Você está na página 1de 4

Pendampingan Autis dan Air Mata yang Jatuh di Cobek

Edhie Prayitno Ige


13 Apr 2017, 07:00 WIB

Masa kecil Faisal yang asyik dengan dunianya


sendiri. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)
Liputan6.com, Semarang - Tingkat stres seorang ibu
yang memiliki anak autis nyaris sama dengan kadar
stres tentara di medan perang. Temuan itu
diperoleh para peneliti dari University of Wisconsin-
Madison pada 2009 lalu. Masalahnya, seorang
tentara memang sudah dilatih untuk siap
berperang. Sementara tak ada ibu yang dilatih siap
mengasuh anak autis.
Ikhwal itu dialami Sri Murni ketika awal mendampingi putranya, Muhammad Faisal Hakim. Awalnya
Faisal lahir normal dengan berat 4,2 kilogram dan panjang 52 sentimeter.
Perkembangannya baik, mulai dari tengkurap, merangkak hingga berjalan. Semua tampak normal.
Usia dua tahun delapan bulan, putra pasangan Muhammad Taufik dan Sri Murni itu menunjukkan
perubahan. Faisal hanya bisa mengucap ’bababa’ saja.
Tak hanya itu, Faisal juga gampang mengamuk, meski hanya mendengar ayam tetangga berkokok.
Faisal juga sangat tertarik memperhatikan putaran kipas angin. Ia hidup dalam dunianya sendiri.
Karena panik dan stres maka Sri Murni membawa Faisal ke RSUP Dr Karyadi Semarang. Faisal
diperiksa di klinik tumbuh kembang, spesialis anak, psikiatri, psikolog, THT kemudian lanjut
ke terapiwicara dan akhirnya ikut tes BERA.
"Diagnosanya terlambat bicara. Kami harus rutin terapi. Namun karena ekonomi yang sulit,
terapi berhenti, kami tak punya uang untuk naik angkot," kata Sri Murni.
"Di tengah derajat stres tinggi itu, kami sempat mendatangi beberapa paranormal. Astaghfirullah,
semoga Allah mengampuni cara kami waktu itu." Sri Murni menghentikan usahanya berjualan es
mambo. Ia memilih mendampingi Faisal 24 jam. Meski demikian itu tak langsung membuatnya bisa
menerima Faisal.
"Saya gampang marah, mungkin karena miskin. Saya kemudian meminta Ibu Aisyah Dahlan, seorang
ustazah di Semarang untuk membimbing batin saya agar bisa menerima Faisal," kata Sri Murni.
Tiga bulan baru ia bisa menyingkirkan persepsi bahwa Tuhan tidak menyayanginya dan Faisal. Sri
Murni mulai bisa mengendalikan diri ketika Fasial tantrum (mengamuk).
Sri Murni menghukum diri jika terpancing ikut marah, yakni dengan bersedekah Rp 500,-. Kondisi
keuangan yang sedang minim sehingga uang Rp 500,- sangat berarti mengharuskannya tidak marah
agar tak kena denda. Bisa menerima Faisal secara utuh, ternyata tak menyelesaikan masalah. Ketika
Faisal berusia 6 tahun 9 bulan, dokter menyatakan bahwa Faisal menyandang autisme.
"Panik dan kembali stres. Yang pertama dibayangkan adalah besarnya biaya untuk terapi delapan
jam per hari," kata Sri Murni.
Dengan sisa harapan yang ada, dikepung panik dan stres, Sri Murni tetap mencoba membawa Faisal
terapi. Tidak lagi delapan jam setiap hari, namun dua hari sekali. Sisanya, ia sendiri yang
mendampingi.

Sumber:
http://regional.liputan6.com/read/2918683/pendampingan-autis-dan-air-mata-yang-jatuh-di-cobek
Kisah Wella, Pasien Kepribadian Ganda Pertama di Indonesia,
Punya 9 Kepribadian
Selasa, 25 April 2017 19:47

Anastasia Wella dengan karakter berbeda.


TRIBUN-MEDAN.com-Mungkin Anda menganggap penderita kepribadian ganda hanya ada di film.
Penderita seperti itu bisa menjadi orang yang berbeda sama sekali.Ternyata di Indonesia, kasus itu
benar-benar ada. Namanya Anastasia Wella, seorang wanita yang memiliki sembilan karakter yang
sangat berbeda. Saat dia menjadi satu karakter, dia tak akan ingat karakter lain. Anastasia Wella ini
mengidap penyakit Dissociative Identity Disorder (DID). Wartawan Grid.ID, Nailul Iffah, berhasil
bertemu langsung dengan Wella, di Jakarta (17/4/2017).
Menurut Wella, biasanya karakter ini akan muncul ketika dia menghadapi masalah, merasa
terancam atau berada dalam pilihan yang sulit. Jika Wella sudah mulai panik, migran dan muncul
rasa cemas, biasanya itu pertanda akan ada yang hadir dan menguasai dirinya secara tak terduga.
Wella memiliki sembilan karakter dengan nama dan kepribadian yang berbeda. Karakter itu adalah
Wella sebagai host atau pribadi asli, Naura karakter temperamen, Paula seseorang yang ahli
berhitung. Lalu ada Saraswati karakter model dan penari, Atin sosok anak kecil, Andreas sosok pria
yang suka melakukan kekerasan.Beberapa kepribadian Wella. Ada pula karakter Ravelin sosok anak
millenials, Ayu sosok yang pandai menulis sastra. Bahkan ada sosok Bilqis yang pintar baca Al-Quran.
Akibat kisahnya yang rumit itu, namanya mendadak viral.

Akibat Bully dan Siksaan


Wella yang berbincang secara langsung dengan wartawan Grid.ID menjelaskan bahwa ia mengalami
trauma yang dahsyat akibat perlakuan kasar dari orang tuanya. Anak kedua dari empat bersaudara
ini, dulu sering disiksa secara luar biasa. Dia juga sering mengalami tekanan dari lingkungan
sekolah.Wella sering dikucilkan, cupu, minder, dibully, dan merasa sendiri sehingga rasa takut terus
menghantuinya."Kadang dikunci di ruang sampe pulang, sampe nangis aku dikerjain teman-teman,"
kenang Wella. Kejadian itu terus terulang. Terlebih saat itu Wella masih berusia 9 tahun. Sulit
rasanya untuk melupakan perlakuan yang menimpa dirinya.Itulah yang menyebabkan Wella menjadi
pasien mengidap penyakit DID yang pertama diketahui di Indonesia.Sebut saja Wella
sebagai host atau sosok asli, dengan 9 alterego atau karakter lain yang menguasai dirinya saat ia
berada dalam tekanan."Mereka muncul tiba-tiba tanpa saya sadar"."Selama alterego menguasai,
saya rasanya seperti tertidur tanpa mengingat kejadian apa yang sedang berlangsung," jelas Wella.
Faktor itulah yang membuat Wella tak memiliki teman. Dia sempat dianggap kesurupan hingga
nyaris dibilang gila. Akhirnya Wella bertemu dengan seorang psikiater yang bernama Ni Wayan Ani
Purnamawati. Psikiater ini menangani kasus dirinya. Psikiater Ni Wayan tak langsung percaya dengan
ucapan Wella karena takut bahwa cerita ini hanya ilusi yang diciptakan oleh Wella.Setelah
melakukan observasi dari 2013 hingga 2015, serta bertemu dengan keluarga dan mendengarkan
langsung cerita dari Wella, dokter Wayan menyebut ini sebagai gangguan."Saya tanya sama dokter
apa saya bisa sembuh atau tidak karena saya sempat merasa putus asa harus mengonsumsi obat
terus"."Jawabnya tujuan terapi ini bukan sembuh tapi meminimalisir munculnya alterego pada diri
saya, seperti split kepribadian saat ada masalah," terang Wella.

Biaya Berobat Sangat Mahal


Biaya yang harus dikeluarkan Wella terbilang sangat mahal. Dia dan keluarganya harus merogoh
kocek cukup dalam. Bagaimana tidak? Dia harus membayar sebesar Rp 3,6 juta untuk sekali
pertemuan hanya untuk psikiater saja. Belum lagi Rp 1,2 untuk harga obat. Sedangkan Wella harus
rutin konsultasi setiap seminggu sekali. Hal ini tentu saja dianggap berat.Karena itu Wella berharap
pemerintah bisa lebih bijak dalam menangani kasus seperti dirinya. Meski begitu semangat Wella
untuk sembuh tak pernah surut. Terlebih saat ini ia sudah memiliki pasangan yang menerima dia apa
adanya. (Grid.id/Nailul Iffah)

Sumber:
http://medan.tribunnews.com/2017/04/25/kisah-wella-pasien-kepribadian-ganda-pertama-di-
indonesia-punya-9-kepribadian?page=3

Rabu 06 Desember 2017, 17:46 WIB


Sering Makan Sisa Katering, Pria di Karawang Ini Obesitas Ekstrem
Luthfiana Awaluddin - detikNews

Karawang - Yudi Hermanto, pria asal Karawang mengalami kenaikan berat badan drastis. Bobot
badan pria 33 tahun itu mencapai 310 kilogram.Saking beratnya, sejak 5 bulan lalu, Yudi tak bisa
berjalan. Bahkan untuk sekedar buang air, pria asal.Desa Sirnabaya, Kecamatan Telukjambe Timur
itu menggunakan pispot. Sejak Senin lalu (4/12), Yudi pun dirawar di RSUD Karawang.
"Apa aja dimakan," kata Yudi dengan nafas tersengal-sengal, saat ditemui detik di ruangan
Pangkalan kamar 199, RSUD Karawang Rabu (6/12/2017). Yudi bercerita, berat badannya mulai naik
pada tahun 2015. Saat itu, dia bekerja sebagai petugas sekuriti di perusahaan katering terkemuka di
Karawang. Yudi yang selalu bertugas malam hari, kerap diberi sisa makanan katering oleh sopir mobil
catering. "Setiap mobil lewat, biasanya supir selalu ngasih makanan sisa pesanan kepada satpam.
Nih buat makan," ujar Yudi menirukan ucapan satpam. Yudi mengaku selalu menyantap makanan
pemberian para sopir itu. "Ya dimakan saja. Soalnya enak, ada daging ayam, sapi, ikan dan lainnya.
Semuanya saya suka. Enggak ada pantangan," kata Yudi. Yudi bercerita, setelah bekerja selama
setahun sebagai sekuriti, berat badannya mencapai 110 Kg. Ia pun berhenti bekerja pada
pertengahan tahun 2016. Sejak saat itu ia pun menganggur. Di waktu mengganggur, kebiasaan
makan Yudi semakin tidak terkontrol. Setiap hari, Yudi menghabiskan waktu dengan menonton TV
dan makan. "Setahun itu duduk terus, malas gerak sih dianya. Makanan saja minta diambilkan,"
ungkap Siti Zaenah (55), ibu kandung Yudi. Dalam satu tahun, kata Siti, bobot anak keduanya itu
bertambah drastis. Bahkan, menurut Siti, berat badan Yudi bertambah hingga 200 Kg. "Sampai anak
saya nggak bisa jalan kaki," ungkap Siti. Hal itu, menurut Siti disebabkan oleh kebiasaan makan Yudi
yang berlebihan. Dibanding adik dan kakaknya, Yudi juga paling menonjol dalam urusan makan.
"Kalau masalah makan, dia paling banyak di rumah. Hampir setiap saat mulutnya nggak berhenti
ngunyah. Ngemilnya banyak," ungkap Siti. "Bahkan makanan sodara - sodaranya selalu diminta.
Baru selesai makan nasi, makan roti, terus saja makan," Siti Menambahkan. Tim dokter RSUD
Karawang menyatakan Yudi mengalami obesitas ekstrem. Ruhimin, Kasubag Humas RSUD Karawang
menyatakan, saat ini, Yudi sedang ditangani oleh dokter spesialis penyakit dalam. "Kita sedang
periksa darah pasien, kabar terakhir, kita sedang berupaya mengeluarkan cairan dari dalam perut
pasien," kata Ruhimin kepada wartawan. Kasus obesitas di Karawang bukan kali ini saja. Sebelumnya
Arya Permana, bocah 10 tahun yang disebut bocah terberat di dunia dengan berat badan 190
kilogram. Saat ini Arya masih berjuang menurunkan berat badannya. (ern/ern)

Sumber:
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3757842/sering-makan-sisa-katering-pria-di-karawang-
ini-obesitas-ekstrem?_ga=2.110951308.809956309.1513792099-919134297.1471362682

Você também pode gostar