Você está na página 1de 26

KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL DAN

PENATALAKSANAANNYA

BAB I
Meningitis Bakterial
1.1 Pendahuluan
Meningitis bakterial merupakan salah satu jenis penyakit infeksi pada selaput
pembungkus otak atau meningen serta cairan yang mengisi ruang subarakhnoid.
Meningitis bakterial merupakan penyakit yang serius atau penyakit kedaruratan medik
apabila tidak ditangani dengan baik dan tepat. Etiologi atau penyebab dari meningitis
sebagian besar disebabkan oleh bakteri, dan selebihnya disebabkan oleh virus, parasit
serta jamur. Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak disebabkan
oleh Hemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis.1

1.2 Definisi
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak ( araknoid dan piamater ),
yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik dan
nonvirus. Meningitis bakterial ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear
dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya kuman penyebab infeksi pada cairan
serebrospinal.2,3

1.3 Etiologi
Meningitis bakterial disebabkan oleh kuman nonspesifik dan nonvirus. Sebagai kuman
penyebab ialah jenis Pneumococcus, Haemophilus influenzae, Staphylococcus,
Streptococcus, E.coli, Meningococcus dan Salmonella. Di Jakarta penyebab terbanyak
ialah Pneumococcus dan Haemophilus influenzae. Di Amerika penyebab terbanyak
Meningococcus, sedangkan di Jakarta jarang ditemukan. Pada neonatus meningitis
bakterial disebabkan oleh Group B Streptococcus ( 49 % ), E coli ( 18 % ), Listeria
monocytogenes ( 7 % ). Pada bayi dan anak – anak dapat disebabkan oleh Haemophilus
influenzae ( 40 – 60 % ), Neisseria meningitidis ( 25 – 40 % ), Pneumococcus ( 10 – 20
% ).3,4
1.4 Epidemiologi
Meningitis bakterial pada bayi dan anak masih sering dijumpai di Indonesia. Angka
kejadian tertinggi terjadi pada umur antara 2 bulan – 2 tahun. Umumnya terjadi pada
anak yang distrofik, yang daya tahan tubuhnya rendah, dan hidup di lingkungan sosial
ekonomi rendah. Di Amerika Serikat pada tahun 1994 angka kejadian untuk anak – anak
di bawah 5 tahun berkisar 8,7 per 100.000 sedangkan pada anak di atas 5 tahun 2,2 per
100.000. Lebih sering terjadi pada laki – laki dibandingkan pada perempuan dengan
perbandingan 1,7 – 3 : 1. Sekitar 80 % dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi
pada anak dan 70 % dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1 sampai 5 bulan.2,3

1.5 Patogenesis
Meningitis bakterial umumnya sebagai akibat komplikasi penyakit lain. Umumnya
penyebaran bakteri secara hematogenous yang berasal dari infeksi di tempat lain seperti
faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Bakteriemia biasanya
mendahului meningitis atau terjadi dalam waktu yang sama, sehingga sering didapatkan
biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan
otak. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak penyebab meningitis
purulenta. Kuman dapat masuk dalam bentuk aerosol atau droplet dan kemudian melekat
pada sel epitel mukosa nasofaring untuk melakukan kolonisasi. Kuman kemudian masuk
ke dalam aliran darah dengan menembus mukosa dan memperbanyak diri di dalam aliran
darah yang dapat menimbulkan bakteriemia. Dari aliran darah kuman masuk ke dalam
cairan serebrospinal, kemudian memperbanyak diri sampai akhirnya menimbulkan
peradangan pada selaput otak. Meningitis juga bisa terjadi karena perluasan langsung
infeksi yang letaknya berdekatan dengan selaput otak seperti sinusitis, mastoiditis, otitis
media, abses otak, dan trombosis sinus cavernosus. Atau bisa juga infeksi terjadi secara
langsung pada keadaan seperti trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, dan pungsi
lumbal yang kurang steril. Kuman atau bakteri yang ada pada saluran genital ibu sangat
mudah menginfeksi bayi baru lahir pada saat ketuban pecah. Group B streptococcus dan
Listeri monocytogenes dapat menginfeksi janin secara transplasental. Keadaan ini dapat
menimbulkan sepsis dan kemudian meningitis. Resiko meningkat jika bayi lahir prematur
atau dengan BBLR.1,2,5
1.6 Patofisiologi
Patofisiologi meningitis bakterial merupakan proses yang kompleks, komponen –
komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan dalam menimbulkan respon radang
pada selaput otak ( meningen ) yang kememudian menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan aliran darah otak yang dapat menimbulkan gejala sisa.
Umumnya otak dilindungi oleh sistem imun dan sawar darah otak pada selaput darah
otak yaitu antara aliran darah dengan otak. Jika bakteri dapat lolos masuk ke dalam cairan
otak maka bakteri akan memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena
kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan otak. Bakteri yang
telah berkembang biak akan tersebar keseluruh ruang subaraknoid secara pasif karena
aliran cairan serebrospinal. Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati
akan melepaskan dinding sel atau komponen – komponen membran sel ( endotoksin,
teichoic acid ) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan diselaput otak. Bakteri Gram negatif pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/ endotoksin, dan bakteri Gram positif akan melepaskan asam teikoat.
Adanya komponen bakteri yang dilepaskan oleh bakteri akan menstimulasi sel Endotel
dan sel makrofag sistem saraf pusat untuk melepaskan mediator – mediator inflamasi
seperti Interleukin-1 ( IL-1 ) dan tumor necrosis factor ( TNF ). Mediator – mediator ini
kemudian menginduksi Prostaglandin E2 yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
sawar darah otak. Meningkatnya permeabilitas kapiler ini menyebabkan cairan
intravaskular akan merembes keluar ke dalam ruang ekstraselular ( edema vasogenik ).
Permeabilitas kapiler selaput otak mempermudah migrasi neutrofil, sel fagosit,
polimorfonuklear sehingga terjadi pleositosis pada cairan serebrospinalis yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel sehingga terjadi pengumpulan cairan
di dalam neuron, glia, dan sel endotel yang menyebabkan pembengkakkan sel tersebut
( edema sitotoksik ). Terjadinya proses fagositosis bakteri oleh sel polimorfonuklear di
ruang subaraknoid menyebabkan terbentuknya debris sel dan eksudat dalam ruang
subaraknoid yang dapat menyumbat saluran cairan serebrospinalis. Keadaan ini dapat
menyebabkan tekanan hidrostatatik ruang subaraknoid meningkat sehingga terjadi
pemindahan cairan dari sistem ventrikel ke jaringan otak ( edema interstisial ). Ketiga
macam edema serebri ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. IL-1 dan
TNF juga menyebabkan interaksi antara endotel dengan leukosit dengan akibat terjadinya
kerusakan endotel dan kemudian meningkatkan permeabilitas sawar darah otak. Mediator
diatas juga menginduksi produksi platelet-activating factor ( PAF ) yang dapat
menimbulkan trombosis yang dapat mengganggu aliran darah ke otak. Tekanan
intrakranial yang meningkat juga menyebabkan penurunan aliran darah ke otak sehingga
otak kekurangan O2 untuk metabolisme sehingga terjadi gangguan fungsi metabolik
yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan serebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme
anaerobik.2,3

1.7 Gejala Klinis


Gejala klinis meningitis bakterial bervariasi tergantung umur penderita, lamanya sakit
sebelum mendapat perawatan, dan jenis bakteri. Tidak ada gejala yang spesifik dimana
gejala meningitis juga bisa ditemukan pada anak – anak yang tidak menderita meningitis.
Ada 3 gejala yang umum terjadi pada meningitis bakterial yaitu gejala infeksi akut seperti
anak tampak lesu, panas, dan anoreksia. Gejala tekanan intrakranial yang meningkat
seperti sering muntah, nyeri kepala ( anak besar ), tangis yang merintih ( pada neonatus ),
kesadaran menurun dari apatis sampai koma, kejang, ubun – ubun besar menonjol dan
tegang. Gejala rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, tanda – tanda spesifik seperti
Kernig, Brudzinsky I dan II positif, kadang ada nyeri punggung. Berdasarkan umur akan
didapatkan gejala klinis meningitis yang bervariasi. Pada neonatus tanda – tanda
rangsangan meningeal jarang ada dan jika ada sulit untuk di evaluasi. Biasanya pada
neonatus didapatkan gejala demam, gelisah, nafsu makan menurun, tangis yang merintih,
dan muntah. Pada anak yang berumur 1 – 18 bulan tanda dan gejala sering kali tidak
spesifik yaitu terdiri dari demam, gelisah, apatis sampai somnolen, muntah, nafsu makan
menurun, nangis jika dipegang, ubun – ubun besar menonjol, dan kejang. Pada anak yang
lebih tua gejala yang timbul terdiri dari demam, sakit kepala, tanda – tanda rangsangan
meningeal, kejang, muntah, gelisah sampai somnolen, dan jika sampai koma menandakan
prognosisnya jelek.2,6

1.8 Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan cairan serebrospinalis yang didapatkan dengan pungsi lumbal. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala dan tanda yang akut, fulminan,
dengan tanda-tanda khas "trias klasik" (3 tanda klasik) yang berupa: demam, kaku kuduk
dan penurunan kesadaran. Tanda-tanda kaku kuduk biasanya sulit ditemukan pada
keaadaan tertentu seperti pada neonatus. Selain tiga tanda diatas mual, muntah, kejang,
fotofobia dan gejala klinis lainnya yang sudah dijelaskan diatas juga dapat ditemukan.
Pada bayi sering ditemukan bulging (benjolan) pada fontanela bayi atau neonatus. Untuk
mencari adanya iritasi pada selaput meningen harus dilakukan tes kaku kuduk, tanda
brudzinki dan kernig. Pemeriksaan kesadaran pasien, pemeriksaan saraf-saraf kranial dan
tepi, serta dilakukan pemeriksaan pada mata yaitu untuk melihat apakah telah terjadi
udem pada papil. Diagnosis meningitis tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala
dan tanda saja. Karena tanda dan gejala seperti tersebut diatas bisa juga ditemukan pada
anak – anak yang tidak menderita meningitis bakterial. Diagnosis pasti dari meningitis
bakterial hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui
pungsi lumbal. Oleh karena itu pungsi lumbal harus dilakukan jika dicurigai meningitis
bakterial dari tanda dan gejala yang didapat. Pada fase awal penyakit bisa saja hasil
pemeriksaan cairan serebrospinalis normal, maka dari itu jangan sampai menghilangkan
kewaspadaan terhadap penderita yang dicurigai meningitis bakterial dengan hasil
pemeriksaan cairan serebrospinalis normal. Pada meningitis bakterial umumnya cairan
serebrospinalis berwarna opalesen sampai keruh. Dari pemeriksaan cairan serebrospinalis
pada penderita meningitis bakterial akan ditemukan pleositosis ( 500 – 10.000/mm3 )
dimana sel yang dominan adalah polimorfonuklear yaitu neutrofil dan granulosit sampai
sekitar 95 %. Dengan perjalanan penyakit ada kenaikan bertahap limfosit dan sel
mononuklear yang besar dan adanya pengobatan antibiotik sebelum pungsi lumbar dapat
mengacaukan gambaran cairan serebrospinalis. Glukosa menurun < 40 mg/dl kurang dari
setengah kadar glukosa serum. Protein meningkat biasanya diatas 75 % tapi perlu
diperhatikan kadar protein normal yang berbeda menurut umur. Reaksi Nonne dan Pandy
umumnya positif kuat. Kultur dan uji resistensi bakteri pada cairan serebrospinalis baru
ada hasil setelah 24 – 72 jam. Hasil dari kultur dan uji resistensi akan mengarahkan kita
pada pengobatan yang tepat. CT scan diperlukan untuk evaluasi kontra indikasi pungsi
lumbal dan komplikasi - komplikasi yang mungkin terjadi.2,3,4,6

1.9 Diagnosis banding


Ada beberapa penyakit yang memiliki gejala dan tanda yang hampir sama dengan
meningitis bakterial seperti meningitis aseptik, meningitis tuberkulosa, meningitis fungi,
meningoensefalitis, abses otak. Untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan cairan
serebrospinalis dan jika perlu pemeriksaan foto roentgen.5

1.10 Pengobatan
Pasien meningitis purulenta pada umumnya kesadarannya menurun dan seringkali
disertai muntah dan atau diare. Oleh karenanya untuk membina masukan yang baik,
penderita perlu langsung mendapat cairan intra vena dan jika terjadi asidosis diperlukan
cairan yang mengandung korektor basa. Bila anak kejang dapat diberikan diazepam 0,5
mg/kgBB/kali intravena yang dapat diulang dengan dosis yang sama 15 menit kemudian
bila kejang belum berhenti. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian
fenobarbital dengan dosis awal 10 – 20 mg/kgBB IM, dua puluh empat jam kemudian
diberikan dosis rumat 4 – 5mg/kgBB/hari. Pada penelitian pemberian steroid dapat
mengurangi produksi mediator – mediator radang, sehingga dapat mengurangi kecacatan
seperti paresis dan tuli. Diberikan 10 – 20 menit sebelum terapi antibiotika.
Kortikosteroid yang memberikan hasil baik ialah deksametason dengan dosis 0,6
mg/kgBB/hari selama 4 hari. Pemberian antibiotik terdiri dari 2 fase, yaitu fase pertama
sebelum ada hasil biakan dan uji sensitifitas. Pada fase ini pemberian secara empirik.
Karena penyebab terbanyak H. influenzae dam Pneumococcus maka digunakan
kombinasi ampisilin dan kloramfenikol secara intravena. Dosis ampisilin 200 – 300
mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis, kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4
dosis, pada neonatus 50 mg/kgBB/hari. Paada bayi dan anak pengobatannya selama 10 –
14 hari, dan pada neonatus selama 21 hari. Pengobatan secara empirik lain adalah pada
neonatus digunakan kombinasi antara ampisilin dengan aminoglikosid ( gentamisin ) atau
ampisilin dengan cefotaxim. Pada umur 3 bulan – 10 tahun digunakan kombinasi
ampisilin dengan cefotaxim atau ampisilin dengan seftriakson, atau ampisilin dengan
kloramfenikol. Pengobatan fase kedua dilakukan setelah ada hasil biakan dan uji
sensitifitas disesuaikan dengan kuman penyebab dan obat yang serasi. Berdasarkan
identifikasi jenis kuman, antibiotik yang digunakan untuk meningitis purulenta karena H.
influenzae adalah ampisilin, kloramfenikol, seftriakson dan sefotaxim. Jika penyebabnya
S. pneumoniae diberikan penisilin, kloramfenikol, seftriakson, cefuroksim, dan
vankomisin. Jika penyebabnya N. meningitidis dapat diberikan penisilin, kloramfenikol,
sefuroksim, dan seftriakson. Dosis antibiotika pada meningitis purulenta : ampisilin 200 –
300 mg/kgBB/hari, kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari, cefuroksim 250 mg/kgBB/hari,
cefotaksim 200 mg/kgBB/hari, seftriakson 100 mg/kgBB/hari, gentamisin neonatus ( 0 –
7 hari ) 5 mg/kgBB/ hari, ( 7 – 28 hari ) 7,5 mg/kgBB/hari. Pungsi lumbal ulangan
dilakukan apabila klinis membaik pada hari ke-10 pengobatan, dan jika keadaan
laboratorium membaik pengobatan diteruskan 2 hari lagi, kemudian dipulangkan. Pada
neonatus lamanya pengobatan 21 hari.2,3

1.11 Prognosis
Ada banyak faktor yang menentukan prognosis dari meningitis bakterial diantaranya
umur pasien, jenis bakteri penyebab, berat ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum
mendapat pengobatan, dan kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan.
Prognosis buruk pada bayi yang berumur dibawah 6 bulan. Angka kematian meningitis
bakterial yang disebabkan oleh H. influenzae adalah 6,5%, N. meningitidis 12%, dan S.
pneumoniae 28%. Apabila infeksi yang terjadi disertai kejang – kejang lebih dari 4 hari,
DIC, dan coma menunjukkan prognosis yang buruk. Apabila pengobatan terlambat dan
tidak adekuat dapat menimbulkan kematian dan kecacatan yang permanen. Infeksi yang
disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. Terapi antibiotik yang
tepat dan pengobatan supportif dapat menurunkan angka kematian meningitis bakterial
pada masa setelah neonatus yaitu dibawah 10%.2,6,7

BAB II
KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL DAN
PENATALAKSANAANNYA
3.1 KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL

Dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan
yang terlambat. Komplikasi bisa akut atau bisa juga timbul dalam waktu yang lama
setelah penderita sembuh. Komplikasi akut yang mungkin terjadi ialah acute serebral
edema, ventrikulitis, efusi subdural, nekrosis dan destruksi nervus cranialis, DIC, shock
dan gagal napas, sekresi ADH yang berlebihan, kejang, hidrosefalus, tuli, abses otak dan
bisa juga karena pengobatan. Komplikasi jangka panjang yang bisa terjadi antara lain tuli
saraf, kebutaan, sekuele neurologis berupa hemi paresis, hipertonia muskulorum, defisit
motorik, epilepsi, retardasi mental, gangguan belajar, gangguan perhatian, dan gangguan
bahasa. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari
dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini.2,3

3.2 KOMPLIKASI MENINGITIS BAKTERIAL DAN PENATALAKSANAANNYA

Disini akan dijelaskan sedikit tentang komplikasi – komplikasi yang sering terjadi pada
meningitis bakterial dan penatalaksanaannya :

1. EFUSI SUBDURAL
Efusi subdural terjadi 10 – 30 % pada meningitis bakterial dan 85 – 90 % asimptomatik.
Efusi subdural 50 % terjadi pada meningitis karena H influenzae. Kemungkinan
terjadinya efusi subdural perlu dipikirkan jika demam tetap ada setelah 72 jam pemberian
antibiotik dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun – ubun besar tetap menonjol,
gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau kejang umum dan muntah
– muntah. Diagnosis ditegakkan dengan CT scans. Pengobatan efusi subdural masih
kontroversial, tetapi biasanya dilakukan pungsi atau tap subdural. Dilakukan tap subdural
tiap 2 hari sampai kering. Kalau dalam 2 minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian
Bedah Saraf untuk dikeringkan. Pengeluaran cairan dalam sekali tap subdural maksimal
30 ml dan dapat dilakukan maksimal 6 kali.2,3

2. EDEMA SEREBRI
Edema serebri adalah pengumpulan cairan didalam jaringan otak, baik intraseluler atau
ekstraseluler. Edema serebri yang terjadi pada meningitis ikut serta menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar
darah otak meningkat yang dapat menyebabkan edema vasogenik, karena pleositosis dan
toksin akan menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan karena aliran cairan
serebrospinalis terganggu/hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstisial.
Pengobatan edema serebri yaitu dengan memberikan deksametason dosis 0,5
mg/kgbb/hari, i.v. atau i.m., dosis diturunkan perlahan setelah beberapa hari bila ada
perbaikan. Manitol dosis 1,5-2 g/kgbb/hari, i.v. dalam 30-60 menit dapat diulang setiap 8-
12 jam dengan menggunakan larutan 15-20 %. Furosemide dosis 2 mg/kgBB/hari, iv
dibagi dalam 2 dosis.2

3. VENTRIKULITIS
Ventrikulitis kadang – kadang terjadi pada meningitis bakterial dan sering terjadi pada
neonatus dimana pernah dilaporkan terjadi 92 % pada neonatus dengan meningitis
bakterial. Ini disebabkan karena ruang subaraknoid dengan ventrikel dihubungkan oleh
cairan serebrospinalis yang pasang surut atau karena migrasi kuman yang bergerak. Pada
ventrikulitis dengan eksudat purulen dapat menimbulkan penyumbatan pada akuaduktus
Sylvii yang memang dasarnya sudah sempit. Ini akan menyebabkan infeksi setempat atau
abses didalam ventrikel dan obat – obatan baik yang diberikan secara sistemik maupun
secara intratekal melalui pungsi lumbal tidak bisa mencapai ventrikel karena adanya
sawar darah otak dan penyumbatan di akuaduktus Sylvii. Pada keadaan seperti ini kadang
– kadang cairan serebrospinalis yang didapat melalui pungsi lumbal sudah steril tapi
cairan ventrikel masih mengandung kuman yang dapat menjadi sumber infeksi yang
dapat menyebabkan meningitis kembali. Kita patut curiga terjadi ventrikulitis jika tidak
ada perbaikan klinis atau laboratoris dengan pengobatan seperti lazimnya, penderita
tampak sakit berat, dan ada tanda – tanda peninggian tekanan intrakranial. Diagnosis
pasti ditegakkan jika dari pemeriksaan cairan ventrikel didapatkan leukosit lebih dari
200/ml dan biakan cairan ventrikel positif. Karena obat yang diberikan secara sistemik
atau intratekal sulit mencapai ventrikel maka pengobatan diberikan dengan memasukkan
antibiotika secara langsung ke dalam ventrikel. Karena pungsi ventrikel yang berulang –
ulang kurang baik, maka pemberiannya dilakukan melalui “reservoir” Salmon-Rickham
yang dipasang didaerah frontal dengan membuat “burrhole” terlebih dahulu. “Reservoir”
ini dipasang di bawah kulit dan ujungnya kira – kira 1 cm di dalam ventrikel. Dosis obat
yang dimasukkan ke dalam ventrikel didasarkan atas perbandingan antara “head
circumference”( HC ) dalam cm dengan “cerebral mantle” ( CM ) dalam mm. Untuk
menentukan CM di daerah frontal, setelah pungsi ventrikel dan dikeluarkan cairan untuk
pemeriksaan, kemudian dimasukkan udara kira – kira 5 – 10 ml dan selanjutnya dibuat
foto rontgen kepala.2,3

DOSIS ANTIBIOTIKA “INTRARESERVOIR”

DOSIS SEHARI
ANTIBIOTIKA
HC : CM = 1,5 HC : CM 2

Ampisilin 10 mg 25 mg
Sodium sefalotin 25 mg 50 mg
Kloramfenikol 25 mg 50 mg
Gentamisin sulfat 2 mg 4 mg
Sodium metisilin 25 mg 50 mg

4. HIDROSEFALUS
Hidrosefalus adalah keadaan patologis otak dimana terjadi peningkatan cairan
serebrospinalis ( CSS ) dengan atau pernah dengan peningkatan tekanan intrakranial
sehingga menyebabkan pelebaran ruang tempat mengalirnya CSS. Pada meningitis
terjadinya hidrosefalus bisa disebabkan karena jalan liquor terganggu, resorbsi menurun,
atau bisa juga karena produksi meningkat. Karena proses infeksi dapat menyebabkan
perlekatan meningen sehingga dapat terjadi obliterasi ruang subaraknoid yang
mengganggu absorbsi. Adanya eksudat purulen dapat menyebabkan obstruksi mekanik di
akuaduktus Sylvii atau sisterna basalis sehingga mengganggu jalannya liquor dan
menyebabkan pelebaran ruang diatasnya. Hidrosefalus lebih banyak terjadi pasca-
meningitis. Diagnosis dibuat secara klinis dimana gejala yang tampak berupa gejala
akibat tekanan intrakranial yang meningkat seperti muntah, nyeri kepala, kejang, dan
kesadaran menurun. Kepala terlihat lebih besar dibandingkan dengan tubuh. Penting
dilakukan pengukuran lingkaran kepala secara berkala, yaitu untuk melihat pembesaran
kepala yang progresif dan lebih cepat dari normal. Jika ubun – ubun besar belum
menutup akan tampak melebar, menonjol, dan tegang. Sutura juga dapat tampak melebar.
Terapi yang bisa dilakukan yaitu dengan memperbaiki hubungan antara tempat produksi
CSS dengan tempat absorpsi yakni menghubungkan ventrikel dengan subaraknoid.
Misalnya dengan ventrikulosisternotomi Torkildsen pada stenosis akuaduktus. Tapi terapi
ini hasilnya kurang memuaskan karena pada meningitis disertai dengan insufisiensi
fungsi absorpsi. Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan mengalihkan aliran liquor
dengan menghubungkan ruang subaraknoid di daerah lumbal dengan peritonium ( spino-
peritoneal shunt ) atau dengan menghubungkan ventrikulus tertius dengan vena kava
superior ( ventriculo-caval shunt ) atau dengan rongga peritonium ( ventriculo-peritoneal
shunt ). Untuk kedua tindakan yang terakhir ini diperlukan suatu katup yang dapat
mengatur aliran tetap ventrikulovugal. Ada dua macam katup yang dapat digunakan
dalam oprasi “shunt” ini yaitu katup Spitz-Holter dan katup Pudenz-Heyer.2,8

5. TULI
Gangguan pendengaran dapat terjadi dalam taraf ringan sampai berat. Kira – kira 5 – 30
% penderita meningitis bakterial mengalami komplikasi tuli terutama yang disebabkan
oleh S pneumoniae. Tuli saraf lebih sering terjadi daripada tuli konduktif. Tuli konduktif
disebabkan karena infeksi telinga tengah yang menyertai meningitis. Tuli saraf lebih
sering disebabkan karena sepsis koklear daripada kelainan N. VIII. Adanya gangguan
pendengaran pada penderita meningitis dapat dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan
BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir minggu ke-2, tetapi yang berat akan
menetap. Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi gangguan pendengaran
apabila diberikan sebelum pemberian antibiotik dengan dosis 0,6 mg/ kgBB/ hari
intravena dibagi 4 dosis selama 4 hari. Gangguan pendengaran yang berat nantinya dapat
menyebabkan gangguan kemampuan bicara.2,4

6. EPILEPSI
Meningitis dapat menimbulkan sekuele di otak yang dapat menimbulkan epilepsi di
kemudian hari. Terapi pada kasus epilepsi meliputi 2 hal yakni pemberian nasihat dan
pemberian obat anti konvulsan.
a. Pemberian nasihat (advis)
Tujuan dari segala nasihat kita adalah agar penderita dapat hidup dalam keadaan
yang senormal mungkin. Penderita baik yang masih sekolah maupun yang sudah bekerja
dinasehati supaya melakukan kegiatannya seperti biasa. Hanya bila penderita seorang
pekerja yang pekerjaannya dapat membahayakan dirinya barulah dinasihati agar
penderita pindah ke lapangan pekerjaan lain. Penderita tidak diperkenankan untuk
menjadi supir mobil dan hendaknya jangan diberikan surat izin mengemudi, karena hal
itu dapat membahayakan dirinya, para penumpangnya, dan para pengguna jalan lain. Pada
dasarnya penderita dilarang mengemudikan kendaraan bermotor selama penderita masih
minum obat-obatan anti konvulsan.
Penderita tidak dilarang berolahraga, tetapi kepadanya supaya tetap menjaga diri
dan hendaknya jangan sampai kelelahan. Olah raga berenang pun tidak dilarang asal ada
yang menjaganya. Psikoterapi memegang peranan yang sangat penting dalam menambah
kepercayaan dan membantu mengurangi atau menghilangkan rasa rendah diri pada
penderita.
Makanan penderita harus teratur, penderita dijaga agar jangan sampai merasa
lapar. Bila penderita merasa lapar hendaknya segera makan untuk mencegah terjadinya
hipoglikemia. Jika dewasa kelak penderita epilepsi tidak diperbolehkan minum-minuman
beralkohol seperti bir dan lain – lainnya. Tidak ada larangan terhadap rokok atau kopi,
asal jangan berlebihan. Buang air besar harus teratur, bila ada obstipasi, hendaknya
kepada penderita diberikan laksansia ringan.
Tidur harus teratur, penderita tidak diperbolehkan bergadang. Tidak jarang
bangkitan epilepsi timbul setelah penderita kurang tidur. Pada penderita epilepsi pasca
meningoensefalitis yang kelak dewasa dan gravidae, lebih mudah terjadi bangkitan-
bangkitan epilepsi. Hal ini disebabkan karena wanita yang hamil akan mengalami retensi
natrium, hidrasi dan berat badan yang bertambah, yang menimbulkan perubahan-
perubahan metabolisme dalam tubuh wanita tersebut, yang pada akhirnya menurunkan
ambang myokloni. Dalam keadaan demikian, sebaiknya dosis obat antikonvulsan
ditingkatkan untuk mencegah timbulnya bangkitan epilepsi.
Bila penderita hendak bepergian jauh, maka dinasihati agar penderita meminum
obat anti-konvulsan secara teratur. Jangan sampai kelelahan, tidur harus baik, dan
diingatkan bahwa perubahan udara sewaktu – waktu memang dapat mengganggu.
b. Pemberian obat-obat anti konvulsan
Obat-obat anti-konvulsan yang dapat diberikan adalah:
1. Fenobarbital
Obat anti-konvulsan yang terbaik dan termurah adalah fenobarbital (luminal).
Obat ini untuk pertama kali dipergunakan sebagai anti-konvulsan pada tahun 1912 oleh
Hauptmann. Pemberian luminal pada anak-anak disesuaikan dengan indikasinya. Untuk
tindakan preventif diberikan luminal sebesar 1 mg/kgbb/x secara i.v. Untuk Kejang lama
diberikan luminal 8 mg/kgbb/hr (2x, 2 hari), lalu dilanjutkan luminal dosis 5 mg/kgbb/hr,
dibagi dalam 2 dosis. Untuk epilepsi umum pada anak berusia > 4 tahun tidak digunakan
luminal tapi valproic acid.
2. Difenilhidantoin
Sebagai anti-konvulsan, obat ini pertama kali dipergunakan dalam tahun 1938
oleh Merritt dan Putnam. Kelebihan dari obat ini adalah oleh karena tidak bersifat sedatif.
Dilantin tidak digunakan untuk mengobati Petit Mal, tapi hanya untuk mencegah
timbulnya bangkitan epilepsi pada penderita Grand Mal dan Epilepsi Psikomotor.
Digunakan untuk terapi epilepsi pada anak > 4 tahun yang tidak boleh diberikan luminal.
Dosis pada anak-anak: maksimum 6 mg/kgbb/hari.
3. Valium (diazepam)
Khusus disebutkan di sini kegunaan valium bila disuntikkan secara intravena,
pada terapi penderita dengan status epileptikus. Dosis 0,5 mg/kgbb/x i.v. dan pada anak
dengan berat badan 10 kg diberikan sebanyak ½ ampul per kali.
4. Clonazepam
Clonazepam berkhasiat bila digunakan pada terapi penderita dengan Petit Mal dan
bangkitan akinetik dan mioklonik. Diberikan dengan dosis 2,5 mg per hari, dibagi dalam
3 dosis.
5. Tridione/Paradione
Obat-obatan ini berasal dari kelompok oksazolidinedione. Paradione ternyata
kurang toksik dibandingkan tridione. Obat-obatan ini dapat dipergunakan pada anak–
anak dengan Petit Mal. Dosis: 3 x 150-300 mg per hari, dosis ini dapat ditingkatkan
hingga 3 g per hari. Efek samping dari obat golongan ini adalah mengantuk, fotofobia,
akne, agranulosis dan anemia aplastik.
6. Zarontin (Ethosuximide)
Zarontin sangat baik pada penderita dengan Petit Mal. Dosis pada anak – anak < 6
tahun adalah 2 atau 3 x 250mg-500mg per hari. Efek sampingnya adalah anoreksia,
nausea, muntah-muntah, dan depresi sumsum tulang.
7. Valproic acid (Depakene)
Depakene dapat dipergunakan dalam pengobatan Petit Mal dan pada myoclonic
epilepsy dan bangkitan akinetik. Dosis pada anak-anak sebesar 30-40 mg/kgbb/hari (2x
sehari). Efek samping dapat berupa badan terasa capai, mual, muntah, dan diare, berat
badan bertambah, tremor, trombositopenia ringan, dan peningkatan enzim – enzim
hepatik. Sewaktu terapi dengan depakene hendaknya dipantau jumlah trombosit dan
fungsi hati.
Pemberian obat-obat anti-konvulsan dipertimbangkan untuk dihentikan bila
penderita telah 1 tahun bebas dari bangkitan epilepsi dan memperlihatkan E.E.G. yang
normal. 8

7. RETARDASI MENTAL
Terjadinya retardasi mental disebabkan karena “brain damage” yang terjadi pada
penderita meningitis. Karena “brain damage” merupakan proses lampau yang tidak aktif
lagi, tentunya tidak banyak lagi yang dapat dilakukan untuk terapi kausal. Tetapi terdapat
beberapa hal yang masih dapat dilakukan yaitu:
1. Fisioterapi
Bila keterampilan motorik dapat ditingkatkan maka dapat pula dilihat
bahwa output yang lain seperti misalnya ketangkasan lokomotorik, selfhelp,
berbahasa dan lain-lain dapt meningkat pula.
2. Untuk menghilangkan spastisitas yang dapat menghalangi gerakan penderita
dapat diberikan diazepam.8

BAB III
Ringkasan

Meningitis bakterial merupakan salah satu jenis penyakit infeksi pada selaput
pembungkus otak atau meningen serta cairan yang mengisi ruang subarakhnoid.
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak ( araknoid dan piamater ),
yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik dan non
virus. Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak disebabkan oleh:
Hemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis.
Meningitis bakterial pada bayi dan anak masih sering dijumpai di Indonesia. Angka
kejadian tertinggi terjadi pada umur antara 2 bulan – 2 tahun. Ada 3 gejala yang umum
terjadi pada meningitis bakterial yaitu gejala infeksi akut seperti anak tampak lesu, panas,
dan anoreksia. Gejala tekanan intrakranial yang meningkat seperti sering muntah, nyeri
kepala ( anak besar ), tangis yang merintih ( pada neonatus ), kesadaran menurun dari
apatis sampai koma, kejang, ubun – ubun besar menonjol dan tegang. Gejala rangsangan
meningeal seperti kaku kuduk, tanda – tanda spesifik seperti Kernig, Brudzinsky I dan II
positif, kadang ada nyeri punggung. Komplikasi yang terjadi pada meningitis bakterial
dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang
terlambat. Komplikasi bisa akut atau bisa juga timbul dalam waktu yang lama setelah
penderita sembuh. Komplikasi akut yang mungkin terjadi ialah acute serebral edema,
ventrikulitis, efusi subdural, nekrosis dan destruksi nervus cranialis, DIC, shock dan
gagal napas, sekresi ADH yang berlebihan, kejang, hidrosefalus, tuli, abses otak dan bisa
juga karena pengobatan. Komplikasi jangka panjang yang bisa terjadi antara lain tuli
saraf, kebutaan, sekuele neurologis berupa hemi paresis, hipertonia muskulorum, defisit
motorik, epilepsi, retardasi mental, gangguan belajar, gangguan perhatian, dan gangguan
bahasa. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari
dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sari I D. Meningitis Bakterialis. Kalbe. 2003. Juni 23. Available from:


www.kalbe.Co.id/kf portal. Hsf / o / . Accessed November 18; 2004
2. Soetomenggolo TS, Ismael S. Neurologi Anak. Jakarta. Balai Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2000
3. Hasan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak Buku Kuliah II. Jakarta. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002
4. Kumar A. Bacterial Meningitis. Emedicine.2004 October,4. Available from: www.
Emedicine.com/PED/topic 198. htm – 101k – Accessed November 10; 2004
5. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors: Nelson Essentials of Pediatrics, ed
16, Philadelphia, 2000, WB Saunders,p. 382 - 385
6. Johnson GM, Wagner GE, Virella G. Meningitis and Encephalitis, in: Microbiology
and Infectious Diseases.p. 429 - 434
7. Prober CG. Central Nervous System Infections. In : Nelson Text Book of Pediatrics.p.
2038 - 2044
8 Ngoerah GNGde. Dasar-dasar ilmu penyakit saraf. Cetakan pertama. Surabaya.
Penerbit Universitas Airlangga; 1990.hal.259-263.

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : I Putu Ari Antara
Umur : 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki – laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Banjar Buading, Kaba Kaba, Kediri, Tabanan.
MRS : 21 September 2004 ( pukul 16:00 WITA di Jempiring )

II. ANAMNESIS ( Heteroanamnesis )


Keluhan Utama : Kejang
Penderita kiriman dari RS Tabanan dirujuk ke Bag. Bedah RS Sanglah. Karena tidak ada
indikasi pembedahan di konsulkan ke Bag. Anak. Penderita dikeluhkan kejang sejak tadi
pagi pukul 08:00 yaitu 7 jam SMRS sebanyak 1 kali dengan durasi 5 menit. Kejangnya
bersifat umum, tangan dan kaki menghentak – hentak, mata melirik keatas, pada saat
kejang penderita dalam keadaan panas dan setelah kejang berhenti penderita menangis.
Penderita juga dikeluhkan panas sejak 4 hari SMRS. Panas timbul mendadak tinggi, naik
turun dan setelah diberi obat penurun panas, panas mau turun. Batuk, pilek dan muntah
tidak ada. Minum ( + ) normal.
Riwayat Pengobatan

4 hari yang lalu sempat dibawa ke puskesmas karena panas. Di sana diberikan
obat penurun panas dan panas mau turun. Tadi pagi ( 21-11-04 ) sempat ke RS Tabanan
karena kejang. Di RS Tabanan didiagnosa Susp. Intrakranial bleeding dengan diagnosis
banding meningitis. Di RS Tabanan diberikan IVFD Dextrose 10% 16 tetes m/ menit, O2
2 lt / menit, Cefixim 3 x 250 mg, Diazepam 1,5 mg ( kp ), Dexamethason 3 x ½ cc.
Dirujuk ke Bag. Bedah RS Sanglah karena CT scan di RS Tabanan rusak dan tidak ada
ahli bedah saraf.

Riwayat Persalinan

Lahir di RS dengan SC karena letak tinggi, ditolong oleh dokter Sp OG, BBL : 3500
gram, segera menangis.

Riwayat Nutrisi
ASI : 0 - sekarang
PASI : 0 – sekarang ( SGM )
Riwayat Imunisasi
Hepatitis B

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Present :
Keadaan umum : Sedang Panjang Badan : 54 cm
Kesadaran : Iritabel Berat Badan : 5,2 kg
Nadi : 124 x/ menit
Respirasi : 70 x/ menit
Temp Aksila : 36,2 C
Status gizi : 94,5 % ( gizi baik )
Z Score : 2,13 SD ( gemuk )
Status General :
Kepala : Normocephali, UUB datar
Mata : Anemia ( +/+ ), ikterus ( -/- ), refleks pupil ( +/+ ) isokor
Doll eye movment ( + ), nistagmus ( - ), strabismus ( - ), deviation
Conjugee ( - )
THT : NCH ( - ) cyanosis ( - )
Leher : Kaku kuduk ( + ) pembesaran kelenjar ( - )
Thorax : Cor : S1 S2 normal, reguler, murmur ( - )
Po : BV +/+, Rh -/-, Wh, -/-
Abdomen : Distensi ( - ), BU ( + ) normal, hepar/lien tidak dapat teraba
Ekstremitas : akral hangat ( + ), cyanosis ( - )
Reflek fisiologis ( + ) untuk keempat ekstremitas, reflek patologis ( - )
untuk keempat ekstremitas, Kernig dan Brudzinki I dan II ( - ) / sulit
dievaluasi, tonus normal.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Darah Lengkap ( 21 / 9 / 2004 )
WBC : 9,87 K/ uL
RBC : 2,82 M/ uL
HB : 7,8 g/dl

HCT : 25,8 %
PLT : 285 K/ uL
EO : 0,3 %
BASO : 0,3 %

NEUT : 18,9 %
LYMPH : 77 %

MONO : 3,5 %
Lumbal pungsi (21/ 9/ 2004)
Warna : Xantochrom
Kejernihan : Keruh
None : Positif 1
Pandy : Positif 2
Sel leukosit : 3860
PMN : 58%
MN : 42%
Erytrosit : 2-3 / LPB
Total protein :354 mg/dL
Glukosa : 26 /dL
Preparat Gram : Kokus Gram Negatif ( + )

V. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
CT scan kepala
Tampak hygroma di daerah temporo frontalis kiri kanan, tanda – tanda
pendarahan tidak ada.
VI. USULAN PEMERIKSAAN
Kultur LCS, Blood Smear

VII. DIAGNOSIS KERJA


Susp. Meningitis bakteri + anemia

VIII. PENATALAKSANAAN
- O2 2 lt/ menit ( kp )
- IVFD Dext 10 % = 520 cc/ hari = 20 tetes m / menit
- Ampicilin 6 x 325 mg
- Cefotaxim 3 x 325 mg
- Luminal 2 x 13 mg
- Dexametason bolus 2,5 mg, selanjutnya 3 x 1 mg injeksi

FOLLOW UP PENDERITA DI RUANGAN

TGL S O A P
22/9/2004 Kejang (-) St Present Susp. -IVFD Dext 10 % 20
-Ku: Tampak lemas Meningitis tetes m / menit
-Kes: iritabel bakteri + -Ampicilin 6 x 325 mg
-HR:124X/mnt, anemia -Cefotaxim 3 x 325 mg
-RR:56X/mnt -Luminal 2 x 13 mg
dangkal, ireguler -Dexametason inj. 3 x
-T ax : 37,50C 1mg
St. Generalis -Mx/ VS, kesadaran,
-Kepala : N cephali, kejang
UUB:datar -Pdx/ blood smear,
-Mata: an (+), ikt(-) reticulosit count, konsul
Rp +/+ isokor.doll THT
eye movment (+),
nistagmus (-),
deviation conjugee
(-)
-THT:NCH(-),
cyan(-)
-Leher : KK (+),
PK (-)
-Thoraks :Co/po
dbn
-Abdomen :Distensi
(-), BU (+) N, H/L
ttb,
-Ext : Akral hangat
(+), cyan (-) Kernig
dan brudzinski (-)
23/9/2004 Kejang (-) St Present Susp. -Kebutuhan cairan = 520
-Ku: Tampak lemas Meningitis cc/ hari
-Kes: iritabel bakteri + -IVFD Dext 10 %
-HR:164X/mnt, anemia 250cc/hr =10 tetes m /
-RR:64X/mnt menit, sisanya 270cc
-T ax : 37,50C lewat oral (ASI/PASI
St Generalis idem 25CC/2jam)
Lab DL: WBC: -Ampicilin 6 x 325 mg
13,0 HB: 8,64 -Cefotaxim 3 x 325 mg
HCT: 24,7 PLT: -Luminal 2 x 13 mg
438, Blood smear -Dexametason inj. 3 x
normokromik, 1mg
normositik, -Mx/ VS, kesadaran,
anisositosis kejang
Pdx/ LP
24/9/2004 Kejang (-) minum St Present Idem
ASI (+) kuat -Ku:Sedang Meningitis
-Kes: CM bakteri
-HR:120X/mnt,
-RR:30X/mnt
-T ax : 37 0C
St Generalis
Jawaban THT :
tidak didapatkan
kelainan dibidang
THT
25/9/2004 Kejang (-) Idem Idem
LP = agak keruh, Meningitis LP = Jernih, tunggu hasil
NONE: (-), bakteri dari quantum
PANDY: + 1,
leukosit: 342,
PMN:
29%,MN:71%,
Eri:0-1/LPB,Tot
prot. 114, glu : 13.
26/9/2004 Kejang (-) idem idem idem
27/9/2004 Kejang (-) idem idem IVFD D 5% ¼ Saline 10
tetes/ menit , yang lain
idem

28/9/2004 Kejang (-) Kes : iritabel N: idem Idem


136X/menit, R:
56x/menit, T ax:
36,6 C
29/9/2004 Kejang (-) Idem KK:  Idem Idem, Luminal stop
30/9/2004 Kejang (-) Idem idem Idem, Dexametason 2 x
1mg
1/10/2004 Kejang (-) Idem idem Idem, Dexametason 1 x
1mg
2/10/2004 idem Idem idem Idem,ASI/PASI on
demand
3/10/2004 idem Idem idem idem
4/10/2004 idem Idem, KK (-) idem Idem, dexametason stop
5/10/2004 idem Idem, DL : WBC : idem idem
13,6 HB: 9,43 HCT
: 27,4 % PLT: 327
6/10/2004 Panas (+) Idem, T ax: idem Idem, Paracetamol 3 x
37,7C 0,5 cc drip KP, Lakukan
LP: bening, jernih, LP
NONE (-) PANDY
(-), Leukosit 109,
PMN: 73% MN:
27% Eri: 2-3/LPB,
Tot Prot: 84 Glu: 22
7/10/2004 idem idem idem idem
8/10/2004 Idem, panas (-) idem idem idem
9/10/2004 Idem idem idem idem
10/10/2004 Panas (+) Idem, T ax: idem Idem, paracetamol 3 x
38 C 0,5 cc

11/10/2004 idem Idem, T ax: idem Idem


38,8 C Cek DL

12/10/2004 Kejang (-) Panas -Ku: baik Kes: CM Idem Idem, Usul BPL besok ,
(-) T ax:
36,4 C

13/10/2004 Panas (+) Idem, T ax: idem Infus stop, antibiotika


37,6 C oral = Clabat 3 x Cth ½ ,
paracetamol 3 x 0,5 cc
ASI on demand
14/10/2004 Panas (+) naik idem idem Idem
turun
15/10/2004 idem idem idem Idem, LP hari ini
16/10/2004 Panas (-) Idem, LP = NONE: idem idem
+3 PANDY: +3
Leukosit 247, PMN
100%, Glu: 26
17/10/2004 idem Idem idem Idem
18/10/2004 idem Idem, LP = idem Idem
Bening,jernih
NONE : +1
PANDY: +1
Leukosit : 168,
PMN: 67%, MN:
33% Eri : 2-4/LPB
Tot Prot: 146 Glu:
24
19/10/2004 idem idem idem IVFD D 5% ¼ 10 tetes/
menit, paracetamol 3 x
0,5 cc KP, ASI on
demand
20/10/2004 Idem idem idem Idem, Kalpicilin 6 x 325
mg, Cefotaxim 3 x 325
mg, Sanvita B Syrup.
Pulang paksa karena mau
dirawat di rumah

Você também pode gostar