Você está na página 1de 4

Nama : Agung Munandar

NPM : 1603101010242

Analisis Kasus:
A. MK nyatakan Electoral Threshold Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) terhadap UUD 1945, dengan Mendengarkan
Keterangan Pemerintah, DPR, dan Ahli dari Pemohon.
Bahwa dengan diberlakukannya ketentuan ambang batas (electoral threshold) dalam
Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemilu, para Pemohon dalam perkara ini merasa hak
konstitusionalnya telah dirugikan karena tak bisa mengikuti Pemilu 2009 mendatang, sebab
dalam Pemilu 2004 lalu, partai-partai ini memperoleh suara rata-rata kurang dari 3% dari
jumlah kursi DPR. Para Pemohon, dalam permohonannya juga menjelaskan bahwa tujuan
utama mereka mendirikan partai politik adalah agar dapat mengikuti pemilu seterusnya.
Persyaratan bagi partai politik agar dapat mengikuti pemilu berikutnya, yakni partai
politik harus memenuhi ketentuan electoral threshold yang tercantum dalam Pasal 9 Ayat (1)
UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) atau bergabung
dengan partai politik lainnya apabila ketentuan electoral threshold tidak terpenuhi sehingga
tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam putusan perkara No.16/PUU-V/2007 pada Selasa (23/10).

Analisis Pribadi:

Sebelum melirik lebih jauh mengenai electoral threshold yang berlaku di Indonesia, ada
baiknya kita perlu mengetahui apa itu electoral threshold. electoral threshold (ambang batas)
merupakan persyaratan minimal suara atau kursi yang harus dipenuhi partai. Electoral
threshold itu sendiri sudah mulai dikenal di Indonesia sejak Pemilu 1999. Electoral
threshold alias ambang batas peserta pemilu menjadi syarat minimal yang harus diperoleh
partai untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya. Jadi, partai yang tak memenuhi ambang
batas ini akan tereliminasi.

Ketentuan tentang electoral threshold tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun


1999 tentang Pemilihan Umum. Pada pasal 39 disebutkan bahwa Partai Politik dapat
mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki 2% dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya
3% jumlah kursi DPRD I atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah
provinsi dan setengah jumlah Kabupaten/Kotamadya.
Aturan ambang batas peserta pemilu berlanjut pada Pemilu 2004 melalui Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003. Pasal 9 menyebutkan partai politik dapat mengikuti pemilu
berikutnya jika memperoleh minimal 3% jumlah kursi DPR, 4% jumlah kursi DPRD Provinsi
yang tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia serta 4% jumlah kursi DPRD
Kabupaten/Kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

Setelah melihat bahwa MK memutuskan electoral threshold tidak bertentangan dengan


konstitusi, maka perlu adanya kacamata hukum yang dapat membenarkan atau menolak
putusan MK tersebut mengingat ketentuan di dalam electoral threshold secara jelas
mendiskreditkan partai-partai kecil untuk dapat mengikuti pemilu kedepannya jika tidak
memenuhi syarat ambang batas tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa adanya kontradiksi
antara putusan MK dengan konstitusi. Salah satu pasal yang menjadi rujukan pemohon di
dalam UUD 1945 adalah pasal 28D ayat (3) yang menyatakan bahwa “setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, jika MK memutuskan
bahwa electoral threshold tidak bertentangan dengan konstitusi maka sudah ada kecacatan
di dalam putusan MK tersebut mengingat partai-partai kecil yang tidak memenuhi syarat
ambang batas tidak dapat memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan.

Jika dikaji dari aspek filsafat politik tentu banyak sekali persoalan-persoalan yang dapat
dimunculkan terkait dengan putusan MK tersebut, contohnya “Apa yang mendasari Hakim
MK menyatakan electoral threshold tidak bertentangan dengan konstitusi?” atau “apakah
electoral threshold dapat dijalankan di negara Indonesia?” atau “apa tujuan dari electoral
threshold?” Nah, untuk menjawab persoalan tersebut tidaklah bisa hanya dengan hukum
murni saja, tentu juga harus dilihat dari berbagai aspek lain yang mempengaruhi putusan MK
tersebut. Melihat asas yang dianut Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, hakim dan lembaga
peradilan MK diharuskan bersifat independen dan imparsial dalam arti tidak dapat
diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu
pihak yang berperkara atau imparsial, maka jelas terlihat jika kita hanya berpedoman pada
hukum murni saja sudah sewajarnya putusan MK dapat diterima karena adanya asas tersebut
dan sudah barang tentu kita berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan putusan MK
karena ianya bersifat independen dan imparsial, namun hal itu hanya sebatas asas yang ada
di dalam buku dan tidak menutup kemungkinan adanya tekanan-tekanan dari pihak luar (elit
politik) yang akan mempengaruhi putusan MK tersebut, bukankah kita mengetahui bahwa
produk hukum itu sendiri adalah alat politik, Undang-undang contohnya, itu merupakan buah
politik yang dihasilkan oleh DPR bersama Presiden, lalu coba kita kaitkan dengan electoral
threchold , tentunya partai-partai besarlah yang mengikis keberadaan partai-partai kecil yang
ingin mengikuti pemilu.
Electoral threshold menjadi polemik dengan adanya putusan MK yang menyatakan
bahwa ambang batas kepartaian tidak bertentangan dengan UUD 1945, memang benar
kiranya Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai penafsir konstitusi, tetapi menimbulkan
tanda tanya besar jika yang ditafsirkan malah menghambat hak konstitusional partai-partai
kecil, ini sama halnya dengan analogi orang tua dan anak, manakah diantara keduanya yang
paling utama harus dilindungi?, tentulah anak yang pertama harus dilindungi, pasalnya orang
tua sudah sewajarnya bisa menjaga dirinya sendiri, begitu juga partai politik, partai politik
mana yang berhak dilindungi hak-haknya? Tentulah partai-partai kecil yang berhak dilindungi,
bagaimana mungkin partai-partai kecil dapat mengikuti pemilu dengan diberlakukannya
electoral threshold?, adanya electoral threshold itu sendiri benar-benar memaksakan
kehendaknya untuk memangkas habis tunas-tunas partai yang baru, partai-partai yang
tereliminasi dipaksakan untuk bergabung ke partai-partai besar, padahal pada prinsipnya hal
itu sukar dilakukan mengingat antar-partai memiliki platform yang berbeda.

Lebih jauh kita melihat bagaimana pengelolaan partai yang baik di negara maju seperti
Amerika Serikat (AS)

putusan MK benar-benar telah menciderai makna daripada konstitusi itu sendiri

Ambang batas kursi parlemen


Parliamentary threshold merupakan ambang batas persyaratan minimal yang harus diperoleh
partai untuk mendapatkan kursi di parlemen. Aturan tersebut mulai diterapkan pada Pemilu
2009.
Aturan ambang batas pada Pemilu 2009 termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008. Pasal 202 menyebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang
batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional
untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan ini tidak berlaku untuk
DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Pada pemilu 2014 ambang batas parlemen berubah lagi. Dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun Tahun 2012, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 3,5% dan berlaku nasional
untuk semua anggota DPR dan DPRD. Setelah digugat oleh 14 partai politik, Mahkamah
Konstitusi kemudian menetapkan ambang batas 3,5% tersebut hanya berlaku untuk DPR dan
ditiadakan untuk DPRD.
Pada pemilu 2014, hanya ada 10 partai yang memperoleh kursi di DPR dan akan menjadi
peserta pemilu selanjutnya. Adapun Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI) yang tak mendapatkan kursi parlemen, tetap dapat mengikuti
pemilu kalau memenuhi syarat.

Syarat partai tak berkursi itu sama dengan partai baru, yaitu: berstatus badan hukum sesuai
dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan
memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang
bersangkutan.

Syarat partai lainnya adalah menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan


pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; dan memiliki anggota sekurang-kurangnya
1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik yang
dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota.

Partai juga disyaratkan mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; mengajukan nama, lambang,
dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan menyerahkan nomor rekening dana
Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

Você também pode gostar