Você está na página 1de 13

LAPORAN PENDAHULUAN

“TETANUS”

Oleh:
FRANSISCA DEWI RARA YUNITA
0610723012

JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Masalah Kesehatan : TETANUS

II. Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal
dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada
otot masester dan otot rangka.

Klasifikasi:
1. Tetanus lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2. Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung.
3 Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring
dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose
asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
4. Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat
sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah
terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat
yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional
yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.

Etiologi:
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri
ini berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia
dan juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini
bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka
seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan
memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus,
bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini
dikenal dengan nama tetanus neonatorum.

III. Insidensi
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada
daerah dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme
penyebab ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan
manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka
dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering
terjadi melalui luka- luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka
operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka robek, otitis media,
infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan kehamilan.
Di Amerika Serikat, insidensi tetanus telah berhasil diturunkan sejak
pertengahan tahun 1940, sejalan degan penggunaan imunisasi tetanus secara luas.
Pelaporan kasus pada tahun 1981 – 1991 oleh CDC di Amerika menunjukkan
bahwa angka kematian pasien dengan tetanus hanya sekitar 40%. Dari tahun 1991
-1994 telah dilaporkan bahwa 60% pasien berusia 20 -59 tahun dan 35%
>60tahun.
Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi
mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data
dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara
kasar berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar
50% dari kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan
insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di
negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1
Secara epidemiologi, angka kematian tetanus sekitar 45% dan 6 %
diketahui mendapatkan 1 -2 dosis tetanus toksoid, dan 15% pada individu yang
tidak divaksin. Angka kematian tertinggi diketahui pada penderita dengan usia
>60 tahun (18%).

IV. Prognosis
Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala.
V. Patofisiologi
Individu terkena
Eksotoksin
Faktor penyebab : (masa inkubasi 2-21 hari)
Kuman anaerob (Closteridium Faktor predisposisi :
tetani) - luka tusuk dalam
- luka karena kecelakaan kerja
Lain-lain : - luka ringan seperti luka gores, lesi pada
-Umum klien dan mata, telinga dan tonsil
Belum terimunisasi
Neurotoksik

Absorbsi melalui ujung saraf sensorik dan motrik

Masuk pembulu arah dan sumbu limbik ke


Susunan Saraf Pusat (SSP) pada intraaaaksonal samapai ganglia/
Simpul saraf

Hilangnya ketidakseimbangan tonus otot

Kekakuan otot

Lokal Generalisata

-trismus Sistem pencernaan Sistem pernafasan Susunan Saraf Pusat


- opistotonus
-risus sardonikud kekakuan otot pernafasan Tekanan intra kranial
- kekakuan otot dinding perut Gangguan metabolik meningkat
- ekstremitas (ekstremitas dan proses
atas fleksi dan ekstremitas pencernaan Status konvulsi
bawah ekstensi) (kejang yang berlangsung lama lebih dari Kerusakan satu atau
10 menit) beberapa saraf pusat.
- Proses eliminasi
supuratif : BAB terganggu hipoksia
- Tindakan A,B dan C - Gangguan
- Atur posisi semi prone pemenuhan nutrisi gagal nafas kelumpuhan
- Hentikan kejang
- cari penyebab
- atasi penyulit diperlukan alat bantu nafas
- debridemment (Ventilator Mekanik/Respirator)
- Netralisis tetani
- Nutiris dan cairan Masalah keperawatan :
- ketidak efektifan jalan nafas, gangguan
pertukaran gas dan gangguan pola nafas
- Hipertermia, gangguan komunikasi
verbal, risiko ketidakseimbangan cairan
dan elktrolit
- Pemenuhan nutrisi kurang dari
kebutuhan,
Tanda dan Gejala:
a. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari
b. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
c. Kesukaran membuka mulut (trismus)
d. Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang
e. Saat kejang tonik tampak risus sardonikus
f. Gambaran umum yang khas pada tetanus:
 Badan kaku dengan epistotonus
 Tungkai dalam ekstensi
 Lengan kaku dan tangan mengepal
 Biasanya keasadaran tetap baik
 Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena: Rangsang
suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan
 Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine,
fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir.
Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal,
diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.

VI. Pemeriksaan Penunjang


 Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis
kekakuan otot rahang.
 Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman
sulit
 Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

Komplikasi:
Komplikasi pada tetanus yaang sering dijumpai: laringospasm, kekakuan
otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa pneumonia dan
atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain
itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal failure
Penatalaksanaan
a. Umum
Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus
segera diberikan :
 Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus
disekitar luka 9tidak boleh diberikan IV)
 Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV
drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO
tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
 Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4
jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24
jam untuk dewasa.
 Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total
dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan
untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung.
 Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi
rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
 Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi0 dapat diganti dengan
tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif.
 Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
 Diit TKTP melalui oral/ sounde/parenteral
 Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
 Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
 Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi
optot dan ambulasi selama penyembuhan.
b. Pembedahan
 Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu;
intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
 Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.
VII. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi,
sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir,
hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal
(pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi dan Rasional
1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan
rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan
menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
2. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah
ronchi) tiap 2-4 jam sekali
R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau
sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu
dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan
suction
R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga
mempermudah proses respirasi.
4. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time
yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang
kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga
mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.

b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat


spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng,
kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
Intervensi dan rasional.
1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat
dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2. Atur posisi luruskan jalan nafas.
R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat
berjalan dengan lancar.
3. Observasi tanda dan gejala sianosis
R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply
O2 pada jaringan tubuh perifer .
4. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time
yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang
kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan
dapat

c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin


(bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel
darah putih lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan: Suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
1. Atur suhu lingkungan yang nyaman
R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu
sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
3. Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequat
R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan
dari dalam.
4. Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada
disekitar luka.
5. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh
dengan cara proses konduksi.
6. Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.
R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati
bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja
sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
7. Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3
mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan.

d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan
minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan
berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang
dari 3,5 mg%.
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional
1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya
makanan bagi tubuh
R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga
klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau
kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat
berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
2. Kolaboratif :
a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka
mulut dan proses mengunyah.
b. Pemberian carian per IV line
R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan
ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
c. Pemasangan NGT bila perlu
R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk
memberikan obat.
IX. Daftar Pustaka

Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2


Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Você também pode gostar