Você está na página 1de 42

PRESENTASI KASUS

SEORANG ANAK LAKI – LAKI 7 TAHUN 7 BULAN DENGAN


DIARE AKUT DEHIDRASI RINGAN SEDANG E.C SUSPEK
DISENTRI, DAN STATUS GIZI BAIK, NORMOWEIGHT,
NORMOHEIGHT

DISUSUN OLEH:
ADITYO KUMORO JATI G99171001 (C-9)
AGUMILAR BAGUS BAGASKARA G99162075 (C-7)

PEMBIMBING :
dr. NOOR ALIFAH, Sp.A., M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG
2017

0
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD
Pandan Arang Boyolali. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Anak Laki – laki 7 tahun 7 bulan dengan


Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang e.c Suspek Disentri, dan
Status Gizi Baik, Normoweight, Normoheight

Hari, tanggal : Kamis, 12 April 2018

Oleh:
Adityo Kumoro Jati G99171001 (C-9)
Agumilar Bagus Bagaskara G99162075 (C-7)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Noor Alifah, Sp.A., M.Kes.


NIP. 19701001 200001 2 001

BAB I

1
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. AZAN
Tanggal lahir : 9 September 2010 (7 tahun 7 bulan)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Tonolayu, RT 3 / RW 5, Nganggrong, Ampel,
Boyolali
BB : 25 kg
TB : cm
Tanggal masuk : 8 April 2018
Tanggal Pemeriksaan : 8 April 2018
No. CM : 175486xx

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Diare

2. Riwayat Penyakit Sekarang

I II III
Minggu 02.00 Senin Selasa Rabu

Pasien merupakan rujukan dari PKM ampal, datang ke IGD RSUD


Pandan Arang dibawa oleh kedua orang tuanya dengan keluhan diare
sejak 7 jam SMRS. Diare sebanyak 10 x. Tiap BAB volumenya ¼ gelas
belimbing. BAB berwarna merah disertai darah, lender, lebih banyak
cairan daripada ampas. Bau tinja seperti telur busuk. Perut kembung dan
terasa nyeri perut. Pasien masih merasa haus. Buang air kecil 1 kali di
IGD sedikit berwarna kuning dan tidak disertai nyeri.
Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya mual dan muntah sejak 11
jam SMRS. Muntah sebanyak 8 kali dengan volume ¼ gelas belimbing

2
tiap muntah. Isi muntahan berupa sisa makanan kemudian berisi air
ditambah lendir. Tiap kali pasien diberi makanan dan minuman pasien
muntah. Ibu pasien mengaku 1 hari yang lalu anaknya makan siomay di
pedagang kaki lima. Demam disangkal
Ibu pasien mengeluhkan 2 minggu yang lalu anak mengalami
demam dan muncul bercak kemerahan pada kaki dan tangan. Bercak
tersebut kemudian menjadi jaringan parut setelah 3 hari. Ibu pasien
menyangkal anaknya sedang batuk dan pilek. Tidak terdapat cairan yang
keluar dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat diare sebelumnya : disangkal
Riwayat tifus : disangkal
Riwayat batuk pilek : disangkal
Riwayat demam berdarah : disangkal
Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat BAB cair : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat asma : (-)
Riwayat batuk lama : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat diabetes mellitus : (-)

5. Riwayat Lingkungan Sekitar

3
Berdasarkan alloanamnesis dengan ibu pasien, pasien tinggal
dengan kedua orang tua. Orang tua pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa dengan pasien. Tetangga pasien tidak ada yang
mengeluhkan keluhan serupa dengan pasien.

6. Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu pasien hamil dalam usia 30 tahun dan merupakan kehamilan
yang 1. Ibu pasien mengaku tidak merasakan keluhan apapun saat
hamil. Ante natal care dilakukan secara rutin setiap bulan di bidan desa.
Ibu pasien mengaku mendapatkan suplemen tambah darah dari bidan.
Ibu pasien tidak mengonsumsi obat-obatan.

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan di saat usia kehamilan 38 minggu, dengan
berat lahir 3000 gram, panjang badan 48 cm, menangis spontan (+),
kebiruan (-) dan geraknya aktif (+).

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


a. Pertumbuhan
BB lahir 3000 gram, PB lahir 48 cm. Sejak kecil anak selalu dibawa ke
posyandu dan tidak didapatkan penurunan berat badan Umur sekarang 7
tahun 7 bulan, BB 25 kg, TB 127 cm.
b. Perkembangan
i. Motorik kasar dalam batas normal
ii. Motorik halus dalam batas normal
iii. Bahasa dalam batas normal
iv. Personal sosial dalam batas normal
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia
9. Status Imunisasi

Imunisasi telah lengkap sesuai jadwal Kemenkes 2017

4
10. Riwayat Nutrisi
Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk, sayur dan buah.
Pasien minum air dari gunung yang di rebus.
Kesan : kualitas dan kuantitas asupan gizi cukup.

11. Riwayat Sosial


Pasien merupakan anak kedua dari Tn S yang bekerja sebagai
wirausaha, sedangkan ibu pasien adalah ibu rumah tangga. Ayah Ibu
pasien merupakan suku Jawa. Ayah, Ibu, dan pasien beragama Islam.
Pasien memeriksakan diri ke RSUD Pandan Arang Boyolali
menggunakan layanan BPJS kelas 2.

12. Pohon Keluarga


I

II

III

An. AZAN
(7 tahun, 7 bulani)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Sikap / keadaan umum : tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : kompos mentis, gelisah
Derajat gizi : baik

5
2. Tanda vital
BB : 25 kg
TB : cm
SiO2 : 99%
Nadi : 107 x/menit, reguler
Pernafasan : 26 x/menit, reguler
Suhu : 37.3 C (per axilla)
3. Perhitungan Status Gizi
a) Secara klinis
Gizi kesan baik
b) Secara Antropometris
BB : 25 kg, Umur : 7 tahun 7 bulan, TB : 127cm
BB/U : 50<P<75 (normoweight)
TB/U : 50<P<75 (normoheight)
BB/TB : 50<P<75 (gizi baik)
Status gizi secara antropometri: gizi baik, normoweight,
normoheight
4. Kepala
Normosefal,
5. Mata
Oedem palpebra (-/-), bulu mata rontok (-), konjunctiva pucat (+/+),
cekung (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+ 3 mm/ + 3mm), air mata
(+/+)
6. Hidung
Napas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-)
7. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+), lidah kotor dan hiperemis (-)
8. Telinga
Sekret (-/-), tragus pain (-/-)
9. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, hiperemis (-), faring hiperemis (-)

6
10. Leher
Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak
membesar
11. Toraks
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Pulmo : Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar: vesikuler (+/+), suara
tambahan: RBH (-/-), RBK (-/-), wheezing
(-/-)
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal,
regular, bising (-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) meningkat 18x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ascites (-),
pekak alih (-), undulasi (-), nyeri tekan (+), turgor kulit
kembali cepat

13. Ekstremitas
Akral dingin - - edema - -
- - - -
ADP kuat
CRT < 2 detik
Tampak purpura luas berwarna kemerahan dengan papul kehitaman

7
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan 8/4/2018 Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 12.9 g/dl 11.1 – 14.1
Hematokrit 38 % 31 – 41
Leukosit 17.6↑ ribu/ul 4.5 – 14.5
Eritrosit 5.68↑ juta/ul 4.00 - 5.20
Trombosit 520↑ ribu/ul 150 – 450
Protein plasma - g/dl 6–8
INDEX ERITROSIT
MCV 66.4↓ /um 80.0 - 100.0
MCH 22.7↓ Pg 27.0 - 32.0
MCHC 34.2 g/dl 32.0 - 36.0
RDW 14.6 % 11.6 - 14.6
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.10↓ % 1–3
Basofil 0.10 % 0–1
Neutrofil 85.30↑ % 50 – 70
segmen
Limfosit 8.70↓ % 20 – 40
Monosit 5.80 % 2–8

Pemeriksaan 8/4/2018 Satuan Rujukan


URINE LENGKAP
Warna kuning kuning
Kejernihan jernih jernih
Bau khas khas
KIMIA
Blood negatif negatif
Bilirubin negatif negatif
Urobilinogen normal normal
Benda Keton negatif negatif
Reduksi negatif negatif
Protein negatif negatif
Nitrit negatif negatif
Leukosit negatif negatif

8
pH 6.5 4.6-8.5
Berat Jenis 1.015 1.003-1.030
SEDIMEN
Epitel 1(+) 1(+)/LPB
Leukosit 1(+) 1(+)/LPB
Eritrosit 1(+) 1(+)/LPB
Silinder negatif negatif/LPK
Kristal negatif negatif
Lain-lain negatif negatif

E. RESUME
Pasien merupakan rujukan dari PKM ampal, datang ke IGD RSUD
Pandan Arang dibawa oleh kedua orang tuanya dengan keluhan diare sejak 7
jam SMRS. Diare sebanyak 10 x. Tiap BAB volumenya ¼ gelas belimbing.
BAB berwarna merah disertai darah, lender, lebih banyak cairan daripada
ampas. Bau tinja seperti telur busuk. Perut kembung dan terasa nyeri perut.
Pasien masih merasa haus. Buang air kecil 1 kali di IGD sedikit berwarna
kuning dan tidak disertai nyeri. Ibu pasien juga mengeluhkan anaknya mual
dan muntah sejak 11 jam SMRS. Muntah sebanyak 8 kali dengan volume ¼
gelas belimbing tiap muntah. Isi muntahan berupa sisa makanan kemudian
berisi air ditambah lendir. Tiap kali pasien diberi makanan dan minuman
pasien muntah. Ibu pasien mengaku 1 hari yang lalu anaknya makan siomay
di pedagang kaki lima. Ibu pasien mengeluhkan 2 minggu yang lalu anak
mengalami demam dan muncul bercak kemerahan pada kaki dan tangan.
Bercak tersebut kemudian menjadi jaringan parut setelah 3 hari.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan didapatkan pasien tampak
sakit sedang, BB: 25 kg, TB: 127cm, SiO2: 99%, nadi: 107 x/menit,
pernafasan: 26 x/menit, suhu 37.3 ˚C, bising usus meningkat 18 kali/menit.
F. DAFTAR MASALAH
1. Anamnesis:
a. BAB cair berdarah, berlendir dan berbau busuk sejak 7 jam SMRS
sebanyak 10 kali.
b. Perut kembung dan sakit.

9
c. Mual muntah sebanyak 8x sejak 11 jam SMRS
d. Bercak kemerahan dan jaringan parut pada kedua tangan dan kaki.
e. Tidak ditemukan batuk, pilek, keluar cairan dari telinga, dan
mimisan

2. Pemeriksaan Fisik:
a. Nadi 107 kali/menit
b. Pernapasan 26 kali/menit
c. Suhu: 37.3o C per axilla
d. Mata cekung (+/+)
e. Bising usus meningkat 18 kali/menit
f. Nyeri tekan abdomen (+)
g. CRT < 2 detik
h. ADP kuat

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Diare akut dehidrasi ringan sedang e.c sindrom disentri
2. ETEC
3. EIEC
4. Purpura Henoch schonlein
5. Gizi baik, normoweight, normoheight (antropometri)

H. DIAGNOSIS KERJA
1. Diare akut dehidrasi ringan sedang e.c sindrom disentri
2. Purpura Henoch Schonlein
3. Gizi baik, normoweight, normoheight (antropometri)

I. PENATALAKSANAAN
1. IVFD RL 140 cc/jam infus pump.
2. Ganti infus KAEN 20 tpm apabila telah terehidrasi
3. Inj ondansetron 2x2 mg

10
4. Cefixim syr 2x200 mg
5. L-bio 2x1
6. Zinc syr 1x20 mg

J. PLAN
1. Rawat inap bangsal anak
2. Kultur feses

K. MONITORING
Keadaan umum, tanda vital, balance cairan dan diuresis, status hidrasi tiap 8
jam.

L. EDUKASI
1. Mengenai penyakit pasien.
2. Mengenai pengobatan dan kesembuhan pasien.
3. Mengenai kemungkinan dan cara pencegahan kekambuhan penyakit
pasien.

M. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

N. FOLLOW UP
Follow up status pasien

Follow up 8/4/2018 9/4/2018 10/4/2018 11/4/2018


S Demam (-), mual Demam (-), mual Demam (-), mual Demam (-), mual
muntah(+), BAB (-), BAB dan (-), BAB dan (-), BAB dan
darah, BAK (+), BAK dalam batas BAK dalam batas BAK dalam batas
batuk(-), pilek normal, muntah(-) normal, muntah(-) normal, muntah(-)
(-), , batuk(-), pilek , batuk(-), pilek , batuk(-), pilek
(-), (-), (-),

11
O KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak sakit KU: tampak sakit
sedang, GCS sedang, GCS sedang, GCS sedang, GCS
E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi E4V5M6, gizi
kesan baik kesan baik kesan baik kesan baik
Tanda SiO2: 96%, RR SiO2: 98%, RR SiO2: 98%, RR SiO2: 99%, RR
Vital 26 x/menit, t 20 x/menit, t 20 x/menit, t 20 x/menit, t
37.3oC, HR 107 36.1oC, HR 84 36.1oC, HR 80 36.1oC, HR 80
x/menit x/menit x/menit x/menit
Kepala Normosefal, Normosefal, Normosefal, Normosefal,
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-) CA (-/-), SI (-/-)
Oedem palpebra Oedem palpebra Oedem palpebra Oedem palpebra
(-/-), mata (-/-) (-/-) (-/-)
cowong (+/+)
Hidung Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping Nafas cuping
hidung (-), sekret hidung (-), sekret hidung (-), sekret hidung (-), sekret
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Mulut Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+) Mukosa basah (+)
Tenggorok Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1 Tonsil T1-T1
hiperemis (-), hiperemis (-), hiperemis (-), hiperemis (-),
faring hiperemis faring hiperemis faring hiperemis faring hiperemis
(+) (+) (+) (+)
Thorax Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-) Retraksi (-)
Cor I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak I: ictus cordis tak
tampak tampak tampak tampak
P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis P: ictus cordis
tidak kuat angkat tidak kuat angkat tidak kuat angkat tidak kuat angkat
P: batas jantung P: batas jantung P: batas jantung P: batas jantung
sulit dievaluasi sulit dievaluasi sulit dievaluasi sulit dievaluasi
A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II A: BJ I-II
intensitas normal, intensitas normal, intensitas normal, intensitas normal,
reguler, bising (-) reguler, bising (-) reguler, bising (-) reguler, bising (-)
Pulmo I: pengembangan I: pengembangan I: pengembangan I: pengembangan
dada kanan = kiri dada kanan = kiri dada kanan = kiri dada kanan = kiri
P: fremitus raba P: fremitus raba P: fremitus raba P: fremitus raba
kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri kanan=kiri
P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor P: sonor/sonor
A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar: A: suara dasar:
vesikuler (+/+), vesikuler (+/+), vesikuler (+/+), vesikuler (+/+),
suara tambahan suara tambahan suara tambahan suara tambahan
(-/-) (-/-) (-/-) (-/-)
Abdomen I: dinding dada < I: dinding dada < I: dinding dada < I: dinding dada <
dinding perut dinding perut dinding perut dinding perut
A: bising usus A: bising usus (+) A: bising usus (+) A: bising usus (+)
(+) meningkat 18 normal 10 x/ normal 10 x/ normal 8 x/ menit
x/ menit menit menit P: timpani

12
P: timpani P: timpani P: timpani P: supel, nyeri
P: supel, nyeri P: supel, nyeri P: supel, nyeri tekan (-), hepar
tekan (+), hepar tekan (-), hepar tekan (-), hepar tidak teraba,
tidak teraba, tidak teraba, tidak teraba, ascites (-) dan lien
ascites (-) dan ascites (-) dan ascites (-) dan tidak teraba
lien tidak teraba lien tidak teraba lien tidak teraba
Genital Dalam batas Dalam batas Dalam batas Dalam batas
normal normal normal normal
Ekstremitas Akral dingin (-), Akral dingin (-), Akral dingin (-), Akral dingin (-),
sianosis (-), CRT sianosis (-), CRT sianosis (-), CRT sianosis (-), CRT
< 2”, ADP kuat, < 2”, ADP kuat, < 2”, ADP kuat, < 2”, ADP kuat,
purpura luas purpura luas purpura luas purpura luas
dengan warna dengan warna dengan warna dengan warna
kemerahan dan kemerahan dan kemerahan dan kemerahan dan
kehitaman kehitaman kehitaman kehitaman

Asessment - Kolik
Abdomen
dengan GEA
- Diare akut e.c - Diare akut e.c - Diare akut e.c
dehidrasi
sindrom sindrom sindrom
ringan-sedang
disentri disentri disentri
dd disentri
- Susp Henoch Susp Henoch Susp Henoch
basiler dd
scholaein scholaein scholaein
disentri amuba
purpura purpura purpura
- Susp Henoch
scholaein
purpura
Terapi - Infus RL 140 - Infus KAEN 3 - Infus KAEN 3 - Infus KAEN 3
ml/jam infus A 20 tpm A 20 tpm A 20 tpm
pump selama 3 - Inj. - Inj. - Inj.
jam Ondansetron Ondansetron Ondansetron
- Infus KAEN 3 2x2mg 2x2mg 2x2mg
A 20 tpm - P.O cefixime - P.O cefixime - P.O cefixime
- Inj. 2x100 mg 2x100 mg 2x100 mg
Ondansetron - L-bio 2x1 - L-bio 2x1 - L-bio 2x1
2x2mg - Zinc 1x20 mg - Zinc 1x20 mg - Zinc 1x20 mg
- P.O cefixime
2x100 mg
- L-bio 2x1
- Zinc 1x20 mg
- Lab DR,
urinalisis
Monitoring KUVS 8 jam KUVS 12 jam KUVS 24 jam KUVS 24 jam

13
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini diagnosis diare akut e.c sindrom disentri ditegakkan
berdasarkan :

A. Anamnesis
1. Pasien mengalami BAB darah cair berlendir sebanyak 10 kali sejak 7
jam sebelum masuk rumah sakit. Ada keluhan mual dan muntah pada
pasien. Muntah 8 kali dengan isi sisa makanan dan air. Perut kembung
dan nyeri dikeluhkan oleh pasien. Pasien merasa kehausan. BAK
sedikit waktu di igd. Riwayat makan siomay 1 hari SMRS
2. Riwayat demam 2 minggu yang lalu lalu muncul bercak kemerahan
yang kemudian berubah menghitam.
3. Tidak ada riwayat batuk dan pilek pada pasien. Tidak terdapat cairan
yang keluar dari telinga. Riwayat mimisan pada pasien juga disangkal.
Buang air kecil (BAK) berwarna kuning jernih dan pasien tidak
menangis saat buang air kecil.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang
2. Tanda vital pasien: SiO2 : 96%, nadi : 107 x/ menit reguler,
pernafasan : 26 x/menit reguler, suhu: 37.3º C (per axilla)
3. Mata cowong
4. Bising usus meningkat 18 kali/ menit
5. Nyeri tekan abdomen
6. ADP kuat, CRT < 2 detik
7. Tampak purpura luas tampak kemerahan dan kehitaman

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Leukosit naik 17.640/ul,
Eritrosit naik 5.68 juta/ul, trombosit naik 520 ribu/ul, Eosinofil turun
menjadi 0.1 %, Neutrofil segmen naik menjadi 85.30 %, Limfosit
turun menjadi 8.70 %, MCV turun 66.4 fL, dan MCH trun 22.7 pg

2. Pemeriksaan urin lengkap dalam batas normal.

Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan berlangsung
kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari), dengan
pengeluaran tinja yang lunak/cair. Mungkin disertai muntah dan panas. Diare
cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan kurang dapat
mengakibatkan kurang gizi.
Kriteria rawat inap pada pasien anak dengan diare akut tanpa dehidrasi
adalah apabila terdapat komplikasi lain, seperti tidak mau minum, muntah
terus-menerus, diare frekuen, kejang, atau memerlukan observasi lebih lanjut
untuk menegakkan etiologi dari diare tersebut.
Penegakan diagnosis pada pasien ini dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan demam tinggi sejak 12 jam sebelum masuk
rumah sakit dan tidak turun walaupun sudah dikompres dengan air hangat,
kejang satu kali selama 10 menit pada seluruh tubuh, diare cair sebanyak 4
kali sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Tidak ditemukan tanda dehidrasi
pada pasien ini dan pasien masih mau minum ASI dengan lahap.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam dan bising usus yang
meningkat. Dari hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah
lengkap, didapati adanya anemia, neutropenia, limfositosis, peningkatan
monosit, penurunan hematokrit, serta penurunan kadar eosinofil. Pemeriksaan
urin lengkap dalam batas normal.

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Kejang Demam
A. Definisi
Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38 oC) yang disebabkan oleh suatu
proses ekstrakranium (Ismael, 1999). Kejang demam terjadi pada 2-4% anak
berumur 6 bulan hingga 5 tahun. Anak yang memiliki riwayat kejang tanpa
demam tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak usia 6 bulan atau

16
lebih dari 5 tahun dapat dipertimbangkan infeksi susunan saraf pusat atau
epilepsi yang secara kebetulan terjadi bersamaan dengan demam
(Pusponegoro et al., 2006).

B. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya kejang demam antara lain
peningkatan suhu tubuh, riwayat kejang demam pada keluarga, gangguan
pertumbuhan, dan paparan alkohol serta rokok pada saat didalam
kandungan. Sekitar sepertiga anak dengan serangan kejang demam
mengalami kejang berulang. Faktor risiko yang meningkatkan terjadinya
kejang berulang antara lain adalah sebagai berikut: (1) adanya demam yang
tidak terlalu tinggi saat serangan kejang pertama; (2) riwayat kejang demam
pada keluarga; (3) durasi yang singkat antara awal terjadinya peningkatan
suhu dan onset kejang; dan (4) usia kurang dari 12 bulan saat pertama kali
kejang demam. (Medscape, 2016). Jika keempat faktor risiko diatas
terpenuhi maka kemungkinan terjadinya kejang berulang adalah 80%,
sedangkan jika tidak terdapat faktor risiko diatas maka kemungkinan
terjadinya kejang berulang adalah 10-15%. Berulangnya kejang paling
banyak terjadi pada tahun pertama (Pusponegoro et al., 2006).

C. Klasifikasi
1. Kejang Demam Sederhana
Kejang demam sederhana merupakan kejang demam yang
berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan dapat berhenti
sendiri. Kejang dapat berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan tipe kejang demam yang
paling sering ditemukan. Sekitar 80% dari seluruh kasus kejang
demam merupakan kejang demam sederhana (Pusponegoro et al.,
2006).
2. Kejang Demam Kompleks
Berbeda dengan kejang demam sederhana, kejang demam
kompleks merupakan: (1) kejang demam yang berlangsung lebih

17
dari 15 menit; (2) bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
umum yang didahului oleh kejang parsial, (3) berulang lebih dari
1x dalam 24 jam. Jika salah satu dari tiga kriteria diatas terpenuhi
maka dapat diklasifikasikan sebagai kejang demam kompleks.
(Pusponegoro et al., 2006)

D. Patofisiologi
Demam terjadi karena terlepasnya zat pemicu demam yang disebut
juga pirogen. Secara umum pirogen dapat terbagi menjadi 2 jenis, yakni
pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal
dari luar tubuh seperti toksin dan produk bakteri. Sedangkan pirogen
endogen merupakan zat yang dikeluarkan dari dalam tubuh (Interleukin 1,
interleukin 6, interleukin 11, tumor necrosis factor α, interferon γ dan lain
sebagainya). Pirogen yang dikeluarkan dapat memacu hipotalamus untuk
meningkatkan set point suhu tubuh melalui asam arakidonat, PGE-2 dan
siklik AMP. Meningkatnya set point suhu tubuh berakibat pada terjadinya
mekanisme konservasi dan produksi kalor sehingga terjadi demam (Tortora
dan Derrickson, 2014).
Pada saat demam kebutuhan energi akan meningkat khususnya pada
otak, jantung, dan otot. Pada kenaikan suhu 1 oC terdapat peningkatan
metabolisme basal sebesar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sekitar
20%. Pada keadaan ini reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan oksigen akan semakin
cepat habis dan akan menyebabkan sel mengalami hipoksia. Hal ini mempengaruhi
proses transport aktif sehingga influx dan efluks natrium dan kalium akan
terganggu. Peningkatan metabolisme anaerob juga akan menyebabkan peningkatan
kadar asam laktat dan CO2 yang toksik bagi neuron. Pasien yang mengalami
demam dengan dehidrasi akan terjadi ketidakseimbangan kadar elektrolit
dan permeabilitas sel sehingga meningkatkan risiko terjadinya kejang
(Vaughan dan Norman, 2002; Tortora dan Derrickson, 2014).

18
Gambar 1. Proses eksitasi dan inhibisi pada presinaps dan postsinaps neuron. Sel glia
berperan dalam mengontrol eksitasi neuron dengan mengatur kadar ion kalium (K +)
ekstrasel dan dengan menghilangkan neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat (Glu).

Depolarisasi pada sistem saraf pusat secara umum terjadi akibat


influks Na+ yang menyababkan impuls merambat sepanjang serabut saraf
hingga ke terminal akson presinaps. Depolarisasi ini membuka channel Ca2+
yang kemudian menyababkan terlepasnya neurotransmiter yang bersifat
eksitatorik, seperti glutamat dan aspartat melalui proses eksositosis (Gambar
1). Asam amino ini kemudian berikatan dengan reseptor neurotransmiter
seperti N-methyl D- aspartate (NMDA) pada neouron postsinaps dan
membuka channel ion pada membrane neuron postsinaps. Dalam proses ini
juga terjadi mekanisme inhibisi melalui neurotransmiter inhibisi seperti
gamma-aminobutyric acid (GABA) (Vaughan dan Norman, 2002; Tortora
dan Derrickson, 2014).
Terjadinya infeksi, hipoksia sel, dan kegagalan dalam autoregulasi
pembuluh darah otak dapat penyebabkan peningkatan permeabilitas sawar
darah otak. Hal ini dapat menyebabkan zat-zat yang bersifat toksik masuk
ke dalam sistem saraf pusat dan ketidakseimbangan kadar elektrolit.
Perubahan ini berpengaruh pada sistem regulasi neuron oleh sel glia. Sel
glia yang seharusnya menjaga agar kadar kalium tetap rendah pada ekstrasel
terganggu fungsinya sehingga terjadi depolarisasi membran sel saraf dan
eksitasi yang berlebihan yang bermanifestasi sebagai kejang (Vaughan dan
Norman, 2002; Tortora dan Derrickson, 2014).

E. Pemeriksaan
1. Anamnesis
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran saat kejang dan setelah
kejang, lama kejang, serta berulangnya kejang.

19
b. Adanya demam atau infeksi seperti otitis media, faringitis, dan
lain-lain.
c. Adakah riwayat epilepsi dalam keluarga atau riwayat kejang
dalam dalam keluarga.
d. Apakah mempunyai keluhan lain seperti diare yang dapat
menyebabkan kelainan elektrolit atau keluhan yang dapat
menyebabkan kelainan pada metabolik seperti diabetes melitus.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kesadaran umum = Pada pasien dengan kejang demam akan
kehilangan kesadaran sehingga tidak berespon terhadap
rangsangan di sekitarnya
b. Demam = kejang demam dapat terjadi apabila suhu rektal
pasien diatas 38oC
c. Tanda rangsang meningeal = pada kejang demam tanda
rangsang meningeal negatif yang menunjukkan penyebab
kejang berasal dari ekstrakranial
d. Pemeriksaan nervus kranial untuk memastikan bahwa kelainan
terdapat di ekstrakranial
e. Tanda peningkatan intrakranial harus disingkirkan sepreti
penonjolan ubun-ubun besar, papil edema.
f. Tanda infeksi di luar sistem saraf pusat seperti infeksi saluran
napas, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain.
g. Pemeriksaan neurologi seperti tonus motorik, reflek fisiologis,
reflek patologis untuk menyingkirkan penyebab berasal dari
intrakranial.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium umumnya digunakan untuk
mendeteksi sumber dari infeksi. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan misalnya darah rutin, darah perifer,
elektrolit dan gula darah.
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi (MRI atau CT-Scan) digunakan apabila
didapatkan kecurigaan pada kejang fokal atau kelainan di
sistem saraf pusat. Berfungsi untuk menyingkirkan kelainan

20
dan memastikan bahwa sumber demam berasal dari luar sistem
saraf pusat.
c. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan untuk
dilakukan.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang
demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam
kompleks
pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam
fokal.
d. Pemeriksaan LCS
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil
seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas.
Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
i. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
ii. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
iii. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.
e. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan penunjang yang sesuai indikasi untuk
menyingkirkan penyebab-penyebab seperti gangguan elektrolit,
dan gangguan metabolisme. Pemeriksaan dapat meliputi
urinanalisis, darah rutin, dan gula darah untuk memastikan
bahwa penyebab kejang bukan disebabkan kelainan elektrolit
dan metabolisme (Pusponegoro et al., 2006; Pudjiadi, 2009).

21
F. Tatalaksana

Gambar 2. Alogaritma Tatalaksana Kejang Demam

Penatalaksanaan saat kejang pada kebanyakan kasus, biasanya kejang


demam berlangsung singkat dan saat pasien datang kejang sudah berhenti.
Alogaritma tatalaksana kejang dapat dilihat pada gambar 2.
1. Apabila pasien datang dalam keadaan kejang maka tatalaksana awal
berupa pemberian Diazepam per rektal dengan dosis apabila berat
badan anak dibawah 10 kg maka menggunakan dosis 5mg dan apabila

22
diatas 10 kg menggunakan dosis 10 mg. Apabila demam tidak berhenti
dapat diberikan diazepam per rektal ulang dalam interval 3-5 menit.
Namun, apabila kejang terjadi di rumah sakit dan pasien terpasang IV
line maka, obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah
diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara pemberian secara
perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam3-5 menit, dan
dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg (Pudjiadi, 2009)
2. Obat yang praktis dan dapat diberikan olehorang tua atau jika kejang
terjadi di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10
kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Jika
anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg
dan untuk anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika
kejang belum berhenti, dapat diulang dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval 5 menit, maksimal dua kali pemberian.
Jika setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat
diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB. Jika
kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/
kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka
dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien
harus dirawat di ruang rawat intensif. Jika kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
3. Pemberian obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam
menunjukkan salah satu ciri sebagai berikut :
a. Kejang lama dengan durasi waktu lebih dari 15 menit dan
adanya kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang
seperti hemiparesis, hemiplegia, bell palsy, dan lain-lain
b. Bila terjadi kejang fokal dengan pertimbangan :

23
i. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24
jam.
ii. Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
iii. Kejang demam dengan frekuensi > 4 kali pertahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit


merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata,
misalnya keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik. Phenobarbital atau asam valproat
adalah obat rumatan yang efektif untuk mencegah kejang.
Edukasi pada keluarga bahwa kejang demam bukan penyakit yang
membahayakan jiwa jika keluarga dapat mengenali dan secara dini
memberikan tatalaksana awal, serta memberitahukan kepada keluarga
bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik. Memberitahukan
tatalaksana awal seperti menjauhkan dari benda-benda yang
membahayakan serta melonggarkan pakaian. Memberi informasi bahwa
kejang dapat terjadi sewaktu-waktu. Pemberian obat untuk mencegah
rekurensi efektif, tetapi harus diingat risiko efek samping obat
(Pusponegoro et al., 2006; Arief, 2015).

G. Prognosis
Kejadian kecacatan pada kasus kejang demam jarang ada laporan.
Sebagian kecil pasien yang mengalami kecacatan biasanya pada kejang
demam fokal atau kejang demam yang berulang. Kematian karena kejang
demam tidak pernah ada laporan. Kemungkinan berulangnya kejang demam
akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah usia kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah
saat kejang, cepatnya kejang setelah demam, riwayat kejang demam dalam
keluarga. Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya
kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan

24
berulangnya kejang demam paling besar pada bayi dengan usia satu tahun
pertama pasca kelahiran.

Faktor risiko terjadinya epilepsi Faktor risiko lain adalah terjadinya


epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi adalah kelainan
neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama,
kejang demam kompleks, riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara
kandung masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.

II. Diare Akut


A. Definisi
Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan
berlangsung kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari),
dengan pengeluaran tinja yang lunak/cair. Mungkin disertai muntah dan
panas. Diare cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan
kurang dapat mengakibatkan kurang gizi. Kematian yang terjadi disebabkan
karena dehidrasi. Penyebab terpenting diare pada anak-anak adalah
Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium, Vibrio cholera,
Salmonella, E. coli, rotavirus (Behrman, 2009).

B. Epidemiologi
Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain
makanan dan minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung
dengan tinja penderita.
Terdapat beberapa perilaku khusus meningkatkan resiko terjadinya
diare yaitu tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama
kehidupan, menggunakan botol susu yang tercemar, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar dalam waktu cukup lama, menggunakan air
minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci

25
tangan setelah buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum
memasak makanan, tidak membuang tinja secara benar (Ardhani, 2008).
Faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare antara lain tidak
memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak,
imunodefisiensi/ imunosupressif.
Umur Kebanyakan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan,
insiden paling banyak pada umur 6 – 10 bulan (pada masa pemberian
makanan pendamping).
Variasi musiman pola musim diare dapat terjadi melalui letak
geografi. Pada daerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi
pada musim panas sedangkan diare karena virus (Rotavirus) puncaknya
pada musim dingin. Pada daerah tropik diare Rotavirus terjadi sepanjang
tahun, frekuensi meningkat pada musim kemarau sedangkan puncak diare
karena bakteri adalah pada musim hujan.
Kebanyakan infeksi usus bersifat asimtomatik atau tanpa gejala dan
proporsi ini meningkat di atas umur 2 tahun karena pembentukan imunitas
aktif.

C. Etiologi
1. Faktor infeksi
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi
virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit
(E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar sistem pencernaan yang
dapat menimbulkan diare seperti otitis media akut, tonsilitis,
bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. (Behrman, 2009).
2. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat yaitu disakarida (intoleransi laktosa,
maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan
galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting

26
pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak
dan protein.
3. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun
dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
4. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).

Gambar 3. Bagan Penyebab Diare

Tabel 1. Mikroorganisme Penyebab Diare dan Gejala Klinisnya

Gejala Klinis Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera

Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair

27
Lendir darah - Sering Kadang - + -

Bau - - Busuk + - Amis khas


Warna Kuning- Merah- Kehiajauan Tak berwana Merah-hijau Seperti air
hijau hiaju cucian beras
Leukosit - + + - - -

Lain lain Anoreksia Kejang Sepsis Meteorismus Infeksi -


sistemik

D. Patofisiologi
Terdapat beberapa mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare
yaitu:
1. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga
usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbul diare (Poorwo, 2003).
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus
dan selanjutnya timbul diare karena peningkatan isi lumen usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare (Poorwo, 2003).

E. Diagnosis
Pada diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut:
1. BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekuensi lebih dari 3 kali sehari
2. Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
3. Dapat disertai dengan muntah, nyeri perut dan panas
4. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran,
rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan, yaitu
ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau

28
tidak adanya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan
lidah. Jangan lupa menimbang berat badan.
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria sebagai berikut:
1. Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5% berat badan)
a. Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
b. Keadaan umum baik, sadar
c. Tanda vital dalam batas normal
d. Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
e. Turgor abdomen baik, bising usus normal
f. Akral hangat
g. Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi
lain (tidak mau minum, muntah terus-menerus, diare frekuen)
(Ardhani, 2008).
2. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
a. Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
b. Keadaan umum gelisah atau cengeng
c. Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
kurang, mukosa mulut dan bibir sedikit kering
d. Turgor kurang
e. Akral hangat
f. Pasien harus rawat inap(Ardhani, 2008).
3. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
a. Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau
lebih tanda tambahan
b. Keadaan umum lemah, letargi atau koma
c. Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada,
mucosa mulut dan bibir sangat kering
d. Anak malas minum atau tidak bisa minum
e. Turgor kulit buruk
f. Akral dingin
g. Pasien harus rawat inap (Ardhani, 2008).
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling
fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata

29
cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh
deplesi air yang isotonik. (Behrman, 2009).
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan
asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang
merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan
lebih dalam (pernapasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka
pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun
sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan
timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan
gagal ginjal akut.

F. Tatalaksana
Apabila derajat dehidrasi yang terjadi akibat diare sudah di tentukan, baru
kemudian menentukan tatalaksana yang akan diterapkan secara konsisten..
Terdapat lima lintas tatalaksana diare, yaitu:
1. Rehidrasi
2. Dukungan nutrisi
3. Supplement zinc
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua
1. Diare cair akut tanpa dehidrasi
Penanganan lini pertama pada diare cair akut tanpa dehidrasi antara lain
sebagai berikut:
a. Memberikan kepada anak lebih banyak cairan daripada biasanya
untuk mencegah dehidrasi. Dapat kita gunakan cairan rumah tangga
yang dianjurkan, seperti oralit, makanan cair (seperti sup dan air tajin)
dan bila tidak ada air matang, kita dapat menggunakan larutan oralit
untuk anak. Pemberian larutan diberikan terus semau naak hingga

30
diare berhenti. Volume cairan untuk usia kurang dari 1tahun : 50-
100cc, untuk usia 1-5 tahun mendapat 100-200cc, untuk usia lebih
dari 5 tahun dapat diberikan semaunya.
b. Pemberian tablet Zinc
Pemberian tablet zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut
meskipun anak telah sembuh dari diare. Dosis zinc untuk anak
bervariasi, untuk anak usia dibawah 6 bulan sebesar 10mg (1/2 tablet)
perhari, sedangkan untuk usia diatas 6 bulan sebesar 20 mg perhari.
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah
sembuh dari diare.
c. Memberikan anak makanan untuk mencegah kekurangan gizi
d. Membawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik
dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut buang air besar cair lebih
sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau
minum sedikit, demam, dan tinja berdarah.
e. Anak harus diberi oralit di rumah Formula oralit baru yang berasal
dari WHO dengan komposisi sebagai berikut:
i. Natrium : 75 mmol/L
ii. Klorida : 65 mmol/L
iii. Glukosa, anhydrous : 75 mmol/L
iv. Kalium : 20 mmol/L
v. Sitrat : 10 mmol/L
vi. Total osmolaritas : 245 mmol/L
Ketentuan pemberian oralit formula baru :
Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 200 ml air matang,
berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar dengan
ketentuan untuk anak usia kurang dari 1 tahun berikan 50-100 ml
setiap kali buang air besar, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 1
tahun berikan 100-200 ml tiap kali buang air besar.
2. Diare cair akut dengan dehidrasi ringan-sedang
Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75cc/kgBB dalam 3 jam
pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang
berlangsung sesuai umur seperti diatas setiap kali buang air besar.

31
3. Diare Cair akut dengan Dehidrasi Berat
Anak-anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat dapat meninggal
dengan cepat karena syok hipovolemik, sehingga mereka harus
mendapatkan penanganan dengan cepat.
Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi. Ada beberapa hal yang
penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
a. Menentukan cara pemberian cairan
Penggantian cairan melalui intravena merupakan pengobatan pilihan
untuk dehidrasi berat, karena cara tersebut merupakan jalan tercepat
untuk memulihkan volume darah yang turun. Rehidrasi IV penting
terutama apabila ada tanda-tanda syok hipovolemik (nadi sangat
cepat dan lemah atau tidak teraba, kaki tangan dingin dan basah,
keadaan sangat lemas atau tidak sadar). Cara lain pemberian cairan
pengganti hanya boleh bila rehidrasi IV tidak memungkinkan atau
tidak dapat ditemukan disekitarnya dalam waktu 30 menit.
b. Jenis cairan yang hendak digunakan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah
bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia
dapat diberikan NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan
dengan 1 ampul Natrium Bikarbonat 7,5% 50 ml pada setiap satu liter
NaCl isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat
diberikan cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala
akibatnya.
c. Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak
diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan.
Jika memungkinkan, penderita sebaiknya ditimbang sehingga
kebutuhan cairannya dapat diukur dengan tepat. Kehilangan cairan
pada dehidrasi berat setara dengan 10% berat badan (100 ml/kg).

32
Bayi harus diberi cairan 30 ml/kg BB pada 1 jam pertama,
diikuti 70ml/kg BB 5 jam berikutnya, jadi seluruhnya 100 ml/kgBB
selama 6 jam. Anak yang lebih besar dan dewasa harus diberi 30
ml/kgBB pada 30 menit pertama, diikuti 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam
berikutnya sehingga seluruhnya 100 ml/kgBB selama 3 jam. Sangat
berguna memberi tanda pada botol, untuk menunjukan jumlah cairan
yang harus diberikan setiap jam bagi setiap penderita.
Sesudah 30 ml/kg cairan pertama diberikan, nadi radialis yang
kuat dapat teraba. Bila masih lemah dan cepat, infus 30 ml/kg harus
diberikan lagi dalam waktu yang sama. Meskipun begitu hal ini
jarang dibutuhkan. Larutan oralit dalam jumlah kecil harus juga
diberikan melalui mulut (sekitar 5ml/kg BB per jam) segera setelah
penderita dapat minum, untuk memberi tambahan kalium dan basa.
Hal ini biasa dilakukan setelah 3-4 jam untuk bayi dan 1-2 jam untuk
penderita yang lebih besar.
d. Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan meliputi oral dan intravena. Larutan
oralit dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g
Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl setiap liternya diberikan per oral
pada diare ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi
inisial untuk mempertahankan hidrasi.
Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan
dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui
pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan
tinja lengkap (Hasan, 2007).
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas
melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum,
kreatinin dan berat jenis plasma.
Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik
pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi

33
Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi
amoeba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil
pemeriksaan penyaring (Hasan, 2007).
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
i. Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
ii. Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan kadang-
kadang darah.
Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan
keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk
diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang
waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi.
(Pusponegoro, 2004).
Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
1. Kolera : Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
2. V. parahaemolyticus, E. coli tidak memerlukan terapi spesifik
3. A. aureus : Kloramfenikol
4. Salmonellosis : Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan
Quinolon seperti Siprofloksasin
5. Shigellosis : Ampisilin atau Kloramfenikol
6. Helicobacter : Eritromisin
7. Amebiasis : Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
8. Giardiasis : Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
9. Balantidiasis : Tetrasiklin
10. Candidiasis : Mycostatin
11. Virus : simtomatik dan suportif (Hasan, 2007)

34
III. Growth Chart

35
Gambar 4. Kurva Pertumbuhan WHO

Cara Menggunakan Grafik Pertumbuhan WHO

1. Tentukan umur, panjang badan (anak di bawah 2 tahun)/tinggi badan (anak


di atas 2 tahun), berat badan.

2. Tentukan angka yang berada pada garis horisontal / mendatar pada kurva.
Garis horisontal pada beberapa kurva pertumbuhan WHO menggambarkan
umur dan panjang / tinggi badan.

3. Tentukan angka yang berada pada garis vertikal/lurus pada kurva. Garis
vertikal pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan panjang/berat
badan, umur, dan IMT.

4. Hubungkan angka pada garis horisontal dengan angka pada garis vertikal
hingga mendapat titik temu (plotted point). Titik temu ini merupakan
gambaran perkembangan anak berdasarkan kurva pertumbuhan WHO.

Cara Menginterpretasikan Kurva Pertumbuhan WHO

1. Garis 0 pada kurva pertumbuhan WHO menggambarkan median, atau


rata-rata

36
2. Garis yang lain dinamakan garis z-score. Pada kurva pertumbuhan
WHO garis ini diberi angka positif (1, 2, 3) atau negatif (-1, -2, -3). Titik
temu yang berada jauh dari garis median menggambarkan masalah
pertumbuhan.

3. Titik temu yang berada antara garis z-score -2 dan -3 diartikan di bawah
-2.

4. Titik temu yang berada antara garis z-score 2 dan 3 diartikan di atas 2.

5. Untuk menginterpretasikan arti titik temu ini pada kurva pertumbuhan


WHO dapat menggunakan tabel berikut ini.

Tabel 2. Z-Skor Menurut Acuan WHO

Catatan :

1. Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi. Hal ini tidak
masih normal. Singkirkan kelainan hormonal sebagai penyebab
perawakan tinggi.

2. Anak dalam kelompok ini mungkin memiliki masalah pertumbuhan


tapi lebih baik jika diukur menggunakan perbandingan beratbadan
terhadap panjang / tinggi atau IMT terhadap umur.

37
3. Titik plot yang berada di atas angka 1 menunjukan berisiko gizi lebih.
Jika makin mengarah ke garis Z-skor 2 resiko gizi lebih makin
meningkat.

4. Mungkin untuk anak dengan perawakan pendek atau sangat pendek


memiliki gizi lebih.

5. Hal ini merujuk pada gizi sangat kurang dalam modul pelatihan IMCI
(Integrated Management of Childhood Illness in-service training.
WHO, Geneva, 1997

38
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan kejang demam
sederhana, diare akut tanpa dehidrasi, dengan status gizi baik
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010 dan Tatalaksana
Kejang Demam IDAI 2016.

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Perlu edukasi pada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan
lingkungan dan diri sendiri untuk mencegah terjadinya sakit yang
berulang.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismail S (1999). Buku Ajar Neurologi Anak Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
2. Litalien C, Jacqz-Aigrain E (2001). Risk and benefits of nonsteroidal anti-
inflammatory drugs in children: a comparison to paracetamol. PubMed.
3. Medscape (2016). Pediatric Febrile seizures. http://emedicine.medscape.
com/article/1176205-overview - diakses Agustus 2017
4. Medscape (2016). Pediatric Febrile Seizures Treatment & Management
http://emedicine.medscape.com/article/1176205-workup#c6 – diakses
Agustus 2017
5. Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. (2016). Konsensus
penatalaksanaan Kejang Demam Anak. Jakarta: Unit kerja Koordinasi
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
6. Tortora GJ, Derrickson B (2014). Principles of anatomy & physiology.
Edisi ke 14. United States of America: John Wiley and Sons.
7. Vaughan CJ, Norman D (2002). Seizure: Medical causes and
management. Springer. ISBN: 978-0-89603-827-1.
8. Pudjiadi, Antonius H. et al. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta Pusat: Badan Penerbit IDAI.
9. Arief, Rifqy Fadli. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK-232/vol. 42
no.9 Tahun 2015. Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat,
Indonesia.
10. Abdullah M. (2006). Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah dan
Perdarahan Samar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.
Jakarta: Bagian Penyakit Dalam FKUI, pp: 295.
11. Ardhani Punky. (2008). Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak, Pustaka
Cendekia Press: Jogjakarta
12. Dib N, Oberti F, Cales P. (2006). Current management of complications of
portal hypertension: variceal bleeding and ascites. CMA Media Inc.pp:
1433-43.

40
13. Hasan Rusepno et al. (2007). Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11,
Infomedika : Jakarta.
14. Hassan R, Alatas H. (2007). Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 2. Jakarta:
15. Price SA, Wilson LM. (2007). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 6th Edition. Jakarta: EGC, pp: 1332-1333.
16. Poorwo sumarso et al. (2003). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi
dan Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
17. Pusponegoro hardiyono et al. (2004). Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak : Edisi I. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
18. Liberato dan Mullholand. (2014). Zinc supplementation in young children:
A review of the literature focusing on diarrhoea prevention and treatment
http://www.clinicalnutritionjournal.com/article/S0261-5614(14)00206-
4/abstract – Diakses Agustus 2017
19. Naeem S dan Perveen S. (2014). Role of Bottle Feedind and Parental
Education in Children Diarrhea. Research Journal Vol. 5 Issue 2 Updated
14-01-2016
20. Zander R. (2009). Fluid Management Second expanded edition. Bibliomed
– Medizinische Verlagsgesellschaft mbH, Melsungen.
21. Cortés DO, Bonor AR, Vincent JL. (2014). Isotonic crystalloid solutions: a
structured review of the literature. Br. J. Anest.

41

Você também pode gostar