Você está na página 1de 9

ANALISIS KASUS HUMAN TRAFFICKING

Putusan Nomor 267/Pid.Sus/2017/PN Pya

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tindak Pidana Khusus

Dosen Pengampu:

Dr. Somawijaya S.H., M.H.

Budi Arta Atmaja, S.H., M.H.

Disusun oleh:

110110160073 Balqis Mar’atus Sholehah

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
KASUS POSISI

Nama lengkap : Alwy Tofan Barakbah Bin Abu Bakar

Tempat lahir : Malang

Umur/Tanggal Lahir : 32 Tahun/25 November 1984

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Gang Nurul Iman Dusun Kekari Timur RT.007 RW.000 Kelurahan
Kekari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa
Tenggara Barat.

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Kasus ini bermula sekitar bulan Agustus 2016, Korban Misnah didatangi oleh
Hj.Zakiyah di rumahnya di Pringgarata dibujuk untuk bekerja di Arab Saudi namun pada
saat itu Korban Misnah menolak dengan alasan bahwa ke Arab Saudi sudah ditutup
namun Hj. Zakiyah terus meyakinkan bahwa jalur ke Arab Saudi sudah di buka lagi dan
resmi. Kemudian Hj. Zakiyah membawa korban Misnah ke PT Mushofahah Maju Jaya
di Kabupaten Lombok Tengah dan bertemu dengan terdakwa sebagai Kepala Cabang
PT. Mushofahah Maju Jaya dan melakukan interview awal serta medical check up di
Praya. Bahwa dalam interview Terdakwa menawarkan pekerjaan sebagai cleaning
service namun tiba disana bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) dengan
gaji 1.200 real dan mampu bekerja kontrak selama 3 bulan tidak menetap. Setelah hasil
medical check up keluar, terdakwa menerima berkas dari korban Misnah untuk
pembuatan paspor di Mataram. Namun permohonan pembuatan paspor korban Misnah
adalah untuk umroh bukan untuk bekerja di luar negeri. Lalu paspor tersebut dikirim ke
kedutaan Arab Saudi dan korban Misnah siap diberangkatkan ke Jakarta. Terdakwa
memberikan uang fit kepada Korban Misnah sebesar Rp. 3.500.000 sebelum
berangkat ke Jakarta. Kemudian Korban Misnah berangkat ke Jakarta menggunakan
pesawat Lion Air. Dan ditampung di dalam rumah Pa Yanto, orang yang menjemput
korban bersama teman yang lain sebanyak 50 orang menginap 2 hari dan tidak
diperbolehkan kemana-mana. Selanjutnya korban diberangkatkan ke Surabaya
bersama teman-temannya ditampung di sebuah rumah dan keesokan harinya
berangkat ke Malaysia, ganti pesawat menuju Singapura over pesawat menuju
Colombo selanjutnya tukar lagi pesawat menuju Doha dan terbang lagi menuju Riyadh
dijemput oleh laki-laki Arab dan dibawa ke penampungan Masjid Abdulrahman Al
Jeraisy.

Bahwa selama setengah bulan dipenampungan semua HP dirampas dan


dilarang menghubungi keluarga. Korban Misnah mendapat pekerjaan di dua rumah
yakni rumah ibu dan anak dua tingkat kerja hampir 24 jam bergantian dua rumah.
Disana korban Misnah hanya diberi makan sehari sekali serta istirahat hanya sekitar
dua jam sehari. Korban selama bekerja tidak pernah menerima gaji sama sekali sampai
dipulangkan ke Indonesia, yang ada hanya menerima tamparan dan makian saat
meminta gaji untuk biaya berobat sakit karena dua kali kesetrum listrik. Dan mendapat
kekerasan psikis berupa ancaman sehingga membuat korban merasa tertekan karena
pernah beberapa kali melihat teman lainnya di pukul dan di tendang serta di ancam
akan di cambuk dan di setrum di ruangan kusus.
ANALISIS KASUS

Tindak pidana perdagangan orang termasuk ke dalam klasifikasi tindak pidana


khusus dikarenakan pengaturannya diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Keberadaan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengenai
penjualan anak dan pemaksaan hubungan seksual terhadap wanita dan anak untuk
tujuan komersial atau tujuan tertentu lainnya telah diatur, juga adanya Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, namun tetap saja belum mampu
menangkap kompleksitas persoalan perdagangan orang, apalagi bila hanya
menggunakan Pasal 297 KUHP yang berbunyi: “Perdagangan wanita dan anak lakilaki
yang belum cukup umur, diancam dengan pidana paling lama enam tahun”. Dalam hal
ini juga pemerintah Indonesia pada tanggal 12 Desember 2000 telah menandatangani
protokol yang kemudian lebih popular dengan sebutan Palermo Protokol untuk
mencegah, memberantas, dan menghukum perdagangan orang terutama perempuan
dan anak.1 Lalu lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), yang secara khusus
mengatur perdagangan orang dan bisa mengakomodir substansi perdagangan orang
secara komprehensif.

Dalam pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa:

“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,


pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehinga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Menurut data pemerintah Indonesia, seperti dikutip dalam laporan, sekitar enam
juta warga Indonesia menjadi pekerja migran di luar negeri, termasuk 2,6 juta pekerja di

1Bastianto N dan M. Roesli, Analisa Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jurnal Bina Mulia
Hukum, Vol. 2 Nomor 1, September 2017.
Malaysia dan 1,8 juta di Timur Tengah. Dari keseluruhan pekerja migran itu, 4,3 juta di
antaranya berdokumen resmi dan 1,7 juta lainnya digolongkan sebagai pekerja tanpa
dokumen. Sekitar 69 persen pekerja migran Indonesia adalah perempuan. Jumlah TKI
yang menjadi korban perdagangan manusia atau TPPO meningkat. Data Serikat Buruh
Migran Indonesia menyebut, pada 2016-2017 terdapat 145 kasus TKI yang menjadi
korban TPPO.23 Pada kasus human trafficking yang dilakukan terdakwa Alwy Tofan
Barakbah Bin Abu Bakar dari pengertian Undang-undang tindak pidana perdagangan
orang dan beberapa Konvensi PBB yang berkaitan dengan perdagangan perempuan,
menurut Penulis kasus ini termasuk ke dalam bentuk perdagangan orang Pembantu
Rumah Tangga (PRT).

Berkaitan dengan kasus ini salah satu faktor terjadinya korban human trafficking
ini, Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai bentuk perdagangan perempuan bagi kaum
miskin perempuan di pedesaan. PRT merupakan sektor pekerjaan yang diincar, namun
karena rendahnya akses informasi pekerjaan, mereka jatuh ke tangan calo-calo yang
datang ke desa-desa menawarkan pekerjaan menjadi PRT. Oleh karena itu, dalam
perjalanan kerja seorang PRT akan berhadapan dengan calo-calo yang sangat
potensial melakukan kekerasan terhadapnya, baik secara fisik, psikis, maupun
ekonomi.4 Mengacu pada definisi human trafficking diatas kasus ini telah memenuhi 3
unsur tindak pidana perdagangan orang, yaitu:

1. Unsur Proses Rekruitmen

Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan


atau penerimaan seseorang oleh Terdakwa dimulai dari terdakwa dibawa untuk
melakukan medical check up, kemudian ke kantor imigrasi untuk membuat paspor, lalu
diberangkatkan menuju Jakarta dan kemudian ke Surabaya, lalu ke Malaysia ,
selanjutnya menuju Singapura, setelah itu melalui jalur Colombo dan Doha dengan

2 https://dunia.tempo.co/read/1086407/ini-indikasi-sederhana-perdagangan-manusia/full&view=ok suci
sekarwati 3:05 WIB
3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
4 Siti M dan Rahadi Wasi Bintoro, “Trafficking: Suatu Studi Tentang Perdagangan Perempuan Dari Aspek

Sosial, Budaya dan Ekonomi di Kabupaten Banyumas”, Fakultas Hukum Universitas Soedirman
Purwokerto, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9, No.1 Januari 2009.
tujuan ke Riyadh, selanjutnya di tampung di penampungan Abdul Majid Abdulrahman Al
jeraisy.

2. Unsur Cara

Terdakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang ini dengan cara


penipuan bahwa pada awalnya menawarkan pekerjaan dan menjanjikan kepada korban
untuk bekerja sebagai cleaning service namun pada kenyataannya korban bekerja
sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) hal ini termasuk dalam kejahatan TPPO.
Dalam pembuatan paspor pun permohonan ditujukan untuk umroh bukan untuk bekerja
di luar negerti. Serta penyalahgunaan posisi rentan bisa terlihat dari fakta ketika korban
berada di Jakarta dilarang untuk pergi dari rumah penampungan dan dikatakan kepada
korban kalau pergi keluar nanti bisa jadi tidak berangkat.

3. Unsur Tujuan

Tujuan terdakwa dari tindakan mengeksploitasi orang bekerja diluar wilayah


Republik Indonesia sebagai delik formil tanpa adanya perlindungan. Korban Misnah
tidak menandatangani perjanjian kerja dan tidak memiliki izin dari Dinas tenaga Kerja
serta tidak mempunyai asuransi kesehatan serta ketenagakerjaan, sehingga perbuatan
terdakwa terhadap korban untuk dipekerjakan di Arab Saudi adalah perbuatan dengan
tujuan untuk dieksploitasi sebagai delik materil. Eksploitasi sendiri diatur dalam UU
Nomor 21 Tahun 2007 pasal 1 ayat 7 yang menjelaskan bahwa:

“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi
tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau
praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual,
organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau
mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau
kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil.”

Dengan memperhatikan, Pasal 4 Jo Pasal 48 Undang-undang Nomor 21 tahun


2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Membawa warga negara Indonesia keluar
wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar
wilayah Negara Republik Indonesia”
Pada pasal 4 menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara
Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara
Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Berdasarkan amar putusan terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga)


tahun dan denda sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 1 (satu) bulan. Menurut Penulis hukuman ini sesuai dengan tindak pidana yang
telah dilakukan Terdakwa kepada Korban, Walaupun dalam perspektif yang berbeda
pemulihan kerugian yang besifat immaterial dan pemulihan kondisi psikologis korban
masih tidak terbayarkan. Didukung dengan keadaan-keadaan meringankan Terdakwa
seperti Terdakwa belum pernah dihukum, berlaku sopan di persidangan, mengakui
terus terang perbuatannya dan menyesali perbuatannya.

Dan pasal 48 menjelaskan sebagai berikut:

(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak
memperoleh restitusi.
(2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan;
b. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
c. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan
pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak
dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di
pengadilan tempat perkara diputus.
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi,
maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan
dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 1 ayat 13 UU Nomor 21 Tahun 2007 menjelaskan sebagai berikut:

Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku


berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian
materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Dalam kasus ini Terdakwa Alwy Tofan Barakbah Bin Abu Bakar
bertanggungjawab mengganti kerugian kepada korban Misnah, keluarga korban atau
orang yang bergantung kepada korban. Penggantian kerugian ini termasuk kembalinya
harta atau pembayaran untuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak. Di amar
putusan terdapat pembebanan kepada Terdakwa untuk membayar restitusi sebesar Rp
33.429.000,- dengan ketentuan apabila restitusi tersebut tidak dibayar, maka diganti
dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Secara psikologis perempuan korban trafficking pada kasus ini memiliki trauma
yang dalam karena rentetan peristiwa yang dialami. Bisa dilihat dari kesaksiannya
bahwa ia merasakan tekanan berupa kekerasan psikis berupa ancaman sehingga
membuat korban merasa tertekan karena pernah beberapa kali melihat teman lainnya
di pukul dan di tendang serta di ancam akan di cambuk dan di setrum di ruangan kusus.
Kondisi korban trafficking yang demikian, maka secara psikologis korban harus
didampingi untuk memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Kesehatan fisik dan
kejiwaan para korban harus di jadikan prioritas oleh negara, di samping memberi
fasilitas pendidikan bagi mereka untuk meningkatkan ketrampilan, baik itu berupa
pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan
mereka.
DAFTAR PUSTAKA

A. UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Perdagangan


Orang

B. JURNAL

Bastianto N dan M. Roesli, Analisa Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang,


Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2 Nomor 1, September 2017.
Siti M dan Rahadi Wasi Bintoro, “Trafficking: Suatu Studi Tentang Perdagangan
Perempuan Dari Aspek Sosial, Budaya dan Ekonomi di Kabupaten
Banyumas”, Fakultas Hukum Universitas Soedirman Purwokerto, Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 9, No.1 Januari 2009.
C. SUMBER LAINNYA

Suci Sekarwati, “Ini Indikasi Sederhana Perdagangan Manusia”,


https://dunia.tempo.co/read/1086407/ini-indikasi-sederhana-perdagangan-
manusia/full&view=ok diakses pada 2 Oktober 2018, 3:05 WIB

Você também pode gostar