Você está na página 1de 13

ASEAN

1.

MENGHADAPI krisis kemanusiaan ribuan pengungsi Rohingya yang kini di laut dan
mencari daratan, kita sebagai bangsa yang bermartabat hanya memiliki satu pilihan:
membantu mereka. Dengan pilihan itu, yang menjadi diskusi adalah bagaimana wujud
bantuan tersebut di tengah berbagai tantangan yang ada.
Sebagai anggota DPR yang awal April lalu mengunjungi Myanmar dalam misi ASEAN
Parliamentarians for Human Rights (APHR), menurut saya, ada tiga tantangan utama
dalam kasus pengungsi Rohingya. Yaitu Myanmar yang tidak mengakui mereka sebagai
warga negara, sebagian pengungsi adalah warga yang dijanjikan pekerjaan dan dimobilisasi
agen buruh ilegal, serta jumlah pengungsi yang sangat banyak dan akan terus bertambah di
kemudian hari.

Lalu apa wujud kepedulian dan bantuan kita sebagai negara anggota ASEAN? Pertama,
yang harus kita tempuh saat ini adalah solusi jangka pendek terlebih dahulu. Sebab, kita
tidak bisa membiarkan mereka kelaparan dan meninggal di laut. Mengusir pengungsi
Myanmar melanggar konvensi internasional tentang penyiksaan. Iktikad baik Presiden Joko
Widodo mau menerima pengungsi seharusnya diterjemahkan seluruh aparatur negara yang
terkait. Bukan malah berbeda pandangan dan reaktif cenderung mengusir pengungsi.

Kita bisa menampung mereka di kamp penampungan sementara. Ini adalah prinsip
kemanusiaan dan etika maritim global. Seperti halnya para nelayan Aceh yang membantu
mereka secara spontan karena para nelayan itu juga pernah dibantu warga asing saat
membutuhkan pertolongan di laut.
Bagi orang Rohingya, ini sudah menjadi perkara hidup mati dan para pengungsi tersebut
tidak membawa senjata ataupun berpotensi membahayakan keamanan dalam jangka waktu
pendek ini. Selain itu, dalam penanganannya, jangan sampai para pengungsi tersebut hanya
bergantung pada kebaikan dari lembaga-lembaga internasional, juga program-program
kemanusiaan. Sehingga diperlukan solusi komprehensif. Sebab, jika terjadi pembiaran
terlalu lama di rumah detensi, akan lahir masalah-masalah sosial tersendiri.
Kedua, sambil melakukan hal di atas, kita harus mengedepankan langkah diplomatik dalam
mencari solusi regional. ASEAN memang menjalankan prinsip nonintervensi dalam
hubungan antaranggota, tapi krisis Rohingya bukan lagi perkara internal Myanmar. Itu
sudah menjadi perkara regional. Langkah diplomasi tersebut juga sedang dilakukan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang menemui menteri luar negeri Malaysia dan
Thailand pada 20 Mei di Malaysia. Saya sangat mengapresiasi respons pemerintah dalam
hal ini. Inisiatif melakukan pertemuan regional yang dilakukan menteri luar negeri adalah
momentum penguatan solidaritas ASEAN dalam masalah-masalah kemanusiaan.

Negara ASEAN bisa mengambil contoh bagaimana negara-negara Uni Eropa (UE)
menangani pengungsi Afrika yang mencari suaka dengan mengarungi Laut
Mediterania. Awalnya para pengungsi yang bertolak dari Libya itu memang kesulitan
mencari tempat. Tapi, pertimbangan kemanusiaanlah yang akhirnya mendorong negara-
negara UE untuk duduk berdiskusi mencari solusi regional bagi masalah tersebut. Tingkat
kompleksitas pengungsi Afrika itu jauh lebih tinggi daripada pengungsi Rohingya. Selain
jumlah mereka yang lebih besar, asal pengungsi berada di luar kawasan regional mereka.
Langkah diplomasi tersebut, meski sulit dan lama, adalah satu-satunya harapan untuk
menemukan solusi atas tiga tantangan utama di atas. Langkah riil juga perlu dibicarakan
dan diambil untuk menghentikan arus pengungsi Rohingya dari asalnya.

Indonesia adalah negara di ASEAN yang demokrasinya paling maju. Pemilihan umum
presiden langsung yang sukses tahun lalu dipuji negara-negara ASEAN dan komunitas
internasional sebagai salah satu yang terbaik di kawasan Asia Tenggara. Karena itu, kita
harus percaya diri untuk mengambil inisiatif dalam perkara ini. Kita adalah negara terbesar
di Asia Tenggara.

Ketiga, krisis ini juga merupakan ajang uji coba kesiapan ASEAN menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015. Berdasar informasi yang penulis peroleh dari
diplomat RI di Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam, sebagian pengungsi di Laut
Andaman itu diatur agen tenaga kerja ilegal yang hendak menyalurkan mereka ke Malaysia
dan Australia. Bila bisnis ilegal tersebut tidak kita cari solusinya sekarang, bisa diperkirakan
jumlah arus tenaga kerja itu terus bertambah saat MEA diberlakukan.
MEA 2015 adalah sebuah peluang sekaligus tantangan besar. Indonesia, sebagai negara
terbesar di ASEAN, bisa menjadikan krisis Rohingya sebagai pintu masuk untuk
menciptakan model dalam mengantisipasi tenaga kerja ilegal. Berdasar pengalaman krisis
ini, hak asasi manusia harus dipakai sebagai standar dalam segala bentuk kerja sama.

Sebagai salah satu langkah awal, Indonesia bisa mengusulkan agar negara-negara ASEAN
meratifikasi Konvensi PBB 1951 dan Protokol PBB 1967 tentang status pengungsi. Dengan
ini, kita akan memiliki pijakan yang jelas untuk penanganan pengungsi.

ASEAN harus berani menekan Myanmar untuk membicarakan kehidupan orang Rohingya
karena selama ini Myanmar selalu menghindari diskusi tersebut. Kalau tidak,
keberadaannya dalam MEA nanti hanya merugikan negara lain. Aturan mengenai sanksi
tentu harus diperjelas bagi negara yang melanggar bentuk kerja sama dalam ASEAN ini.
Jika kita tidak bisa mengambil tindakan bersama untuk masalah kemanusiaan yang
mendesak tersebut, bagaimana kita mencapai tujuan komunitas ASEAN seperti
menciptakan kedamaian dan keamanan regional serta mendorong peran ASEAN di tingkat
global? (*)
2.

PERAN NEGARA ASEAN DALAM


PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS ROHINGYA
PUBLISHED JANUARI 9, 2014 BY GALANGANGGRIWAN

Pada bulan Juni 2012, konflik etnis terjadi di bagian barat negara bagian Rakhine,
Myanmar, antara Etnis Arakan yang mayoritas beragama Budha, dengan Etnis
Rohingnya yang mayoritas beragama Islam. Konflik tersebut berpuncak pada tanggal
8-12 Juni 2012, yang membuat Etnis Rohingnya terpaksa mengungsi keluar dari
Myamar untuk mencari perlindungan ke Bangladesh dan negara-negara di Asia
Tenggara,[1] seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia sebagai dampak dari adanya
konflik yang terus meningkat. Konflik tersebut pada kenyataannya bukan merupakan
hal baru di negara bagian Arakan, Myanmar. Sebelumnya pada bulan Februari 1978
dan bulan Mei 1991 hingga Maret 1992, juga pernah dilakukan oleh pemerintah
Myanmar sebanyak dua kali. Sementara konflik yang terjadi pada tahun 2012 terjadi
juga sebanyak dua kali, yakni pada bulan Juni dan Oktober. Dimana pada bulan
Oktober 2012, konflik kembali terjadi yang dilakukan oleh Etnis Arakan bersama
militer Myanmar terhadap komunitas muslim, dalam hal ini bukan hanya Etnis
Rohingnya tetapi juga komunitas muslim Kaman yang menjadi korbannya yang lebih
terkoordinasi dan tersusun rapi. Dan pada tahun 2013, konflik tersebut diperkirakan
telah meluas menjadi Genosida (pembantaian besar-besaran) tidak hanya pada salah
satu etnis saja. Karena itu, pusat lembaga advokasi hukum dan hak asasi manusia
(HAM) mengungkapkan jumlah umat muslim di Myanmar turun sangat drastis
dengan adanya konflik Rohingya yang terjadi di sana.[2]

Perlakuan diskriminatif terhadap Etnis Rohingnya, antara lain disebabkan oleh status
mereka yang berbeda. Tidak seperti etnis lain, Etnis Rohingnya tidak diakui sebagai
warga negara oleh pemerintah Myanmar melainkan sebagai pendatang ilegal.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap Etnis Rohingnya, antara lain
mereka tidak diberi izin usaha; diberikan pajak yang tinggi dan berlebihan, jika pajak
tersebut tidak mampu untuk dibayarkan maka lahan pertanian, tambak, atau
properti apapun yang mereka miliki akan disita; khusus bagi Etnis Rohingnya yang
terkonsentrasi di Rakhine Utara, mereka diperlukan izin untuk keluar dari otoritas
lokal; mereka juga dimasukkan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dan dieksploitasi
sebagai pekerja paksa; Selain itu, mereka juga tidak diberi akses untuk mendapatkan
pendidikan, sulit untuk mendapatkan izin perkawinan, kerap terjadi pemerkosaan
terhadap perempuan Rohingnya, serta mereka sering dihukum tanpa mengetahui
kesalahan yang jelas dan tanpa melalui proses peradilan. Akar konflik dari konflik
etnis ini dalah adanya kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi etnis Muslim
Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat. Tentu saja, hal ini
menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi
mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap “kerikil dalam
sepatu”, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya
dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan,
Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini. Akar konflik yang lain
adalah adanya kecemburuan terhadap etnis Rohingya. Populasi etnis Muslim
Rohingya dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat. Tentu saja, hal ini
menyebabkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhine. Bagi
mereka, keberadaan etnis Rohingya pun sangat mungkin dianggap “kerikil dalam
sepatu”, yakni sesuatu yang terus mengganggu. Keberadaan etnis Rohingya
dianggap mengurangi hak atas lahan dan ekonomi, khususnya di wilayah Arakan,
Rakhine yang menjadi pusat kehidupan etnis Muslim ini. Dan Pemerintah Myanmar
tak mengakui bahwa kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap
kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar
sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh
Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tak
mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap
imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh itu.

Sejalan dengan itu, kecaman dari komunitas-komunitas Internasional terus


bermunculan terkait konflik yang ada di Rakhine, Myamar. Di Iran, sentimen negatif
bermunculan karena dianggap Etnis Rakhine telah melakukan upaya pembantaian
terhadap umat muslim yang ada di sana.[3] Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga
mengutuk kekerasan yang dilakukan terhadap minoritas Muslim
Rohingnya.[4] ASEAN sebagai organisasi regional, dimana Myanmar juga adalah
bagian dari ASEAN meminta penjelasan secara menyeluruh kepada Myanmar terkait
masalah tersebut. ASEAN menganggap bahwa jika benar konflik etnis tersebut berat
sebelah maka hal tersebut sangat tidak wajar terjadi di lingkungan ASEAN yang
demokrasi. Dengan demikian, pemerintah Myanmar diminta agar secepatnya
menyelesaikan masalah tersebut.[5] Di Indonesia sendiri, berbagai protes, kritik, dan
keberatan hampir dari seluruh aspek masyarakat atas peristiwa tersebut dinyatakan
melalui aksi demonstrasi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. langkah tersebut
ditempuh untuk mendesak pemerintah Indonesia agar mengambil langkah-langkah
strategis untuk menghentikan kekerasan terhadap Etnis Muslim
Rohingya.[6] Mereka menganggap ada upaya pembantaian Etnis Rohingya dalam
konflik tersebut yang dilakukan oleh Etnis Arakan dan pemerintah
Myanmar.[7] Sebagai wujud keprihatinan atas apa yang terjadi di Myanmar,
pemerintah Indonesia kemudian turut aktif baik secara bilateral, multilateral maupun
regional membahas dan berupaya menyelesaikan permasalahan yang berkaitan
dengan Etnis Rohingya, baik di PBB, ASEAN, dan OKI. Pemerintah Indonesia juga
menerima kedatangan para pengungsi dan pencari suaka dari etnis Rohingya,
kemudian bekerja sama dengan badan-badan PBB dan lembaga internasional lain
untuk menyelesaikan, memberikan status, menyalurkan pada pihak ketiga, dan
sebagainya. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah masyarakat Indonesia yang
mayoritas penduduknya muslim, yang terus mendesak pemerintah Indonesia untuk
terus mendorong pemerintah Myanmar agar memperhatikan Etnis Muslim Rohingya
yang mengalami diskriminasi dan kekerasan. Hal yang menginspirasi peneliti dalam
hal ini adalah Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim dengan adanya
konflik tersebut cenderung menjadi reaktif, menyebabkan persepsi individu
bertransformasi menjadi persepsi kolektif disebabkan oleh kesamaan identitas yaitu
agama yang berujung pada desakan kepada pemerintah Indonesia untuk secepatnya
mengambil sikap. Dari paparan diatas, yang membuat kami mengkaji penelitian
tersebut adalah pemahaman mengenai agama yang memiliki pengaruh dalam politik
luar negeri Indonesia terhadap isu-isu tertentu yang berhubungan dengan Islam, baik
nilai maupun identitas yang berhubungan dengannya. Dimana terjadi pembantaian
yang dilakukan oleh Etnis Arakan terhadap umat muslim Rohingnya di Rakhine,
Myanmar. Kesamaan identitas Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia menggariskan persepsi mereka atas realita. Oleh karena itu, hampir
seluruh masyarakat Indonesia melakukan aksi demo hampir di seluruh Indonesia
untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk secepatnya melakukan upaya
penyelesaian konflik yang terjadi di Myanmar. Bagaimanapun, demokratisasi di
Indonesia pasca perubahan rezim pada tahun 1998 memiliki pengaruh signifikan. Ia
membuka ruang yang lebih besar bagi media, opini, dan partisipasi publik untuk
mempengaruhi proses perumusan kebijakan.

Keberadaan etnis Rohingya di Myanmar

Muslim Rohingya berjumlah 20% dari total penduduk Myanmar yang berjumlah
55 juta jiwa. Mereka menempati provinsi Arakan. Provinsi ini menjadi bagian dari
negeri Muslim sejak abad ke-7 M di bawah kepemimpinan Harun ar-Rasyid.
Sepanjang tahun 1430-1784 M, kaum Muslim memimpin negeri ini. Tahun-tahun
setelahnya, raja Burma menduduki wilayah Arakan. Sejak saat itulah bumi Arakan
yang damai berubah menjadi mencekam. Pembunuhan-pembunuhan terhadap
Muslim Rohingya dilakukan, harta benda kaum Muslim dihancurkan dan mereka
dikirim ke penjara-penjara. Pada tahun 1842 M, Inggris menduduki wilayah ini dan
memasukkan Arakan di bawah negara persemakmuran Inggris-India. Pada tahun
1937 M Inggris menggabungkan kembali Arakan dengan negeri Budha Supaya
Muslim terkuasai, umat Budha diprovokasi untuk menindas Muslim Rohingya. Pada
tahun itu, Inggris mempersenjatai Budha. Tahun 1942 penyerangan-pernyerangan
terhadap Muslim Rohingya dilakukan kembali.[8]

Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik

Indonesia ikut berperan aktif dalam upaya penyelesaian konflik etnis Rohingnya di
Rakhine, Myanmar karena Indonesia memiliki kesamaan identitas dengan Etnis
Rohingnya, yaitu kesamaan identitas Islam. Walaupun konflik tersebut pada
dasarnya tidak memberikan dampak langsung apapun terhadap Indonesia, tetapi
pemberitaan yang menyebutkan bahwa konflik berlangsung asimetris cenderung
mengarah pada upaya pembantaian terhadap Etnis Rohingnya yang pada akhirnya
memancing kemarahan masyarakat Indonesia dalam berbagai kelompok sosial politik
domestik. Dalam hal ini, media sebagai sumber informasi, hampir seragamnya
membahas tentang konflik tersebut, baik nasional maupun daerah, baik cetak
maupun elektronik (termasuk di dalamnya internet dan jejaringan sosial).
Penggunaan kata atau kalimat yang cenderung provokatif seperti Genosida Muslim,
Pembantaian Umat Islam di Myanmar, Pembersihan Etnis
Rohingnya,[9] bagaimanapun akan diterima oleh masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam sebagai pembantaian terhadap umat muslim. Dimana
opini setiap orang perorang di transformasikan menjadi opini publik, oleh karena itu
hampir seluruh masyarakat Indonesia melakukan aksi solidaritas dan aksi
demonstrasi hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan tuntutan yang hampir
sama, yaitu meminta pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah efektif
untuk upaya penyelesaian konflik tersebut dan melindungi Etnis
Rohingnya.[10] Hizbut-Tahrir Indonesia, salah satu organisasi Islam dengan jumlah
anggota yang besar, selain melakukan aksi yang lebih terorganisir di beberapa
daerah di Indonesia,[11] juga mempublikasikan 4 butir tuntutan dalam pernyataan
sikap mereka yang secara umum berisi kutukan dan desakan terhadap pemerintah
Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI), juga menyesalkan sikap pemerintah
Myanmar yang seolah-olah membiarkan konflik ini berlangsung secara tidak
seimbang[12] karena menganggap pernyataan presiden Myanmar mengenai status
kewarganegaraan Etnis Rohingnya tidak pada tempatnya, serta mendesak agar
pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah strategis untuk menghentikan
kekerasan terhadap etnis Muslim Rohingnya. Tanggapan serupa juga dilontarkan
oleh wakil-wakil Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang duduk di kursi Parlemen
Indonesia. Namun disamping mengutuk, juga menganjurkan pemberian suaka politik,
dan meminta presiden Indonesia untuk membantu Muslim Rohingnya
memperjuangkan hak kemanusiaan dan politiknya, serta pengakuan identitas
keagamaan mereka. Selain itu menyarankan agar Indonesia mengirim delegasi resmi
sesegera mungkin untuk berperan aktif mengumpulkan informasi dan
memaksimalkan upaya penyelesaian konflik.[13] Pramono Anung, selaku Wakil Ketua
DPR RI juga mendesak pemerintah untuk secepatnya mengambil sikap politik terkait
kekerasan yang dialami oleh Etnis Rohingya di Myanmar. Ketua DPR RI sendiri,
Marzuki Ali, mendesak pemerintah agar “proaktif memberikan teguran yang keras
kepada Myanmar dan mendesak negara tersebut untuk menyelesaikan konflik etnis
yang ada dengan memberikan hak hidup dan kewarganegaraan terhadap Etnis
Rohingya seperti warga lainnya.”

Hampir meratanya desakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia terhadap


pemerintah agar mengambil sikap yang tegas terkait dengan konflik yang melibatkan
Etnis Rohingnya di Rakhine, Myanmar tersebut. Untuk itu, sebagai jawaban resmi
dari pemerintah atas desakan tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai
presiden republik Indonesia berpidato yang dipublikasikan di beberapa media besar
nasional. Satu hari sebelum pidato tersebut, Presiden SBY mengirim surat tertulis
kepada presiden Myanmar Thein sein yang mengungkapkan harapan Indonesia
kepada pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan permasalahan atas Etnis
Rohingnya ini dengan sebaik-baiknya. Bagaimanapun pidato tersebut menyatakan
bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan langkah kongkrit untuk membantu
pemerintah Myanmar melewati konflik tersebut. Upaya itu sendiri ditempuh dalam
berbagai tingkatan, seperti diplomasi bilateral, regional,
maupun multilateral.Dalam tingkat bilateral, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri
Marty Natalegawa menempuh jaur diplomasi yang melibatkan Etnis Rohingnya
dengan menemui Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin pada tanggal 7
Agustus 2012 di Myanmar agar membuka dan memberi akses bagi bantuan
kemanusiaan dan OKI untuk meninjau situasi terjadinya konflik di Rakhine, Myanmar.
Diplomasi tersebut berhasil dengan ditindak lanjuti oleh pemerintah Myanmar
dengan membuka tapal batasnya bagi bantuan-bantuan asing dan OKI. Di ranah
Regional, atas usulan dan inisiatif Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri ASEAN
pada tanggal 17 Agustus 2012 telah menyepakati pernyataan bersama ASEAN dalam
menyikapi perkembangan terakhir di negara bagian Rakhine, Myanmar. Pernyataan
tersebut disepakati setelah Menteri Luar Negeri Indonesia berkomunikasi secara
intensif dengan Menteri Luar Negeri Myanmar sebelumnya di Myanmar. Oleh karena
itu, Menteri Luar Negeri ASEAN mendukung berbagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah Myamar untuk mengembalikan situasi yang kondusif khususnya
mengatasi situasi kemanusiaan di Rakhine, Myanmar. Negara ASEAN senantiasa
selalu siap apabila pemerintah Myanmar meminta bantuan kemanusiaan untuk
mengatasi situasi di Rakhine, Myanmar. Pada tingkat Multilateral, Marty Natalegawa
mendorong OKI untuk mengambil langkah kongkrit guna menyelesaikan
permasalahan dan menempuh tindakan-tindakan untuk melindungi Etnis Rohingnya
saat berlangsungnya Pertemuan ke-4 Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI di
Mekkah pada bulan Agustus 2012. Dalam hal ini, Marty Natalegawa meminta OKI
untuk melakukan kunjungan ke Rakhine, Myanmar agar memahami situasi
sebenarnya, khususnya kebutuhan bantuan kemanusiaan yang diperlukan oleh Etnis
Muslim Rohingnya. Sebagai tanggapan atas dorongan tersebut, negara-negara
anggota OKI kemudian menyatakan sikap, mengutuk kekerasan yang terjadi di
Rakhine yang melibatkan Etnis Rohingnya. Selain itu, OKI juga memutuskan untuk
mengirim delegasi agar dapat memantau langsung situasi yang terjadi di Rakhine,
serta memberikan bantuan dana untuk mendorong proses demokratisasi di
Myanmar. Oleh sebab itu, karena desakan yang dilakukan oleh struktur domestik
seperti Mahasiswa, Ormas, Partai, LSM, Masyarakat, Media, MUI, Aktifis, dan hampir
seluruh masyarakat Indonesia untuk segera bertindak tegas terhadap penyelesaian
konflik di Rakhine, Myanmar. Hal tersebut yang mendorong pemerintah Indonesia
untuk membuat proses kebijakan yang mana proses pembuatan kebijakan tersebut
adalah dengan cara mendengarkan opini publik. Sebagaimana yang telah
dikumandangkan oleh SBY sebagai presiden Indonesia bahwa satu hari sebelum
berpidato telah mengirim surat kepada presiden Myanmar Thein sein agar
pemerintah Myanmar menyelesaikan permasalahan atas Etnis Rohingnya dengan
sebaik-baikya. Selain itu Indonesia dalam penyelesaian konflik tersebut, telah
melakukan upaya dalam berbagai tingkatan, seperti diplomasi bilateral, regional,
maupun multilateral yang telah dipaparkan sebelumnya

Teori Peran (Role Theory)

Peranan adalah perilaku yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang yang
menduduki suatu posisi, dan setiap orang yang menduduki posisi itu diharapkan
berperilaku sesuai dengan sifat posisi itu dalam menjalankan peranan
politiknya.[14]Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku politik adalah
akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan dipegang oleh
seorang aktor politik. Peran dalam konteks politik adalah perilaku yang dilakukan
oleh para aktor dalam menjalankan peran politik mereka, dan yang membentuk
peranan adalah harapan atau dugaan yang datang dari diri sendiri ataupun orang
lain. Teori ini juga berkaitan dengan peranan yang lain. Tujuannya adalah untuk
menjelaskan dan meramalkan perilaku politik. K. J. Holsti dalam bukunya politik
Internasional : Kerangka untuk analisis mengungkapkan tiga variabel penjelasan
mengenai konsep peran, diantaranya yaitu:

1) Beberapa kondisi ekstern, yang mencakup persepsi ancaman dan perubahan


penting dalam kondisi penting luar negeri.

2) Atribut nasional, yaitu berkaitan dengan kemampuan Negara (lemah atau kuat)
pendapat dan sikap umum; kebutuhan ekonomi dan komposisi etnis negara.
3) Atribut ideologis dan sikap, yang mencakup kebijakan atau peran tradisional,
pendapat dan sikap umum, urusan humaniter, prinsip ideologis, serta identifikasi
kawasan (kesesuaian nilai dengan negara lain).

Ketiga variabel diatas menurut K. J. Holsti dapat menguji penjelasan mengenai


tujuan, keputusan dan tindakan dalam FPA (Foreign Policy Analysis).[15] Sedangkan,
peran Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik di Rakhine, Myanmar ini
merupakan salah satu dari keputusan dan tindakan Politik Luar Negeri Indonesia.
Peran aktif Indonesia dalam penyelesaian konflik tersebut dapat di analisa dengan
menggunakan 3 faktor yang dijelaskan oleh K. J Holsti. Faktor pertama dalam hal ini
adalah kondisi eksternal. Dimana Masyarakat Indonesia merasa prihatin terhadap
konflik pembantaian yang dilakukan oleh Etnis Arakan yang mayoritas beragama
Budha, terhadap Etnis Rohingnya yang mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu,
hampir seluruh masyarakat menginginkan agar pemerintah secepatnya melakukan
upaya penyelesaian terhadap konflik yang terjadi di bagian barat Rakhine, Myanmar.
Faktor kedua adalah atribut nasional. Indonesia adalah negara kepulauan yang
mayoritas penduduknya adalah Islam. Dalam hal ini, karena masyarakat Indonesia
memiliki identitas yang sama dengan Etnis Rohingnya, oleh sebab itu hampir seluruh
masyarakat Indonesia melakukan aksi demo hampir di seluruh wilayah Indonesia
untuk mendesak agar pemerintah Indonesia secepatnya melakukan upaya yang
tegas terkait penyelesaian konflik tersebut. Faktor ketiga adalah atribut nasional.
Dalam hal ini kondisi eksternal serta atribut ideologis Indonesia tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 dimana mempunyai landasan yang kuat, yaitu pancasila yang
merupakan pencerminan cita-cita bangsa dan harus dipatuhi secara setia serta tidak
boleh menyimpang dari pancasila tersebut. Politik Luar Negeri Indonesia adalah
bebas dan aktif.Bebas artinya tidak memihak kepada pihak/negara manapun yang
sedang bertikai. Sedangkan aktif artinya Indonesia berperan secara aktif dalam
mengusahakan perdamaian dunia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia turut aktif
baik secara bilateral, multilateral maupun regional membahas dan berupaya
melakukan penyelesaian terhadap permasalahan yang berkaitan dengan Etnis
Rohingya, baik di PBB, ASEAN, dan OKI. Pemerintah Indonesia juga menerima
kedatangan para pengungsi dan pencari suaka dari etnis Rohingya, kemudian bekerja
sama dengan badan-badan PBB dan lembaga internasional lain untuk menyelesaikan,
memberikan status, menyalurkan pada pihak ketiga, dan sebagainya.
[1] Lihat dalam “Warga Malaysia dan Rohingya Kepung Kedubes
Myanmar,”okezone.com, 6 Agustus 2012 (diakses tanggal 9 januari 2014, pukul
21.34)

[2] Lihat dalam “Konflik Rohingnya Meluas Jadi Genosida”, republika.co.id, 26 Mei
2013 (diakses tanggal 11 januari 2014, pukul 23.12)

[3] Lihat dalam “Ayatollah Kashani: Membantai Rohingnya Berarti Melawan


Islam,“antaranews.com, 28 Juli 2012. (diakses pada tanggal 9Januari 2014, pukul
23.14)

[4] Lihat dalam “Tiga Rekomendasi OKI Untuk Rohingnya,” tribunnews.com, 3


Agustus 2012. (diakses pada tanggal 9 Juni 2014, pukul 23. 18)

[5] Lihat dalam “Sekjen ASEAN Meminta Penjelasan Myanmar atas Pelanggaran HAM
terhadap Etnis Muslim Rohingnya, “ indonesianvoices.com, 28 Juli 2012 (diakses
tanggal 10 Januari 2014, pukul 08.11)

[6] Lihat dalam, “Ulama Serukan Umat Bantu Muslim Rohingnya, “republika.co.id, 27
Juli 2012. (diakses tanggal 10 Januari 2014, pukul 08. 22)

[7] Lihat dalam, “Muslim Rohingnya Ditindas, Inilah Sikap MUI,” republika.co.id, 25
Juli 2012. (diakses tanggal 10 Januari 2014, pukul 08.33)

[8] http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JTS/article/download/1208/1199

[9] Lihat dalam “PKS: Muslim Rohingya Korban Genosida Militer Myanmar,”
Republikaco.id, 27 Juli 2012. (diakses tanggal 10 Januari 2014, pukul 22.22)

[10] Lihat dalam, “LSM dan mahasiswa galang aksi solidaritas


Rohingya,”Padangmedia.com, 11 September 2012 (diakses tanggal 11 Januari 2014,
pukul 18.00)

[11] Lihat dalam, “Masa HTI Gelar Aksi Solidaritas Rohingya,” Antaranews.com, 5
Agustus 2012. (diakses tanggal 11 Januari 2014, pukul 18.04)
[12] Lihat dalam, “Muslim Rohingya Ditindas, Inilah Sikap MUI,” Republika.co.id, 25
Juli 2012. (diakses tanggal 11 Januari 2014, pukul 18.20)

[13] Lihat dalam, “PKS: Muslim Rohingya Korban Genosida


Myanmar,” Republika.co.id, 27 Juli 2012. (diakses tanggal 11 Januari 2014, pukul
18.33)

[14] Mochtar Mas’oed. 1994. Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan
Teorisasi. Pusat Antar Universitas-Studi Sosial UGM: Yogjakarta.

[15] K. J. Holsti. 1983. Politik Internasional: Kerangka untuk analisis. Gelora Aksara:
Jakarta.

Você também pode gostar