Você está na página 1de 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN
PADA TN. IPGP DENGAN DIAGNONA MEDIS SOPT
(SINDROM OBSTRUKSI PASCA TUBERKULOSIS)
DI RUANG NAKULA RSUD SANJIWANI GIANYAR

OLEH :

I GUSTI AYU DYAH WAHYU NINGRAT


NIM : 18.901.1994

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah obstruksi jalan
nafas yang muncul setelah tuberkulosis (TB) akibat mekanisme imunologi
selama proses TB (Verma, et al., 2009). Pada sebagian penderita TB, secara
klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, gambaran radiologi
menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji
faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel.
Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) (PDPI, 2011).

2. Etiologi
Sindrom obstruksi pasca tuberculosis ini disebabkan oleh:
a. Infeksi yang dipengaruhi oleh reaksi imun perorangan
b. Akibat timbulnya dekstruksi jaringan paru karena proses penyakit paru

3. Gejala Klinis
a. Demam (subfebris, kadang-kadang seperti demam influensa).
b. Batuk (kering/produktif, kadang-kadang hemoptoe(pecahnya
pembuluh darah))
c. Sesak nafas (jika infiltrasi sudah setengah bagian paru)
d. Nyeri dada (jika infiltrasi sudah sampai ke pleura, kadang ada kadang
tidak)
e. Malasie

4. Patogenesis
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian

terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang

dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi

mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang


luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru

berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi

menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun, dan gerak lapang

paru menjadi tidak maksimal (Irawati, 2013). Apabila tubuh terinfeksi M.

tuberculosis maka sistem imun host akan bekerja melawan infeksi tersebut.

Akibatnya M. tuberculosis akan melepasan komponen toksik ke dalam

jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas seluler sehingga akan

meningkatkan respons terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan

jaringan, nekrosis, dan penyebaran bakteri lebih lanjut (Menezes, 2007).

Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu

dengan M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang

limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif

membunuh bakteri. Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang merangsang

limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit

T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi respons lebih baik terhadap

antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui

peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti

pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul

anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif

meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida,

hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada

membran sel dan dinding sel M. tuberculosis.

Beberapa hasil infeksi M. tuberculosis dapat bertahan dan tetap

mengaktifkan makrofag sehingga tetap terjadi proses infeksi yang dapat


mendestruksi matriks alveoli. Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai

penyebab destruksi matriks di mana proteolisis mendestruksi protein yang

membentuk matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti

pelepasan elektron dari suatu molekul.Kehilangan elektron pada suatu

struktur mengakibatkan fungsi molekul akan berubah (Aida, 2006; Inam,

2010).

Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan

anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu:1) Elastase, yang

paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga sanggup

menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi

potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup

kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat

menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue

plasmin activator yang merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin

selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama

dengan elastase (Aida, 2006).

Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti

peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel

terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap

proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya

menurun (Aida, 2006).

Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun

diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi

sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup
luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang

akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri (Inam, 2010).

5. Pathway
Invasi Mycobacterium Tubercolosis

Infeksi Primer Sembuh

Sembuh dengan sarang ghon

Infeksi pasca primer Bakteri dorman

Bakteri muncul beberapa tahun kemudian

Reaksi infeksi/inflamasi, kavitas dan


merusak parenkin paru

Kerusakan membran alveolar-kapiler merusak pleura, altelaktasis

Sembuh dengan fibrosis

Sesak nafas, expansi


1. Produksi secret
thorax
meningkat
2. Pecah pembuluh
darah Gangguan pertukaran gas

Batuk produktif dan


batuk berdarah Kerusakan mencapai pleura

Nyeri dada
Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas
Nyeri Akut
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Test laboratorium
b. Test radiologi
c. Test rontgent
d. Test tuberculin

7. Therapy atau Tindakan Penanganan


Pada sebagian bekas penderita TB, masih mengeluhkan batuk bahkan
timbul sesak bertahun-tahun kemudian (SOPT). Gejala ini terjadi karena
adanya kerusakan paru yang permanen, gangguan menetep restriktif dan
sebagian obstruktif pada spirometri. Biasanya penderita SOPT ini ireversibel
pada pemberian obat bronkodilator dan bahkan dengan kortikosteroid
(Mangunegoro, 2003). Namun, SOPT termasuk dalam penyakit obstruksi paru yang
gejalanya mirip dengan PPOK, maka pemberian terapi mirip dengan PPOK. Terapi
SOPT diberikan sesuai kausa. Pilihan terapi untuk SOPT, adalah:
a. Bronkodilator:
1) Golongan antikolinergik : ipratropium bromida (0,5mg)
2) Golongan agonis β-2 : salbutamol (2,5mg)
3) Kombinasi : ipratropium bromida (0,5mg) dengan salbutamol (2,5mg)
4) Nebulasi
5) Golongan xantin : aminofilin (200mg) (Kemenkes RI, 2013)
b. Antiinflamasi : prednison atau metilprednisolon
c. Anti-oksidan : N-acetyl cystein
d. Antibiotika (hanya diberikan jika terdapat infeksi) : golongan β-lactam
dan makrolid
e. Terapi oksigen
f. Rehabilitasi medik (PDPI, 2011).
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Pengakajian
Pengkajian menurut 11 pola fungsi Gordon yaitu :
a. Pola pemeliharaan kesehatan
1) Adanya riwayat keluarga yang mengidap penyakit tuberculosis
paru
2) Kebiasaan merokok atau minum alkohol
3) Lingkungan yang kurang sehat, pemukiman padat, ventilasi
rumah yang kurang.
b. Pola nutrisi metabolic
1) Nafsu atau selera makan menurun
2) Mual
3) Penurunan berat badan
4) Turgor kulit buruk,kering, kulit bersisik
c. Pola eliminasi
1) Adanya gangguan pada BAB seperti konstipasi
2) Warna urin berubah menjadi agak pekat karena efek samping dari
obat tuberculosis paru
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Kelemahan umum/ anggota gerak
2) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari terganggu.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Kesulitan tidur pada malam hari
2) Mimpi buruk
3) Berkeringat pada malam hari
f. Pola persepsi kognitif
Nyeri dada meningkat karena batuk
g. Pola persepsi dan konsep diri
1) Perasaan isolasi/ penolakan karena panyakit menular
2) Perasaan tidak berdaya
h. Pola peran hubungan dengan sesama
1) Perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
2) Frekuensi ineraksi antara sesame jadi kurang.
i. Pola reproduksi seksualitas
Gangguan pemenuhan kkebutuhan biologis dengan pasangan
j. Pola meknisme koping dan toleransi terhadap stress
1) Menyangkal (khususnya selama hidup ini)
2) Ansietas
3) Perasaan tidak berdaya
k. Pola sistem kepercayaan
Kegiatan beribadah terganggu atau tidak

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Faktor Yang Berhubung Batasan Karakteristik


Keperawatan
Ketidakefektifan Fisiologis: Tanda dan Gejala:
bersihan jalan 1) Spasme jalan napas, sekresi Subjektif:
napas kental/belebihan sekunder 1) Dispnea
akibat infeksi, fibrosis kistik 2) Sulit berbicara
atau influenza. 3) Ortopnea
2) Imobilitas statis sekresi dan
batuk tidak efektif Objektif:
3) Sumbatan jalan napas karena 1) Batuk tidak efektif
benda asing 2) Tidak mampu batuk
4) Adana jalan napas bantuan, 3) Sputum berlebih
hyperplasia dinding jalan napas 4) Mengi, wheezing dan atau ronkhi
5) Proses infeksi, respon alergi, 5) Mekonium di jalan napas (pada
efek agen farmakologis (mis: neonates)
anasteri) 6) Gelisah
7) Sianosis
Situasional: 8) Bunyi napas menurun
1) Merokok aktif 9) Frekuensi napas berubah
2) Merokok pasif 10) Pola napas berubah
3) Terpajan polutan
Gangguan 1. Perubahan membrane 1. PH darah arteri abnormal
pertukaran gas alveolar-kapiler 2. PH arteri abnormal
2. Ventilasi-perfusi 3. Pernapasan abnormal (mis., kecepatan,
irama, kedalaman)
4. Warna kulit abnormal (mis., pucat,
kehitaman)
5. Konfusi
6. Sianosis (pada neonates saja)
7. Penurunan karbon dioksida
8. Gangguan penglihatan
9. Diaphoresis
10. Dispnea
11. Sakit kepala saat bangun
12. Hiperkapnea
13. Hipoksemia
14. Hipoksia
15. Iritabilitas
16. Napas cuping hidung
17. Gelisah
18. Somnolen
19. Takikardia
Nyeri Akut 1. Agens cedera (mis., biologis, 1. Perubahan selera makan
2. Perubahan tekanan darah
zat kimia, fisik, psikologis)
3. Perubahan frekuensi janutng
4. Perubahan frekuensi pernapasan
5. Perilaku distraksi (mis., berjalan
mondar mandir, mencari orang lain dan
atau aktivitas lain, aktivitas yang
berulang)
6. Mengekspresikan perilaku (mis.,
gelisah, merengek, menangis, waspada,
iritabilitas, mendesah)
7. Masker wajah (mis., mata kurang
bercahaya, tampak kacau, gerakan
mata berpencar atau tetap pada satu
fokus, meringis)
8. Laporan isyarat
9. Diaforesis
10. Sikap melindungi area nyeri
11. Fokus menyempit (mis.., gangguan
persepsi nyeri, hambatan proses
berpikir, penurunan interaksi dengan
orang dan lingkungan)
12. Indikasi nyeri yanh dapat diamati
13. Perubahan posisi untuk menghindari
nyeri
14. Sikap tubuh melindungi
15. Dilatasi pupil
16. Melaporkan nyeri secara verbal
17. Fokus pada diri sendiri
18. Gangguan tidur.
3. Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kreteria Hasil Intervensi Rasional
Ketidakefektifan bersihan Setelah diberikan askep selama…x 24 Respiratory monitoring 1. Mengetahui tingkat gangguan yang
jalan napas jam, diharapkan bersihan jalan nafas 1. Pantau rate, irama, kedalaman, dan terjadi dan membantu dalam
klien kembali efektif dengan kriteria usaha respirasi menetukan intervensi yang akan
hasil: 2. Perhatikan gerakan dada, amati diberikan.
Respiratory status: airway patency simetris, penggunaan otot aksesori, 2. menunjukkan keparahan dari
 Frekuensi pernapasan dalam retraksi otot supraclavicular dan gangguan respirasi yang terjadi dan
batas normal (16-20x/mnt) interkostal menetukan intervensi yang akan
 Irama pernapasn normal 3. Monitor suara napas tambahan diberikan
 Kedalaman pernapasan normal 4. Monitor pola napas : bradypnea, 3. suara napas tambahan dapat menjadi
 Klien mampu mengeluarkan tachypnea, hyperventilasi, napas indikator gangguan kepatenan jalan
sputum secara efektif kussmaul, napas cheyne-stokes, napas yang tentunya akan
 Tidak ada akumulasi sputum apnea, napas biot’s dan pola ataxic berpengaruh terhadap kecukupan
Airway Management pertukaran udara.
5. Auskultasi bunyi nafas tambahan; 4. mengetahui permasalahan jalan
ronchi, wheezing. napas yang dialami dan keefektifan
6. Berikan posisi yang nyaman untuk pola napas klien untuk memenuhi
mengurangi dispnea. kebutuhan oksigen tubuh.
7. Bersihkan sekret dari mulut dan 5. Adanya bunyi ronchi menandakan
trakea; lakukan penghisapan sesuai terdapat penumpukan sekret atau
keperluan. sekret berlebih di jalan nafas.
8. Anjurkan asupan cairan adekuat. 6. posisi memaksimalkan ekspansi paru
9. Ajarkan batuk efektif dan menurunkan upaya pernapasan.
10. Kolaborasi pemberian oksigen Ventilasi maksimal membuka area
11. Kolaborasi pemberian atelektasis dan meningkatkan
broncodilator sesuai indikasi. gerakan sekret ke jalan nafas besar
Airway suctioning untuk dikeluarkan.
12. Putuskan kapan dibutuhkan oral 7. Mencegah obstruksi atau aspirasi.
dan/atau trakea suction Penghisapan dapat diperlukan bia
13. Auskultasi sura nafas sebelum dan klien tak mampu mengeluarkan
sesudah suction sekret sendiri.
14. Informasikan kepada keluarga 8. Mengoptimalkan keseimbangan
mengenai tindakan suction cairan dan membantu mengencerkan
15. Gunakan universal precaution, sekret sehingga mudah dikeluarkan
sarung tangan, goggle, masker 9. Fisioterapi dada/ back massage dapat
sesuai kebutuhan membantu menjatuhkan secret yang
16. Gunakan aliran rendah untuk ada dijalan nafas.
menghilangkan sekret (80-100 10. Meringankan kerja paru untuk
mmHg pada dewasa) memenuhi kebutuhan oksigen serta
17. Monitor status oksigen pasien memenuhi kebutuhan oksigen dalam
(SaO2 dan SvO2) dan status tubuh.
hemodinamik (MAP dan irama 11. Broncodilator meningkatkan ukuran
jantung) sebelum, saat, dan setelah lumen percabangan trakeobronkial
suction sehingga menurunkan tahanan
terhadap aliran udara.
12. waktu tindakan suction yang tepat
membantu melapangan jalan nafas
pasien
13. Mengetahui adanya suara nafas
tambahan dan kefektifan jalan nafas
untuk memenuhi O2 pasien
14. memberikan pemahaman kepada
keluarga mengenai indikasi kenapa
dilakukan tindakan suction
15. untuk melindungai tenaga kesehatan
dan pasien dari penyebaran infeksi
dan memberikan pasien safety
16. aliran tinggi bisa mencederai jalan
nafas
17. Mengetahui adanya perubahan nilai
SaO2 dan satus hemodinamik, jika
terjadi perburukan suction bisa
dihentikan.

Gangguan pertukaran gas Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC : Airway Management Airway Management
…×24 jam, diharapkan gangguan 1. Posisikan pasien untuk 1. Melancarkan pernapasan klien
pertukaran gas teratasi, dengan kriteria memaksimalkan ventilasi udara 2. Merilekskan dada untuk
hasil: 2. Lakukan terapi fisik dada, sesuai memperlancar pernapasan klien
NOC : Respiratory status: Airway kebutuhan 3. Mengeluarkan secret yang
patency 3. Keluarkan secret dengan menghambat jalan pernapasan
 Klien mampu mengeluarkan secret melakukan batuk efektif atau 4. Mengetahui factor penyebab batuk dan
 RR klien normal 16-20 x/menit dengan melakukan suctioning gangguan pernapasan
 Irama pernapasan teratur 4. Catat dan monitor pelan, dalamnya 5. Memperlancar saluran pernapasan
 Kedalaman inspirasi normal pernapasan dan batuk 6. Memenuhi kebutuhan oksigen dalam
 Oksigenasi pasien adekuat 5. Berikan treatment aerosol, sesuai tubuh
Respiratory Status : Gas Exchange kebutuhan 7. Menyeimbangkan cairan dalam tubuh
 AGD dalam batas normal skala 5 (no 6. Berikan terapi oksigen, sesuai 8. Mengetahui status respirasi klien
deviation from normal range). keebutuhan lancar ataukah ada gangguan
 Tanda-tanda sianosis mencapai skala 7. Regulasi intake cairan untuk Respiratory Monitoring
5 (none) mencapai keseimbangan cairan 1. Untuk mendeteksi adanya gangguan
 Klien tidak mengalami somnolen 8. Monitor status respiratory dan pernapasan
mencapai skala 5 (none). oksigenasi 2. Untuk mendeteksi adanya gangguan
Tissue Perfusion : Peripheral Respiratory Monitoring pernapasan
 Capitary refill pada jari-jari dalam 1. Monitor frekuensi, ritme, 3. Memperlancar saluran pernapasan
rentang normal mencapai skala 5 (no kedalaman pernapasan. 4. Mengetahui karakteristik batuk untuk
deviation from normal range) 2. Monitor adanya suara dapat memberikan intervensi yang
abnormal/noisy pada pernapasan tepat
seperti snoring atau crowing. Vital Signs Monitoring
3. Kaji keperluan suctioning dengan 1. Mendeteksi adanya gangguan respirasi
melakukan auskultasi untuk dan kardiovaskuler
mendeteksi adanya crackles dan 2. Mengecek adanya gangguan
rhonchi di sepanjang jalan napas. pernapasan
4. Catat onset, karakteristik dan 3. Mendeteksi adanya keabnormalan
durasi batuk. suara paru
Vital Signs Monitoring 4. Mendeteksi adanya gangguan system
1. Monitor tekanan darah, nadi, tubuh
temperature, dan status respirasi, 5. Monitor adanya gangguan respirasi
sesuai kebutuhan. dan kardiovaskular.
2. Monitor respiration rate dan ritme Managemen Asam-Basa
(kedalaman dan simetris) 1. Untuk membuat klien agar bernafas
3. Monitor suara paru dengan baik tanpa adanya gangguan.
4. Monitor adanya abnormal status 2. Untuk mengetahui tekanan gas darah
respirasi (cheyne stokes, apnea, (O2 dan CO2) sehingga kondisi pasien
kussmaul) tetap dapat dipantau.
5. Monitor warna kulit, temperature 3. Agar klien tidak mengalami alkalosis
dan kelembapan. akibat kekurangan asam yang
6. Monitor adanya sianosis pada berlebihan dari tubuh.
central dan perifer 4. Posisi yang tepat menyebabkan
Managemen Asam-Basa berkurangnya tekanan diafragma ke
1. Pertahankan kepatenan jalan napas. atas sehingga ekspresi paru maksimal
2. Pantau gas darah arteri (AGD), sehingga klien dapat bernafas dengan
serum dan tingkat elektrolit urine. leluasa.
3. Monitor hilangnya asam (misalnya 5. Agar perawat cepat mengetahui jika
muntah, output nasogastrik, diare terjadinya gagal nafas sehingga tidak
dan diuresis). membuat kondisi klien menjadi
4. Berikan posisi untuk memfasilitasi semakin buruk.
ventilasi yang memadai (misalnya 6. Sebagai indikator adanya
membuka jalan napas dan gangguannafas dan indikator dalam
mengangkat kepala tempat tidur) tindakanselanjutnya.
5. Pantau gejala gagal pernafasan 7. Untuk mempelancar pernafasan klien
(misalnya PaO2 rendah, dan memenuhi kebutuhan oksigen
PaCO2tinggi dan kelelahan otot klien.
pernafasan).
6. Pantau pola pernapasan.
7. Berikan terapi oksigen, jika perlu

Nyeri Akut Setelah diberikan asuhan keperawatan


1. Kaji secara komprehensip terhadap 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri
…×24 jam, diharapkan nyeri akut nyeri termasuk lokasi, karakteristik, pasien
dapat berkurang dengan kriteria hasil:
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas 2. Untuk mengetahui tingkat
1. Pain Control nyeri dan faktor presipitasi ketidaknyamanan dirasakan oleh
a Klien melaporkan nyeri
2. Observasi reaksi ketidaknyaman pasien
berkurang secara nonverbal 3. Untuk mengalihkan perhatian
b Klien dapat mengenal
3. Gunakan strategi komunikasi pasien dari rasa nyeri
lamanya (onset) nyeri terapeutik untuk mengungkapkan 4. Untuk mengetahui apakah nyeri
c Klien dapat menggambarkan pengalaman nyeri dan penerimaan yang dirasakan klien berpengaruh
faktor penyebab klien terhadap respon nyeri terhadap yang lainnya
d Klien dapat menggunakan 4. Tentukan pengaruh pengalaman 5. Untuk mengurangi factor yang
teknik non farmakologis nyeri terhadap kualitas hidup( napsu dapat memperburuk nyeri yang
e Klien menggunakan analgesic makan, tidur, aktivitas,mood, dirasakan klien
sesuai instruksi hubungan sosial) 6. Pemberian “health education”
5. Tentukan faktor yang dapat dapat mengurangi tingkat
2. Pain level memperburuk nyeriLakukan kecemasan dan membantu klien
a Klien melaporkan nyeri evaluasi dengan klien dan tim dalam membentuk mekanisme
berkurang kesehatan lain tentang ukuran koping terhadap rasa nyer
b Klien tidak tampak mengeluh pengontrolan nyeri yang telah 7. Untuk mengurangi tingkat
dan menangis dilakukan ketidaknyamanan yang dirasakan
c Ekspresi wajah klien tidak 6. Berikan informasi tentang nyeri klien.
menunjukkan nyeri termasuk penyebab nyeri, berapa 8. Agar nyeri yang dirasakan klien
d Klien tidak gelisah lama nyeri akan hilang, antisipasi tidak bertambah.
terhadap ketidaknyamanan dari 9. Agar klien mampu menggunakan
prosedur teknik nonfarmakologi dalam
7. Control lingkungan yang dapat memanagement nyeri yang
mempengaruhi respon dirasakan.
ketidaknyamanan klien( suhu 10. Pemberian analgetik dapat
ruangan, cahaya dan suara) mengurangi rasa nyeri pasien
8. Hilangkan faktor presipitasi yang
dapat meningkatkan pengalaman
nyeri klien( ketakutan, kurang
pengetahuan)
9. Ajarkan cara penggunaan terapi non
farmakologi (distraksi, guide
imagery,relaksasi)
10. Kolaborasi pemberian analgesic
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan atau implementasi adalah tindakan yang dilaksanakan sesuai
dengan rencana asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya
berdasarkan tindakan yang telah dibuat, dimana tindakan yang dilakukan
mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi (Tarwoto dan Wartonah, 2006).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan
seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan.
Penilaian proses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses
mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu
sendiri. Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan
yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan
menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian,
perencanaan dan pelaksanaan. (Mubarak, dkk., 2011)

Evaluasi disusun menggunakan SOAP dimana: (Suprajitno dalam Wardani,


2013)

S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif


oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.

O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat


menggunakan pengamatan yang objektif.

A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.

P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.


DAFTAR PUSTAKA

NANDA International. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi Dsn Klasifikasi


2009-2011. Diaih Bahasakan Oleh Made Sumarwati. Jakarta : EGC
NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi
10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC
Nursing Outcome Classification (NOC), 5th Indonesian Edition, By Sue
Moorhead, Marion Johnson, Meridian L. Maas, Elizabet Swonson ©
Copyright 2016 Elsevier Singapore Pte Ltd.
Bulechek, G.(2013). Nursing Intervention Classification (NIC).6th Edition.
Missouri: Elseiver Mosby
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2 Edisi 4.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC
Tarwoto & Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika.
Mansjoer, Arif.2001. Kapita Selekta Kedoteran. Jilid 1. Ed.3.Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001.Buku AjarKeperawatan Medikal Bedah. Vol. 1.


Jakarta:EGC

Você também pode gostar