Você está na página 1de 2

ANAK TUKANG BECAK JADI DOKTER

Suyatno memarkir becaknya di belakang Grha Sabha Pramana dan menggemboknya


dengan sebuah rantai. Tidak lama kemudian, ia mengambil sebuah bungkusan plastik
berwarna hijau yang tersimpan di belakang kursi sandaran becaknya.

Bergegas ia mencari sudut gedung dan membuka isi tas plastik itu. Sebuah baju batik
berwarna coklat terlipat rapi.

“Sebelum pakai batik, saya lap dulu keringat saya, banyak sekali,” kata Suyatno sebelum
naik ke lantai dua tempat berlangsung sebuah acara.

Suyatno datang ke kampus UGM dalam rangka menghadiri undangan pertemuan orang
tua mahasiswa baru. Ia datang bukan sebagai orang tua mahasiswa baru, tetapi sebagai
undangan khusus.

Orang tua ini dinilai berhasil menguliahkan anaknya hingga lulus menjadi dokter di
Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Pria yang sehari-hari menetap di Terban, Kota
Yogyakarta, ini memiliki empat orang anak.

Namun, hanya anak bungsunya, Agung Bhaktiyar, yang dapat mengenyam bangku
pendidikan tinggi, bahkan telah dilantik menjadi dokter pada pertengahan tahun lalu.

Suyatno berkisah bahwa sang anak tidak pernah memberitahu jika mendaftar tes masuk
UGM . Setelah dinyatakan lulus, barulah si bungsu memberi tahu.

Saat itu, Suyatno sempat kaget dan terdiam, tidak menyangka jika anaknya dapat
diterima di FK UGM. Ia hanya mengiyakan akan mendukung keinginan anaknya tersebut
meski sebenarnya Suyatno masih ragu apakah mampu menguliahkan anaknya sampai
selesai. Namun, keraguan itu tidak ia utarakan.

“Bapak akan berusaha sampai kamu bisa selesai kuliah, Nak,” ujarnya kala itu
membesarkan hati sang anak.

Agung pun maklum dengan kondisi keluarganya. Ia pun tidak pernah memaksa orang
tuanya untuk memenuhi keinginannya. Sejak kecil, Suyatno sudah membiasakan anak-
anaknya untuk hidup sederhana, bahkan untuk membeli baju seragam dan sepatu
sekolah, Suyatno selalu membelikan yang serba bekas.

Suyatno memang tidak dapat berbuat banyak. Dari menarik becak, Suyatno hanya dapat
membawa pulang uang sebesar Rp20.000,00 hingga Rp30.000,00 per hari. Istrinya,
Saniyem, membantunya menopang ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai
pengumpul barang rongsokan di pasar Terban.

Kendati demikian, Suyatno dan Saniyem tetap optimis dan berdoa agar suatu saat
anaknya dapat bernasib lebih baik. “Dulu saya berangan-angan paling tidak bisa
melebihi saya,” kata pria tamatan pendidikan sekolah rakyat ini.
Dalam perjalanannya, Suyatno tidak merisaukan biaya kuliah anaknya selama enam
tahun di FK UGM karena Agung mendapat bantuan beasiswa dari UGM.

“Tapi kalau untuk fotokopi dan uang saku, dia tetap minta ke saya. Kalau tidak ada, tetap
apa adanya,” ujarnya.

Pengalaman Suyatno dalam menguliahkan anaknya hingga lulus menjadi dokter ini
disampaikan di hadapan 3.717 orang tua mahasiswa baru yang hadir di Graha Sabha
Pramana

Kisahnya membuat beberapa orang tua menjadi terharu. Namun, tidak sedikit pula yang
merasa tergugah. Yang pasti, testimoni Suyatno membuktikan penarik becak pun
ternyata dapat menguliahkan anaknya di UGM, jadi dokter lagi.

Pak Amir seorang warga negara Amerika Serikat, mengganti kewarganegaraannya


dengan kewarganegaraan Indonesia, dalam hal ini mobilitas sosial Pak Amir disebut
dengan Mobilitas sosial horizontal karena gerak sosial yang dilakukan Pak Amir tidak
merubah status sosialnya

Pak Darjo adalah seorang buruh. Ia memiliki anak yang bernama Endra yang menjadi
tukang becak. Kemudian istrinya melahirkan anak ke-2 yang diberi nama Ricky yang
awalnya menjadi tukang becak juga. tetapi Ricky lebih beruntung sehingga ia bisa
mengubah statusnya menjadi seorang pengusaha sementara Endra tetap menjadi
tukang becak. Perbedaan status sosial antara Endra dengan adiknya di sebut Mobilitas
Antargenerasi.

Jawaban no 2

Karena adanya faktor pendorong mobilitas, sehingga setiap individu bisa menjadi yg
lebih baik

Você também pode gostar