Você está na página 1de 86

0|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok

KATA SAMBUTAN

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Dengan memanjatkan rasa syukur sambil memuji Allah yang Maha pemilik
ilmu, pantas sekali kita pada kesempatan ini selalu menyenandungkan kalimat do’a
untuk arwah junjungan umat Nabi Besar Muhammmad Salallahualaiwassalam.
Allahummashallia’ala Muhammad.
Simposium dan workshop yang diselenggarakan ini, merupakan hasil kerja
sama Perhati-KL cabang Sumatera Barat dengan Bagian Ilmu THT-KL FK Unand /
RSUP Dr M Djamil Padang dengan mengangkat topik “ Emergensi di bidang Telinga
Hidung Tenggorok’ di Pangeran Beach Hotel, Padang pada tanggal 9 Februari
2013.
Simposium dan workshop yang diselenggarakan kali ini bertujuan untuk
menumbuhkan semangat dan nuansa akademis dilingkungan sivitas akademika
dan yang paling penting adalah turut berpartisipasi dalam menyebarkan nilai-nilai
keilmuan terkini khususnya bidang Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok bedah
kepala leher. Dirasa tepat sekali simposium dan workshop kali ini, menghadirkan
para ahli yang sesuai dengan kepakarannya, sehingga disseminasi informasi
kepada sejawat-sejawat kita yang berada di layanan primer dapat terjangkau.
Peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam melakukan penatalaksanaan
yang cepat, tepat, baik, benar dan terukur dapat sejawat laksanakan di tempat
dimana sejawat melakukan layanan primer.
Kami sebagai panitia akan mencoba menyajikan yang terbaik dalam
Simposium dan Workshop ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr Wb

Ketua Panitia

Dr. Effy Huriyati, Sp.THT-KL

1|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


SUSUNAN PANITIA
SIMPOSIUM DAN WORKSHOP
EMERGENSI DI BIDANG TELINGA HIDUNG TENGGOROK

Pelindung : - Dekan FK Unand


: - Direktur Utama RSUP DR. M. DJAMIL Padang

Penasehat : Dr. H. Yan Edward, Sp.THT-KL(K)

Ketua : Dr. Hj. Effy Huriyati, Sp.THT-KL

Sekretaris : Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL

Bendahara : Dr. Jacky Munilson Sp. THT-KL

Seksi Ilmiah : Dr. Bestari J. Budiman, Sp. THT-KL


: Dr. Ade Asyari, Dr. Hidayatul Fitria, Dr. Sri Mulyani,
Dr. Surya Azani

Seksi Acara : Dr. Novialdi, Sp.THT-KL


Dr. Dolly Irfandy, Dr. Yelvita Roza, Dr. Seres Triola,
Dr. Yurni

Seksi Perlengkapan : Dr. Fachzi Fitri, Sp.THT-KL


Dr. Jon Prijadi, Dr. M. Rusli Pulungan, Dr. Deni Amri,
Dr. Histawara Subroto, Dr. Gunawan Yudhistira

Seksi Dokumentasi : Dr. Dedy Rusdi,


Dr. Aci Mayang Sari, Dr. Yolazenia, Dr. Delva Swanda

Seksi Konsumsi : Dr. Tuti Nelvia,


Dr. Wahyu Triana, Dr. Hanifatryevi

Seksi Transportasi : Dr. Nirza Warto, Sp. THT-KL


Dr. Ricky Octiza, Dr. Irwan Triansyah,
Dr. Ade Chandra

Kesekretariatan : Dr. Al Hafiz,


Dr. Rossy Rosalinda, Dr. Heru Kurniawan, Dr. Dini N,
Yulma Fitrida, Merina Fetriantina, A.Md

2|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


SUSUNAN ACARA
SIMPOSIUM DAN WORKSHOP
EMERGENSI DI BIDANG TELINGA HIDUNG TENGGOROK

JAM KEGIATAN PELAKSANA/PEMBICARA

07.00-08.30 Registrasi Ulang Panitia

08.30-09.00 Pembukaan Panitia

09.00-09.20 Benda Asing THT Dr. Jacky Munilson, Sp.THT-KL

09.20-09.40 Kegawatdaruratan Telinga Dr. H. Yan Edward, Sp.THT-KL(K)

09.40-10.00 Penatalaksanaan Sepsis Prof. DR. Dr. Asman Manaf, SpPD-KMED

10.00-10.30 Diskusi

10.30-10.50 Coffee Break

10.50-11.10 Epistaksis Dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL

11.10-11.30 Sinusitis dengan Komplikasi DR. Dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL(K)


(Jakarta)

11.30-12.10 Diskusi

12.10-13.15 ISHOMA + LUNCH SYMPOSIUM


Moderator: Dr. Hj. Effy Huriyati, Sp.THT-KL

13.15-13.35 Obstruksi Saluran Nafas Atas Dr. Novialdi, Sp.THT-KL

13.35-13.55 Abses Leher Dalam Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL

13.55-14.15 Penatalaksanaan Aspirasi Dr. Finny Fitri Yani, Sp.A(K)


Pneumonia pada Anak

14.15-14.45 Diskusi

14.45-16.00 Penutupan + Door Prize Panitia

3|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


DAFTAR PEMBICARA

Pembicara Simposium dan Workshop “Emergensi di Bidang Telinga Hidung


Tenggorok” :
1. Dr. Jacky Munilson, Sp.THT-KL
(Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang)
2. Dr. H. Yan Edward, Sp.THT-KL(K)
(Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang)
3. Prof. DR. Dr. Asman Manaf, SpPD-KMED
(Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP
Dr M DJamil Padang)
4. Dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL
(Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang)
5. DR. Dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL(K)
(Bagian Telinga Hidung Telinga Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia – RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta)
6. Dr. Novialdi, Sp.THT-KL
(Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang)
7. Dr. Sukri Rahman, Sp.THT-KL
(Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang)
8. Dr. Finny Fitri Yani, Sp.A(K)
(Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas – RSUP
Dr. M. Djamil Padang)

4|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


DAFTAR ISI

Kata Sambutan Ketua Panitia ……………………………………………………………………………1


Susunan Kepanitiaan ………………………………………………………………………………………..2
Susunan Acara ……………………………………….…………………………………………………………3
Daftar Pembicara ……………………………………………………………………………………………...4
Daftar Isi ………………………………………………………………………………..………………………...5
1. Benda Asing THT ………………………………………………………………….……………………..6
2. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak ……………………………………………………………..…20
3. Tuli Mendadak/Sudden Deafness ………………………………………..……………………..24
4. Penatalaksanaan Sepsis ………………………………………………..........................................28
5. Epistaksis ………………………………………………………………..………………………………..38
6. Komplikasi Orbita Akibat Rinosinusitis Akut : Pemahaman Anatomi
Sinus Paranasal dan Patogenesis untuk Penatalaksanaan Terkini…………………48
7. Obstruksi Jalan Nafas Atas ..………………………………………………………………………..59
8. Abses Leher Dalam …………………………………………………………………………………….69
9. Pneumonia aspirasi pada anak : Apa yang harus dilakukan ? ………………………78

5|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


Benda Asing THT

Dr. Jacky Munilson, Sp.THT-KL

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang

Pendahuluan
Benda asing di THT merupakan suatu kasus emergensi. Insiden kasus ini
11% dari semua kasus emergensi di bidang THT dan dapat ditemukan pada semua
usia, dewasa maupun anak-anak1,2 Benda asing pada anak sering ditemukan pada
usia dibawah 5 tahun karena keingintahuan anak dan adanya fase anal yang diikuti
oleh fase oral seperti yang deskripsikan oleh Sigmond Freud, menimbulkan
kecenderungan anak untuk manipulasi telinga, hidung, dan tenggorok. Faktor lain
yang berperan adalah kurangnya pemantauan terhadap anak, adanya benda tiruan
atau menyerupai, retardasi mental dan anak-anak dengan attention deficit
hyperactivity disorder.3
Benda asing di THT dapat diklasifikasikan atas benda asing hidup dan
benda asing mati (organik dan anorganik). Pengangkatan atau ekstraksi benda
asing membutuhkan pengetahuan yang baik tentang anatomi, alat, keterampilan
dan teknik tertentu sesuai dengan lokasi benda asing.3
Komplikasi karena benda asing diperkirakan 22% dari kasus. Faktor yang
berperan dalam komplikasi ini adalah jenis benda asing, lokasi benda asing,
peralatan medis, tenaga medis serta lamanya waktu masuk benda asing sampai
mendapat pertolongan medis.1

Benda asing di liang telinga


Benda asing di liang telinga dapat ditemukan pada semua usia dan paling
sering ditemukan pada anak-anak atau pasien dengan retardasi mental. Benda
asing dapat berupa benda asing hidup (serangga, cacing, larva) dan benda asing
mati berupa : organik (kacang, daun, patahan ranting dan lainnya) dan non organik
(peluru mainan, batu, kancing baju, lem / superglue dan lainnya). 4-6
Untuk mengeluarkan benda asing di liang telinga, seharusnya memahami
anatomi liang telinga. Liang telinga mempunyai panjang 2,5-3 cm dan diameter
sekitar 0,75 cm. 1/3 bagian luar merupakan tulang rawan dan pada 2/3 bagian
dalam merupakan tulang keras yang bersatu dengan tulang tengkorak. (gambar
1).7 Terdapat 2 daerah penyempitan pada liang telinga : pertama, pada pertemuan
antara tulang rawan dan tulang dan penyempitan kedua yaitu isthmus, ± 6 mm di
lateral membran timpani, dari isthmus ini, liang telinga akan membelok ke bawah
dan depan membentuk resessus anterior. Sulit untuk megeluarkan debris dan
benda asing dari resessus ini.8
6|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok
Tulang

kartilago

Isthmus
Gambar 1. Anatomi telinga luar (www.experthearing.com.au)

Benda asing di liang telinga dapat menimbulkan nyeri, gejala iritasi dan
penurunan pendengaran dan kadang-kadang kerusakan pada membran timpani. 4,5
Benda asing organik sangat mudah mengembang dan menyebabkan obstruksi,
ketulian, inflamasi dan nyeri, sedangkan benda asing anorganik akan menunjukkan
gejala dalam waktu yang lama.4
Pengangkatan benda asing dapat dilakukan dengan visualisasi yang optimal
dan kerjasama pasien. Instrumen dan bahan yang dibutuhkan dalam tindakan ini
adalah: lampu kepala, mikroskop (jika ada), forsep Alligator, ring currete, hooks,
suction, alat irigasi telinga dengan air, minyak mineral dan menggunakan lem
cyanoacrylate / superglue.5
Benda asing hidup (seperti serangga) harus dimatikan terlebih dahulu
dengan meneteskan eter, alkohol, minyak atau air garam ke dalam liang telinga
untuk mematikan serangga (jangan menggunakan alkohol bila terdapat perforasi
sebab bersifat ototoksik), sebab bila serangga masih hidup, kukunya akan
mencengkeram dinding liang telinga atau membran timpani ketika akan dilakukan
ekstraksi. Setelah benda asing mati kemudian diekstraksi dengan menggunakan
forcep.9
Benda asing organik yang kecil dapat diektraksi dengan pengait atau forsep.
Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, oleh
karenanya benda asing higrosopis dihindari agar tidak terkena cairan. 4 Benda
asing yang berada di lateral istmus dan benda asing yang berbentuk sferis, jika
masih ada celah antara benda asing dengan dinding liang telinga atau tidak terjadi
obstruksi komplit, dapat dikeluarkan dengan menggunakan hook atau ring
curretes melewati celah yang masih ada terus ke belakang benda asing dan
menariknya keluar (gambar 2).5 Benda asing bentuk sferis ini juga dapat
dikeluarkan dengan menggunakan lem cyanoacrylate (seperti alteco) pada ujung
cutton bud / klip kertas / kuas (alat untuk melukis) dan menempelkannya pada
benda asing yang ada di liang telinga.10 Benda asing yang licin dan keras, sulit
untuk di jepit, juga dapat dikeluarkan dengan menggunakan suction. Pada kasus

7|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


tertentu kadang dilakukan tindakan irigasi. Tindakan irigasi dapat dilakukan
dengan syarat membran timpani harus intak. Irigasi menggunakan air dengan
temperatur sesuai dengan temperatur tubuh dengan arah ke posterosuperior liang
telinga, sehingga air berada diantara benda asing dan dinding posterior liang
telinga (gambar 3). Irigasi jangan langsung ke membran timpani karena dapat
menyebabkan ruptur membran timpani.4,5

Gambar 2. Teknik mengeluarkan benda asing di liang telinga dengan menggunakan hook
dan bantuan spekulum telinga (otoscopy.hawkelibrary.com)

Gambar 3. Irigasi liang telinga untuk mengeluarkan benda asing (Bull TR. Color Atlas of ENT Diagnosis
4th edition)

Benda asing lem / superglue (seperti alteco) pernah dilaporkan masuk ke


dalam liang telinga dan menempel ke membran timpani. Benda asing ini dapat
dikeluarkan dengan menggunakan aseton (zat kimia yang digunakan untuk
membersihkan cat kuku) yang diteteskan dalam liang telinga, dibiarkan selama 1.5
jam, kemudian lem ini dilepaskan dengan pelan dan hati-hati. Zat lain yang dapat
digunakan adalah hidrogen peroksida, minyak sayur dan air hangat. 6
Bila kasusnya sulit misalnya benda asing terdapat di medial istmus atau di
resessus anterior dan pada anak yang tidak kooperatif perlu dikeluarkan dalam
anastesi umum, supaya tidak terjadi komplikasi dan terkadang dilakukan insisi
endaural atau insisi post aurikuler. 4,5,9
Pepatah lama mengatakan “ jika pada awalnya anda tidak behasil, maka
coba dan coba lagi”. Hal ini tidak berlaku untuk benda asing di liang telinga karena
berbagai usaha untuk mengeluarkan benda asing akan menimbulkan rasa nyeri,
risiko perdarahan, kecemasan pasien, pasien menjadi tidak kooperatif dan

8|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


komplikasi otologi yag serius. Komplikasi yang dapat terjadi seperti laserasi liang
telinga, perforasi membran timpani, kerusakan tulang-tulang pendengaran, tuli
saraf, vertigo, wajah mencong dan meningitis. Dapat disimpulkan bahwa pasien
seharusnya di rujuk ke dokter THT ketika lebih dari satu usaha atau lebih dari satu
alat dibutuhkan untuk mengeluarkan benda asing di liang telinga, terutama pada
anak-anak. Kesulitan mengeluarkan benda asing dari liang telinga bergantung
pada beberapa faktor, seperti terlihat pada tabel 1. Komplikasi yang serius dapat
terjadi karena kegagalan mengeluarkan benda asing dari liang telinga, rujukan ke
dokter THT seharusnya dilakukan pada kondisi yang melibatkan satu atau lebih
faktor yang tidak menguntungkan, seperti terlihat pada tabel 1.11

Tabel 1. Faktor-faktor yang menentukan kesulitan mengeluarkan benda asing (BA) dari liang
telinga11
Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang
Menguntungkan tidak menguntungkan
Lokasi BA pada separuh bagian Lokasi BA pada separuh bagian
lateral liang telinga medial liang telinga
BA dapat dijepit, ringan dan atau BA tidak dapat dijepit (bulat), padat
kecil (seperti kertas, kapas, busa) atau besar
Pasien kooperatif Pasien tidak kooperatif
Peralatan yang cukup Peralatan yang tidak cukup
Adanya video biofeedback Tidak adanya video biofeedback
Adanya mikroskop Tidak adanya mikroskop
Adanya celah anata BA dan dinding Adanya celah anata BA dan dinding
liang telinga untuk memasukkan liang telinga untuk memasukkan
hook atau alat lainya hook atau alat lainya
Tidak adanya perdarahan dan edema Adanya perdarahan dan edema liang
liang telinga telinga
Dokter yang berpengalaman Dokter yang tidak berpengalaman

Benda Asing di Hidung


Benda asing di hidung sering dijumpai pada anak balita terutama pada anak
yang hiperaktif, pada anak dengan retardasi mental dan dewasa. Ada 2 kategori
yang kita kenal yaitu: benda asing hidup seperti lintah (sering kita jumpai pada
petani yang bekerja di sawah dan di rawa), larva lalat dll; benda asing organik
seperti kacang tanah dan benda asing anorganik seperti mote (manik-manik),
mainan, kerikil, kertas/tisu, kapas logam, baterai jam (baterai cakram), peluru
pada luka tembak /kecelakan lalu lintas, dll.2,12
Benda asing di hidung pada anak-anak sering datang ke dokter umum atau
dokter jaga di ruang emergensi dan sering relatif mudah untuk dikeluarkan, tetapi
bila benda asingnya berupa baterai cakram (contohnya baterai jam), perlu
perhatian khusus dan dapat menjadi suatu tantangan karena berpotensi
menimbulkan kerusakan yang luas 13

9|Emergensi di Bidang Telinga Hidung Tenggorok


Gejala klinis benda asing di hidung adalah hidung tersumbat tiba-tiba dan
biasanya unilateral, anosmia ataupun hiposmia, setelah lebih 2-3 hari sekret
hidung menjadi mukos, mukopurulen, hidung berbau pada anak-anak dan pada
benda asing hidup dirasakan ada yang bergerak-gerak di dalam rongga hidung
dan hidung makin hari makin tersumbat.12 Pada beberapa kasus dapat disertai
dengan hidung berdarah.8 Jika benda asing mati telah cukup lama dalam rongga
hidung, akan menjadi nidus untuk deposisi garam kalsium dan magnesium yang
akan membentuk rinolith, yang bersifat radiopaque 14
Terkadang riwayat memasukkan benda asing dan pemeriksaan fisik sulit
untuk dilakukan, terutama jika pasien tidak kooperatif dan mukosa hidung sudah
udem. Radiologi mungkin dibutuhkan tetapi tidak akan menyingkirkan kecurigaan
jika hasilnya negatif. Oleh karena itu, pada kondisi ini diperlukan pemeriksaan
dalam anaestesi umum untuk menilai rongga hidung. 14

Gambar 4. Anatomi kavum nasi ( dinding lateral dan septum) (www.edoctoronline.com)

Teknik pengambilan benda asing hampir sama dimana benda asing


dikeluarkan lewat nares anterior dengan / tanpa anastesi umum. Sebaiknya
anatomi rongga hidung atau kavum nasi telah dipahami (gambar 4). Instrumen
yang diperlukan antara lain : lampu kepala, spekulum hidung, pinset hidung,
ekstraktor bengkok, forsep alligator dan suction.14
Pada saat mengeluarkan benda asing, posisi pasien duduk tegak di depan
pemeriksa dan jangan dibaringkan (seperti pada pasien anak), jangan mendorong
benda asing ke arah nasofaring untuk mencegah benda asing masuk ke saluran
nafas bawah.9,12 Anak-anak di pangku dengan posisi seperti pada gambar 5 dan
kepala difiksasi oleh asisten. Lampu kepala difokuskan ke lubang hidung. 12
Benda asing hidup, seperti lintah di hidung sebelumnya diteteskan air
tembakau ke dalam lubang hidung untuk melepaskan hisapan lintah. Setelah
spekulum hidung terpasang teteskan air tembakau kedalam lubang hidung,
biarkan 2-5 menit. Lintah akan terlepas dari mukosa hidung kemudian ditarik
dengan pinset atau forsep alligator.12 Myasis hidung disebabkan lalat common
Blow (screw-worn) dan lalat botol hijau yang bertelur di dalam kavum nasi. Lalat
ini hidup didaerah hangat dan kering. Lalat screw-worm (Cochliomia Americana)
serangga yang sering mengganggu di Amerika. Telur menetas dalam 24 jam
setelah diletakkan dihidung. Larva ini dapat merusak mukosa, kartilago dan

10 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
kadang-kadang dapat invasi ke intrakranial, meskipun jarang menyebabkan
meningitis yang fatal. Larva dimatikan terlebih dahulu, dapat dengan meneteskan
larutan eter, kemudian diekstraksi dengan forsep.12

Gambar 5. Posisi anak saat ekstraksi benda asing. Anak di fiksasi dengan kain bedong dan di pangku
oleh orang tua atau asisten, kepala di fiksasi oleh tangan kanan ke dada, tangan kiri fiksasi kedua
tangan anak dan kaki disilang untuk fiksasi kaki anak. 12

Benda asing mati dapat dikeluarkan dengan menggunakan ekstraktor


bengkok, dimana bagian yang bengkok dari ekstraktor / pengait dimasukkan ke
dalam lubang hidung, terus ke belakang benda asing kemudian ditarik ke depan
dan benda asing akan terdorong keluar melewati lubang hidung, seperti terlihat
pada gambar 6.12 Baterai cakram (seperti baterai jam tangan) di rongga hidung
dapat menyebabkan nekrosis disertai kerusakan jaringan yang luas sehingga harus
dikeluarkan sedini mungkin untuk mencegah sekuele seperti perforasi septum
atau stenosis rongga hidung. Loh dkk15, pada tahun 2004 merawat 6 orang pasien
anak dengan baterai cakram di kavum nasi, dengan onset paling cepat 4 jam dan
dari 6 pasien didapatkan perforasi septum pada 4 pasien.15

A B

Gambar. 6 A. Benda asing mainan dalam kavum nasi kiri, pada bagian atas masih ada celah
(http://www.sciencephoto.com). B. Masukkan ekstraktor/pengait bengkok melalui celah, sampai
melewati benda asing, kemudian tarik ke depan sehingga benda asing akan terdorong keluar
(www.czytelniamedyczna.pl)

11 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Benda Asing di Tenggorok
Benda asing di tenggorok (faring) merupakan keadaan emergensi di bagian
THT yang sering ditemukan. Benda asing yang biasa ditemukan adalah serpihan
tulang, tulang ikan, koin, jarum, kancing baju, pecahan gelas, gigi palsu, anting-
anting, pins, jarum dan bulu sikat gigi.2,8,16 Benda asing di faring dapat tertancap ke
dalam mukosa dan mungkin tidak terlihat, sehingga penting untuk mencermati
keluhan pasien dengan disfagia yang disertai odinofagia dan melakukan
pemeriksaan THT lengkap untuk mencegah komplikasi karena under diagnosis.15
Benda asing di tenggorok sering ditemukan di tonsil, dinding faring
posterior dan valekula dan yang paling sering adalah di tonsil (gambar 7). Gejala
klinis yang ditimbulkan adalah sensasi benda asing di tenggorok, nyeri di
tenggorok (odinofagia) dan meneteskan air liur.8 Benda asing dapat diekstraksi
dengan menggunakan lampu kepala sebagai sumber cahaya, cunam dan spatel
lidah.9 Abses leher dalam merupakan komplikasi dari benda asing di tenggorok.
Benda asing ikan di hipofaring pernah dilaporkan di bagian THT-KL RS. M.
Djamil padang akibat kecerobohan pasien yang meletakkan ikan yang baru di
tangkapnya di mulut. Benda asing ini menyebabkan sumbatan jalan nafas atas
sehingga membutuhkan tindakan trakeostomi darurat dan ekstraksi benda asing
dalam anstesi umum.

Gambar 7A Anatomi faring. Benda asing sering tertancap pada tonsil, valeculla dan dinding
faring posterior (nasal.usegrid.net & www.healthhype.com)

Gambar 7B. Tampak benda asing serpihan tulang ayam pada tonsil kanan (Chung S, Forte V,
Campisi P. A Review of Pediatric Foreign Body Ingestion and Management)

12 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Benda asing trakeo - bronkial
Aspirasi / inhalasi benda asing ke dalam jalan nafas dapat menimbulkan
masalah yang serius dan terkadang dapat menimbulkan akibat yang fatal. Tanpa
penanganan yang yang cepat dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada
anak-anak terutama pada anak usia di bawah 4 tahun.18
Benda asing di traktus trakeo-bronkial dapat menimbulkan gejala yang
bervariasi, tergantung letak benda asing di traktus trakeo-bronkial (gambar 8),
dimana gejala yang paling sering ditemukan adalah gejala sesaat setelah
teraspirasi (fase awal) : batuk tiba-tiba (coughing), rasa tercekik (chocking), rasa
tersumbat (gasping), menahan napas (gagging), mendehem, sesak nafas dan nafas
berbunyi.19
Setelah kondisi akut, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda dan
gejala aspirasi benda asing berkurang atau menghilang (disebut fase
asimptomatik) dan gejala dan tanda sesuai dengan lokasi tersangkutnya benda
asing (fase komplikasi).19
Benda asing di trakea akan menimbulkan tanda dan gejala, batuk hilang
timbul, mengi asmatis (asthmatoid wheeze), terdengar hentakan di trakea (audible
slap), teraba hentakan di trakea (palpatory thud), dispnea, retraksi otot
pernafasan, stridor inspirasi, gelisah dan sianosis. Benda asing di bronkus akan
menimbulkan tanda dan gejala benda asing, batuk tidak produktif, mengi
(wheezing), perkusi dinding dada : normal / redup / hipersonor sisi ipsilateral dan
pada auskultasi : suara nafas vesikuler melemah / hipersonor sisi ipsilateral.19

Gambar 8. Anatomi trakeo bronkial (www.shrestha.page)

Pemeriksaan radiologik leher-toraks dapat dilakukan sebagai pemeriksaan


penunjang. Benda asing metal dapat dilihat dengan pemeriksaan foto polos PA
(posterior-anterior) dan lateral, benda asing densitas rendah dibutuhkan foto

13 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
tehnik jaringan lunak, benda asing radiolusen dibutuhkan foto pada akhir inspirasi
dan ekspirasi.19
Jika salah satu / lebih dari tahapan di atas ( pada gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan penunjang) menunjukkan hasil positif maka diperlukan tindakan
pemeriksaan endoskopi berupa laringoskopi dan bronkoskopi kaku/ fleksibel.
Indikasi tindakan tersebut adalah untuk menegakkan diagnosis dan terapi yaitu
mengeluarkan benda asing dari traktus trakeo-bronkial.19
Tidak ada kontra indikasi absolut untuk tindakan endoskopi ini. Keadaan
urgen seperti asfiksia, bronkoskopi ditunggu sampai pulih dari syok, dehidrasi dan
fatique. Bila ada riwayat telah dikerjakan bronkoskopi sehari sebelumnya,
bronkoskopi ulangan ditunda beberapa hari.19
Komplikasi tindakan bronkoskopi adalah edema subglotik terutama pada
anak di bawah 2 tahun dengan benda asing berupa makanan. Hal ini dihindari
dengan tidak melakukan tindakan bronkoskopi yang berulang. Bila terjadi sub
glotik edema segera dilakukan trakeostomi rendah yaitu di bawah cincin trakea II.
Komplikasi lainnya adalah surgical syok, tergantung lamanya operasi, dianjurkan
bronkoskopi pada bayi 15 menit sedangkan untuk anak dibawah 5 tahun 30
menit.19

Benda Asing Esofagus


Benda asing di esofagus, 80%-90% dapat mencapai lambung tanpa
kesulitan, 10%-20% harus dikeluarkan dengan ekstraksi dan 1%-2% diantaranya
membutuhkan tindakan pembedahan.20

Gambar 9. Anatomi Esofagus dengan empat penyempitan fisiologis (Probst R, Grevers G, Iro H : Basic
Otorhinolaryngology A Step-By-Step Learning Guide)

Benda asing pada anak-anak (usia < 3 tahun) biasanya koin, mainan dan
baterai sedangkan pada dewasa yang sering adalah daging, tulang ikan dan pada
orang tua adalah gigi palsu. 21 BA dapat tersangkut dimana saja sepanjang level
14 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
esofagus, tetapi biasanya paling sering pada penyempitan fisiologis, tepat di bawah
otot krikofaring atau di bawah spinchter bagian atas dengan insiden 84% (gambar
9). Sekitar 42% BA tersangkut di atas spinchter bagian bawah. Jackson(1950),
seperti yang menduga bahwa kelemahan struktur otot peristaltik servikalis bagian
atas sebagai penyebab utama tersangkutnya benda asing, diyakini daerah tersebut
merupakan peralihan dari otot lurik menjadi otot polos.20 Impaksi pada daerah
yang tidak biasa (bukan penyempitan fisiologis), pada anak-anak dan dewasa
mungkin mempunyai kondisi predisposisi seperti striktur esofagus atau gangguan
neuromuskular.21
Prosedur diagnosis meliputi riwayat penderita, pemeriksaan fisik, radiologi
dan endoskopi. Pada riwayat penderita ditemukan gejala; sindrom penetrasi
(gangguan menelan yang disertai dengan nyeri faringesofageal, yang kadang-
kadang disertai dengan batuk, tersedak, muntah dan hematemesis; afagia total
yang disertai sialorhoe dapat terjadi bila terjadi obstruksi total lumen esofagus dan
batuk atau tersedak yang diikuti oleh adanya dispepsia persisten biasanya
disebabkan oleh benda asing yang berukuran besar. Keluhan yang dirasakan
penderita tidak selamanya berhubungan dengan posisi aktual benda asing dalam
esofagus, contohnya bila keluhan dirasakan pada regio servikal lateral, posisi
benda asing biasanya terletak pada bagian atas krikofaring. Inervasi faringeal oleh
n.vagus dan glossofaringeus tampaknya berperan dalam menimbulkan sensasi
tersebut.21
Pada pemeriksaan fisik; faringolaringoskopi indirek (untuk melihat benda
asing hipofaring, retensi air liur, edema pada regio aritenoid), palpasi servikal
(untuk mengetahui empisema subkutan, kekenyalan regio jugular, nyeri pada
waktu pergerakan laring secara aktif dan pasif), auskultasi kardiopulmoner dan
pengukuran suhu.20
Setiap kecurigaan adanya benda asing esofagus, harus dilakukan
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis jaringan lunak regio servikal dan
foto thorak, diperlukan untuk mengetahui letak dan bentuk benda asing, sekuele
benda asing seperti air-fluid level serta adanya emfisema sekunder daerah servikal
atau mediastinal yang disebabkan oleh perforasi.20,21 Gambaran radiologis
empisema servikal tahap dini terlihat pada daerah servikal bagian lateral yaitu
disebelah dorsal otot krikofaring, di dalam rongga retroviseral di depan korpus
vertebra servikal VI. Pada orang dewasa kadang sulit membedakan benda asing
tulang dengan kalsifikasi kartilago krikoid atau tiroid. Penggunaan barium
merupakan kontraindikasi oleh karena :
1. Mengganggu visualisasi endoskopi karena dapat menutupi benda asing atau
laserasi mukosa
2. Mempunyai resiko tinggi pada kasus-kasus yang disertai perforasi mediastinal
3. Bisa terjadi aspirasi barium
Benda asing dengan radioopak tinggi seperti koin, tulang, baterai cakram,
yang mempunyai densitas yang lebih besar dari jaringan tubuh. Benda asing
radiolusen yang mempunyai densitas lebih rendah dibanding jaringan tubuh,

15 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
mengandung udara yang banyak, dapat terlihat meskipun sulit. Kayu (tusuk gigi)
akan diabsorpsi oleh cairan dan dalam beberapa jam densitasnya akan sama
dengan jaringan tubuh sehingga tidak bisa dilihat.20
Setiap kecurigaan adanya benda asing esofagus memerlukan pemeriksaan
esofagoskopi biarpun pada pemeriksaan fisik dan radiologis negatif. Bila
kecurigaan hanya berdasarkan pada anamnesis pasien dan tidak ada gejala fisik
atau pemeriksaaan radiologis yang positif, pasien dievaluasi kembali dan diijinkan
pulang bila tetap asimptomatis. Bila ada gejala meskipun minimal, bahkan
pemeriksaan fisik dan radiologis negatif, esofagoskopi tetap dianjurkan.20
Prosedur endoskopi harus dilakukan di rumah sakit dengan peralatan
endoskopi atau di ruang operasi dengan fasilitas anestesi umum dan alat
resusitasi. Anestesi umum dengan intubasi trakea lebih baik karena mencegah
aspirasi bronkus dan keleluasaan melakukan manuver ekstraksi.20
Meskipun beberapa benda asing dapat diekstraksi dengan esofagoskop
fleksibel fiber optic, esofagoskop kaku / rigid dengan telescope merupakan standar
emas untuk evaluasi dan ekstraksi benda asing di esofagus, dimana diameter dan
panjang instrumen dapat dipilih sesuai lokasi dan umur pasien Kontraindikasi
obsulut tindakan ini adalah : hematemesis berat, kemungkinan fistula pada
pembuluh darah.21
Tipe dan lokasi benda asing dan yang lebih penting apakah menimbulkan
gejala pada anak merupakan faktor kunci dalam pengambilan keputusan
tatalaksana pada pasien ini. Berdasarkan prinsip ini, Chung22 dkk
merekomendasikan algoritma sederhana yang dapat digunakan oleh dokter
umum, kepada siapa seharusnya merujuk pasien (bagan 1).
Baterai cakram (seperti baterai jam) harus diangkat segera, karena
kemungkinan kebocoran bahan korosif dan menyebabkan perforasi dinding
esofagus.20 Pengangkatan baterai harus dikeluarkan segera karena dapat
menimbulkan luka bakar dan dapat menimbulkan perforasi. Ada 4 mekanisme
baterai dapat menimbulkan luka, yaitu :
 Pelepasan elemen listrik melalui hidrolisis dan pelepasan ion hidroksida
pada jaringan sekitar akan menyebabkan luka bakar pada mukosa
 Nekrosis mukosa karena efek penekanan
 Luka bakar karena kebocoran baterai. Baterai mengandung zat alkali
(sodium dan potasium hidroksida) yang jika bocor dapat menyebabkan
luka bakar pada mukosa
 Toksisitas merkuri, meskipun jarang ada baterai yang mengandung merkuri
oksida 5g yang melebihi dosis letal. Lithium dan logam berat mengandung
merkuri dengan kadar yang tidak toksik.

16 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Bagan 1. Alur tatalaksana pada anak yang curiga tertelan benda asing 22

Komplikasi baterai di esofagus adalah luka bakar pada mukosa, perforasi,


striktur, lumpuh pita suara, fistula trakeoesofageal, perdarahan masif dan
kematian. Komplikasi ini dapat terjadi sangat cepat setelah tertelan baterai. Luka
bakar dapat terjadi dalam 2.5 jam dan perforasi dapat terjadi dalam 5 jam. Oleh
karena itu, perlu diagnosis yang cepat dan merujuk pasien secepatnya untuk
mengeluarkan baterai tersebut.20
Benda asing tajam dapat menyebabkan perforasi dan ekstraksi dianjurkan
dilakukan dalam 6 jam pertama. Apabila ada tanda-tanda perforasi, revisi dan
ekstraksi dilakukan dalam 1-3 jam. Penanganan kegawatdaruratan bedah, terjadi
bila :
1. Bila benda asing tidak dapat diangkat secara endoskopik atau tidak dapat
diangkat secara komplit tanpa menimbulkan komplikasi

2. Fistula pada pembuluh darah besar

3. Adanya tanda perforasi esofagus, sehingga membutuhkan penanganan


bedah untuk penutupan perforasi dan drainase

4. Prosedur kegawatdaruratan bila terjadi hematemesis

17 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
5. Bila adanya potongan daging pada faringoesofagial junction (pseudo cafe
coronary) menyebakan sumbatan jalan nafas maka harus dilakukan
pengangkatan secara endoskopi segera.20

Untuk lesi yang letaknya di servikal, dilakukan servikotomi di bagian kiri


sepanjang dinding anterior m. Sternokleidomastoideus. Untuk lesi yang terletak
pada bagian atas toraks dan lesi yang mengakibatkan efusi pleura kanan, maka
harus dilakukan torakotomi posterolateral kanan dengan pemasangan pipa
drainase pleura yang besar.20
Bila ada proses inflamasi yang tidak memungkinkan penutupan perforasi,
sebaiknya dipertimbangkan tindakan esofagektomi parsial, drainase dengan T-
tube, rekonstruksi sekunder atau drainase transesofageal dengan pemasangan
stent.21

DAFTAR PUSTAKA
1. Figueiredo RR, Azevedo AA, ÁvilaAO, Kós, Tomita S. Complications of ent foreign
bodies: a retrospective study. Rev Bras Otorrinolaringol 2008;74(1):7-15
2. Chai CK, Tang IP, Tan TY, Jong YH, Evelin D. A Review Of Ear, Nose And Throat Foreign
Bodies In Sarawak General Hospital. A Five Year Experience. Med J Malaysia 2012; 67
(1): 17-20
3. Shrestha I, Shrestha BL, Amatya RCM. Analysis of Ear, Nose and Throat Foreign Bodies
in Dhulikhel Hospital. Kathmandu university medical journal 2012; 11( 2):4-8
4. Modul telinga. Benda Asing. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher, 2008
5. Timothy T.K, Jung, Jinn T.H, Disease of The External Ear. In : Snow JB, Ballenger JJ.
Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Spain: BC Decker
Inc; 2003. p230-48
6. Bala A, Purushotman R, Lina LC, Avata S. Superglue Accidentally Used As Ear Drops
7. Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing In: Bailey BJ,
Johnson JT, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed. New York: Lippincott
Williams & Wilkins. 2006. p1884-1903
8. Sisodia SS. Foreign Body Ear Nose and Throat-Clinical Presentation and Management
9. Iskandar N, Helmi. Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat Telinga Hidung dan
Tenggorok. Jakarta : Balai penerbit FKUI. 2004: p1-8
10. McLaughlin R, Ullah R, Heylings D. Comparative prospective study of foreign body
removal from external auditory canals of cadavers with right angle hook or
cyanoacrylate glue. Emerg Med J 2002;19:43–45
11. Dance D, Riley M, MD, FRCPC, J.P. Ludemann, MDCM, FRCSC. Removal of ear canal
foreign bodies in children: What can go wrong and when to refer. Bc Medical Journal
2009; 51(1): 20-4
12. Modul hidung. Benda Asing. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher, 2008.
13. Herawati S. Impacted button battery in the nasal cavity. Folia Medica Indonesiana
2004; 40(3): 139-42.
14. Loh WS, Leong JL, Tan HKK. Hazardous foreign bodies: complications and
management of button batteries in nose. Ann Otol Rhinol Laryngol 2003; 112: 379-83.

18 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
15. Lund VJ. Acute and Chronic Nasal Disorders. In : Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s
otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Spain: BC Decker Inc; 2003.
P741-59
16. Arora S,Sharma J.K, Pippal S.K, 3 Sethi Y, Yadav A, Brajpuria S. An unusual foreign
body (sewing needle tip) in the tonsils. Braz J Otorhinolaryngol 2009;75(6):908.
17. Gadre AK, Grade KC. Infection of The Deep Spaces of The Neck. Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Second edition. Edited by Byron J Bailey. Lippincont-
Raven Publisher, Philadelphia. 2006:665-84.
18. Gregori D et all. Foreign bodies in the upper airways causing complications and
requiring hospitalization in children aged 0–14 years: results from the ESFBI study.
Eur Arch Otorhinolaryngol 2008; 265:971–978
19. Modul Trakeo Bronkhial. Benda Asing. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Dan Leher, 2008.
20. Modul Esofagus. Benda Asing. Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Dan Leher, 2008.
21. Yang JY, Deutsch ES, Reilly JS. Bronchoesophagology. In : Snow JB, Ballenger JJ.
Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed. Spain: BC Decker
Inc; 2003. p1549-77
22. Chung S, Forte V, Campisi P. A Review of Pediatric Foreign Body Ingestion and
Management. 2010;11(3):225-30

19 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Vertigo Posisi Paroksismal Jinak (VPPJ)

Dr. H. Yan Edward, Sp.THT-KL(K)


Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr. M. Djamil Padang

Vertigo posisi paroksismal jinak atau disebut juga Benign Paroxysmal


Potitional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering
dijumpai, gejala yang sering adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan
posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu
yang menimbulkan keluhan vertigonya.1 Definisi lain vertigo posisi paroksismal
jinak adalah vertigo yang timbulnya tiba –tiba karena perobahan posisi kepala dan
disebabkan terdapatnya debris (otokonia / ear rocks ) pada kanalis semisirkularis
posterior.2 Benign artinya suatu kondisi yang tidak gawat atau progresif;
paroxysmal, terjadinya tiba tiba dan onsetnya tidak dapat diduga; positional,
munculnya pada saat perobahan posisi kepala; vertigo, menimbulkan rasa
berputar .3
Vertigo dibagi atas dua yaitu vertigo sentral dan vertigo perifer. Lamanya
serangan vertigo dapat membedakan kedua jenis ini. Pada kelainan perifer seperti
Meniere klasik serangannya tiba-tiba dengan durasi satu sampai beberapa jam.
Labirintitis toksik akut vertigonya persisten 24-48 jam kemudian berkurang. Pada
BPPV adanya faktor predisposisi seperti perobahan pada posisi kepala dan badan.
Vertigo yang timbul menghilang beberapa minggu-bulan kemudian setelah
terjadinya kompensasi. Stres merupakan faktor predisposisi pada Meniere
disesase. Sedangkan pada kelainan sentral, vertigo tiba-tiba dengan gejala yang
lebih lama sampai beberapa minggu. Disamping itu pada kelainan sentral disertai
dengan gangguan sistim saraf pusat sedangkan pada kelainan perifer disertai
gangguan pendengaran. 2
BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany tahun 1921, berupa
timbulnya nistagmus yang khas dan vertigo yang berhubungan dengan perubahan
posisi. Pada tahun 1952 Dix dan Hallpike menemukan pemeriksaan/test untuk
merangsang terjadinya vertigo yang diberi nama sesuai dengan nama mereka. 4

Anatomi
Telinga dibagi atas tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam.Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Telinga tengah mulai dari membran timpani ,tulang pendengaran .Telinga
dalam terdiri dari koklea dan kanalis semisirkularis. Kanalis semisirkularis terdiri
atas tiga bagian yaitu kanalis semisirkularis anterior, posterior dan horizontal.
Ketiga kanalis ini berhubungan satu sama lain melalui vestibulum.2

20 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Etiologi
Umumnya disebabkan oleh trauma kepala, trauma operasi, infeksi, dan
idiopatik. Pada orang tua dapat disebabkan oleh proses degenerasi sistem
vestibular pada telinga dalam. 3 Penyebab lain yang jarang adalah labirintitis virus,
neuritis vestibuler, fistula perilimfe dan penyakit Meniere.1

Patofisiologi
Otokonia adalah kristal kalsium karbonat yang merupakan bagian struktur
dari utrikulus. Apabila utrikulus mengalami kerusakan oleh trauma kepala, infeksi,
atau suatu proses degenerasi maka otokonia ini dapat terlepas kadalam kanalis
semi sirkularis posterior atau menempel pada kupula yang dapat menimbulkan
vertigo.
Ada dua teori yang menerangkan terjadinya vertigo pada BPPV yaitu
kupulolitiasis dan kanalolitiasis. Kupulolitiasis yaitu menempelnya debris
(otokonia) pada kupula sehinga pada waktu terjadi rotasi kepala, otokonia yang
melekat pada kupula menyebabkan defleksi dari kupula dan menimbulkan vertigo.
Kanalolitiasis yaitu terdapatnya kanalit (otokonia) pada kanalis sehingga pada
waktu terjadi rotasi kepala kanalit akan bergerak keposisi terbawah. Gerakan ini
akan menyebabkan kupula mengalami defleksi sehingga menimbulkan vertigo.4

Gejala Klinis
Diagnosis BPPV ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
hasil pemeriksaan penunjang lainya (test keseimbangan dan pendengaran) . Gejala
dan tanda yang mungkin timbul berupa:
 vertigo tiba–tiba yang timbul oleh rangsangan gerakan kepala seperti
gerakan berguling di tempat tidur, menggerakan kepala pada satu atau
kedua sisi. (Robert Jangker)

Timbulnya nistagmus dengan rangsangan perubahan posisi kepala.
 Kadang kadang timbul rasa mual dan jarang sekali disertai muntah.2
Pada BPPV klasik serangan akan hilang dalam berapa minggu.(Robert Jangker)

Diagnosis
Diagnosis VPPJ pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan cara
memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon
vertigo dari kanalis semisirkularis yang terlibat.1

Penatalaksanaan
1. Parasat/Manuver
Tiga manuver (parasat) yang dapat dilakukan untuk penatalaksanaan BPPV:
1. CRT (Canalith Repositioning Treatment) manuver
2. Liberatory manuver atau Semont manuver
3. Brandt Daroff exercises

21 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
1) CRT (Canalith Repositioning Treatment) manuver
CRT segera dilakukan setelah manuver Dix-Hallpike. Dix-Hallpike manuver
dilakukan dengan cara pasien duduk di pada meja periksa dengan kepala di putar
450 ke kanan kemudian dengan cepat rebahkan pasien ke belakang dengan tetap
menjaga posisi kepala terputar 450 sampai kepala tergantung pada sisi meja
periksa 200-300, tunggu selama 40 detik untuk melihat respon abnormal, jika
terjadi, amati respon tersebut selama 1 menit selanjutnya kepala diputar dengan
lambat ke sisi yang berlawanan (kiri) posisi ini dipertahankan sebentar. Kemudian
diikuti dengan memutar badan pasien ke sisi kiri dengan posisisi kepala 450 ke
arah kiri bawah. Terakhir dengan berlahan-lahan pasien dikembalikan ke posisi
duduk dengan kepala tetap pada posisi sebelumnya. 2

2) Liberatory manuver atau Semont/Epley manuver


Manuver ini bertujuan untuk memindahkan otolith atau debris lainnya
pada canalis semi sirkularis menjauh dari ujung-ujung syaraf ke daerah yang tidak
menimbulkan masalah/gejala dengan pengaruh gravitasi.2
Jika pemeriksa menetapkan untuk melakukan manuver Semont kanan,
tindakan dimulai dengan pasien duduk di meja periksa dengan kepala di putar 45 0
ke kiri kemudian pasien dibaringkan dengan cepat ke sisi kanan dengan kepala
ditahan (tergantung) pada bahu kanan, setelah satu menit pasien dikembalikan ke
posisi duduk selanjutnya di baringkan dengan cepat ke sisi kiri dengan kepala
menggantung dan terputar ke kiri 450, posisi ini dipertahankan satu menit,
kemudian berlahan-lahan pasien dikembalikan ke posisi duduk. 2
Kadang-kadang vibrator ditempatkan pada mastoid untuk “membebaskan”
partikel-partikel dan diharapkan meningkatkan keberhasilan manuver ini. 3

3) Brandt-Daroff Exercises
Terapi ini paling sering dilakukan pasien di rumah tanpa bantuan seorang
terapist. Pasien duduk di meja periksa kemudian kepala diputar ke kiri selanjutnya
dengan cepat pasien berbaring ke sisi kanan dengan kepala seperti posisi semula
pertahankan pada posisi ini setidaknya 30 detik kemudian dengan cepat kembali
duduk, kepala dimiringkan ke kanan tunggu sampai 30 detik, kemudian dengan
cepat berbaring pada sisi kiri dan pertahankan pada posisi ini paling kurang 30
detik selanjutnya kembali duduk dengan cepat. Pasien dianjurkan melakukan ini
secara rutin 10-20 kali, tiga kali sehari, sampai 2 hari bebas vertigo. 2

2. Operasi
Tindakan operasi dilakukan pada kasus-kasus yang berat dimana manuver-
manuver diatas gagal,. Ada beberapa prosedur operasi, diantaranya :
a. Singular Neurectomy (Posterior Ampullar Nerve Section)
b. Posterior Canal Plugging Procedure
c. Vestibular Nerve Section (Neurectomy)3

22 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Daftar Pustaka
1. Bashiruddin J, Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok dan Kepala Leher,Jakarta .Edisi ke- Enam
2007.p.104-10
2. Herdman JS, Tusa RJ. Diagnosis Of Benign Paroxysmal Positional
Vertigo.ENG Report.Desember 1998; 2-5
3. Harris JP, Dizzines and Benign Positional Vertigo.2004 [cited 2004].
Available from : http://www-
surgery.ucsd.edu/ent/PatientInfo/info_bppv.html
4. Bhattacharyya N, Baugh RF, Orvidas L, Barrs D, Bronston LJ, Cass S. Clinical
Practice Guideline : Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Otolaryngology–
Head and Neck Surgery .2008; 139: S47-81

23 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Tuli Mendadak/ Sudden Deafness

Dr. H. Yan Edward, Sp.THT-KL(K)


Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas – RSUP Dr. M. Djamil Padang

DEFINISI :
Penurunan pendengaran secara sensorineural 30 dB atau lebih, paling sedikit pada
tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan berlangsung
dalam waktu kurang dari 3 hari.
 Kelainan ini biasanya terjadi pada satu telinga
 Kerusakan terutama di koklea, merupakan keadaan darurat neurotologi
 Insiden tuli mendadak ±5-20 kasus per 100.000 penduduk

ETIOLOGI :
1. Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak, disebabkan
spasme, trombosis, atau perdarahan dari arteri auditiva interna. Pembuluh
darah ini merupakan end artery, sehingga bila terjadi gangguan pada
pembuluh darah ini, koklea sangat mudah mengalami kerusakan. Iskemia
mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan
ligamentum spiralis, kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan
penulangan.
2. Infeksi virus, campak, parotis, influensa b, dan mononukleosis
menyebabkan kerusakan pada organ korti, membran tektoria, dan selubung
myelin saraf akustik. Ketulian yang terjadi biasanya berat, terutama pada
frekuensi sedang dan tinggi.
3. Trauma kepala
4. Trauma bising yang keras
5. Perubahan tekanan atmosfir
6. Autoimun
7. Obat ototoksik
8. Penyakit meniere
9. Neuroma akustik

DIAGNOSIS
1. Anamnesis : perlu anamnesis yang teliti mengenai proses terjadinya
ketulian, gejala yang menyertai, serta faktor predisposisi penting yang
mengarahkan ke diagnosis. Tuli biasanya unilateral tapi bisa bilateral, dan
tuli biasanya menetap
2. Dapat disertai tinitus dan vertigo

24 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
3. Kemungkinan ada gejala penyakit virus seperti parotis, varisela, variola
atau dari anamnesis baru sembuh dari penyakit ini
4. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah sangat diperlukan.
5. Pada pemeriksaan otoskop biasanya tidak disertai kelainan.
6. Pada pemeriksaan penala ditemukan Rinne positif, weber lateralisasi ke
yang sehat, Schwabach memendek, dengan kesan tuli sensorineural
7. Audiometri nada murni : didapatkan tuli sensorineural sangat berat
8. Pada tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) : skor 100% atau kurang
dari 70%, kesan: dapat ditemukan rekruitment
9. Tes tone decay atau refleks kelelahan negatif, kesan bukan tuli retrokoklea
10. Audiometri tutur (Speech Audiometri) : Speech Discrimination Score (SDS)
kurang dari 100%, kesan tuli sensorineural.
11. Audiometri Impedans : Timpanogram tipe A (normal), refleks stapedius
ipsilateral negatif, atau positif, sedangkan kontralateral positif, kesan tuli
sensorineural koklea.
12. BERA menunjukkan tuli sensorineural ringan samapai berat.
13. Pada pemeriksaan ENG, mungkin terdapat paresis kanal.
14. Pada pemeriksaan CT Scan atau MRI dengan kontras diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis neuroma akustik dan malformasi tulang temporal,
pemeriksaan arteiografi pada kasus yang diduga akibat trombosis.
15. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa
kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen,
hipotiroid, penyakit autoimun dan faal hemostasis, dan tes penyaring
pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
 Haemoglobin
 Trombosit
 Hematokrit
 PT (Protrombin Time)
 APTT (Activated Partial Tromboplastin Time)
 Kolesterol total
 Kolesterol HDL
 Kolesterol LDL
 Fibrinogen
 D-Dimer
 TSH, T3 dan T4
 Gula darah
 SGOT
 SGPT
 Ureum
 Kreatinin
 Elektrolit

25 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
Ada beberapa penyakit sebagai differensial diagnosis untuk penyakit ini
1. Infeksi : seperti infeksi bakteri (meningitis, labirintitis, sifilis), infeksi
virus (mumps, citomegalovirus).
2. Inflamasi : penyakit autoimun, cogan sindrom, systemic lupus
erythematosus, multiple sclerosis.
3. Trauma : fraktur tulang temporal, trauma akustik, fistula perilimfe.
4. Tumor : cerebellopontine angle tumor, metastasis penyakit lain ke
tulang temporal
5. Toksin : karena obat-obatan golongan aminoglikosida (streptomisin,
neomisin, kanamisin, gentamisin) dan aspirin
6. Vaskular : tromboemboli, makroglobulinemia

PENATALAKSANAAN
Protap di bagian THT-KL M. Djamil padang
A. Untuk pasien yang didiagnosis dengan sudden deafness onset kurang dari 2
minggu, maka pasien dirawat, dan dinilai kemajuan dalam minggu pertama,
bila ada perbaikan maka diteruskan rawatan sampai 2 minggu. Bila tidak
ditemukan perbaikan pada minggu pertama, maka pasien dipulangkan.
1. Bed rest total
2. Pemberian oksigen 4 liter/menit, selama 15 menit, tiap 6 jam
3. Drip pentoksifilin 2x300 mg, pentoksifilin merupakan vasodilator,
pemberiannya dengan memperhatikan kontraindikasi.
4. Prednison tappering aff
Hari 1-3 = 4x2 tablet
Hari 4-6 = 3x2 tablet
Hari 7-9 = 2x2 tablet
Hari 10-12 = 2x1 tablet
Hari 13-15 = 1x1 tablet
5. Injeksi metilcobalt 3x500 µg/iv
6. Injeksi neurobion 1x5000 IU/IM
7. Injeksi vitamin C 2x100 mg/iv

B. Terapi untuk pasien rawat jalan


1. Prednison tappering aff (dosis sama dengan diatas)
2. Pentoksifiline 2x400 mg.
3. Metilcobalt 3x500 mg.
4. Vit C 2x100 mg.
5. Neurotropik 2x1 tablet.

 Bila tidak sembuh dengan pengobatan medikamentosa, dipertimbangkan


pemakaian alat bantu dengan (Hearing Aid).
 Psikoterapi, agar pasien menerima keadaannya.

26 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
 Rehabilitasi pendengaran agar sisa pendengaran yang masih ada
dimaksimalkan, dan rahabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume,
nada dan intonasi.

Evaluasi fungsi pendengaran perlu dilakukan tiap minggu selama 1 bulan.


Menurut Kallinen et al (1997), perbaikan pendengaran tuli mendadak:
1. Sangat baik : perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi
2. Sembuh : bila perbaikan pendengaran <30 dB pada frekuensi 250 dB,
500 dB, 1000 dB, 2000dB, dan kurang dari 25 dB pada frekuensi 4000
Hz.
3. Baik : rata-rata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.
4. Tidak ada perbaikan : perbaikan <10 dB pada 5 frekuensi

PROGNOSIS:
Tergantung dari beberapa faktor yaitu :
 Kecepatan pemberian obat, makin cepat diberikan pengobatan, makin besar
kemungkinan sembuh, bila telah lewat dari 2 minggu kemungkinan sembuh
lebih kecil.
 Respon 2 minggu pengobatan pertama
 Derajat tuli saraf
 Faktor predisposisi seperti pernah mendapatkan pengobatan yang bersifat
ototoksik cukup lama, pasien diabetes mellitus, atau memiliki viskositas
darah yang tinggi
 Usia muda lebih besar memberikan angka perbaikan dibandingkan usia tua.
 Tuli sensorineural berat dan sangat berat, memberikan prognosis yang
lebih buruk daripada tuli sensorineural nada rendah dan menengah.

REFERENSI
1. Basyiruddin J, Soetirto I. Tuli mendadak. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007. Hal 46-
8
2. Hashisaki GT. Sudden sensory hearing loss. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD,
editors. Head and neck surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006. p. 2232-36

27 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Penatalaksanaan Sepsis

Prof. DR. Dr. H. Asman Manaf, Sp.PD-KMED


Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas - RSUP Dr M DJamil Padang

PENDAHULUAN
Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa sepsis adalah alasan tersering
kenapa dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Dalam dua dekade terakhir, insidensi
sepsis Di USA meningkat tiga kali lipat, dan saat ini sepsis merupakan pembunuh
nomor 10. Dari 750.000 kasus sepsis per tahun, setidaknya 250.000 daripadanya
meninggal. (1,2) Meskipun terdapat kemajuan dalam pengembangan antibiotika dan
peralatan (life-support), angka kematian akibat sepsis masih cukup tinggi (20 –
30%). ( 1,2 )
Tingginya angka kematian tergantung pada seberapa cepat mengenali
keadaan sepsis dan kemudian segera menanganinya secara adekuat. Faktor
penyebab kegagalan mengatasi sepsis berawal dari keterlambatan dalam
mengenali sepsis diikuti oleh keterlambatan memulai terapi..Keadaan ini memicu
progresivitas kerusakan sel atau jaringan tubuh, sehingga akhirnya terjadi
kerusakan berbagai organ dengan gejala multiple organ dysfunction syndrome
(MODS) penyebab utama kematian. ( 3 )
Pengenalan atau identifikasi dini dari sepsis, segera diikuti oleh
penanganan optimal terutama antibiotik yang adekuat dan resusitasi
hemodinamik yang cermat, merupakan langkah awal keberhasilan manajemen
sepsis.

DEFINISI
Sepsis dapat didefinisikan sebagai sederetan munculan klinis dan kelainan
laboratorium dari seorang pasien, sehingga berdasarkan itu seorang dokter
melakukan penilaian untuk menyimpulkan bahwa sedang berlangsung infeksi
yang serius.
Kumpulan munculan klinis dan kelainan laboratorium tersebut
sesungguhnya merupakan dampak inflamasi yang telah meluas secara sistemik,
disebut Systemic Inflammatory Response Syndrome ( SIRS ). Disebut sepsis
manakala keadaan tersebut disebabkan oleh faktor infeksi.
Kepekaan dan kecermatan seorang dokter dalam melakukan penilaian,
berdasarkan pengalamannya, memegang peranan cukup penting dalam
mendiagnosis sepsis. “I can’t define sepsis, but I know it when I see it.” ungkap
seorang ahli. Kepekaan ini bermanfaat dalam mencegah progresivitas penyakit
dari SIRS menuju MODS.

28 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
DIAGNOSIS
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dapat didiagnosis apabila
ditemukan 2 diantara kriteria dibawah ini :
■ suhu tubuh <36` C or >38` C
■ frekuensi denyut jantung >90 beats/min
■ frekuensi nafas >20 x /min or PCO2 < 4.3 kPa (32 mmHg)
■ jumlah leukosit <4.000 or >12.000 / mm3 atau ditemukan > 10% neutrofil
muda.

SUMBER INFEKSI
Seringkali, ketika diagnosis sepsis telah ditegakkan, pertanyaan yang
muncul adalah : dimana sumber infeksinya ? Jawaban yang pasti dari pertanyaan
ini tidak mudah diperoleh dengan cepat. Namun,untuk memulai pengobatan,
tidaklah penting memastikan lebih dulu dimana sumber infeksi tersebut.
Beberapa kelainan berikut merupakan sumber infeksi yang patut dipikirkan.

PATOGENESIS
Pada dasarnya SIRS dan kelainan yang terjadi pada tahap selanjutnya,
disebabkan oleh peristiwa imunologis, reaksi antara antigen (dalam hal ini kuman
penyebab infeksi) dengan antibodi (mekanisme pertahanan tubuh). Tapi, pada
individu dalam keadaan tertentu, proses ini terjadi secara berlebihan sehingga
menimbulkan ekses, kerusakan pada tubuh sendiri. Banyak faktor yang
menyebabkan kenapa reaksi ini berlebihan, diantaranya faktor genetik.
Kelainan yang timbul akibat reaksi imunologi ini berawal dari infeksi
kuman. Pada infeksi kuman Gram-negative (penyebab tersering), komponen
lipopolysaccharide (LPS; dikenal sebagai endotoksin) pada kuman tersebut, antigen
yang memegang peranan penting, dalam reaksi imunologis tersebut. Pada kuman
Gram positif tidak ada endotoksin, tapi kerusakan disebabkan oleh komponen
peptidoglycan dan lipoteichoic acid,senyawa yang terdapat pada dinding kuman,
menghasilkan eksotoksin.
Peristiwa imunopatologi yang terjadi pada keadaan sepsis dimediasi
terutama oleh sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-1, yang terbentuk akibat
rangsangan LPS. (4) Perangkat imunologi bawaan (innate imunity), yang memberi

29 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
respons berlebihan terhadap antigen (endo/eksotoksin) pada keadaan infeksi,
merupakan penyebab kelainan yang terjadi pada sepsis (Gb. 1). Hipovolemia,
gejala serius yang dapat berakibat syok septik bila dibiarkan, telah dapat terjadi
pada jam jam pertama dari sepsis berat. Ini disebabkan terjadinya dilatasi vena
dan transudasi cairan tubuh ke ekstravaskuler ( kejaringan interstisial), ditambah
lagi berkurangnya intake per oral, serta peningkatan kehilangan cairan melalui
insensible loss. (5)

Gb. Pathogenetic
1. Patogenesis sepsis dan MOD
networks in :sepsis
mononuclear cells release
and MODS.
cytokines
Mononuclear cells play a key role, releasing theIL-1,
classicIL-6, and TNFαcytokines IL-1, IL-6 and TNF-a
pro-inflammatory

Cohen J NATURE | VOL 420 | 19/26 DECEMBER 2002

Berlanjutnya proses akibat sepsis yang tidak segera tertangani dengan baik,
akan berdampak luas terutama terhadap perfusi jaringan. Proses koagulasi pada
mikrovaskuler akan terpicu dan meluas (Disseminated Intravascular Coagulation =
DIC) dan seperti lingkaran setan, berbagai kerusakan jaringan akan terjadi
(MODS).

PENANGGULANGAN
Resusitasi cairan
Penanggulangan terhadap masalah hipovolemia merupakan tindakan yang
paling penting dan dilakukan sedini mungkin. Resusitasi cairan yang cepat dan
tepat berupa pemberian cairan initial kemudian diteruskan untuk maintenance
menjadi langkah awal menuju berhasilnya penanggulangan sepsis atau syok
septik.(6) Seorang dengan sepsis berat rata rata akan membutuhkan sekitar 2 L
cairan (kristaloid) secara initial dalam waktu cepat. Setelah itu tidak lagi
dibutuhkan, atau hanya butuh sedikit tambahan hemodynamic support.

30 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
EGDT (Early Goal Directed Therapy) dan Surviving Sepsis Campaign
merekomendasikan pemberian transfusi darah terhadap penderita sepsis dengan
cental venous oxygen saturation (ScvO2) yang kecil dari 70% dan hematokrit
dibawah 30% (Grade recommendation: 2C). (3,5,6) Disisi lain, ada pendapat yang
mengatakan bahwa pada keadaan sakit berat (critically ill), transfusi punya
dampak negatif yakni meningkatnya risiko infeksi, ARDS, MODS, dan kematian.
(7,8,9)

Menarik pula untuk dikaji pernyatan bahwa central venous pressure (CVP)
tidak mencerminkan volume intravaskuler dan tidak juga sebagai prediktor
respons tubuh terhadap pemberian cairan. Pendapat ini tidak lagi menyokong CVP
sebagai acuan dalam resusitasi cairan pada keadaan sepsis. (11,12,13) Lebih jauh
dikemukakan berdasarkan studi yang dilakukan VASST (Vasopressin in Septic
Shock Trial), pada kelompok pengunaan parameter CVP sebagai target cairan
justru terdapat angka kematian paling tinggi. (14)
Bedside echocardiography tampaknya lebih dipercaya untuk menetapkan
ukuran maupun fungsi ventrikel jantung. ECHO dapat juga dimanfaatkan dalam
menilai profil hemodinamik, dan cardiac out put (COP), sebagai perangkat monitor
sewaktu menanggulangi sepsis.

Vasopressor
Apabila resusitasi cairan tidak berhasilI memuaskan, yakni bila mean
arterial pressure (MAP) minimal 65 mmHg tidak tercapai, diperlukan obat obat
vasokonstriktor. (10) Bila ada indikasi penggunaan, jangan tunda tunda pemberian
vasokonstriktor, karena itu dapat menurunkan insidensi kegagalan organ serta
mencegah overload cairan. (10) Norepinefrin (dengan dosis awal 0.01 μg/kg/min),
merupakan vasokonstriktor pilihan, diberikan secara titrasi bersamaan dengan
pemberian cairan. Suatu studi meta analisis membandingkan hasil penggunaan 2
jenis vasokonstriktor pada syok septik, dengan hasil akhir superioritas
norepinefrin daripada dopamin. Terdapat angka kematian dan aritmia yang yang
lebih tinggi pada kelompok dopamin. ( 15 )

Antibiotik
Respons terhadap antibiotik pertama yang dipilih, mempengaruhi
perjalanan penyakit. Penelitian observasional mengindikasikan bahwa prognosis
sepsis atau syok sepsis lebih buruk apabila mikrorganisme ternyata tidak sensitive
terhadap antibiotika initial yang telah resisten yang diberikan. (16,17) Penting
diingat akhir akhir ini terjadi peningkatan prevalensi jamur, kuman Gram + (mis.
Staphylococcus aureus telah resisten terhadap methicillin), kuman Gram – yang
telah resisten terhadap banyak antibiotika. Tentu saja pattern dari kuman
setempat terkait resistensi penting jadi acuan, sebelum hasil kultur dan
sensitivitas kuman diperoleh. Antibiotika berspektrum luas secara intravena
diberikan sesegera mungkin.

31 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Kortikosteroid
Meskipun terdapat kontoversi mengenai penggunaan kortikosteroid, cukup
banyak pendapat yang merekomendasikan obat anti inflamasi ini untuk sepsis.
Biasanya diberikan hidrokortison dosis rendah (200 – 300 mg/hari), intra vena
dengan dosis terbagi selama 7 hari dalam keadaan syok septik.
Kortikosteroid menurut sebagian pendapat, hanya diberikan jika
ditemukan tanda tanda insufisiensi adrenal. Pada suatu penelitian komparatif,
tidak terjadi perbaikan pada kelompok kortikosteroid jangka pendek dengan dosis
tinggi, dibandingkan kelompok kontrol (tanpa kortikosteroid) dalam pengobatan
sepsis berat.

Activated protein C (APC)


Protein ini direkomendasikan untuk pengobatan sepsis berat dan kegagalan
organ karena berkhasiat anti inflamasi, anti koagulan, serta pro fibrinolitik. Efek
utama yang penting dari protein-C adalah menurunkan produksi trombin melalui
inaktivasi faktor Va dan VIII, sedangkan trombin dikenal bersifat pro inflamasi,
prokoagulan, dan anti fibrinolitik. (16) Protein-C juga menurunkan produksi IL-1,
IL-6. Dan TNFα oleh monosit, serta menginaktivasi PAI-1. (17) Terbukti, pemberian
protein-C pada sepsis berat dapat memperbaiki outcome pasien. Perlu
diperhatikan, obat ini tidak boleh diberikan apabila ada pendarahan.

Kontrol glukosa darah


Kejadian hiperglikemia sering pada penderita sepsis. Keadaan ini
merupakan faktor yang berperan dalam memburuknya perjalanan penyakit,
sehingga jika muncul penting untuk ditanggulangi tersendiri, biasanya dengan drip
insulin.
Secara ketat glukosa darah harus dimonitor agar selalu dalam batas batas
yang dianggap cukup aman, dalam hal ini antara 3.9 – 8.3 mmol /l (sekitar 70 –
150 mg/dl).

Inspiratory plateau pressure goal ( IPP )


Pada penderita yang memerlukan ventilator mekanis, dijaga agar median
inspiratory plateau pressure (IPP) < 30 cm H2O (22.8 mmHg).

Nutrition
Penting diingat bahwa dalam keadaan sepsis, kebutuhan kalori/24 jam dari
penderita secara signifikan meningkat. Kebutuhan ini sebaiknya diusahakan
dipenuhi dalam bentuk nutrisi enteral karena relative lebih fisiologis
dibandingkan parenteral.
Jika tidak memungkinkan nutrisi parenteral merupakan alternatif dengan
perhatian khusus terhadap agar tidak terjadi infeksi baru melalui kateter yang
terpasang pada vena sentralis.

32 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Usaha khusus penanganan sumber infeksi
Upaya ini lebih dalam bentuk tindakan yang bertujuan membantu
mempercepat eradikasi kuman dari sumber infeksinya seperti aspirasi pus,
nekrotomi, eksisi, amputasi dan sejenisnya.

Penanganan terhadap multiple organ dysfunction syndrome (MODS)


Kardiovaskuler
Gangguan sirkulasi terjadi akibat kerusakan mikrovaskuler yang
disebabkan sitokin inflamasi sehingga terjadi peningkatan permiabilitas dinding
pembuluh darah sehingga terjadi pergerakan cairan ke interstitial. Pengobatan
ditujukan untuk volume replacement secara adekuat, mengembalikan
hemodinamik secara optimal.

Paru
Kelainan pada paru yang sering dan serius adalah acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Oksigenasi secara optimal dengan menggunakan teknik
ventilator harus diusahakan.

Saluran cerna ( lambung )


Hati hati terjadinya aspirasi bakteri yang biasa terdapat pada saluran cerna
bagian atas ke paru. yang dapat berakibat pneumonia. Kerusakan mukosa lambung
sendiri dapat terjadi bahkan dalam bentuk ulkus. Penggunaan sitoprotektif seperti
sucralfate dapat direkomendasikan

Liver
Disfungsi dari hati dapat ditemukan . Keadaan ini dapat memicu terjadinya
sepsis dan juga member dampak buruk terhadap progresifitas sepsis. Pencegahan
dan pengobatan secukupnya perlu dipikirkan..

33 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Ginjal
Yang tersering ditemukan pada sepsis adalah acute renal failure / acute
tubular necrosis . Hemodialisis mungkin dibutuhkan

Susunan saraf pusat


Kemungkinan ensefalopati atau neuropati perifer dapat ditemukan

Proses koagulasi
Koagulopati nyang bersifat subklinis sering luput dari pengamatan.
Pemeriksaan terhadap peningkatan thrombin atau activated partial
thromboplastin time (APTT) atau penurunan jumlah trombosit perlu dilakukan
untuk ditanggulangi. Disseminated intravascular coagulation (DIC), dengan
peningkatan D-dimers dapat terjadi meski jarang.

Rangkaian resusitasi pada sepsis

Parameter untuk monitoring hasil pengobatan


Pemberian antibiotika pada keadaan sepsis haruslah sedini mungkin, tanpa
perlu menunggu hasil kultur untuk mengetahui jenis kuman dan sensitiviitasnya
terhadap antibiotika. Dengan demikian pilihan antibiotika yang kita lakukan,
meskipun polanya telah mengacu pada trend lokal, telah memenuhi standar broad
spektrum yang terkini, dan telah cukup adekuat, kemungkinan tidak respons
terhadap pengobatan tetap ada. Untuk itu dalam situasi kritis begini, perlu segera
diketahui tentang respons tubuh terhadap pengobatan.

34 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Penggunaan APACHE II sebagai parameter untuk estimasi prognostik pada
penyakit berat di ICU telah digunakan cukup lama, hampir 30 tahun.Telah banyak
dikemukakan parameter sebagai penyempurnaan APACHE II seperti Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) III, Simplified Acute
Physiology Score (SAPS) II, and the Mortality Probability Model (MPM) II. Akurasi
dari estimasi menggunakan parameter berdasarkan skor tersebut diatas tidak lagi
begitu akurat, bahkan terakhir diajukan APACHE IV sebagai penyempurnaan. (18)
Procalcitonin (PCT), suatu gugusan asam amino yang diroduksi oleh sel
neuroendokrin pada paru atau GI Tract. Senyawa ini diproduksi jaringan tubuh
manakala terjadi defek, yang pada keadaan sepsis dimediasi oleh IL-1, IL-6, dan
TNFα. Peningkatan kadar PCT serum berbanding lurus dengan tingkat keparahan
kerusakan jaringan akibat sepsis, berlanjut pada syok septik, kemudian multiple
organ dysfunction syndrome (MODS).
Pada gambar berikut diperlihatkan perbandingan antara kelompok
penderita sepsis yang respons terhadap antibiotika dengan yang non respons,
berdasarkan perubahan kadar PCT serum.

Perubahan kadar procalcitonin ( PCT ) serum


Typical course of PCT serum level according to patient's
sehubungan dengan respons tubuh terhadap
response to antibiotic treatment (n=109)
penggunaan antibiotika pada sepsis

Prognosis
Prognosis dari sepsis tergolong buruk. Apalagi jika diagnosis terlambat,
demikian pula pengobatan, prognosis lebih buruk.. Penderita sepsis disertai
adanya kegagalan organ,. juga akan memperburuk prognosis. Tanpa adanya
kegagalan organ, angka kematian sekitar 15% - 30%. Begitu terjadinya kegagalan
organ, angka kematian mencapai 40% - 60%. Angka kematian syok septic
mendekati 50%, terjadi pertambahan angka kematian 15% pada setiap tambahan
1 kegagalan organ.

35 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Kesimpulan
1. Pemahaman tentang sepsis dalam dekade terakhir berkembang semakin
baik, termasuk alur interkoneksi proses biomolekuler dengan gejala kilinis
yang
2. Pemberian secara dini antibiotika yang sesuai, disertai resusitasi
hemodinamik masih menjadi komponen paling penting dalam
penatalaksanaan sepsis.
3. Guideline guideline yang menjadi acuan saat ini masih terbuka untuk
perubahan oleh karena belum didasarkan atas evidence-based.

Daftar Pustaka
1. GS Martin, DM Mannino, S Eaton, M Moss, The epidemiology of sepsis in the
United States from 1979 through 2000. N Engl J Med. 348, 1546–1554 (2003).
2. DC Angus, WT Linde-Zwirble, J Lidicker, G Clermont, J Carcillo, MR Pinsky,
Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence,
outcome and associated costs of care. Crit Care Med. 29, 1303–1310 (2001).
3. Marik PE. Surviving sepsis: going beyond the guidelines. Annals of Intensive
Care 2011, 1:17
4. Dinarello, C. A. Proinflammatory and anti-inflammatory cytokines as mediators
in the pathogenesis of septic shock. Chest 112, 321S–329S (1997).
5. M Raghavan, PE Marik, Management of sepsis during the early goldenhours. J
Emerg Med. 31, 185–199 (2006). doi:10.1016/j.jemermed.2006.05.008
6. E Rivers, B Nguyen, S Havstad, J Ressler, A Muzzin, B Knoblich, E Peterson, M
Tomlanovich, Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and
septic shock. N Engl J Med. 345, 1368–1377 (2001)
7. PE Marik, HL Corwin, Acute lung injury following blood transfusion: Expanding
the definition. Crit Care Med. 36, 3080–3084 (2008).
8. PE Marik, The hazards of blood transfusion. Br J Hosp Med. 70, 12–15 (2009)
9. CV Murphy, GE Schramm, JA Doherty, RM Reichley, O Gajic, B Afessa, ST Micek,
MH Kollef, The importance of fluid management in acute lung injury secondary
to septic shock. Chest. 136, 102–109 (2009).
10. Haemodynamic management of severe sepsis: recommendations of the French
Intensive Care Societies (SFAR/SRLF) Consensus Conference, 13 October 2005,
Paris, France. Crit Care. 10, 311 (2006).
11. PE Marik, X Monnet, JL Teboul, Hemodynamic parameters to guide fluid
therapy. Annals of Intensive Care. 1, 1 (2011).
12. PE Marik, M Baram, B Vahid, Does the central venous pressure predict fluid
responsiveness? A systematic review of the literature and the tale of seven
mares. Chest. 134, 172–178 (2008).
13. PE Marik, J Varon, Goal-directed therapy in sepsis. N Engl J Med. 346, 1025
(2002)

36 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
14. JH Boyd, J Forbes, T Nakada, KR Walley, JA Russell, Fluid resuscitation in septic
shock: a positive fluid balance and elevated central venous pressure increase
mortality. Crit Care Med. 39, 259–265 (2011).
15. TS Vasu, R Cavallazzi, A Hirani, G Kaplan, PE Marik, Norepinephrine or
dopamine for septic shock: a systematic review of randomized clinical trials. J
Intensive Care Med. (2011, in press)
16. Ibrahim EH, Sherman G, Ward S, Fraser VJ, Kollef MH. The influence of
inadequate antimicrobial treatment of bloodstream infections on patient
outcomes in the ICU setting. Chest 2000;118:146-55 (2000)
17. National Nosocomial Infections Surveillance (NNIS) system report, data
summary from January 1992–April 2000, issued June 2000. Am J Infect Control
28:429-48 (2000)
18. Zimmerman JE. Kramer AA, Douglas S. Crit Care Med. Vol. 34, No. 5 (2006)

37 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Epistaksis

Dr. Bestari Jaka Budiman, Sp.THT-KL


Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas – RSUP Dr. M. Djamil Padang

ABSTRAK
Epistaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang THT yang
sering ditemukan. Meskipun sebagian besar pasien dapat ditangani di ruang
emergensi, beberapa kasus yang kompleks mungkin membutuhkan intervensi ahli.
Beberapa faktor risiko berperan terhadap terjadinya epistaksis. Epistaksis dapat
mengenai semua umur, tetapi pasien dengan usia yang lebih tua dengan berbagai
morbiditas penyakit dasar lebih sering membutuhkan penanganan yang intensif.
Strategi penanganan epistaksis telah berkembang luas dalam beberapa dekade,
mulai dari yang sederhana seperti penggunaan kauter dengan zat kimia atau
elektrokauter, pemasangan tampon anterior dan posterior, beberapa teknik
pembedahan, angiografi embolisasi serta teknik lainya dan yang terbaru dengan
menggunakan teknik endoskopi. Penanganan epistaksis yang adekuat diharapkan
dapat mengurangi komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.

PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan salah satu masalah kegawatdaruratan dibidang THT
yang sering ditemukan. Epistaksis yang ringan umumnya berasal dari bagian
depan septum hidung dan sering akibat trauma ringan dari mukosa septum.
Epistaksis pada anak-anak, biasanya akibat memencet hidung sedangkan pada
orang dewasa perdarahan berasal dari kerusakan mukosa akibat udara kering.
Perdarahan yang kecil umumnya berasal dari pembuluh darah kecil, kadang-
kadang juga berasal dari arteri etmoid anterior pada rongga hidung bagian atas
dan belakang. Penekanan hidung atau kauter dengan zat kimia umumnya berhasil
mengontrol perdarahan, intervensi bedah jarang diperlukan.1
Epistaksis yang masif, tidak ada defenisi yang tepat untuk ini, sering
ditandai oleh kesukaran dalam mengontrol perdarahan yang terjadi, sehingga
mengakibatkan penanganan dibagian emergensi THT dan dapat mengancam
nyawa. Umumnya penyebab epistaksis yang masif ini tidak diketahui, tetapi
dengan anamnesis yang hati-hati perlu dicari faktor resiko, yang tersering adalah
menggunakan obat-obatan anti pembekuan darah. Epistaksis tipe ini umumnya
bersumber dari posterior dan berasal dari cabang arteri spenopalatina, sering
beresiko pada sumbatan saluran nafas pasien. Pasien dengan epistaksis masif ini
cenderung terjadi pada orang tua yang mempunyai penyakit sistemik lainnya.
Perawatan pada keadaan – keadaan ini terdiri dari penanganan akut dan definitif.

38 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Penanganan pada kondisis akut, diusahakan untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan, dan pemasangan tampon hidung untuk mengontrol perdarahan.
Pengobatan definitif termasuk menggunakan tampon anterior dan posterior,
irigasi air hangat pada hidung, angiografi embolisasi pada arteri karotis eksterna
dan operasi. Pilihan operasi termasuk kauterisasi dan ligasi pembuluh darah.
Ligasi pada arteri sfenopalatina dan arteri etmoid anterior lebih baik daripada
ligasi arteri karotis eksterna atau arteri maksilaris interna karena lebih efektif dan
angka resiko lebih rendah.1
Pada kasus tertentu, terutama epistaksis masif, perlu dipikirkan kondisi
khusus seperti telangiektasis, tumor dan perdarahan pasca operasi atau pasca
trauma.1

ANATOMI
Mukosa nasal mempunyai cabang-cabang pembuluh darah yang sangat
banyak. Plexus pada septum nasi anterior yang dikenal sebagai little’s area atau
plexus kiesselbach adalah gabungan dari pembuluh darah kecil yang berasal dari
arteri etmoid anterior, arteri spenopalatina dan arteri fasialis. Bagian superior dari
mukosa hidung diperdarahi oleh arteri etmoid. Walaupun hanya dinamai dengan
anterior dan posterior, arteri etmoid mungkin terdiri lebih dari dua pembuluh
darah. Pembuluh darah ini berasal dari arteri optalmika, cabang dari arteri karotis
interna. Pembuluh darah ini menembus jaringan mata masuk kedalam rongga
hidung melalui foramen tulang sepanjang garis sutura fronto etmoid untuk
memperdarahi mukosa kavum nasi bagian superior dan masuk lagi ke dalam
tengkorak pada bagian lateral lempeng kribriformis. Pada sebagian besar kasus
arteri etmoid anterior (AEA) lebih besar dari arteri etmoid posterior(AEP) dan
signifikan secara klinis. AEA masuk kedalam rongga hidung kurang dari 2 cm (rata-
rata 14-18 mm) dibelakang dari garis sutura nasolakrimal. Untuk mengidentifikasi
suatu pembuluh darah ini, terdapat penonjolan atau septa yang berisi pembuluh
darah, dengan bantuan teknologi imaging pembuluh darah dapat di tentukan
untuk kepentingan selama operasi. AEP terletak kira-kira 1 cm (9-13 mm)
posterior dari AEA dan sangat dekat (kira-kira 2-3 mm) anterior dari kanal optik.
Pembuluh darah ini menyeberang dasar tengkorak bagian depan ke sinus spenoid
dan untuk membantu penandaan (landmark) batas belakang dari lempeng
kribrifornis.1
Aliran darah yang dominan untuk kavum nasi datang dari cabang arteri
maksilaris interna (AMI), cabang utama arteri karotis eksterna. AMI masuk ke
rongga fosa pterigopalatina atau pterigomaksila sebelah lateral dan bercabang
menjadi banyak pembuluh darah yang mensuplai rongga hidung, rongga mulut,
dan melingkari jaringan lunak. Didalam fossa pterigopalatina cabang dari AMI
dapat berpola sederhana atau komplek, ini yang membuat identifikasi pembuluh
darah secara individu hampir tidak mungkin dipastikan. Arteri sfenopalatina
(ASP) adalah cabang akhir dari AMI dan merupakan suplai pembuluh darah besar
untuk mukosa kavum nasi posterior. ASP ini masuk kedalam kavum nasi melalui

39 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
foramen spenopalatina. Foramen spenopalatina terletak pada bagian superior dari
lempeng vertikal tulang palatina, yang membentuk sisi medial dari fosa
pterigopalatina. Foramen dapat ditemukan pada sudut sinus maksila postero
supero medial, pada bagian dalam sambungan turbinet medial. ASP bercabang
menjadi cabang lateral dan posterior septum untuk memperdarahi mukosa
dinding hidung lateral dan septum posterior.1

ETIOLOGI
Penyebab dari epistaksis dapat di bagi menjadi akibat lokal dan sistemik,
bagaimanapun yang terbanyak (80-90 %) adalah idiopatik. Faktor yang
mempunyai kontribusi penting dalam meningkatkan ancaman pecahnya pembuluh
darah pada hidung adalah pembuluh darah pada mukosa hidung berjalan sangat
superfisial dan hampir tidak ada proteksi. Pada sebagian besar kasus, kerusakan
pada mukosa dan dinding pembuluh darah mengakibatkan perdarahan. Pecahnya
pembuluh darah secara spontan dapat terjadi seperti perubahan tekanan yang
ekstrim, waktu mengangkat dan menahan beban berat. Pada setiap epistaksis
perlu memikirkan suatu keganasan sebagai penyebab epistaksis unilateral yang
berulang, kelainan darah, pemakaian obat obatan anti koagulan dan trauma.2

MANAJEMEN
Penatalaksanaan dari epistaksis adalah menentukan titik perdarahan
dengan menggunakan lampu kepala atau sumber cahaya lainnya. Jika titik
perdarahan dapat ditentukan lokasinya, dapat dilakukan kauter atau elektro
kauter. Jika tidak berhasil, penatalaksanaan lanjutan dilakukan bertahap, pertama,
pemasangan tampon anterior dengan kassa atau spons, jika gagal, dilanjutkan
dengan teknik yang lebih meningkat seperti balon kompresi atau tampon
posterior. Akhirnya ligasi arteri atau embolisasi dapat digunakan untuk mengatasi
perdarahan yang sukar berhenti.2

RESUSITASI
Epistaksis adalah keadaan yang potensial untuk mengancam nyawa. Semua
pasien dengan perdarahan yang aktif butuh perencanaan untuk resusitasi apabila
diperlukan. Pada kasus pasien-pasien tua, mungkin penurunan kesadaran sangat
cepat terjadi, resusitasi yang agresif menjadi penting. Peringatan-peringatan
umum harus diingatkan sebelum memulai tidakan resusitasi, termasuk pemakaian
masker dan untuk proteksi mata, keadaan umum harus dimonitor secara teratur.
laboratorium darah lengkap harus diambil dan golongan darah ditentukan.
Pengalaman memperlihatkan bahwa analisis waktu pembekuan rutin diperlukan
untuk kecurigaan-kecurigaan adanya diatesis atau pasien dengan penggunaan
antikoagulan. Manajemen cairan harus diperhatikan bila tanda-tanda hipovolemia
ditemukan. Selama resusitasi, perdarahan yang terjadi harus dikontrol dengan
menekan hidung.2

40 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
PREPARASI NASAL
Preparasi hidung yang baik sangat penting untuk menghindari dan
mengobati penyebab epistaksis. Karena kavum nasi sering tertutup oleh clotting,
sebelum diperiksa, pasien disuruh menghembuskan nafas agak kuat dari hidung
untuk membersihkan clotting ini. Walaupun tindakan ini dapat menimbulkan
perdarahan lagi, tetapi akan membantu memberikan akses untuk tindakan
anestesi. Pemeriksaan secara hati-hati rongga hidung dapat dilakukan dengan
menggunakan spekulum dan dapat membantu mengevakuasi clotting dengan
suction dan sekaligus melihat sumber perdarahan.2
Anestesi lokal, idealnya termasuk memberikan vasokonstriktor, dapat
dipakai untuk mukosa hidung pada litle’s area. Penggunaan metoda bervariasi
pada preparasi, tetapi sebagian besar menggunakan kapas atau nasal spray. Harus
diperhatikan waktu bekerjanya zat anestesi.2
Umumnya analgetik sistemik tidak dibutuhkan ketika melihat sumber
perdarahan atau memasang tampon hidung, mungkin obat sedasi minimal seperti
diazepam sering digunakan pada pasien gelisah atau hipertensi. Anestesi lokal yan
adekuat sangat diperlukan supaya kavum nasi dapat diperiksa dan menghasilkan
pengobatan yang baik.2

KAUTER
Kauter dengan zat kimia dapat menggunakan perak nitrat (75% perak
nitrat, 25% potasium nitrat). Efeknya pada permukaan mukosa menghasilkan
reaksi kerusakan kimia lokal, caranya dengan menekan pada titik perdarahan lebih
kurang 5-10 detik. Efek yang dihasilkannya bervariasi, tergantung kosentrasi dan
paparan. Hati-hati menggunakan perak nitrat supaya tidak mengenai tempat lain.
Jika pengolesan sudah selesai dapat dinetralisir dengan menggunakan saline.
Hanya satu sisi dari septum yang boleh di kauter supaya resiko perforasi septum
akibat penurunan vaskularisasi pada kartilago dapat dihindari. Untuk alasan ini
saya anjurkan untuk mengulang tindakan kauter berjarak 4-6 minggu.2,3
Elektro kauter juga sering digunakan oleh ahli THT dengan dibantu
anestesi lokal. Kauter ini terdiri dari sirkuit elektrik dengan lingkungan metal.
Dengan teknik ini energi panas menutup perdarahan melalui radiasi pada
pembuluh darah, bukan dengan kontak langsung. Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah luka bakar pada lubang hidung dan konka inferior. Resiko ini dapat
diminimalisir dengan penggunaan spekulum hidung yang besar.2

TAMPON ANTERIOR
Tampon anterior dipasang bila perdarahan berlanjut atau sumber
perdarahan tidak terlihat dengan jelas. Ada beberapa jenis tampon anterior,
walaupun spon hidung lebih sering digunakan karena lebih simple dan efektif
untuk menekan pembuluh darah.2,3
Ada beberapa tipe tampon hidung :

41 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
1. Merosel : dibuat dari alkohol polivinyl, foam yang dikompresi dimasukan
kedalam hidung dan akan membesar bila basah. Karena tampon ini membesar
dan mengisi kavum nasi mengakibatkan tekanan diatas sumber perdarahan,
keadan ini juga menjadikan faktor lokal untuk terbentuknya clotting yang
memfasilitasi pembekuan. Merosel mudah untuk dimasukan ke dalam hidung.
Tingkat efektifitasnya 85 %, tidak ada perbedaan dibandingkan dengan
tampon kasa tradisionil.
2. Rapid rino : adalah contoh dari tampon karboksi metil celulosa. Rapid rino ini
merupakan materi hodrokoloid yang diperkaya agregator platelet juga akan
menjad licin bila kontak dengan air. Tidak seperti merosel, rapid rino ini punya
kaf yang digembungkan dengan udara.
3. Tampon anterior formal
Jika tampon hidung gagal untuk mengatasi perdarahan, tampon formal dengan
pita kasa harus digunakan. Umumnya pita kasa ini diolesi vaselin atau pasta
parafin bismut yodoforom. Tampon ini dimasukan dengan spekulum hidung
dibawah anestesi lokal ke dalam kavum nasi. Sesudah tampon hidung
dipasang pasien diperiksa ulang, kemungkinan perdarahan merembes pada
tampon atau hidung sebelahnya atau bagian belakang. Dengan penekan lidah,
orofaring diperiksa untuk melihat jika masih ada perdarahan. Jika masih
terdapat perdarahan, kavum nasi yang sebelahnya juga harus dipasang
tampon. Tindakan ini mengakibatkan penekanan berlebihan pada septum,
walaupun mengurangi perdarahan. Karena komplikasi yang berhubungan
dengan pemasangan tampon sebagian besar pasien dianjurkan untuk dirawat.
Evaluasi tampon selama 24-48 jam, perhatikan kemungkinan komplikasi. Jika
tampon dipertahankan lebih dari 48 jam harus diberikan antibiotik. Tampon
biasanya diangkat dalam tiga hari.2

TAMPON POSTERIOR
Tampon anterior sering tidak efisien untuk mengontrol perdarahan yang
berasal dari bagian belakang kavum nasi. Perdarahan biasanya sukar untuk
dihentikan dan mungkin memerlukan balon insersi atau tampon posterior.2,3
1. Balon insersi
Ada beberapa tipe yang biasa digunakan diantaranya :
 Kateter Foley
Digunakan suatu kateter urine standar yang dimasukan melalui lobang
hidung depan terus sampai ke belakang sampai ujungnya terlihat di
orofaring. Kemudian digembungkan dengan 3-4 mm air atau udara.
Kateter ditarik kedepan atas, sampai balon menyumbat koana. Rongga
hidung kemudian dipasang tampon anterior. Balon dengan hati-hati
difiksasi dengan klem umbilikus pada lobang hidung depan. Penting untuk
melindungi kolumela dengan tisu lembut, supaya tidak terjadi nekrosis
akibat tekanan. Komplikasi lainnya termasuk perubahan letak posterior
dari balon sehingga menyumbat saluran nafas, pecahnya balon bila berisi

42 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
air dapat terjadi aspirasi. Untuk bahan pertimbangan, kateter foley ini
lisensinya bukan untuk penggunaan pada hidung.
 Balon brighton
Ini adalah balon hasil pabrikan, yang khusus untuk mengatasi epistaksis.
Balon ini mempunyai sebuah balon untuk posterior hidung dan sebuah
balon untuk anterior, yang bergerak, dan mengembung masing-masing.
Balon khusus lainnya adalah plug simson dan kateter hidung epistat.
2. Tampon posterior formal
Ini adalah tindakan yang kurang nyaman (sebaiknya dilakukan dengan
anestesi umum). Tampon yang terdiri dari kasa yang diberi tali diikatkan
melalui kateter yang dimasukkan lewat hidung, dengan manuver jari melalui
rongga mulut menekan tampon terus ke nasofaring sampai tampon tersangkut
di koana. Tali pengikat tampon di fiksasi ke pipi, penting untuk menjaga
nekrosis akibat tekanan. Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan orang
tua atau anak-anak yang butuh perhatian lebih, sebaiknya diruangan intensif
untuk mempermudah monitoring.

OPERASI
Perdarahan-perdarahan yang gagal diberhentikan dengan teknik diatas, di
anjurkan untuk intervensi bedah. Termasuk perdarahan yang masih berlanjut
setelah pembukaan tampon. Sebelum tindakan, diperlukan hemodinamik pasien
yang stabil, pada sebagian besar kasus yang dibutuhkan anestesi umum, walaupun
pada pasien-pasien tua, anestesi lokal dengan sedasi dapat digunakan. Intervensi
bedah dibagi atas diatermi, operasi septum dan ligasi arteri.2
1. Diatermi
Melokalisir sumber perdarahan dibawah anestesi umum lebih mudah, karena
akses lebih baik. Penggunaan bipolar diatermi lebih baik dibandingkan
diatermi monopolar, pernah dilaporkan kerusakan saraf optik atau
okulomotor sesudah penggunaan monopolar didekat mata.
2. Operasi septum
Operasi septum kadang-kadang dilakukan untuk membuat akses lebih baik
kedalam rongga hidung atau apabila perdarahan terjadi dari septum sendiri.
Membuat flap mukoperikondrial selama operasi septum terbukti
menguntungkan, karena menurunkan aliran darah ke mukosa. Operasi juga
digunakan untuk mengoreksi septum yang deviasi atau mengangkat spina
septum yang menyebabkan epistaksis.
3. Ligasi arteri sfeno palatina
Pada kasus-kasus perdarahan yang berlanjut setelah tahapan tindakan diatas
dikerjakan, prosedur ligasi ASF ini harus menjadi pilihan selanjutnya.
Tindakan ini dilakukan dibawah endoskopi kaku, pembuluh darah dijepit atau
dikoagulasi dengan menggunakan diatermi bipolar. Angka keberhasilannya
dilaporkan lebih baik dari ligasi arteri yang lainnya mungkin karena sedikitnya
aliran kolateral dari arteri ini.

43 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
4. Ligasi arteri etmoid anterior/posterior
Ligai arteri ini dilakukan untuk perdarahan hebat yang berasal dari regio
etmoid dan dilakukan dengan insisi etmoid eksternal pada daerah kulit sampai
subperiostrial pada dinding mata bagian medial. Sekarang teknik ini di
gabungkan dengan bantuan endoskopi.
5. Ligasi arteri maksilaris
Tindakan ini jarang dilakukan sekarang, sejak diperkenalkan operasi
endoskopik hidung walaupun angka efektifitasnya masih tinggi. Pendekatan
operasi ini adalah dengan melakukan operasi cadwell luc yang dimodifikasi
melalui dinding posterior sinus maksila menuju fosa peterigopalatin. Arteri
maksilaris dapat dijepit atau didiatermi. Komplikasi tindakan ini adalah
devitalisasi gigi, sinusitis dan perdarahan intra operatif.
6. Ligasi arteri karotis eksterna
Ligasi arteri karotis untuk epistaksis yang tidak teratasi pertama kali
dilaporkan oleh pilz 1869. Ligasi ini merupakan metoda yang tidak spesifik
untuk menurunkan aliran darah ke hidung. Berdasarkan penelitian, angka
kegagalannya sampai 45 %. Ini karena aliran pembuluh darah hidung banyak
di suplai oleh kontra lateral karotis eksterna. Ligasi arteri karotis eksterna ini,
dilakukan sebagai tindakan terakhir untuk mengontrol perdarahan, apabila
perdarahan tidak terkontrol juga sesudah seluruh tindakan diatas dilakukan.

PILIHAN PENATALAKSAAN LAINNYA.2


1. Embolisasi engiografi
Sokolof pertama kali melakukan embolisasi angiografi untuk epistaksis tahun
1972. Embolisasi dilakukan secara rutin pada beberapa sentra untuk
mengobati epistaksis yang sukar diatasi. Tekniknya adalah dengan memasang
kanul pada arteri karotis eksterna dan lokasi titik perdarahan, dengan
kontras berupa Coils, jelfom dan alkohol polivnyl dapat menyumbat arteri
penyebab perdarahan. Angka keberhasilan dilaporkan lebih dari 87%, hampir
sama dengan ligasi arteri. Faktor keterbatasan teknik ini maih tinggi, seperti,
kurangnya spesialis radiologi, kurangnya alat, tidak boleh dilakukan
penyumbatan arteri etmoid karena resiko kebutaan , aneurisma palsu pada
sisi insersi awal, kejadian serebro vaskuler dan kesukaran imaging bila
hidung sudah ada tampon. Penelitian melaporkan angka komplikasi 17%-
27%.2
2. Fibrin glue
Dikembangkan dari kriopresipritat plasma manusia dan dapat menutup
pembuluh darah yang rusak. Caranya, dengan menyemprotkan lapisan tipis
glue diatas perdarahan dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Baru-baru ini
hasil penelitian melaporkan komplikasi yang ditemui adalah udem lokal,
atropi mukosa hidung dan ingus kental dari hidung. Perdarahan kembali
sekitar 15%, sebanding dengan tindakan elektro kauter.

44 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
3. Elektro kauter dengan Endoskopi
Penemuan hopkins tahun 1960 menjadikan operasi hidung revolusioner.
Teknologi terbaru ini juga diadaptasikan untuk pengobatan epistaksis.
Pemeriksaan kavum nasi menggunakan endoskop kaku 00 atau 300. Bekuan
darah diangkat menggunakan suction, sehingga dapat mendeteksi titik
perdarahan. Tindakan ini adalah suatu yang praktis untuk dilakukan.Seperti
pada pemeriksaan rutin kavum nasi, pertama kali identifikasi lokasi titik
perdarahan, elektro kauter digunakan untuk menutup pembuluh darah,
sebaiknya dipakai kauter bipolar dengan suction terintegrasi untuk
memperjelas lapangan pandang dan meningkatkan efisiensi kauter. Tampon
hidung direkomendasikan bila perdarahan gagal diberhentikan atau
perdarahan tidak dapat diindentifikasi. Penelitian menggambarkan prosedur
ini mempunyai angka keberhasilan 89%, tidak diperlukan kontrol ulang
sampai 74%, keuntungan lainnya, pada sebagian besar kasus tidak diperlukan
lagi pemasangan tampon.2
4. Irigasi air hangat
Irigasi air hangat adalah suatu menajemen alternatif untuk epistaksis
posterior. Tekniknya bervariasi, tapi utamanya sebuah kateter balon
digunakan untuk meutup koana posterior kemudian air dengan suhu 450 C –
500 C di masukan kedalam rongga hidung . disamping membantu
membersihkan clotting darah dari hidung, irigasi ini mungkin menurunkan
aliran darah lokal melalui mekanisme udem pada mukosa.2
5. Laser
Laser terbukti berguna pada kasus-kasus epistaksis berulang, seperti yang
terjadi pada telangiektasis herediter hemoragik. Nd : YAG laser umumnya yang
sering digunakan dengan bantuan endoskopi. Walaupun laser argon dan CO2
juga banyak digunakan.2

FOLLOW UP
Seluruh pasien dengan riwayat epistaksis hebat membutuhkan
pemeriksaan terstruktur dari kavum nasi termasuk lesi tumor. Pemeriksaan ini
harus dilakukan sebelum pasien pulang atau dipoliklinik. Pasien sebaiknya
diberikan catatan petunjuk untuk pertolongan pertama pada epistaksis dan
pelajaran sederhana untuk menghindarkankan perdarahan berulang seperti
aktifitas yang mungkin menimbulkan ransangan perdarahan (bersin,
menghembuskan nafas dengan kuat, memencet hidung, mengangkat beban berat,
latihan yang berat) dan berhenti dari alkohol atau minuman panas yang dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah hidung. Untuk mengatasi perdarahan
berulang krim anti septik topikal atau jeli dapat diresepkan walaupun
efektifitasnya masih dipertanyakan.2
Pasien dengan tekanan darah tinggi pada saat datang ke IGD butuh
pemeriksaan oleh dokter keluarga setelah keluar dari rumah sakit. Riwayat
pengobatan pasien, khususnya antikoagulan perlu perhatian khusus dalam

45 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
penatalaksanaannya, sungguhpun penelitian prospektif memperlihatkan warfarin
tidak perlu diberhentikan pada level sesuai dosis terapi. Pengobatan aspirin
terlihat mempunyai hubungan dengan perawatan epistaksis perlu
dipertimbangkan, penghentian terapi aspirin dapat mengakibatkan komplikasi
tromboemboli.2

KESIMPULAN
Epistaksis merupakan salah satu masalah kegawatdaruratan dibidang THT
yang sering ditemukan dan membutuhkan penanganan yang sistematis.
Penanganan yang sistematis mulai dari prosedur sederhana yang dapat dilakukan
di klinik atau ruang emergensi sampai dengan pembedahan dan teknik endoskopi
pada kasus-kasus yang lebih sulit. Etiologi epistaksis sebagian besar tidak
diketahui atau idiopatik (80-90%) sehingga yang perlu diperhatikan pasca
penaganan epistaksis adalah faktor risiko terjadinya epistaksis, baik yang bersifat
lokal maupun sistemik. Pasien sebaiknya diberikan catatan petunjuk untuk
pertolongan pertama pada epistaksis dan pelajaran sederhana untuk
menghindarkan perdarahan berulang seperti aktifitas yang mungkin menimbulkan
ransangan perdarahan dan berhenti konsumsi alkohol atau minuman panas yang
dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah hidung.

DAFTAR PUSTAKA
1. Synderman CH, Carrau RL. Epistaxis. In: Myers EN, ed. Operative
Otolaryngology Head and Neck Surgery, 2nd ed. Philadelphia: Saunders,
Elsevier in corp ; 2006. p7-16
2. Rope LER, Hobbs CG. Epistaxis: an update on current management. Postgrad
Med J 2005;81:309–314
3. Leong SCL, Roe RJ, Karkanevatos A. No frills management of epistaxis. Emerg
Med J 2005;22:470–2

46 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
47 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Komplikasi Orbita Akibat Rinosinusitis Akut:
Pemahaman Anatomi Sinus Paranasal dan Patogenesis
untuk Penatalaksanaan Terkini

Retno S. Wardani, Endang Mangunkusumo


Divisi Rinologi - Departemen Telinga Hidung Telinga Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RS Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta – Indonesia

Abstrak

Latar Belakang: Rinosinusitis akut adalah diagnosis yang banyak ditegakkan di


fasilitas tingkat kesehatan primer serta sebagai penyebab digunakannya
antibiotika yang tidak rasional. Komplikasi orbita dan intrakranial tidak dapat
dicegah dengan pemberian antibiotika profilaksis. Terapi pilihannya adalah
pemberian antibiotika dosis tinggi dan pembedahan. Tujuan: Untuk mengingatkan
kembali bahwa diagnosis penyakit harus didasari oleh kemampuan analisis yang
baik dalam memahami anatomi organ terkait yang akan memberikan gejala sesuai
dengan terjadinya patologi pada fungsi organ tersebut (patofisiologi) dan
perluasan penyakit pada organ sekitarnya. Terapi terbaik adalah sesuai dengan
diagnosis yang telah ditegakkan dengan baik. Tinjauan Pustaka: Sistem
penderajatan klinik pada komplikasi orbita akibat rinosinusitis digunakan sebagai
instrumen diagnostik terstandardisasi untuk klasifikasi penyakit dan
penatalaksanaan dini serta indikasi rujukan ke dokter spesialis THT untuk
tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional. Klasifikasi yang banyak digunakan
adalah berdasarkan sistem klasifikasi Chandler karena menerangkan dengan baik
gejala dan tanda klinik berdasarkan anatomi, patofisiologi serta patogenesis
perluasan inflamasi dan infeksi sinus paranasal ke rongga orbita. Kesimpulan:
Rinosinusitis akut dengan komplikasi orbita tidak dapat dicegah dengan
pemberian antibiotika pada praktek klinik sehari-hari.

Kata kunci: rinosinusitis akut, komplikasi orbita, bedah sinus endoskopik


fungsional

Abstract

Background: Acute rhinosinusitis is commonly diagnosis found in primary health


care and highly caused irrational and inappropriate prescription of antibiotic.
Orbital and intracranial complication in acute rhinosinusitis can not be prevented by
prophylaxis antibiotic treatment. The best treatment of choice is high dose
intravenous antibiotic and surgical intervention. Objective: To remind that
diagnostic procedure should be made through a good framework thinking and
critical analysis based on pathophysiology understanding and anatomically disease
extension to the surrounding organ. The best treatment is just following a good

48 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
working diagnosis. Literature Review: Clinical grading system in orbital
complication of acute rhinosinusitis is applied as standardized diagnostic instrument
for disease classification, early treatment and refereral indication to ENT specialist
for Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) intervention. Chandler classification
has been widely used because it organizes typical patterns of orbital complication
into a logical progression based on intimate anatomical and pathophysiological
relationship between the orbit and its content and the paranasal sinus. Conclusion:
Antibiotic treatment of acute rhinosinusitis in general practice does not play a role in
preventing orbital complication.
Keywords: acute rhinosinusitis, orbital complication, functional endoscopic
sinus surgery

Dipresentasikan pada: Simposium dan Workshop Emergensi Di Bidang Telinga


Hidung dan Tenggorok, Hotel Pangeran Beach Padang, 9 Februari 2013.

Alamat Korespondensi: Retno S. Wardani, Divisi Rinologi, Departemen THT FKUI -


RSCM. Jl. Diponegoro 71 Jakarta. email: retno.wardani@ui.ac.id

PENDAHULUAN
Komplikasi orbita dapat diakibatkan oleh berbagai proses patologik yang
terjadi di sinus paranasal seperti infeksi, inflamasi, tumor, metastasis, trauma,
penyakit sistem endokrin dan vaskuler1-3. Lesi patologik pada mata dapat
bervariasi dari yang ringan berupa edem reaktif orbita, selulitis orbita, abses
orbita, penurunan tajam penglihatan sampai dengan terjadinya kebutaan dan
trombosis sinus kavernosus4.
Infeksi orbita sekunder akibat rinosinusitis akut bakteriil berbeda dengan
komplikasi orbita pada inflamasi kronik sinus paranasal akibat perluasan dan
erosi dinding orbita dan penekanan orbita karena mukosil sinus frontoetmoid atau
karena reaksi imunologik lokal1,4. Selulitis orbita adalah komplikasi yang sering
terjadi pada rinosinusitis bakteriil. Jika terjadi sinusitis etmoid, infeksi akan
meluas melalui dinding tipis yang membatasi rongga sinus dan rongga orbita, yaitu
lamina papirasea, atau melalui dasar rongga orbita pada sinusitis maksila dan atap
rongga orbita pada sinusitis frontal. Infeksi juga dapat terjadi di bawah periosteum
dan membentuk abses subperiosteal. Abses intraorbita dapat berasal dari selulitis
obita lokal dan meluas secara progresif1-3,5-7. Di era antibiotika ini, insidensi
infeksi orbita sekunder akibat rinosinusitis akut yang mengakibatkan kebutaan
semakin menurun. Kebutaan terjadi biasanya akibat antibiotika intravena dosis
tinggi yang terlambat diberikan, tanda-tanda penurunan visus akibat perluasan
penyakit menjadi neuritis optikus yang tidak dimonitor dengan ketat dan
tertundanya dekompresi orbita melalui intervensi bedah1-7.
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah tindakan pembedahan
yang bertujuan untuk melakukan eradikasi fokus infeksi serta dekompresi orbita
untuk mencegah meluasnya infeksi, mencegah kebutaan dan memperpendek
waktu sakit dan perawatan di rumah sakit2,8.

49 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Makalah ini dipresentasikan untuk mengingatkan kembali bahaya
komplikasi orbita yang dapat mengakibatkan kebutaan pada rinosinusitis akut
bakteriil. Penatalaksanaan dini dengan pemberian antibiotika intravena dosis
tinggi yang adekuat serta waktu rujukan yang tepat untuk intervensi BSEF akan
menyelamatkan pasien dan mempertahankan kualitas hidupnya yang terbaik.

TINJAUAN PUSTAKA
Insidensi
Selulitis dan abses orbita terutama terjadi pada anak dan dewasa muda
dengan insidensi tertinggi pada usia 15 tahun. Jika terjadi pada usia yang lebih
dewasa biasanya gejalanya akan lebih berat. Sebelum ada program vaksinasi
Hemofilus influenza yang luas pada tahun 1985, bakteri patogen yang sering
mengakibatkan selulitis periorbita dan orbita dalah infeksi yang berhubungan
dengan infeksi susunan saraf pusat; tetapi sekarang kuman yang tersering
didapatkan dari kultur mikrobiologi adalah Stafilokokus aureus dan spesies
Streptokokus. Pasien anak yang menderita rinosinusitis dan bersamaan dengan
adanya keterlibatan orbita merupakan indikasi bahwa telah terjadi inflamasi
akibat infeksi bakteriil1,2,7.
Dilaporkan dari data dasar perawatan rumah sakit di Belanda pada tahun
2004, terdapat 419 pasien dengan kemungkinan komplikasi rinosinusitis akut.
Evaluasi kelengkapan rekam medik, radiologi dan mikrobiologi didapati 47 pasien
rinosinusitis akut dengan 48 komplikasi, 16 dengan komplikasi intrakranial dan 32
dengan komplikasi orbita. Pasien laki-laki dengan komplikasi orbita sebanyak 22
dan pasien anak sebanyak 21 orang. Usia berkisar antara 6 bulan – 74 tahun
(rerata usia 17,4 tahun). Enam puluh lima persen (65%) pasien melaporkan gejala
khas rinosinusitis akut pada saat masuk rumah sakit. 3 orang anak mengeluh sakit
kepala, demam dan malaise tanpa rinore purulent. Pada 8 kasus tidak diketahui
apakan gejala rinosinusitis akut ada atau tidak ada pada saat pertama kali datang1.
Faktor predisposisi terjadinya perluasan infeksi ke orbita disebabkan oleh
dehisensi karena kelainan kongenital, tindakan bedah iatrogenic atau trauma pada
dinding tulang, foramina neurovaskuler pada sinus etmoid anterior dan posterior
dan pembuluh darah tanpa katup dan vena diploic yang menghubungkan sinus
paranasal dan orbita sehingga menjadi jalur perluasan thrombophlebitis septik
infeksi sinus ke orbita1.5-7.

Anatomi
Perluasan penyakit dari sinus paranasal ke rongga orbita dapat terjadi
melalui tulang-tulang tipis yang membatasi kedua rongga tersebut dan juga
melalui aliran pembuluh darah vena 5,9.
Vena oftalmika yang tidak memiliki katup sama sekali merupakan
penyebab terdapatnya hubungan 2 arah antara wajah, rongga hidung, fosa
pterygoid dan sinus paranasal. Vena oftalmika superior berlanjut pada sudut
dalam orbita dengan vena nasofrontal dan berhubungan juga dengan vena

50 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
angularis pada wajah. Vena oftalmika inferior bermula sebagai jejaring vena pada
dasar dan dinding medial orbita dan memperoleh percabangan dari sakus
lakrimal, palpebral dan otot orbita. Vena ini berjalang kearah belakang pada ½
bawah orbita dan bercabang menjadi 2, melalui fisura orbita inferior bergabung
dengan pleksus vena pterygoid dan memasuki otak melalui fisura orbita superior
yang juga berakhir di sinus kavernosus. Aliran darah antara pembuluh darah
etmoid dan oftalmika bergerak bebas dua arah 5,9.
Periosteum orbita yang disebut juga sebagai periorbita merupakan struktur
anatomi penting yang dapat menjadi penyebab perluasan penyakit, karena
struktur ini merupakan satu-satunya sawar (barrier) jaringan lunak antara sinus
paranasal dan isi rongga orbita. Perluasan infeksi dapat terjadi karena sel-sel
etmoid berada pada ½ superior rongga hidung dan rongga orbita 5,9.
Sinusitis frontal jarang mengakibatkan komplikasi orbita, tetapi hubungan
antara sinus frontal dan orbita dapat terjadi melalui 3 lokasi dehisensi alamiah
pada tulang frontal, yaitu di belakang fosa troklearis, di belakang foramen
supraorbita dan pada pertemuan antara bagian medial dan 2/3 lateral dasar sinus
frontal5,9.

Klasifikasi
Sistem klasifikasi Chandler yang banyak digunakan untuk
mengelompokkan komplikasi orbita dipublikasikan pertama-kali pada tahun 1970.
Terdapat 5 kategori selulitis orbita yang menunjukkan spektrum dan tahapan
keterlibatan orbita pada infeksi sinus paranasal, yaitu: 1) edem inflamatorik, 2)
flegmon dan abses subperiosteal, 3) selulitis orbita, 4) abses orbita, 5) trombosis
vena oftalmika dan sinus kavernosus9.
Edema Preseptal dan Selulitis Pre-septal Bakteriil. Selulitis preseptal
adalah infeksi yang terbatas pada kulit dan jaringan subkutan palbebra di anterior
dari septum orbita. Edem preseptal adalah tahap awal infeksi orbita sekunder
akibat sinusitis dan sering salah didiagnosis sebagai selulitis periorbita dan orbita.
Infeksi orbita pada tahap ini sebenarnya infeksi yang masih terbatas pada sinus,
karena bengkaknya palpebral dengan edem orbita ringan terutama pada bagian
medial menunjukkan adanya kongesti dari aliran vena. Pada pemeriksaan klinik
tampak eritem dan edem palpebra, tanpa proptosis, tanpa kemosis dan tanpa
keterbatasan gerakan bola mata. Gambaran pada tomografi komputer dan MRI
menunjukkan palpebra yang edem dan perselubungan inflamasi pada sinus
paranasal 5,9.
Selulitis orbita post-septal. Jika infeksi meluas sampai ke belakang
septum dan terjadi infeksi pada tulang ronnga orbita maka akan terjadi selulitis
post-septal. Edem akan lebih berat dan palpebra edem dan teraba lebih keras pada
perabaan. Pemeriksaan radiologi dengan media kontras dapat membedakan edem
inflamatorik, selulitis, flegmon orbita dan abses orbita 5,9.
Flegmon dan abses subperiosteal. Pada saat reaksi peradangan berlanjut
dan terjadi pada periosteum orbita, maka edem pada kelopak mata dan

51 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
konjungtiva menjadi lebih meluas dan bola mata mulai menonjol. Sel-sel radang
dan edema yang terjadi di bawah periosteum (subperiosteum) akan membentuk
flegmon dan bisa berkembang menjadi abses subperiosteal. Perjalanan penyakit
dari selulitis intraorbita atau perluasan dari ruang subperiosteal dapat menjadi
pembentukan abses intrakonal atau ekstrakonal.

Gambar 1. Sistem klasifikasi Chandler9

Trombosis sinus kavernosus, dapat merupakan akibat perluasan infeksi


dari sinus paranasal dan orbita dan dari sepertiga tengah wajah. Patologi yang
terjadi adalah tromboflebitis septik pada vena oftalmika. Pemeriksaan radiologi
menunjukkan adanya trombosis jika terjadi penyangatan rendah arteri karotis
interna dan tampak struktur tubuler yang menyangat dengan filling defect pada
sinus kavernosus serta vena oftalmika superior yang tampak membesar.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya hubungan antara gejala dan
tanda okuler dan rinosinusitis akut bakteriil. Pemeriksaan penunjang tomografi
komputer harus dilakukan segera jika dicurigai terdapat hubungan antara kedua
kondisi ini. MRI dapat dilakukan pada kasus dengan kecurigaan trombosis sinus
kavernosus. Pemeriksaan kultur mikrobiologi dan sensitivitas antibiotika
dilakukan pada aspirat atau usapan meatus medius dengan bantuan
nasoendoskopi. Aspirat dari sinus maksila sudah jarang dilakukan karena kuman
penyebab hasil pemeriksaan usapan meatus medius dan sinus maksila biasanya
menunjukkan hasil yang sama dan sesuai. Pemeriksaan rutin darah tepi ditujukan

52 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
untuk mengetahui gambaran infeksi dan inflamasi seperti jumlah lekosit, hidung
jenis lekosit dan laju endap darah. Infeksi dan inflamasi kronis dengan kuman
penyebab Streptokokus dapat diskrining dengan pemeriksaan ASTO (anti-
streptolysin O) dan CRP (c-reactive protein). Penanda infeksi seperti pemeriksaan
pro-calcitonin bukanlah merupakan pemeriksaan rutin yang diminta; biasanya
dilakukan pada kasus komplikasi orbita yang didasari oleh penyakit inflamasi
autoimun dan mengalami infeksi sekunder1-9.
Gejala okuler utama yang dikeluhkan pasien adalah berkurangnya tajam
penglihatan, nyeri okuler, kelopak mata yang membengkak, kemosis dan proptosis
aksial atau non-aksial, nyeri pada saat menggerakkan bola mata dan mungkin
disertai dengan pandangan ganda. Pasien tidak harus mengeluhkan adanya
diplopia karena bengkak pada kelopak mata bisa menghalangi pandangan pada
mata yang terkena1,3,5-7. Penelitian komplikasi orbita pada rinosinusitis akut yang
dilakukan oleh Hansen dkk1 di Belanda dari 31 pasien dengan 32 komplikasi orbita
pada rinosinusitis akut, mendapatkan gejala orbita terbanyak adalah bengkak dan
merah kelopak mata (29), nyeri bola mata (13), proptosis (28), hambatan gerakan
bola mata (6) dan/atau gangguan visus (4)
Pada saat pasien datang pertamakali juga harus dilakukan anamnesis
terhadap gejala rinosinusitis akut. Kriteria diagnosis yang digunakan adalah
menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS)
20122, terdapat 2 gejala utama yaitu hidung tersumbat rinore purulent atau ingus
belakang hidung, diserta dengan atau tanpa sakit kepala, nyeri wajah dan
gangguan penghidug. Anamnesis juga dilengkapi dengan waktu terjadinya gejala
yang kurang dari 12 minggu, atau gejala yang berulang dengan episode akut antara
7 – 10 hari dan jarak antara 2 episode kurang dari 6 minggu. Hansen dkk 1
melaporkan bahwa 65% (20 dari 31) pasien dengan komplikasi orbita
mengeluhkan gejala rinosinusitis akut yang khas, 3 pasien anak tidak didapatkan
rinore purulen tetapi mengeluh sakit kepala, demam dan malaise, sedangkan 8
kasus tanpa gejala hidung dan sinus. Empat puluh tiga persen (14/32) pasien
mendapatkan antibiotika oral sebelum perawatan di rumah sakit selama 5,2 ± 5,7
hari (pasien dewasa: 6,33 ± 7,1 hari, pasien anak: 5,5 ± 6,4 hari), yaitu amoksisilin
(4), amoksisilin / asam klavulanat (4), klaritromisin (2), flukosaksilin (1),
doksisiklin (1) dan tanpa keterangan (2). Tiga belas pasien dengan keluhan
rinosinusitis akut tidak mendapatkan antibiotika sebelum dirawat di rumah sakit.
Berdasarkan panduan dari EPOS2, kasus rinosinusitis akut yang harus
segera dirujuk ke dokter spesialis THT atau dirawat untuk pemberian antibiotika
adalah jika didapatkan gejala edem periorbita, bola mata yang bergeser,
pandangan ganda, kelumpuhan otot bola mata (oftalmoplegia), penurunan tajam
penglihatan, nyeri kepala bagian frontal berat unilateral atau bilateral,
pembengkakan dahi atau daerah frontal serta gejala meningitis dan tanda-tanda
fokal neurologi, seperti kejang, muntah proyektil dan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan fisik mata yang wajib dilakukan adalah untuk mengetahui
secara dini penurunan tajam penglihatan yang menunjukkan adanya neuritis

53 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
optikus. Perburukan tajam penglihatan merupakan keadaan gawat darurat yang
menjadi indikasi untuk tindakan intervensi bedah segera untuk dekompresi orbita.
Kemampuan untuk membedakan warna juga dapat digunakan untuk mengetahui
memberatnya penyakit karena peningkatan tekanan intraorbita yang
mengakibatkan regangan nervus optikus dan pada pemeriksaan, pasien tidak
dapat membedakan warna merah atau hijau5,7,9.
Tanda trombosis sinus kavernosus pada pemeriksaan fisik sesuai dengan
anatomi topografi yang terdekat dengan sinus kavernosus yaitu adanya paresis
nervus kranial III dan VI akibat perluasan langsung secara hematogen atau adanya
gangguan / stasis vena orbita. Oklusi vena pada retina akan mengakibatkan papil
edem, perdarahan retina dan hilangnya penglihatan. Perluasan ke sinus
kavernosus kontralateral melalui sinus interkavernosus dapat terjadi dalam waktu
24 – 48 jam sesudahnya5,7,9.
Tomografi komputer adalah pemeriksaan penunjang yang penting untuk
penderajatan selulitis orbita, karena dapat memberikan perbedaan yang jelas
proses inflamasi yang terjdi di orbita dan memberikan gambaran isi orbita yang
mengalami infeksi. Pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi adanya abses pada
struktur orbita, lokasi dan perluasan infeksi yang dapat mempengaruhi
penatalaksanaan selanjutnya. Pemeriksaan MRI bukan merupakan pilihan sebagai
pemeriksaan penunjang karena keterbatasannya dalam merepresentasikan tulang
dan tidak dapat digunakan untuk panduan (roadmap) pada tindakan BSEF, tetapi
MRI dapat memberikan gambaran yang lebih baik untuk membedakan infeksi pre-
septal dan post-septal serta terjadinya komplikasi intrakranial1-8.
Karakteristik gambaran tomografi komputer dengan kontras pada selulitis
orbita adalah penyangatan dari jaringan lemak retikulum orbita dan jaringan
sekitarnya. Keterlibatan maksimal akan terlihat pada lemak ekstrakonal yang
berdekatan dengan sinus paranasal terparah. Walaupun pada pasien didapati
proptosis biasanya lemak intrakonal secara radiologik tidak ada kelainan1-8.
Abses subperiosteal dapat terlihat dengan jelas pada potongan aksial
tomografi komputer yang menunjukkan bergesernya muskulus rektus medial dan
abses yang terdapat di orbita; sedangkan potongan koronal untuk mengevaluasi
batas orbita dan sinus paranasal. Pada gambaran tomografi komputer dengan
media kontras, abses subperiosteal akan tampak sebagai massa yang menyangat
pada daerah ekstrakonal. Lesi cincin yang menyangat atau gambaran
terperangkapnya udara merupakan tanda patognomonik dari abses subperiosteal.
Dari gambaran radiologik, proptosis akan tampak sebagai deformitas konal pada
bagian posterior bola mata.1-8
Untuk mendiagnosis trombosis sinus kavernosus, MRI dengan flow
parameter atau MR venogram merupakan pemeriksaan radiologik yang lebih
unggul dibandingkan tomografi komputer2. Aneurisma mikotik septik pada arteri
karotis interna adalah komplikasi berat dari trombosis sinus kavernosus. Keadaan
ini dapat dicurigai dengan pemeriksaan tomografi komputer dan MRI, tetapi
diagnosis pastinya ditegakkan dengan pemeriksaan angiografi1-8.

54 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Pemeriksaan kultur mikrobiologi dengan hasil tidak ditemukan bakteri
pada rinosinusitis akut disertai dengan komplikasi orbita, dilaporkan oleh Hansen
dkk.1 Bakteri tidak ditemukan dari kultur sekret sinus pada 1 kasus dari 3 pasien
sedangkan dari kultur darah sebanyak 9 dari 10 pasien. Pemeriksaan rutin darah
tepi juga tidak memberikan kontribusi dalam membedakan selulitis pre-septal,
selulitis orbita atau abses intraorbita, tetapi dapat digunakan untuk mengevaluasi
hasil pengobatan.

Penatalaksanaan Medikamentosa dan Bedah


Komplikasi orbita yang disebabkan rinosinusitis akut harus segera
mendapat pengobatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perluasan
infeksi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Prinsip pengobatan
adalah mengatasi infeksi dari sinus itu sendiri sebagai penyakit dasar, disertai
pengobatan atau tindakan terhadap komplikasi yang timbul. Penanganan
komplikasi orbita yang disebabkan rinosinusitis akut harus dilakukan oleh tim
yang terdiri dari dokter spesialis THT dan spesialis Mata yang baik. Berdasakan
pandauan penatalaksaan menurut EPOS 20122 terdiri dari: 1) pemberian
antibiotika intravena dosis tinggi, 2) pasien dirawat untuk mengobservasi adanya
perluasan komplikasi, 3) Pemeriksaan tomografi komputer.
Terapi antibiotika intravena harus segera dimulai dan dapat dimodifikasi
berdasarkan respons klinik, hasil pewarnaan Gram, hasil kultur mikrobiologi dan
sensitivitas. Sampai saat ini tidak ada penelitian RCT (randomized clinical trial)
yang dipublikasikan untuk mengetahui jenis antibiotika yang efektif untuk selulitis
orbita2. Pilihan antibiotika biasanya secara empiris yang mecakup bakteri
penyebab pada infeksi saluran napas atas dan rinosinusitis terutama Streptokokus
pneumonia, Stafilokokus aureus, Streptokokus piogenes. Jika terdapat riwayat
trauma, antibiotika yang mencakup Stafilokokus aureus juga harus diberikan. Pola
resistensi kuman lokal juga harus diketahui untuk memilih antibiotika empirik
yang sesuai2.
Pada kasus selulitis pre-septal yang ringan pada dewasa dan anak berusia
lebih dari 1 tahun tidak terdapat tanda tanda toksik sistemik serta mudah difollow
up dengan rawat jalan dapat diberikan terapi antibiotika oral empirik terlebih
dahulu; tetapi jika terjadi perburukan keadaan umum, maka harus dilakukan alih
terapi ke antibiotika intravena sambil dilakukan evaluasi diagnosis banding dan
kemungkinan resistensi kuman. Indikasi rawat inap adalah pasien yang
memerlukan antibiotika intravena, termasuk pasien anak berusia kurang dari 1
tahun, pasien tanpa riwayat imunisasi Hemofilus influenza atau Streptokokus
pneumonia, pasien imunokompromais, dan terdapat tanda-tanda toksik sistemik.
Terapi harus dilanjutkan sampai terjadi perbaikan tanda-tanda klinik, dan
selanjutnya bisa diberikan antibiotika oral selama 7-10 hari secara rawat jalan.
Pasien juga harus diedukasi untuk kontrol kembali jika terjadi perburukan gejala
dan tanda1,2,7. Penatalaksanaan secara medikamentosa selulitis orbita umum
dilakukan di USA2, sedangkan laporan dari Munich10 dan Singapura8 95% dan 65%

55 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
selulitis orbita langsung dilakukan terapi bedah tanpa penatalaksanaan
medikamentosa.
Setiap infeksi yang diduga akan mengakibatkan infeksi jaringan post-septal
harus mendapat antibiotika intravena spektrum luas dan mencakup juga bakteri
anaerob. Lama pemberian antibiotika bervariasi tergantung dari respons klinik
dan perluasan infeksi. Biasanya terapi diberikan selama 10 – 14 hari.1-12 Steroid
sistemik dan dekongestan bukan merupakan pilihan rutin yang diberikan2.
Beberapa peneliti menganjurkan intervensi bedah jika dalam 24 – 48 jam
pemberian terapi medikamentosa tidak memperbaiki keadaan pasien. Sebagai
tambahan indikasi bedah adalah jika terdapat 1 dari 5 keadaan berikut: 1)
terdapat abses pada tomografi komputer, 2) tajam penglihatan 20/60 atau lebih
jelek dan memburuk dalam masa perawatan, 3) komplikasi orbita yang berat
seperti kebutaaan, gangguan reflex aferen pupi pada saat pertama kali datang, 4)
perburukan gejala dan tanda orbita walaupun sudah diberikan terapi, 5) tidak ada
perbaikan dalam waktu 48 jam terapi medikamentosa. Caruso dkk13 melaporkan
indikasi untuk operasi pada komplikasi obita adalah: (1) Chandler derajat I atau II
yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian antibiotika dosis tinggi
intravena dalam 24-48 jam, (2) adanya penurunan visus (3) proptosis dan
oftalmoplegia yang bertambah berat dan (4) adanya gambaran abses pada
tomografi komputer. Terapi bedah juga harus dilakukan untuk mengembalikan
ventilasi dan drenase sinus yang terkena.
Tujuan utama pembedahan adalah mengevakuasi abses subperiosteal dan
intraorbita, yang dapat dilakukan secara endoskopik atau pendekatan eksterna.
Tujuan ke-dua adalah membuka, mencuci dan mengembalikan fungsi ventilasi dan
drenase sinus. Dekompresi dengan teknik endoskopi memberikan hasil yang
memuaskan, oleh karena dengan adanya sumber cahaya yang terang dapat
memberikan visualisasi sinus etmoid yang lebih baik. Teknik ini disukai karena
kurang traumatik dan tidak terdapat luka bekas operasi serta waktu penyembuhan
lebih cepat; tetapi teknik ini memerlukan keterampilan operator dalam
menggunakan teleskop2,5,10-11. Pilihan operasi dapat berupa antral lavage,
antrostomi (meatus medius), etmoidektomi, etmoidektomi ekternal, Caldwell-Luc,
spenoidektomi, trepinasi frontal dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
Pendekatan dengan teknik endoskopi intranasal pada anak mempunyai masalah
tersendiri yaitu kurangnya visualisasi yang disebabkan ukuran struktur anatomi
hidung yang lebih kecil dan resiko perdarahan tinggi akibat peradangan akut
mukosa sinus. Hal ini dapat diatasi dengan pemasangan tampon kasa yang diberi
larutan vasokontriktor. Pengalaman operator dalam melakukan operasi sinus
endoskopi pada anak dengan menggunakan instrumen yang yang sesuai sangat
menentukan keberhasilan operasi2,5,10-11.

DISKUSI
Manifestasi komplikasi orbita pada penyakit sinonasal tidak hanya
disebabkan oleh infeksi akut rinosinusitis, tetapi juga dapat diakibatkan oleh

56 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
rinosinusitis kronik, allergic (eosinophilic) fungal sinusitis dan mukosil. Klasifikasi
yang diajukan oleh Chandler9 adalah penderajatan komplikasi orbita dengan
etiologi infeksi. Prosedur diagnostiknya adalah sesuai dengan alur diagnostik pada
tinjauan pustaka. Al Anazy4 pada tahun 2012, mengajukan sistem penderajatan
klinik yang mengelompokkan komplikasi orbita dengan berbagai penyebab di
sinus paranasal menjadi 4 yaitu: 1) Derajat I komplikasi orbita dengan gangguan
anatomi, 2) Derajat II komplikasi orbita dengan gangguan fungsi, 3) Derajat III
komplikasi orbita karena infeksi, 4) kebutaan pada komplikasi orbita. Penulis ini
juga melaporkan penyebab terbanyak komplikasi orbita adalah allergic fungal
sinusitis (50%), rinosinusitis kronik ( 36%), rinosinusitis akut (10%) dan mukosil
(4%).
Tomografi komputer pada rinosinusitis akut dengan komplikasi orbita
harus segera dilakukan pada kesempatan pertama pasien datang berobat. Tujuan
pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasal berbeda dengan kasus
rinosinusitis tanpa komplikasi yang dilakukan sesudah pengobatan
medikamentosa maksimal dan tidak memberikan respons; yaitu untuk mengetahui
adanya faktor risiko variasi anatomi sebagai etiologi rekurensi rinosinusitis atau
persistensi inflamasi kronik. Tomografi komputer pada kasus komplikasi orbita
sebaiknya dimintakan sekaligus dengan pemeriksaan menggunakan media kontras
dengan potongan koronal, aksial dan sagital untuk orbita dan sinus paranasal.
Tebal potongan dan jarak potongan sebaiknya sesuai untuk pemeriksaan sinus
paranasal yang memerlukan potongan minimal 3 mm dengan pengaturan untuk
gambaran jaringan lunak dan tulang. Perangkat lunak yang dapat diunduh gratis,
seperti program OsiriX, memudahkan bagi para klinisi untuk melakukan
rekonstruksi 3 dimensi multiplanar (3 MPR), dan melakukan pengubahan densitas,
window width, window level, sentrasi dan pewarnaan sesuai spektrum warna
tertentu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dibandingkan spektrum
warna skala abu-abu (gray scale).
Pada prinsipnya setiap komplikasi orbita pada rinosinusitis akut harus
mendapatkan terapi antibiotika intravena. Selulitis pre-septal ringan (Chandler 1)
pada dewasa dan anak di atas 1 tahun tanpa tanda-tanda toksik sistemik dapat
diberikan antibiotika oral, tetapi harus diawasi dengan ketat terhadap adanya
perburukan dalam waktu 2x24 jam dan jika perburukan terjadi merupakan
indikasi alih terapi ke antibiotika intravena. Lama pemberian antibiotika oral
secara rawat jalan adalah 10 – 14 hari. Untuk komplikasi orbita sesuai dengan
klasifikasi Chandler II-IV, terapi medikamentosa dapat diberikan bersamaan
dengan persiapan tindakan operasi yang akan dilakukan pada kesempatan
pertama dan menjadi indikasi segera jika terdapat perburukan visus atau pasien
tidak dapat membedakan warna merah atau hijau. Intervensi bedah dengan BSEF
akan mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan lama penggunaan antibiotika
intravena1-13.
Penatalaksanaan terkini pada komplikasi orbita akibat rinosinusitis akut
memerlukan kerjasama yang semakin erat antara dokter keluarga, dokter spesialis

57 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Anak, spesialis THT dan spesialis Mata di masa sekarang dan mendatang.
Penatalaksanaan multidisiplin ini harus didasari oleh pijakan yang kuat tentang
pemahaman anatomi topografi mata dan sinus paranasal serta pemahaman
simptomatologi dihubungkan dengan patofisiologi, patologi dan etiologi penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hansen FS, Hoffmans R, Georgalas C, Fokkens WJ. Complication of acute
rhinosinusitis in The Netherlands. Family Practise, 2012;29:147-53
2. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European
Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology, 2012 Suppl,23:1-
298.
3. Hauser A, Fogarasi A. Periorbital and orbital cellulits. Pediatric in Review,
2010;31(6):242-9
4. Al Anazy FH, Al Dousary SH. Ophthalmic manifestation of paranasal disease: a
clinical grading system. Int Forum Allergy Rhinol, 2012:2:331-5.
5. Vairaktaris E, Moschos MM, Vassiliou S, Baltatzis S, Kalimeras E, Avgoustidis D,
et al. Orbital cellulitis, orbital subperiosteal, and intraorbital abscess. Report of
three cases and review of the literature. J Cranio-Maxillofacial Surg,
2009;37:132-36.
6. Onakpoya OH, Akinpelu OY, Adeoye A. Cost-related antibiotic dosage
ommissions – challenge for orbital cellulitis management in resource poor
commonities. Orbit, 2009;28:147-52.
7. Neto ML, Pignatari S, Mitsuda S, et al. Acute sinusitis in children – a
retrospective study of orbital complication. Rev Bras Otorrinolaringol
2007;73(1):75-9.
8. Ali A, Kurien M, Mathews SS, Mathwew J. Complication of acute infective
rhinosinusitis: experience from a developing country. Singapore Med J,
2005;46(10):540-4.
9. Chandler et al. The pathogenesis of orbital complications in acute sinusitis.
Laryngoscope, 1970(40);1414-28
10. Siedek V, Kremer A, Betz CS, Tschiesner U, Berghaus A, Leunig A. Management
of orbital complications due to rhinosinusitis. European archives of oto-rhino-
laryngology: official journal of the European Federation of Oto- Rhino-
Laryngological Societies (EUFOS) : affiliated with the German Society for Oto-
Rhino-Laryngology - Head and Neck Surgery. 2010 Dec;267(12):1881-6.
11. Huang SF, Lee TJ, Lee YS, Chen CC, Chin SC, Wang NC. Acute rhinosinusitis-
related orbital infection in pediatric patients: a retrospective analysis. The
Annals of otology, rhinology, and laryngology. 2011 Mar;120(3):185-90.
12. Mortimore S, Wormald PJ. The Groote Schuur hospital classification of the
orbital complications of sinusitis. J. Laryngol Otol;1997;11(8):719-23.
13. Caruso PA, Watkins LM, Suwansaard P et al. Odontogenic Orbital Inflamation:
Clinical and CT Finding-Initial Observations. Radiology 2006;239:187-94.

58 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
OBSTRUKSI JALAN NAFAS ATAS

Dr. Novialdi, Sp.THT-KL


Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang

PENDAHULUAN
Obstruksi jalan nafas atas adalah sumbatan pada jalan nafas yang berlokasi
di atas pintu masuk toraks. Kondisi ini merupakan keadaan emergensi di bidang
THT. Pada keadaan obstruksi jalan nafas atas yang akut, tidak adanya oksigenasi
otak selama 5 menit akan menyebabkan pasien tidak sadar dan akan menimbulkan
kerusakan otak dalam 10 menit, sehingga hanya sedikit waktu untuk memutuskan
tindakan yang akan dilakukan. Setiap dokter harus dapat menegakkan diagnosis
yang cepat dan tepat berdasarkan riwayat penyakit dan gejala klinis serta
pemeriksaan fisik, serta dapat memberikan penanganan yang cepat. Kondisi ini
merupakan kegawatdaruratan di bidang THT yang paling nyata.1
Tujuan utama dari manajemen jalan nafas adalah untuk mempertahankan
jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat. Jalan nafas atas mulai dari hidung sampai
ke kartilago krikoid, sedangkan jalan nafas bawah merupakan traktus
trakeobronkial. (gambar 1).2

B C

Gambar 1. A. Anatomi jalan nafas atas B & C.Anatomi laring

59 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Obstruksi jalan nafas atas merupakan keadaan emergensi sehingga
membutuhkan diagnosis dan intervensi yang cepat. Penyebab obstruksi jalan nafas
atas bervariasi dan dapat disebabkan oleh kelainan kongenital, inflamasi, trauma,
imunologi, neoplasma, kelainan neurologi dan penyebab lainnya.1
1. Supralaring
a. Kongenital : Atresia koana, sindroma Pierre Robin
b. Inflamasi : Angina Ludwig, abses retrofaring
c. Trauma : Trauma muka, luka bakar, edema postoperatif
d. Imunologi : Edema oleh karena reaksi alergi
e. Lain-lain : Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
2. Laring (supra glotis)
a. Kongenital : Atresia dan webs, laringomalasia
b. Inflamasi : Epiglotitis
c. Trauma : Trauma leher, luka bakar, edema karena operasi
d. Imunologi : Alergi, granuloma
e. Keganasan : Karsinoma, hemangioma, papilloma
3. Laring (glotis)
a. Kongenital : Atresia dan webs
b. Inflamasi : Laringitis, croup disease, edema post intubasi
c. Trauma : Fraktur laring, benda asing
d. Imunologi :Granuloma (TB, scleroma, post intubasi, Wegener)
e. Keganasan :Karsinoma, limfoma, sarkoma, papilloma,
hemangioma
f. Neurologi : Paralisis pita suara
4. Laring (sub glotis) dan trakea
a. Kongenital : Stenosis, trakeomalasia
b. Inflamasi : Laringo-Trakeo-Bronkitis, Difteri
c. Trauma : Benda asing, stenosis post intubasi & post
trakeostomi, luka bakar
d. Imunologi : Granuloma (TB, scleroma, post intubasi)
e. Keganasan : Karsinoma, sarkoma, papilloma

Sumbatan jalan nafas atas total akan menyebabkan pasien gelisah,


ketakutan dan pada dinding dada terlihat adanya tarikan/retraksi dinding dada.
Pada sumbatan jalan nafas atas parsial, sesak nafas disertai stridor dan adanya
perubahan posisi dapat mengurangi sumbatan.1
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan gejala pernafasan stridor, yang
merupakan gejala utama sumbatan jalan nafas atas. Stridor muncul karena adanya
turbulensi aliran udara pada penyempitan saluran nafas, stridor dapat muncul
pada saat inspirasi, ekspirasi maupun keduanya/ bifasik stridor, tergantung pada
lokasi sumbatan jalan nafas. Stridor inspirasi muncul karena adanya sumbatan di
supralaring dan supraglotis, karena jaringan penunjang di daerah ini jarang
sehingga memudahkan kolaps jalan nafas saat fase inspirasi. Bifasik stridor

60 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
muncul pada sumbatan di glotis, subglotis dan trakea bagian servikal. Stridor
ekspirasi muncul karena sumbatan pada trakea bagian torakal.1 Gejala lain yang
ditemukan adalah gangguan suara ( Hoarseness ) yang menandakan keterlibatan
plika vokalis, mulai dari disfonia (suara serak) sampai afonia, batuk, retraksi
dinding dada, takipnea, gelisah (karena pasien haus udara/air hunger), takikardia,
warna muka pucat dan terkhir menjadi sianosis yang menandakan keadaan lanjut
hipoksia serta adanya tanda-tanda trauma jalan nafas. 3

OBSTRUKSI LARING (GLOTIS)


Prinsipnya penanggulangan sumbatan laring adalah menghilangkan
penyebab sumbatan dengan cepat atau membuat jalan nafas baru yang dapat
menjamin ventilasi. “Jackson” membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4
stadium dengan tanda dan gejala :3
 Stadium I : stridor inspirasi, retraksi saat inspirasi di suprasternal dan pasien
masih tenang.
 Stadium 1I : timbulnya cekungan di daerah epigastrium, pasien sudah mulai
gelisah. Stridor inspirasi
 Stadium 1II : cekungan bertambah di infraklavikula dan intercosta, dispnea,
stridor inspirasi dan ekspirasi
 Stadium 1V : pasien sangat gelisah, ketakutan dan sianosis dapat meninggal
karena asfiksia

Penatalaksanaan sumbatan laring


Keberhasilan manajemen sumbatan jalan nafas membutuhkan pengambilan
keputusan yang cepat dan tepat serta teknik prosedur tindakan yang baik.
Keputusan apakah pasien membutuhkan jalan nafas defenitif sudah harus ada
lebih awal pada saat penilaian klinis.4
Dalam penanggulangan sumbatan laring pada prinsipnya diusahakan
supaya jalan nafas lancar kembali. Pada stadium satu yang disebabkan oleh
peradangan, dilakukan tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti
alergi, antibiotik serta pemberian oksigen secara intermitten. Pada stadium II dan
III dapat dilakukan tindakan defenitif Intubasi trakea dan trakeostomi, sedangkan
pada stadium IV dilakukan tindakan krikotirotomi.3
Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan
pertama, sedangkan jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya
dilakukan trakeostomi. 3

INTUBASI TRAKEA
Ada 4 kategori utama indikasi intubasi endotrakea pada keadaan emergensi
yaitu : 3-5
 Untuk memperoleh dan mempertahankan patensi jalan nafas pada
sumbatan saluran nafas bagian atas
 Membantu ventilasi
61 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
 Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
 Mencegah aspirasi yang berasal dari rongga mulut atau yang berasal dari
lambung
Teknik intubasi (gambar 2) endotrakea pertamakali diperkenalkan oleh
Magill pada tahun 1964. Ukuran pipa endotrakea ini harus sesuai dengan ukuran
trakea pasien dan umumnya untuk orang dewasa dipakai dengan diameter 7-
8.5mm. secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan melebihi
6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi. 3

C
A

Gambar 2. A. Teknik intubasi endotrakea menggunakan laringoskop. B. Laringoskop.


C. Pipa endotrakea (ETT)

TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah tindakan membuat lobang pada dinding anterior trakea
untuk bernafas. Trakeostomi dibedakan atas letak tinggi dan letak rendah
berdasarkan letak stoma pada trakea dan batasnya adalah cincin trakea ketiga.
Menurut waktu tindakan, trakeostomi dibagi dalam trakeostomi darurat dan
segera dengan persiapan dan sarana yang kurang dan trakeostomi berencana
dengan persiapan sarana yang cukup dan dapat dilakukan secara legal artis.3
Trakeostomi diindikasikan untuk: 3,5,6
 Mengatasi obstruksi saluran nafas atas dan obstructive sleep apnea
 Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas atas
 Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus
 Memasang respirator untuk ventilasi mekanik
 Mengambil benda asing dari subglotik apabila tidak mempunyai fasilitas
Bronkoskopi
 Memfasilitasi ventilasi pada operasi-operasi bedah kepala leher
Teknik trakeostomi : (gambar 3)
Sayatan kulit dengan pisau bedah no. 15 dibuat vertikal di pertengahan
krikoid dan suprasternal atau sayatan horizontal kira-kira 2 jari di bawah krikoid.
Kemudian kulit dan otot platisma dipisahkan ke lateral dan setelah strap muscle

62 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
diidentifikasi, muskulus sternohioid dan sternotiroid dispisahkan dengan
megninsisi fasia yang menghubungkannya di garis tengah, kemudian dipisahkan
ke lateral dengan menggunakan retraktor sampai tampak cincin tulang rawan
trakea. Hati-hati terhadap vena jugularis anterior, arteri tiroidea ima, kelenjar
tiroid (ismus tiroid dapat diklem dipotong selanjutnya diligasi/kauter atau
disisihkan ke atas atau ke bawah). Lakukan aspirasi pada membran antara cincin
trakea dengan jarum suntik yang berisi cairan dan akan terasa ringan waktu
ditarik, dan tampak gelembung udara yang menandakan bahwa sudah menembus
dinding trakea. Buat stoma pada trakea dengan memotong cincin trakea ke-2 dan
ke-3 dengan pisau tajam kemudian dipasang kanul trakeostomi. Kanul trakostomi
diinsersikan secara gentle dan dilakukan tes benang (bila kanul trakea masuk
dalam lumen trakea, maka benang akan bergerak dihembus oleh udara
pernapasan lewat kanul). Kanul trakostomi difiksasi dengan meniup balon kanul.
Luka operasi yang terlalu lebar dapat dijahit secara longgar, terakhir ditutup
dengan kasa, anak kanul dipasang.. 1,3,6,7,8

A B C
Gambar 3 A. Trakeostomi, Insisi pada cincin trakea. B. Kanul trakeostomi dimasukkan ke
dalam stoma pada trakea. C. Kanul trakeostomi

Kanul trakeostomi yang ideal harus cukup kaku untuk dapat


mempertahankan jalan nafas namun cukup fleksibel untuk membatasi kerusakan
jaringan dan memberikan kenyamanan pada pasien. Fungsi kanul trakeostomi : 9
1. Proteksi dari aspirasi
2. Memudahkan ventilasi tekanan positif dalam waktu lama
3. Memudahkan membersihkan sekret dari bronkus
4. Bypass upper airway obstruction

KRIKOTIROTOMI
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan
gawat nafas dengan cara membelah membran krikoid dan diikuti dengan
pemasangan tube.3,5
Demografi krikotirotomi sulit untuk dipublikasikan karena prosedur ini
relatif jarang dilakukan, bahkan dalam situasi darurat. Di ruang gawat darurat,
kejadia bervariasi antara 1.7- 2.7%. Sebuah penelitian menemukan bahwa dari

63 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
1.560 pasien yang masuk ruang gawat darurat karena trauma tumpul atau trauma
tembus laring, hanya 9 pasien yang menjalani krikotirotomi atau sekitar 0.5%
Ada 2 teknik krikotirotomi yaitu teknik krikotirotomi melalui pembedahan
(surgical cricothyrotomy ) dan krikotirotomi dengan menggunakan jarum
(needle/cannula cricothyrotomy ).10

Surgical Cricothyrotomy
Teknik krikotirotomi melalui pembedahan : pasien tidur posisi supine
dengan posisi kepala ekstensi pada artikulatio atlanto oksipital. Tulang rawan
titoid diidentifikasi dan difiksasi dengan tangan kiri kemudian dengan tanagan
kanan identifikasi membran krikotiroid. Daerah ini diinfiltrasi dengan anastetikum
dan dibuat buat insisi kulit transversal sampai membran krioktiroid, kemudian
putar pemegang pisau bedah 900 untuk melebarkan jalan nafas, tarik kartilago
krikoid dengan hook krikoid, masukkan kanul trakeostomi yang sesuai,
kembangkan cuff dan berikan ventilasi, observasi pengembangan paru dengan
auskultasi untuk menilai ventilasi yang adekuat, fiksasi kanul pada leher pasien
(Gambar 4) 3,5,11

Gambar 4. Landmark Anatomi dan Krikotiromi

Needle Cricothyrotomy
Teknik krikotirotomi dengan jarum ; pasien dalam posisi supine dengan
ekstensi pada leher, identifikasi membran krikotyroid dengan jari telunjuk dan
stabilkan posisi kartilago tyroid, dengan menggunakan jarum suntik yang telah
dihubungkan dengan iv cateter no 12 atau 14, yang berisis salin dengan sudut 450
kearah kaudal untuk mencegah trauma pada dinding posterior trakea, cabut jarum
dan stylet kemudian dorong kateter lebih jauh. Aspirasi udara untuk memastikan
posisi dalam trakea, berikan ventilasi inspirasi dan ekspirasi dengan rasio 1:4
detik, fiksasi kanul kateter.(Gambar 5) 11
Pada teknik ini Pa02 hanya dapat dipertahankan selama 30-40 menit dan
akumulasi C02 dapat tejadi dengan cepat sehingaa trakeostomi harus segera
dipersiapkan.11

64 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Gambar 5. Needle Cricothyrotomy

HEIMLICH MANEUVER
Manuver ini merupakan tindakan pada sumbatan laring oleh benda asing.
Manuver ini bisa dilakukan pada pasien sadar/tidak sadar, dewasa dan anak-anak.
Dengan manuver ini kita memberikan tekanan pada paru, caranya :
Bila pasien masih bisa berdiri, maka penolong berdiri di belakang pasien, kepalan
tangan kanan penolong diletakkan di atas prosessus xifoid sedangkan tangan
kirinya diletakkan di atasnya,. Lakukan penekanan ke belakang dan ke atas ke arah
paru beberapa kali, sehingga diharapkan benda asing akan terlempar keluar dari
mulut pasien. Bila pasien sudah terbaring karena pingsan, maka penolong
bersetumpu dengan kedua lututnya di kedua sisi pasien, kepalan tangan kanan
penolong diletakkan di bawah prosessus xifoid kemudian dilakukan penekanan ke
bawah dan kearah paru pasien beberapa kali. Pada tidakan ini posisi pasien harus
lurus, leher jangan ditekuk ke samping sehingga jalan nafas mementuk garis lurus.
Pada anak kita hanya menggunakan dua buah jari kanan dan kiri (gambar 6.A) 3

A B

Gambar 6. A. Heimlich maneuver pada dewasa. B. Cara mengatasi sumbatan total laring
akibat benda asing pada anak

Sumbatan total akibat benda asing pada anak juga dapat dihilangkan
dengan memegang anak dengan posisi terbalik, kepala ke bawah kemudian daerah
punggung atau tengkuk dipukul sehingga diharapkan benda asing dapat
dibatukkan keluar (gambar 6.B) 3

65 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYNDROME (OSAS)
Berhentinya nafas sesaat waktu tidur akibat sumbatan jalan nafas dan
penderita terbangun untuk mulai bernafas kembali. Apnea adalah obstruksi total
aliran udara pernapasan bagian atas dan apnea dikatakan patologis bila
berlangsung lebih dari 10 detik. Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3%
dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun dimana penyebab utama OSA pada
anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid. kondisi medis lain yang
berhubugan denan OSA pada anak : Kelainan struktur kraniofasial ( pada pasien
dengan Sindrom Down, Pierre Robin, Treacher Collins, Crouzon), stenosis koana,
papilomatosis orofaring, Cerebral palsy, obesitas, hipotiroid dan kelianan
neuromuskular (Duchenne muscular dystrophy, spinal muscular dystrophy).12
Obstructive Sleep Apnea Syndrome ditandai dengan kolaps berulang dari
saluran nafas atas baik komplet atau parsial selama tidur, akibatnya aliran udara
pernafasan berkurang (hipopnea) atau terhenti (apnea) sehingga terjadi
desaturasi oksigen (hipoksemia) dan anak berkali-kali terjaga (arousal). Kadang-
kadang anak benar-benar terbangun pada saat apnea karena merasa tercekik.12
(gambar 7)

Gambar 7. Kolaps saluran nafas komplit saat tidur pada pasien dengan OSAS

Diagnosis OSAS ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT


dan pemer iksan penunjang. Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat
mendengkur waktu tidur, tidur gelisah, tidak nyenyak, sering terbangun atau henti
napas waktu tidur, bangun pagi mengantuk dan menguap, bangun tidur letih dan
lemas, tertidur selagi duduk diam setelah makan, nonton TV, dan saat belajar. Pada
pemeriksaan fisik THT yang perlu dinilai adalah bentuk leher, hidung, nasofaring,
orofaring, hipofaring dan laring serta identifikasi mikrognatia atau retrognatia.
Fridman membagi posisi palatum atas 4 posisi (derajat obstruksi anatomi
orofaring):12
Posisi 1: Uvula, tonsil, serta pilar jelas terlihat
Posisi 2: Uvula jelas terlihat tapi tonsil tidak terlihat
Posisi 3: Palatum molle terlihat tapi uvula tidak terlihat
Posisi 4: Yang terlihat hanya palatum durum saja

66 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Pemeriksaan penunjang untuk menilai OSA adalah : Polisomnografi
Jumlah apnea (Apnea - Hypopnea Index / AHI) adalah jumlah apnea dan hipopnea
perjam. Klasifikasi OSA menurut AHI ini adalah : 11
 Ringan  5-15
 Sedang  16-30
 Berat  >30
Penatalaksanan OSAS dapat dilakukan dengan nonoperatif dan operatif.
Pada nonoperatif yang dapat dilakukan adalah menurunkan berat badan, terapi
medikamentosa dan pemakaian alat bantu seperti Rubber nasofaringeal tube,
Tongue retaining device (TRD), Mandibular repositioning device ,Electrical
stimulation of the upper airway, Continous Positif Airway Pressure by mask (CPAP).
Terapi operatif antara lain tonsilektomi, adenoidektomi, UPPP (Uvulo Palato
Faringo Plasti) (gambar 8), Soft Palate Implants, TAP ( Thermal Ablation
Palatoplasti ) atau Laser assisted uvulo palatoplasti (gambar 9), RFTA ( Radio
Frequency Thermal Tissue Ablation) serta trakeotomi.12

Gambar 8. UPPP (Uvulo Palato Faringo Plasty) Gambar 9.Laser assisted uvulo
palatoplasti

2 mm

Panjang palatum
minimum
25 mm

Gambar 8. Soft Palate Implants

67 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Pada OSAS dapat terjadi komplikasi seperti :Failure to thrive, takiaritmia
nokturnal, penyakit jantung iskemik, sianosis sentral, cor pulmonal, perburukan
fungsi kognitif dan sudden death12

Daftar Pustaka
1. Borgstein J. Acute upper airway obstruction. In: Borgstein J, ed. The Basic Ear Nose
and Throat. p. 51-70
2. Kovacs G, Law JA. Airway Physiology and Anatomy. In: Kovacs G, Law JA. Airway
Management in Emergencies. New York: McGraw Hill. 2008. p13-32
3. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi E A. Penanggulangan Sumbatan Laring. Dalam :
Iskandar N, Dupardi EA editor. Buku ilmu kesehatan telinga, hidung tenggorork
kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai penerbit FKUI.2007 : p. 231-236
4. Kovacs G, Law JA. Definitive airway management: When is it time?. In: Kovacs G, Law
JA. Airway Management in Emergencies. New York: McGraw Hill. 2008. p5-12
5. Weissler MC, Couch ME. Tracheotomy and Intubation. In: Bailey BJ, Johnson JT, eds.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed. New York: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006. p786-801
6. Kenneth YU, MD. Airway management and Tracheostomy. In: Current diagnosis and
treatment in otolaryngology. 2nd ed. New York: McGraw Hill. 2007
7. Sniezek JC, Burkley BB. Airway control and laryngotracheal stenosis in adult. In: Snow
JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th ed.
Spain: BC Decker Inc; 2003. p1151-66
8. Buku Modul Utama. Modul Laring. Sumbatan Jalan Nafas Atas ( Sjna ). Kolegium Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Dan Leher 2008
9. Russel C, Matta B. Tracheostomy a multiprofesional handbook. Cambridge University
Press. 2004
10. Crycotyrotomi. Di akses dari http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-
Fi/Cricothyroidotomy.html. Juni 2011
11. Goon SH Serena Dr, Stephens R, Dr, Smith H Dr. The emergency airway. British Journal
of Hospital Medicine,2009;70-12:186-188
12. Amelia, Michael O. Controversies in Upper Airway Obstruction. In: Bailey BJ, Johnson
JT, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 4th ed. New York: Lippincott Williams
& Wilkins . 2006. p804-7

68 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam

Dr. Sukri Rahman, Sp. THT-KL

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas – RSUP Dr. M. Djamil Padang

Diagnosis dan penatalaksanaan infeksi ruang leher dalam masih merupakan


tantangan. Kompleksitas anatomi daerah ini membuat diagnosis dan pengobatan
infeksi cenderung sulit. Sampai saat ini infeksi ini tetap menjadi masalah
kesehatan dengan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penggunaan
antibiotik telah menurunan kematian akibat infeksi ruang leher dalam, namun
infeksi leher dalam masih memiliki potensi untuk komplikasi yang serius dan
bahkan dapat mengancam kehidupan.
Apabila pada infeksi leher dalam telah terjadi pembentukan abses, operasi
masih dianggap sebagai pengobatan utama, namun infeksi awal dapat diobati
dengan antibiotik. Antibiotik telah memodifikasi gejala dan perjalanan penyakit,
dan munculnya resistensi terhadap antibiotik adalah masalah yang sering terjadi
dalam pengobatan pasien. Keterlambatan dalam diagnosis, atau lebih buruk lagi
salah diagnosis, dapat mengakibatkan konsekuensi yang berbahaya, termasuk
mediastinitis dan kematian. Bahkan di era antibiotik modern, tingkat kematian
dilaporkan masih tinggi mencapai 40%. Sebagian besar komplikasi ini merupakan
akibat penyebaran infeksi sepanjang lapisan fasia kepala dan leher. Artikel ini
lebih banyak memnjelaskan klinis praktis diagnosis dan penatalaksanaan abses
leher dalam yang sering ditemukan di praktek sehari-hari dan tidak akan
menjelaskan antomi lengkap ruang leher dalam.
Abses leher dalam merupakan abses yang terbentuk di ruang potensial
leher dalam. Ruang potensial leher dalam adalah ruang yang terbentuk oleh sekat-
sekat fasia leher dalam yang terdiri atas :
- Lapisan Superficial dari Deep Cervical Fascia (Investing Layer)
- Lapisan tengah dari Deep Cervical Fascia yang terdiri atas:
- Lapisan Muscular
- Lapisan Visceral
- Lapisan dalam dari Deep Cervical Fascia yang terderi atas :
- Alar fascia
- Prevertebral fascia
Ruang leher dalam dapat dikelompokan menjadi (modifikasi Hollingshead):
- Ruang yang melibatkan sepanjang leher
- Ruang retropharyngeal (posterior visceral, retroviseral,
retroesophageal)

69 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
- Danger space
- Ruang prevertebral
- Ruang viseral vaskular
- Ruang yang terbatas di atas tulang hioid
- Ruang paraparing (faringomaxilla, lateral faring, perifaring)
- Ruang Submandibula and submental
- Ruang Parotis
- Ruang Mastikator
- Ruang Peritonsil
- Ruang Temporal
- Ruang yang terbatas di bawah tulang hioid
- Ruang Pretrakea
- Ruang Suprasternal
Diantara ruang-ruang ini terdapat hubungan yang memungkinkan infeksi pada
satu ruang dapat meluas ke ruang-ruang potesial lainnya.

Gambar 1 . Ruang Leher Dalam (Gadre Ak, Gadre KC, Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition)

Abses Peritonsil.
Abses Peritonsil atau quinsy, adalah infeksi leher dalam yang paling sering
terjadi. Meskipun sebagian besar terjadi pada orang dewasa muda (decade kedua
dan ketiga), peningkatan risiko juga terjadi pada keadaan imunokompromised dan
pasien diabetes. Kebanyakan abses timbul sebagai komplikasi tonsilitis atau
faringitis, tetapi juga dapat merupakan penyebaran odontogenik atau trauma
mukosa lokal.
Abses biasanya unilateral yang merupakan kumpulan abses/pus antara
kapsul tonsil, otot konstriktor faring superior dan otot palatofaringeus. Abses ini

70 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
diyakini muncul dari penyebaran infeksi dari tonsil atau dari kelenjar mukosa
Weber, yang terletak di bagian superior tonsil. Abses ini paling sering dimulai dari
pole atas tonsil, namun, dapat juga menyebar dari pole tengah atau bawah.
Patogen penyebab sama dengan kuman penyebab tonsilitis, terutama
streptokokus, namun tidak jarang infeksi polimikroba dan melibatkan bakteri
anaerob. Pasien dengan abses peritonsillar biasanya dating dengan nyeri
tenggorok, odinofagi, demam ringan dan dengan berbagai derajat trismus.
Trismus muncul sekunder akibat iritasi otot pterigoideus. Pasien mungkin juga
mengeluhkan otalgia ipsilateral. Ketika abses meluas, pasien mungkin mengalami
disfagia bahkan kesulitan menelan air liur. Pasien sering mengalami dehidrasi
sekunder akibat asupan oral yang kurang. Perubahan suara sering terjadi (suara
kentang panas/ hot potato voice) yang disebabkan oleh insufisiensi
velopharyngeal sementara dan resonansi mulut yang tertahan. Napas berbau juga
sering terjadi. Limfadenopati servikal anterior ipsilateral sering muncul. Apabila
Demam lebih dari 39,4 ° C harus dicurigai adanya perluasan ke parafaring dan
sepsis.
Pemeriksaan orofaring mungkin sulit karena terdapat trismus.
Pemeriksaan dilakukan pada posisi pasien duduk. Minta pasien untuk membuka
mulut selebar mungkin, dan tekan lidah untuk mempermudah evaluasi orofaring.
Gunakan lampu kepala atau sumber cahaya untuk memudahkan pemeriksaan.
Palpasi digital untuk menentukan lokasi yang fluktuatif kadang dapat dilakukan,
dan mungkin cara terbaik untuk membedakan abses dari selulitis/infiltrat. Teknik
ini biasanya dapat ditoleransi pasien, tetapi pasien mungkin muntah atau
menggigit jari pemeriksa secara refleks. Dengan gambaran klinis umumnya sudah
dapat menegakkan disgnosis abses peritonsil, namun sekitar 20% kasus diagnosis
masih diragukan sampai dilakukan aspirasi. Aspirasi negatif belum menyingkirkan
diagnosis abses. Pada tahap awal akan tampak tonsil dan pilar anterior yang
eritematosa, dan dapat bergeser ke medial. Kemudian, palatum mole dan uvula
akan terdorong ke sisi kontralateral, terdapat fluktuasi di sepanjang pilar anterior
dan peritonsil.
Terdapat perdebatan para ahli dalam penatalaksanan abses peritonsil,
mulai dari yang cukup hanya dilakukan aspirasi satu kali, aspirasi beberapa kali,
insisi dan tonsilektomi, namun sebagian besar sepakat setiap kali terdapat abses
harus dilakukan evakuasi disertai pemberian antibiotika dan analgetik. Pasien
yang diobati dengan aspirasi saja memiliki tingkat keberhasilan berkisar 85-100%,
kekambuhan paling jarang pada pasien yang dilakukan insisi dan drainase.
Sebagian besar dapat ditatalaksana sebagai pasien rawat jalan dengan
antibiotik oral setelah drainase dengan anesthesia lokal. Sedangkan pada pasien
yang mengalami immunocompromised, dengan sumbatan jalan napas, tidak dapat
mentoleransi pemberian antibiotik oral, pasien dehidrasi dan pasien anak perlu
dilakukan rawat inap.
Setelah aspirasi atau insisi dan drainase, antibiotik dianjurkan untuk
membasmi kuman penyebab. Penisilin, klindamisin, atau sefalosporin adalah

71 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
pilihan pertama yang rasional. Angka resisten penisilin berkisar 0-56% tetapi uji
sensitivitas laboratorium tidak selalu mencerminkan respon klinis. Alternatif
termasuk ampisilin/amoksisilin dengan sulbaktam/ asam klavulanat. Banyak
dokter secara empiris juga memberikan dosis parenteral tunggal deksametason
(10 mg) yang secara klinis dapat memperbaiki gejala. Reevaluasi dari semua
pasien yang diobati dengan aspirasi jarum harus dilakukan dalam 24 jam untuk
menilai perlunya dilakukan aspirasi berulang atau insisi dan drainase. Pasien
harus segera kembali apabila terdapat kembali muncul gejala, atau pendarahan
terus-menerus dari luka insisi.
Dalam penatalaksanaan abses peritonsil, pemahaman anatomi sangat
diperlukan, terutama hubungan tonsil dan peritonsil terhadap struktur
disekitarnya seperti arteri fasialis dan arteri karotis yang berjarak 2,5 cm postero-
lateral dari tonsil.

Gambar 2. Hubungan abses peritonsil terhadap struktur sekitarnya. (Reichman EF,


Simon RR: Emergency Medicine Precedures)

Pada saat melakukan tindakan harus sangat hati-hati jangan menembus


terlalu dalam yang berakibat trauma terhadap arteri ini. Untuk tujuan ini dapat
dilakukan dengan model “penjaga jarum” dengan memotong 1 cm distal dari
penutup jarum plastik, kemudian tutup kembali pada jarum, pastikan bahwa jarum
menonjol hanya 1 cm di luar penutup. Prosedur ini akan membatasi kedalaman
penetrasi jarum dan mengurangi risiko memasuki struktur pembuluh darah besar.
Jika nanah tidak diperoleh pada kedalaman 1 cm, penetrasi lebih dalam tidak
dianjurkan. Harus diingat bahwa aspirasinya negatif TIDAK menyingkirkan abses
peritonsillar.

72 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Gambar 3. Penjaga jarum (Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures)

Aspirasi jarum relatif sederhana, dapat dilakukan oleh dokter umum, tidak
memerlukan peralatan khusus, dan relatif murah. Tingkat kekambuhan setelah
aspirasi jarum adalah sekitar 10%, sekitar 4% sampai 10% dari pasien
membutuhkan aspirasi ulang. Kekurangan aspirasi jarum kadang-kadang gagal
mendeteksi adanya abses peritonsil dan oleh karena itu memungkinkan
misdiagnosis sebagai peritonsillar selulitis. Trismus dan deviasi uvula jarang
terjadi pada peritonsillar selulitis. Sebagian besar pasien abses peritonsillar
berhasil dengan aman dan efektif dikelola dengan aspirasi jarum dan rawat jalan
antibiotik.

Gambar 4. Teknik aspirasi dengan penjaga jarum (Reichman EF, Simon RR: Emergency
Medicine Precedures)

Sementara itu insisi dan drainase biasanya dilakukan sebagai prosedur


rawat jalan dengan anestesi lokal. Prosedur ini biasanya dilakukan setelah pus
didapatkan dengan aspirasi jarum. Tampaknya yang paling logis adalah melakukan
aspirasi sebagai upaya pertama dan insisi dan drainase merupakan tindakan
lanjutan apabila dicurigai masih tersisa pus. Untuk menghindari kekambuhan
sebagian ahli menganjurkan dilakukan tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase
abses.

73 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Abses Retrofaring
Abses retropharyngeal adalah kumpulan nanah ruang retrofaring. Hal ini
terjadi dalam dua bentuk yaitu abses retrofiring akut primer yang biasa terjadi
pada bayi dan anak (usia kurang dari 5 tahun): dan abses retrofaring kronis yang
umum terjadi pada dewasa. Kedua jenis abses ini berbeda dalam etiologi dan
penatalaksanaannya.
Abses dapat timbul mengikuti penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh
anak seperti demam scarlet, campak dll, disamping itu infeksi tonsil, adenoid dan
nasofaring juga dapat menyebabkan pembentukan abses retrofaring. Meskipun
jarang benda asing seperti tulang ikan dan jarum serta trauma dinding posterior
faring juga dapat menyebabkan abses retrofiring.
Abses terbentuk akibat limfadenitis supuratif dari kelenjar retropharyngeal
Henle, yang terletak di kedua sisi retrofiring. Kelenjar ini menerima limfatik dari
rongga hidung , faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Kelenjar ini akan
mengalami atrofi antara usia 3 dan 5 tahun, sehingga abses retrofaring akut jarang
terjadi pada anak di atas usia 5 tahun. kelenjar Henle ketika terinfeksi awalnya
akan mengalami adenitis, kemudian periadenitis dan pembentukan abses terjadi.
Nanah biasanya satu sisi.
Gejala dapat berupa nyeri menelan (odinofagia), pada bayi muda akan
menyebabkan rewel, menolak makan, hipersalivasi, demam dan leher kaku
(tortikolis). Abses ini juga dapat menyebabkan kesulitan bernafas akibat
sumbatan jalan nafas. Pada pemeriksaan akan tampak tonjolan lunak pada bagian
posterior faring pada satu sisi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan rontgen soft tissue cervical lateral yang akan
menampakkan adanya pelebaran ruang retrofiring.

Gambar 5. Rontgen soft tissue servikal lateral tampak pelebaran ruang retrofaring
(http://www.consultantlive.com)

Insisi dan drainase abses serta pemberian antibiotika dosis tinggi


merupakan terapi pada abses retrofaring.
74 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Abses submandibula
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid
dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke
atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah
pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak
umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi.

Gambar 6. Abses submandibular (http://www.aafp.org)

Selain bersumber dari infeksi gigi abses sumbandibula dapat berasal dari
infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening
submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain.
Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan
keluahan yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering
disertai trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah
submandibular yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.
Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum
luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan
dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas
dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.

Gambar 7 . Penyebaran abses dari gigi ke ruang submandibular dan sublingual


(http://ars.els-cdn.com)

75 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Abses Parafaring
Ruang ini berhubungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya dan juga
berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang
mastikator, parotis, ruang submandibula, sublingual, ruang retrofaring dan
peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini, dan karena itu, ketika pasien
datang dengan abses parafaring, harus dilakukan pemeriksaan setiap ruang lain
untuk memastikan bahwa tidak ada ruang lain yang terlibat. Sebagian besar infeksi
berasal dari faring dan tonsil dan karenanya organisme yang terlibat adalah
kuman penyebab tonsilitis. Namun di RSUP. Dr. M. Djamil , abses parafaring paling
sering merupakan perluasan dari abses submandibula yang terjadi akibat infeksi
gigi. oleh karena itu organisme dominan berbeda dengan yang telah dijelaskan
sebelumnya.
Ruang parafaraing terdiri atas kompartemen prestyloid disebut
kompartemen otot dan mengandung sedikit struktur vital, tetapi terkait erat
dengan fosa tonsil medial dan otot pterygoideus internal, dan akibatnya trismus
sering menyertai kondisi ini. Sementara itu keterlibatan ruang retro-atau
poststyloid, juga dikenal sebagai kompartemen neurovaskular, dapat
mengakibatkan komplikasi serius yang mungkin terjadi jika tidak diobati secara
optimal.
Gejala dan tanda abses ini adalah trismus, pembengkakan sekitar angulus
mandibula, demam dan adangan pembengkakan dinding lateral faring ipsilateral.
Drainase abses dan pemberian antibiotika spectrum luas dosis tinggi
merupakan pengobatan pada kasus ini. Drainase abses parafaring biasanya
dilakukan dengan pendekatan eksternal menggunakan pendekatan submaksilla
seperti yang dijelaskan oleh Mosher. Insisi horizontal dibuat dua jari dari batas
bawah mandibula dilanjutkan dengan insisi vertikal di sepanjang perbatasan
anterior dari otot sternokleidomastoid. Batas anterior dari otot
sternokleidomastoid ditarik ke posterior, dan lapisan fasia servikal dalam (sub-
lapisan superfisial) diinsisi. Diseksi tumpul dilakukan dengan jari, dan rongga
abses dibuka. Dilakukan usaha untuk melakukan diseksi sampai ke ujung proses
styloid, yang terletak di ruang parafaring.

Daftar Pustaka
1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery – Otolaryngology.
4th Edition. Philadelphia: Lippincott William &Wilkins;2006. p.665-84
2. Knoop KJ. Atlas of Emergency Medicine. 2nd edition.New York: McGraw-Hill
Companies;2002
3. Riviello RJ. Otolaryngologic Procedures. In: Roberts JR, Hedges JR. Clinical
Procedures in Emergency Medicine, 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004.p.
4. Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures. McGraw-
Hill;2003

76 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
5. Fachruddin D. Abses Leher dalam. In: Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Jakarta:Balai penerbit FKUI; 2003. P185-9

77 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Pneumonia Aspirasi Pada Anak :
Apa yang Harus Dilakukan ?

Dr. Finny Fitry Yani, Sp.A(K)


Sub Bagian Respirologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas – RSUP Dr. M. Djamil Padang

Apa itu pneumonia aspirasi ?


Aspirasi didefinisikan sebagai terinhalasi kandungan orofaring, atau
kandungan lambung ke dalam laring dan saluran nafas bawah. Beberapa gejala
atau sindrom pulmonari dapat terjadi setelah aspirasi, tergantung pada jumlah dan
materi yang teraspirasi, frekwensi aspirasi, dan respon host terhadap material
aspirasi.1
Aspirasi paru merupakan penyebab kesakitan yang penting pada bayi dan
anak, dan tidak jarang dapat menyebabkan kematian pada pasien yang dirawat.
Seringkali sindrom aspirasi paru ini salah mengalami salah diagnosis dan
tatalaksana yang terlambat. Beberapa masalah yang sering ditemukan adalah sulit
membedakan antara pneumonitis aspirasi dengan pneumonia aspirasi, sulit
menentukan atau mengidentifikasi bakteri pathogen dan pemahaman yang salah
bahwa diagnosis harus selalu berdasarkan adanya saksi yang melihat saat
tersedak atau muntah.

Seberapa besar masalahnya ?


Beberapa penelitian mendapatkan bahwa sekitar 5-15% dari kasus
pneumonia di komunitas adalah pneumonia aspirasi. Sering terjadi di rumah sakit,
dan biasanya dengan bakteri yang multiple, termasuk anaerob. Usia muda, bayi
dan anak lebih sering mengalami.1,2

Klasifikasi
Sebagian pendapat menyebut istilah sindrom aspirasi paru untuk setiap gejala
dan tanda yang ditimbulkan oleh proses aspirasi. Berdasarkan jenis zat yang
diaspirasi dan patogenesis komplikasi yang ditimbulkan pada paru, terdapat
beberapa klasifikasi yang berbeda, ada yang membagi menjadi 2 kelompok
(pneumonitis aspirasi dan pneumonia aspirasi, (tabel 1) ada yang 3 kelompok,
yaitu :
a. Pneumonitis Aspirasi
Populer dengan nama Mendelson’s syndrome, oleh karena pertama kali dikenal
oleh Mendelson. Poin penting pada pneumonitis aspirasi adalah bayi dan anak
terinhalasi kandungan lambung yang steril, tetapi dengan pH yang rendah (<2,5),
yang mengakibatkan kerusakan paru yang berat, bahkan jika pH aspirat > 2,5 pun
keadaan ini bisa terjadi. Akan terjadi trauma kimia pada cabang bronkus dan

78 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
parenkim paru, menyebabkan reaksi inflames yang intensif pada parenkim. Pada
tahap awal, aspirasi bersifat steril, tetapi tahap lanjut bisa terjadi kolonisasi
bakteri sekunder.4-6
Bayi dan anak dengan aspirasi dari material lambung akibat muntah, dapat
menunjukkan gejala yang dramatis. Biasanya timbul mendadak seperti batuk,
mengi sesak nafas, sianosis, dan pada keadaan yang berat bisa mengalami distress
nafas berat dan berujung kematian. Tetapi pada beberapa kasus yang mengalami
aspirasi yang silent gejala bisa hanya berupa batuk, atau mengi yang hanya dapat
dibuktikan dengan foto thoraks.

b. Pneumonia Aspirasi ( Aspirasi sekret orofaring)


Pneumonia aspirasi terjadi setelah terinhalasi materi sekresi orofaringeal yang
mengandung kolonisasi bakteri. Akibatnya kolonisasi bakteri masuk ke paru.
Paling sering aspirasi terjadi pada bayi dan anak yang mengalami penurunan
kemampuan klirens mukosilier (palsi serebral, Sindrom Down) atau refleks
menelan yang belum berkembang dengan baik seperti bayi prematur.
Bakteri patogen pada pneumonia aspirasi yang berasal dari komunitas,
biasanya flora normal orofaring, yaitu : 7
 Streptococcus pneumoniae
 Staphylococcus aureus
 Haemophilus influenzae
 Anaerobes, eg Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Prevotella spp.
 Streptococcus ‘milleri’ groupBakteri
Bakteri patogen pada pneumonia aspirasi nosokomial :
 Anaerob
 Gram-positive cocci, eg Peptostreptococcus spp., Peptococcus spp.
 Gram-negative bacilli, eg Enterobacteria (Klebsiella pneumoniae, Escherichia
coli, Enterobacter spp.), Pseudomonas aeruginosa.
 Meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

c. Pneumonitis kimia
Pneumonia yang disebabkan oleh aspirasi dari zat-zat kimia yang bersifat
toksik, yang akan menyebabkan reaksi inflamasi yang hebat dan mengundang
kolonisasi bakteri. Contohnya adalah asam, minyak tanah, susu, alcohol, dll.

Faktor predisposisi 4-6


 Perubahan kesadaran : ensefalitis, trauma kepala
 Usia , biasanya pada neonatus dan bayi
 Kelainan anatomi seperti : bibir sumbing, fistula trakeaoesofagus, neoplasma
, dll.
 Gangguan fisiologis : muntah, GER
 Kelainan neurologis : sindrom Down, asfiksia, palsi serebral

79 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
 Pasien yang memakai slang nasogastrik, intubasi endotrakheal, atau
trakheostomi

Tabel 1. Perbedaan Pneumonitis Aspirasi dan Pneumonia Aspirasi2

GAMBARAN PNEUMONITIS ASPIRASI PNEUMONIA ASPIRASI

Mekanisme aspirasi cairan lambung yang steril aspirasi koloni kuman di orofaring
Patofisiologi kerusakan paru akut akibat keasaman proses inflamasi paru akut sebagai
lambung dan bahan-bahan yang respon terhadap bakteri dan produk-
berasal dari lambung produk bakteri

bakteriologi pada awalnya steril, selanjutnya kokus gram positif, batang gram negatif
dapat terjadi infeksi bakteri (jarang) , bakteri anaerob

faktor predisposisi penurunan kesadaran yang nyata disfagia dan gangguan motilitas
lambung

kelompok usia semua kelompok usia, biasanya usia lebih tua yang dikenai
usia muda

kejadian aspirasi dapat disaksikan biasanya tidak dapat disaksikan

gambaran umum pasien dengan penurunan kesadaran pasien dengan disfagia disertai
disertai infiltrat pada paru dan gejala gambaran klinis pneumonia dan
gangguan pernafasan infiltrat pada segmen bronkopulmonal
yang dikenai

gambaran klinis tanpa gejala atau gejala mulai sesak nafas, batuk dan gejala
dari batuk nonproduktif, sesak nafas, pneumonia
bronkospasme, sputum berdarah
atau berbusa dan distres nafas setelah
2-5 jam

Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda dapat bervariasi, biasanya berhubungan dengan volume
dan jenis zat yang terinhalasi. Jika bayi dan anak terinhalasi zat atau benda asing
dalam jumlah besar, maka gejala respiratori yang berat segera muncul dalam 1-2
jam. Pada sebagian besar pneumonia aspirasi, gejala dapat muncul lambat, tetapi
dapat memburuk segera.3-4
Gejala awal yang biasanya tidak spesifik, seperti demam, suara serak basah.
Diikuti oleh gejala respiratori seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada.4-6
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan suara nafas berkurang, redup
sampai pekak pada daerah yang mengalami konsolidasi, adanya pleural friksion
rub. Pada keadaan yang berat, dapat berkembang menjadi hipoksia, gagal nafas,
dan syok septic.3-6

80 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Diagnosis Banding
Penting dipertimbangkan kemungkinan penyakit lain dengan gejala serupa,
yaitu : pneumonia oleh karena sebab lain, bronchiolitis, croup, epiglottitis, benda
asing, asma, penyakit kardiovaskuler.5

Investigasi 5,6
 Pemeriksaan darah rutin (netrofil, leukositosis)
 Elektrolit dan fungsi ginjal (jika dehidrasi)
 Kultur darah
 Analisis gas darah
 Jika perlu kultur sputum atau aspirat
 Foto thorak : lokasi yang biasa adalah segmen apical dan posterior lobus
bawah paru kanan. Jika pasien berbaring (pada bayi), sering pada lobus atas
segmen posterior.
 CT scan paru dan bronkoskopi jika dibutuhkan dan fasilitas tersedia

Manajemen pneumonia aspirasi


Bayi dan anak yang mengalami aspirasi harus diobservasi dalam 48 jam
pertama di rumah sakit, atau fasilitas kesehatan lainnya.

Aspirasi isi lambung (Pneumonitis aspirasi)


Jika terlihat atau segera diduga ada aspirasi, maka sebisanya bayi dan anak
segera dimiringkan dengan kepala direndahkan 300. Posisi ini akan menyebabkan
laring lebih tinggi dari orofaring, sehingga isi lambung mengalir sendiri keluar.
Orofaring harus diisap dengan suksion secara hati-hati, cegah reflex telan yang
akan memperburuk keadaan aspirasi.1
Setelah melakukan pembersihan orofaring, jalan nafas harus segera
diamankan dengan pemasangan intubasi, terutama jika pasien cenderung untuk
mengalami aspirasi berulang, atau memperlihatkan tanda gagal nafas (seperti
takipneu, dispneu, sianosis, dll.) Jika jalan nafas aman, maka sebaiknya juga
dipasang slang naso gastrik untuk mengosongkan lambung. Jika mungkin posisi
pasien ditegakkan 450 dengan kepala lebih tinggi, untuk mencegah aspirasi
selanjutnya.1-3
Jika terjadi aspirasi dengan volume yang cukup banyak, maka sangat
direkomendasikan untuk melakukan bronkoskopi dan pengisapan melalui
bronkoskopi dapat mengambil cairan lambung dan material solid lain dari saluran
nafas. Tindakan ini akan mencegah reaksi inflamasi yang hebat, mencegah kolaps
paru, dan mengurangi risiko infeksi selanjutnya.
Volume aspirasi lambung > 0,3 ml/kgbb dengan pH < 2,5 akan
menimbulkan pneumonitis aspirasi. Tetapi kerusakan paru yang berat juga dapat
terjadi walaupun zat makanan yang teraspirasi dengan pH > 2,5. Pada percobaan
binatang, didapatkan 2 puncak reaksi inflamasi hebat, yaitu 1-2 jam setelah

81 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
aspirasi (efek langsung), dan puncak ke dua pada 4-6 jam setelah aspirasi
(infiltrasi netrofil).2-4
Aspirat lambung biasanya steril (pH<2,5), karena itu sebenarnya
kemungkinan kolonisasi bakteri pada fase awal sangat sedikit, sehingga tidak
diperlukan antibiotik. Pemberian antibiotic direkomendasikan jika setelah 48 jam
keadaan klinis tidak membaik. Tetapi pada pelaksanaan di lapangan, yang
prevalensi infeksi sekunder bakteri cukup tinggi, antibiotika dapat diberikan
sesuai keadaan klinis. Sangat dianjurkan untuk melakukan kultur terhadap
material yang teraspirasi.7-8

Pneumonia aspirasi (aspirasi orofaringeal)


Pemberian antibiotik harus segera dimulai segera setelah diduga
pneumonia aspirasi. Gambaran klinis pneumonia aspirasi adalah demam,
leukositosis persisten, infiltrate pada foto torak, pada > 48 setelah diduga adanya
kejadian aspirasi. Jika tidak terdapat perbaikan klinis, dapat diulangi foto thorak.
Penting dilakukan kultur terhadap sputum, atau cairan lavase bronchial,
dan darah untuk mendapatkan petunjuk pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik secara empirik dapat dibenarkan, dengan pilihan antibiotik spektrum
luas, disesuaikan dengan pola resistensi di rumah sakit tersebut.
Pertimbangkan juga adanya infeksi anaerob, jika pasien menderita infeksi
gigi yang berat, atau adanya gambaran kavitas atau abses pada foto thorak.
Antibiotik dapat ditukar setelah hasil kultur keluar dan disesuaikan dengan
sensitivitas bakteri hasil kultur. Antibiotik diteruskan sampai 7 hari sesuai kultur,
dan jika ditemukan Pseudomonas , maka antibiotika harus diberikan selama 15
hari.7-11
Perubahan antibiotika intravena menjadi oral, dapat dilakukan jika keadaan
klinis baik, hemodinamik stabil, dapat minum obat secara oral, dan fungsi saluran
cerna normal.
Pemberian kortikokosteroid, tidak dianjurkan. Pada beberapa studi, steroid
tidak meningkatkan performans klinis. Studi lain, mendapatkan adanya
peningkatan reaksi inflamasi setelah pemberian steroid pada pneumonia
aspirasi.6-7

Pemilihan antibiotika5,10-11
Terapi awal :
 Benzylpenicillin : 30 mg/kg maks 1.2 g, IV, setiap 6 jam
DITAMBAH dengan :
 Metronidazole 12.5 mg/kg maks 500 mg, IV, setiap 12 jam
ATAU Metronidazol 10 mg/kg maks 400 mg) oral, setiap 12 jam
Pilihan lain, atau pasien dengan hipersensitif Penicillin, diberikan obat tunggal :
 Clindamycin 10 mg/kg maks 450 mg, IV atau oral, setiap 8
ATAU
 Lincomycin 15 mg/kg maks 600 mg, IV, setiap 8 jam

82 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Jika diduga bakteri Aerobic Gram-negative :
 Metronidazole 12.5 mg/kg maks 500 mg, IV, setiap 12 jam
ATAU Metronidazole 10 mg/kg maks 400 mg, oral, setiap 12 jam
DITAMBAH salah satu di bawah :
 Ceftriaxone 25 mg/kg maks 1 g, IV, satu kali sehari
ATAU
 Cefotaxime 25 mg/kg maks 1 g, IV, setiap 8 jam
ATAU
 Piperacillin+tazobactam 100+12.5 mg/kg maks 4+0.5 g, IV, setiap 8 jam
ATAU
 Ticarcillin+clavulanate 50+1.7 mg/kg maks 3+0.1 g, IV, setiap 6 jam
Jika terbukti atau diduga infeksi , lihat Staphylococcal pneumonia.

Komplikasi
 Dapat berkembang menjadi abses paru, atau bronkiektasis
 Gagal nafas

Prognosis
Tergantung kepada penyebab, materi dan zat yang terinhalasi, ketepatan diagnosis
dan tindakan, serta ada tidaknya komplikasi.

Daftar Pustaka
1. Marik P, Aspiration Pneumonitis and Aspiration Pneumonia. N Engl J
Med.2001;334:665-71
2. Nagatake.T, Aspiration and Aspiration Pneumonia, JMAJ 2003 46(1): 12–18,
3. Karim.R,et al. Aspiration Pneumonia in Pediatric Age Group: Etiology,
Predisposing Factors and Clinical Outcome. JPMA 1999 49:105-8
4. Sias SMA, Ferreira AS, Daltro PA, Caetano RL, Moreira JS, Quirico-Santos T.
Evolution of exogenous lipoid pneumonia in children: clinical aspects,
radiological aspects and the role of bronchoalveolar lavage. J Bras Pneumol.
2009;35(9):839-845
5. K.Weir . McMahon L. Barry, I.B. Masters and A.B. Chang. Clinical signs and
symptoms of oropharyngeal aspiration and dysphagia in children
6. Maor J.Does Nasogastric Tube Cause Pulmonary Aspiration in Children?
Pediatrics 1991;87;113-4
7. Brook I, Bacteriology of Aspiration Pneumonia in Children. Pediatrics
1980;65;1115-9
8. Koefler T. Child with repeated aspiration pneumonia and peculiar face. Eur J
Pediatr 1998; 157: 161-2
9. Leroy O,Community-acquired Aspiration Pneumonia in Intensive Care
Units. AM J RESPIR CRIT CARE MED 1997;156:1922–9
10. Brook I, Clindamycin in Treatment of Aspiration Pneumonia in Children.
Antimicrobial Agent and chemotherapy ; 1979: 342–345.

83 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
11. Allewelt M, et al, Ampicillin + sulbactam vs. clindamycin ± cephalosporin for
the treatment of aspiration pneumonia and primary lung abscess. European
Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases 2004;10: 163–70

84 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k
Kunjungi Website kami di :
http://tht.fk.unand.ac.id

BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER (THT-KL)


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

85 | E m e r g e n s i d i B i d a n g T e l i n g a H i d u n g T e n g g o r o k

Você também pode gostar