Você está na página 1de 33

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan ini
Tak lupa pula kami menyampaikan terimakasih kepada Drs. H.. Khotim Absom,
MPd.I yang akan membimbing kami dalam materi seputar Ketuhanan dan
member tugas tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan ini. Kami juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman kelompok 1 MKU Agama 67
yang telah berkonstribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat tata bahasa maupun materi. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Tuhan Yang Maha Esa
dan Ketuhanan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Jember, Agustus 2018

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

Cover ........................................................................................ i
Kata Pengantar ....................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Filsafat Ketuhanan dalam Islam ...............................................
2.1.1 Tuhan ............................................................................
2.1.2 Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Tuhan .................
2.1.3 Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu ........................
2.1.4 Pembuktian Wujud Tuhan ............................................
2.2 Keimanan dan Ketaqwaan .........................................................
2.2.1 Pengertian Iman Wujud Iman ......................................
2.2.2 Proses Terbentuknya Iman ..........................................
2.2.3 Tanda Orang Beriman .................................................
2.2.4 Korelasi Keimanan dan Ketakwaan .............................
2.3 Implementasi Iman dan Taqwa dalam Kehidupan Modern ..
2.3.1 Problematika, Tantangan, dan Risiko dalam Kehidupan
Modern ........................................................................
2.3.2 Peran Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problematika
dan Tantangan Kehidupan Modern .............................

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan & Saran ..................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta beserta isinya yang
meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-Nya, manusia
merupakan makhlukTuhan yang paling mulia karena m anusia diberi akal dan
budi pekerti untuk dapa tmenentukan mana yang baik dan yang buruk bagi
dirinya. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosialyaitu makhluk yang
saling membutuhkan untuk bergaul, berorganisasi, hidup bersama dan
berdampingan dengan manusia lainnya.
Setiap umat manusia harus beriman dan bertaqwa kepada Tuhan agar
hidupnya dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dengan melakukan
semua perintah dan menjauhi larangan-larangan-NYA, maka manusia akan
mendapat rahmat serta hidayah dari Tuhan. Perilaku beriman dan bertaqwa ini
sangat penting bagi semua kalangan, terutama manusia, melihat bagaimana
tingkah laku manusia pada jaman sekarang yang lebih maju dan mulai menggeser
kedudukan Tuhannya sendiri. Tidak sedikit manusia yang melanggar peraturan
Tuhan, entah itu disengaja atau tidak disengaja, namun kurangnya kesadaran
manusia dalam menaati peraturan dari Tuhan Yang Maha Esa akan
menjerumuskan manusia itu ke dalam kesengsaraan tak berujung di hari akhir
rnanti.
Serba modern, seperti itulah bagaimana orang mendeskripsikan tentang
berjalannya jaman ini. Semua sudah penuh akan fasilitas yang lebih memudahkan
manusia untuk melakukan semua kegiatannya di dunia, namun tidak sepantasnya
manusia melupakan kewajibannya dalam beriman dan bertaqwa padaTuhan. Di
jaman yang penuh akan kemajuan teknologi ini, manusia juga harus bisa
menerapkan sikap beriman dan bertaqwa itu sendiri.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja filsafat ketuhanan dalam Islam?
2. Apa pengertian keimanan dan ketaqwaan?
3. Bagaimana cara mengimplementasikan iman dan taqwa dalam kehidupan
moderrn?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui filsafat ketuhanan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui definisi dari keimanan dan ketaqwaan.
3. Untuk mempelajari cara menerapkan sikap beriman dan bertaqwa dalam
kehidupan modern.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Ketuhanan dalam Islam

2.2.1 Siapakah Tuhan itu?


Perkataan ilah, yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran
dipakai untuk menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau
dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya....?” Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah
dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri: “Dan Fir’aun berkata: Wahai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” Contoh
ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa
mengandung arti berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi
maupun benda nyata (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja).
Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad:
ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini), dan banyak (jama’: aalihatun).
Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti dengan
definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai
berikut: Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap
penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan
dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan
secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan,
diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan
termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut: Al-
ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya,
merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya
tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa, dan bertawakal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya,
dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta
kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56) Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa
berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak
mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-
Quran, setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan
begitu, orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun
Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “la ilaaha illa Allah”.
Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada
Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”. Hal
itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala
macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada
satu Tuhan, yaitu Allah.

2.2.2 Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan


1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia
adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui
pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal
teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari
kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi
sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan
Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:
 Dinamisme. Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif
telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatuyang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap
benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif
dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda
disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah
(Melayu), dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat
dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia
dapat dirasakan pengaruhnya.
 Animisme. Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran
roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai
roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif
sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang
apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia
tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun
adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
 Politeisme. Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama
tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi
sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut
dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan
bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain
sebagainya.
 Henoteisme. Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama
terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan
Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain.
Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme
(Tuhan Tingkat Nasional).
 Monoteisme. Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah
menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan
untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana
dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh
Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen.
Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat
yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada
wujud yang lain. Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka
berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang
evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara
evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang
dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan
didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif
adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).

2. Pemikiran Umat Islam


Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu
Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang
bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya
perbedaan metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan
pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional.
Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan pendekatan
antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat
antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak pemikiran ini telah
mewarnaisejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam. Aliran tersebut
yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di kalangan
muslim, menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua
ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar,
tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir
(manzilah bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan ilmu
logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah
muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan
ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam
perselisihan dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilahlahir sebagai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari
Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai
kebebasan berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki
apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia
harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa
manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat.
Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada di antara
Qadariah dan Jabariah Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran
ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya
aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-
aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia
keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu
berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya
lebih dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan
meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.

2.1.3 Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu


Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas
pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah
benar. Sebab Tuhan sesuatu yang ghaib, sehingga informasitentang Tuhan
yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil
renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain


tertera dalam:
1. QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah
adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia
menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan
kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka. Ayat tersebut
di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan konsep tentangajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga
sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya
melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama
dan Muhammad sebagai terakhir. Jika terjadi perbedaan- perbedaan ajaran
tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan
manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya,
merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah
Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan
tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada
beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah.
Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu
pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata
“Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq. Tuhan yang haq dalam
konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat
Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam
al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan
antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah
adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha
ayat 98, dan Shad ayat 4. Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di
atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan
yang benar- benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah
tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari
Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam
di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya
esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi
menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat
didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allahharus menempatkan
Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran
memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk
mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam
sikap dan praktik menjalani kehidupan.

2.1.4 Pembuktian Wujud Tuhan


1) Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah
metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan dan
pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar
indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada
analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini
agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal, sebab juga tidak
mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud
sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itumetode ini
juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan
sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi
ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris. Suatu percobaan
dipandang sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu
dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak dapat
dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah
dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlahmetode sains yang pasti,
karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat diamati
dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari
pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern
berpendapat bahwa kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya
merupakan interpretasi terhadap pengamatan dan pandangan tersebut
belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak sarjana percaya
padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung. Sarjana mana
pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada kata-kata
seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”.
Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya,
energi, alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu
memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama
seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat
Tuhan. Keduanya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak
diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada
yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan
ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya
berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup
agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir
dan asli, sedang ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada
pembahasan ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang
penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu
pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab
itu harus ditempuh bidang lain. Para sarjana masih menganggap bahwa
hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainyadari hakikat
yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati
adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan
bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut
dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada
hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan
buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan
yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2) Keberadaan Alam Membuktikan
Adanya TuhanAdanya alam serta organisasinya yang
menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan
penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu
“Akal” yang tidak ada batasnya. Setiap manusia normal percaya
bahwadirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar
itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah
dan kehidupan. Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika
harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang
mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya
Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah
diketahui adanya sesuatuyang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan.
Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh
karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian
luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta?
3) Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan bahwa alam
menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak
pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika”
(Second law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan
landasan berpijak. Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum
keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas
membuktikan bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali.
Hukum tersebut menerangkan bahwa energi panas selalu berpindah
dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas. Sedang kebalikannya
tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin berubah dari keadaan
yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh
keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja kimia dan fisika di
alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap berjalan. Hal itu
membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali. Seandainya
alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya, sesuai
dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.
Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan
4) Pembuktian Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi adalah bulan, yang
jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi bumi
dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari
sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari
matahari berputar pada porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan
menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali.
Di samping bumi terdapat gugus sembilan planet tata surya, termasuk
bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat tertentu, tetapi ia beredar
bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid mengelilingi garis
edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu masih ada
ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem mempunyai
kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar
pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar
pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000
tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar biasa dan
organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil semuanya ini
terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik
semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan
sistem yang luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah
Tuhan.Metode pembuktian adanya Tuhan melalui pemahaman dan
penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi istilah “dalil
ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain yaitu
“dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan
melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan
manusia (Zakiah Daradjat, 1996:78-80).

2.2 Keimanan dan Ketakwaan


2.2.1 Pengertian Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata
kerja amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman
yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati.
Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang
ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak
mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah
dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan
karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah
menjadi Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang
beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu
hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat
rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal
itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang
beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan
segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman
didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan
diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi
waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman
merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku
perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup
atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain
yang memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti
dalam surat an-Nisa’:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme)
dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52
dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil
berarti tidak benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan
dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara dalam al-Baqarah:
4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa un zila ilaika wamaa unzila min
qablika).Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-
Qur’an, mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak
dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai
iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman
bathil.
Wujud Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya
berarti percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim
untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman sangat luas, bahkan
mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut
amal saleh. Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap
sesuatu, melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan
dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan
hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan menyatu secara utuh dalam
diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama
Islam. Ia merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu
tindakan atau amal. Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan
muslim tergantung pada akidahnya. Apabila ia berakidah Islam, maka
segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai sebagai amaliah seorang
muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka segala amalnya
tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan bernilai
dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia
terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena
itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala
sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada
ajaran Islam.

2.2.2 Proses Terbentuknya Iman


Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas
dasar ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik.
Allah menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang
halalanthayyiban. Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang
hamil mempengaruhi psikis yang dikandungnya. Ibu yang mengandung
tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara tidak langsung pandangan
dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara psikologis terhadap bayi
yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang menginginkan
anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri hendaknya
berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan
pemupukan yang berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak
disertai pemeliharaan yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah.
Demikian pula halnya dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap
seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian seseorang, baik yang
datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan, maupun
lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak
langsung, baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh
terhadap iman seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga
senantiasa merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku
yang baik maupun yang buruk akan ditiru anak-anaknya. Jangan
diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya selalu melakukan
perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Setiap anak,
lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak
tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali
dengan proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau
benci. Mengenal ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman
kepada Allah. Jika seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang
tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada
Allah, maka ajaran Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai
dengan kemampuan anak itu dari tingkat verbal sampai tingkat
pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin, jika kepada
mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu
diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci
berubah menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk
melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang
dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi senang dan terampil
dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang
mudah dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan
yang tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap mental yang
tidak selalu mudah ditanggapi kecuali secara fisik langsung (misalnya,
melalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap
mental tersebut), bahkan secara tidak langsung itu adakalanya cukup sulit
menarik kesimpulan yang teliti. Di dalam tulisan ini dipergunakan istilah
tingkah laku dalam arti luas dan dikaitkan dengan nilainilai hidup, yakni
seperangkat nilai yang diterima oleh manusia sebagai nilai yang penting
dalam kehidupan, yaitu iman. Yang dituju adalah tingkah laku yang
merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut tingkah
laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku
dapat dipengaruhi melalui campur tangan secara langsung, yakni dalam
bentuk intervensi terhadap interaksi yang terjadi.

Dalam hal ini dijelaskan beberap prinsip dengan mengemukakan


implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus
menerus, dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang
memungkinkan orang semakin lama semakin mampu bersikap selektif.
Implikasinya ialah diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung
seumur hidup. Oleh karena itu penting mengarahkan proses motivasi agar
membuat tingkah laku lebih terarah dan selektif menghadapi nilai-nilai
hidup yang patut diterima atau yang seharusnya ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma
dalam bentuk tingkah laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan
untuk menghayatinya melalui suatu peristiwa internalisasi (yakni usaha
menerima nilai sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi
(yakni menempatkan nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui
pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan
perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih wajar dan “amaliah”,
dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan dalam bentuk
“utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada anak
didik sebagaisuatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan
pentingnya mempelajari iman sebagai proses (internalisasi dan
individuasi). Implikasi metodologinya ialah bahwa pendekatan untuk
membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat
hanya mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus
mementingkan proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut
anak didik, hal ini bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan
sebaik-baiknya mengalami proses tersebut sebagai peristiwa pengalaman
pribadi, agar melalui pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai
iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti
apabila telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk
tingkah laku terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah diterima
secara sosial. Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha pembentukan
tingkah laku mewujudkan nilai iman hendaknya tidak diukur
keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu hanya dengan
memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai
individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan
interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus
terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses
individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke dalam tingkah laku
selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula
ditangani secara konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara
koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan antara nilai yang satu
dengan nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah bahwa usaha yang
dikembangkan untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang
mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten dan koheren.
Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat dihayati dalam sifat dan
bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah.
Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan
mendukung serta memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila
pendekatan yang konsisten dan koheren sudah tampat, maka dapat
diharapkan bahwa proses pembentukan tingkah laku dapat berlangsung
lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka pola tingkah laku sudah
tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan
setiap orang pada problematika kehidupan yang menuntut pendekatan
yang luas dan menyeluruh. Jarang sekali fenomena kehidupan yang berdiri
sendiri. Begitu pula dengan setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi
sosial. Oleh karena itu tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman
tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang
terhadap kehidupan, makin fungsional pula hubungan setiap bentuk
tingkah laku yang berhubungan dengan nilai iman yang dipelajari.
Implikasi metodologinya ialah agar nilai iman hendaknya dapat dipelajari
seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang terpisah-
pisah, tetapi melalui pendekatan yang integratif, dalam kaitan problematik
kehidupan yang nyata.

2.2.3 Tanda-tanda Orang Beriman


Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai
berikut:
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha
agar ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan
ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya
(al-Anfal: 2). Dia akan memahami ayat yang tidak dia pahami.
2. Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka
ilmu Allah, diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan
ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-
Anfal: 2, at-Taubah: 52, Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga
pelaksanaannya (al-Anfal: 3 dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun
sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera shalat untuk
membina kualitas imannya.
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-
Mukminun:4). Hal ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta
yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi,
agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin.
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga
kehormatan (al-Mukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang
baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah
Rasulullah.
6. Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6).
Seorang mu’min tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang
amanah dan menepati janji.
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74).
Berjihad di jalan Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan
ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki maupun dengan
nyawa.
8. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur:
62). Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin,
orang yang berpandangan dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.

Akidah Islam sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan


mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Maudadi
menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:
1. Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
2. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
3. Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
4. Senantiasa jujur dan adil
5. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan
dan situasi
6. Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
7. Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi
resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
8. Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
9. Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.

2.2.4 Korelasi Keimanan dan Ketakwaan


Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid
dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis
adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan
keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan
Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan
pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis
adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud
Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah,
berhubungan dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan
terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan
selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah).
Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain,
tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah
hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan
tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian
beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan
Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta
tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang yang
sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud
dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah
dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata
lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid
praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan
konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan
amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan
konteks. Dengan demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam
pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui pikiran, membenarkan
dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan
perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan
bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat
asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya.

2.3 Implementasi Keimanan dan Ketakwaan dalam Kehidupan


Modern
2.3.1 Problematika, Tantangan, dan Resiko dalam Kehidupan
Modern
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah
sosial-budaya yang sudah established, sehingga sulit sekali
memperbaikinya. Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti
berbicara tentang masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat.
Alam pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga
pergaulan hidupnya selalu dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam
maupun orang Islam dengan non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai
masyarakat yang antara satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu
digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai kehidupan yang terlibat dalam
wujud saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud
kehidupan yang berada pada ancaman kehancuran.Adopsi modernisme
(werternisme), kendatipun tidak secara total, yang dilakukan bangsa
Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang semi naturalis. Di sisi lain, diadopsinya idealisme juga telah
menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya tarik menarik
antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa Indonesia
bersikap tidak menentu.
Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing oleh
isme-isme tersebut.Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah
terpuruk. Hal ini karena diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan
korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu muncul konflik
di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai
qur’ani, karena pragmatis dan oportunis.Di bidang sosial banyak muncul
masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan pelanggaran
terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih
memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA oleh
anak-anak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih
terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia
dalam kehidupan modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu
merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi
tantangan yang amat berat dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan,
karena kalau masuk dalam kehidupan seperti itu, maka akan melahirkan
risiko yang besar. Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai
persoalan di atas, perlu diadakan revolusi pandangan. Dalam kaitan ini,
iman dan taqwa yang dapat berperan menyelesaikan problema dan
tantangan kehidupan modern tersebut.

2.3.2 Peran Iman dan Taqwa dalam Menjawab Problematika dan


Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut
ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada
kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan bendaOrang
yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kalau
Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun
yang dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan
bencana, maka tidak ada satu kekuatanpun yang sanggup menahan dan
mencegahnya. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat
mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan,
menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda kramat,
mengikis kepercayaan pada khurat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya.
Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat alFatihah ayat 1-
7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi mautTakut
menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di
antara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut
menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa
kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup
dan mati adalah firman Allah dalam QS 4 (al-Nisa’):78: “Di mana saja
kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan .Rezeki
atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena
kepentingan penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak segan-segan
melepaskan prinsip, menjual kehormatan, bermuka dua, menjilat, dan
memperbudak diri, karena kepentingan materi. Pegangan orang beriman
dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS 11 (Hud):6: “Dan tidak ada satu
binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya,
dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat
penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata. (lauh
mahfud)”.
4. Iman memberikan katentraman jiwa
BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sebelum mengenal Islam banyak pemikiran manusia tentang Tuhannya
terbukti dengan adanya beberapa pemikiran :
1. Pemikiran Barat, yaitu konsep berdasarkan pengalaman lahiriah ataupun
batiniah baik yang bersifat rasional ataupun batiniah . Teori ini dikemukakan oleh
Max Muller.
Proses perkembangan menurut teori evolusioner:
 Dinamisme yaitu mempercayai sesuatu yang ditunjukkan dengan benda
 Animisme yaitu mempercayai roh dengan menyediakan saji-sajian .
 Politisme yaitu mempercayai dewa
 Henotisme yaitu kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa .
 Monoteisme yaitu hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional .

2. Pemikiran umat Islam dengan memahami Al-Qur’an dan hadis dengan


pendekatan kontekstual .
Pembuktian wujud Tuhan :
 Metode pembuktian ilmiah
 Keberadaan alam membuktikan adanya Tuhan
 Pembuktian adanya Tuhan dengan pendekatan fisik
 Pembuktian adanya Tuhan dengan pendekatan astronomi

Kata iman berasal dari kata amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya.


Oleh karena itu, iman yang berarti percaya merujuk pada hati atau sikap batin.
Iman bukan hanya percaya melainkan keyakinan yang mendorong seorang untuk
berbaur .
Proses pembentukan iman diawali dengan proses perkenalan yang kemudian
menjadi senang/benci dalam mencapai iman kepada Allah swt.
Al-Qur’an menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman :
 Jika disebut nama Allah maka hatinya bergetar serta jika dibacakan ayat
Al-Qur’an maka hatinya bergejolak (Al-Anfal:2)
 Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras diiringi dengan do’a(Al-
Imran:120)
 Tertib dalam menjalankan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya(Al-
Anfal:3)
 Menafkahkan rezeki yang diterimanya(Al-Mukmin:4)
 Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga
kehormatan(Al-Mukminun:3,5)
 Memelihara amanah dan menepati janji(Al-Mukminun:6)
 Berjihad di jalan Allah dan suka menolong(Al-Anfal:74)
 Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin(An-Nur:62)

Peran iman dan takwa dalam problem dan tantangan kehidupan modern :
 Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasan benda
Kepercayaan dan keyakinan menghilangkan sifat mendewa-dewakan
manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan
kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan
pada khurat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya .
 Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah(Al-
Anisa:78)
 Iman menanamkan sikap”self help” dalam kehidupan
Banyak orang melepaskan pendiriannya karena kepentingan kehidupannya .
(Al-Hud:6)
 Iman memberikan ketentraman jiwa .

3.2 SARAN
Sebagai generasi muda dan sebagai mahasiswa yang berperan dalam agent
of change seharusnya kita membantu dalam perkembangan Islam serta berperan
aktif dalam perkembangan Islam modern . Di era modern nilai agama mulai luntur
di kalangan anak muda karena adanya pengaruh pergaulan . Saatnya kita sebagai
agent of change berperan dalam perubahan era modern yang tetap
mengedepankan agama sebagai pedoman dalam bertindak .
DAFTAR PUSTAKA

Filsafat Tuhan,2018, NanoPDF, dilihat 3 September 2018, <


https://nanopdf.com/download/filsafat-tuhan-wordpresscom_pdf>

Rangkuti, Ramlan Yusuf, n.d, Konsep Ketuhanan Dalam Islam, Univeritas


Sumatera Utara, dapat diunduh pada < ocw.usu.ac.id/course/download/111-Basic-
Biology-of-Clasic/bbc_slide_konsep_ketuhanan_dalam_islam.pdf>

Você também pode gostar