Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Asal Usul Tari Guel adalah salah satu cerita rakyat yang berasal dari
Aceh. Selain Asal Usul Tari Guel masih banyak lagi sebenarnya cerita
rakyat dari aceh yang sangat menarik misalnya Asal Mula Danau Laut
Tawar dan juga cerita rakyat yang berjudul Unkok tapi kali ini kita akan
membahas cerita tentang asal usul tari guel.
Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor,
Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada
suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala
itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka
bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat
layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat
tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-
itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus
mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan,
versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin
yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan
oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh
Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi
bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah
disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat
gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera
memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu
hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang.
Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung
Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang
gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka
menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan
meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah
akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini
mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama
Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun.
“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku
bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon.
Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang
digembalakannya sudah tidak ada.
“Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli
beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan
gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak
babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa
pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak.
“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku harus
menjaga si Bungsu dan aku tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku
pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu, dibantingnya kedua periuk
tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli beras.
Kedua periuk itu pun hancur berantakan di tanah.
“Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan bayi lagi, mengapa
harus makan pisang,” teriak si Sulung marah sambil membanting piringnya
ke tanah.
Ibu si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang menonjol, yang
disebut orang Batu Belah. Sesampainya di sana, ibu si Sulung pun
bernyanyi,
Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu pun
terbelah. Setelah ibu si Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat
kembali. Melihat kejadian itu, timbul penyesalan di hati si Sulung. Ia
menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi,
namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang
ditelan Batu Belah.