Você está na página 1de 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian terbesar diseluruh
dunia. Angka kematian penyakit kardiovaskuler meningkat di negara yang
berpendapatan rendah dan menengah. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan pada tahun 2030 sekitar 23,6 juta penduduk dunia diperkirakan
meninggal karena penyakit kardiovaskuler, dan 60% dari seluruh kematian
diakibatkan oleh penyakit jantung koroner dan serangan jantung mendadak
(Mendis et al, 2011 dalam Rusminingsih, 2015). Menurut British Heart
Foundation (2011) dalam Rusminingsih (2015) penyakit jantung koroner menjadi
penyebab utama serangan jantung dan dapat mengancam kehidupan. Di Indonesia
PKV pada survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRT) 1972 menunjukkan
PKV menduduki urutan ke-l1. Penyebab kematian pertama untuk usia di atas 40
tahun (Anwar, 2014).
Menurut Rusminingsih (2015), penyakit jantung sering disebut “silent
killer” karena penderita sering tidak menyadari adanya penyakit jantung tiba-tiba
jatuh dalam kondisi serangan jantung akut. Serangan jantung terjadi ketika aliran
darah ke suatu bagian otot jantung terhambat, jika aliran darah tidak bisa
diperbaiki dengan cepat, bagian dari jantung akan rusak karena kekurangan
oksigen dan bisa mengakibatkan kematian (National Heart Lung and Blood
Institute, 2011).
Penyakit jantung ada beberapa macam, antara lain penyakit jantung
coroner, juga disebut penyakit arteri koroner (CAD), penyakit jantung iskemik
(IHD), atau penyakit jantung aterosklerotik, dan gangguan otot jantung karena
hasil akhir dari akumulasi plak ateromatosa dalam dinding-dinding arteri yang
memasok darah ke miokardium (otot jantung) (Lasmini & Herianto, 2018).
Faktor risiko yang timbul dari penyakit kardiovaskular antara lain
kebiasaan merokok, kurangnya aktifitas fisik, obesitas atau kelebihan berat badan,
penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi serta adanya riwayat
keluarga. Saat ini, trennya terjadi pada usia muda, dikarenakan gaya hidup serta
perilaku remaja yang kurang baik yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan
(Lestari, et all, 2014). Faktor penyebab yang lain seperti emboli kardio, CKD,
aritmia, penyakit jantung koroner, PSMBA, gastritis, dan hiperglikemia (Asmara
& Handayani, 2017). Komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit jantung yaitu
gagal jantung, serangan jantung, penyakit stroke, henti jantung, penyakit arteri
perifer, aneurisma, emboli paru, fibrilasi atrial, serta angina.
Menurut Asmara & Handayani (2017), mengatakan bahwa penyebab
kematian di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dikelompokkan kedalam tiga 3
keadaan, yaitu gagalnya fungsi otak (Central Nervous System), gagalnya fungsi
jantung (Circulatory System), dan gagalnya fungsi paru-paru (Respiratory
System). Kematian karena gagalnya fungsi jantung di IGD dengan frekuensi
sebesar 42 pasien (36.5%) dari 115 pasien. Sedangkan hasil penelitian Wally
(2014), pasien dengan penyakit jantung yang masuk ICU atau HCU dengan
jummlah 58 pasien. Pasien terjadi cardiac arrest sebanyak 45 orang (77,6%) dan
13 (22,4%) tidak terjadi cardiac arrest. Pasien yang berespon terrhadap resusitasi
sebanyak 5 orang (14,3%) sedangkan yang tidak berespon sebanyak 30 (85,7%).
Triase merupakan pengambilan keputusan yang kompleks untuk
menentukan mana yang berisiko tinggi mengancam nyawa. Triase untuk mengatur
alur pasien dalam instalasi gawat darurat. Triase igd yang sering digunakan yaitu
triase ATS. Triase ATS terdir dari lima kategori. Pada pasien dengan masalah
system kardiovaskular masuk dalam kategori satu dangan kriteria sebagai berikut
heti jantng, sumbatan jalan nafas, henti nafas mendadak yang berisiko
menimbulkan henti jantunng, pernafasan < 10x/menit, distress pernafasan berat,
tekanan darah systole <80 (dewasa), kesadaran tidak ada respon, hanya berespon
dengan kejang berkelanjutan, gangguan perilaku berat yang megancam diri
pasien. Pada kriteria satu ini, kondisi yang mengancam nyawa atau berisiko
mengancam nyawa jika tidak segera diatasi. Segera memerlukan penatalaksanaa
yang diberikan secara simultan (Habib, 2016).
Penanganan di emergency pada pasien aritmia yaitu, menurut Hood, et, al
(2006), Pertama, jika hemodinamik tidak stabil, terlepas dari mekanisme aritmia,
lakukan kardioversi transtorasik langsung untuk mengembalikan irama sinus
normal. Sebelum dilakukan tindakan tersebut, pasien harus diberikan sedasi agar
tidak sadarkan diri sebelum diberikan energy dari kardioversi tersebut. Kedua,
jika pasien mengalami bradycardia yang hemodinamik tidak stabil, langkah yang
paling baik yaitu dengan transvenously atau transthoracically. Langkah tersebut
merupakan metode yang dapat diandalkan. Sedangkan untuk aritmia dengan
hemodinamik stabil, lakukan pemeriksaan ECG 12 lead, kemudian ikuti aturan
sesuai pedoman penanganan pasien jantung. Sedangkan menurut Grantham
(2007), Pasien dengan bradikardi dengan perfusi yang adekuat tindakan awal
yaitu pemberian oksigen kemudian diobservasi. Jika sinus bradikardi tidak ada
peningkatan, lakukan peningkatan oksigen dan pemberian atropine. Untuk
bradikardi lain, dua alternative yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian obat
simtomatik atau dengan memacu jantung baik secara internal maupun eksternal.
Pasien yang tidak sadar dengan takikardia yang kompleks dilakukan pendekatan
standar serangan jantung. Namun, pasien yang sadar pada fibrilasi ventrikel dapat
diobati secara kimia atau dengan kardioversi yang disinkronisasi. Jika seorang
pasien dalam serangan jantung, pendekatannya adalah untuk membentuk
resusitasi yang efektif dan defibrilasi dini sesuai pedoman Australian
Resuscitation Council.
Upaya yang telah dilakukan Kementrian Kesehatan dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit jantung dan pembuuh darah adalah dengan
mensosialisasikan perilaku CERDIK. Perilaku CERDIK meliputi Cek kesehatan
secara berkala, Enyahkan asap rook, rjin beraktivitas fisik, Diet sehat dan
seimbang, Istirahat cukup,, dan Kelola setres. Selain itu, masyarakat dihimbau
untuk pemeriksaan tekanan darah dan kolesterol rutin atau minimal sekali dalam
setahun di posbindu atau fasilitas layanan kesehatan (Kemenkes, 2017).
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka pada kesempatan kali ini
kami akan membahas mengenai kegawatdarutan pada pasien dengan penyakit
jantung.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penanganan pasien dengan penyakit jantung di area gawat
darurat?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana penanganan pasien STEMI di area gawat darurat
2. Mengetahui bagaimana penanganan pasien NSTEMI di area gawat darurat
3. Mengetahui bagaimana penanganan pasien UAP di area gawat darurat
4. Mengetahui bagaimana penanganan pasien dengan aritmia yang mengancam
jiwa

1.4 Manfaat
1 Sebagai bahan dalam membandingkan salah satu penyakit jantung koroner
dengan penyakit jantung koroner lainnya
2 Sebagai acuan untuk memberi asuhan keperawatan gawat darurat pada
pasien dengan gangguan jantung
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STEMI

1. Definisi
ST-elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan bagian dari
Sindrom Koroner Akut (SKA) yang pada umumnya diakibatkan oleh
rupturnya plak aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi total pada arteri
koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemi miokard seperti
munculnya nyeri dada, adanya J point yang persistent, adanya elevasi
segmen ST serta meningkatnya biomarker kematian sel miokardium yaitu
troponin (cTn) (Wahyunadi dkk , 2017).

2. Penyebab
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhammad & Ardhianto (2015)
penyebab terjadinya STEMI adalah:
a. Jenis Kelamin
American Heart Association (AHA) menyebutkan bahwa laki-laki
memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan kejadiannya
lebih awal dari pada wanita. Santoso menyatakan bahwa perempuan
agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan
kemudian menjadi sama rentannya seperti laki-laki, hal diduga karena
pengaruh efek perlindungan dari esterogen.

b. Usia
Puncak insiden kejadian penyakit jantung pada laki-laki adalah pada usia
50-60 tahun, sedangkan pada perempuan adalah pada usia 60-70 tahun,
penyakit jantung pada perempuan terjadi lebih lambat kira-kira sekitar
10-15 tahun daripada laki-laki, dan risiko meningkat drastis pasca
menopause. Risiko aterosklerosis coroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40
tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Seluruh jenis penyakit jantung koroner
termasuk STEMI yang terjadi pada usia lanjut mempunyai risiko tinggi
kematian dan adverse event

c. Dislipidemia
The Nationa Cholesterol Education Program (NCEP) menemukan
kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit jantung koroner. The
Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan bahwa
penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard.

d. Hipertensi
Risiko serangan jantung secara langsung berhubungan dengan tekanan
darah, setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5 mmHg
risikonya berkurang sekitar 16%. Peningkatan tekanan darah sistemik
meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari
ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses ateros
klerosis terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang.
Tingginya kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai
dengan rendahnya kadar oksigen yang tersedia. Secara sederhana
dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan
arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun
lebih cepat daripada orang normotensi.

e. Merokok
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung coroner sebesar
50%. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok
pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan
dengan orang yang tinggal dengan bukan perokokMerokok sigaret
menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24
% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada perempuan
disebabkan kebiasaan merokok. Pemeriksaan yang dilakukan pada usia
dewasa muda dibawah usia 34 tahun, dapat diketahui terjadinya
atherosklerosis pada lapisan pembuluh darah (tunika intima) sebesar 50
%. Berdasarkan literatur yang ada hal tersebut banyak disebabkan karena
kebiasaan merokok dan penggunaan kokain.

f. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus akan menyebabkan proses penebalan membrane basalis
dari kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria, sehingga terjadi
penyempitan aliran darah ke jantung. Insiden serangan jantung
meningkat 2 hingga 4 kali lebih besar pada pasien yang dengan diabetes
melitus. Orang dengan diabetes cenderung lebih cepat mengalami
degenerasi dan disfungsi endotel. Diabetes mellitus berhubungan dengan
perubahan fisik - pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya
dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan pembuluh darah yang
pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases
(CAD).

g. Overwight dan Obesitas


Overweight dan Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung
koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di Negara berkembang
berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh (IMT).
Overweight didefinisikan sebagai IMT > 25-30 kg/m2 dan obesitas
dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral atau obesitas abdominal adalah
obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan
ini juga berhubungan dengan kelainan metabolic seperti peninggian
kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe II.
h. Keturunan
3. Anamnesis STEMI
a. Nyeri dada lebih berat dan lama (> 30 menit), tidak hilang dengan nitrat,
perlu opium (Angina tipikal).
b. Hiperakut T, elevasi segmen ST (iskemia transmural), Inversi gelombang
T
c. Peningkatan enzim jantung (CK-MB, troponin).

(PERKI, 2015)

4. Gambaran EKG dan pemeriksaan diagnostic


a. Gambaran EKG
1) Infark Miokardium Anteroseptal
a) Elevasi segmen ST di sadapan V1-V3
b) Kompleks Q, QS, atau qrS di sadapan V1-V3 (V4)
c) Perubahan segmen ST-gelombang T

Gambar 1.ST Elevasi di sadapan V1-V3

2) Infark Miokardium Anterior Ekstensif


a) Elevasi segmen ST di sadapan V1-V6, I dan aVL

Gambar 2.ST Elevasi di sadapan I, aVL, V2-V6


Tabel 1 : Lokasi Iskemia atau Infark berdasarkan Sandapan

b. Pemeiksaan Diagnostik
1) Elektrokardiogram (EKG)
2) Laboratorium/ Pertanda Biokimia
a) Troponin
b) CK-MB
c) CK
d) LDH
e) Leukosit
f) Sedimentasi Eritrosit
g) GDA
3) Angiografi Koroner
Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa,
sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau
peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan
mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi
untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.
(PERKI, 2015)
5. Alogaritma penanganan

(PERKI, 2015)

6. Farmakologi STEMI
a. Terapi Fibrinolitik
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI
dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan
diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa
indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-
A). Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi
balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada
ruang gawat darurat. Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase,
alteplase, reteplase) lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak
spesifik terhadap fibrin (streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau
intravena harus diberikan (KelasI-B). Clopidogrel diindikasikan
diberikan sebagai tambahan untuk aspirin(Kelas I-A).

b. Terapi Antikoagulan
Terapi Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang
diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau
selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I A). Antikoagulan
yang digunakan dapatberupa:
1) Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin
tidak terfraksi) (Kelas I-A).
2) Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat
badan dan infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3) Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks
intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24
jamkemudian (Kelas IIa-B).

c. Angiografi Emergensi
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya
fibrinolysis inisial (Kelas I-A). Jika memungkinkan, angiografi dengan
tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami
infark) diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil (Kelas I-A).
Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil
adalah 3-24 jam (Kelas IIa-A) (PERKI, 2015)

7. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama saat kedatangan)
menurut Dharma (2009):
1) Tirah baring (bed rest total)
2) Oksigen 4L/menit (Sa02 dipertahankan> 90%)
3) Aspirin 160-325 mg (dikunyah)
4) Nitrat diberikan 5mg SL (dapat di ulang 3x) lalu di deip bila masih
nyeri.
5) Clopidogrel 300 mg peroral (jika sebelumnya belum pernah di beri).
6) Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.
7) Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliean darah coroner)
dan reperfusi miokard harus di lakukan pada pasien STEMI akut
dengan persentasi ≤12 jam.

b. Tatalaksana di ruang perawatan intemsif (24 jam pertama saat datang)


menurut Dharma (2009):
1) Monitor kontinu 24 jam
2) Nitrogliserin
a) Nitrat oral short acting tiap 5 menit untuk mengatasi nyeri dada
b) Pemberian intravena kontinu pada keadaan gagal jantung,
hipertensi atau tanda-tanda iskemia menetap.
3) Aspirin
Aspirin kunyah 162-325mg di beri jika belum pernah di berikan,
selanjutnya 75-162 mg sehari.
4) Clopidogrel
a) Loading clopidogrel 300 mg per oral dilanjutkan 75 mg sehari
b) Pasien pasca PCl, clopidogrel diberi berdasarkan jenis stent; bare
metal stentdiberi minimum 1 bulan, dan drug elutingstent diberi
minuman 12 bulan.
5) Beta-blocker
a) Diberi bila tidak ada kontraindikasi dan dilanjutkan hingga dosis
optimal.
b) Kontraindikasi pemberian beta blocker adalah: Terdapat tanda-
tanda gagal jantung akut; Hipotensi; Meningkatkan risiko syok
kardiogenik; Kontraindikasi relative lain (PR interval > 0,24 detik,
Blok AV derajat dua atau tiga, Asma bronkial aktif atau krlainan
saluran nafas reaktif)
6) ACE Inhibitor
ACE Inhibitororal diberi pada pasien dengan infark anterior, kongesti
paru, atau EF < 40% jika tidak terdapat tanda-tanda hipotensi (TD
sistolik <100 mmHg atau < 30mg dari baseline) atau terdapat
kontraindikasi.

8. Tata laksana SAK (MONACO)


a. Morfin, 2,5-5 mg IV
b. O : Oksigen 2-4 L/m
c. N : Nitrat, bisa diberikan nitrogliserin infus dengan dosis mulai dari
5mcg/m (titrasi) atau ISDN 5-10 mg sublingual maksimal 3 kali
d. A : Aspirin, dosis awal 160-320 mg dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x
160 mg
e. CO : Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan dosis
pemeliharaan 1 x 75 mg

Dirujuk dengan terpasang line infus dan oksige

9. Evaluasi
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala
penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan
target kualitas berikut ini:
a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama
≤10menit
b. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
1) Untuk fibrinolisis ≤30 menit
2) Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit
yangmampu melakukan IKP)

(PERKI, 2015)

10. Komplikasi
Komplikasi STEMI menurut penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi,
Rifqi,& Maharani (2012) pada pasien dengan STEMI di RSUP Kariadi
Semarang adalah:
a. Non- Terapi Reperfusi
1) Gagal jantung (25%)
2) Ventrikel takikardi/ ventrikel fibrilasi (13,1%)
3) Disfungsi ffentrikel kiri (11,9%)
4) Syok kardiogenik (10,7%)
5) Atrial takikardi/ atrial fibrilasi (7,1%)
6) Infark ventrikel kanan (7,1%)
b. Terapi Reperfusi
1) Perdarahan minor (19,1%)
Perdarahan minor yang terjadi berupa hematuria dan perdarahan di
gusi dan mulut khususnya dari terapi reperfusi jenis firinolitik.
2) Perdarahan Mayor/ perdarahan intracranial (4,8%).
3) Adanya blok AV derajat I (9,5%)
4) Syok Kardiogenik
5) Atrial takikardi/ atrial fibrilasi
6) Ventrikel Ekstra Sistol (VES)
7) Disfungsi Ventrikel (4,8%)

2.2 NSTEMI
1. Pengertian
NSTEMI (non ST segment elevation myocardial infarction) atau Infark
miokard dengan non elevasi segmen ST adalah sindroma klinik yang
disebabkan oleh oklusi parsial atau emboli distal arteri koroner,tanpa elevasi
segmen ST pada gambaran EKG (PERKI, 2015). Berikut merupakan
perbedaan NSTEMI dengan STEMI dan unstable angina

Gambar : Perbedaan NSTEMI dengan STEMI dan UAP

2. Anamnesis NSTEMI
a. Nyeri dada substernal
b. Lama lebih dari 20 menit
c. Keringat dingin
d. Dapat disertai penjalaran kelengan kiri, punggung, rahang dan ulu hati
e. Terdapat salah satu atau lebih faktor risiko: kencing manis, kolesterol,
darah tinggi, keturunan

(PERKI, 2015)

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran EKG NSTEMI
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat
presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau
bahkan tanpa perubahan.
Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan
berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan
marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T
atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut
Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction,
NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi
nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG
awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan
yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka
pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat
sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap
6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

Gambar Inversi gelombang T

Gambar Depresi segmen ST

b. Marka jantung
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi
dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis
NSTEMI harus digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina
dan perubahan EKG. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika marka jantung
meningkat sedikit melampaui nilai normal atas (upper limit of normal,
ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang
seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan
awitan angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak
dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard akut.
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di dalam
darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2
minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang dalam
2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat
menetap hingga 2 minggu
Mengingat troponin I/T tidak terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai
ambang peningkatan marka jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai
normal yang ditetapkan oleh laboratorium setempat.
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan CKMB dapat
digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam,
mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.

(PERKI, 2015)

c. Pemeriksaan noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk
menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari
dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat
iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta,
kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat
darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien
tersangka SKA.
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat
membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-
pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung yang
negatif.
Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan
PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK
rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak
meyakinkan.
(PERKI, 2015)

d. Pemeriksaan invasif (angiografi koroner)


Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk
tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding
yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri
sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala
atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai
perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali
memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler,
ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan
adanya trombus intrakoroner.
(PERKI, 2015)

4. Algoritma penanganan NSTEMI

5. Penatalaksanaan
Berikut merupakan penatalaksanaan NSTEMI pada Fase Akut di UGD
a. Bed rest total
b. Oksigen 2-4L/menit
c. Pemasangan IV FD
d. Obat-obatan :
1) Aspilet 160mg kunyah
2) Clopidogrel (untuk usia < 75 tahun dan tidak rutin mengkonsumsi
clopidogrel) berikan 300 mg atau ticagrelor 180 mg)
3) Nitrat sublingual 5 mg, dapat diulang sampai 3 kali jika masih ada
keluhan dilanjutkan nitrat iv bila keluhan persisten
4) Morvin 2 – 4 mg iv jika masih nyeri dada
e. Monitoring jantung
f. Stratifikasi risiko di IGD untuk menentukan strategi invasif
1) Pasien resiko sangat tinggi sebaiknya dikerjakan PCI dalam 2 jam
dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga dan fasilitas cathlab.
Kriteria risiko sangat tinggi bila terdapat salah satu kriteria berikut :
angina berulang; syok kardiogenik; aritmia malignant (VT, VF,
TAVB); hemodinamik tidak stabil
2) Pasien dengan peningkatan enzim jantung namun tanpa kritera resiko
sangat tinggi di atas, di rawat selama 5 hari dan dapat dilakukan PCI
saat atau setelah pulang dari rumah sakit dengan mempertimbangkan
kondisi klinis dan ketersediaan tenaga dan fasilitas cathlab
3) Pasien tanpa perubahan EKG dan kenaikan enzim, dilakukan iskemik
stress test: treadmil itest, ecocardiografi stress test, stres test perfusion
scanning atau MRI. Bila skemik stress test negatif, boleh di
pulangkan.

(PERKI, 2015)

2.3 Aritmia
1. Definisi
Aritmia atau disritmia merupakan gangguan irama jantung yang merujuk
kepada setiap gangguan frekuensi, regularitas, lokasi asal atau konduksi
impuls listrik jantung.
Aritmia adalah gangguan atau abnormalitas penjalaran impuls listrik ke
miokardium. Sistem konduksi jantung yang berawal dari otomatisitas sel-sel
P di nodus SA, depolarisasi atrium, depolarisasi nodus atrioventrikular
(AV), propagasi impuls sepanjang berkas His dan sistem Purkinje hingga
depolarisasi ventrikel merupakan rangkaian konduksi impuls yang teratur
dan presisi. 2 bentuk mendasar dari aritmia adalah : Takikardi , jika denyut
jantung >100x/menit Bradikardi, jika denyut jantung < 60 x/menit

2. Obat antiaritmia
Berikut merupakan penggolongan kelas obat menurut Vaughan William
a. Kelas I: block kanal sodium
1) Ia (quinidine, procainamide, disopyramide) AP
2) Ib (lignocaine) AP
3) Ic (flecainide)  AP
b. Kelas II: antagonis ß-adrenoceptor (atenolol, sotalol)
c. Kelas III: memperpanjang potensial aksi dan periode refractory
(menekan ritme reentrant) (amiodarone, sotalol)
d. Kelas IV: antagonis kanal Kalsium. Impair propagasi impuls pada nodal
dan area yang rusak (verapamil)

Pengobatan Antiaritmia untuk VF Refraktori Kejut atau Pulseless VT


menurut AHA 2015

2015 (Diperbarui): Amiodaron atau lidocaine juga dapat disetujui untuk


perawatan VF refraktori kejut atau pVT pada anak .

2010 (Lama): Amiodaron direkomendasikan untuk VF refraktori kejut atau


pVT. Lidocaine dapat diberikan jika amiodaron tidak tersedia

Alasannya: Register multi institusi, retrospektif, dan terbaru untuk serangan


jantung pada pasien pediatric menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan
amiodaron, lidocaine berhubungan dengan tingkat ROSC yang lebih tinggi
dan ketahanan hidup selama 24 jam. Namun, tidak ada satu pun pemberian
lidocaine maupun amiodaron yang berhubungan dengan peningkatan
ketahanan hidup pada pasien yang dipulangkan.

3. Aritmia yang mengancam


a. Ventrikel Fibrilasi
1) Pengertian
Fibrilasi Ventrikel (VF) adalah keadaan gawat darurat dimana
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak perlu lengkap. Penanganan VF
harus cepat dengan protocol resusitasi kardiopulmonal yang baku
meliputi defibrilasi sesegera mungkin, diikuti resusitasi jantung paru
(RJP), dan pemberian obat-obatan seperti epinefrin, vasopressin dan
amiodaron.
2) Penanganan
Penanganan utama pada VF adalah dengan defibrilasi. Defibrilasi
nonsynchronized menggunakan energi 360 Joule gelombang
monofasik atau 120-200 Joule gelombang bifasik. Setelah dilakukan
defibrilasi. Segeralakukan kembali RJP sebanyak 5 siklus pada pasien.
RJP (30 kompresi dada : 2 ventilasi) dilakukan jika pada pasien belum
dipasang advance airway (ETT). Jika pada pasien telah terpasang
advance airway, berikan ventilasi 8-10 kali/menit sambil terus
melakukan kompresi dada 100 kali/menit
RJP terus dilakukan selama resusitasi, kecuali pada waktu analisis
irama jantung, defibrilasi, dan penilaian sirkulasi.Setelah 5 siklus RJP,
cek irama jantung pasien sesuai monitor (shockable atau tidak
shockable), selanjutnya tata laksana sesuai temuan.

3) Kriteria Penentu berdasarkan EKG


a) Nilai/kompleks QRS : tidak dapat ditentukan; tidak ada gelombang
P, QRS, atau T yang dapat dikenali. Gelombang pada garis dasar
terjadi antara 150 dan 500 per menit.
b) Irama : tidak dapat ditentukan; polanaik (puncak) dan turun
(palung) yang tajam.

Gambar EKG pada pasien dengan ventrikel fibrilasi

4) Manifestasi Klinis
a) Denyut nadi menghilang dengan dimulainya VF.
b) Denyut nadi menghilang sebelum dimulainya VF bila suatu
pertanda lazim bagi VF (VT yang cepat) terjadi sebelum VF.
c) Jatuh pingsan, tidak dapat member respon
d) Megap-megap, sangat sulit bernapas, lalu berhenti bernapas
e) Mulai terjadi kematian yang tidak dapat balik/irreversible
5) Farmakologi

b. Ventrikel Takikardi

Gambar ventrikel takikardi


Merupakan keadaan dimana gambaran EKG menunjukkan pola
yang cepat (takikardi), gelombang EG kompleks QRS tidak diawali oleh
gelombang P. Ventrikel takikardi dibedakan menjadi 2, yaitu VT tanpa
nadi dan VT dengan nadi.
Ciri-ciri ventrikel takikardi :
1) Kompleks QRS tidakdiawaliolehgelombang P
2) HR lebihdari 100x/menit
3) Gambaran EKG teratur
4) Untuk yang VT dengan nadi biasanya nadi perifer dan jugularis masih
teraba, cepat dan lemah.
5) Untuk VT tanpa nadi, maka nadi tidak akan teraba baik di perifer
maupun jugularis
Penatalaksanaan VT
1) Pastikan sandapan EKG terpasang dengan benar
2) Posisikan pasien flat tanpa alas kepala
3) Dekatkan trolley emergency beserta defibrilatornya
4) Pastikan defibrillator dalam keadaan stan by dan siap dipakai
5) Siapkan amiodaron 300 mg diapploss dengan Nacl 0,9% 50 cc
sebanyak 2 spuit
6) Jika VT masih dengan nadi, segera bolus amiodaron 300 mg secara
pelan, pantau nadi dan EKG
7) Setelah bolus selesai, lanjutkan dengan maintenance 300 mg dalam 12
jam
8) Observasi terus gambaran EKG dan nadi, evaluasi adanya perbaikan
atau tidak
9) Jika ditemukan adanya VT tanpa nadi, segera lakukan defibrilasi

c. Asistole

Gambar EKG asistole

Asistola dalah suatu keadaan dimana tidak terdapat aktivitas listrik


dan aktivitas mekanik dari jantung (tidak terdapat frekuensi ventrikel
atau iramanya, tidak ada denyut, dan tidak ada curah jantung).
Asistol dapat terjadi primer atau sekunder akibat abnormalitas
konduksi jantung, hipoksia jaringan tahap lanjut dan asidosis metabolik,
jarang akibat stimulasi vagal.
Diagnosis Asistole
Diagnosis asystole ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan
gambaran EKG yang khas. Pada pasien asystole sering ditemukan adanya
penurunan kesadaran tiba-tiba, henti nafas, dan tidak ada denyut nadi.
Kriteria Penentu berdasarkan EKG
Asistol atau lebih tepat disebut asistol ventrikel secara klasik
ditampilkan sebagai suatu “garis datar”; secara virtual tidak ada criteria
penentu.
Kecepatan : tidak terlihat adanya aktivitas ventrikel atau ≤ 6
kompleks per menit; apa yang dinamakan “asistol gelombang P” terjadi
dengan hanya terdapat impuls atrium (gelombang P).
1) Irama : tidak terlihat adanya aktivitas ventrikel atau ≤ 6 kompleks
QRS permenit.
2) PR : tidak dapat ditetapkan; terkadang terlihat adanya gelombang P,
tetapi berdasarkan definisinya gelombang R harus tidak tampak.
3) Kompleks QRS : tidak terlihat defleksi yang konsisten dengan suatu
kompleks QRS.
4) Gambar EKG Asistol: tidak ada aktivitas listrik jantung (terlihat hanya
berupa garis datar).

Etiologi
1) Akhir dari kehidupan (kematian)
2) Iskemia/hipoksia dari banyak penyebab
3) Gagal napas akut (tidak ada oksigen, apnea, asfiksia)
4) Kejut listrik tingkat tinggi (contohnya kematian karena listrik,
tersambar petir)
5) Dapat menunjukkan “pingsan jantung” segera setelah defibrilasi
(pemberian kejut yang mengeliminasi VF), sebelum dimulainya irama
spontan.

Tatalaksana Asystole
1) Asistol adalah keadaan gawat darurat di mana anamnesis dan
pemeriksaan fisik tidak perlu lengkap. Penanganan asistole harus
cepat dengan protocol resusitasi kardiopulmonal yang baku meliputi
RJP segera, pemberian obat-obatan berupa epinefrin dan vasopressin
(Lihat Algoritme penatalaksanaan Asistol).
2) RJP dilakukan sebanyak 5 siklus, sambil pertimbangkan pemberian
obat-obatan. Setelah 5 siklus RJP, cek kembali irama jantung. Tata
laksana selanjutnya sesuai temuan.
Daftar Pustaka

Anwar, T.B. 2014. Dislipidemia Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung


Koroner. Jurnal ResearchGate. e-USU Repository Universitas Sumatera
Utara.

Grantham, H.J. 2007. Emergency management of acute cardiac arrhythmias.


Australian Family Physician Volume 36 Issue 7.

Habib, H. 2016. Triase modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia.


Researchgate

Hood, Stephen, Shorofsky. 2006. Management of Arrhythmias in the Emergency


Department. Cardiology Clinics. doi:10.1016/j.ccl.2005.09.005.

Kemenkes. 2017. Penyakit Jantung Penyebab Kematian Tertinggi, Kemenkes


IngatkanCERDIK.
http://www.depkes.go.id/article/view/17073100005/penyakit-jantung-
penyebab-kematian-tertinggi-kemenkes-ingatkan-cerdik-.html(diakses
Pada 1 September 2018)
Lakhsmi, B.S. & Herianto, F. 2018. Komunikasi Informasi Edukasi Penyakit
Jantung Pada Remaja Obesitas. Jurnal SOLMA Vol. 07, No. 1, pp. 50-57;
April 2018. https://doi.org/10.29405/soma.v7i1.665.
Lestari, E.S., Dian, L., Setyawan, H. 2014. Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler
(Studi Pada Mahasiswa Perokok Fakultas Teknik Jurusan Mesin
Universitas Diponegoro Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume
2, Nomor 1, Januari 2014.
Rusminingsih, E. 2015. Karakteristik Penderita Penyakit Kardiovaskuler Pada
Ruang Intensif Care Unit (Icu) Rumah Sakit Islam Surakarta. Journal Of
Helath Science. Vol .10 Nomor 20, Februari 2015.

Waly, T.M. & Listiyanto, J. 2014. Prevalensi pasien Infark Miokard Akut Yang
Menjadi Cardiact Arrest di ICU/HCU RSUP Dr. Kariadi Semarang. Jurnal
Media Medika Husada.

Você também pode gostar