Você está na página 1de 45

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN KOLELITIASIS


Makalah dibuat untuk mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah yang diampu oleh Bapak
Mugi Hartoyo, MN

KELOMPOK 3 :

1. Sang Komang Proklamasindo M. P1337420617002


2. Hadania Madhita Tiara A. P1337420617010
3. Pita Puspa Ulhusnah P1337420617011
4. Erika Adidtya Ningrum P1337420617018
5. Cici silviani P1337420617034
6. Desy Salma Adibah P1337420617035
7. Yuni Tri Winanti P1337420617045
8. Achmad Faozi P1337420617047
9. Alifa Nur Fitriyani P1337420617052
10. Ni Luh Noni Andayani P1337420617071
11. Taufiq Qurrahman P1337420617076
12. Alifia Jaya Wandira P1337420617085

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2018
LEMBAR PENGESAHAN
MAKALAH

“ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN KOLELITIASIS ”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
Tahun Pelajaran 2018/2019

Telah disetujui dan disahkan pada:


hari :
tanggal :

Disusun oleh :
KELOMPOK 3

Menyutujui
Dosen Pembimbing,

Mugi Hartoyo, MN

NIP.196809201994031002

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN KOLELITIASIS ”

Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian kolelitiasis, anatomi
kantung empedu, klasifikasi batu empedu atau kolelitiasis, manifestasi klinis kolelitiasis,
patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan kolelitiasis, dan komplikasi
kolelitiasis.

Makalah ini telah penulis selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada
segenap pihak yang telah membantu secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang lain yang
membacanya.

Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun
isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , penulis selaku penyusun menerima segala
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 12 Oktober 2018

Penulis,

Mahasiswa Sarjana Terapan Keperawatan

iii
DAFTAR ISI
Halaman judul............................................................................ Error! Bookmark not defined.

lembar pengesahan .................................................................... Error! Bookmark not defined.

kata pengantar ........................................................................... Error! Bookmark not defined.

daftar isi ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.

Bab I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 5

1.1 latar belakang ............................................................................................................ 5

1.2 rumusan masalah ...................................................................................................... 5

1.3 tujuan makalah .......................................................................................................... 5

1.4 manfaat makalah ....................................................................................................... 6

Bab II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 7

2.1 Anatomi ...................................................................................................................... 7

2.2 Difinisi colelitiasis ..................................................................................................... 8

2.3 Etiologi colelitiasis ..................................................................................................... 8

2.4 Klasifikasi colelitiasis ............................................................................................. 10

2.5 Manifestai colelitiasis .............................................................................................. 12

2.6 Patofisiologi .............................................................................................................. 14

2.7 Pemeriksaan penunjang ........................................................................................ 24

2.8 Penatalaksanaan ...................................................................................................... 30

2.9 komplikasi ............................................................................................................... 34

2.10 ASKEP ..................................................................................................................... 37

Bab III PENUTUP ................................................................................................................. 43

3.1 Simpulan ................................................................................................................. 43

3.2 Saran......................................................................................................................... 44

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dewasa ini penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada kantung empedu
biasanya asimtomatis dan menyerang 10 – 20 % populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan ultrasonografi abdomen. Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55
sampai 65 tahun memiliki batu empedu. Cholesistektomi diindikasikan pada pasien
simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis )
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat
bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan
disebut sebagai batu saluran empedu sekunder. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu
dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa melibatkan
kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di
wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat. Perjalanan batu saluran empedu
sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu
kandung empedu asimtomatik.
Pada sekitar 80% dari kasus, kolesterol merupakan komponen terbesar dari batu empedu.
Biasanya batu - batu ini juga mengandung kalsium karbonat, fosfat atau bilirubinat, tetapi
jarang batu- batu ini murni dari satu komponen saja.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah yang kelompok angkat dalam makalah ini, antara lain :
1.2.1 Bagaimana konsep kolelitiasis?
1.2.2 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis?

1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini antara lain :
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep kolelitiasis.
Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.
5
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi kandung empedu.


2. Menjelaskan definisi kolelitiasis.
3. Menjelaskan klasifikasi batu empedu.
4. Menjelaskan etiologi kolelitiasis.
5. Menjelaskan manifestasi klinis kolelitiasis.
6. Menjelaskan patofisiologi kolelitiasis.
7. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic kolelitiasis.
8. Menjelaskan penatalaksanaan kolelitiasis.
9. Menjelaskan komplikasi kolelitiasis.
10. Menjelaskan prognosis kolelitiasis.
11. Menjelaskan WOC kolelitiasis
12. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan kolelitiasis.

1.4 MANFAAT
Menambah pengetahuan mahasiswa tentang konsep teori dan asuhan keperawatan pada
klien dengan kolelitiasis.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke
saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua
saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung
empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang
dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus
hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh
limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung
empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat
daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke
dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter
Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus
asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk
menimbulkan kontraksi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu
(kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul
sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan.

7
2.2 DEFINISI
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu
disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung
empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium
dan matriks inorganik.

2.3 ETIOLOGI
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu
adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh
karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
8
empedu. Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko
tersebut antara lain:

a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda.
c. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes
militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu
empedu kolesterol.
d. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat
badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam
empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
e. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
9
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor
predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
f. Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam
bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
g. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal
h. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
i. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol
dan meningkatkan resiko batu empedu.
j. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
k. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.4 KLASIFIKASI
Menurut Lesmana L, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran makroskopis
dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu kolesterol
10
- Soliter (single cholesterol stone) atau batu kolesterol tunggal
Tipe batu ini mengandung kristal kasar kekuning-kuningan, pada foto rontgen terlihat
intinya. Bentuknya bulat dengan diameter 4 cm, dengan permukaan licin atau noduler.
Batu ini tidak mengandung kalsium sehingga tidak dapat dilihat pada pemotretan sinar
X biasa.
- Batu kolesterol campuran
Batu ini terbentuk bilamana terjadi infeksi sekunder pada kandung empedu yaitu
mengandung batu empedu kolesterol yang soliter dimana pada permukaannya terdapat
endapan pigmen kalsium.
- Batu kolesterol ganda
Jenis batu ini jarang ditemui dan bersifat radio transulen.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
- Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat
adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya
disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi
saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari
bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya
batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu
dalam empedu yang terinfeksi.
- Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang
banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen
hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya

11
batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu
dengan empedu yang steril.
3. Batu campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (± 80 %), dan terdiri atas
kolesterol, pigmen empedu, berbagai garam kalsium dan matriks protein. Biasanya
berganda dan sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque. Batu kolesterol
mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium karbonat, kalsium
palmitit dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan bentuk batu
pigmen. Dapat berupa batu soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau
multifaset, bulat, berduri, da nada yang seperti buah murbei.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar mempunyai batu
asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah lima tahun.
Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena tidak menimbulkan rasa nyeri dan
hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang ringan. Batu itu mungkin ditemukan

12
secara kebetulan pada saat dilakukan pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak
berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis
gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan
gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya
bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti rasa penuh, distensi abdomen,
dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa
padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berahir setelah
beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan
muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam setelah memakan makanan dalam
jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini cenderung meningkat
frekuansi dan intensitasnya. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena
tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri
bukan bersifat kolik melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada
daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan. Sentuhan ini akan
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga membutuhkan
preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin dianggap dapat
meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi
13
pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu
getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan
penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan
ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
4. Prubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya
pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini
jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu proses
pembekuan darah normal. Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat
duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi
segera mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi
disertai peritonitis generalisata.

2.6 PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN BATU EMPEDU


Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya
merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang
merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:
1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan
duktus hepatikus kanan dan kiri)
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen pada
dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehinggakan
patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:
1. Patofisiologi batu kolesterol
2. Patofisiologi batu berpigmen
14
2.6.1 Patofisiologi batu kolesterol
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama
yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan
- Supersaturasi kolesterol empedu
- Hipomotilitas kantung empedu
- Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
- Hipersekresi mukus di kantung empedu
Supersaturasi kolesterol empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada metabolisme
kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh
komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti garam empedu dan
fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam empedu dapat berbentuk
misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal. Umumnya pada keadaan normal
dengan saturasi kolesterol yang rendah, kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu
agregasi lipid dengan komponen berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil
terarah keluar dari inti misel dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara
komponen rantaian hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol yang
akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel. Vesikel
kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan memiliki
fosfolipid dwilapisan tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel, komponen
berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan dengan fase berair
ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik membentuk bagian dalam
dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier diangkut dalam bentuk misel, yang
mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel. Umumnya, konformasi vesikel
berpredisposisi terhadap pembentukan batu empedu karena lebih cenderung untuk
beragregasi dan bernukleasi untuk membentuk konformasi kristal.. Empedu yang
tersupersaturasi dengan kolesterol akan berwujud lebih dari satu fase yaitu dapat dalam
bentuk campuran fase misel, vesikel maupun kristal dan cenderung mengalami

15
presipitasi membentuk kristal yang selanjutnya akan berkembang menjadi batu
empedu.
Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk
vesikel unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi
hingga membentuk vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil.
Agregasi dan fusi yang berlanjutan akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat
menerusi proses nukleasi. Teori terbaru pada saat ini mengusulkan bahwa
keseimbangan fase fisikokimia pada fase vesikel merupakan faktor utama yang
menentukan kecenderungan kristal cairan untuk membentuk batu empedu. Tingkat
supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan
litogenisitas empedu. Faktor-faktor yang mendukung supersaturasi kolesterol empedu
termasuk:
1) Hipersekresi kolesterol.
2) Hiposintesis garam empedu / perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
3) Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid.
Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama supersaturasi kolesterol
empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
1) Peningkatan uptake kolesterol hepatik
2) Peningkatan sintesis kolesterol
3) Penurunan sintesis garam empedu hepatik
4) Penurunan sintesis ester kolestril hepatik
Penelitian mendapatkan penderita batu empedu umumnya memiliki aktivitas
koenzim A reduktase 3-hidroksi-3-metilglutarat (HMG-CoA) yang lebih tinggi
dibanding kontrol. Aktivitas HMG-CoA yang tinggi akan memacu biosintesis
kolesterol hepatik yang menyebabkan hipersekresi kolesterol empedu. Hipersekresi
kolesterol mengakibatkan konsentrasi kolesterol yang melampau tinggi dalam empedu
hingga terjadi supersaturasi kolesterol dan ini menfasilitasi pembentukan kristal
kolesterol sesuai dengan gambaran pada diagram keseimbangan fase.
Garam empedu dapat mempengaruhi litogenisitas empedu sesuai dengan perannya
sebagai pelarut kolesterol empedu. Hiposintesis garam empedu misalnya pada keadaan
mutasi pada molekul protein transpor yang terlibat dalam sekresi asam empedu ke
16
dalam kanalikulus (disebut protein ABCB11) akan menfasilitasi supersaturasi
kolesterol yang berlanjut dengan litogenesis empedu. Komposisi dasar garam empedu
merupakan asam empedu di mana terdapat tiga kelompok asam empedu utama yakni:
1) Asam empedu primer yang terdiri atas asam kolik dan asam kenodeoksikolik.
2) Asam empedu sekunder yang terdiri atas asam deoksikolik dan asam litokolik.
3) Asam empedu tertier yang terdiri atas asam ursodeoksikolik.
Ketiga kelompok ini membentuk cadangan asam empedu tubuh (bile acid pool) dan
masing-masing mempunyai sifat hidrofobisitas yang berbeda. Sifat hidrofobisitas yang
berbeda ini akan mempengaruhi litogenisitas empedu. Semakin hidrofobik asam
empedu, semakin besar kemampuannya untuk menginduksi sekresi kolesterol dan
mensupresi sintesis asam empedu. Kombinasi dari kedua-dua hal ini akan menjurus
kepada empedu yang litogenik. Konsentrasi relatif tiap asam empedu yang membentuk
cadangan asam empedu tubuh akan mempengaruhi CSI karena memiliki sifat
hidrofobisitas yang berbeda. Asam empedu primer dan tertier bersifat hidrofilik
sementara asam empedu sekunder bersifat hidrofobik. Penderita batu empedu
umumnya mempunyai cadangan asam kolik yang kecil dan cadangan asam deoksikolik
yang lebih besar. Asam deoksikolik bersifat hidrofobik dan mampu meningkatkan CSI
dengan meninggikan sekresi kolesterol dan mengurangi waktu nukleasi. Sebaliknya,
asam ursodeoksikolik dan kenodeoksikolik merupakan asam empedu hidrofilik yang
berperan mencegah pembentukan batu kolesterol dengan mengurangi sintesis dan
sekresi kolesterol. Asam ursodeoksikolik turut menurunkan CSI dan memperpanjang
waktu nukleasi, diduga dengan cara melemahkan aktivitas protein pronukleasi dalam
empedu. Sembilanpuluh lima persen dari pada fosfolipid epedu terdiri atas lesitin.
Sebagai komponen utama fosfolipid empedu, lesitin berperan penting dalam membantu
solubilisasi kolesterol. Mutasi pada molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein
ABCB4) yang berperan dalam sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam
empedu terkait dengan perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.
Hipomotilitas kantung empedu
Motilitas kantung empedu normal merupakan satu proses fisiologik yang mencegah
litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu secara berterusan dari kantung
empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung
17
empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus menerusi duktus empedu
secara optimal dan ini menfasilitasi pembentukan kristal kolesterol halus yang
cenderung bernukleasi dan berkembang menjadi batu empedu. Perlambatan evakuasi
kantung empedu membolehkan absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa secara
melampau hingga terjadi peningkatan konsentrasi empedu dan ini mempergiat proses
litogenesis empedu. Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat:
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi: Perubahan tingkat hormon
seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya somatostatin dan
estrogen. Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
b. Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada
batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas
kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang
menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal
yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema
sel otot tersebut. Secara klinis, penderita batu empedu dengan defek pada motilitas
kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan
terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual
kantung empedu yang lebih besar.
Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat menyebabkan stasis
kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko pembentukan batu empedu karena
gel musn akan terakumulasi sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan
empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini
berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam
empedu dan fosfolipid berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi.
Stasis yang berlangsung lama menginduksi pembentukan lumpur bilier
(biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan kecederaan medula spinalis,
pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan
pada keadaan penurunan berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal
dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu
yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan
18
mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu
empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi
berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier
merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses
nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada
empedu supersaturasi.
Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur
antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung
oleh empedu. Penelitian in vitro model empedu mendapatkan bahwa faktor pronukleasi
berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi berinteraksi dengan
kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling penting termasuk
glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti menginduksi
pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah
hidrofobik yang mampu mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan
vesikel yang kaya dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini
diduga memacu proses nukleasi.
Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem empedu
termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin dan glikoprotein
asam. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi intestinal distal oleh spesies
Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi nukleasi kolesterol empedu. Proses
nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya mikropresipitat garam kalsium inorganik
maupun organik.2 Faktor antinukleasi termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA),
apoA-I dan apoA –II. Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar
daripada faktor-faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung
lama selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah
terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi

19
yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis
empedu.

Hipersekresi mukus di kantung empedu


Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian prekursor
yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu hewan. Mukus
yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol makroskopik karena mukus
dalam kuantitas melampau ini berperan dalam memerangkap kristal kolesterol dengan
memperpanjang waktu evakuasi empedu dari kantung empedu. Komponen glikoprotein
musin dalam mukus ditunjuk sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat
yang menfasilitasi aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini,
stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun
prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
2.6.2 Patofisiologi batu berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu
berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
Patofisiologi batu berpigmen hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat
(khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi
hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi
normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase endogenik
membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme
asidifikasi empedu akibat daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau
menurunnya kapasitas “buffering” asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan
menfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan
terjadi pada keadaan empedu dengan PH yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut
dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak
terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan berakhir
dengan pembentukan batu berpigmen hitam.

Patofisiologi batu berpigmen coklat


20
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai
dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu. Infeksi
traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus
atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta
Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu. Mikroorganisma
enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase, fosfolipase A dan hidrolase
asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut didapatkan seperti berikut:
- Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan
pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
- Fosfolipase a menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
palmitik).
- Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium
dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat terendap lalu berkristalisasi
sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis
empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan
glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus
yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada musin endogenik.

21
22
23
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase
alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap
kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak
meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorbs vitamin K.
2.7.2 Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat
tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis

24
2.7.3 Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran
kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura hepatika.
Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai
diagnostiknya rendah.

Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis


2.7.4 Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu,
pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan
memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya
25
sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound
berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang
oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu
kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%.
Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari
gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk
mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien
dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan
US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat
umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon
dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

26
2.7.5 Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung
empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada foto
rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi
terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut kontras
tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

27
2.7.6 Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum
pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk
memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga
memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam
duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

2.7.7 Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung
ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan
relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus
dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

28
2.7.8 Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis

2.7.9 Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance


cholangiopancreatography (MRCP)

29
2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1 Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut nyeri
kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit, dan jika
memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi, prosedur-
prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesic dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap

30
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih.
Doasisnya 8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien
mengalami kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu
radiolusen secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam
kenodeoksikolat. Efek sampingnya tidak ada. Kemungkinan kombinasi asam
ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5 mg/kg/hari asam kenodeoksikolat
lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat
dibandingkan dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang
sama. Mekanisme kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan
sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat
dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga 12
bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien dipantau.
Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini dilakukan pada
pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu beresiko untuk
menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
31
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik, atau
muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat rendaman air
atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dkonvergensikan tersebut
dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah. Setelah batu dipecah secara
bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu atau duktus
koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau dilarutkan dengan pelarut asam
empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau
duktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound,
laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan cara
irigasi dan aspirasi.
2.8.2 Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
batu empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi segera
dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah sakit yang
sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan medis, atau jika

32
ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat harus
dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin
dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan waktu
rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari kurva
pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan
operasi yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier
tidak jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu
atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat
dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter
atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari
serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani kolesistektomi.
33
Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki angka moertalitas
yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang disebabkan oleh
proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru
atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan
lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu dengan dipandu
oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk memastikan bahwa
penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah kateter dimasukkan ke
dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi saluran empedu. Dengan
prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta tanda-tanda
dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.

f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke
dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter
ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga
mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama
kolesistektomi.
2.9 KOMPLIKASI
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun
terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap makan mungkin dapat
terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya
kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesitoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
34
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal
ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus
koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut beberapa penjelasan
tentang komplikasi kolelitiasis:
a. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan adanya
mukosa gundul. Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi steril
mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops
kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.
b. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi
lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit,
peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi kolesistisis
akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
- Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis
supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam
tinggi, menggigil dan leukositosis.
- Nekrosis dan Perforasi

35
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi.
Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-
Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya
rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang
baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih
bias memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan
pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula
saluran empedu.
- Pritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
c. Kolesistitis kronis
- Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding
organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi
nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke
dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan
organ-organ tersebut.
d. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan
oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal
dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap. Duktus
koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif,
terutama di daearah ampula vetri.
e. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran pankreas.
Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus bergerak menutupi
ampula vetri.

36
2.10 ASUHAN KEPERAWATAN
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik
untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut
yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
- Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua
data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
- Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama,
umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas.
- Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif
atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu
bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar
kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal
atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan
nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
37
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke punggung
atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
- Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis.

c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1. B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2. B2-Blood
Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
3. B3-Brain
4. B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
5. B5-Bowel
Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris sehingga
pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
6. B6-Bone

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
b. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
c. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
d. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
e. Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik
f. Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif

3. Prioritas Diagnosa
38
No Diagnosa
Priorotas

1 Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi


Kandung Empedu.

2 Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri

3 Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri

4 Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri

5 Kerusakan Integritas Kulit

6 Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur


Invasif

4. Tabel Intervensi Keperawatan


Diagnosa
NIC NOC Rasional
Keperawatan
Nyeri akut Penatalaksanaan Nyeri Nyeri: Efek 1. Membantu membedakan
: meringankan atau Merusak : efek penyebab nyeri dan memberikan
mengurangi nyeri sampai merusak dari nyeri informasi tentang
pada tingkat kenyamanan terhadap emosi dan kemajuan/perbaikan penyakit,
yang dapat diterima oleh perilaku yang terjadinya komplikasi dan
pasien. diamati atau keefektifan intervensi.
1. Lakukan pengkajian dilaporkan. 2. Meningkatkan istirahat,
nyeri yang komprehensif Dibuktikan dengan memusatkan kembali perhatian,
meliputi lokasi, indikator berikut : dan meningkatkan koping dalam
karakteristik, mengatasi nyeri.

39
awitan/durasi, frekuensi, 1. Pasien akan 3. Meringankan nyeri akibat
kualitas, intensitas atau melapor bahwa nyeri pascaoperasi (manajemen nyeri).
keparahan nyeri, dan akan hilang (4) 4. Meminimalkan ketidaknyaman
faktor presipitasinya. 2. Pasien akan akibat nyeri.
2. Ajarkan penggunaan menunjukkan
teknik nonfarmakologi penggunaan
(misalnya, umpan balik keterampilan
biologis, transcutaneous relaksasi dan aktifitas
electrical nerve hiburan sesuai
stimulation (TENS), indikasi untuk situasi
hipnosis, relaksasi, individual (4)
imajinasi terbimbing, 3. Penurunan
terapi musik, distraksi, penampilan peran
terapi bermain, terapi atau hubungan
aktivitas, akupresur, interpersonal (4)
kompres hangat/dingin, 4. Gangguan kerja,
dan masase) sebelum, kepuasan hidup atau
setelah dan jika kemampuan untuk
memungkinkan, selama mengendalikan (4)
aktivitas yang
menyakitkan; sebelum
nyeri terjasi atau
meningkat; dan selama
penggunaan tindakan
pengurangan nyeri yang
lain.
3. Kelola nyeri
pascaoperasi awal dengan
pemberian opiat yang
terjadwal (misalnya,

40
setiap 4 jam atau 36 jam)
atau PCA.
4. Berikan perubahan
posisi, masase punggung,
dan relaksasi.

Ketidakefektif Pengelolaan jalan nafas: Status Respirasi: 1. Kedalaman inspirasi dan


an Pola Nafas Fasilitasi untuk kepatenan Pergerakan udara ke kemudahan bernafas merupakan
jalan nafas. dalam dan ke luar indicator efektif atau tidaknya
1. Pantau paru-paru. pola nafas.
kecepatan,irama, ditandai dengan 2. Tidak adanya otot bantu
kedalaman dan usaha indikator: pernafasan menandakan pola
respirasi. 1. Kedalaman nafas dalam keadaan normal
2. Informasikan kepada inspirasi dan 3. Pada pernafasan normal tidak
pasien dan keluarga kemudahan bernafas terdengar suara nafas tambahan.
tentang tehnik relaksasi (3) 4. Nafas pendek menandakan pola
untuk meningkatkan pola 2. Tidak ada otot nafas terganggu.
pernafasan bantu (3)
3. Berikan obat nyeri 3. Bunyi nafas
untuk pengoptimalan pola tambahan tidak ada
pernafasan. (3)
4. Posisikan pasien untuk 4. Nafas pendek tidak
mengoptimalkan ada (3)
pernafasan.

41
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu Empedu
adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu
yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam
saluran empedu disebut koledokolitiasis. komponen utama dari batu empedu adalah
kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena
kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
empedu. Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya batu empedu antara lain adalah usia,
jeniskelamin, obesitas, aktifitas, dan lainnya.
Patofisiologi pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya
merupakan satu proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar
yang merangkum tiga proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:
1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan
duktus hepatikus kanan dan kiri)

Untuk mengatasi batu empedu atau colelitiasis ada beberapa cara yaitu melalui
pembedahan dan non pembedahan. Penatalaksanaan non pebedahan yaitu diet dan terapi
farmakologi. Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesic dan antibiotik. Intervensi bedah
harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang lengkap dapat dilaksanakan,
kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk. Sedangkan farmakoterapi dengan Asam
Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak mengalami
kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier, sehingga diperlukan
dosis 18-20 mg/kg/hari.
Dengan pembedahan Kolesistektomi laparoskopi. Indikasi awal hanya pasien dengan
batu empedu simtomatik tanpa adanya kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya

42
pengalaman, banyak ahli bedah mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan
kolesistisis akut dan dalam pasien dengan batu duktus koledokus

3.2 SARAN
Berdasarkan hasil penyusunan makalah ini, maka dapat dibuat saran sebagai
berikut : Penulis berharap akademik dapat menyediakan sumber buku dengan tahun dan
penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan makalah ini dan
dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama dengan pembuatan asuhan keperawatan
dalam praktek maupun teori.
Bagi perawat supaya dapat meningkatkan mutu pelayanan, lebih ramah lagi
terhadap pasien dan dapat memberikan asuhan keperawatan dengan sebaik-baiknya.

43
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan


Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Kurnia, Nila Ramdani. “Kolelitiasis” (Online)
http://bedahmataram.org/index.php?option=com_content&view=article&id=104:kolelitiasis-
ur&catid=43:regfrat-urologi&Itemid=81. (Diakses 12 oktober 2018; 18.00).
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Sanjaya, Arif. “Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu” (Online) http://penyuluhan-
kesehatan.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-pembentukan-batu-empedu.html (Diakses 12
oktober 2018; 10.30)
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria
Hasil NOC. Jakarta : EGC

44
45

Você também pode gostar