Você está na página 1de 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 SEPSIS NEONATORUM


 Pengertian
Sepsis neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi dalam 28 hari
pertama setelah kelahiran. (Mochtar, 2005)
Sepsis neonatal adalah sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat
infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan
protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir. (Depkes, 2007)
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan
gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit
sepsis dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa
pengobatan yang memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam
waktu 24 sampai 48 hari. (Surasmi, 2003)
 Etiologi
1. Invasi mikroorganisme (bakteri, virus dll)
2. Faktor maternal terdiri dari:
a. Ruptur selaput ketuban yang lama
b. Persalinan prematur
c. Amnionitis klinis
d. Demam maternal
e. Manipulasi berlebihan selama proses persalinan
f. Persalinan yang lama
3. Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang
terkena sepsis, tetapi tidak terbatas pada buruknya praktek cuci tangan
dan teknik perawatan, kateter umbilikus arteri dan vena, selang sentral,
berbagai pemasangan kateter selang trakeaeknologi invasive, dan
pemberian susu formula.
4. Faktor penjamu meliputi jenis kelamin laki-laki, bayi prematur, berat
badan lahir rendah, dan kerusakan mekanisme pertahanan dari
penjamu. (Wijayarini, 2005).

2
 Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus
melalui beberapa cara yaitu:
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan
umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah
janin. Penyebab infeksi adalah virus yang dapat menembus
plasenta antara lain: virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki,
influenza, parotitis. Bakteri yang melalui jalur ini antara lain:
malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina
dan serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya terjadi
amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus
masuk ketubuh bayi. Cara lain yaitu pada saat persalinan,
kemudian menyebabkan infeksi pada janin dapat terjadi melalui
kulit bayi atau port de entre, saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi oleh kuman (misalnya: herpes genetalia, candida
albicans, gonorrhea).
c. Infeksi pascanatal atau sesudah melahirkan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi sesudah
kelahiran, terjadi akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar
rahim (misalnya melalui alat-alat penghisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot).
Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi, dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat
melalui luka umbilikus. (Surasmi, 2003)
 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak
spesifik. Tanda dan gejala sepsis neonatorum, diantaranya :

3
a. Tanda dan gejala umum meliputi hipertermi atau hipotermi (demam)
bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak ada tampak sakit, berat
badan menurun tiba-tiba, menyusu buruk/intoleransi pemberian susu;
b. Tanda dan gejala pada saluran pernafasan meliputi dispnea, takipnea,
apnea, tampak tarikan otot pernafasan, merintih, mengorok, dan
pernafasan cuping hidung;
c. Tanda dan gejala pada system kardiovaskuler meliputi hipotensi, kulit
lembab, pucat dan sianosis;
d. Tanda dan gejala pada saluran pencernaan mencakup distensi
abdomen, malas atau tidak mau minum, diare;
e. Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat meliputi letargi, refleks
moro abnormal, reflek hisap buruk, iritabilitas, kejang, hiporefleksia,
fontanel anterior menonjol;
f. Tanda dan gejala hematology mencakup tampak pucat, ikterus,
petekie, purpura, perdarahan, splenomegali.
g. Gejala juga tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya :
 Infeksi pada tali pusar (omfalitis) bisa menyebabkan keluarnya
nanah atau darah dari pusar.
 Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak bisa
menyebabkan koma, kejang, opistotonus (posisi tubuh
melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun
 Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya
pergerakan pada lengan atau tungkai yang terkena
 Infeksi pada persendian bisa menyebabkan pembengkakan,
kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat
 Infeksi pada selaput perut (peritonitis) bisa menyebabkan
pembengkakan perut dan diare berdarah.
Pathway
Menurut Bobak, 2005 :

Invasi Bakteri dan kontaminasi sistemik



Pelepasan endotoksi oleh bakteri

4

Perubahan fungsi miokaridum hipotalamus

Gangguan proses pernapasan pusat termuregulator

Gangguan fungsi mitokondria ketidakstabilan suhu

Kekacauan metabolic yang progresif

Kerusakan dan kematian sel

Penurunan perfusi jaringan

Asidosis metabolik

Syok septik insufisiensi

Disseminated Intravasculer coagulation

Sepsis neonatorum

5
 Pencegahan
1. Pada masa antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara ,
imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu,
asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang
dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat
pelayanan yang memadai bila diperlukan.
2. Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya
dalam melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan
aseptik. Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin
dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan
janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan
secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan
selaput lendir.
3. Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi
normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan
peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri,
perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik. Menghindari
perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan
menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang
setiap bayi. Pemantauan bayi secara teliti disertai pendokumentasian
data-data yang benar dan baik. Semua personel yang menangani atau
bertugas di kamar bayi harus sehat. Bayi yang berpenyakit menular di
isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui
pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. (Sarwono, 2004)
 Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium
Bila sindroma klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis
secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, fungsi lumbal, analisis
dan kultur urin :

6
1. Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
2. Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal
fungsi dapat mendeteksi organismo
3. DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) atau
Leukositosis (>34.000×109/L) dengan peningkatan neutrofil immatur
yang menyatakan adanya infeksi. Perbandingan netrofil immature
(stab) dibanding total (stb + segmen) atau I/T ratio > 0,2
4. Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) >10mg /dl atau 2 SD
dari normal akan meningkat menandakan adanya inflamasi.
 Penatalaksanaan Medis
Prinsip pengobatan sepsis neonatorum adalah mempertahankan
metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian
cairan intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Menurut Yu Victor Y. H dan
Hans E. Monintja pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria
efektif berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah, dan mudah
diperoleh, tidak toksik, dapat menembus sawar darah otak atau dinding
kapiler dalam otak yang memisahkan darah dari jaringan otak dan dapat
diberi secara parenteral. Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan
gentamisin atau ampisilin dan kloramfenikol, eritromisin atau sefalasporin
atau obat lain sesuai hasil tes resistensi.
Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum :
 Ampisislin 200 mg/kg BB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian
 Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 pemberian
 Kloramfenikol 25mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian
 Sefalasporin 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian
 Eritromisin500 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. (Surasmi, 2003)
 Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
a. Data Demografi
b. Pengakajian dilakukan melalui anamnesis untuk mendapatkan data
yang perlu dikaji adalah :
 Riwayat Penyakit Keluarga

7
 Riwayat Tumbuh Kembang
1. Riwayat prenatal
Anamnesis mengenai riwayat inkompatibilitas darah,
riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi
sebelumnya, kehamilan dengan komplikasi, obat yang
diberikanpd ibu selama hamil / persalinan, persalinan
dgntindakan / komplikasi.
2. Riwayat neonatal
Secara klinis ikterus pada neonatal dapat dilihat segera
setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang
tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu
sendiri. Bayi menderita sindrom gawat nafas, hepatitis
neonatal, stenosis pilorus, hiperparatiroidisme, infeksi
pasca natal dan lain-lain.
 Riwayat Imunisasi
 Sosial ekonomi
 Riwayat perawatan antenatal
o Ada/tidaknya ketuban pecah dini
o Partus lama atau sangat cepat (partus presipitatus)
o Riwayat persalinan di kamar bersalin, ruang operasi atau
tempat lain
o Apakah selama kehamilan dan saat persalinan pernah
menderita penyakit infeksi (mis, taksoplasmosis, rubeola,
toksemia gravidarum dan amnionitis)
o Riwayat penyakit menular seksual (sifilis, herpes
klamidia, gonorea, dll)
c. Pada pengkajian fisik ada yang akan ditemukan meliputi :
 Letargi (khususnya setelah 24 jam pertama)
 Tidak mau minum/reflek menghisap lemah
 Regurgitasi
 Peka rangsang
 Pucat

8
 Hipotoni
 Hiporefleksi
 Gerakan putar mata
 BB berkurang melebihi penurunan berat badan secara fisiologis
 Sianosis
 Gejala traktus gastro intestinal (muntah, distensi abdomen,diare)
 Hipotermi
 Pernapasan mendengkur bardipnea atau apenau
 Kulit lembab dan dingin
 Pucat
 Pengisian kembali kapiler lambar
 Hipotensi
 Dehidrasi
 Pada kulit terdapat ruam, ptekie, pustula dengan lesi atau herpes.
d. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah :
 Bilirubin
 Kadar gular darah serum
 Protein aktif C
 Imunogloblin IgM
 Hasil kultur cairan serebrospinal, darah asupan hidung,
umbilikus, telinga, pus dari lesi, feces dan urine.
 Juga dilakukan analisis cairan serebrospinal dan pemeriksaan
darah tepi dan jumlah leukosit.

2.2 ASFIKSIA

A. Pengertian
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas
secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum
lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah

9
ini erat hubungannya dengan kesehatan ibu selama atau sesudah
persalinan. (Asuhan Persalinan Normal, 2007).
Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis
(Hidayat, 2005).
B. Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenta sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi
berkurang. Hipoksia bayi didalam Rahim ditunjukan dengan gawat janin
yang dapat berlanut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya
asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya :
1. Faktor ibu
a. Preeklamsia dan eklampsia
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Partus lama atau partus macet
d. Demam selama persalinan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC,
HIV)
e. Kehamilan lewat waktu (> 42 minggu kehamilan)
2. Faktor tali pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapses tali pusat
3. Faktor bayi
a. Bayi premature (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang,bayi kembar, sitosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstaksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur meconium (warna kehijauan)

10
C. Manifestasi klinis
1. Tidak bernafas atau bernafas mengap-mengap
2. Denyut jantung kurang dari 100×/menit
3. Tonus otot menurun
4. Warna kulit kebiruan
5. Kejang
6. Penurunan kesadaran
D. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat dapat berasal dari faktor ibu, janin, dan plasenta.
Adanya hipoksia dan iskemia jaringan menyababkan perubahan fung-
sional dan biokimia janin. Faktor ini berperan pada kejadian asfiksia.
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi
berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukan dengan gawat janin
yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Pernafasan spontan bayi baru lahir tergantung pada kondisi janin pada
masa kehamilan dan persalinan. Bila terjadi gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen selama kehamilan atau persalinan akan terjadi
asfiksia yang sangat hebat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel
tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang
terjadi dimulai suatu periode apnea disertai penurunan frekuensi. Pada
asfiksia berat usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
periode apnea kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan
tekanan darah. Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan
perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat
pertama hanya terjadi asidosis respiratorik. Bila berlanjut dalam tubuh
bayi akan terrjadi metaolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen
tubuh, sehinga glikogen tubuh terrutama pada jantung dan hati akan
berkurang.

Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang


disebabkan oleh beberpa keadaan diantaranya :

11
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengruhi
fungsi jantung
2. Terjadi asidosis metabolic yang akan menimbulkan kelemahan otot
jantung
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan
tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi
darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami
gangguan.
E. Klasifikasi
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Asfiksia Ringan (vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan
tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang (mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asfiksia
dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak
lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung
menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat.
Pemeriksaan Apgar untuk bayi :
Nilai APGAR
Tanda Nilai
0 1 2
A : Appearance Biru atau Tubuh Tubuh dan
(color) warna kulit pucat kemerahan, ekstremitas
ekstremitas biru
biru

12
P : Pulse (heart Tidak ada ˂ 100×/menit > 100×/menit
rate) denyut nadi

G : Grimance Tidak ada Gerakan Menangis


(reflek) sedikit
A : Activity (tonus lumpuh Reflek lemah Aktif
otot)
R : Respiration Tidak ada Lemah Tangisan kuat
(usaha nafas)
Penilaian :
7  10 : normal (vigorous baby)
4  6 : asfiksia sedang
0  3 : asfiksia berat

Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila
nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit
sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan
resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk
memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi
tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin. Diagnosis anoksia/hipoksia dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. 3 hal yang
perlu mendapat perhatian yaitu :
4. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak
artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai di bawah
100×/menit diluar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur hal itu
merupakan tanda bahaya.
5. Meconium dalam air ketuban

13
Meconium pada presentasi sungsamh tidak ada artinya, akan tetapi
pada presensi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan
harus diwaspadai. Adanya meconium dalam air ketuban pada
presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri
persalinan bila itu dapat dilakukan dengan mudah.
6. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat serviks
dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah
janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan
turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai dibawah 7,2 hal itu
dianggan sebagai tanda bahwa mugkin gawat janin disertai asfiksia.
(Wiknjosastro,1999)
7. Pemeriksaan penunjang :
a. Foto polos dada
b. USG Kepala
c. Laboratorium : darah rutin( Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) :
kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%), analisa gas darah dan
serum elektrolit.
d. PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status
parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.
e. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan
adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah
merah, menunjukkan kondisi hemolitik.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Resusitasi
Tindakan resusitasi tidak melihat nilai APGAR. Tindakan resusitasi
bayi baru lahir mengikutu tahapan-tahapan yang dikenal sebagai
ABC resusitasi, yaitu :
a. Memastikan saluran terbuka :
 Meletakan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal
2-3 cm.
 Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.

14
 Bila perlu meemasukkan pipa endo tracheal (pipa ET) untuk
memastikan saluran nafas terbuka.
b. Memulai pernafasan :
 Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafarsan
 Memakai VTP bila perlu seperrti : sungkup dan balon pipa
ET dan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi)
c. Mempertahankan sirkulasi :
Rangsaangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
kompres dada.
Melakukan tindakan resusitasi, cara resusitasi dibagi dalam tindaan
umum dan tindakan khusus :
a. Tindakan umum
 Pengawasan suhu
 Pembersihan jalan nafas
 Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
b. Tindakan khusus
 Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segara dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2
dengan tekanan dan intermiten, cara terbia dengan
intubasi endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30
mmHg. Asfiksia berat hampir selalu disertai asidosis.,
koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kg BB.
kedua obat ini disuntikan kedalam intra vena perlahanan
melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas
jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung.
Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan
positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak
didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung,
maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan
frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi
tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu

15
ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding
toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai
kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh
ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi
atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau
stenosis jalan nafas.
 Asfiksia sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila
dalam waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan,
ventilasi aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana
dengan kateter O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi
diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala. Kemudioan
dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan
mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan
frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan
dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan
gerakan pernapasan spontan, usahakan mengikuti gerakan
tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam
1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif
secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke
mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada
ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong
diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan
nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan
tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjasi
penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot,
intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonas
natrikus dan glukosa dapat segera diberikan, apabila 3
menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan

16
teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan
adekuat.
2. Terapi medikamentosa :
1. Epinefrin
Indikasi :
a) Denyut jantung bayi < 60×/menit setelah paling tidak 30
detik dilakukan ventilasi adekuat dan pemijatan dada
b) Asistolik
Dosis : 0,1-0,3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 (0,01mg -
0,03mg/kg BB) cara : IV atau endortakeal. Dapat diulang setiap
3-5 menit bila perlu.
2. Volume ekspander
Indikasi :
a) Bayi lahir yang dilakukan resusitasi menglami hipovolemia
dan tidak ada respon dengan resusitasi.
b) Hipovolemia kemungkunan akibat adanya pendarahan atau
syok. Klinis ditandai dengn adanya pucat perfusi buruk, nadi
kecil/lemah dan pada resusitasi tidak memberikan respon
yang adekuat.
Jenis cairan :
a) Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%, ringer laktat)
b) Transfuse darah golongan O negative jika diduga kehilangan
banyak darah
Dosisi : 0,1 -0,3 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat
diulangi sampai menunjukkan respon klinis.
3. Bikarbonat :
Indikasi :
a) Asidosis metabolic, bayi-bayi baru lahir yang mendapatkan
resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
b) Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolic dan
hyperkalemia harus disertai dengan pemerikasaan analisa gas
darah dan kimiawi.

17
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 ml/kg BB (4,2%) atau 1ml/kg BB
(8,4%)
Cara : Diencerkan aquabides atau dekstrose 5% sma banyak
diberikan secara IV dengan kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping : Pada keadaan hiperosmoloritas dan kandungan
CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.

H. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
a. Identitas orang tua
b. Identitas bayi baru lahir :
1) Tanggal lahir : ... jam : ...
2) Jenis kelamilan
3) Kelahiran tunggal / ganda
4) Lahir hidup / mati
5) Ukuran : BB, PB, LK, LD, LLA.
6) Apgar skor
c. Riwayat Persalinan :
1) Cara persalinan : ... ditolong oleh : ... atas indikasi : … Persalinan
di : ...
2) Lama persalinan kala I : ... Perdarahan : ...
3) Lama persalinan kala II : ...
4) Ketuban lama pecah : warna : ... bau : ...
d. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum tampak lemah
b. Kepala : bentuk mesocephal, ubun-ubun besar sudah menutup.
c. Mata : sklera tak ikterik, konjungtifa tak anemis
d. Hidung : bentuk simetris, ada cuping hidung, Nampak sesak,
belum napas.
e. Telinga : bentuk simetris, tak ada kotoran
f. Mulut : bibir sianosis, membran mukosa tak kering
g. Leher : tak ada pembesaran kelenjar tiroid

18
h. Dada : bentuk simetris, ada retraksi dada
i. Frekuensi nafas < 30 kali/menit, atau apnea (henti napas > 20
detik)
j. Jantung : denyut jantung < 100 kali/menit
k. Paru-paru : masih terdengar suara nafas tambahan ( ronkhi basah
+)
l. Abdomen : meteorismus + tali pusat berwarna putih dan masih
basah
m. Kulit : warna kulit sianosis
n. Extremitas : tak ada tonus otot, tonus otot sedikit/lemah
o. Refleks : tak ada reflek moro

2.3 RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM

A. Pengertian
Respiratory Distress Syndrome atau RDS adalah suatu keadaan dimana
bayi mengalami kegawatan pernafasan yang diakibatkan kurang atau
tidak adanya surfaktan dalam paru-paru (Nelson, 2000).

Dikenal juga sebagai respiratory distress sydrom yang idiopatik, hyaline


membrane disease merupakan keaadaan akut yang terutama ditemukan
pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering pada
bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat
dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29
minggu mengalami RDS.

Bangunan paru janin dan produksi surfactan penting untuk fungsi


respirasi normal. Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada
masing-masing bayi. Bayi prematur lahir sebelum produksi surfactan
memadai. Surfactan, suatu senyawa lipoprotein yang mengisi alveoli,
mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja respirasi dengan
menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfactan, tegangan
permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya

19
komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar
sehingga terjadi hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory.
Reduksi pada ventilasi akan menyebabkan ventilasi dan perfusi sirkulasi
paru menjadi buruk, menyebabkan keadaan hipoksemia. Hipoksia
jaringan dan acidosis metabolik terjadi berhubungan dengan atelektasis
dan kegagalan pernafasan yang progresif. RDS merupakan penyebab
utama kematian dan kesakitan pada bayi prematur, biasanya setelah 3 – 5
hari. Prognosanya buruk jika support ventilasi lama diperlukan, kematian
bisa terjadi setelah 3 hari penanganan.
B. Etiologi
Kurang atau tidak adanya surfaktan dalam paru-paru. Unsur utama
surfaktan adalah dipalmitilfosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol,
apoprotein dan kholesterol.
Fakto-faktor yang menyebabkan :
1. Bayi dari ibu diabetes
2. Persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu/ premature
3. Kehamilan multijanin
4. Persalinan SC
5. Persalinan cepat
6. Asfiksia
C. Patofisiologi
Tidak adanya surfaktan berperan dalam kegagalan mengembangkan
kapasitas residu fungsional (Functional Residual Capasity) dan kecende-
rungan paru-paru terkena atelektasis serta mempunyai korelasi dengan
tegangan permukaan alveolar yang tinggi. Sintesis surfaktan sebagian
bergantung pada pH, suhu dan perfusi normal. Sintesis dapat ditekan juga
dalam keadaan asfiksia, hipoksemia, hipotensi maupun jejas akibat kadar
oksigen yang turun pada alveolar. Definisi sintesis atau pelepasan
surfaktan bersama dengan unit saluran pernafasan dan dinding dada yang
lemah, menghasilkan atelektasis, mengakibatkan adanya perfusi pada
alveolus tetapi tidak ada ventilasi dan menyebabjan hipoksia.
D. Manifestasi klinis

20
1. Kesulitan dalam memulai respirasi normal
2. Dengkingan (grunting) pada saat ekspirasi, diamati pada saat bayi
tidak dalam keadaan menangis (disebabkan oleh penutupan glotis)
merupakan tanda atau indikasi awal penyakit, berkurangnya
dengkingan mungkin merupakan tanda pertama perbaikan.
3. Refraksi sternum dan interkosta
4. Nafas cuping hidung
5. Sianosis pada udara kamar
6. Respiarasi cepat atau kadang lambat jika sakit parah
7. Auskultasi; udara yang masuk berkurang
8. Edema ekstremitas
9. Pada foto rontgen ditemukan retikulogranular, gambaran bulat-bulat
kecil dengan corakan bronkogram udara.
Kelainan-kelainan Fisiologis :
1. Daya kembang paru-paru berkurang hingga mencapai seperlima
sampai sepersepuluh nilai normal.
2. Daerah paru yang tidak mengalami perfusi luas mencapai 50-60%
3. Aliran darah kapiler pulmonal kurang
4. Ventilasi alveolus berkurang dan usaha nafas meningkat
5. Volume paru-paru berkurang
Perubahan-perubahan ini menyebabkan hipoksemia, seringkali hiperkarbia
dan jika mengalami hipoksemia berat menimbulakan asidosis.
E. Penatalaksanaan Medis
Perawatan suportif awal bayi terutama penanganan hipoksia, hipotermia,
sangat mengurangi tingkat keparahan RDS :
1. Bayi ditempatkan didalam inkubator dengan suhu didalamnya
dipertahankan 35-36oC.
2. Kalori dan cairan diberikan glukosa 10 % dengan kecepatan 65-75
ml/kg/24 jam
3. Bayi dengan RDS yang berat dan apnoe memerlukan bantuan
ventilasi mekanis (pH arteri <7,20; pCO2 60 mmHg atau lebih; pO2
darah arteri 50 mmHg atau kurang pada kadar O2 70-100 %)

21
4. Pemasukan surfaktan eksogen kedalam endotrakea bayi dan ventilasi
mekanis untuk pengobatan (rescue terapi) dapat memperbaiki
ketahanan hidup dan mengurangi incidens kebocoran udara paru
(Survanta adalah surfaktan eksogen yang dpersiapkan dari paru sapi
yang dicincang halus dengan ekstra lipid ditambahkan fosfatidilkolin,
asam palmitat dan trigliserida; sedangkan eksosurf adalah surfaktan
sintesis yang mengandung dipalmitiodilfosfatidilkolin, heksadekanol
dan tiloksapol).
Usaha pokok penanganan penyakit ini harus selalu dipusatkan pada usaha
pencegahan. Sejumlah besar penelitian menunjukkan tingginya insiden
kelainan tanpa alasan setelah persalinan sesar yang tidak disertai
dokumentasi memadai maturitas pulmonal berdasarkan tes cairan
amnion. Memperpanjang umur kehamilan dengan tirah baring dan atau
obat-obat yang menghambat persalinan prematur (misal agen tokolitik)
dan induksi surfaktan pulmonal dengan cara pemberian steroid melalui
ibu, memainkan peran penting untuk mengurangi insiden penyakit ini.

Sedangkan menurut Martin, 1999 perawatan pendukung bayi dengan


RDS adalah :
1. Tenaga
 Perawat terlatih (rasio 1:1 atau 1:2) dan alat pemantau
 Dokter terlatih tersedia
2. Pengawasan suhu dengan teliti untuk mempertahankan bayi pada
suhu netral
3. Monitoring tanda vital
 Pengukuran pH, Pa CO 2, Pa O 2 dan HCO 3 tiap 4 jam
 Pertahnkan Pa O2 sebesar 50-80 mmHg, kontinu optimal
 Pantau tekanan darah
 Usahakan memeprrtahankan pH
 Batasi pemberian Na HCO3 sebesar 8 meq/kg/hari
4. Terapi surfaktan (membutuhkan pipa endotrakeal)

22
5. Glukosa IV sebesar 60 ml/kg pada hari pertama, 80-100 ml/kg
pada hari kedua dengan penentuan berat badan bagi bayi-bayi kecil
untuk menghitung jika H2O dibutuhkan lebih banyak.
6. Pemberian O2 diawasi, dihangatkan dan dilembabkan
mengguanakan kap (hood)
7. Terus menerus memantau pernafasan, frekuensi denyut jantung dan
suhu
8. Pengukuran kadar gula darah dan hematokrit sering dilakukan (Na,
K, Cl tiap 12-24 jam)
9. Lakukan tranfusi jika hematokrit sentral awal < 40 atau jika
hematokrit < 40 selama fase akut penyakit.
10. Catat semua hasil pengamatan dalam satu formulir
11. Lakukan kultur darah dan mengurangi prosedur rutin sepereti
pengisapan, pemegangan dan auskultasi.
F. Penatalaksanaan Keperawatan
Pengkajian
1. Identitas : lengkap, termasuk orang tua bayi
2. Riwayat kesehatan :
a. Keluhan utama, terutama sistem pernafasan : cyanosis, grunting,
RR, cuping hidung
b. Riwayat kesehatan : terutama umur kehamilan, proses persalinan
3) Pemeriksaan Fisik :

a. Keadaan umum : kesadaran, vital sign


b. Pemeriksaan persistem :
 Sistem pernafasan : kesulitan respirasi normal. Refraksi
strenum dan interkosta, nafas cuping hidung, cyanosis pada
udara kamar, grunting, respirasi cepat atau lambat
 Sistem kardiovaskulaer : takikardia, nadi lemah atau cepat,
akral dingin atau hangat, cyanosis perifer
 Sistem gastrointestinal : muntah, kembung, peristaltik
menurun atau meningkat
 Sistem perkemihan : keluaran urine, warna

23
2.4 HIPOTERMI PADA BBLR

A. Pengertian
Hipotermia adalah pengeluaran panas akibat paparan terus-menerus
terhadap dingin mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi
panas. (Patricia A. 2005).
Hipotermi pada BBL adalah suhu di bawah 36,5 ºC, yang terbagi atas :
hipotermi ringan (cold stres) yaitu suhu antara 36 - 36,5 ºC, hipotermi
sedang yaitu antara 32-36ºC, dan hipotermi berat yaitu suhu tubuh <32ºC.
(Yunanto, 2008:40).
B. Etiologi
Hipotermia dapat terjadi setiap saat apabila suhu disekeliling bayi rendah
dan upaya mempertahankan suhu tubuh tetap hangat tidak diterapkan
secara tepat, terutama pada masa stabilisasi yaitu 6-12 jam pertama,
setelah lahir. Misalnya bayi baru lahir dibiarkan basah dan telanjang
selama menunggu plasenta lahir atau meskipun lingkungan sekitar bayi
cukup hangat namun bayi dibiarkan telanjang atau segera dimandikan.
Terjadi perubahan termoregulasi dan metabolik sehingga :
 Suhu bayi baru lahir dapat turun beberapa derajat setelah kelahiran
karena lingkungan eksternal lebih dingin daripada lingkungan di
dalam uterus.
 Suplai lemak subkutan yang terbatas dan area permukaan kulit yang
besar dibandingkan dengan berat badan menyebabkan bayi mudah
menghantarkan panas pada lingkungan.
 Kehilangan panas yang cepat dalam lingkungan yang dingin terjadi
melalui konduksi, konveksi, radiasi, dan evaporasi.
 Trauma dingin cold stress (hipotermia) pada bayi baru lahir, dalam
huhungannya dengan asidosis metabolik dapat bersifat mematikan
bahkan pada bayi cukup bulan yang sehat
Mekanisme kehilangan panas :
1. Evaporasi adalah cara kehilangan panas yang utama pada tubuh
bayi. Kehilangan panas terjadi karena menguapnya cairan ketuban

24
pada permukaan tubuh bayi setelah lahir karena bayi tidak cepat
dikeringkan atau terjadi setelah bayi dimandikan
2. Konduksi adalah kehilangan panas melalui kontak langsung antara
tubuh bayi dengan permukaan yang dingin. Bayi yang diletakkan
diatas meja, tempat tidur atau timbangan yang dingin akan cepat
mengalami kehilangan panas tubuh melalui konduksi
3. Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi saat bayi ditempatkan
dekat benda yang mempunyai temperatur tubuh rendah dari
temperature tubuh bayi. Bayi akan mengalami kehilangan panas
melalui cara ini meskipun benda yang lebih dingin tersebut tidak
bersentuhan langsung dengan tubuh bayi.
4. Konveksi Yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara
sekeliling bayi. Missal: bayi diletakkan dekat, pintu / jendela
terbuka.
C. Manifestasi Klinis
1. Sejalan dengan menurunnya suhu tubuh, bayi menjadi kurang aktif,
tidak kuat menghisap asi, dan menangis lemah.
2. Timbulnya sklerema atau kulit mengeras berwarna kemerahan
terutama dibagian punggung, tungkai dan tangan.
3. Muka bayi berwarna merah terang
4. Tampak mengantuk
5. Kulitnya pucat dan dingin
6. Lemah, lesu, menggigil
7. Kaki dan tangan bayi teraba lebih dingin dibandingkan dengan bagian
dada
8. Ujung jari tangan dan kaki kebiruan
9. Bayi tidak mau minum/menyusui
10. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi menurun
Indikasi Hipotermia :
 Gejala awal hipotermia apabila suhu < 360C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin.Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka
bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C - <360C).

25
 Gigi gemeretakan, merasa sangat letih dan mengantuk yang sangat
luar biasa
 Selanjutnya pandangan mulai menjadi kabur, kesigapan mental
dan fisik menjadi lamban
 Bila tubuh bayi basah, maka serangan hiportemia akan semakin
cepat dan hebat.
Tanda-tanda klinis hipotermia :
Hipotermia sedang
1. Kaki teraba dingin
2. Kemampuan menghisap lemah
3. Tangisan lemah
4. Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata.
Hipotermia berat
1. Sama dengan hipotermia sedang
2. Pernafasan lambat tidak teratur
3. Bunyi jantung lambat
4. Mungkin timbul hipoglikemi dan asidosisi metabolic
5. Stadium lanjut hipotermia
6. Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang
7. Bagian tubuh lainnya pucat
8. Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada
punggung, kaki dan tangan (sklerema).
D. Patofisiologi
Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada
sentral pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus
sewaktu mencapai brown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal
sehingga trigliserida dioksidasi menjadi gliserol dan asam lemak. Blood
gliserol level meningkat, tetapi asam lemak secara lokal dikonsumsi
untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas, kemudian
didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah. Ini
menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan
glukosa untuk metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap

26
hangat.Methabolicther mogenesis yang efektif memerlukan integritas
dari sistem syaraf sentral,kecukupan darib r own fat, dan tersedianya
glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi
pada sistem syaraf pusat antara lain: depresi linier dari metabolisme otak,
amnesia, apatis, disartria, pertimbangan yang terganggu adaptasi yang
salah, EEG yang abnormal, depressi kesadaran yang progresif, dilatasi
pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat terjadi kehilangan
autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli yang
hilang, dan penurunanyangprogressif dari aktivitas EEG. Pada jantung
dapat terjadi takikardi, kemudian bradikardi yang progressif, kontriksi
pembuluh darah, peningkatan cardiacout put, dan tekanan darah.
Selanjutnya, peningkatan aritmia atrium dan ventrikel, perubahan EKG
dan sistole yang memanjang, penurunan tekanan darah yang progressif,
denyut jantung, dan cardiacout put disritmia serta asistole. Pada
pernapasan dapat terjadi takipnea, bronkhorea, bronkhospasma,
hipoventilasi konsumsi oksigen yang menurun sampai 50%, kongesti
paru dan edema, konsumsi oksigen yang menurun sampai 75%, dan
apnoe. Pada ginjal dan sistem endokrin, dapat terjadicold diuresis,
peningkatan katekolamin, steroid adrenal, T3 dan T4 dan menggigil;
peningkatan aliran darah ginjal sampai 50%, autoregulasi ginjal yang
intak, dan hilangnya aktivitas insulin. Pada keadaan berat, dapat terjadi
oliguri yang berat dan poikilotermia.
E. Penanganan dan Pencegahan
Mengatasi bayi hipotermi dilakukan dengan cara :
Prinsip penanganan hipotermia adalah penstabilan suhu tubuh dengan
menggunakan selimut hangat (tapi hanya pada bagian dada, untuk
mencegah turunnya tekanan darah secara mendadak) atau menempatkan
pasien di ruangan yang hangat. Berikan juga minuman hangat(kalau
pasien dalam kondisi sadar). Penanganan Hipotermi dengan pemberian
panas yang mendadak, berbahaya karena dapat terjadi apnea sehingga
direkomendasikan penghangatan 0,5-1°C tiap jam (pada bayi < 1000
gram penghangatan maksimal 0,6 °C). (Indarso, F, 2001). Alat-alat

27
Inkubator Untuk bayi < 1000 gram, sebaiknya diletakkan dalam
inkubator. Bayi-bayi tersebut dapat dikeluarkan dari inkubator apabila
tubuhnya dapat tahan terhadap suhu lingkungan 30°C. Radiant Warner
Adalah alat yang digunakan untuk bayi yang belum stabil atau untuk
tindakan-tindakan. Dapat menggunakan servo controle (dengan
menggunakan probe untuk kulit) atau non servo controle (dengan
mengatur suhu yang dibutuhkan secara manual).
Pencegahan Hipotermia Pada Bayi :
1. Bayi dibungkus dengan selimut dan kepalanya ditutup dengan topi.
Jika bayi harus dibiarkan telanjang untuk keperluan observasi
maupun pengobatan, maka bayi ditempatkan dibawah cahaya
penghangat.Untuk mencegah hipotermia, semua bayi yang baru lahir
harus tetap berada dalam keadaan hangat.
2. Di kamar bersalin, bayi segera dibersihkan untuk menghindari
hilangnya panas tubuh akibat penguapan lalu dibungkus dengan
selimut dan diberi penutup kepala.
3. Melaksanakan metode kanguru, yaitu bayi baru lahir dipakaikan
popok dan tutup kepala diletakkan di dada ibu agar tubuh bayi
menjadi hangat karena terjadi kontak kulit langsung.Bila tubuh bayi
masih teraba dingin bisa ditambahkan selimut.
4. Bayi baru lahir mengenakan pakaian dan selimut yang disetrika atau
dihangatkan diatas tungku.
5. Menghangatkan bayi dengan lampu pijar 40 sampai 60 watt yang
diletakkan pada jarak setengah meter diatas bayi.
6. Terapi yang bisa diberikan untuk bayi dengan kondisi hipotermia,
yaitu jalan nafas harus tetap terjaga juga ketersediaan oksigen yang
cukup.

28
2.5 HIPERTERMI PADA BBLR

A. Pengertian
Hipertermi pada BBL adalah suhu di atas 37,5 ºC. Hipertermia adalah
peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan hipotalamus bila
mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat dan penyakit) atau
dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan) atau internal (metabolik).
Sengatan panas (heat stroke) per definisi adalah penyakit berat dengan ciri
temperatur inti > 40 derajat celcius disertai kulit panas dan kering serta
abnormalitas sistem saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma yang
disebabkan oleh pajanan panas lingkungan (sengatan panas klasik).
Lingkungan yang terlalu panas juga berbahaya bagi bayi. Keadaan ini
terjadi bila bayi diletakkan dekat dengan sumber panas, dalam ruangan
yang udaranya panas, terlalu banyak pakaian dan selimut.
B. Etiologi
Terjadinya hipertermi pada bayi dan anak, biasanya disebabkan karena :
1. Perubahan mekanisme pengaturan panas sentral yang berhubungan
dengan trauma lahir dan obat-obatan
2. Infeksi oleh bacteria, virus atau protozoa
3. Kerusakan jaringan misalnya demam rematik pada pireksia, terdapat
peningkatan produksi panas dan penurunan kehilangan panas pada
suhu febris.
C. Manifestasi Klinis
 Suhu tubuh bayi > 37,5 °C
 Frekuensi nafas bayi > 60 x / menit
 Tanda-tanda dehidrasi yaitu berat badan menurun, turgor kulit
kurang, jumlah urine berkurang
D. Patofisiologi
Sengatan panas didefinisikan sebagai kegagalan akut pemeliharaan suhu
tubuh normal dalam mengatasi lingkungan yang panas. Orang tua
biasanya mengalami sengatan panas yang tidak terkait aktifitas karena
gangguan kehilangan panas dan kegagalan mekanisme homeostatik.

29
Seperti pada hipotermia, kerentanan usia lanjut terhadap serangan panas
berhubungan dengan penyakit dan perubahan fisiologis.
E. Penanganan dan Pencegahan
Penanganan Hipertermi :
1. Bayi dipindahkan ke ruangan yang sejuk dengan suhu kamar seputar
26°C- 28°C
2. Tubuh bayi diseka dengan kain basah sampai suhu bayi normal
(jangan menggunakan es atau alcohol)
3. Berikan cairan dektrose NaCl = 1 : 4 secara intravena dehidrasi
teratasi
4. Antibiotic diberikan apabila ada infeksi

Terapi untuk mengatasi hipertermia adalah pendinginan. Hal ini dimulai


segera di lapangan dan suhu tubuh inti harus diturunkan mencapai 39
derajat Celsius dalam jam pertama. Lamanya hipertermia adalah yang
paling menentukan hasil akhir. Berendam dalam es lebih baik dari pada
menggunakan alkohol maupun kipas angin. Komplikasi membutuhkan
perawtan di ruang intensif.

Suhu tubuh kita dalam keadaan normal dipertahankan di kisaran 37'C oleh
pusat pengatur suhu di dalam otak yaitu hipotalamus. Pusat pengatur suhu
tersebut selalu menjaga keseimbangan antara jumlah panas yang
diproduksi tubuh dari metabolisme dengan panas yang dilepas melalui
kulit dan paru sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan dalam kisaran
normal. Walaupun demikian, suhu tubuh kita memiliki fluktuasi harian
yaitu sedikit lebih tinggi pada sore hari jika dibandingkan pagi harinya.

Demam merupakan suatu keadaan dimana terdapat peningkatan suhu


tubuh yang disebabkan kenaikan set point di pusat pengatur suhu di otak.
Hal ini serupa dengan pengaturan set point (derajad celsius) pada remote
AC yang bilamana set point nya dinaikkan maka temperatur ruangan akan
menjadi lebih hangat. Suatu nilai suhu tubuh dikatakan demam jika

30
melebihi 37,2 ‘C pada pengukuran di pagi hari dan atau melebihi 37,7'C
pada pengukuran di sore hari dengan menggunakan termometer mulut.
Termometer ketiak akan memberikan hasil nilai pengukuran suhu yang
lebih rendah sekitar 0.5'C jika dibandingkan dengan termometer mulut
sehingga jenis termometer yang digunakan berpengaruh dalam
pengukuran suhu secara tepat.

Sebagian besar kasus demam memang disebabkan oleh berbagai penyakit


infeksi dan peradangan sehingga gejala demam seringkali diidentikkan
dengan adanya infeksi dalam tubuh. Namun sebenarnya ada banyak proses
lainnya selain infeksi yang dapat menimbulkan gejala demam antara lain
alergi, penyakit autoimun, kelainan darah dan keganasan. Berbagai proses
tersebut akan memicu pelepasan pirogen, yaitu mediator penyebab
demam, ke dalam peredaran darah yang lebih lanjut akan memicu
pelepasan zat tertentu yang bernama prostaglandin sehingga akan
menaikkan set point di pusat pengaturan suhu di otak.

31
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Diagnosa Keperawatan Asfiksia


1. Risiko ketidakseimbangan suhu tubuh b.d terpapar suhu lingkungan
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d hipoventilasi
3. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli, alveolar
edema, alveoli perfusi
4. Risiko cedera b.d hipoksia jaringan
3.2 Diagnosa Keperawatan Respiratory Distress Syndrom
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan kekentalan sekresi
paru, meningkatnya tahanan nafas, kehilangan sillia jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas b.d akumulasi cairan dan protein dalam area
alveolar, hipoventilasi alveolar dan kehilngan surfaktan menyebabkan
kolap alveolar
3.3 Diagnosa Keperawatan Hipotermi dan Hipertermi
1. Pola nafas tidak efektif b.d imaturitas organ pernafasan
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas oleh
penumpukan lendir, reflek batuk
3. Risiko ketidakseimbangan temperatur tubuh b.d BBLR, usia kehamilan
kurang, paparan lingkungan dingin/panas.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan ingest atau digesti atau absorbsi
5. Ketidakefektifan pola minum bayi b.d prematuritas
6. Hipotermi b.d paparan lingkungan dingin
7. Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan system kekebalan tubuh
3.4 Diagnosa Keperawatan Sepsis Neonatorum
1. Ketidakefektifan pola afas b.d apnea
2. Risiko Infeksi b.d penularan infeksi pada bayi sebelum, selama dan
sesudah kelahiran.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d minum
sedikit atau intoleran terhadap minuman.

32

Você também pode gostar