren yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang
umum dilakukan pula untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak
pengalaman untuk melakukan audit pada area tersebut serta melakukan riview yang lebih
mendalam pada kertas kerja yang telah selesai dibuat. Sebagai contoh : jika risiko inheren
atas keusangan persediaan sanagt tinggi, maka sangatlah masuk akal bila kantor akuntan
publik memilih staf yang berpengalaman untuk melakukan sejumlah tes yang lebih

9
mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan review yang lebih cermat atas
hasil-hasil yang diperoleh dari audit ini.
2.3.3 Resiko pengendalian
Resiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang digunakan oleh
auditor untuk menilai adanya kemungkina bahwa terdapat sejumlah salah saji material
yang melebihi nilai salah saji yang masi dapat ditoleransi atas segmen tertentu akan tidak
terhadang atau tidak terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki klien. Resiko
pengendalian ini memperhatikan 2 hal berikut:
1) Penilaian tentang apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk
mencegah atau mendeteksi terjadinya salah saji.
2) Kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada di bawah nilai
maksimum (100 persen) sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya.
Model resiko audit menunjukan hubungan yang erat antara resiko inheren dan
resiko pengendalian. Sama dengan yang terjadi pada resiko inheren, hubungan antara
resiko pengendalian dan resiko deteksi terencana adalah saling berlawanan, sementara
hubungan antara resiko pengendalian dan bukti substantif merupakan hubungan yang
searah. Sebagai contoh, jika auditor menyimpulkan bahwa pengendalian intern bersifat
efektif, maka nilai resiko deteksi terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit
yang direncanakan akan dikumpulkan akan turun. Auditor dapat meningkatkan resiko
deteksi terencana pada saat pengendalian intern bersifat efektif karena pengendalian
intern yang efektif akan mengurangi kemungkinan hadirnya salah saji dalam laporan
keuangan.
Sebelum auditor dapat menetapkan nilai resiko pengendalian kurang dari 100
persen, auditor harus memahami pengendalian intern yang ada, dan berdasarkan
pemahaman itu, auditor melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi
pengendalian intern tersebut, serta melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern
tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah keharusan untuk memahami semua jenis
audit. Dua hal terakhir adalah langkah-langkah penilaian resiko pengendalian yang
diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas resiko pengendalian supaya
berada di bawah nilai maksimum.
2.3.4 Resiko akseptibilitas audit
Resiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat
kesediaan auditor untuk menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih
mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu
10
laporan audit wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk
menetapkan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah, hal tersbut berarti
bahwa auditor ingin memperoleh tingkat keyakinan yang lebih tinggi bahwa laporan
keuangan tidak mengandung salah saji yang material. Resiko nol berarti yakin sekali, dan
suatu tingkat resiko sebesar 100 persen berarti benar-benar tidak yakin.
Dalam audit terdapat istilah audit assurance atau tingkat keyakinan, yaitu
merupakan pelengkap dari resiko akseptibilitas audit. Audit assurance dihitung dengan
perhitungan satu dikurangi resiko akseptibilitas audit. Sebagai contoh, tingkat resiko
akseptibilitas audit sebesar 2 persen sama dengan tingkat audit assurance sebesar 98
persen.
Dengan mempergunakan model audit, akan terlihat adanya hubungan yang searah
antara resiko akseptibilitas audit dan resiko deteksi terencana, serta hubungan yang saling
berlawanan antara resiko akseptibilitas audit dan bukti audit yang direncanakan. Sebagai
contoh, jika auditor memutuskan akan mengurangi nilai resiko akseptibilitas audit, maka
akan mengurangi pula resiko deteksi terencana serta bukti audit yang direncanakan akan
dikumpulkan harus ditingkatkan. Auditor pun seringkali harus menugaskan staf yang
lebih berpengalaman atau mereview kertas kerja dengan lebih cermat bagi klien dengan
tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah.
2.3.5 Resiko kecurangan
Resiko kecurangan merupakan resiko selain 4 resiko di atas dan resiko ini
biasanya di perhitungkan di luar dari model resiko audit. Karena resiko kecurangan secara
konsep dan praktek sangat sulit untuk dipisahkan faktor-faktornya ke dalam 4 jenis resiko
di atas. Kecurangan sendiri memiliki arti kesalahan penyajian yang dilakukan secara
sengaja dalam bentuk penggelapan aktiva dan kecurangan pelaporan keuangan.
Untuk menilai resiko kecurangan, auditor mengumpulkan informasi untuk
menentukan luasnya keberadaan kondisi kecurangan. Hal-hal yang menyebabkan
timbulnya resiko kecurangan antara lain tekanan yang diterima manajemen baik
kelompok maupun individual, kesempatan yang tercipta, dan perilaku manajemen untuk
membiarkan terjadinya tindakan ketidakjujuran tersebut.

2.4 HUBUNGAN MASING-MASING RISIKO AUDIT


Baik resiko pengendalian maupun resiko inheren umumnya ditentukan bagi setiap
siklus, setiap akun, dan seringkali pula bagi setiap tujuan audit, bukan bagi keseluruhan
penugasan audit, dan kemungkinan besar akan sangat bervariasi dari satu siklus ke siklus
11
lainnya, sari satu akun ke akun lainnya, serta dari satu tujuan audit ke tujuan audit lainnya
untuk suatu penugasan audit saja. Pengendalian intern barangkali memiliki tingkat
keefektifan yang lebih tinggi untuk sejumlah akun yang terkait dengan saldo daripada
atas akun-akun yang terkait dengan aktiva tetap. Selanjutnya, resiko pengendalian pun
akan berbeda bagi akun-akun yang berbeda.
Resiko akseptibilitas audit umumnya ditetapkan oleh auditor selama fase
perencanaan dan ditetapkan pada tingkat yang sama bagi setiap siklus dan akun utama.
Para auditor umumnya mempergunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama bagi
setiap segmen karena berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat resiko akseptibilitas
audit terkait dengan seluruh aspek penugasan audit, bukan pada masing-masing akun.
Tetapi, pada beberapa kasus, tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah
barangkali akan lebih tepat bagi suatu akun daripada akun-akun lainnya. Dalam contoh
terdahulu, walaupun auditor memutuskan untuk menggunakan suatu tingkat resiko
akseptibilitas audit yang menengah bagi keseluruhan penugasan audit, auditor dapat saja
memutuskan untuk mengurangi tingkat resiko akseptibilitas audit hingga tingkat yang
rendah bila ternyata persediaan tersebut dipergunakan sebagai jaminan atas suatu kredit
jangka pendek.
Beberapa auditor menggunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama
dengan tingkat resiko akseptibilitas audit atas keseluruhan penugasan audit bagi setiap
segmen auditnya, sementara sejumlah auditor lain menggunakan suatu tingkat resiko
akseptibilitas audit yang lebih tinggi bagi setiap segmen.
Karena tingkat resiko pengendalian dan tingkat resiko inheren sangat bervariasi
dari satu siklus ke siklus lainnya, dari satu akun ke akun lainnya, atau dari satu tujuan
audit ke tujuan audit lainnya, maka tingkat resiko deteksi terencana serta jumlah bukti
audit yang direncanakan pun semakin bervariasi. Setiap penugasan didasari oleh situasi-
situasi yang berbeda, serta rentang bukti audit yang diperlukan akan tergantung pada
sejumlah situasi yang unik. Sebagai contoh, pada suatu penugasan audit, akun persediaan
barangkali akan membutuhkan pengujian yang ekstensif akibat dari lemahnya
pengendalian intern serta akibat dari pertimbangan tentang tingkat keusangan yang terjadi
dari sejumlah perubahan teknologi yang terdapat dalam industri. Dalam penugasan audit
yang sama, akun piutang dagang barangkali hanya memerlukan sedikit pengujian saja
karena efektifnya tingkat pengendalian intern yang ada, tingkat penagihan piutang yang
tinggi, serta temuan audit yang baik pada penugasa audit tahun-tahun sebelumnya. Maka
bagi suatu audit atas persediaan, auditor dapat menetapkan suatu penilaian bahwa di
12
dalam akun tersebut terdapat suatu tingkat resiko inheren yang tinggi atas suatu salah saji
dalam nilai yang terealisasi akibat dari tingginya potensi keusangan persediaan, tetapi
menetapkan suatu tingkat resiko inheren yang rendah atas suatu salah saji dalam
klasifikasi karena pada klien tersebut hanya terdapat persediaan yang dibeli dari pihak
ketiga saja.

13
DAFTAR PUSTAKA

AL Haryono Jusuf (2001), Auditing, Buku Dua, Yogyakarta: STIE YKPN

Arens dan James K. Loebbecke (2003), Auditing: Pendekatan Terpadu Jakarta: Salemba
Empat

14

Você também pode gostar