Você está na página 1de 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Manusia memiliki kecenderungan untuk berbudaya. Manusia mempunyai akal-pikiran


dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta
simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat
dari ayat-ayat dalam kitab suci agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut
sesuai dengan kemampuan yang ada.
Manusia diberikan kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan
suatu kebudayaan. Budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian
Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia
untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan,
mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Manusia dituntut menggunakan
pikiran untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan
manusia.
Agama dan budaya memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh
orang–orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agam dan posisi Budaya
pada suatu kehidupan. Kita masih sering menyaksikan adanya segelintir masyarakat yang
mencampur adukkan nilai – nilai agama dengan nilai – nilai budaya yang padahal kedua hal
tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan. Demi
terjaganya nilai – nilai agama dan memberi pengertian serta menjelaskan hubungan antara Islam
dan Kebudayaan, disini penulis hendak mengulas mengenai agama (khususnya Islam) dan
Kebudayaan , yang tersusun berbentuk makalah dengan judul “Islam dan Kebudayaan”. Kami
berharap apa yang diulas, nanti dapat menjadi panduan pembaca dalam mengaplikasikan dalam
kehidupan sehari hari yang berkaitan dengan Islam dan Kebudayaan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Islam dan Kebudayaan.


Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan.
Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti
selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti
berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada
Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan
mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari
keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan
diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai
makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah.
Adapun pengertian Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama yang ajaran-
ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul.
Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran dalam semua aspek kehidupan.
Berdasarkan keterangan tersebut, Islam menurut istilah mengacu kepada agama yang bersumber
pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia/Nabi Muhammad saw. Posisi Nabi
dalam agama Islam diakui sebagai orang yang ditugasi Allah untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut
kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan,
penjelasan, uraian, dan tata cara ibadahnya. Keterlibatan nabi ini pun berada dalam bimbingan wahyu
Allah swt.
Sedangkan kebudayaan ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari
bahasa Sansakerta “Buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.
Pendapat lain megatakan juga bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata
majemuk budidaya, yang mempunyai arti “daya” dan “budi”. Karena itu mereka membedakan
antara budaya dan kebudayaan. Sedangkan budaya sendiri adalah daya dari budi yang berupa
cipta, karsa, rasa dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut.[3]
Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoreningrat, bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus
didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.[4]
Endang Saifuddin Anshari, merumuskan bahwa ‘kebudayaan (kultur) adalah hasil karya
cipta (pengolahan, pengerahan, dan pengarahan terhadap alam oleh) manusia dengan kekuatan
jiwa (pikiran, perasaan, kemauan,dll) dan raganya, yang menyatakan diri dalam berbagai
kehidupan dan penghidupan manusia,sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan
dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya
kebahagian dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik individu maupun
masyarakat, ataupun individu dan masyarakat.
Memahami penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa Islam merupakan suatu agama yang
bersumber dari Allah SWT yang ajaran-ajarannya diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ,
sedangkan Budaya merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang di
hasilkan dari cipta, rasa dan karsa manusia.

B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kebudayaan dalam Islam


Ajaran Islam mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan. Upaya-
upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi yang
dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup
besar bagi kemajuan peradaban dunia.
C.Hubungan Islam Dengan Kebudayaan
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya
merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa
ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh
ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan”
menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa
agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi.
Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan
merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli
Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama
merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan
bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan
untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat
terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing
agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang
ada.
Para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang
hubungan antara agama dan kebudayaan. [8]
a) Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan
kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini
diwakili oleh Hegel.
b) Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan agama.
c) kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu
sendiri.
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa ajaran Islam pun juga mendorong manusia untuk
berbudaya. Akan tetapi sebelum Islam datang, sudah ada kebudayaan yang telah berkembang
sebelumnya. Dan tentunya kebudayaan tersebut ada yang mengandung kebaikan dan ada yang
mengandung keburukan atau kebatilan. Mengapa dikatakan begitu? Karena pada dasarnya akal
manusia mampu untuk mengenali atau mengidentifikasi mana hal yang baik dan mana hal yang
buruk.
Adat istiadat dan tradisi ada kalanya yang dapat mewujudkan kebaikan bagi umat
manusia pada salah satu sisi kehidupan manusia, yang tidak ada nash agamanya, kecuali
pengarahan terhadap tujuan yang umum. Ketika itulah peran akal melakukan ijtihat untuk
mencari kehendak ilahi, dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Mungkin
bisa dikatakan bahwa adat istiadat atau kebudayaan ataupun tradisi yang kebaikannya Nampak
(mengandung kebaikan) adalah kehendak Ilahi.;ia dapat dianggap sebagai hukum agama yang
disandingkan dengan tatanan agama secara menyeluruh, meliputi berbagai bidang kehidupan.
Pada saat itulah kenyataan hidup berperan dalam memahami agama berdasarkan tradisi yang
baik. Ia dianggap sebagai bagian agama ketika tidak ada nash yang berkaitan dengannya, dan
ketika tidak bertentangan dengan nash yang ada.[9]
Islam dan kebudayaan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Ajaran
islam memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, sedangkan
kebudayaan adalah realitas keberagamaan umat Islam tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
wujud nyata dari pengamalan ajaran agama islam itu mampu dilihat dari kebudayaan dan
kehidupan nyata para pemeluk agama Islam tersebut.

Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran
agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama
yang terdapat di masyarakat tersebut adalah hasil penalaran para penganut agama dari sumber
agama yaitu wahyu. Salah satu contohnya yaitu ketika kita membaca kitab fiqih, kitab fiqih
tersebut merupakan pelaksanaan dari nash Al-quran maupun hadist yang melibatkan penalaran
dan kemampuan manusia. Pelaksanaan fiqih dalam kehidupan sehari-hari itu berkaitan dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama tersebut berkembang. Dengan
pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mangamalkan ajaran agama
tersebut.
Misalnya dalam kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Unsur
agama ikut berinteraksi dalam kebudayaan tersebut. Pakaian model jilbab, kebaya dapat dijimpai
dalam pengamalan agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat
sosoknya secara jelas.

D.Kebudayaan dalam Pandangan Islam.


Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan
yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya
yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat
dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab
dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Ada tiga jenis kebudayaan dalam pandangan Islam[11]

1. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam.

Dalam kaidah fiqh disebutkan “ al adatu muhkamatun “ artinya “adat kebiasaan dapat
dijadikan sebagai hukum” bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang
perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya
dalam syareat.
Salah satu contoh kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam seperti kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita
biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gr emas. Dalam Islam budaya itu syah-
syah saja, karena islam tidak menentukan besar kecilnya mahar. Menentukan bentuk bangunan
Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka
adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai
contoh adalah menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam karena nikah antar agama
sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas.
Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita
muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.

2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam. kemudian di


rekonstruksi sehingga menjadi Islami.
Contohnya, kebudayaan masyarakat yang melaksanakan upacara tujuh hari orang
meninggal ataupun empat puluh hari orang meninggal. Upacara semacam itu tidak ada
tuntunannya dalam Islam, tetapi Islam mencoba merekonstruksi upacara-upacara tersebut agar
menjadi lebih Islami, yaitu dengan pembacaan kitab suci Alquran pada saat pelaksanaan
upacara-upacara tersebut. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk
“ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.
“Dari Abu Hurairah r.a. katanya: Abu Bakar Siddik ditugaskan oleh Rasulullah SAW
sebelum haji wada untuk memimpin satu kaum pada hari Nahar melakukan haji, kemudian
memberitahukan kepada orang banyak, suatu pemberitahuan: Ketahuilah! Sesudah tahun ini
orang-orang Musyrik tidak boleh lagi haji dan tidak boleh thawaf di Ka'bah dalam keadaan
telanjang. Sebelum Islam, orang-orang musyrik Arab telah melakukan juga pekerjaan haji
menurut cara mereka sendiri. Antara lain ialah thawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang bulat
sambil bertepuk tangan.” (Hadits Shahih Bukhari no. 843). Sebelum Islam datang tawaf
dilakukan oleh orang-orang kafir secara telanjang, namun setelah kedatangan Islam hal tersebut
di rekonstruksi menjadi lebih islami.

3. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.


Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara
pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan
secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal
supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat
besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya
“tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya,
jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau
lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar
, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja,
untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut
digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang
dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng
Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain
yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan
penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena
kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan
persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan

B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kebudayaan dalam Islam


Ajaran Islam mendorong umatnya untuk mengerahkan segala daya dan upaya bagi
kebaikan dan kesejahteraan umat manusia, termasuk dalam pengembangan kebudayaan. Upaya-
upaya tersebut kemudian telah menghasilkan suatu prestasi peradaban baru yang tinggi yang
dikenal dengan “peradaban Islam” yang dalam sejarahnya telah memberikan andil yang cukup
besar bagi kemajuan peradaban dunia.
Namun
C. Hubungan Islam Dengan Kebudayaan

Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya


merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa
ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh
ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan”
menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa
agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi.
Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan
merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli
Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama
merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan
bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan
untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat
terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing
agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang
ada.
Para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang
hubungan antara agama dan kebudayaan. [8]
a) Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan
kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini
diwakili oleh Hegel.
b) Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak
ada hubungannya sama sekali dengan agama.
c) kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu
sendiri.
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa ajaran Islam pun juga mendorong manusia untuk
berbudaya. Akan tetapi sebelum Islam datang, sudah ada kebudayaan yang telah berkembang
sebelumnya. Dan tentunya kebudayaan tersebut ada yang mengandung kebaikan dan ada yang
mengandung keburukan atau kebatilan. Mengapa dikatakan begitu? Karena pada dasarnya akal
manusia mampu untuk mengenali atau mengidentifikasi mana hal yang baik dan mana hal yang
buruk.
Adat istiadat dan tradisi ada kalanya yang dapat mewujudkan kebaikan bagi umat
manusia pada salah satu sisi kehidupan manusia, yang tidak ada nash agamanya, kecuali
pengarahan terhadap tujuan yang umum. Ketika itulah peran akal melakukan ijtihat untuk
mencari kehendak ilahi, dalam segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Mungkin
bisa dikatakan bahwa adat istiadat atau kebudayaan ataupun tradisi yang kebaikannya Nampak
(mengandung kebaikan) adalah kehendak Ilahi.;ia dapat dianggap sebagai hukum agama yang
disandingkan dengan tatanan agama secara menyeluruh, meliputi berbagai bidang kehidupan.
Pada saat itulah kenyataan hidup berperan dalam memahami agama berdasarkan tradisi yang
baik. Ia dianggap sebagai bagian agama ketika tidak ada nash yang berkaitan dengannya, dan
ketika tidak bertentangan dengan nash yang ada.[9]
Islam dan kebudayaan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Ajaran
islam memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, sedangkan
kebudayaan adalah realitas keberagamaan umat Islam tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
wujud nyata dari pengamalan ajaran agama islam itu mampu dilihat dari kebudayaan dan
kehidupan nyata para pemeluk agama Islam tersebut.

Kebudayaan dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran
agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengamalan agama
yang terdapat di masyarakat tersebut adalah hasil penalaran para penganut agama dari sumber
agama yaitu wahyu. Salah satu contohnya yaitu ketika kita membaca kitab fiqih, kitab fiqih
tersebut merupakan pelaksanaan dari nash Al-quran maupun hadist yang melibatkan penalaran
dan kemampuan manusia. Pelaksanaan fiqih dalam kehidupan sehari-hari itu berkaitan dengan
kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama tersebut berkembang. Dengan
pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mangamalkan ajaran agama
tersebut.
Misalnya dalam kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Unsur
agama ikut berinteraksi dalam kebudayaan tersebut. Pakaian model jilbab, kebaya dapat dijimpai
dalam pengamalan agama. Sebaliknya tanpa adanya unsur budaya, maka agama akan sulit dilihat
sosoknya secara jelas.

D. Kebudayaan dalam Pandangan Islam.


Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan
yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya
yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam
menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat
dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan
membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab
dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Ada tiga jenis kebudayaan dalam pandangan Islam[11]

2. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam.

Dalam kaidah fiqh disebutkan “ al adatu muhkamatun “ artinya “adat kebiasaan dapat
dijadikan sebagai hukum” bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang
perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya
dalam syareat.
Salah satu contoh kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam seperti kadar besar
kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita
biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gr emas. Dalam Islam budaya itu syah-
syah saja, karena islam tidak menentukan besar kecilnya mahar. Menentukan bentuk bangunan
Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka
adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai
contoh adalah menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam karena nikah antar agama
sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas.
Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita
muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.

2. Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam. kemudian di


rekonstruksi sehingga menjadi Islami.
Contohnya, kebudayaan masyarakat yang melaksanakan upacara tujuh hari orang
meninggal ataupun empat puluh hari orang meninggal. Upacara semacam itu tidak ada
tuntunannya dalam Islam, tetapi Islam mencoba merekonstruksi upacara-upacara tersebut agar
menjadi lebih Islami, yaitu dengan pembacaan kitab suci Alquran pada saat pelaksanaan
upacara-upacara tersebut. Islam datang untuk merekonstruksi budaya tersebut menjadi bentuk
“ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya.
“Dari Abu Hurairah r.a. katanya: Abu Bakar Siddik ditugaskan oleh Rasulullah SAW
sebelum haji wada untuk memimpin satu kaum pada hari Nahar melakukan haji, kemudian
memberitahukan kepada orang banyak, suatu pemberitahuan: Ketahuilah! Sesudah tahun ini
orang-orang Musyrik tidak boleh lagi haji dan tidak boleh thawaf di Ka'bah dalam keadaan
telanjang. Sebelum Islam, orang-orang musyrik Arab telah melakukan juga pekerjaan haji
menurut cara mereka sendiri. Antara lain ialah thawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang bulat
sambil bertepuk tangan.” (Hadits Shahih Bukhari no. 843). Sebelum Islam datang tawaf
dilakukan oleh orang-orang kafir secara telanjang, namun setelah kedatangan Islam hal tersebut
di rekonstruksi menjadi lebih islami.

4. Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.

Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara
pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan
secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal
supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat
besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya
“tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman
jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya,
jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau
lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar
, karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja,
untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut
digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang
dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng
Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain
yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan
penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena
kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan
persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan

BAB III
Kesimpulan dan Penutup

Dari uraian tentang “Islam dan Budaya” yang telah dipaparkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa Islam adalah mutlak ciptaan Allah SWT yang hakiki oleh karena itu Islam
dijamin akan kefitrahannya, kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan konstanta atau
tidak dapat dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta,
karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya, dimana
kebudayaan itu sendiri akan mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan jaman.
Kaitannya dengan kebudayaan, islam memiliki Dasar-Dasar dalam Pengembangan
Budaya, yaitu:
Penghargaan terhadap akal fikiran
Anjuran menuntut ilmu
Larangan untuk taklid
Anjuran Islam untuk berinisiatif dan inovatif
Penekanan pentingnya kehidupan dunia
Antara kebudayaan dan agama Islam saling terkait antara yang satu dengan yang lain.
Agama sebagai petunjuk kehendak ilahi sedangkan kebudayaan adalah wujud dari pengamalan
ajaran agama yang di tafsirkan oleh manusia melalui penalaran. Ada 3 jenis kebudayaan menurut
islam, Yaitu:
Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan islam.
Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di rekonstruksi
sehingga menjadi Islami.
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.

Oleh karena itu, kita menekankan kepada pembaca bahwa antara Islam dan kebudayaan
memiliki hubungan namun tidak semua dapat diadobsi. Demikian makalah ini disususun,
semoga dapat menjadi satu dari sarana dalam menerangkan antara Islam dan Kebudayaan.
Daftar Pustaka

Al-majid, Pemahaman Islam antara rakyu dan wahyu,PT Remaja


Rosdakarya,Bandung,1997

Você também pode gostar