Você está na página 1de 44

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan


saluran napas kronis. Ini didefinisikan oleh sejarah dengan gejala pernapasan
seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke
waktu dan dalam intensitas, bersama dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Asma adalah penyakit pernapasan kronis yang umum yang mempengaruhi 1–18%
populasi di berbagai negara. Asma ditandai dengan gejala variabel mengi, sesak
napas, sesak dada dan / atau batuk, dan oleh keterbatasan aliran udara ekspirasi
variabel. Baik gejala dan keterbatasan aliran udara secara karakteristik bervariasi
dari waktu ke waktu dan dalam intensitas. Variasi ini sering dipicu oleh faktor-
faktor seperti olahraga, paparan alergen atau iritasi, perubahan cuaca, atau infeksi
saluran pernapasan Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas,
akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan
harian hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dan
kualitas hidup dimasyarakat.1
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya
diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai
negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap,
kesakitan dan bahkan kematian karena asma. Kesepakatan bagaimana menangani
asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National
Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health
Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga
kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga
menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang
telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan negara masing-masing.2

1
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernafasan yang
menyebabkan terjadinya hipereaktivitas bronkus sehingga terjadi trias asma yaitu
: 1) edema mukosa, 2) bronkokontriksi, 3) peningkatan sekresi yang ketiganya
mengakibatkan gejala episodic seperti sesak nafas, batuk dan mengi biasanya di
malam hari akibat obstruksi saluran nafas yang luas, bervariasi dan bersifat
reversible dengan atau tanpa pengobatan. Gejala Penyempitan pada saluran nafas
pada asma dapat terjadi bertahap, perlahan-lahan bahkan mendadak sehingga
timbulah serangan asma yang akut.2
Asma juga merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) di berbagai provinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga
(SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan
obstruksi paru 2/ 1000. 1
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak factor diantaranya yaitu jenis
kelamin, usia, status atopi, factor keturunan serta factor lingkungan. Asma dapat
ditemukan pada laki-laki maupun perempuan di segala usia terutama usia dini.
Perbandingan asma pada usia dini adalah laki-laki: perempuan yaitu 2:1,
sedangkan pada usia remaja didapatkan perbandingan yang sama 1:1.1
Berdasarkan laporan dari WHO pada saat ini prevalensi asma diperkirakan
mencapai 300 juta di seluruh dunia dan akan terus meningkat hingga 400 juta
penderita pada tahun 2025. Hasil penelitian International study of asthma and
allergies in childhood ( ISAAC) pada tahun 2005 diperkirakan prevalensi asma di
Indonesia meningkat dari 4,2% hingga 5,4% dari seluruh penduduk di Indonesia,
artinya saat ini terdapat 12,5 juta pasien asma di Indonesia.1
Sedangkan Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma
tidak membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat.

2
Biasanya, gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas,
diikuti pajanan terhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara
dingin. Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien
biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah,
batuk kering dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik
inhalasi maupun nebulisasi) sampai hitungan menit.3
Status asmatikus merupakan komplikasi dari serangan asma akut yang
berat dan dapat membahayakan jiwa, diperlukan terapi segera berupa
kortikosteroid untuk menurunkan obstruksi saluran nafas dan mencegah
terjadinya komplikasi berupa pneumothoraks dan gagal nafas.3

3
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. Desiana Binti Herman Azuri
b. Umur/tanggal Lahir : 31 tahun / 11 juni 1987
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
f. Alamat : Jl. Ketimun no.114 C Plembang
g. No. Med Rec/ Reg : 1071581
h. Tgl masuk RS : 15 july 2018

II. ANAMNESIS
(Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis )

KeluhanUtama
Sesak nafas yang memberat sejak ± 13 jam SMRS.

Keluhan Tambahan
Batuk berdahak

Riwayat Penyakit Sekarang


sejak ± 10 tahun yang lalu pasien mengalami sesak napas yang
mulanya terjadi karena sering terkena paparan debu, perubahan cuaca, dan
jika melakukan aktivitas berat. Sesak yang dirasakan pasien berkurang bila
aktifitas dikurangi atau pasien menghindari pencetus terjadinya sesak. Batuk

4
(-), pilek (-), jantung berdebar – debar (-), nyeri dada (-), mual (-) muntah (-),
penurunan berat badan (-), bengkak pada lengan dan kedua kaki (-). BAK dan
BAB normal. Pasien hanya berobat di klinik terdekat dan telah mendapat obat
berotec. Pada saat sesak kambuh pasien mengkonsumsi obat tersebut dan
mengurangi paparan pencetus sesak.
± sejak 9 bulan yang lalu semenjak pasien sedang hamil 32 minggu
(G2P1A0) keluhan sesak napas hampir muncul tiap bulan, dan timbul 2x
dalam seminggu. Keterbatasan aktifitas (+), sering terbangun malam akibat
sesak (+). Sesak didahului dengan batuk (+) berdahak (+), nyeri dada (-),
jantung berebar (-), mual(-), muntah (-) nafsu makan menurun (-), BAK dan
BAB normal. Pasien mengatasi sesak dengan mengkonsumsi obat yang sama
yaitu berotec bila keluhan sesak muncul.
Sejak ± 2 hari yang lalu pasien sesak yang memberat dan didahului
dengan batuk berdahak, warna putih kekuningan, mudah lelah (+), pilek (-),
pusing (-), nyeri dada (-), jantung berdebar (-), mual (+), muntah (-) nafsu
makan menurun (+) demam (-), BAK dan BAB normal. Namun keluhan
sesak tidak berkurang.
± 13 jam SMRS sesak yang dirasakan makin berat , sesak disertai
bunyi mengi (+) yang dipengaruhi cuaca (+) kemudian pasien langsung
dibawa ke IGD RSMH Palembang.

5
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi debu, konsumsi makanan seafood (+)
Riwayat asma (+)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Diabetes (-)

Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat berotec

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat penyakit asma (+) pada nenek pasien
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Diabetes (-)
Riwayat batuk lama (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Delirium
3. Tekanan darah : 130/80 mmHg
4. Nadi : 120 x/menit, irama ireguler, isi dan tekanan cukup
5. Pernapasan : 30 x/menit, regular tiper pernafasan abdominotorakal
6. Suhu tubuh : 36,7 oC

a. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, alopesia tidak ada
a. Mata
Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), eksoftalmus (-
/-), pupil bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)

6
b. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi tidak ada, kavum
nasi lapang, sekret tidak ada, epistaksis tidak ada
c. Mulut
Bibir tidak kering, sianosis tidak ada, sariawan tidak ada, gusi
berdarah tidak ada, lidah berselaput tidak ada, atrofi papil tidak
ada, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1.
d. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus eksterna
lapang, keluar cairan telinga tidak ada, sekret tidak ada, nyeri tekan
mastoid tidak ada
e. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB tidak ada, pembesaran
kelenjar tiroid tidak ada.
2. Thoraks
Inspeksi: statis dan dinamis, simetris, barrel chest (-), retraksi dinding
dada/ intracostal (+)
Paru (anterior)
a. Inspeksi: statis dan dinamis, simetris, scar (-), spider nervi (-),
venektasi (-)
b. Palpasi : nyeri tekan (-) Stem fremitus pada kedua lapangan paru
kanan dan kiri sama
c. Perkusi : sonor (+) di kedua lapangan paru
d. Auskultasi : Vesikuler (+) normal , rhonki (-/-), wheezing
ekspirasi (+)

Paru (posterior)
a. Inspeksi : Statis dan dinamis, simetris : tidak ada paru yang
tertinggal.

7
b. Palpasi : nyeri tekan (-) Stem fremitus pada kedua lapangan
paru kanan dan kiri sama
c. Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
d. Auskultasi: Vesikuler (+)normal rhonki (-/-), wheezing (+)

Jantung

a. Inspeksi : ictus cordis tak terlihat


b. Palpasi : ictus cordis tak teraba
c. Perkusi: Batas jantung atas ICS II.
d. Batas jantung kiri ICS V linea aksilaris anterior sinistra
e. Batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dekstra
f. Auskultasi : BJ I dan II normal, murmur (-) , gallop (-)

3. Abdomen
a. Inspeksi : Cembung, venektasi tidak ada
b. Palpasi : cembung sesuai dengan masa kehamilan
c. Perkusi : Timpani
d. Auskultasi : Bising usus (+) normal

4. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan


5. Ekstremitas : Tangan lembab (-), palmar pucat tidak ada, edema
pretibial (-), sianosis tidak ada, clubbing finger tidak ada, tremor tidak ada,
scar tidak ada.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium tanggal 16 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan Interpretasi
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12 g/dL 11.40-15 Normal

8
Leukosit 9,9 103/µL 4.73-10.89 Normal
Eritrosit 4.58 106/µL 4.7-6.1 Normal
Hematokrit 36 % 41-51 Normal
Trombosit 163 103/µL 150-396 Normal
Hitung jenis
-Basofil 0 % 0-1 Normal
-Eosinofil 2 % 1-6 Normal
-Neutrofil 87 % 50-80 Menigkat
-Limfosit 8 % 20-40 Menurun
-Monosit 3 % 2-8 Normal

b. Pemeriksaan Rontgen
Belum dilakukan

V. Diagnosis
Serangan Asma Bronkial Akut dengan derajat sedang

VI. Pemeriksaan Anjuran


1. Spirometri
2. Elektrokardiografi
3. Tes provokasi :

a. Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.


b. Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.
c. Tes provokasi bronkial seperti :
d. Tes provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani,
hiperventilasi dengan udara dingin dan inhalasi dengan aqua
destilata.

9
e. Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik
dalam tubuh.
4. Ro thorax
5. Scanning paru
6. Pemeriksaan analisa gas darah

VII. Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada pasien yang dicurigai asma bervariasi derajat
serangan.

VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis

 Bed rest
 O2 nasal kanul 3-4L/menit
 Assessment obgyn

10
Farmakologis

 IVFD D5% 500cc gtt X/menit (makro) + drip 1 amp aminophilin (0,5
mg/kgBB/jam)
 Metil prednisolone 3 x 4 mg po
 Nebulizer salbutamol 2,5 g sebanyak 3x  nebulizer salbutamol +
budesonide tiap 6 jam

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan


Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari
tubuh. Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona
konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus
segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona
respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir
pada sakus alveulus terminalis.4
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang
bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan
mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu
yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang
hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus
untuk kemudian dibatukkan atau ditelan.4

Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat


persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring
merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak
didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke
trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang

12
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat
glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.
Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu
pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk
mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa
melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu
mengeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.4

Gambar 1. Zona Sistem Pernafasan

Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang


berbentuk seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar
2,5 cm, dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan
fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia)
yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan
benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri
dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus
merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian
vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang

13
menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak
syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk
dirangsang.4

Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak


mengandung alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak
diperkuat oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga
ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran udara, mulai dari hidung sampai
bronkiolus terminalis ini disebut zona konduksi. Setelah bronkiolus terminalis
terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu tempat pertukaran
gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus
alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.4

Gambar 2. Organ pada Sistem Pernapasan

14
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses
yang terjadi, yaitu:4

1. Ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui


cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan
karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan
tekanan. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan
tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir)
menjadi sekitar –8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal
menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan
antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam
paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler
melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari
tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan
partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih
tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih
tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya
karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler
ke jaringan melalui transport aliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan
melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara
kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan
karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium
bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah.
Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena tekanan partial
oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan jaringan.
Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalam sel-sel sesuai

15
kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan
dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida
dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah maka
karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.4
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal
berkisar 7,35 – 7,45. Pada peningkatan CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun
bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru
menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan terjadinya
retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak dibandingkan
yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu keadaan
PaCO2 turun akibat hiperventilasi.4

2. Asma Bronkiale
a. Definisi
Asma merupakan keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
peradangan; penyempitan ini bersifat sementara/reversible.5 Asma bronkiale
adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil
dari pengobatan.2

Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-


ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari
yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan
adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas,
yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri
patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai
dengan perubahan struktur saluran napas.1 Status asmatikus adalah keadaan
darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau bertambah berat yang

16
bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter
adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan
pengamatan 1-2 jam.3

b. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini
adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada
wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala
di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan.6

Berdasarkan data WHO, hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia
diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.7 Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun
2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari
4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh
penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.8

c. Faktor Risiko
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.1

1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
b. Hipereaktivitas bronkus
c. Jenis kelamin
d. Ras/etnik
e. Obesitas
2. Faktor lingkungan

17
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat,
kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya,
eritosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk
menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum
diobati maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga
yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.

18
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi

d. Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF) dan pasien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan
pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini
diperlukan otot-otot bantu napas.2

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara


objektif dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus
Puncak Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa)
menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat
terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran
napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.

19
Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang
melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin
merupakan kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan
oksigen, tubuh melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan oksigen terpenuhi.
Tetapi akibatnya pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2
menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis respiratorik.2

Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya
pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan
bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi
CO2 yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi
CO2 (hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas.
Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan
konstriksi pembuluh darah paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu
peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik, akibatnya
memperburuk hiperkapnia.2

20
Gambar 3. Asthmatic Airway

e. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis asma
didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk
dan dada sakit/sempit.1

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus


udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi
dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala
konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu
diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat
berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan
klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.1

a. Anamnesis2
Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang keluhan batuk, sesak,
mengi atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya
mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau
sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien
maupun keluarganya seperti rhinitis alergi, dermatitis atopik membantu
diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat
pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi
pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus

21
serangan. Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya,
maka diharapkan gejala asma dapat dicegah.
Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu :
1. Infeksi virus saluran napas ; influenza.
2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
4. Kegiatan jasmani
5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi
6. Obat-obat aspirin, penyakit beta, anti-inflamasi non steroid
7. Lingkungan kerja: uap zat kimia
8. Polusi udara: asap rokok
9. Pengawet makanan: sulfit.
10. Lain-lain : misalnya haid, kehamilan, sinusitis.
Untuk membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu
pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan
asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien
asma dalam serangan tanpa obat dapat membahayakan nyawa pasien.
Gejala asma sangat bervariasi dari satu individu ke individu lain dan
bahkan bervariasi pada individu sendiri misalnya gejala pada malam hari
lebih sering muncul dibandingkan siang hari.2

b. Pemeriksaan fisik
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung
dari derajat obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi,
hiperinflansi dada, pernapasan cepat sampai sianosis dapat dij umpai
pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai kesulitan dalam
membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan asma
mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis.2

c. Pemeriksaan penunjang

22
Spirometri (terutama pengukuran VEPl [volume ekspirasi paksa
dalam 1 detik] dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE (arus
puncak ekspirasi) adalah pemeriksaan yang penting.
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

- (Volume Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1< 70% dari nilai prediksi


menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1≥ 12% dan ≥ 200 ml
menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
b. APE
Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik
APE pasien sendiri sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow
meter sendiri, Peningkatan 60 L/menit (atau >20% dari APE
prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi bronkodilator atau variasi
diurnal APE lebih dari 20% (lebih dari 10% dengan pemeriksaan dua
kali sehari) mendukung diagnosis asma.

c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan
asma.

d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong
anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak
selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi
dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji
tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

23
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala
klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan
melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar
oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum
yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan
Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat
asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB


Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat
dibuktikan dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan
menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif.
Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek
alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan
pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran
dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes
provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan
metakolin.1

f. Klasifikasi
Klasifikasi asma bronkial menurut Global initiative for asthma (GINA)
tahun 2005 berdasarkan gejala asma:

24
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1

Derajat Gejala Gejala Malam Faal Paru


Asma
Intermitten  Bulanan ≤2 kali sebulan APE ≥80%
 Gejala <1x / minggu, VEP1≥80% nilai prediksi APE ≥80%
tanpa gejala di luar nilai terbaik
serangan Variabilitas APE <20%
 Serangan singkat

Persisten  Mingguan >2 kali sebulan APE >80%


ringan  Gejala >1x / minggu, VEP1≥80% nilai prediksi APE ≥80%
tetapi <1x / hari nilai terbaik
 Serangan dapat Variabilitas APE 20-30%
menggangu aktivitas
dan tidur

Persisten  Harian >2 kali sebulan APE 60-80%


sedang  Gejala setiap hari -VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-
 Serangan 80% nilai terbaik
menggangu aktivitas -Variabilitas APE >30%
dan tidur
 Bronkodilator setiap
hari
Persisten  Kontinyu Sering APE ≤60%
berat  Gejala terus VEP1 ≤60% nilai prediksi APE ≤60%
menerus nilai terbaik
 Sering kambuh Variabilitas APE >30%

 Aktivitas fisik

25
terbatas

Global initiative for asthma (GINA) pada tahun 2012 mengklasifikasikan asma
berdasarkan keadaan terkontrol, dibagi menjadi : terkontrol, terkontrol parsial dan
tidak terkontrol2.

Tabel 2. Tingkatan Kontrol Asma2

Penilaian Terhadap Kontrol Klinis Terkini ( sebaiknya > 4 minggu )


No
Karakteristik Terkontrol Terkontrol parsial Tak terkontrol
.

Tidak ada atau


1 Gejala Harian > 2x/minggu
≤ 2x/minggu

Keterbatasan
2 Tidak ada Ada
Aktivitas

Gejala
3 Tidak ada Ada ≥ 3 kriteria asma
malam/awaking
terkontrol parsial
Tidak ada atau
4 Perlu reliever > 2 x/minggu
≤ 2 x/minggu

< 80% prediksi atau


Fungsi paru
5 Normal hasil terbaik (bila
(PEF/FEV1)
ada)

Aspek yang dinilai dalam kendali asma, yaitu pengendalian gejala klinis
dan kemungkinan risiko eksaserbasi, penurunan fungsi paru, atau efek samping
obat. Klasifikasi Asthma control test (ACT) tidak memperhitungkan fungsi faal
paru. Klasifikasi ACT menggunakan kuesioner 5 pertanyaan dengan nilai
maksimal masing-masing 1 poin. Kuesioner ACT hanya diberikan kepada pasien
berusia 12 tahun atau lebih.

26
Tabel 3. Kuesioner Asthma Control Test (ACT)

Pertanyaan Skor
1 2 3 4 5
Dalam 4 minggu terakhir, Selalu Sering Kadang- Jarang Tidak
seberapa sering penyakit kadang pernah
asma mengganggu Anda
dalam melakukan pekerjaan
sehari-hari di kantor,
disekolah atau dirumah?
Lebih dari 1 kali 1 kali 3-6 kali 1-2 kali Tidak
Dalam 4 minggu terakhir, sehari sehari seminggu seminggu pernah
seberapa sering Anda
mengalami sesak nafas?

4 kali atau lebih 1-2 kali 1 kali 1-2 kali Tidak


Dalam 4 minggu terakhir, seminggu seminggu seminggu sebulan pernah
seberapa sering gejala asma
(mengi, batuk-batuk, sesak
nafas, nyeri dada atau rasa
tertekan didada)
menyebabkan Anda
terbangun di malam hari
atau lebih awal dari
biasanya?
> 3 kali sehari 1-2 kali 2-3 kali < 1 kali Tidak
Dalam 4 minggu terakhir, sehari seminggu seminggu pernah
seberapa sering Anda
menggunakan obat semprot

27
darurat atau obat oral untuk
melegakan pernafasan?

Bagaimana penilaian Anda Tidak terkontrol Kurang Cukup Terkontro Tidak


terhadap tingkat kontrol sama sekali terkontrol terkontrol l dengan pernah
asma Anda dalam 4 minggu baik
terakhir?

Interpretasi skor ACT :

Asma tidak terkontrol : ≤ 19

Asma terkontrol sebagian : 19-24

Asma terkontrol : 25

2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.

Tujuan penatalaksanaan asma:


1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma

28
a. Nonfarmakologis10
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Kontrol secara teratur
5. Pola hidup sehat

b. Farmakologis9
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:2

Pencegah (controller) yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari,


dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk golongan
ini yaitu obat-obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long
acting). Obat-obat anti inflamasi khususnya kortikosteroid inhaler adalah obat
yang paling efektif sebagai pencegah. Obat anti inflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan
pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma,
perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus lebih baik bila di
bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan pencegah adalah
kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium
nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup
(salmaterol dan formoterol) dan obat-obat anti alergi.2

 Kortikosteroid

29
Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral).
Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti.
Beberapa yang diperkirakan adalah berhubungan dengan metabolisme asam
arakidonat, juga sintesa leukotrien dan prostaglandin, mengurangi kerusakan
mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan
aktivasi sel radang dan meningkatkan respon reseptor beta pada otot polos saluran
nafas.
Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam
memperbaiki fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup.
Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral.
Jika kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan
mengenai efek samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon
adalah kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid
minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot lurik.
Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan
penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan
pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan
maintenance yang baik.

Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian


kortikosteroid untuk pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada
orang dewasa sebagai berikut:

1. Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila
perlu dapat dipakai steroid oral jangka pendek.

2. Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason

30
dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.

3. Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari

4. Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.

Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500


mcg/hari) selama 1-2 minggu diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi
secara cepat, dan kemudian dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800
mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan penyakit.

 Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil


Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme
kerja yang pasti belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan
mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi
selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat
ini diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera
dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan
sulfur dioksida..
Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih
besar dibanding sodium kromoglikat. Walaupun belum terlalu jelas,
nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel
inflamasi serta sebagai pencegahan begitu asma timbul.

31
 Teofilin Lepas Lambat
Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada
penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih
belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan
terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat
peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.
Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar,
termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi
asma segera dan lambat segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa
studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada
asma.
Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan
teofilin lepas lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki
fungsi paru. Karena mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna
untuk mengontrol gejala nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan
obat antiinflamasi.
Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk
loading dose dan 20 mg/Kg BB/24 jam untuk dosis pemeliharaan dengan
dosis maksimum 1500 mg/24 jam. Adapun therapeutic dose adalah 10-
20 mg/dl.

 Reseptor Leukotrien Antagonis


Merupakan suatu reseptor peptida leukotrien antagonis (LTRA). LTRA
adalah suatu reseptor leukotrien (LTD4 dan LTE4) antagonis yang selektif dan
kompetitif, dimana LTD4 dan LTE4 adalah komponen dari SRS-A yang
berperan besar terhadap patofisiologi terjadinya serangan asma yang

32
menimbulkan bronkokonstriksi, edema saluran nafas, kontraksi otot polos dan
aktivasi sel-sel radang sehingga terbentuk mediator inflamasi yang
menimbulkan keluhan pada penderita asma. Waktu paruhnya 8-16 jam, pada
penderita dengan gangguan faal hati, waktu paruhnya menjadi lebih panjang.
LTRA bukanlah bronkodilator dan digunakan untuk asma kronis disaat bebas
keluhan. Kemasan berupa tablet 20 mg dan 10 mg, diminum 2 kali sehari
untuk dewasa dan anak, pagi dan sore hari. Indikasinya untuk pencegahan dan
pengobatan asma kronis. Tidak boleh diberikan pada saat serangan akut dan
saat terjadi status asmatikus, namun boleh diberikan saat terjadi eksaserbasi.
Dapat dipakai untuk mencegah terjadinya exercise induce asthma.

Pelega (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-
gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis
beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup,
teofilin kerja pendek dan agonis beta2 oral kerja pendek.2

33
 Beta2-Agonis Inhalasi Short Acting
Seperti beta2-agonis yang lain, obat ini menyebabkan relaksasi otot polos saluran
nafas, meningkatkan klirens mukosilier, mengurangi permeabilitas vaskuler dan
mengatur pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Merupakan obat pilihan
untuk asma eksaserbasi akut dan pencegahan exercise induced asthma. Agonis
beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat
terpilih untuk gejala asma akut.2

 Kortikosteroid Sistemik
Walaupun onset dari obat ini adalah 4-6 jam, obat ini penting untuk mengobati
eksaserbasi akut yang berat karena dapat mencegah memburuknya eksaserbasi
asma, menurunkan angka masuk UGD atau rumah sakit, mencegah relaps setelah
kunjungan ke UGD dan menurunkan morbiditas. Terapi oral lebih dipilih, dan
biasanya dilanjutkan 3-10 hari mengikuti pengobatan lain dari eksaserbasi.
Diberikan 30 mg prednisolon tiap hari untuk 5-10 hari tergantung derajat
eksaserbasi. Bila asma membaik, obat bisa dihentikan atau ditappering.

 Antikolinergik
Obat antikolinergik inhalasi (ipratropium bromida, oxitropium bromida) adalah

34
bronkodilator yang memblokade jalur eferen vagal postganglion. Obat ini
menyebabkan bronkodilatasi dengan cara mengurangi tonus vagal intrinsik
saluran nafas serta memblokade refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan
inhalasi. Antikolinergik hirup selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta
2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang
tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta 2.

 Teofilin Short Acting


Aminofilin atau teofilin short acting tidak efektif untuk mengontrol gejala asma
persisten karena fluktuasi yang besar didalam konsentrasi teofilin serum. Obat ini
dapat diberikan pada pencegahan exercise induced asthma dan menghilangkan
gejalanya. Pada pemberian beta2-agonis yang efektif, obat ini tidak memberi
keuntungan dalam bronkodilatasi, tapi berguna untuk meningkatkan respiratory
drive atau memperbaiki fungsi otot respirasi dan memperpanjang respon otot
polos terhadap beta2-agonis short acting.

 Beta2-Agonis Oral Short Acting


Merupakan bronkodilator yang merelaksasi otot polos saluran nafas. Dapat
dipakai pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat inhalasi.

35
36
37
Tatalaksana asma menurut Gina 2017

38
BAB IV

ANALISIS KASUS

Seorang perempuan Ny. Desiana usisa 31th pekerjaan Ibu Rumah Tangga
datang ke IGD RSMH dengan keluhan sesak yang dirasakan makin berat , sesak
disertai bunyi mengi (+) yang dipengaruhi cuaca (+).
Sejak ± 10 tahun yang lalu pasien mengalami sesak napas yang mulanya
terjadi karena sering terkena paparan debu, perubahan cuaca, dan jika melakukan
aktivitas berat. Sesak yang dirasakan pasien berkurang bila aktifitas dikurangi
atau pasien menghindari pencetus terjadinya sesak. Batuk (-), pilek (-), jantung
berdebar – debar (-), nyeri dada (-), mual (-) muntah (-), penurunan berat badan (-
), bengkak pada lengan dan kedua kaki (-). BAK dan BAB normal. Pasien hanya
berobat di klinik terdekat dan telah mendapat obat berotec. Pada saat sesak
kambuh pasien mengkonsumsi obat tersebut dan mengurangi paparan pencetus
sesak.
Sejak ± 9 bulan yang lalu semenjak pasien sedang hamil 32 minggu
(G2P1A0) keluhan sesak napas hampir muncul tiap bulan, dan timbul 2x dalam
seminggu. Keterbatasan aktifitas (+), sering terbangun malam akibat sesak (+).
Sesak didahului dengan batuk (+) berdahak (+), nyeri dada (-), jantung berebar (-
), mual(-), muntah (-) nafsu makan menurun (-), BAK dan BAB normal. Pasien
mengatasi sesak dengan mengkonsumsi obat yang sama yaitu berotec bila keluhan
sesak muncul.
Sejak ± 2 hari yang lalu pasien sesak yang memberat dan didahului
dengan batuk berdahak, warna putih kekuningan, mudah lelah (+), pilek (-),
pusing (-), nyeri dada (-), jantung berdebar (-), mual (+), muntah (-) nafsu makan
menurun (+) demam (-), BAK dan BAB normal. Namun keluhan sesak tidak
berkurang.
± 13 jam SMRS sesak yang dirasakan Dari pemeriksaan fisik yang
didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran Delirium, , tekanan

39
darah 130/80 mmHg, Nadi 120 x/menit, irama ireguler, isi dan tekanan cukup,
Pernapasan 30 x/menit, regular. Pemeriksaan kepala dalam batas normal, leher
JVP (5-2) cmH2O, thorax nspeksi tampak ada tarikan intercostal, paru pada
auskultasi terdengar wheezing (+) ekspiratorik. Dari pemeriksaan penunjang yang
dilakukan terjadi sedikit peningkatan pada diff. Count neutrofil dan penurunan
pada limfosit. Pemeriksaan yang lain belum dilakukan. Untuk penegakan
diagnosis pada pasien ini yaitu dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yaitu seperti Spirometri, Elektrokardiografi , Tes
provokasi, Ro thorax, Scanning paru.

Gejala Asma Ada/Tidak


Sesak makin memberat yang didahului dengan batuk (dapat Ada
diperberat saat malam hari ataupun adanya aktivitas)
Diikuti dengan bunyi napas mengi Ada
Nyeri pada dada sesekali Ada
faktor pencetus debu , cuaca Ada
Faktor resiko karena adanya alergi makanan Ada
Keadaaan yang membaik setelah serangan Ada
Pemeriksaan Fisik
Bunyi suara napas mengi Ada
Pernapasan yang cepat dengan RR : 40x/ menit ada

40
Menetunkan Asma Controled

Dari anamnesis diatas diagnosis masuk ke dalam kriteria Asma terkontrol


sebagian dan untuk derejat asma termasuk ke dalam derajat asma sedang.

41
BAB V
KESIMPULAN
Asma merupakan keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan ;
penyempitan ini bersifat sementara/reversible. Asma dapat ditemukan pada laki – laki
dan perempuan di segala usia, terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan
perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Secara umum,
terdapat 2 faktor yang dapat mencetuskan terjadinya asma yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan.

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis asma didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering
ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.

Penatalaksanaan pada asma meliputi non farmakologis dan farmakologis. Untuk


non farmakologis yaitu berikan edukasi kepada pasien untuk menghindari faktor pencetus
terjadinya asma, menjalani pola hidup yang sehat serta kontrol secara teratur. Untuk
penatalaksanaan farmakologis dapat dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan fungsinya
yaitu controller dan reliever. Controller bertujuan untuk mencegah terjadinya gejala atau
serangan akut dari asma, serta meningkatkan fungsi paru. Jenis-jenis obat yang biasa
dipakai untuk controller adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium
kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang
hirup dan obat-obat anti alergi. Reliever bertujuan untuk mengatasi gejala akut, seperti
sesak, mengi, batuk serta dada yang terasa seperti diikat. Jenis-jenis obat yang biasa
dipakai untuk reliever adalah agonis beta 2 hirup kerja pendek (short acting),
kortikosteroid sistemik, anti kolinergik hirup, teofilin kerja pendek dan agonis beta2 oral
kerja pendek

42
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma (GINA). 2018. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.org
2. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Asma. Available at : http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html.
Accessed July 16, 2018.
3. National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel Report 3:
Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. Rockville, MD.
National Heart, Lung, and Blood Institute, US Dept of Health and Human
Services; 2007. NIH publication 08-4051. Available at
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/asthgdln.htm. Accessed July 16,
2018.
4. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume:
58; No.11;Nopember 2008.
5. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta
6. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,
Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh
WA. Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai:
Vicas Medical Publisher; 2006.707-36
7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya
8. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of Asthma
Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin. Department
of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku University School of Medicine
9. Morris MJ. Asthma. Available from :

43
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#showall
10. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma. Eur
Respir Rev 2007; 16: 104, 67–72
11. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!.
Jakarta. 2009 May 4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?option=com_content&task=view&i
d=13&Itemid=5
12. Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Tahapary D. Penatalaksanaan di Bidang
Ilmu Penyakit Dalam. Panduan Praktis Klinis. Jakarta: Interna Publishing;2015:
5-11

44

Você também pode gostar