Você está na página 1de 145

ANALISIS PRAKTIK IUU (ILLEGAL, UNREPORTED, AND

UNREGULATED) FISHING DAN UPAYA PENANGANANNYA


MELALUI ADOPSI MEKANISME PORT STATE MEASURES
DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM
ZACHMAN JAKARTA

DESIMA RAMALIA

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Praktik Perikanan IUU
(Illegal, Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya
melalui Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan
Samudera Nizam Zachman Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012


Desima Ramalia
ABSTRAK

DESIMA RAMALIA, C44080042. Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported,


and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme
Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta.
Dibimbing oleh DARMAWAN dan AKHMAD SOLIHIN.

Praktik perikanan yang diklasifikasikan sebagai kegiatan ilegal, tidak


dilaporkan dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing – IUU
Fishing) terjadi di banyak wilayah perairan dunia dalam skala besar-besaran.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat lebih dari 100 negara
berperkara dengan masalah pencurian ikan. Praktik perikanan seperti ini
mengakibatkan kerusakan habitat sumberdaya ikan akibat tindakan yang
destruktif, terganggunya pengelolaan pemanfaatan perikanan yang berkelanjutan,
dan menimbulkan kerugian ekonomi yang merugikan banyak negara berkembang
sekitar 2 – 15 milyar dolar Amerika tiap tahunnya. Sesuai kategori PBB yang
diacu pada dokumen International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate
IUU Fishing tahun 2001, suatu negara dapat dikategorikan sebagai Negara
Bendera (negara yang memberikan perijinan penangkapan kepada suatu unit
penangkapan ikan), Negara Pantai (negara yang memiliki pantai dan tempat
terjadinya perkara IUU fishing), dan Negara Pelabuhan (negara tujuan pendaratan
hasil tangkapan). Penelitian ini fokus pada peran Negara Pelabuhan dalam upaya
menangani IUU Fishing sesuai dengan dokumen perjanjian yang dirancang oleh
Food and Agriculture Organization mengenai Port State Measures (PSM)
Agreement. Sebagai negara anggota FAO, Indonesia wajib menelaah
kemungkinan melakukan adopsi terhadap dokumen tersebut. Oleh sebab itu
penelitian ini menganalisis kesiapan Indonesia dalam menerapkan kebijakan
pengaturan PSM untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas praktik IUU
fishing dengan menggunakan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Nizam Zachman Jakarta. Penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan
metoda yuridis komparatif. Adapun penentuan sampel diakukan secara
purposive. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hukum dan peraturan di
Indonesia telah mengakomodasikan enam dari tujuh butir kewajiban negara
pelabuhan sesuai dengan dokumen PSM dan telah diterapkan di PPS Nizam
Zachman Jakarta. Namun demikian masih terdapat beberapa kekurangan di
dalam pelaksanaanya yang meliputi pemahaman, sumberdaya manusia, kegiatan
preventif, serta sarana dan prasarana penunjang.

Kata kunci: IUU fishing, port state measures, yuridis komparatif


ABSTRACT

DESIMA RAMALIA, C44080042. Analysis of IUU (Illegal, Unreported, and


Unregulated) Fishing and the Eforts of Handling by Port State Measures
Adoption Mecanism at Oceanic Fishing Port Nizam Zachman Jakarta. Guicancing
by DARMAWAN and AKHMAD SOLIHIN.

Practice of IUU fishing is occurring in many fishing grounds around the


world in vast scale. United Nations notes that there were more than a hundred
countries have issues with these kinds of practices. IUU fishing damages fish
habitats due to its destructive methods, disrupts sustainable fisheries management,
and loss financial benefits for many developing coutries (aproxinately 2-15 billion
dollars every year). Based on UN classification in International Plan of Action to
Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (2001), nations can be categorized into
Flag State (issued fishing license), Coastal State (have coasts and fishing grounds)
and Port State (owned ports to facilitate logistics and landings). This research
focused on the role of Port State to cope with IUU Fishing in accord with FAO
convention in the Port State Measures Agreement (PSM). As an FAO member,
Indonesia has obligation to asses and evaluate possibility to adopt the Agreement.
Therefore this reasearch analyzed the state of readiness of Indonesia to deter,
prevent and eliminate IUU Fishing thorugh the implementation of Port State
Measures (PSM). Fishing port Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Nizam
Zachman Jakarta was used as the case study. The research used decriptive
analysis and employed juridis comparative method. Interview was conducted to
several fishing key stakeholders selected by purposive sampling method. Result
shows that Indonesia has accommodated six out of seven measure substances for
Port State in accord with the Agreement. All of those measures have been
implemented in the PPS Nizam Zachman with various conditions or shortages,
especially in general understanding of the concept, human resources, preventif
actions, tools and other supporting infrastructures. There are shortage to realize
PSM in future include comprehension, resource of human, preventable action,
tools, and infrastucture that be support.

Keywords: IUU fishing, port state measures, yuridis komparatif


© Hak Cipta IPB, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan tersebut hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
ANALISIS PRAKTIK IUU (ILLEGAL, UNREPORTED, AND
UNREGULATED) FISHING DAN UPAYA PENANGANANNYA
MELALUI ADOPSI MEKANISME PORT STATE MEASURES
DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM
ZACHMAN JAKARTA

DESIMA RAMALIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP


DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Penelitian : Analisis Praktik Perikanan IUU (Illegal,
Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya
Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port
State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera
Nizam Zachman Jakarta
Nama Mahasiswa : Desima Ramalia
NRP : C44080042
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui:
Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Darmawan, MAMA Akhmad Solihin, S.Pi, M.H


NIP. 19630306 198903 1 007 NIP. 19790403 200701 1 001

Diketahui:
Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc


NIP. 19621223 198703 1 001

Tanggal lulus: 13 Maret 2012


PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan laporan akhir
skripsi atas penelitian yang berjudul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported,
and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme
Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini
dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta
dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada bulan Juli 2011 hingga
Januari 2012. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2012


Desima Ramalia
UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini hadir atas anugerah Allah Yang Maha Kuasa, selain itu pula
banyak pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini. Bantuan tersebut
sangat berharga untuk penulis sebagai penguat dan penyemangat untuk terus
berkarya. Adapun pihak-pihak tersebut adalah:
1. Segenap keluarga inti penulis yang tidak hentinya memberi segalanya untuk
penulis hingga meraih hasil ini;
2. Pembimbing skripsi yaitu Bapak Darmawan dan Bapak Akhmad Solihin yang
dengan ikhlas memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
3. Pembimbing akademik, Ibu Vita Rumanti yang terus memberikan perhatian
dan dukungan kepada penulis dari awal mengemban ilmu di PSP;
4. Komisi pendidikan PSP dan dosen penguji pada saat sidang, Bapak
Moh.Imron dan Bapak Thomas Nugroho yang memberikan koreksian dan
wawasan lebih luas kepada penulis;
5. Sahabat-sahabat kecilku (Seilen, Sri, Soraya, Ika, Tami, Nelly, Gita, Icha,
Dini, Sheilla, Elly, Tika, Nova, Arlan, Ridhu, Rio, Syafiq, Yoyo, Eja, Syarif)
yang telah mengisi lebih dari separuh kedewasaanku;
6. Tim PPS Nizam Zachman Jakarta (Pak Rouf, Pak Nimrot, Pak Akmala, kak
Joko, Kak Icha, Kak Daffa, Kak Jazuli, kak Gareng) dan Tim KKP (Pak Eko,
Pak Rusmana, Pak Pandapotan, Mba Yani) yang sangat membantu penelitian
di lapang;
7. Dua suadara baik hati (Anugrah Adityayuda dan Dendi Ahmad Patrayuda);
8. Mereka yang meluangkan waktu lebih untuk membantu penulis saat terjatuh
(Eka Septiana, Lina Yuni Kurnia, Aditya Setianingtyas, Ngesti Dyah);
9. Keluarga yang berjumlah 61 (PSP 45) yang mampu memberikan stimulus baik
positif dan negatif yang menjadikan penulis tetap survive, you’re never end;
10. Seluruh civitas PSP, dari Tata Usaha (Pak Gigih dan Mba Vina), senior dan
alumni, serta PSP 46 dan PSP 47, you’re stay in my memories; dan
11. Special thanks untuk mereka yang mampu berada di sampingku pada hari
penting itu (Cut, Lina, Ocil, Ana, Ina, Ani, Insun, Ema, Kusnadi, Tommy,
Okta).
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan tanggal


10 Desember 1990 dari Bapak Firdaus dan Ibu Sunsilawati.
Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara.
Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan
tahun 2008 di SMA Negeri 16 Palembang. Selanjutnya,
penulis melanjutkan di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penulis memilih Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP),
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI). Selama di IPB, penulis mengikuti banyak kegiatan
organisasi dan meraih beberapa prestasi. Penulis pernah menjadi asisten mata
kuliah Eksplorasi Penangkapan Ikan tahun ajaran 2010/2011 dan mata kuliah
Manajemen Operasi Penangkapan Ikan tahun ajaran 2011/2012. Organisasi yang
pernah diikuti penulis yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK IPB tahun
2009/2010 sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi, Himpunan
Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) selama 2 tahun,
pada tahun 2009/2010 sebagai anggota Departemen Pengembangan Minat dan
Bakat serta tahun 2010/2011 sebagai anggota Departemen Penelitian,
Pengembangan, dan Keprofesian. Selain itu, penulis juga pernah menjadi Duta
Lingkungan Hidup FPIK IPB tahun 2010. Prestasi bidang olahraga yang pernah
diraihnya yaitu juara 1 Lomba Catur Pekan Olahraga dan Seni Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan (Porikan) tahun 2010 dan juara 3 Lomba Catur Olimpiade
Mahasiswa IPB tahun 2010. Beasiswa yang pernah diterima penulis saat
menempuh pendidikan di IPB yaitu Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik
(PPA). Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di jenjang sarjana, penulis
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported,
and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme
Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 5
1.3 Manfaat .................................................................................................... 5
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur ...... 8
2.2 Aturan Internasional ............................................................................... 11
2.2.1 IPOA-IUU fishing ..................................................................... 11
2.2.2 Port state measures ................................................................... 13
2.3 Hukum Indonesia .................................................................................. 19
2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ...... 19
2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikat Hasil Tangkapan........... 20
2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan PER.12/MEN/2009
Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan ..................... 21
2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal
Perikanan ................................................................................... 22
2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal
Perikanan ................................................................................... 24
2.4 Negara Pelabuhan .................................................................................. 25
2.5 Teknik Pengambilan Sampel ................................................................. 38
III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................. 31
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ......................................... 31
3.3 Metode Analisis Data ............................................................................. 33
3.3. Metode Pembahasan .............................................................................. 34
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia.................... 36
4.1.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan ....................... 52
4.1.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan .......................................... 53
4.1.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkapan ikan ..................................................... 60

x
4.1.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan
hasil wawancara ........................................................................ 61
4.1.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan ...................................... 62
4.1.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa ................... 62
4.1.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional ..................... 63
4.2 Kesiapan Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan di PPS
Nizam Zachman Jakarta ........................................................................ 67
4.2.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan ...................... 80
4.2.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan ......................................... 82
4.2.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkapan ikan ..................................................... 88
4.2.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan
hasil wawancara ........................................................................ 89
4.2.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan ...................................... 90
4.2.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa ................... 91
4.2.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional ..................... 92

V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan............................................................................................. 93
5.2 Saran .................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 97
LAMPIRAN ....................................................................................................... 101

xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia menurut kelas tahun 2010 .............. 7
2 Produksi perikanan tangkap dunia menurut negara asal tahun 2004-2008 ....... 7
3 Data primer penelitian .................................................................................... 31
4 Data sekunder penelitian ................................................................................ 32
5 Komparasi port state measures dengan aturan Indonesia. .............................. 37
6 Batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta ............................................... 67
7 Rekapitulasi data kegiatan kapal di PPS Nizam Zachman Jakarta ................ 69
8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta ........ 77
9 IOTC IUU vessel list Maret 2011 ................................................................... 85
10 WCPFC IUU vessel list tahun 2011 ............................................................... 86

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Prosedur kapal keluar pelabuhan .................................................................... 72
2 Prosedur kapal Indonesia masuk Pelabuhan ................................................... 75

xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Draft Naskah Terjemahan ............................................................................ 102
2 Annex A Port State Measures ....................................................................... 124
3 Annex B Port State Measures ....................................................................... 125
4 Annex C Port State Measures ...................................................................... 127
5 Annex D Port State Measures ...................................................................... 129
6 Annex E Port State Measures ........................................................................ 130

xiv
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia perikanan tangkap kini dihadang dengan isu praktik penangkapan
ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur atau yang disebut IUU (Illegal,
Unreported, and Unregulated) fishing. Laporan OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) pada tahun 2006 menyatakan bahwa
menurut FAO (Food and Agriculture Organization) secara global diduga jumlah
ikan yang didaratkan melalui praktik IUU fishing kira-kira tiga kali jumlah ikan
yang didaratkan secara resmi (Nikijuluw, 2008). Laporan CCSBT (Commision for
the Conservation of Southern Bluefin Tuna) mengungkapkan bahwa tuna yang
didarakan di kawasan yang dikelolanya, sepertiga atau sekitar 4.000 ton ditangkap
secara ilegal. Sedangkan IOTC (Indian Ocean Tuna Commision) menjelaskan
pula bahwa 10% atau sekitar 14.000 ton tuna yang didaratkan pertahunnya diduga
berasal dari proses produksi yang ilegal.
Data dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mencatat lebih dari 100
negara berperkara dengan pencurian ikan (Fauzi, 2005). Asumsi yang
disampaikan MRAG (Marine Resource Assessment Group) bahwa praktik IUU
fishing berlangsung marak dan signifikan di tiga kawasan utama yaitu sub-Sahara
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan, serta Asia Tenggara. Isu IUU
fishing yang terjadi di Indonesia contohnya, yaitu di Laut Arafura. Studi IUU
fishing di daerah tersebut dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap
Departemen Kelautan dan Perikanan (PRPT DKP) bekerjasama dengan FAO pada
tahun 2007-2008. Hasilnya menunjukkan bahwa pada periode tahun 2001-2005,
penangkapan ikan secara ilegal adalah sekitar 1,258 juta ton setiap tahunnya.
Jumlah ini terdiri dari 239,7 ribu ton ikan yang dibuang (by-catch); 364,4 ton hasil
tangkapan yang tidak dilaporkan; dan 654,6 ribu ton ikan yang ditangkap secara
ilegal (Nikijuluw, 2008).
IUU fishing berdampak buruk dalam aspek ekonomi. Nikijuluw (2008)
menambahkan bahwa dalam laporan lembaga The Environment Justice
Foundation tahun 2005, mengemukakan biaya yang IUU fishing yang dibebankan
ke negara-negara berkembang sekitar $2 miliar hingga $15 miliar (setara Rp 20
2

triliun hingga Rp 150 triliun) per tahunnya. Paragraf pertama menjelaskan bahwa
menurut OECD, praktik IUU fishing mendaratkan ikan kira-kira tiga kali jumlah
ikan yang didaratkan secara resmi. Nilai total ikan hasil tangkapan dunia secara
resmi adalah $70 miliar per tahun, maka nilai praktik IUU fishing yaitu tiga
kalinya ($210 miliar per tahun).
Ancaman terhadap sumberdaya ikan dan terganggunya upaya pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan juga merupakan dampak dari praktik IUU fishing.
Perikanan ilegal (illegal fishing) dengan menggunakan teknologi penangkapan
ikan yang maju dapat mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan yang
berlebihan (overfishing) di kawasan tertentu. Adapun praktik penangkapan ilegal
dengan peralatan sederhana, umumnya mengakibatkan kerusakan lingkungan dan
bersifat destruktif seperti penggunaan bom, dinamit, racun, arus listrik, jaring
dengan ukuran mata jaring yang kecil, dan lain sebagainya. Hal inilah yang
menyebabkan tidak saja kondisi sumberdaya ikan semakin berkurang tetapi juga
disertai dengan rusaknya habitat sumberdaya ikan (Fauzi, 2005). Penangkapan
ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) atau dilaporkan dengan nilai yang
tidak sesuai dengan kenyataan (umumnya lebih rendah) akan menyebabkan
masalah dalam pemantauan pemanfaatan sumberdaya ikan. Perkiraan
ketersediaan sumberdaya ikan akan salah dan mengganggu pengelolaan perikanan
yang berkelanjutan (Nikijuluw, 2008).
FAO (2001) menjelaskan bahwa IUU fishing telah merusak upaya konservasi
sumberdaya ikan dan manajemen stok ikan yang berkelanjutan. Ketika dunia
dihadapkan dengan IUU fishing, situasi ini diperparah dengan terganggunya
kehidupan secara sosial-ekonomi dan yang paling mengkhawatirkan adalah
mengganggu ketahanan pangan secara global. IUU fishing dapat merusak dunia
perikanan secara serius dan mengganggu rencana rebuild stocks terhadap
sumberdaya ikan yang kini telah terjadi penurunan.
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa rencana aksi internasional
(Internasional Plan of Action, IPOA) dalam mengatasi IUU fishing dikembangkan
sebagai instrumen sukarela dalam rangka CCRF (Code of Conduct for
Responsible Fisheries) pada tahun 2000. Draft IPOA ini dibahas dalam forum
konsultasi ahli di Sydney, Australia pada bulan Oktober 2000, diikuti dengan
3

Forum Konsultasi Teknis pada Februari 2001. IPOA-IUU fishing diadopsi pada
sidang ke-24 Komite Perikanan FAO pada bulan Maret 2001 dan selanjutnya
diterima secara resmi pada sidang ke-120 FAO Council pada 23 Juni 2001.
FAO (2001) menjelaskan bahwa kegiatan CCRF secara keseluruhan
difokuskan untuk menjaga keberlanjutan perikanan, mengatasi isu IUU fishing
secara global yang amat serius dan mengalami peningkatan. Selain itu, kegiatan
CCRF juga difokuskan pada kesepakatan internasional dalam IPOA-IUU
(International Plan of Action to Illegal Unreported and Unregulated) Fishing
yang mengupayakan untuk dilakukannya pencegahan, penghalangan, dan
penghapusan IUU fishing. Dokumen IPOA-IUU fishing menerangkan adanya
peran negara pelabuhan (port state) sebagai kontrol yang sangat relevan untuk
konservasi dan pengelolaan ikan dengan menargetkan standar dari kapal
penangkap ikan, agar tetap menjadi armada penangkapan yang sesuai dengan
tindakan konservasi dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
FAO mengeluarkan suatu instrumen yang memposisikan negara pelabuhan
dalam pencegahan praktik IUU fishing yaitu melalui instrumen port state
measures (PSM). PSM dinilai sebagai suatu langkah yang efektif dalam
menghadapi praktik IUU fishing dan hemat dalam segi ekonominya. Nilai lebih
yang dapat dirasakan melalui PSM ini, yaitu dapat dilakukan pencegahan
masuknya hasil tangkapan dari IUU fishing ke dalam perdagangan internasional
dan pencegahan pelanggaran serius lainnya melalui pelabuhan dengan penargetan
standar kapal penangkap ikan agar sesuai dengan konservasi dan pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan (FAO, 2008).
Secara geografis posisi Indonesia sangat strategis, yaitu terletak di antara dua
benua (Benua Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) menjelaskan
bahwa Indonesia memiliki luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar
2.981.211 km2. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa
jumlah Pelabuhan Perikanan (PP) dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di
Indonesia sampai tahun 2010 (Tabel 1) adalah 968 pelabuhan dengan tingkat
produksi perikanan tangkap terbesar ketiga di dunia pada tahun 2004 hingga tahun
2008 (Tabel 2). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
4

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menjabarkan


bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan
di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan untuk tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan bongkar muat ikan yang di lengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang perikanan.
Dasar hukum yang berlaku di Indonesia dalam menaungi dunia perikanan
nasional yaitu antara lain Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang
Sertifikasi Hasil Tangkapan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang
Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan; Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan bagi Kapal
Perikanan, dan beberapa aturan lainnya. Dari keseluruhan dasar hukum perikanan
tersebut, perlu pengkajian terkait apakah dasar hukum tersebut sudah cukup
mampu untuk memposisikan Indonesia sebagai negara pelabuhan dalam
penanggulangan praktik IUU fishing.
Selama ini Indonesia masih menggunakan dasar hukum yang disebutkan di
atas dan ditambah dengan dasar hukum Indonesia lainnya serta kesepakatan
kerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional. Kedua aturan
tersebut, baik internasional maupun nasional perlu dilihat kesesuaian dan korelasi
aturannya, untuk menegaskan peran negara pelabuhan (port state) terhadap
praktik IUU fishing. Perlu suatu penelitian yang menjawab apakah aturan
(regulasi) yang sudah ada di Indonesia telah cukup mengacu dengan instrumen
port state measures dan bagaimana pula persiapan Indonesia ke arah ratifikasi
serta adopsi terhadap instrumen tersebut. Komparasi dan aplikasi pelaksanaan
yang telah ada di Indonesia tersebut akan memperlihatkan gambaran kesiapan
Indonesia dalam menghadapi praktik IUU fishing. PPS Nizam Zachman Jakarta
5

merupakan salah satu dari lima pilot project pelabuhan perikanan untuk penerapan
PSM.
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta merupakan
salah satu dari enam PPS yang ada di Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan, menjelaskan bahwa Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) merupakan klasifikasi pelabuhan perikanan yang melayani kapal
perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas. PPS Nizam Zachman Jakarta
memiliki letak yang strategis, yaitu berlokasi di wilayah ibukota Negara
Indonesia, di Muara Baru (Teluk Jakarta), Jakarta Utara. Lubis, dkk (2010)
menjelaskan bahwa berdasarkan kategorinya, kapal yang bongkar muat pada
pelabuhan perikanan kategori PPS adalah kapal ukuran besar yaitu sekurang-
kurangnya 60 GT (Gross Tonnage) dan mampu menampung sekurang-kurangnya
100 kapal atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6000 GT kapal perikanan
sekaligus. Oleh karena itu, PPS Nizam Zachman Jakarta dapat dipilih sebagai
lokasi studi kasus untuk analisis kesiapan penerapan port state measures di
Indonesia dengan pertimbangan kapasitas pelayanan, posisi yang strategis, dan
merupakan salah satu pilot project pelabuhan perikanan untuk penerapan PSM.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesiapan Indonesia
dalam menerapkan kebijakan pengaturan port state measures untuk mencegah,
menghalangi, dan memberantas praktik IUU fishing. Pendekatan yang dilakukan
adalah dengan melakukan studi kasus di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam
Zachman Jakarta.

1.3 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi kesiapan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam
Zachman Jakarta dalam mengadopsi port state measures;
6

2. Menyampaikan rekomendasi strategi Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)


Nizam Zachman Jakarta dalam mengadopsi dan melaksanakan port state
measures; dan
3. Menyampaikan hasil pembelajaran studi kasus di PPS Nizam Zachman sebagai
masukan dalam penyempurnaan persiapan adopsi port state measures di
Indonesia.
7

Tabel 1 Jumlah pelabuhan perikanan di Indonesia menurut kelas tahun 2010


No. Kelas –Class Jumlah-
Total
Jumlah-Total 968
1. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) - Oceanic Fishing Port 6
2. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) – Archipelagic Fsihing Port 13
3. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) – Coastal Fishing Port 47
4. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) – Fish Landing Place 900
5. Pelabuhan Perikanan Swasta 2
Satuan : unit
Sumber : KKP 2010

Tabel 2 Produksi perikanan tangkap dunia menurut negara asal tahun 2004-2008
No. Negara- Tahun-Year Kenaikan
Country Rata-rata (%)
– Increasing
Average (%)
2004 2005 2006 2007 2008 2004- 2007-
2008 2008
Jumlah – 92,369,917 92,056,682 89,712,133 89,898,882 89,740,919 -0,71 -0,81
Total
1. China 14,464,803 14,588,940 14,631,018 14,659,036 14,791,163 0,56 0,90
2. Peru 9,604,527 9,388,488 7,017,491 7,210,544 7,362,907 -5,66 2,11
3. Indonesia 4,653,888 4,709,074 4,823,587 4,936,629 4,957,098 1,59 0,41
4. USA 4,959,826 4,892,967 4,852,283 4,767,596 4,349,853 -3,17 -8,7
5. Japan 4,315,734 4,389,206 4,344,513 4,211,201 4,248,697 -0,37 0,89
6. India 3,391,009 3,691,362 3,844,837 3,953,476 4,104,877 4,92 3,83
7. Chile 4,926,741 4,328,732 4,160,848 3,806,085 3,554,814 -7,79 -6,60
8. Russian 2,941,551 3,197,564 3,284,285 3,454,214 3,383,724 3,64 -2,04
Federation
9. Philippines 2,211,245 2,269,668 2,318,981 2,499,634 2,561,192 3,77 2,46
10. Thailand 2,839,612 2,814,295 2,689,803 2,468,784 2,457,184 -3,50 0,47
11. Lainnya 38,060,999 37,786,386 37,735,487 37,931,683 37,969,410 -0,06 0,10
Satuan : ton
Sumber : Yearbook, FAO November 2010 dalam KKP 2010
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur
Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur
saat ini telah menjadi perhatian dunia. Beberapa terminologi yang digunakan
FAO (Food and Agriculture Organization) untuk praktik tersebut, yaitu perikanan
illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) yang
kemudian disebut IUU fishing. Definisi IUU fishing secara internasional, menurut
alenia 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA-IUU fishing dalam Darmawan (2006) dibedakan tiap
terminologi. Terminologi yang pertama yaitu illegal fishing atau penangkapan
ikan secara tidak sah, mengacu pada beberapa tindakan yaitu:
1. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal
asing di perairan yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara yang memiliki
yurisdiksi atau bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tersebut;
2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera
negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries
Management Organization (RFMO) tetapi bertindak bertentangan dengan
ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan oleh
RFMO tersebut ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
yang berlaku lainnya yang relevan; atau
3. Tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan
suatu negara atau kewajiban internasional, termasuk yang diambil oleh negara-
negara yang menyatakan bekerjasama dengan organisasi pengelolaan
perikanan regional terkait atau RFMO.
Terminologi unreported fishing atau kegiatan penangkapan ikan yang
tidak dilaporkan, dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Tindakan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, atau melaporkan dengan
data yang salah pada institusi nasional relevan, yang bertentangan dengan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau
2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan kewenangan RFMO
tertentu, yang tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga
bertentangan dengan prosedur pelaporan RFMO tersebut.
9

Sedangkan terminologi unregulated fishing atau penangkapan ikan yang


tidak diatur, dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Tindakan penangkapan ikan di kawasan kewenangan RFMO yang dilakukan
oleh kapal tanpa identitas kebangsaan atau oleh kapal berbendera negara yang
bukan merupakan anggota RFMO tersebut atau oleh suatu entitas (negara yang
belum diakui Perhimpunan Bangsa Bangsa) perikanan, dengan cara yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan RFMO tersebut; atau
2. Tindakan penangkapan ikan di suatu area atau terhadap stok ikan yang tidak
diatur pengelolaan dan konservasinya, yang bertentangan dengan tanggung
jawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasioanl mengenai
konsevasi sumberdaya hayati laut.
Modus praktik IUU fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia
(DKP, 2002 dalam Latar, 2004) antara lain dikategorikan dalam 4 (empat)
golongan, meliputi:
1. Kapal Ikan Asing (KIA), kapal murni berbendera asing melakukan kegiatan
penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak
pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia;
2. Kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal asing banyak memalsukan
dokumen;
3. Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen palsu yang didapat dari pihak
yang tidak berwenang mengeluarkan ijin; atau
4. Kapal Ikan Indonesia (KII) tanpa dokumen sama sekali (tanpa ijin).
Aturan Indonesia yang menjadi regulasi perikanan adalah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 ini mengatur pokok-pokok pembangunan perikanan terkait penataan,
pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, pengolahan, dan pemasaran sumberdaya
perikanan. Pemberdayaan nelayan, perbuatan pidana dan sanksi atasnya,
tercantum pula di dalamnya. Namun masih terdapat aturan turunan lain yang
menunjang secara detil pola aturan yang berlaku. Nikijuluw (2008) menjelaskan
bahwa perbuatan pidana pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan perikanan dan pelanggaran
10

perikanan. Pidana kejahatan serta hukuman dan dendanya tersebut, dapat terjadi
dikarenakan sebagai berikut :
1. Penggunaan metode dan teknologi produksi yang destruktif. Hukuman terlama
10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar;
2. Penggunaan teknologi produksi yang menyimpang dari ketentuan. Hukuman
terlama 5 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar ;
3. Kejahatan dalam hal perijinan usaha dan ijin penangkapan ikan. Denda dan
hukumannya tergantung dari jenis perijinan yang dilanggar;
4. Kejahatan dalam hal pengangkutan ikan. Hukuman terlama 5 tahun dengan
denda maksimal Rp 1,5 miliar;
5. Perusakan lingkungan perikanan. Hukuman terlama 10 tahun dengan denda
maksimal Rp 2 miliar;
6. Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan. Hukuman terlama 6 tahun
dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar; dan
7. Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan.
Hukuman terlama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar.
Nikijuluw (2008) juga menjelaskan mengenai aturan dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 untuk pidana pelanggaran dapat terjadi
disebabkan oleh:
1. Membangun, mengimpor, dan memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan
menteri. Hukuman maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 600
juta;
2. Pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia
tanpa kapal tersebut didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Hukuman
maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 800 juta;
3. Mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak
memiliki ijin penangkapan ikan, tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka, atau menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan
ijinnya. Hukuman pidana denda maksimal Rp 500 juta;
4. Melakukan penangkapan ikan tanpa ijin berlayar dari syahbandar;
5. Melakukan penelitian perikanan tanpa ijin pemerintah; dan/atau
11

6. Pelanggaran dalam hal jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan serta
alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan musim penangkapan ikan;
ukuran berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch);
serta sistem pemantauan kapal perikanan.
Tindakan pidana kejahatan dan pidana pelanggaran telah diatur denda dan
hukumannya secara variatif, tergantung dari jenis kejahatan dan pelanggarannya.
Ketentuan tersebut dituangkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diklasifikasikan antara bentuk
kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan hukuman serta denda apa yang harus
dikenakan terhadap pelaku praktik kejahatan atau pelanggaran tersebut. Kapasitas
pengawasan dan penengakan aturan ini harus jelas dan tegas di lapangan.
Sinergitas para aparatur penegak hukum dan pihak terkait harus adil untuk
menegakkan aturan yang telah tercantum dalam undang-undang. Semua ini
diupayakan untuk menanggulangi dan mengurangi serta memberantas praktik
IUU fishing di Indonesia.

2.2 Aturan Internasional


2.2.1 IPOA-IUU fishing

Praktik IUU fishing yang kian marak diisukan, melatarbelakangi FAO


Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi Internasional Plan of Action (IPOA)
to Prevent, Deter, and Eliminate IUU fishing pada tahun 2001. IPOA-IUU fishing
merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang diharapkan menjadi
acuan negara-negara dalam memerangi IUU fishing. IPOA-IUU fishing
menjelaskan tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil oleh Negara
Bendera, Negara Pantai, dan Negara Pelabuhan terkait dengan IUU fishing.
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa IUU fishing mendapatkan perhatian
dalam World Summit tentang pembangunan berkelanjutan, di Johanesburg, Afrika
Selatan pada September 2002. Keputusannya bahwa IPOA-IUU fishing harus
dilaksanakan oleh negara-negara di dunia paling lama akhir tahun 2004. Peran
pemerintah dalam suatu negara sangat penting dan dijelaskan dalam IPOA-IUU
fishing yang dikeluarkan FAO. Upaya mencegah, menghalangi, dan memberantas
praktik IUU fishing, harus dilaksanakan pemerintah dengan tetap memperhatikan
12

norma dan kaidah hukum laut internasional khususnya yang termuat dalam
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.
Tujuan IPOA-IUU fishing adalah untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing dengan menyediakan suatu alat atau langkah yang
komprehensif, transparan, dan efektif bagi semua negara dalam bertindak,
termasuk melalui pengelolaan perikanan yang tepat sesuai dengan hukum
internasional dan regional. FAO mengembangkan IPOA-IUU fishing melalui
upaya koordinasi dengan negara-negara dunia, FAO, RFMO dan lembaga-
lembaga internasional yang terkait seperti IMO (International Maritime
Organization). IPOA-IUU fishing diupayakan membahas semua dampak
ekonomi, sosial dan lingkungan. Akses pelabuhan bagi kapal asing di suatu
pelabuhan atau dermaga lepas pantai untuk tujuan, antara lain meliputi pengisian
bahan bakar, perbekalan, lintas pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi
kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya dan Konvensi
PBB tahun 1982 serta hukum internasional lainnya yang relevan (FAO, 2001).
IPOA-IUU fishing juga menjelaskan tindakan negara pelabuhan (port state
measures) dalam penanggulangan praktik IUU fishing dengan dasar pengaturan
terkait mekanismenya sebagai berikut1:
1. Pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan;
2. Penolakan untuk memasuki pelabuhan;
3. Mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki;
4. Pengumpulan data dan informasi;
5. Penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan
RFMO tentang kegiatan IUU fishing;
6. Prosedur dan strategi port state control;
7. Integrasi pengaturan mengenai port state control;
8. Tindakan terhadap praktik IUU fishing oleh negara bukan anggota RFMO; dan
9. Kerjasama antar negara dan antar RFMO.

1
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Draft Naskah penjelasan
Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,
Unreported, and Unregulated Fishing, Bogor, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 6 Desember
2011, hlm 23.
13

FAO (2001) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan aturan pemeriksaan,


negara pelabuhan harus memeriksa kelengkapan informasi kapal dan hasil
pemeriksaannya dikirimkan ke negara bendera dan, jika diperlukan termasuk
organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Hal-hal yang diperiksa yaitu
sebagai berikut:
1. Negara bendera dan rincian identifikasi kapal termasuk di dalamnya data
pemilik kapal dan nahkoda kapal;
2. Nama, kewarganegaraan, dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan;
3. Alat penangkapan ikan;
4. Jumlah hasil tangkapan di atas kapal, termasuk asal, jenis, dan kondisi serta
kuantitas;
5. Informasi lainnya yang diwajibkan oleh RFMO; dan
6. Total volume pendaratan hasil tangkapan dan transshipment.
Nikijuluw (2008) menjelaskan beberapa kewajiban pemerintah menurut
IPOA-IUU fishing adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengijinkan kapal ikan negaranya menggunakan bendera negara asing
yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk memerangi
IUU fishing;
2. Menyikapi dan mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum laut
internasional terhadap kapal ikan yang menangkap ikan secara IUU di laut
lepas;
3. Menghindari memberikan bantuan ekonomi dan subsidi kepada perusahaan
atau kapal yang terlibat IUU fishing, sesuai dengan hukum dan kebijakan
nasionalnya; dan
4. Menetapkan sanksi yang berat bagi kapal pelaku IUU fishing secara transparan
dan konsisiten.

2.2.2 Port state measures

FAO megadopsi skema model FAO Port State Measures untuk mencegah,
menghalangi, dan memberantas IUU fishing (FAO Model Scheme on Port State
Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) pada
pertemuan komite perikanan FAO (Committee on Fisheries, COFI FAO) ke-26
14

tahun 2005. FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing
memuat standar minimum aktivitas dan persyaratannya, seperti:
1. Informasi yang diperlukan saat memasuki pelabuhan;
2. Pedoman dan prosedur inspeksi atas kapal saat di pelabuhan;
3. Tindakan yang dapat diambil ketika pengawas menemukan bukti yang cukup
bahwa kapal perikanan asing telah melakukan atau membantu melakukan
praktik IUU fishing;
4. Program pelatihan untuk pengawas dari negara pelabuhan; dan
5. Sistem informasi mengenai pengawasan oleh negara pelabuhan.
Keberadaan IPOA-IUU fishing maupun Model Scheme on Port State
Measures to Combat IUU fishing dirasa masih belum cukup menjadi instrumen
hukum dalam menghadapi IUU fishing. Kondisi ini dikarenakan oleh sifat non-
binding dari IPOA-IUU fishing yang belum memiliki keseragaman standar dan
sistem hukum serta kurang melibatkan partisipasi aktif dari negara pelabuhan
dalam menghadapi IUU fishing. Selanjutnya, pada pertemuan pertemuan komite
perikanan FAO ke-27 Maret 2007, negara-negara anggota FAO telah berhasil
merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and
Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian
disebut PSM Agreement) tersebut, diharapkan menjadi suatu instrumen hukum
internasional yang mengikat. PSM Agreement ditujukan untuk meningkatkan
peran negara pelabuhan (port states) dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing. PSM Agreement mampu menciptakan sarana yang
kuat dan ekonomis untuk memerangi IUU fishing2.
Konferensi FAO ke-36 tanggal 22 November 2009, telah berhasil
mengadopsi dokumen PSM Agreement tersebut. Sebanyak 106 negara dari 118
negara yang hadir, mendukung penerimaan resolusi terkait perjanjian ini, dua
negara menolak dan 10 abstain. PSM Agreement telah ditandatangani sembilan
negara yaitu Indonesia, Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia Norwegia,
Samoa, Amerika Serikat, dan Uruguay. Pasal 26 PSM Ageement menjelaskan
bahwa persetujuan tersebut harus segera diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh
pihak yang menandatangani perjanjian. PSM Ageement akan mulai berlaku 30

2
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Ibid, hlm 3.
15

hari setelah tanggal depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan,


sesi oleh 25 negara. PSM Agreement terdiri atas 10 (sepuluh) Bagian dan 37
Pasal, yang memuat pengaturan mengenai penerapan ketentuan negara pelabuhan
untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Selanjutnya PSM
Agreement juga memuat tentang hubungannya dengan instrumen internasional
lainnya; integrasi dan koordinasi pada tingkat nasional; kerja sama dan pertukaran
informasi dengan negara lain; prosedur pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan
penindaklanjutan terhadap kapal masuk ke pelabuhan; peran negara bendera;
persyaratan bagi negara berkembang; penyelesaian sengketa; keberlakukan
agreement bagi non-pihak; serta pemantauan, peninjauan ulang, dan penilaian
terhadap pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam PSM Agreement3.
PSM Ageement menjelaskan suatu alat yang efektif memposisikan negara
pelabuhan untuk melawan IUU fishing melalui posisinya sebagai tujuan dari kapal
asing untuk masuk ke pelabuhan contohnya seperti larangan masuk pelabuhan,
larangan pendaratan, larangan transshipment, dan penolakan jasa pelabuhan
lainnya untuk kapal yang melakukan praktik IUU fishing. Selain itu negara
pelabuhan dapat pula diposisikan sebagai pengawas langsung terhadap kapal dan
sebagai penyelenggara aturan (Fabra et al., 2011).
Lobach (2004) menjelaskan bahwa kontrol negara pelabuhan sangat
relevan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan. Negara pelabuhan harus
menargetkan standar dari kapal yang dianggap mampu mendukung tindakan
konservasi dan pengelolaan perikanan. Kontrol negara pelabuhan pada sistem
regional wilayah membutuhkan suatu prosedur umum untuk pemeriksaan,
persyaratan kualifikasi bagi pemeriksa, dan konsekuensi yang disepakati untuk
kapal penangkap ikan yang ditemukan tidak patuh aturan. Setiap pihak yang
ingin mendapatkan akses pelabuhan harus meregistrasikan nelayan dan kapal
yang terlibat. Selanjutnya diharuskan pula memberikan informasi tujuan masuk
kapal, salinan otoritas hasil tangkapan, rincian perjalanan penangkapan, jumlah
serta jenis hasil tangkapan. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui terlibat atau
tidaknya suatu kapal dalam praktik IUU fishing.

3
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Term of Reference, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 1.
16

Pengaturan dalam PSM Agreement akan diadopsi pada level regional dan
nasional. Pengadopsian di tingkat regional yaitu melalui Regional Plan of
Actionm (RPOA) to promote responsible fishing practices including combating
illegal, unreported and unregulated fishing, serta ketentuan yang dibuat oleh
Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Beberapa RFMO yang
telah mengadopsi prinsip-prinsip PSM Agreement yaitu The South East Atlantic
Fisheries Organization (SEAFO), The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),
The Commission for the Conservation of Antartic Living Marine Resources
(CCAMLR), dan The International Commission for Conservation of Atlantic Tuna
(ICCAT). Implementasi PSM Ageement pada level nasional yaitu melalui
peraturan perundang-undangan nasional negara peserta. Beberapa negara
(meskipun belum menjadi pihak pada agreement tersebut) saat ini telah
menerapkan pengaturan mengenai PSM Ageement dalam peraturan perundang-
undangan nasionalnya, seperti Kanada, Amerika, Islandia, dan Afrika Utara4.
Indonesia saat ini telah menjadi anggota dari 2 (dua) RFMO, yaitu IOTC
(diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan
Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission) dan
CCSBT (diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)5.
FAO (2009) menjelaskan bahwa PSM Ageement diaplikasikan dengan
tidak mengurangi hak, yurisdiksi, dan tugas nasional suatu negara, sehingga
dalam pelaksanaannya akan diintegrasikan atau dikoordinasikan dengan sistem
yang lebih luas dari kontrol negara pelabuhan. Negara anggota nantinya akan
saling berkoordinasi dan bertukar informasi dengan FAO, organisasi internasional
lain dan RFMO. FAO ataupun RFMO akan memberikan daftar kapal yang terlibat
IUU fishing (IUU vessel list) untuk diantisipasi di negara pelabuhan.
FAO (2009) menjelaskan aturan yang diberlakukan untuk masuk ke
pelabuhan dicantumkan dalam tabel Annex A PSM Ageement (terlampir). Namun

4
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Ibid, hlm 2.
5
Pembahasan Pending Issues Draft Agreement Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate
IUU Fishing, Bahan Diskusi Terbatas, Jakarta, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 28 Juli 2009,
hlm 1.
17

untuk pengecualian yaitu pada saat berbahaya, setiap kapal dapat diijinkan masuk
pelabuhan untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan. Selain itu, akan
dilakukan pula pemeriksaan kapal sesuai dengan standar minimum ketentuan dan
prosedur yang diatur dalam Annex B PSM Ageement (terlampir). Pemeriksaan
dilakukan terhadap semua dokumen terkait, semua ruang di kapal, dan semua
peralatan di kapal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tetap menjamin bahwa
kapal tidak akan mendapatkan gangguan, ancaman politik, dan penundaan yang
akan berakibat pada penurunan mutu hasil tangkapan. Hasil pemeriksaan akan
didokumentasikan sebagai laporan dengan ketentuan yang terdapat dalam tabel
Annex C PSM Ageement (terlampir). Laporan ini akan dikirim kepada negara
terkait (negara pantai dan negara bendera), RFMO, dan FAO serta organisasi
internasional relevan lainnya dengan menggunakan sistem informasi sesuai aturan
dalam Annex D dalam dokumen PSM Ageement (terlampir). Pengawas akan
mendapatkan pelatihan dengan panduan yang terdapat dalam Annex E dalam
dokumen PSM Ageement (terlampir).
Selain itu, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan negara
pelabuhan jika mendapati kapal dengan praktik IUU fishing yaitu dilaporkan pada
negara bendera, negara pantai, RFMO, dan organisasi internasional lain atau
ditolak masuk pelabuhan. Penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi dapat
dilakukan dengan perundingan semua negara anggota; atau diajukan negoisasi,
penyelidikan, mediasi, perdamaian, arbitration, penyelesaian hukum, ganti rugi
(uang damai) dan cara damai lainnya; atau diserahkannya kepada pengadilan
internasional. Dokumen PSM Ageement menerangkan adanya perlakuan khusus
kepada negara berkembang yang merupakan negara anggota. Perlakuan tersebut
yaitu meliputi pemberian bantuan seperti bantuan peningkatan kualitas
sumberdaya manusia untuk peningkatan kesadaran dalam implementasi PSM
Ageement, bantuan fasilitas pendukung dan fasilitas teknik, serta bantuan finansial
terutama pada wilayah tertinggal dan pulau kecil. Dokumen PSM Ageement
diterbitkan dengan 6 (enam) bahasa sebagai naskah otentik yaitu dalam bahasa
Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol (FAO, 2009).
FAO (2009) menerangkan butir-butir yang diwajibkan kepada negara
pelabuhan dalam dokumen PSM Ageement adalah sebagai berikut:
18

1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin


perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2. Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan
penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda
lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera
atau RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan;
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode
internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan) seperti berikut.
countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code
species: FAO 3-alpha code
vessel types: FAO alpha code
gear types: FAO alpha code
devices/attachments: FAO 3-alpha code
ports: UN LO-code
19

2.3 Hukum Indonesia


2.3.1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa


Indonesia memiliki produksi perikanan tangkap 4.957.098 ton pada tahun 2008.
Nilai ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki potensi besar dalam perikanan tangkap. Hal ini tergambar bahwa
produksi perikanan tangkap tersebut merupakan terbesar ketiga di dunia (Tabel 2).
Namun, nilai tersebut menuntut suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat berkelanjutan.
Salah satunya dapat dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui
pengaturan pengelolaan perikanan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 5
ayat (2) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan perikanan di luar
wilayah perikanan Republik Indonesia, didasarkan pada peraturan perundang-
undangan, persyaratan, dan/standar internasional yang diterima secara umum. Hal
ini menerangkan bahwa Indonesia sangat mendukung suatu kegiatan perikanan
yang memperhatikan konservasi dan pengelolaannya. Sedangkan, pada Pasal 6
ayat (1) menjelaskan bahwa upaya pengelolaan perikanan tersebut dimaksudkan
untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumberdaya ikan. Keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan
lembaga atau organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama
pengelolaan perikanan regional dan internasional adalah langkah yang dijelaskan
pada Pasal 10.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 hadir sebagai antisipasi dan solusi
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan
sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang
semakin efektif, efisien, dan modern. Namun kemudian undang-undang tersebut
dianggap perlu dilakukannya perubahan karena dirasa terdapat kekurangan
dengan berjalannya waktu, sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
20

tentang Perikanan. Perubahan tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan


regulasi dan kinerja dalam pelaksanaan undang-undang tersebut.
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa
pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, memposisikan
Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas yang dalam pelaksanaannya didasarkan
pada persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga perlu dasar
hukum untuk pengelolaan sumberdaya ikan dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum dan teknologi.

2.3.2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor


PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan

Indonesia sangat menentang dan berupaya untuk melawan praktik IUU


fishing. Hal ini tergambar dari aturan Indonesia yang mengarah ke regulasi yang
memperkecil kemungkinan terjadinya IUU fishing. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi
Hasil Tangkapan adalah salah satu aturan Indonesia yang berupaya melawan
praktik IUU fishing. Pasal 1 dalam keputusan menteri tersebut menjelaskan
bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan
yang dikeluarkan oleh kepala pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh yang
menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU fishing.
Batasan pemberlakuan atau penggunaan Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut
dijelaskan pada pasal 2 bahwa setiap produk perikanan laut yang merupakan hasil
tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik
langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa dilengkapi dengan Sertifikat Hasil
Tangkapan Ikan.
21

2.3.3 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor


PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor


PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 1 menjelaskan
pengertian beberapa surat ijin yaitu SIUP, SIPI, dan SIKPI. SIUP (Surat Ijin
Usaha Perikanan) adalah ijin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan
untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang
tercantum dalam ijin tersebut. SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) adalah ijin
tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. SIKPI (Surat
Ijin Kapal Pengangkut Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk
melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yaitu Pasal 46
menjelaskan tentang pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan
dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam mengurus
SIPI atau SIKPI. Penerbitan perizinan kapal sendiri telah diatur dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pada Bab VII tentang
kewenangan penerbitan perizinan yaitu SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI. Menteri
dapat mendelegasikan penerbitan perizinan tersebut kepada Gubernur (untuk
kapal berukuran di atas 10 GT (Gross Tonnage) sampai dengan 30 GT) dan
Bupati atau Walikota (untuk kapal berukuran di atas 5 GT sampai dengan 10 GT)
dengan pertimbangan aturan tertentu seperti penggunaan tenaga kerja di kapal
baik asing atau kapal Indonesia, wilayah domisili, dan wilayah operasi
penangkapannya. Selain itu, untuk kapal yang berukuran diatas 30 GT sampai
dengan 60 GT diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010. Pemberian kewenangan penerbitan SIPI
dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT
kepada Gubernur (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan), namun didasarkan pada Surat Ijin Usaha Perikanan
(SIUP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Tata cara
penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap telah diatur pula pada Bab VIII
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008.
22

Pengawasan dan pengendaliannya di lapang, diatur Peraturan Menteri


Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap dalam Pasal 78 yaitu melalui sistem pemantauan, pengendalian, dan
pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI
(Unit Penangkapan Ikan), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Hal
lainnya yang diwajibkan, seperti kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau kapal
pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau
sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system atau VMS) serta
mengisi logbook perikanan yang kemudian diserahkan Direktur Jenderal melalui
kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan
dalam SIPI, diatur dalam pasal 88. Menteri Kelautan dan Perikanan
mengeluarkan Peraturan terbarunya pada juni tahun 2011 yaitu
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap akan menggantikan
PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap. Namun dalam waktu penelitian ini PER.14/MEN/2011
masih belum diberlakukan secara efektif karena mulai berlakunya yaitu setelah 6
(enam) bulan sejak tanggal pengundangan (6 Juni 2011).

2.3.4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor


PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal
Perikanan

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009


tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menjelaskan bahwa setiap
kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk
kegiatan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara
Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan
Indonesia dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pendaftaran kapal perikanan
adalah kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal
perikanan.
Buku kapal perikanan sekurang-kurangnya memuat informasi:
1) nama kapal;
2) nomor register;
3) tempat pembangunan kapal;
23

4) tipe kapal;
5) jenis alat tangkap;
6) tonnage;
7) panjang kapal;
8) lebar kapal;
9) kekuatan mesin;
10) foto kapal;
11) nama dan alamat pemilik;
12) nama pemilik sebelumnya; dan
13) perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan
Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau
notasi kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal
perikanan dan SIPI atau SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda
pengenal kapal perikanan sebagaimana yang dimaksud meliputi:
1) tanda selar;
2) tanda daerah penangkapan ikan;
3) tanda jalur penangkapan ikan; dan/atau
4) tanda alat penangkapan ikan.
Spesifikasi tanda tersebut disesuaikan dengan kondisi kapal dan lain hal
sebagainya. Sedangkan untuk kapal yang beroperasi di wilayah organisasi
pengelolaan perikanan regional atau RFMO akan diberikan tanda khusus yang
diatur oleh organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO tersebut. Hal
ini diharapkan mampu untuk memberikan perbedaan antara kapal yang memang
terdaftar secara legal di negara tertentu dengan kapal yang terindikasi melakukan
praktik IUU fishing. Selain keseluruhan aturan yang telah disebutkan diatas,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang
Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal, juga merupakan aturan yang dapat
mengontrol kapal perikanan untuk tidak melakukan praktik IUU fishing.
24

2.3.5 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor


KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal
Perikanan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004


tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan juga menjelaskan kewajiban
kapal perikanan untuk memberikan laporan pada pihak pelabuhan. Hal ini
tercantum dalam Bab V tentang pelaporan dalam Pasal 5. Adapun pada saat akan
dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau
keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk
di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana
tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan
pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan
Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;
2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;
3) menerima formulir logbook Perikanan;
4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan.
2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan,
kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat
atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan
Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;
2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.11/MEN/2004 tersebut, telah jelas hal-hal apa saja yang harus dilaporkan
oleh nahkoda atau pengurus kapal perikanan kepada pihak pelabuhan. Sanksi atas
pelanggaran kewajiban tersebut, tercantum pula pada Bab VI Sanksi, Pasal 6
dengan sanksi terberat yaitu pembekuan atau pencabutan SIPI (Surat Ijin
Penangkapan Ikan) atau SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengankut Ikan). Surat ijin dan
25

regulasi pelaporan masuk dan keluarnya kapal dari atau ke pelabuhan ini,
merupakan langkah yang menjaga keberlanjutan perikanan dan melawan praktik
IUU fishing. Proses pelaporan masuk dan keluarnya kapal akan dilanjutkan
dengan pemeriksaan menyeluruh terkait ijin, kondisi, dan muatan kapal. Setiap
data hasil tangkapan dari kegiatan penangkapan yang diperlukan untuk
dipergunakan dalam pertimbangan keadaan potensi sumberdaya ikan ke
depannya. Keseluruhan aturan nasional yang disebutkan diatas tersebut
mengarahkan pada tindakan untuk mengatasi dan mengurangi praktik IUU
fishing. Proses perijinan, pengawasan, pelaporan, dan pemeriksaan kapal di
pelabuhan perikanan diharapakan dapat memperkecil kemungkinan akan
berlangsungnya IUU fishing.

2.4 Negara Pelabuhan


Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan
di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang perikanan (Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004). Pasal 7 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, menjelaskan fungsi pelabuhan
perikanan yaitu salah satunya sebagai pelaksana pengawasan terhadap
penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan mutu hasil perikanan.
Negara pelabuhan adalah negara dalam kapasitasnya yang memiliki pelabuhan di
wilayah teritorinya, memiliki hak untuk memutuskan aturan yang diberlakukan
dalam pelabuhan tersebut.
Darmawan (2006) menjelasakan bahwa terdapat 6 (enam) program atau
kewajiban yang direkomendasikan oleh FAO kepada Indonesia dalam cakupan
sebagai negara pelabuhan dan 4 (empat) diantaranya dianalisis telah dijalankan di
Indonesia. Enam kewajiban tersebut adalah sebagai berikut (butir pertama sampai
butir keempat adalah yang telah dijalankan):
26

1. Mewajibkan kapal ikan asing untuk menyediakan minimal pemberitahuan awal


kedatangan ke pelabuhan yang cukup, salinan ijin penangkapan ikan, rincian
operasi penangkapan yang dilakukan dan jumlah hasil tangkapan di kapal;
2. Mewajibkan kapal jenis lain tetap terkait dengan usaha penangkapan untuk
menyediakan laporan yang sama;
3. Memberikan akses hanya pada pelabuhan yang memiliki kapabilitas untuk
melakukan inspeksi dan mengumpulkan data berikut yaitu :
1) identifikasi kapal dan asal negara,
2) nama, kebangsaan dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan ikan,
3) alat tangkap yang digunakan,
4) jumlah hasil tangkapan, asal, spesies dan bentuk produk,
5) total penangkapan dan yang telah dipindahkan ke kapal lain;
4. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di
wilayah perairannya;
5. Bila terdapat kecurigaan terhadap kapal yang dimaksud, maka:
1) melarang kapal untuk merapat atau memindahkan hasil tangkapannya,
2) segera mengirim laporan pada negara asal kapal,
3) segera mengirim laporan pada negara dimana kapal tersebut melakukan
pelangaran;
6. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di luar
yurisdiksi dengan persetujuan negara asal (pemberi bendera).
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa pelaku praktik IUU fishing akan
mendaratkan hasil tangkapannya di suatu pelabuhan. Suatu negara pelabuhan
memiliki wewenang untuk memberikan ijin akses pelabuhan oleh suatu kapal di
wilayah yurisdiksinya. Suatu negara pelabuhan mampu membatasi dan mengatur
penggunaan pelabuhannya untuk mengatasi praktik IUU fishing. Setiap negara
memiliki otoritas penuh atas pelabuhannya. Pemerintah atau pihak negara
pelabuhan memiliki beberapa kewajiban dalam memanfaatkan pelabuhan
perikanannya, yaitu :
1. Mencegah masuknya kapal asing ke pelabuhan terkecuali dalam situasi yang
darurat;
27

2. Melarang kapal asing mendaratkan atau melakukan transshipment hasil


tangkapan di pelabuhannya;
3. Mewajibkan kapal yang ingin berlabuh untuk menyiapkan informasi tentang
identitas dan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan;
4. Melakukan inspeksi kapal di pelabuhan; dan
5. Mewajibkan kapal melengkapi salinan surat ijin penangkapan ikan, uraian rinci
tentang trip, dan volume ikan yang akan didaratkan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Pasal 41
menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan ikan
hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan maupun kapal pengangkut ikan.
Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara pelabuhan yang memiliki akses
pelabuhan perikanan. FAO (2001) menjelaskan, akses pelabuhan dapat diartikan
sebagai ijin masuknya kapal penangkap ikan asing kepelabuhan atau dermaga
lepas pantai untuk tujuan, antara lain pengisian bahan bakar, perbekalan, lintas
pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi kedaulatan suatu negara pantai sesuai
dengan hukum nasionalnya dan Konvensi PBB tahun 1982 serta hukum
internasional lainnya yang relevan.
Analisis Darmawan dilakukan sebelum hadirnya dokumen PSM Ageement
(tahun 2009) yaitu pada tahun 2006. Draft Agreement on Port State Measures to
Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing hadir baru pada tahun 2007, sedangkan
PSM Ageement di adopsi pada tahun 2009 oleh FAO. Namun sebelumnya peran
negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing telah dimuat dalam dokumen
IPOA-IUU fishing tahun 2000. Hal yang sama terkait peran negara pelabuhan
juga pernah dijelaskan oleh Nikijuluw pada tahun 2008. Kesemuaan penjabaran
tersebut, tidak begitu mengalami perbedaan yang nyata dalam kurun waktu
pembahasannya. Hanya saja terdapat pengembangan secara mendetail pada
beberapa poin pada peran negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing tersebut.
Kehadiran PSM Ageement tentu sangat mendetail untuk setiap kewajiban negara
pelabuhan.
Pengesahan PSM Ageement merupakan upaya untuk melindungi kekayaan
laut dari penjarahan nelayan asing dan sekaligus melengkapi penguatan rezim
nasional (khususnya hukum laut dan perikanan). Setiap pihak atau negara
28

anggota nantinya wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan yang


memungkinkan masuknya kapal perikanan ke pelabuhan. Daftar pelabuhan yang
ditunjuk tersebut, diserahkan kepada FAO untuk dipublikasikan. Negara
pelabuhan adalah pelaku pemeriksaan terhadap kapal di pelabuhannya. Setelah
melakukan pemeriksaan, negara pelabuhan memiliki kuasa untuk menolak masuk
dan menolak penggunaan pelabuhan bagi kapal yang terlibat IUU fishing. Hal ini
harus diberitahukan kepada Negara Bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO,
dan organisasi lainnya). Negara pelabuhan harus (jika memungkinkan)
membangun mekanisme komunikasi elektronik secara langsung dengan
mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan6.

2.5 Teknik Pengambilan Sampel


Sampel adalah suatu contoh yang merupakan himpunan bagian dari
populasi. Suatu penelitian akan memiliki keterbatasan untuk dapat menampung
semua anggota populasi, sehingga diperlukan pengambilan sampel yang dapat
mewakili populasi tersebut. Gulo (2000) menjelaskan bahwa teknik pengambilan
sampel dibagi atas dua kelompok besar yaitu probability sampling dan
nonprobability sampling. Probability sampling (random sample) adalah
pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi
tergantung kepada aplikasi kemungkinan. Derajat keterwakilannya dapat
diperhitungkan pada peluang tertentu. Sampel yang diperoleh dapat dipergunakan
untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Beberapa cara yang tergolong
dalam probability sampling yaitu simple random samplimg, stratified random
sampling, cluster random sampling, dan multistage random sampling. Random
sampling memberikan peluang yang sama besar terhadap setiap anggota populasi
untuk dapat diambil sebagai sampel.
Nonprobability sampling (non-random sample) adalah suatu teknik
pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi
dan penelitian perlu dilakukan secara cepat (Abadi, 2006). Eriyanto (2007)
menambahkan bahwa nonprobability sampling cenderung menghasilkan
subjektivitas peneliti yang sesuai dengan subjektivitas peneliti. Pihak yang

6
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 8-10.
29

diwawancarai bukan sampel yang terpilih lewat prinsip hukum probabilitas,


melainkan karena alasan-alasan subjektivitas. Teknik nonprobability sampling
(non-random sample) dibagi ke dalam beberapa metode sebagai berikut:
1. Convenience
Convenience adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan tanpa
mekanisme tertentu (sembarang). Penarikan sampel tidak membebani berapa dan
siapa sampelnya. Kelebihan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan waktu yang
cepat dan biaya yang murah, namun kelemahannya yaitu di sisi metodologi yaitu
berkemungkinan terjadi penumpukan disuatu titik. Sampel yang ditemukan
sangat berkemungkinan untuk bias, karena ada kemungkinan peneliti
mendapatkan respon yang sangat tidak mencerminkan karakteristik populasi. Hal
ini terjadi karena teknik ini terlalu praktis dan tanpa prosedur. Sampel ini
sebaiknya digunakan dalam keadaan tertentu seperti:
1) keperluan penjajakan (penjaringan pendapat) yang hanya merupakan bahan
rancangan pembuatan kuisioner untuk studi lain;
2) keperluan deskripsi yang hanya untuk merumuskan pendapat masyarakat
untuk membuat suatu kesimpulan; dan
3) situasi yang tidak tersedia kerangka sampel yang memadai atau tidak ada
infomasi yang cukup mengenai populasi yang diteliti.
2. Quota (kuota)
Teknik quota adalah perbaikan dari teknik Convenience. Teknik kuota
memberikan batasan kriteria dan jumlah sampel yang akan diambil. Terdapat dua
langkah penarikan sampel kuota. Langkah pertama, membuat kategori dan
jumlah pihak yang akan menjadi sampel yang dituangkan ke dalam matriks. Hal
inilah yang menjadi dasar pemilihan responden. Sampel kuota mirip gabungan
antara sampel stratifikasi (Stratified sampling) dan sampel sembarangan
(Convenience sampling). Peneliti membuat pengelompokan agar sesuai dengan
stratifikasi dalam populasi, namun pemilihan sampe dapat dipilih siapapun asal
sesuai dengan karakteristik yang ditentukan. Proses penting dari sampel ini
adalah saat menentukan kategori dan jumlah orang dalam masing-masing
kategori. Penentuan kategori ini sebisa mungkin ditunjang dengan riset
kepustakaan agar kategori yang dibuat sesuai dengan kategori populasi.
30

3. Purposive
Sampel purposive dilakukan melalui pemilihan sampel dengan
pertimbangan tertentu dari peneliti yang secara sengaja namun dengan alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Populasi sampel dianggap
memiliki karakter yang homogen.
4. Snowball
Sampel snowball yaitu sesuai dengan definisi kata ‘snowball’ artinya
mengelinding dengan bulatan kecil dan terus-menerus hingga menjadi besar.
Dalam perkembangannya jumlah orang yag dijadikan sampel akan terus
berkembang sampai jumlah terpenuhi. Teknik sampel ini dipakai pada kondisi
survei yang sangat spesifik, tidak ada kerangka sampel, dan tidak ada informasi
yang digunakan untuk mendata populasi. Asumsinya bahwa anggota dari
populasi saling berhubungan dan berjaringan. Penentuan beberap sampel akan
secara langsung dapat menentukan sampel berikutnya.
31

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Kegiatan penelitian dengan judul “Analisis Praktik IUU (Illegal,
Unreported, and Unregulated) Fishing dan Upaya Penanganannya melalui
Adopsi Mekanisme Port State Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera
Nizam Zachman Jakarta” dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Januari 2012
di PPS Nizam Zachman Jakarta dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Republik Indonesia. Penelitian ini bersifat studi kasus dengan lokasi kasus di PPS
Nizam Zachman Jakarta. Penelitian diarahkan untuk melihat kesiapan PPS Nizam
Zachman Jakarta terhadap rencana Indonesia dalam meratifikasi dokumen port
state measure agreement. Kesiapan ini menitikberatkan pada teknis inspeksi yang
dilakukan oleh negara pelabuhan dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas praktik IUU fishing. Kesiapan ini dilihat melalui butir-butir yang
telah dirangkum dari dokumen port state measure agreement (kemudian disebut
PSM Agreement).

3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data


Data yang dibutuhkan dalam penelitian kali ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Berikut disajikan data primer dan data sekunder yang diperlukan
dalam penelitian ini.
Tabel 3 Data primer penelitian
No. Data Sumber data Cara pengumpulan Cara pengolahan
1. Kesesuaian Referensi pustaka Referensi Dokumen Daftar periksa
kewajiban internasional dan (check list) dan
negara aturan hukum analisis
pelabuhan Indonesia deskriptif
mengacu dari
dokumen port Kepala pelabuhan, Wawancara
state measure kepala syahbandar
agreement dan pengawas
terhadap adopsi perikanan di PPS
aturan nasional Nizam Zachman
Jakarta, serta
Kementerian
Kelautan dan
Perikanan
32

Tabel 3 Data primer penelitian (lanjutan)


No. Data Sumber data Cara pengumpulan Cara pengolahan
2. Kesesuaian Kepala Wawancara Daftar periksa
kewajiban negara pelabuhan, (check list) dan
pelabuhan kepala analisis deskriptif
mengacu dari syahbandar dan
dokumen port pengawas
state measure perikanan di
agreement di PPS PPS Nizam
Nizam Zachman Zachman Jakarta
Jakarta

Tabel 4 Data sekunder penelitian


No. Data Sumber data Cara pengumpulan Cara pengolahan
1. Data IUU Vessel Situs resmi Referensi dokumen Analisis deskriptif
list RFMO terkait

Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dilakukan melalui studi


pustaka dan wawancara. Tujuan penelitian melalui studi pustaka atau
kepustakaan adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-
pengertian pokok dalam hukum seperti subjek hukum, objek hukum, peristiwa
hukum, hubungan hukum dan lain-lain (Amalia dan Putri, 2008). Studi
kepustakaan ini ditelusuri melalui sumber buku, artikel jurnal, hasil seminar atau
workshop, dan beberapa kajian pemerintah yang terkait dengan port state mesures
dan IUU fishing. Selain itu identifikasi tersebut juga dapat diperkuat melalui
pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Wawancara dilakukan pada
sampel yang telah ditentukan sebelumnya.
Penelitian ini menjelaskan suatu regulasi hukum internasional yang ada
pada dokumen port state measure agreement dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing. Penelitian ini juga menguraikan regulasi yang ada di
Indonesia sebagai suatu hubungan yang menggambarkan kesiapan Indonesia
dalam rencana ratifikasi dokumen tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat
eksploratif dan deskriptif. Absah (2007) menjelaskan bahwa penelitian
eksploratif adalah jenis penelitian yang berusaha mencari ide-ide atau hubungan-
hubungan yang baru, sedangkan penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
bertujuan menguraikan sifat-sifat atau karakteristik dari suatu fenomena tertentu.
Abadi (2006) menjelaskan bahwa penelitian eksploratif dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman dan penjelasan awal tentang suatu fenomena
33

secara kualitatif. Pemahaman dan penjelasan suatu fenomena secara kualitatif


tersebut, dapat didukung dengan teknik pengambilan sampel melalui non-random
sample. Non-random sample (nonprobability sampling) adalah suatu teknik
pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi
dan penelitian perlu dilakukan secara cepat. Non-random sample memiliki unsur
populasi yang dipilih atas dasar ketersediannya atau karena menurut penilaian
peneliti sampel tersebut cukup mewakili populasi, sesuai tuntutan penelitiannya.
Penelitian ini memilih sampel yaitu pada instansi atau pihak tertentu yang
merupakan pelaku intinya. Pelaku inti ini mampu mewakili populasi dan sesuai
dengan tuntutan penelitian sebagai pelaku dunia perikanan. Pelaku tersebut antara
lain Kementerian Kelautan dan Perikanan yaitu Direkorat Jenderal Perikanan
Tangkap (Direktorat Pelabuhan Perikanan dan Direktorat Sumberdaya Ikan),
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, serta Biro
Hukum dan Organisasi. Sedangkan pelaku inti di PPS Nizam Zachman Jakarta
yaitu Kepala PPS Nizam Zachman Jakarta, Kepala Syahbandar PPS Nizam
Zachman Jakarta, Pengawas Perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta, dan
beberapa pihak lainnya. Pelaku inti tersebut mempunyai karakteristik kunci yang
memungkinkan untuk dikaji dan diambil berdasarkan pertimbangan yang bersifat
ilmiah.
Sampel acak (random sample) tidak diperlukan jika peneliti ingin
menjelaskan kondisi-kondisi yang khusus dengan pendekatan eksploratif (Losh
2000 dalam Abadi, 2006). Teknik non-random sample dalam penelitian ini
adalah purposive sampling. Purposive sampling akan memilih sampel
berdasarkan pada kondisi khusus yang dianggap mampu mengindikasikan
karakter populasi atau dengan kata lain populasi tersebut bersifat homogen
(sama). Kesamaan dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pemahaman suatu
aturan atau regulasi hukum adalah sama dalam lingkup suatu instansi negara,
sehingga hanya cukup diwakili oleh beberapa pihak saja (pelaku inti). Data yang
diperoleh akan diolah melalui daftar periksa (check list) dan analisis deskriptif.
34

3.3 Metode Analisis Data


Penelitian “Analisis Praktik IUU (Illegal, Unreported, Unregulated)
Fishing dan Upaya Penanganannya melalui Adopsi Mekanisme Port State
Measures di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta”
menggunakan analisis deskriptif terhadap data yang diperoleh. Analisis deskriptif
dalam penelitian ini dilakukan dengan alat analisis yaitu yuridis komparatif.
Lambang (2009) menjelaskan bahwa yuridis komparatif adalah pendekatan
berdasarkan pertimbangan atau perbandingan hukum. Penggunaan pendekatan
yuridis komparatif erat kaitannya dari usaha pembaharuan hukum pidana di
Indonesia. Data berupa informasi hukum akan dianalisis dengan membandingkan
butir demi butir atau pasal demi pasal ketentuan yang terkait parameter dalam port
state measures dengan hukum Indonesia. Kemudian dilakukan pula analisis atas
perbandingan tersebut dengan pelaksanaannya di PPS Nizam Zachman Jakarta.

3.4 Metode Pembahasan


Data yang diperoleh dan telah dianalisis akan dibahas secara deskriptif.
Hal ini diharapkan dapat menjawab dari tujuan dilaksanakannnya penelitian ini,
yaitu menganalisis kesiapan hukum Indonesia dalam menerapkan kebijakan port
state measure agreement (PSM Agreement) untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas praktik IUU fishing. Selain itu, kesiapan PPS Nizam Zachman
Jakarta dapat ditentukan melalui analisis berbagai butir kewajiban negara
pelabuhan yang disyaratkan dalam suatu port state measure agreement pada
pelaksanaannya di lapang. Analisis ini akan memberikan penjelasan dan
mengoreksi pelaksanaan yang telah ada serta memberikan rekomendasi perbaikan
atau peningkatan kinerja ke arah yang lebih baik lagi.
Butir-butir yang diwajibkan, menurut FAO (2009) kepada negara
pelabuhan yaitu sebagai berikut:
1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin
perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2. Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
35

2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan


penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya
serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau
RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan; dan
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3. Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4. Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6. Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
7. Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode
internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan), seperti berikut.
countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code
species: FAO 3-alpha code
vessel types: FAO alpha code
gear types: FAO alpha code
devices/attachments: FAO 3-alpha code
ports: UN LO-code
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komparasi Port State Measures dengan Aturan Indonesia


Indonesia telah memiliki aturan hukum dalam mengatur kegiatan
perikanan, pelabuhan perikanan, dan hal lain terkait perikanan yaitu meliputi:
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan, Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan
Penandaan Kapal Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.05/MEN/2008 tentang Unit Perikanan Tangkap dan perubahannya, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008
tentang Usaha Perikanan Tangkap; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan dan Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan
bagi Kapal Perikanan, dan lain sebagainya merupakan aturan yang dianut
Indonesia. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh, sebenarnya butir-butir yang
terkandung di dalam aturan hukum Indonesia telah mengarah pada langkah
melawan dan mengantisipasi praktik IUU fishing. FAO telah berhasil
merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and
Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian
disebut PSM Agreement) diharapkan menjadi suatu instrumen hukum
internasional yang ditujukan untuk meningkatkan peran negara pelabuhan (port
states) dalam mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Butir-butir
yang ada dalam hukum Indonesia telah jelas mengarah ke aturan PSM Agreement
tanpa melalui suatu proses adopsi. Berikut tabel komparasi butir-butir dalam PSM
Agreement terhadap regulasi perikanan Indonesia dan penjabarannya atas akan
dijelaskan pada Sub-sub Bab selanjutnya (Sub-sub Bab 4.1.1 sampai Sub-sub Bab
4.1.6)
37

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
1. Kegiatan perikanan harus UU No.31 Tahun 2004 Pasal 6 ayat (1)
menjamin perlindungan jangka Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik
panjang dan keberlangsungan Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan
pemanfaatan SDI (kegiatan berkelanjutan, serta terjamin kelestarian sumber daya ikan.
pengelolaan dan konservasi)
Permen KP Pasal 44
No. PER.14/ MEN/2011 Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota dalam memberikan persetujuan
pengadaan kapal wajib mempertimbangkan ketersediaan dan kelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya, serta kapasitas produksi UPI bagi
usaha perikanan tangkap terpadu.
2. Melakukan pemeriksaan:
a. Pemeriksaan dokumen UU No.45 Tahun 2009 Pasal 66C
perijinanan atau otoritas “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pengawas
penangkapan perikanan berwenang:
a. memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan;
b. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
c. memeriksa kegiatan usaha perikanan;
d. memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan;
e. memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI;
f. mendokumentasikan hasil pemeriksaan;
g. mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk keperluan
pengujian laboratorium;
h. memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal
perikanan;
i. menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dana menangkap kapal
dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana
38

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 1)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
j. sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan
tempat perkara tersebut diproses lebih lanjut oleh penyidik;
k. menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
l. melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha
melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan
kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan; dan/atau
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kepmen KP Pasal 5
No.KEP.11/MEN/2004 Pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan
dan/atau pengangkutan ikan, nahkoda atau pengurus kapal wajib melaporkan
kedatangan dan/atau keberangkatan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau
petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat/singgah
sebagaimana tercantum dalam SPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan
pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkpaan dan/atau
pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada
Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1. Pemeriksaan dokumen perizinan kapal perikanan;
2. Pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;
3. Menerima formulir Log Book Perikanan;
4. Pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
39

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 2)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
-undangan di bidang perikanan.
b. Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengankutan
ikan, kapla perikanan wajib masuk pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan
muat/singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala
Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1. Pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;
2. Menyerahkan formulir Log Book Perikanna yang telah diisi.

b. Pemeriksaan dokumen UU No.45 Tahun 2009 Pasal 42 ayat (2)


identitas kapal (negara (2) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
bendera, jenis kapal dan a. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
penanda kapal meliputi b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan;
nama, nomor registrasi c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;
eksternal, nomor d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat
identifikasi IMO) penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan;
e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
f. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;
g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan;
h. mengawasi pemanduan;
i. mengawasi pengisian bahan bakar;
j. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan;
k. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di
pelabuhan perikanan;
40

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 3)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
Permen KP Pasal 78 ayat (1) dan (2)
No.PER.05/MEN/2008 (1) Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha perikanan tangkap
dilakukan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang penangkapan ikan, pengangkutan ikan, dan/atau pengolahan ikan
serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha perikanan
tangkap.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan sistem pemantauan, pengendalian, dan pemeriksaan
lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI, dan ikan
hasil tangkapan oleh pengawas perikanan.

Pasal 48 ayat (2)


(2) Permohonan pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen
kapal pengangkut ikan berbendera asing yang disewa diajukan kepada Direktur
Jenderal dengan melampirkan:
a. fotokopi SIUP atau surat izin usaha pelayaran angkutan laut yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang;
b. fotokopi perjanjian sewa kapal dengan menunjukkan aslinya;
c. fotokopi surat ukur internasional dengan menunjukkan aslinya;
d. fotokopi surat tanda kebangsaan kapal dengan menunjukkan aslinya; dan
e. fotokopi cetak biru rancang bangun kapal.

c. Pemeriksaan radio UU No.45 Tahun 2009 Pasal 66C (sama seperti sebelumnya)
komunikasi penanda
41

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 4)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
internasional, dan penanda Permen KP Pasal 88
lainnya serta data VMS dari No.PER.05/MEN/2008 (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera
negara bendera atau RFMO asing wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem
pemantauan kapal perikanan (VMS).
(2) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera
Indonesia berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) GT wajib memasang dan
mengaktifkan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan (VMS).

d. Pemeriksaan logbook UU No.45 Tahun 2009 Pasal 42 ayat (2) (sama seperti sebelumnya)

Permen KP Pasal 6 ayat (1)


No.PER.18/MEN/2010 Kepala Pelabuhan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 melakukan verifikasi dan/atau pengisian data (entry
data) log book penangkapan ikan yang diserahkan oleh Nakhoda.

e. Pemeriksaan hasil UU No.45 Tahun 2009 Pasal 42 ayat (2) (sama seperti sebelumnya), terkait dengan tugas dan
tangkapan, transshipment, wewenang syahbandar perikannan yaitu salah satunya memeriksa sertifikat
perdagangan ikan hasil tangkapan.

Permen KP Pasal 18 ayat (1)


No.PER.05/MEN/2008 (1) Setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan harus
mendaratkan ikan hasil tangkapan di pelabuhan pangkalan yang tercantum
dalam SIPI dan/atau SIKPI.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dapat melakukan penitipan
42

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 5)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
(3) ikan ke kapal penangkap ikan lainnya dalam satu kesatuan manajemen
usaha termasuk yang dilakukan melalui kerja sama usaha, dan didaratkan
di pelabuhan pangkalan yang tercantum dalam SIPI kapal penangkap ikan
yang menerima penitipan ikan, serta wajib dilaporkan kepada kepala
pelabuhan pangkalan dan kepada pengawas perikanan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan
syarat:
a. telah ada perjanjian kerja sama usaha yang diketahui atau disahkan oleh
kepala pelabuhan perikanan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh
Direktur Jenderal;
b. nakhoda kapal penangkap ikan yang menerima penitipan ikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan nama kapal,
jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut
kepada kepala pelabuhan pangkalan tempat ikan di daratkan; dan
c. daftar nama kapal yang dapat melakukan penitipan dan menerima
penitipan ikan hasil tangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dicantumkan dalam masing-masing SIPI.
(4) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku juga untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan
berbendera Indonesia yang beroperasi di laut lepas, sepanjang memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan nasional dan internasional.
(5) Nakhoda kapal penangkap ikan wajib melaporkan nama kapal,
jumlah, jenis, dan asal ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang
diangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada
kepala pelabuhan pangkalan tempat ikan didaratkan dan kepada
pengawas perikanan.
43

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 6)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
(6) Direktur Jenderal menerbitkan daftar kapal yang menjadi satu kesatuan
(7) manajemen usaha atas dasar rekomendasi kepala pelabuhan perikanan atau
pejabat yang diberi kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dan permohonan yang bersangkutan.

f. Pemeriksaan daftar awak Permen KP Pasal 48


kapal No.PER.12/MEN/2009 (1) Permohonan pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan
ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia diajukan kepada
Direktur Jenderal dengan memuat jenis dan ukuran alat penangkapan ikan yang
akan digunakan dengan melampirkan:
a. fotokopi SIUP;
b. fotokopi grosse akte atau buku kapal perikanan yang asli;
c. fotokopi surat kelaikan dan pengawakan kapal;
d. fotokopi gambar rencana umum kapal dan alat penangkapan ikan; dan
surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan bertanggung jawab atas
kebenaran data dan informasi yang disampaikan.

3. Pemeriksaan seluruh bagian UU No. 45 Tahun 2009 Pasal 42 ayat (2) (sama seperti sebelumnya)
kapal (meliputi palkah, semua
ruangan di atas kapal, dan Permen KP Pasal 46
dimensi kapal) serta alat No.PER.12/MEN/2009 (1) Untuk memperoleh SIPI baru dan perpanjangan SIPI tahun ketiga kapal
penangkapan ikan dan/atau penangkap ikan wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik kapal
alat bantu penangkpan ikan penangkap ikan dan alat penangkapan ikan.
(2) Untuk memperoleh SIKPI baru dan perpanjangan SIKPI tahun ketiga kapal
pengangkut ikan wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik kapal
pengangkut ikan.
44

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 7)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
(3) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dimensi
kapal, merek dan nomor mesin kapal, jenis dan ukuran alat penangkapan
ikan.
(4) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi dimensi
kapal, merek dan nomor mesin kapal, jumlah dan volume palkah.
(5) Dimensi kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) meliputi
ukuran panjang kapal dan lebar kapal.
(6) Setiap perubahan spesifikasi teknis kapal penangkap ikan, alat
penangkapan ikan, dan/atau kapal pengangkut ikan wajib dilakukan
pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan/atau
kapal pengangkut ikan.
(7) Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan oleh tim yang dibentuk dan ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
(8) Petunjuk teknis pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan
ikan, dan/atau kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur oleh Direktur Jenderal, yang pelaksanaannya dilaporkan
secara tertulis kepada Menteri.

4. Memastikan bahwa hasil Permen KP Nomor Pasal 6 ayat (2)


pemeriksaan fisik sesuai PER.07/MEN/2010 (2) Persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan
dengan keterangan yang penangkapan ikan, meliputi:
terdapat dalam dokumen dan a. kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri
hasil wawancara dengan dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama
kapten/ pihak kapal panggilan/call sign;
b. kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang
45

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 8)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
c. tertera pada SIPI; dan
d. keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang
dipersyaratkan.

5. Membuat laporan hasil UU No.45 Tahun 2009 Pasal 66C (sama seperti sebelumnya)
pemeriksaan yang kemudian
ditandatangani oleh pengawas Permen KP Nomor Pasal 13
dan kapten kapal PER.07/MEN/2010 (1) Pengawas Perikanan berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1) melakukan pemeriksaan persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis kapal perikanan.
(2) Hasil pemeriksaan persyaratan administrasi dan kelayakan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam form HPK
(Hasil Pemeriksaan Kapal).
(3) Form HPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh
Pengawas Perikanan dan Nakhoda, pemilik, operator, kapal perikanan
dan/atau penanggung jawab perusahaan perikanan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai format dan mekanisme pengisian Form HPK
ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

6. Melakukan pelatihan untuk Undang-Undang Nomor Pasal 57


pengawas atau pemeriksa 31 Tahun 2004 (1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan
perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di
bidang perikanan.
(2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) satuan
pendidikan dan/atau pelatihan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional.
46

Tabel 5 Komparasi port state measure dengan aturan Indonesia (lanjutan 9)


No. Butir dalam Port State Aturan Indonesia
Measure Peraturan perundang- Keterangan*)
undangan*)
Permen KP Pasal 1 ayat (1)
No.PER.09/MEN/2008 Pendidikan dan Pelatihan, yang selanjutnya disebut Diklat adalah proses
penyelenggaraan belajar mengajar atau kegiatan untuk meningkatkan
kemampuan, keahlian dan ketrampilan.
Pasal 1 ayat (7)
Pendidikan dan Pelatihan Aparatur, yang selanjutnya disebut Diklat
Aparatur adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan kemampuan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait.
Pasal 1 ayat (8)
Pelatihan Non-Aparatur adalah proses penyelenggaraan kegiatan untuk
meningkatkan serta mengembangkan kompetensi profesi, produktivitas,
disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian di bidang
kelautan dan perikanan.
7. Jika memungkinkan, - -
menggunakan sistem informasi
dengan kode internasional
(meliputi kode negara, kapal,
alat tangkap, jenis hasil
tangkapan)
*) tidak menutup kemungkinan terdapat dalam aturan Indonesia lainnya
47

Tabel diatas telah cukup menjelaskan bagaimana butir atau parameter


dalam PSM Agreement sebenarnya telah sesuai dengan aturan yang berlaku di
dunia perikanan Indonesia. Namun, untuk spesifikasi dan detail aturan memang
masih ada yang belum sesuai secara keseluruhan. Contohnya, Indonesia belum
mengizinkan adanya kegiatan penangkapan ikan oleh kapal asing, selain di
wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (setelah memperoleh
perizinan) seperti yang disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 yang berbunyi:
1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya
boleh oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009
tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas Pasal 5 ayat
(2) pada butir I menjelaskan secara lugas bahwa Indonesia menentang praktik
IUU fishing. Hal ini diterangkan dalam bunyinya bahwa setiap orang atau badan
hukum Indonesia yang belum memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan
akan melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di laut wajib
terlebih dahulu mengajukan permohonan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP)
kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap dengan melampirkan (salah satunya)
yaitu surat pernyataan bahwa kapal yang dipergunakan tidak tercantum dalam
daftar kapal yang melakukan penangkapan ikan secara tidak sah, tidak tercatat,
dan tidak diatur (IUU fishing) pada organisasi pengelolaan perikanan regional.
Surat pernyataan bebas dari IUU fishing tersebut merupakan tindakan kerjasama
antar negara yang tergabung dalam suatu organisasi pengelolaam perikanan
regional atau RFMO dalam melawan kemungkinan praktik IUU fishing.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009
tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas dalam Pasal
17 juga menjelaskan bahwa setiap kapal penangkap dan kapal pengangkut ikan di
48

laut lepas akan dikenakan tindakan kepelabuhanan (port state measures) di


pelabuhan Indonesia berdasarkan persyaratan dan/atau standar internasional yang
berlaku secara umum dan untuk kapal berbendera asing yang perizinannya
dikeluarkan bukan oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sebelum memasuki
atau singgah di pelabuhan Indonesia, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari
kepala pelabuhan setempat.
Indonesia telah berperan aktif dalam pembahasan Draft PSM Agreement di
FAO. Indonesia menjadi salah satu dari 9 (sembilan) negara penandatangan Draft
PSM Agreement pada tanggal 22 November 2009. Indonesia sedang
mempersiapkan langkah-langkah untuk meratifikasi PSM Agreement. Adapun
dasar-dasar Indonesia untuk melakukan ratifikasi PSM Agreement adalah sebagai
berikut7:
1. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS (United Nation Convention the Law of
the Seas) 1982, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS 1982. Hal ini merupakan payung hukum yang wajib
diimplementasikan ke dalam peraturan hukum nasional;
2. Ketentuan dalam PSM Agreement sangat relevan dengan ketentuan dalam
UNCLOS 1982, seperti dalam Pasal 62 tentang Pemanfaatan Sumber
Kekayaan Hayati di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Bagian 2 tentang
Konservasi dan Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Lepas;
3. Pasal 26 PSM Agreement bahwa perjanjian harus diratifikasi, diterima, atau
disetujui oleh pihak yang telah menandatangani perjanjian;
4. Pasal 29 PSM Agreement bahwa perjanjian berlaku 30 hari setelah tanggal
penyimpanan di depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan
atau aksesi yang ke-25;
5. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima, atau menyetujui
perjanjian ini setelah perjanjian ini berlaku, perjanjian akan berlaku 30 hari
setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan;

7
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Pointer, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 5-6.
49

6. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional bahwa pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden;
7. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 menyatakan bahwa
pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan:
1) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
2) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik
Indonesia;
3) kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5) pembentukan kaidah hukum baru; dan/atau
6) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Apabila materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10,
dilakukan dengan Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden.
8. Langkah persiapan ratifikasi:
1) persiapan mekanisme ratifikasi PSM Agreement;
2) pesiapan konsep awal dokumen pendukung pelaksanaan proses ratifikasi
PSM Agreement melalui Peraturan Presiden; dan
3) kesepakatan bahwa ratifikasi akan dilaksanakan melalui Peraturan
Presiden, dengan pertimbangan bahwa PSM Agreement merupakan
implementasi dari UNCLOS dan UNIA (Universal Negro Improvement
Association) dan mekanisme tersebut sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
9. Naskah yang telah disiapkan:
1) naskah asli Bahasa Inggris;
2) naskah terjemahan Bahasa Indonesia;
3) naskah rancangan Peraturan Presiden; dan
4) naskah rancangan penjelasan.
10. Tindak lanjut
1) pembentukan panitia antar departemen untuk menentukan penetapan
mekanisme ratifikasi PSM Agreement;
50

2) penyempurnaan naskah rancangan Peraturan Presiden;


3) penyempurnaan naskah rancangan penjelasan; dan
4) penyempurnaan naskah terjemahan PSM Agreement.
Seluruh naskah yang diperlukan diatas sudah dipersiapkan pemerintah.
Namun untuk naskah terjemahan Bahasa Indonesia masih dalam perundingan
mendalam terkait definisi kata yang harus disesuaikan. Naskah Rancangan
Peraturan Presiden sudah dipersiapkan dan dibahas melalui pertemuan kordinasi
dengan beberapa pihak. Naskah rancangan penjelasan telah dipersiapkan dan
masih dalam perundingan untuk dibahas lebih mendalam. Pembahasan rencana
ratifikasi PSM Agreement sudah dikordinasikan dengan pihak terkait seperti
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap; Direktorat Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan; Bagian Perundang-undangan Lintas Sektor
dan Pengembangan Hukum Laut, Biro Hukum dan Organisasi; Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan; Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan; Pusat Analisis Kerja Sama
Internasional dan Antar lembaga; pihak akademisi; Kementerian Hukum dan
HAM (Hak Asasi Manusia); Sekretriat Kabinet; Kepala Pelabuhan terkait; dan
lain-lainnya8.
Pengesahan PSM Agreement akan memberikan keuntungan bagi Indonesia,
khususnya dalam hal sebagai berikut9:
1. mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya hayati di laut lepas sehingga dapat
membantu pemerintah untuk mensejahterakan warga negaranya;
2. ikut serta dalam pencegahan praktik IUU fishing;
3. meningkatkan efektifitas penanganan IUU fishing khususnya di bidang
pengawasan;
4. mengefektifkan penanganan terhadap masalah transhipment hasil tangkapan
IUU fishing di laut lepas;
5. memperoleh bantuan teknis, pelatihan dan kerja sama ilmiah, transfer
teknologi dalam rangka penerapan Perjanjian ini; dan

8
Disampaikan dalam Diskusi Pembahsan Finalisasi Penyusunan Pengesahan PSM yang
diselenggarakan oleh Biro Hukum dan Organisasi KKP, Bogor, 6 Desember 2011.
9
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 14.
51

6. meningkatkan program pencitraan diri sebagai negara yang bertanggung


jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan.
Ratifikasi PSM Agreement diharapakan dapat menekan pencurian di
wilayah perairan Indonesia oleh pihak asing (khususnya terhadap sumberdaya
ikan tuna); pertukaran data dan informasi perikanan secara murah, akurat, tepat
waktu melalui kerja sama dengan internasional; penetapan kuota internasional
setiap jenis ikan bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh untuk distribusi
tangkapan; Pengembangan armada perikanan Indonesia yang akan beroperasi di
ZEE dan Laut Lepas yang tetap harus tunduk pada ketentuan internasional; dan
memberikan hak dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan
Laut Lepas10.
Pengesahan PSM Agreement akan menimbulkan konsekuensi yang harus
diterima Indonesia, yaitu11:
1. menyiapkan perangkat hukum yang selaras dengan perjanjian ini yang
mempunyai sanksi yang tegas dalam rangka memberantas praktik IUU
fishing;
2. menerapkan secara adil, transparan dan non-diskriminatif perjanjian ini
kepada kapal Indonesia dan asing;
3. menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan kapal-kapal asing;
4. menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan yang ditujukan untuk
pelaksanaan perjanjian ini;
5. mengidentifikasi kapal perikanan Indonesia yang masuk ke negara lain;
6. menyampaikan informasi terkait dengan kegiatan sebagaimana dimaksud
perjanjian ini kepada FAO;
7. berpartisipasi aktif dalam kerja sama dalam penegakan hukum baik regional
maupun internasional;
8. menyiapkan dan meningkatkan sarana dan prasarana serta kemampuan sumber
daya manusia yang terkait dengan persetujuan ini.

10
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Op Cit, hlm 3.
11
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 14-15.
52

4.1.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan

Butir pertama yang dikomparasikan dari PSM Agreement yaitu bahwa


kegiatan perikanan harus menjamin perlindungan jangka panjang dan
keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan
konservasi). Indonesia mengupayakan untuk tercapainya pengelolaan perikanan
yang optimal dan berkelanjutan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP RI), serta harus dapat menjamin kelestraian sumberdaya ikan.
Hal ini sebagaimana yang dituangkan pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004. Pengelolaan perikanan tersebut juga harus memperhatikan hukum
adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran masyarakat. Semua ini
untuk memberikan perlindungan jangka panjang dan untuk menjaga
keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan. Beberapa ketentuan yang yang
mendukung pengelolaan perikanan ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009. Ketentuan tersebut diantaranya, penetapan jumlah
tangkapan yang dibolehkan; penetapan jenis, jumlah, dan ukuran alat
penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan; penetapan rencana
pengelolaan perikanan; penetapan potensi dan alokasi sumberdaya ikan; dan lain
sebagainya. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 menerangkan
bahwa untuk kepentingan kerjasama internasional, pemerintah menjalin kerjasama
dengan negara tetangga atau negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan
sumberdaya ikan di laut lepas. Hal lain yang dilakukan adalah saling
menginformasikan jika mendapati suatu tindakan yang mencurigakan dan dapat
menimbulkan hambatan dalam konservasi dan pengelolaan sumberdaya ikan.
Selain itu, aturan lain mengenai harus adanya kegiatan konservasi dan
pengelolaan yaitu dalam Pasal 44 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Hal tersebut
berbunyi bahwa Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota dalam memberikan
persetujuan pengadaan kapal wajib mempertimbangkan ketersediaan dan
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya, serta kapasitas produksi UPI
(Unit Pengolahan Ikan) bagi usaha perikanan tangkap terpadu.
Artinya bahwa, Indonesia telah menyiapkan regulasi hukum untuk
menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan
53

sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan) dalam


memberikan persetujuan kegiatan perikanan. Pengelolaan perikanan ini dilakukan
secara optimal dan berkelanjutan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP RI) dengan memperhatikan hukum adat dan/atau kearifan lokal
serta peran masyarakat dan juga melalui kerjasama dengan negara lain atau
internasional untuk konservasinya.

4.1.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan

Pemeriksaan yang dilakukan oleh negara pelabuhan (dalam hal ini Negara
Indonesia) yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan
Butir kedua yang dikomparasikan dari PSM Agreement yaitu dilakukan
pemeriksaan. Salah satunya yaitu pemeriksaan dokumen perijinan atau otoritas
penangkapan. Kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan wajib dilaporkan
kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk untuk dilakukan
beberapa pemeriksaan, salah satunya adalah pemeriksaan dokumen perizinan
kapal perikanan. Pasal 42 sampai Pasal 45 Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009, menjelaskan adanya kewajiban kapal perikanan untuk memiliki beberapa
surat perizinan. Pasal 42 dalam undang-undang tersebut menjelaskan bahwa
syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang mengeluarkan Surat
Persetujuan Berlayar (SPB). Surat Persetujuan Berlayar yang dimaksud adalah
yang sebelumnya disebut sebagai Surat Izin Berlayar (SIB). Namun, SPB
tersebut hanya dapat dikeluarkan jika kapal perikanan telah mendapatkan Surat
Laik Operasi (SLO) yang diterbitkan pengawasan perikanan pelabuhan setempat
(tanpa dikenakan biaya). Selain itu, dalam Pasal 66 C dijelaskan bahwa pengawas
perikanan juga memiliki wewenang yang salah satunya memeriksa kelengkapan
dan keabsahan dokumen usaha perikanan serta memverifikasi kelengkapan dan
keabsahan SIPI dan SIKPI.
Selain itu, diatur pula dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan
pada Pasal 5 bahwa kapal perikanan wajib memberikan laporan pada pihak
pelabuhan. Adapun pada saat akan dimulai maupun setelah selesai melakukan
54

penangkapan dan/atau pengangkutan ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan


wajib melapor kedatangan dan/atau keberangkatannya kepada kepala pelabuhan
perikanan atau petugas yang ditunjuk di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan
muat atau singgah sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan
pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau
pengangkutan ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada
Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
(1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;
(2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;
(3) menerima formulir logbook Perikanan;
(4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan.
2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan, kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di
pelabuhan muat atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya
kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
(1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;
(2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.
Kesimpulannya bahwa hukum Indonesia telah mengatur kewajiban kapal
perikanan untuk memiliki beberapa surat atau dokumen perizinan terkait kegiatan
penangkapan dan penangkutan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP RI). Dokumen ini akan diperiksa oleh Kepala Pelabuhan atau
petugas yang ditunjuk (seperti pihak syahbandar dan pengawas perikanan) untuk
setiap kali kedatangan dan keberangkatan dari dan ke pelabuhan perikanan dengan
sebelumnya dilakukan pelaporan kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau
petugas yang ditunjuk.
2. Pemeriksaan dokumen identitas kapal
PSM Agreement menerangkan perlunya pemeriksaan terkait identitas
kapal (negara bendera, jenis kapal dan penanda kapal meliputi nama, nomor
registrasi eksternal, dan nomor identifikasi International Maritime Organization).
55

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2) menjelaskan


bahwa dalam syahbandar perikanan memiliki tugas dan wewenang salah satunya
yaitu memeriksa ulang kelengkapan dan dokumen kapal perikanan.
Pasal 78 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.05/MEN/2008 menerangkan dilakukannya pengawasan dan pengendalian
kegiatan usaha perikanan tangkap yaitu terhadap operasional dan dokumen kapal
perikanan, Unit Penangkapan Ikan (UPI), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas
perikanan. Pasal 48 menambahkan bahwa dalam pemeriksaan fisik kapal, alat
penangkapan ikan, dan dokumen kapal pengangkut ikan berbendera asing salah
satunya diharuskan melampirkan fotokopi surat tanda kebangsaan kapal dengan
menunjukkan aslinya dan fotokopi surat ukur internasional dengan menunjukkan
aslinya. Pasal 6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.28/MEN/2009 menjelaskan bahwa pada lembar awal sertifikat hasil
tangkapan ikan dan lembar turunan sertifikat hasil tangkapan ikan memuat
beberapa informasi kapal. Informasi tersebut diantaranya seperti nama kapal,
bendera pelabuhan asal dan nomor registrasi, kode panggil, nomor International
Maritime Organization (IMO) (jika ada), nomor izin penangkapan dan masa
berlaku, nomor immarsat, nomor faksimile, nomor telepon, dan alamat surat
elektronik (e-mail) jika ada.
Hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia telah mengatur adanya
pemeriksaan dokumen kapal yang kemudian terlampir pula fotokopi surat tanda
kebangsaan kapal dan fotokopi surat ukur internasional (pada pemeriksaan fisik
kapal) aslinya. Selain itu, informasi lainnya (nama kapal, bendera pelabuhan asal
dan nomor registrasi, kode panggil, nomor IMO, nomor izin penangkapan dan
masa berlaku, nomor immarsat, nomor faksimile, nomor telepon, dan alamat surat
elektronik atau e-mail) dimuat dalam lembar awal dan lembar turunan sertifikat
hasil tangkapan ikan.
56

3. Pemeriksaan radio komunikasi dan VMS (Vessel Monitoring System)


PSM Agreement menerangkan perlunya negara pelabuhan untuk
melakukan pemeriksaan keberadaan radio komunikasi penanda internasional, dan
pengendalian serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau
RFMO (Regional Fisheries Management Organization). Undang-Undang Nomor
45 tahun 2009, yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004, pada Pasal 66 C menjelaskan bahwa pengawas perikanan memiliki
beberapa kewenangan yaitu salah satunya memeriksa peralatan dan keaktifan
sistem pemantauan kapal perikanan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008
Pasal 88 mewajibkan setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan
berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem
pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System), namun untuk
kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia
hanya diwajibkan untuk kapal yang berukuran lebih dari 30 GT. Hal ini
dikarenakan untuk nelayan Indonesia yang beroperasi dengan kapal yang
berukuran kurang dari 30 GT adalah nelayan kecil yang terbatas dalam teknologi
dan jangkauan perlayaran/penangkapan. Selain itu, Pasal 26 Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 menjelaskan bahwa Direktur
Jenderal akan menerbitkan SIPI dengan salah satu syaratnya yaitu telah
terpenuhinya ketentuan pemasangan transmitter atau sistem pemantauan kapal
perikanan VMS (Vessel Monitoring System) untuk kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia berukuran 100 GT ke atas. Sedangkan untuk penerbitan
SIKPI salah satu syaratnya jika telah dipenuhi ketentuan pemasangan transmitter
atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) untuk
semua kapal pengangkut ikan berbendera asing dan kapal pengangkut ikan
berbendera Indonesia berukuran 100 GT ke atas.
Hukum Indonesia telah mengatur pelaksanaan pemeriksaan transmitter
atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS (Vessel Monitoring System) hanya
untuk kapal penangkap ikan Indonesia dan kapal pengangkut ikan Indonesia serta
kapal pengangkut asing. Jika nantinya proses ratifikasi PSM Agreement telah
dilaksanakan, maka perlu penambahan aturan untuk kapal penangkap ikan asing
57

dalam hal pemeriksaan transmitter atau sistem pemantauan kapal perikanan VMS
(Vessel Monitoring System).

4. Pemeriksaan Logbook
Pemeriksaan logbook perikanan diterangkan dalam dokumen PSM
Agreement untuk dilakukan oleh negara pelabuhan. Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009, dalam Pasal 42 menjelaskan bahwa syahbandar perikanan memiliki
tugas dan wewenang yang salah satunya yaitu memeriksa logbook penangkapan
dan pengangkutan ikan.
Pasal 5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.18/MEN/2010 menambahkan bahwa logbook penangkapan ikan adalah
laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan yang
berisikan informasi data kapal perikanan, data alat penangkapan ikan, data operasi
penangkapan ikan, dan data ikan hasil tangkapan. Sedangkan masih dalam
Peraturan Menteri yang sama namun pada Pasal 6 ayat (1), dijelaskan bahwa
Kepala Pelabuhan Perikanan atau pejabat yang ditunjuk akan melakukan
verifikasi dan/atau pengisian data (entry data) log book penangkapan ikan yang
diserahkan oleh Nakhoda. Pengisiannya dilakukan sesuai data yang sebenarnya
dan tepat waktu. Logbook ini wajib diserahkan oleh nahkoda kepada Direktur
Jendral Perikanan Tangkap melalui Kepala Pelabuhan Perikanan sebagaimana
tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) sebelum dilakukannya
pendaratan ikan hasil tangkapan. Selain itu dijelaskan pula dalam Pasal 5
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 bahwa
setelah kapal perikanan selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau
pengangkutan ikan, maka diwajibkan masuk ke pangkalan atau pelabuhan dengan
melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan Perikanan atau petugas
yang ditunjuk untuk dilakukan pemeriksaan hasil tangkapan dan formulir logbook
perikanan yang telah diisi oleh nahkoda atau pihak kapal.
Aturan Indonesia yang berlaku untuk mengatur pemeriksaan logbook telah
sangat jelas menerangkan bahwa logbook tersebut diserahkan ke nahkoda atau
pihak kapal saat keberangkatan dari pelabuhan perikanan dan diserahkan kembali
serta diperiksa saat kedatangan ke pelabuhan.
58

5. Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, dan perdagangannya


Pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, dan perdagangannya perlu
dilakukan oleh negara pelabuhan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 pada
Pasal 42 ayat (2) menerangkan bahwa syahbandar perikanan memiliki tugas dan
wewenang, salah satunya yaitu melakukan pemeriksaa terhadap sertifikat ikan
hasil tangkapan. Pemeriksaan ini akan mengacu pada pemeriksaan kondisi fisik
dari hasil tangkapan tersebut yang kemudian dijelaskan dalam Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang
Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 Pasal 16 menjabarkan bahwa nakhoda kapal
pengangkut ikan yang menerima penitipan (kapal pengangkut ikan berbendera
Indonesia dalam satu kesatuan manajemen usaha termasuk yang dilakukan
melalui kerja sama usaha) wajib melaporkan nama kapal, jumlah, jenis, dan asal
ikan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut kepada kepala pelabuhan
pangkalan yang tercantum dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau
Surat Ijin Kapal Pengakut Ikan (SIKPI).
Pengawas perikanan memiliki wewenang melakukan pemeriksaan fisik
terhadap ikan hidup, tuna untuk sashimi, dan/atau ikan lainnya yang menurut
sifatnya tidak memerlukan pengolahan yang dijelaskan dalam Pasal 18. Hasil
pemeriksaan tersebut akan mennetukan dikeluarkannya surat persetujuan tidak
didaratkan atau dapat dipindahkannya ikan jenis tertentu ke kapal lain atau pula
surat perintah didaratkannya seluruh ikan hasil tangkapan. Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 Pasal 5, juga menjelaskan
adanya pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut setelah kapal
melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan dan masuk ke
pelabuhan pangkalan. Sedangkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.28/MEN/2009 Pasal 1, menjelaskan bahwa Sertifikat Hasil
Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh
Kepala Pelabuhan Perikanan yang ditunjuk oleh otoritas Kompeten yang
menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU (Illegal,
Unreported and Unregulated) Fishing. Hal ini diharuskan untuk hasil tangkapan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik langsung
maupun tidak langsung ke Uni Eropa. Sertifikasi hasil tangkapan tersebut akan
59

menjamin diterimanya hasil tangkapan tersebut dalam suatu target pasar tertentu.
Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut diperiksa oleh syahbandar perikanan yang
dijelaskan sebagai tugas dan wewenangnya dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009.
Pengaturan tentang transshipment dijelaskan dalam Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor.PER/14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan
Tangkap. Penjelasan yaitu, dalam Peraturan Menteri ini yang dikategorikan
pemindahan dan/atau penerimaan ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan
(transhipment) yang dilarang, meliputi:
a) pemindahan ikan hasil tangkapan dari daerah penangkapan untuk dibawa
langsung ke luar negeri atau ke pelabuhan perikanan di dalam negeri yang
bukan merupakan pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI
dan/atau SIKPI; dan
b) pemindahan dan/atau penerimaan ikan hasil tangkapan di daerah penangkapan
dari kapal penangkap ikan ke kapal penangkap ikan lainnya atau ke kapal
pengangkut ikan yang bukan dalam satu kesatuan manajemen usaha, kerja
sama usaha, satuan armada, dan kemitraan.
Hukum Indonesia telah mengatur pemeriksaan hasil tangkapan dan hasil
angkutan (transshipment) pada satu kesatuan usaha perikanan tangkap, serta
mengatur Sertifikat Hasil Tangkapan yang diperlukan untuk perdagangan hasil
tangkapan ke Uni Eropa.

6. Pemeriksaan daftar awak kapal


Negara pelabuhan, dijelaskan dalam dokumen PSM Agreement harus
melakukan pemeriksaan daftar awak kapal yang terlibat dalam kegiatan
penengkapan atau pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 75 menjelaskan bahwa jika dalam usaha
perikanan akan mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) di atas kapal
penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan, wajib terlebih dahulu
mendapatkan surat rekomendasi penggunaan TKA dari Direktur Jenderal
Perikanan Tangkap dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan yang
beberapa diantaranya yaitu harus melampirkan Rencana Penggunaan Tenaga
60

Kerja Asing (RPTKA), sertifikat kompetensi Anak Buah Kapal (ABK) yang telah
disahkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, dan fotokopi paspor dan/atau
buku saku pelaut (seaman book) TKA yang akan dipekerjakan. Proporsi
penggunaan TKA telah diatur komposisinya dalam Pasal 75A Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 dengan ketentuan berikut:
1) Tahun pertama maksimal 50% dari jumlah keseluruhan awak kapal;
2) Tahun kedua maksimal 30% dari jumlah keseluruhan awak kapal; dan
3) Tahun ketiga dan seterusnya maksimal 10% dari jumlah keseluruhan awak
kapal.
Selain itu, pada Pasal 48 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.12/MEN/2009 menjelaskan bahwa dalam permohonan pemeriksaan
fisik kapal diharuskan untuk melampirkan fotokopi surat kelaikan dan
pengawakan kapal.
Hukum Indonesia belum secara lugas menerangkan adanya pemeriksaan
khusus daftar awak kapal, waktu pelaksanaan pemeriksaan, dan pihak pelaksana
pemeriksaan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun secara
umum daftar awak kapal terlampirkan ketika nahkoda atau pihak kapal
mengajukan permohonan pemeriksaan fisik.

4.1.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat


bantu penangkapan ikan

Butir selanjutnya yang diwajibkan PSM Agreement kepada negara


pelabuhan yaitu dilakukan pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah,
semua ruang di atas kapal, dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkapan ikan. Pemeriksaan alat penangkapan ikan dan/atau alat
bantu penangkapan ikan dilakukan oleh pihak syahbandar perikanan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 pada Pasal 42 ayat (2). Pasal 42
tersebut menjelaskan bahwa pihak syahbandar perikanan memiliki tugas dan
wewenang memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan; memeriksa alat
penangkapan ikan; dan alat bantu penangkapan ikan. Surat Ijin Penangkapan Ikan
(SIPI) dan Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) dapat diperoleh atau
diperpanjang setelah dilakukannya pemeriksaan fisik kapal. Pemeriksaan tersebut
meliputi pemeriksaan dimensi kapal (ukuran panjang dan lebar kapal), merek dan
61

nomor mesin kapal, jumlah dan volume palkah. Hal ini dijelaskan dalam
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 46.
Hukum Indonesia telah mengatur regulasi pemeriksaan fisik kapal,
dimensi kapal (ukuran panjang dan lebar kapal), merek dan nomor mesin kapal,
jumlah dan volume palkah serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan. Namun pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal tersebut
umumnya hanya dilakukan saat mengurus penerbitan dan perpanjangan SIPI dan
SIKPI saja.

4.1.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil


wawancara

Setiap hasil pemeriksaan fisik harus disesuaikan dengan keterangan yang


terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal.
Hal inilah yang diwajibkan PSM Agreement kepada negara pelabuhan. Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 Pasal 80 menjelaskan
bahwa jika penyampaian data dalam Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Ijin
Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), dan/atau Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI)
berbeda dengan fakta yang ada di lapangan maka SIUP, SIKPI, dan SIPI akan
dicabut. Hal ini diupayakan untuk kesesuaian hasil pemeriksaan fisik dengan data
dalam dokumen perizinan. Selain itu pada Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 menjelaskan bahwa
persyaratan kelayakan teknis untuk kapal perikanan yang akan melakukan
penangkapan ikan, meliputi:
1) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari
bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan
atau call sign;
2) kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang tertera pada
SIPI; dan
3) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang
dipersyaratkan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hukum Indonesia telah mengatur adanya
kesesuaian hasil pemeriksaan fisik dengan data dalam dokumen perizinan.
62

Namun kesesuaian terhadap hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal
belum diatur dalam hukum Indonesia.

4.1.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan

PSM Agreement mengatur adanya pembutan laporan hasil atas


pemeriksaan yang kemudian diketahui atau ditandatangani oleh pihak yang
melakukan pemeriksaan dan kapten kapal atau pihak kapal. Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 66C menjabarkan salah satu wewenang pengawas
perikanan setelah melakukan pemeriksaan yaitu mendokumentasikan hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan. Selain itu pada Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 Pasal 12 menjelaskan bahwa nahkoda,
pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan wajib
melaporkan rencana keberangkatan kepada Pengawas perikanan paling lambat 1
(satu) hari sebelum keberangkatan. Selanjutnya pada Pasal 13, akan dilakukan
pemeriksaan administrasi dan teknis yang hasilnya dituangkan dalam form Hasil
Pemeriksaan Kapal (HPK) yang ditandatangani oleh pengawas perikanan dan
nahkoda, pemilik, operator kapal atau penanggung jawab perusahaan perikanan.
Hal ini dilakukan untuk penerbitan Surat Laik Operasi (SLO).
Hukum Indonesia telah mengatur bahwa setelah dilakukan pemeriksaan
administrasi dan teknis, hasilnya akan dituangkan dalam form HPK yang
ditandatangani oleh pengawas perikanan dan nahkoda, pemilik, operator kapal
atau penanggung jawab perusahaan perikanan.

4.1.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 57 sampai Pasal 59


menerangkan bahwa pemerintah akan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumberdaya
manusia di bidang perikanan. Hal ini dapat bekerjasama dengan lembaga terkait
di tingkat nasional maupun internasional yang diatur oleh peraturan pemerintah.
Selain itu dalam Pasal 68 juga menjelaskan bahwa pemerintah akan mengadakan
sarana dan prasarana pengawasan perikanan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
adanya suatu pelatihan untuk pengawas perikanan dalam peningkatan kinerja.
63

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.09/MEN/2008


pada pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa Pendidikan dan Pelatihan, yang
selanjutnya disebut Diklat adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar atau
kegiatan untuk meningkatkan kemampuan, keahlian dan ketrampilan. Pelatihan
dan pendidikan tersebut diselenggarakan dalam beberapa bentuk, beberapa
diantaranya dijelaskna pada Pasal 1 ayat (7) dan ayat (8). Pasal 1 ayat (7)
menambahkan bahwa Pendidikan dan Pelatihan Aparatur, yang selanjutnya
disebut Diklat Aparatur adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam
rangka meningkatkan kemampuan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Pegawai
Negeri Sipil (PNS) Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait.
Sedangkan Pasal 1 ayat (8) menerangkan Pelatihan Non-Aparatur adalah proses
penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan serta mengembangkan kompetensi
profesi, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian
di bidang kelautan dan perikanan.
Hukum Indonesia belum jelas menerangkan adanya pelatihan khusus
untuk petugas pengawasan dan pemeriksa khususnya kedatangan kapal. Hukum
yang ada hanya menyampaikan secara umum bahwa akan diselenggarakan
pelatihan, pendidikan atau pengembangan sumberdaya manusia di bidang
perikanan.

4.1.7 Pengunaan sistem informasi kode internasional

Belum adanya regulasi hukum Indonesia yang mengatur penggunaan


sistem informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat
tangkap, dan jenis hasil tangkapan) di pelabuhan perikanan. Oleh karena itu,
perlu pengadaan regulasi menyangkut hal tersebut, untuk nantinya dalam
penerapan PSM (Port State Measures) Agreement di Indonesia.
64

Prosedur kedatangan kapal perikanan yang berlaku di pelabuhan perikanan


Indonesia adalah12:
1) Setiap kapal perikanan yang akan memasuki pelabuhan perikanan wajib
terlebih dahulu memberitahukan kedatangan kapal kepada Syahbandar di
Pelabuhan Perikanan;
2) Pemberitahuan sekurang-kurangnya 2 (dua) jam sebelum kapal memasuki
pelabuhan perikanan;
3) Pihak pelabuhan (dalam hal ini syahbandar di pelabuhan perikanan) akan
mengatur tempat tambat atau labuh kapal perikanan;
4) Nakhoda atau pengurus kapal wajib menyerahkan dokumen kapal perikanan
kepada syahbandar di pelabuhan perikanan selambat-lambatnya 2 jam setelah
masuk pelabuhan. Hal ini dilakukan untuk kemudian diperiksa dan disimpan
selama kapal berada di pelabuhan perikanan (baik tambat maupun labuh);
5) Pihak pelabuhan (dalam hal ini syahbandar di pelabuhan perikanan) akan
memberikan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK);
6) Pemberitahuan kedatangan kapal di pelabuhan perikanan untuk kapal lebih
dari 30 GT, pada umumnya dilakukan oleh nakhoda kapal perikanan melalui
agen perusahaan untuk selanjutnya agen atau pengurus kapal menyampaikan
rencana kedatangan kapalnya kepada syahbandar di pelabuhan perikanan;
7) Pemberitahuan dimaksud mencakup:
(1) identitas kapal (meliputi nama kapal, jenis kapal, pemilik kapal, ukuran
kapal);
(2) tujuan pendaratan atau masuk pelabuhan;
(3) asal kapal/kebangsaan kapal;
(4) jumlah awak kapal;
(5) call sign kapal;
(6) jenis ikan yang akan didaratkan;
(7) alat penangkap ikan; dan
(8) wilayah penangkapan.

12
Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Penerapan Port State Measures
di Pelabuhan Perikanan, Surabaya, Direktorat Jenderal PSDKP, 2011, slide 11.
65

Prosedur keberangkatan kapal yang berlaku di pelabuhan perikanan


Indonesia sebagai berikut13:
1) Setiap kapal perikanan yang akan berangkat dari pelabuhan perikanan wajib
terlebih dahulu memberitahukan rencana keberangkatannya kepada
syahbandar di pelabuhan perikanan paling lambat 1 x 24 jam sebelum kapal
perikanan berangkat dari pelabuhan perikanan;
2) Syahbandar di pelabuhan perikanan segera memeriksa dokumen kapal
perikanan dan memeriksa kelengkapan di atas kapal, setelah menerima
pemberitahuan;
3) Pemeriksaan ulang alat penangkap ikan dan pemeriksaan teknis dan nautis
kapal perikanan serta persyaratan ABK;
4) Hasil pemeriksaan merupakan dasar pertimbangan untuk menerbitkan Surat
Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB); dan
5) Setiap kapal perikanan yang telah menerima Surat Ijin Berlayar (SIB) dalam
waktu 2 x 24 jam wajib segera berangkat atau meninggalkan pelabuhan
perikanan, jika dalam waktu tersebut tidak juga berangkat maka Surat Ijin
Berlayar (SIB) tidak berlaku lagi.
Penerapan ketentuan port state measures (PSM) hanya diberlakukan bagi
kapal perikanan asing dan kapal kontainer asing yang mengangkut ikan. Hal
terkait yang harus disiapkan kepala pelabuhan perikanan dalam penerapan port
state measures (PSM) yaitu petugas yang dilatih untuk melaksanakan penerapan
PSM di pelabuhan masing-masing dan ketersediaan jaringan (networking) untuk
penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan software.
Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam penerapan port state measures di
pelabuhan perikanan adalah14:
1) Pengembangan fasilitas dan sarana di 5 (lima) Pelabuhan Perikanan;
Adapun kelima pelabuhan perikanan tersebut adalah Pelabuhan Perikanan
Samudera (PPS) Nizam Zachman, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Bungus, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan

13
Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 13.
14
Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 8.
66

Nusantara (PPN) Ambon, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)


Palabuhanratu.
2) Sosialisasi port state measures, termasuk kepada pemilik kapal berbendera
Indonesia (karena sudah ada yang ditengarai melakukan IUU fishing dan
mendaratkan hasil tangkapan di luar Indonesia);
3) Pelatihan sumberdaya manusia di pelabuhan perikanan;
4) Peningkatan sistem informasi di pelabuhan perikanan; dan
5) Penyusunan standar operasional dan prosedur port state measures.
Kegiatan yang telah dilakukan pasca penandatanganan port state measures
15
yaitu :
1) Melakukan sosialisasi port state measures kepada pihak terkait;
2) Studi banding kepala pelabuhan calon lokasi penerapan port state measures ke
Pelabuhan di Amerika Serikat; dan
3) Melakukan kerjasama dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) untuk mempersiapkan penerapan port state measures di
Indonesia (Amerika Serikat termasuk 16 negara yang telah menandatangani
port state measures agreement).
Kegiatan yang akan dilakukan pasca penandatanganan port state measures
16
yaitu :
1) Persiapan dan proses ratifikasi perjanjian port state measures;
2) Seminar nasional lintas instansi terkait (bekerjasama dengan NOAA);
3) Pelaksanaan TOT (Training of Trainer) untuk petugas port state measures di
lapangan (bekerjasama dengan NOAA);
4) Sosialisasi port state measures kepada para pihak terkait;
5) Penyusunan SOP (Standar Operasioanal Prosedur) penerapan port state
measures;
6) Penguatan kerjasama dengan negara-negara yang telah meratifikasi port state
measures agreement;
7) Pengembangan sistem informasi antar pelabuhan perikanan (PIPP); dan
8) Peningkatan sarana dan prasarana pendukung.

15
Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 17.
16
Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 18.
67

Permasalahan dalam penerapan port state measures di pelabuhan


perikanan antara lain sebagai berikut17:
1) Terbatasnya kolam dan dermaga untuk kapal asing di pelabuhan perikanan;
2) Terbatasnya kapasitas untuk kebutuhan logistik;
3) Belum meratanya pemahaman aparat atau masyarakat termasuk pelaku usaha
(stakeholder) tentang port state measures;
4) Terbatasnya jumlah dan kemampuan port state measures, serta terbatasnya
fasilitas dan jaringan kerja terkait dengan port state measures;
5) Belum memadainya ketentuan dan peraturan, termasuk prosedur standar
dalam pelaksanaan port state measures; dan
6) Masih kurangnya sistem informasi (nasional, regional, dan internasional).

4.2 Kesiapan Pelaksanaan Hukum dan Peraturan Perikanan di PPS Nizam


Zachman Jakarta
Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman Jakarta terletak di
Jalan Muara Baru Ujung, Penjaringan, Jakarta Utara. Letak geografis PPS Nizam
Zachman Jakarta yaitu 106°48'11"BT dan 06°05'40"LS. Secara geografis PPS
Nizam Zachman Jakarta berbatasan sebagai berikut. Adapun batas-batas area PPS
Nizam Zachman Jakarta.
Tabel 6 Batas-batas area PPS Nizam Zachman Jakarta
Batas area Wilayah perbatasan Posisi koordinat
Utara Teluk Jakarta di Laut Jawa 106˚48’15’’BT dan 6˚6’18’’LS
Selatan Jalan Muara Baru 106˚47’54’’BT dan 6˚6’20’’LS
Timur Pelabuhan Sunda Kelapa 106˚48’14’’BT dan 6˚5’32’’LS
Barat Waduk Pluit/ Pantai Mutiara 106˚47’44’’BT dan 6˚5’34’’LS
(Sumber: PPS Nizam Zachman, 2011)
PPS Nizam Zachman Jakarta (2011) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
fungsi yang dijalankan oleh pelabuhan yaitu:
1) Perencanaan, pembangunan, pengembangan, pemeliharaan, pengawasan, dan
pengendalian serta pendayagunaan sarana dan pasarana pelabuhan perikanan;
2) Pelayanan teknis kapal perikanan dan kesyahbandaran di pelabuhan
perikanan;

17
Powerpoint Presentation Sekretaris Direktorat Jenderal PSDKP, Ibid, slide 15.
68

3) Pelayanan jasa dan fasilitasi usaha perikanan;


4) Pengembangan dan fasilitasi penyuluhan serta pemberdayaan masyarakat
perikanan;
5) Pelaksanaan fasilitas dan koordinasi di wilayahnya untuk peningkatan
produksi, distribusi, dan pemasaran hasil perikanan;
6) Pelaksanaan fasilitas publikasi hasil riset, produksi, dan pemasaran hasil
perikanan di wilayahnya;
7) Pelaksanaan fasilitas pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari;
8) Pelaksanaan pengawasan penangkapan sumberdaya ikan, penanganan,
pengolahan, pemasaran, serta pengendalian mutu hasil perikanan;
9) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data perikanan, serta
pengelolaan sistem informasi; dan
10) Pelaksanaan urusan keamanan, ketertiban, dan pelaksanaan kebersihan
kawasan pelabuhan serta pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.
Menurut PPS Nizam Zachman Jakarta (2011), terdapat 7 (Tujuh) fasilitas
pokok, 17 fasilitas fungsional, dan 18 fasilitas penunjang di pelabuhan. PPS
Nizam Zachman Jakarta memiliki luas dermaga 2224 m dengan kolam dan alur
pelayaran seluas 40 Ha. PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki beberapa fasilitas
yang membantu pengawasan perikanan yaitu seperti menara pengawasan seluas
1.096 m2, 2 unit rambu navigasi, kantor pelayanan terpadu seluas 690 m2, pos
Keamanan Laut (yang dikelola TNI-AL) seluas 69,5 m2, dan 3 sudut CCTV
(Closed Circiut Televison) serta speaker di dermaga timur. Kolam pelabuhan
yang dimiliki PPS Nizam Zachman Jakarta adalah 3 m sampai 4 m. Hal ini sudah
cukup menunjang akses masuknya kapal asing nanti yang umumnya memiliki
draft 3 m sampai 4 m. Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta memiliki 1 (satu)
unit kapal patroli untuk mengawasi Wilayah Kerja Operasional Pelabuhan
Perikanan (WKOPP). Hal lain terkait fasilitas yang telah dimiliki, dianggap
masih perlu adanya peningkatan kapasitas dan pengadaan fasilitas yang belum
dimiliki lainnya. Berikut beberapa yang dianggap perlu ditingkatkan dan
diadakan di PPS Nizam Zachman Jakarta18:
1) Sarana komunikasi radio;

18
Hasil wawancara dengan Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta, 5 Januari 2012.
69

2) Pengadaan faksimile untuk komunikasi dari kapal ke syahbandar perikanan;


3) Perlengkapan petugas pemeriksa seperti jaket hangat, senter, masker, helm,
kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya;
4) Radio komunikasi HT (Handy Talky);
5) Peningkatan jumlah CCTV (Closed Circiut Televison) ke 10 sudut lainnya;
6) Speaker di seluruh wilayah pelabuhan;
7) Kendaraan penunjang roda empat; dan
8) Kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran.
Lubis, dkk (2010) menerangkan kategori Pelabuhan Perikanan Samudera
merupakan pelabuhan yang dapat diakses kapal perikanan yang melakukan
bongkar muat yaitu sekurang-kurangnya 60 GT (Gross Tonnage) dan mampu
menampung sekurang-kurangnya 100 kapal atau jumlah keseluruhan sekurang-
kurangnya 6000 GT kapal perikanan sekaligus. Terjadi fluktuasi jumlah kegiatan
kapal dari tahun 2006 2010 di PPS Nizam Zachman Jakarta. Berikut rekapitulasi
jumlah aktivitas kapal tersebut.
Tabel 7 Rekapitulasi data kegiatan kapal di PPS Nizam Zachman Jakarta
Jenis kapal Tahun Rerata
2006 2007 2008 2009 2010
Masuk 3793 3528 3272 3400 3478 3494
Tambat 3787 3528 2383 3318 3478 3299
Labuh 5 - - - - -
Dock 172 327 231 122 381 247
Floating repair 127 58 36 86 159 93
Bongkar ikan 2029 1644 1493 2704 2983 2171
Isi perbekalan 2581 2706 2200 2112 314 1983
Keluar 3046 2916 3239 3370 3383 3191
(Sumber: PPS Nizam Zachman, 2011)

PPS Nizam Zachman Jakarta merupakan salah satu pelabuhan perikanan


yang ditunjuk sebagai pilot project penerapan PSM Agreement. Hal ini
disampaikan pada tanggal 11 Agustus 2009 oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap yang menerbitkan keputusannya No. 18/DJ-PT/2009 tentang Penetapan
Pelabuhan Perikanan sebagai pilot project penerapan PSM Agreement. Adapun 4
(empat) pelabuhan perikanan lainnya yaitu Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
70

Bungus, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Pelabuhan Perikanan


Nusantara (PPN) Ambon, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
19
Palabuhanratu .
Aturan Indonesia secara langsung diberlakukan di PPS Nizam Zachman
Jakarta untuk mengatur kegiatan perikanan yang ada. PPS Nizam Zachman
Jakarta juga berupaya melawan praktik IUU fishing. Namun aturan yang berlaku
hingga saat ini (belum diratifikasinya PSM Agreement) hanya sebatas pengaturan
keluar dan masuknya kapal Indonesia atau kapal lokal. Aturan keluar dan
masuknya kapal Indonesia atau kapal lokal tersebut menjadi acuan untuk
penerapan PSM Agreement. Karena dari aturan tersebut dapat dilihat sebatas apa
pelaksanaan yang telah ada di PPS Nizam Zachman, untuk kemudian dilakukan
pengoreksian dan rekomendasi penerapan aturan jika nantinya telah diratifikasi
PSM Agreement. Adapun untuk setiap keberangkatan kapal dan kedatangan kapal
Indoensia telah diatur prosedurnya disesuaikan dengan aturan perikanan
Indonesia. Prosedur kapal keluar pelabuhan di PPS Nizam Zachman ditunjukkan
dalam Gambar 4. Pihak kapak (nahkoda, pemilik, agen kapal) yang akan keluar
dari PPS Nizam Zachman Jakarta harus menyampaikan rencana kapal keluar
kepada Kepala Pelabuhan dengan tembusan kepada Syahbandar PPS Nizam
Zachman. Kemudian Kepala Pelabuhan akan mengeluarkan persetujuan atau
tidaknya pada lembar rekomendasi. Jika permohonan rencana tersebut disetujui,
maka prosedur lanjutan yang harus dilakukan yaitu:
1) Menyelesaikan urusan tambat atau labuh, kegiatan dock, dan perbekalan di
Perum PPS Nizam Zachman Jakarta;
2) Menjalani pemeriksaan kesehatan ABK (Anak Buah Kapal) dan pemeriksaan
kesehatan kapal oleh pihak karantina atau pos kesehatan;
3) Menjalani pemeriksaan imigrasi yaitu tehadap dokumen ABK kapal (jika
terdapat orang asing); dan
4) Menyelesaikan urusan retribusi pelelangan dan pembinaan mutu kepada dinas
perikanan.

19
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Op Cit, hlm 1.
71

Setelah prosedur lanjutan tersebut dilakukan, maka kapal yang akan keluar
akan berurusan terlebih dahulu dengan pengawas perikanan dan syahbandar
perikanan. Pengawas perikanan akan melakukan pemeriksaan perijinan kapal,
alat penangkapan, jumlah hasil tangkapan dan jenis hasil tangkapan. Setelah
semua selesai maka akan dikeluarkan SLO (Surat Layak Operasi) oleh pengawas
perikanan. Syahbandar perikanan akan menindaklanjuti isi rekomendasi yang
dikeluarkan Kepala PPS Nizam Zachman (dengan tembusan kepada Syahbandar
PPS Nizam Zachman). Setelah itu, pihak Syahbandar pelabuhan akan melakukan
pemeriksaan antara lain yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinan;
2) pemeriksaan daftar ABK;
3) pemeriksaan nautis, teknis, dan admin;
4) pemeriksaan alat penangkap ikan bagi kapal penangkap ikan;
5) pemeriksaan kelengkapan standar kapal pengangkut ikan; dan
6) pemeriksaan pelunasan retribusi kapal.
Setelah semua pemeriksaan selesai, maka kesyahbandaran pelabuhan akan
menerbitkan surat ijin berlayar (SIB) untuk kapal yang akan keluar. Berikut
gambaran prosedur kapal keluar pelabuhan di PPS Nizam Zachman.
72

PROSEDUR KAPAL KELUAR PELABUHAN

Perum PPS
• Retribusi tambat labuh

Pos kesehatan
Nahkoda/pemilik/
pelabuhan
pengurus/agen
• Pemeriksaan
kapal
kesehatan ABK
• Lapor status kapal
• Pemeriksaan Pengawas perikanan
yang akan keluar
kesehatan di kapal • Memeriksa
ke instansi terkait
perijinan perikanan
• Menyelesaikan
Dinas perikanan • Memeriksa alat
seluurh kewajiban
• Retribusi penangkapan,
retribusi
jumlah dan jenis
hasil tangkapan
Imigrasi
• Menerbitkan Surat
• Pemeriksaan
Layak Operasi
dokumen ABK
(SLO)

Kesyahbandaran pelabuhan
• Memeriksa dokumen perijinan
• Memeriksa daftar ABK

Kapal keluar • Memeriksa nautis, teknis, dan admin


• Memeriksa alat penangkap ikan bagi kapal
penangkap ikan
• Memeriksa kelengkapan standar kapal pengangkut
ikan
• Memeriksa pelunasan retribusi kapal
• Menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB)

Gambar 1 Prosedur kapal keluar pelabuhan.


73

Kedatangan kapal Indonesia untuk masuk ke PPS Nizam Zachman Jakarta


diatur dengan prosedur yang hampir sama dengan prosedur kapal keluar, yaitu
melalui pemeriksaan beberapa pihak. Namun perbedaannya terdapat pada runtun
alur pemeriksaannya. Awal kedatangan kapal Indonesia akan dilakukan
pemeriksaan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan. Prosedur
masuknya kapal Indonesia ke PPS Nizam Zachman diterangkan dalam Gambar 5.
Syahbandaran perikanan akan memeriksa beberapa hal antara lain:
1) memeriksa dokumen dan daftar ABK;
2) memeriksa nautis, teknis, dan admin kapal;
3) memeriksa Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
terakhir;
4) memeriksa Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI);
5) memeriksa logbook;
6) penempatan sandar, labuh, tambat kapal;
7) mengisi form memorandum kedatangan;
8) menyimpan dokumen kapal; dan
9) penerbitan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK).
Sedangkan pengawas perikanan akan melakukan beberapa pemeriksaan
lainnya yaitu:
1) memeriksa SLO (Surat Layak Operasi) dan LBP (Logbook Perikanan);
2) memeriksa perijinan perikanan;
3) memeriksa alat tangkap, hasil tangkap, jumlah hasil tangkap, dan jenis hasil
tangkap; dan
4) memeriksa bila terdapat penyimpangan/pelanggaran dan membuat laporan
kejadian sampai proses penyidikan.
Jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran perikanan dalam
pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan,
maka akan dibuat laporan kejadian dan dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
lanjutan untuk mendukung pembuktian. Hal tersebut berpedoman dengan Surat
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.02/MEN/2002 tentang
Pedoman Pengawasan dan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor KEP.03/MEN/2002 tentang LBP (Logbook Perikanan). Setelah itu
74

penyidikan atau pemberkasan menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan


(SPDP) untuk ditindaklanjuti oleh kepolisian, TNI-AL (Tentara Negara Indonesia
- Angkatan Laut), dan kejaksaan. Kemudian hal tersebut akan diproses oleh
penuntut umum dan pengadilan negeri.
Namun jika tidak terdapat permasalahan dalam pemeriksaan yang
dilakukan oleh syahbandar perikanan dan pengawas pelabuhan maka pihak kapal
akan melanjutkan beberapa pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan tersebut antara
lain dilakukan oleh pihak bea cukai, pihak imigrasi, Dinas Perikanan, pihak
karantina kesehatan, dan pihak Perum PPS Nizam Zachman Jakarta. Pemeriksaan
yang dilakukan oleh pihak beacukai yaitu terkait muatan yang menyangkut
kepabeanan. Selanjutnya pihak imigrasi akan memeriksa kewarganegaraan orang
atau ABK (Anak Buah Kapal) yang ada di kapal. Sedangkan pihak Dinas
Perikanan akan melakukan pemeriksaan terhadap pelelangan dan pembinaan mutu
terhadap hasil tangkapan. Selain itu ada pula pemeriksaan yang dilakukan oleh
pos kesehatan pelabuhan yang memeriksa kesehatan ABK (Anak Buah Kapal)
dan kesehatan di kapal. Sedangkan Perum (Perusahaan umum) PPS akan
melakukan mengatur tamat labuh, perbekalan, docking. Berikut Gambar 5
diagram alir prosedur kapal Indonesia masuk pelabuhan.
75

PROSEDUR KAPAL INDONESIA MASUK PELABUHAN

Kesyahbandaran pelabuhan • Penuntut Umum • Kepolisian

Kapal masuk • Memeriksa dokumen dan daftar ABK • Pengadilan Negeri • Kejaksaan
• Memeriksa nautis, teknis, dan admin • TNI AL
• Memeriksa SIB terakhir
Penyidikan/pemberkasan
• Penempatan sandar, labuh, tambat
Menerbitkan Surat Perintah Dimulainya
• Mengisi form memorandum kedatangan
Penyidikan (SPDP)
• Menyimpan dokumen kapal
• Menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor
Bila ada penyimpangan/pelanggaran perikanan
Pemeriksaan di : Kedatangan Kapal (STBLKK)
• Membuat laporan kejadian
• Perum PPS
• Melakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk
• Pos kesehatan
Pengawas perikanan mendukung pembuktian.
pelabuhan
• Memeriksa SLO dan LBP Pedoman :
• Imigrasi
• Memeriksa perijinan perikanan SK.Menteri Kelautan dan Perikanan
• Dinas perikanan
• Memeriksa alat tangkap, hasil tangkapan, No: 2/MEN/2002 ttg pedoman pengawasan
• Bea cukai
jumlah dan jenis hasil tangkapan No: 3/MEN/2002 ttg LLO/LBP
• Memeriksa jika ada

Jika tidak bermasalah penyimpangan/pelanggaran membuat Jika bermasalah


laporan kejadian sampai proses penyidikan

Gambar 5 Prosedur kapal Indonesia masuk pelabuhan.


76

Jika dilihat dari diagram alir prosedur kapal masuk dan keluar PPS Nizam
Zachman Jakarta, aturan Indonesia masih belum sesuai dalam pelaksanaannya
dengan butir-butir dalam port state measures. Seperti halnya pemeriksaan
dokumen identitas kapal tidak secara mendetil dijelaskan berkemungkinan
dilakukan oleh syahbandar perikanan atau pengawas perikanan PPS Nizam
Zachman Jakarta. Sama halnya dengan pemeriksaan radio komunikasi, penanda
internasional atau vessel monitoring system. Pemeriksaan hasil tangkapan, alat
penangkapan telah dicantumkan walaupun belum mendetil. Alat bantu
penangkapan belum tertulis akan dilakukan pemeriksaannya. Kesesuaian antara
pemeriksaan dengan dokumen terlampir telah tertera dalam prosedur kapal masuk.
Namun belum dijelaskan adanya pembuatan hasil pemeriksaan yang
ditandatangani oleh pihak kapal dan pihak yang melakukan pemeriksaan, hanya
sebatas laporan pemeriksaan saja. Komparasi tiap butir yang diwajibkan kepada
negara pelabuhan dalam port state measures terhadap pelaksanaan yang ada di
PPS Nizam Zachman akan dimuat dalam Tabel 9 berikut. Penjabaran atas
komparasi tersebut akan dijelaskan pada Sub-sub Bab selanjutnya (Sub-subbab
4.2.1 sampai Sub-subbab 4.2.6)
77

Tabel 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta
No. Butir dalam Port State Syahbandar perikanan Pengawas Perikanan
Measure
Langkah yang dilakukan Stastus kegiatan Langkah yang dilakukan Stastus kegiatan

1. Kegiatan perikanan harus 1. Pengawasan dan kontrol Rutin melalui Operasi Laut dan Pengawasan Apabila ada laporan dari
menjamin perlindungan melalui pelayanan umum pelayanan kapal masuk Sumberdaya Kelautan masyarakat atau
jangka panjang dan dan kapal kelur POKMASWAS
keberlangsungan pelabuhan (Kelompok Masyarakat
pemanfaatan sumberdaya Pengawas)
ikan (kegiatan pengelolaan Patroli laut gabungan (Syahbandar perikanan, Terjadwal (telah lama tidak dilakukan)
dan konservasi) pengawas perikanan, dan polisi air)
2. Melakukan pemeriksaan:
a. Dokumen perijinanan/ 1. Pemeriksaan SIUP, Rutin saat masuk dan
otoritas penangkapan SIPI atau SIKPI keluar kapal

b. Dokumen identitas 2. Pemeriksaan dokumen Rutin saat masuk dan


kapal (negara bendera, kapal keluar kapal
jenis kapal dan
penanda kapal meliputi Dilakukan saat pengisian Rutin dilakukan setiap
nama, nomor registrasi form Hasil Pemeriksaan kapal perikanan akan
eksternal, nomor Kapal (HPK) kapal akan berangkat ke laut dan
identifikasi IMO) berangkat melaut dan yang yang akan bongkar hasil
akan bongkar hasil tangkapan tangkapan
c. Radio komunikasi 3. Pemeriksaan VMS kapal Rutin saat masuk dan
penanda internasional, dan radio komunikasi keluar kapal
dan penanda lain serta penanda
data VMS dari negara
bendera atau RFMO
d. Dokumen logbook 4. Pemeriksaan logbook Rutin saat masuk dan
perikanan perikanan keluar kapal
78

Tabel 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta (lanjutan 1)
No. Butir dalam Port State Syahbandar perikanan Pengawas Perikanan
Measure
Langkah yang dilakukan Stastus kegiatan Langkah yang dilakukan Stastus kegiatan

e. Dokumen hasil 5. Memeriksa hasil Rutin saat masuk dan


tangkapan, tangkapan, jumlah, keluar kapal
transshipment, jenis, sertifikat hasil Dilakukan saat pengisian
Rutin dilakukan setiap
perdagangan tangkapan, surat form Hasil Pemeriksaan
kapal perikanan akan
keterangan satu badan Kapal (HPK) kapal akan
berangkat ke laut dan
usaha (untuk berangkat melaut dan yang
yang akan bongkar hasil
transshipment ). akan bongkar hasil tangkapan
tangkapan.
f. Dokumen daftar awak 6. Memeriksa daftar Anak Rutin saat masuk dan
kapal Buah Kapal (ABK) keluar kapal
3. Pemeriksaan seluruh Pemeriksaan saat Tidak rutin dilakukan Dilakukan saat pengisian Rutin dilakukan setiap
bagian kapal (meliputi kedatangan kapal dan karena mengacu pada form Hasil Pemeriksaan kapal perikanan akan
palkah, semua ruangan di keberangkatan kapal rujukan SLO (Surat Kapal (HPK) kapal akan berangkat ke laut dan
atas kapal, dan dimensi Laik Operasi) yang berangkat melaut yang akan bongkar hasil
kapal) serta alat dikeluarkan pegawas tangkapan
penangkapan ikan perikanan
dan/atau alat bantu
penangkapan ikan
4. Setiap pemeriksaan fisik Pemeriksaan saat Rutin saat masuk dan Dilakukan saat pengisian Rutin dilakukan setiap
akan disesuaikan dengan kedatangan kapal dan keluar kapal form Hasil Pemeriksaan kapal perikanan akan
keterangan yang terdapat keberangkatan kapal Kapal (HPK) kapal akan berangkat ke laut dan
dalam dokumen dan hasil berangkat melaut yang akan bongkar hasil
wawancara dengan kapten tangkapan
atau pihak kapal
79

Tabel 8 Pelaksanaan butir port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta (lanjutan 2)
No. Butir dalam Port State Syahbandar perikanan Pengawas Perikanan
Measure
Langkah yang dilakukan Stastus kegiatan Langkah yang dilakukan Stastus kegiatan

5. Membuat laporan hasil Terdapat dalam form Rutin saat kapal akan Dilakukan saat pengisian Rutin dilakukan setiap
pemeriksaan yang HPK, daftar keluar dan masuk form Hasil Pemeriksaan kapal perikanan akan
kemudian ditandatangani pemeriksaan (check list) pelabuhan Kapal (HPK) kapal akan berangkat ke laut dan
oleh pengawas dan kapten dalam rangka penerbitan berangkat melaut dan yang yang akan bongkar hasil
kapal SIB kapal perikanan, akan bongkar hasil tangkapan tangkapan
dan daftar Anak Buah
Kapal (ABK).
6. Melakukan pelatihan 1. Pelatihan ke BPPI Terjadwal dan tidak Terjadwal dan tidak menentu Rutin dan wajib
untuk pengawas atau (Balai Besar menentu dilakukan setiap tahun
petugas inspeksi Pengembangan bagi pengawas
Penangkapan Ikan) perikanan yang baru
Semarang
2. Kunjungan (skala hari)
dan diklat (1,5-2 bulan)
ke instansi perikanan
7. Jika memungkinkan, - - - -
menggunakan sistem
informasi dengan kode
internasional (meliputi
kode negara, kapal, alat
tangkap, jenis hasil
tangkapan)
80

4.2.1 Kegiatan pengelolaan dan konservasi perikanan

Kegiatan pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan dilakukan


oleh syahbandar perikanan dan pengawas perikanan. Contoh nyatanya yaitu
diadakan kegiatan patroli laut gabungan antara syahbandar perikanan, pengawas
perikanan, dan polisi air. Namun sangat disayangkan bahwa kegitan ini pernah
dilakukan beberapa tahun lalu dan sekarang sudah tidak terlaksana lagi. Kegiatan
pengelolaan dan konservasi yang dilakukan oleh pengawas perikanan yaitu
melalui operasi laut dan pengawasan sumberdaya kelautan yang meliputi
pengawasan pencemaran, perusakan terumbu karang, dan pencurian pasir laut.
Namun hal yang disayangkan dari kegiatan ini yaitu terlaksana hanya ketika
adanya laporan dari masyarakat atau dari kelompok POKMASWAS (Kelompok
Masyarakat Pengawas).
Kegiatan pengelolaan dan konservasi juga dapat tercermin dari
pelaksanaan kontrol pengawasan yang dilakukan syahbandar perikanan melalui
pelayanan umum bagi kapal. Pelayanan ini dianggap mampu memantau kegiatan
kapal masuk dan keluar pelabuhan yang merupakan. Rekomendasi dari kepala
pelabuhan ataupun syahbandar perikanan sebagai tindak lanjut pengajuan rencana
kapal dari nahkoda atau pihak kapal merupakan suatu kotrol diperbolehkan atau
tidaknya kegiatan penangkapan di suatu perairan. Hal ini akan disetujui jika
diketahui bahwa sumberdaya ikan di perairan tersebut memang masih
berkemungkinan untuk dilakukannya penangkapan. Selain itu, melalui pelaporan
atau pemeriksaan logbook perikanan, akan diperoleh data jumlah hasil tangkapan.
Data tersebut akan diperhitungkan untuk menggambarkan potensi sumberdaya
ikan suatu perairan untuk kemudian akan menjadi pertimbangan rekomendasi
persetujuan rencana melaut. Ironisnya terkadang masih terdapat tindakan
unreported fishing, yaitu bahwa jumlah hasil tangkapan yang dilaporkan tidak
sesuai dengan jumlah hasil tangkapan nyatanya (palkah kapal atau pendaratan).
Pelaporan jumlah hasil tangkapan suatu armada ternyata memiliki pengaruh
terhadap besar kecilnya biaya PHP (Pungutan Hasil Perikanan) untuk pengurusan
SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan). Semakin besar jumlah hasil tangkapan suatu
armada dalam satu tahunnya maka semakin besar pula nilai PHP yang harus
dibayar kepada pemerintah. Hal inilah yang secara tidak langsung
81

melatarbelakangi ketidaksesuaian atau diperkecilnya pelaporan jumlah hasil


tangkapan. Jika dilihat dari segi konservasi, hal ini dapat merusak
keberlangsungan atau kelestarian sumberdaya ikan. Tindakan unreported fishing
terjadi karena kurangnya kesadaran diri nelayan dan kurangnya tindakan tegas
dari inspector (pihak yang melakukan inspeksi atau pemeriksaan). Nelayan masih
belum sadar bahwa tindakan unreported fishing akan merugikan usaha
penangkapan mereka dikemudian hari. Perkiraan potensi sumberdaya ikan di
suatu perairan yang dikeluarkan oleh instansi perikanan akan salah, sehingga
nelayan pun akan memperoleh informasi yang salah untuk kegiatan
penangkapannya. Kegiatan penangkapan ke suatu perairan yang diperkirakan
masih potensial ternyata tidak sesuai dengan hasil tangkapan yang diperoleh
(semakin berkurang) nantinya.
Hal tersebut tidak akan terjadi seandainya data jumlah hasil tangkapan
dilaporkan sesuai dengan yang didaratkan. Pelaporan yang benar akan
memberikan perkiraan potensi perairan yang benar pula. Ketika suatu perairan
memang mengalami penurunan potensi, maka akan dilakukan penutupan area
penangkapan dan dilakukannya restocking perairan. Hal inilah yang diharapakan
mampu menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan. Pihak yang melakukan
pemeriksaan-pun (inspector) harusnya mampu menindaktegas terjadinya
pelanggaran seperti unreported fishing. Itulah mengapa perlunya tindakan
pengelolaan dan konservasi yang didukung oleh semua pihak melalui kesadaran
diri, pengawas rutin, pemeriksaan, dan penindakan tegas suatu aturan.
Indonesia belum secara detail mengulas makna IUU fishing. Sehingga
masih sulitnya pihak-pihak yang bermain dalam dunia perikanan Indonesia ini
menyamakan pemahaman tersebut. Pengertian praktik IUU fishing hingga
sekarang masih mengadopsi dari definisi menurut FAO. Indonesia harusnya perlu
menyeimbangkan antara kultur masyarakat nelayan Indonesia, yang umumnya
kurang akan pendidikan namun harus dihadapkan dengan regulasi dan aturan
tertentu.
Butir pertama yang termasuk sebagai kewajiban negara pelabuhan yang
disebutkan dalam dokumen PSM Agreement, yaitu kegiatan perikanan harus
menjamin perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan
82

sumberdaya ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi). PPS Nizam Zachman


telah melakukan kewajiban tersebut dalam pemberian rekomendasi ijin
penangkapan atau penangkutan ikan dan dalam pelayanan umum terhadap
administrasi kapal serta melalui patroli gabungan. Namun hal yang perlu
diperbaiki adalah pemahaman dilarangnya praktik IUU fishing, pengawasan yang
lebih siaga dan rutin, ketegasan pihak pengawas atau pemeriksa, sinergisitas
pengelolaan perikanan dengan pihak terkait lainnya (seperti syahbandar
perikanan, pengawas perikanan, TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan
Laut), polisi air dan lain-lainnya.

4.2.2 Pemeriksaan oleh negara pelabuhan

Pemeriksaan terkait dokumen perijinan atau otoritas penangkapan;


dokumen identitas kapal; radio komunikasi penanda internasional dan penanda
lain, serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau RFMO
(Regional Fisheries Management Organization); logbook perikanan; hasil
tangkapan, transshipment; dan perdagangan; dan pemeriksaan daftar awak kapal,
telah dijalankan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Aliran pemeriksaan tersebut
tergambar dalam Gambar 4 dan Gambar 5. Kesemuaan pemeriksaan yang
direkomendasikan dalam PSM Agreement, secara umum sesuai dengan
pemeriksaan yang dilakukan pihak syahbandar perikanan dibantu oleh bagian data
dan informasi dari bidang tata operasional UPT (Unit Pelaksana Teknis) PPS
Nizam Zachman Jakarta terhadap kapal Indonesia yang masuk dan keluar
pelabuhan. Selain itu, pemeriksaan ini dilakukan pula oleh pengawas perikanan
pada pengisian form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK) saat keberangkatan melaut
dan bongkar hasil tangkapan.
Setiap unit kapal yang melapor telah dilengkapi dengan berbagai berkas
atau dokumen. Hasil yang diperoleh bahwa dokumen tersebut antara lain SIUP
(Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), catch sertificate, SIB
(Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar), logbook perikanan
Indonesia (berbeda untuk tiap alat tangkap), surat pernyataan nahkoda tentang
pemberangkatan kapal perikanan, dafar periksa (check list) dalam rangka
83

penerbitan SIB kapal perikanan, daftar Anak Buah Kapal (ABK), STBLKK (Surat
Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar), surat pernyataan nahkoda (untuk kapal
pengangkut ikan), dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list,
surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal yang diterbiitkan oleh
Dinas Perhubungan).
Terkait dengan surat atau dokumen yang dikeluarkan tersebut, dilakukan
oleh beberapa pihak atau instansi perikanan. SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan),
SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan)
dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP
RI) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. SLO (Surat Laik Operasi)
dikeluarkan oleh pengawas perikanan di pelabuhan setempat setelah dilakukannya
pemeriksaan fisik kapal. Setelah SLO (Surat Laik Operasi) diperoleh nahkoda
atau pihak kapal mengajukan rencana berangkat yang dituangkan dalam surat
pernyataan nahkoda tentang pemberangkatan kapal perikanan ke kepala
pelabuhan dengan tembusan ke syahbandar perikanan. SIB (Surat Ijin Berlayar)
atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar) dikeluarkan setelah diperiksanya
kepemilikan SLO (Surat Laik Operasi) dan memastikan kapal perikanan tersebut
layak tangkap dan layak simpan. SIB (Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat
Persetujuan Berlayar) dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan kapal yang
dituangkan kedalam daftar pemeriksaan (check list) dalam rangka penerbitan SIB
kapal perikanan yang ditandatangani oleh nahkoda atau pihak kapal dan pengawas
yang melakukan pemeriksaan. STBLKK (Surat Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar)
dikeluarkan oleh Kepala Pelabuhan untuk menyetujui rencana pemberangkatan
tersebut. Kemudian dilakukan pemeriksaan ABK yang tercantum dalam daftar
ABK yang memuat jabatan, ijazah, dan keterangan kebangsaan. Daftar ABK
diketahui oleh pihak syahbandar perikanan, pihak kesehatan pelabuhan, dan
nahkoda atau pihak kapal. Dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti
packing list, surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal
(diterbiitkan oleh Dinas Perhubungan) terlampir sebagai dokumen yang telah
diurus sebelumnya. Logbook perikanan diberikan dalam keadaan belum diisi
(kosong) kepada kapal yang akan keluar. Logbook perikanan akan diperiksa ketika
kapal akan masuk ke pelabuhan.
84

PPS Nizam Zachman merupakan pelabuhan yang di dalamnya terdapat


armada yang melakukan ekspor hasil tangkapan ke luar negeri terutama Uni
Eropa. PPS Nizam Zachman berkoordinasi dengan beberapa Regional Fisheries
Management Organisation (RFMO) seperti Indian Ocean Tuna Commission
(IOTC) dan Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC),
International Commission for the Conservation Atlantic Tunas (ICCAT), dan Inter
American Tropical Tuna Commission (IATTC). RFMO terkait akan
mengeluarkan daftar kapal yang terlibat IUU fishing (IUU vessel list). Kapal yang
terdaftar dalam IUU vessel list akan ditolak masuk, mendaratkan, dan
memperdagangkan hasil tangkapannya ke pelabuhan negara anggota. Adapaun
IUU vessel list yang dikeluarkan oleh IOTC dan WCPFC tahun 2011 yaitu pada
Tabel 10 dan Tabel 11. Setiap RFMO tersebut memiliki kesepakatan yang harus
diberlakukan oleh setiap negara anggota. Pada umumnya setiap hasil tangkapan
wajib dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan (SHT) ataupun melalui
tagging (penandaan) tertentu. Hasil tangkapan yang tidak memenuhi hal tersebut
akan ditolak dalam perdagangan antar wilayah negara anggota.
85

Tabel 9 IOTC IUU vessel list Maret 2011


Current name of Current flag Date first Lioyds/ Photo Call sign Owner/ beneficial Operator Summary of IUU
vessel (previous (previous included on IMO (previous owners (previous (previous activities
names) flags) IOTC IUU number call signs) operators) operators)
Vessel Lists
Ocean Lion Unknown June 2005 7826233 Contravention of
(Equatorial IOTC Resolution
Guinea) 02/04, 02/05,
03/05
Yu Maan Won Unknown May 2007
(Georgia)
Gunuar Melyan 21 Unknown June 2008
Hoom Xiang Unknown March 2010 Yes Refer to Hoom Xiang Contravention of
(Malaysia) Report IOTC-S14- Industries Sdn. Bhd IOTC Resolution
CoC13-add[E] 09/03
Sumber: http://iotc.org/files/iuu/IOTC_iuu_list[E].pdf
86

Tabel 10 WCPFC IUU vessel list tahun 2011


Current name of Current Date first Flag State Call Sign Owner/ beneficial Notifying CCM/ Alleged IUU activities
vessel (previous flag included on draft Registration (previous owners (previous Contact Detail
names) (previous WCPFC IUU Number/ IMO call signs) owners)
flags Vessel List Number
Neptune Georgia 2 July 201 C-00545 4LOG Space Energy France for French Fishing on the high seas of the WCPFC
Enterprises Co.Ltd Polynesia Convention Area without being on the
WCPFC Record of Fishing Vessels
(CMM 2007-03-para 3a)
Fu Lien No 1 Georgia 2 July 2010 IMO No 4LIN2 Fu Lien Fishery USA Is without nationality and harvested
7355662 Co.Georgia species covered by the WCPFC
Convention Area (cmm 2007 03, para
3h)
Jinn Feng Tsair Chinese 7 Des 2007 CT4-2444 BJ4444 Hung Ching Chin Federated States of Fishing in the Exclusive Economic Zone
No 1 Taipei Pingtung, Chinese Micronesia Email: of the Federated States of Micronesia
Taipei norma@mail.fm without permission and in contravention
of Federated States of Micronesia’s laws
and regulations (CMM 2007-03, para 3b)
Senta Panama 4 Jun 2008 IMO HOFG Chin Fu Fishery, France (Frenc Transhipping on the high seas of the
(Japan) No.8221947 Chinese Taipei (as Polynesia) Email WCPFC Conventioan Area without
Senta) being on the WCPFC Record of Fishing
Note : now Now: Shine Year affmar@mail.pf Vessels (CMM 2007-03-para 3 a)
renamed Sun Fu Fishery
Fa (Shin Takara (Nisshin Kisen
Maru) Co.Ltd, Japan)
Yu Fong 168 Chinese 1 Jul 2009 BJ4786 Chang Lin Pao- Marshall Islands Fishing in Exclusive Economic Zone of
Taipei Chun 161 Sanmin Email: the Republic of the Marshall Islands
Rd., Liouciuo mimra@ntamar.net without permission and in contravention
Township, of Republic of the Marshall Islands’s
Pingtung Country laws and regulations. (CMM 2007-03,
929, Chinese para 3b)
Taipei
Sumber: http://wcpfc.int/doc/wcpfc-iuu-vessel-list-2011
87

Kendala yang terjadi, bahwa pada semua prosedur ini masih kurangnya
sumberdaya manusia atau petugas pemeriksaan dalam bentuk kuantitas dan
kualitas. Sumberdaya manusia di syahbandar PPS Nizam Zachman yang ada
masih belum mencukupi pembagian waktu untuk pemeriksaan kapal masuk dan
keluar. Petugas yang ada diperkerjakan menjadi 3 (tiga) shift waktu. Setiap shift-
nya dilakukan oleh 3 (tiga) orang petugas. Satu dari tiga petugas tersebut adalah
bersifat tetap, yaitu Kepala Syahbandar PPS Nizam Zachman Jakarta. Hal inilah
yang dianggap kurang mendukung pelaksanaan tugas oleh pihak syahbandar
perikanan. Perlu peningkatan hingga 3 (tiga) kali lipat jumlah petugas dari jumlah
yang ada, dengan begitu pembagian waktu dianggap cukup memungkinkan.
Selain itu, masih kurangnya pemahaman tugas dan fungsi oleh petugas
pemeriksaan. Hal ini dikarenakan tidak semuanya petugas yang ada memiliki
basic perikanan. Perhatian untuk peningkatan kuantitas dan kuliatas sumberdaya
dari pelaku perikanan di pelabuhan khususnya petugas pemeriksa kapal perlu
ditopang. Kualifikasi untuk penerimaan petugas inspeksi untuk ke depannya,
ditekankan memiliki basic perikanan atau dapat pula diberikan pembekalan terkait
perikanan untuk menunjang pemahaman tugas dan fungsi kerja. Tiap tahap
prosedur pemeriksaan yang ada dalam aturan sebenarnya sudah sangat menunjang
puntuk melawan dan mengantisipasi praktik IUU fishing. Penerapan atas aturan
tersebutlah yang harus dipertegas.
Butir pemeriksaan yang harus dilakukan oleh negara pelabuhan menurut
PSM Agreement telah terealisasi dalam berkas yang dilaporkan setiap unit kapal
ketika kedatangan dan keberangkatannya. Dokumen tersebut antara lain SIUP
(Surat Ijin Usaha Perikanan), SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan) atau SIPI
(Surat Ijin Penangkapan Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), catch sertificate, SIB
(Surat Ijin Berlayar) atau SPB (Surat Persetujuan Berlayar), logbook perikanan
Indonesia (berbeda untuk tiap alat tangkap), surat pernyataan nahkoda tentang
pemberangkatan kapal perikanan, dafar periksa (check list) dalam rangka
penerbitan SIB kapal perikanan, daftar Anak Buah Kapal (ABK), STBLKK (Surat
Tanda Bukti Lapor Kapal Keluar), surat pernyataan nahkoda (untuk kapal
pengangkut ikan), dokumen hasil tangkapan untuk ekspor (seperti packing list,
surat pengesahan dokumen RFMO, dan pas tahunan kapal yang diterbiitkan oleh
88

Dinas Perhubungan). Hal yang perlu diperhatikan yaitu kurangnya kuantitas dan
kualitas sumberdaya manusia yang bertugas dalam hal pemeriksaan atau inspeksi
ini.

4.2.3 Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat


bantu penangkapan ikan

Pemeriksaan bagian kapal, alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu


penangkapan ikan memang telah sesuai dengan pelaksanaan di PPS Nizam
Zachman, namun belum dijalankan sepenuhnya. Pemeriksaan terhadap seluruh
bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas kapal, dan dimensi kapal),
alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan dilakukan oleh
pengawas perikanan. Pemeriksaan tersebut dilakukan ketika pengisian form Hasil
Pemeriksaan Kapal (HPK) saat keberangkatan melaut dan bongkar hasil
tangkapan kapal. Sedangkan pihak syahbandar perikanan melakukan
pemeriksaan hanya pada alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan
ikan. Syahbandar perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta melakukan
pemeriksaan tersebut jika kapal perikanan telah memiliki SLO (Surak Laik
Operasi) yang dikeluarkan pengawas perikanan. SLO tersebut dikeluarkan
pengawas perikanan setelah dilakukannya pemeriksaan kapal. Hal inilah yang
dianggap syahbandar perikanan, bahwa pemeriksaan bagian kapal tidak wajib
dilakukan.
Tidak menutup kemungkinan pula bahwa pemeriksaan seluruh bagian
kapal umumnya dilakukan hanya pada saat nahkoda atau pihak kapal mengurus
penerbitan atau perpanjangan SIPI atau SIKPI. Selain itu, untuk penentuan GT
(Gross Tonage) dan pengukuran dimensi kapal (untuk kapal baru, yang ingin
membuat dokumen kapal), masih dilakukan oleh Syahbandar Hubungan Laut
(dokumen tersebut disebut PAS tahunan) sebagai keterangan bahwa kapal tersebut
layak laut. Syahbandar perikanan PPS Nizam Zachman Jakarta masih belum
mampu menentuan GT kapal. Hal ini dikarenakan masih kurangnya sumberdaya
manusia yang ahli terutama dalam dalam melakukan pengukuran dimensi kapal.
Data pengukuran dimensi itulah yang nantinya digunakan dalam penentuan GT
kapal.
89

Pemeriksaan alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan meliputi


pemeriksaan jenis, dimensi, ukuran, spesifikasi (seperti mata jaring), dan
kesesuaian dengan daerah penangkapan. Pemeriksaan kapal dan bagiannya
meliputi nama kapal, nomor gross akte, berat kapal (berat bersih dan berat kotor),
kekuatan mesin, nomor seri mesin, dan bahan kapal. Hal tersebut kemudian
dimuat dalam Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Ijin Kapal
Pengangkut Ikan (SIKPI). Sedangkan hasil pemeriksaan tambahan seperti
tempertaur ruang penyimpan ikan ruang penyimpanan ikan (jumlah dan kapasitas)
akan dimuat dalam Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).
Pemeriksaan yang dimaksudkan dalam dokumen PSM Agreement adalah
pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruang di atas kapal,
dan dimensi kapal), alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan.
PPS Nizam Zachman Jakarta telah mengupayakan dilakukannya pemeriksaan ini.
Namun hal yang masih dianggap kurang dalam pelaksanaannya adalah ketegasan
petugas pengawas atau pemeriksa untuk bertanggung jawab menyeluruh atas
perihal yang ditugaskan. Kurangnya pemahaman tentang objek pemeriksaan
menghambat keefektifan inspeksi. Hal klasik lainnya yaitu kurangnya kualitas
dan kuantitas petugas inspeksi.

4.2.4 Kesesuaian pemeriksaan dengan keterangan dokumen dan hasil


wawancara

Pemeriksaan fisik yang dilakukan akan disesuaikan dengan keterangan


yang dimuat dalam dokumennya. Syahbandar perikanan dan pengawas perikanan
akan memperhatikan dengan seksama keseuaian pemeriksaan yang dilakukan
secara langsung dengan keterangan pada dokumen dan hasil wawancara yang
dilakukan pada nahkoda atau pihak kapal. Namun tidak menutup kemungkinan
tidak terjadinya koreksi kesesuaian yang mendetail, karena anggapan bahwa
pemeriksaan sebelumnya terhadap hal yang sama pernah dilakukan. Sama halnya
seperti pemeriksaan kapal dijelaskan pada subsub bab sebelumnya, bahwa SLO
(Surat Laik Operasi) dikeluarkan pengawas perikanan setelah dilakukannya
pemeriksaan kapal sehingga syahbandar perikanan hanya memeriksa keberadaan
SLO dan melanjutkan pemeriksaan lainnya. Hal tersebut dirasa masih kurang
efektif, dikarenakan tidak ter-monitor-nya kekurangan atau perubahan terkait
90

semua yang berhubungan dengan kegitan usaha penangkapan dan pengangkutan


ikan. Hal tersebut berkemungkinan kecil terjadi jika pemeriksaan dikoordinasikan
untuk tiap tahap dan tiap pihak yang seharusnya.
Setiap pemeriksaan harus disesuaikan dengan keterangan yang terdapat
dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak kapal. PPS
Nizam Zachman Jakarta telah mengatur hal tersebut. Namun hambatan yang
masih dirasakan yaitu keterbatasan pendidikan dan pengetahuan nahkoda dan
pemilik kapal serta pemahaman tugas dan wewenang petugas pemeriksa atau
pengawas.

4.2.5 Pembuatan laporan hasil pemeriksaan

Laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak syahbandar


perikanan dimuat dalam dokumen daftar periksa (check list) dalam rangka
penerbitan SIB (Surat Ijin Berlayar) kapal perikanan. Dokumen tersebut
diabsahkan dengan tanda tangan dari nahkoda kapal dan petugas pemeriksa dari
syahbandar perikanan. Selain itu, pemeriksaan ABK (Anak Buah Kapal), yang
dimuat dalam dokumen daftar ABK juga ditandatangani oleh nahkoda kapal dan
syahbandar perikanan serta pihak dari kesehatan pelabuhan. Pengawas perikanan
juga mengeluarkan form Hasil Pemerikasaan Kapal (HPK) sebagai berita acara
pemeriksaan. Form HPK ditandatangani oleh pengawas perikanan yang
bersangkutan dan nahkoda, pemilik, operator kapal dan/atau penanggung jawab
perusahaan perikanan. Namun terkadang untuk pengurusan dokumen hasil
pemeriksaan dan dokumen lainnya, seringkali bukan nahkoda ataupun pemilik
kapal yang mengurus semua perijinan dokumen tersebut. Terdapat pihak yang
mengurusnya yaitu agen. Satu agen dapat mengurus dokumen dari puluhan
sampai ratusan kapal. Hal ini yang sebenarnya belum diatur oleh peraturan
perikanan Indonesia, apakah boleh diberikan kuasa pada pihak lain seperti ini.
Namun tidak pula terdapat aturan yang menyalahkannya. Kasus semacam itu
bukan hal yang tabu bagi pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta.
Hal tersebut pulalah yang kadang menjadi hambatan, ketika nahkoda atau
pemilik kapal tidak mampu memberikan kejelasan dokumen ataupun keterangan
spesifik kapal atau lain hal terkaitnya. Karena dalam pengurusan regulasinya,
91

nahkoda atau pemilik kapal terkadang tidak mengetahui apa-apa. Nahkoda hanya
diinstruksikan untuk wajib membawa satu map atau berkas yang berisikan
dokumen terkait kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan.
Keterbatasan pendidikan dan pengetahuan nahkoda dan pemilik kapal terkadang
menjadi hambatan pelaksanaan aturan hukum Indonesia. Panjang dan sulitnya
birokrasi yang ada di Indonesia (khususnya perikanan) termaksud hal yang
dieluhkan oleh nelayan atau pemilik kapal.
Pembuatan laporan hasil atas pemeriksaan harus diketahui atau
ditandatangani oleh pihak yang melakukan pemeriksaan dan kapten kapal atau
pihak kapal. Contohnya melalui form HPK, daftar pemeriksaan (check list) dalam
rangka penerbitan SIB kapal perikanan, dan daftar ABK. Hal ini menjadi
kewajiban yang harus dijalankan negara pelabuhan. PPS Nizam Zachman Jakarta
telah mengatur hal tersebut, namun diharapkan hal ini dicantumkan secara jelas
dalam bagan alir prosedur pemeriksaan kedatangan dan keberangkatan kapal.
Hambatan pelaksanaan aturan ini yaitu ketegasan birokrasi hukum dan
keterbatasan pendidikan atau pengetahuan pihak kapal.

4.2.6 Pelatihan untuk pengawas atau petugas pemeriksa

Pelatihan terkait tugas pemeriksaan yang dilakukan oleh syahbandar


perikanan dilakukan secara terjadwal. Pelatihan ini umumnya dilakukan melalui
kunjungan (dalam kurun beberapa hari) dan diklat (dalam kurun waktu 1,5-2
bulan) yang menerangkan tugas syahbandar perikanan. Selain itu, diadakan pula
pelatihan di Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang
terkait dengan pengenalan kapal dan operasionalnya. Namun pelatihan yang
diselenggarakan umunya hanya melibatkan syahbandar perikanan, tidak
melibatkan staff syahbandar perikanan untuk keahlian pemeriksaan kapal
perikanan. Pelatihan pengawas PSM Agreement pernah diadakan dalam rangka
kerjasama internasional di Malaysia. Pihak Syabandar PPS Nizam Zachman
Jakarta ikut berpartisipasi dalam pelatihan pengawas PSM Agreement yang
dilakukan di Malaysia pada awal tahun 2011. Pelatihan untuk pengawas
perikanan dilakukan rutin dan wajib setiap tahunnya bagi pengawas perikanan
yang baru. Pelatihan ini disebut sebagai pembekalan teknis pengawas perikanan.
92

Pelatihan untuk petugas inspeksi atau pemeriksa PPS Nizam Zachman


Jakarta perlu diberikan secara menyeluruh kepada petugas pelaksana inspeksi atau
pengawas. Hal ini harus lebih diperhatikan lagi mengingat persiapan aplikasi
PSM Agrrement yang bertaraf internasional. Hal yang perlu diperhatikan
(terutama setelah berpartisipasinya Indonesia dalam pelatihan pengawas PSM
Agreement di Malaysia) diperlukannya pemeriksaan dan pengawasan yang
bersifat lebih dinamis. Selain itu, perlunya kemampuan bahasa asing (minimal
Bahasa Inggris) dan pengetahuan dunia perikanan yang sesuai dengan
pemahaman internasional bagi seluruh pelaku perikanan di PPS Nizam Zachman
Jakarta (perlu sosialisasi menyeluruh).
4.2.7 Penggunaan sistem informasi kode internasional
Indonesia belum mengatur regulasi hukum untuk penggunaan sistem
informasi dengan kode internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap,
dan jenis hasil tangkapan). Oleh karena itu, PPS Nizam Zachman belum
melaksanakan sistem informasi kode internasional tersebut. Selain itu, PPS
Nizam Zachman Jakarta belum memiliki sumberdaya manusia yang kompeten
dan belum ditunjangnya sarana dan prasarana terkait sistem informasi kode
internasional tersebut.
5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari segi hukum dan peraturan yang ada, Indonesia telah memiliki tingkat
kesiapan yang tinggi untuk mengadopsi dokumen perjanjian Port State Measures
(PSM). Hal ini terbukti dengan adanya hukum dan peraturan yang mengatur 6
(enam) dari 7 (tujuh) butir kewajiban negara pelabuhan sebagaimana dituntut oleh
dokumen Port State Measures. Adapun ketujuh butir tersebut yaitu (enam butir
pertama adalah yang telah diatur di Indonesia),
1 Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin
perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2 Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan
penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda lainnya
serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera atau
RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan;
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3 Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4 Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5 Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6 Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
94

7 Jika memungkinkan, menggunakan sistem informasi dengan kode


internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan).
Adapun butir kewajiban yang belum tersusun adalah penggunaan sistem informasi
kode internasional. Namun demikian terdapat secara umum hukum dan peraturan
yang ada masih memerlukan adanya rincian lebih mendalam dan perluasan
cakupan untuk dapat diterapkan pada kapal-kapal ikan asing.
Tingkat kesiapan PPS Nizam Zachman Jakarta untuk menerapkan port
state measures adalah sebagai berikut:
1. Secara tertulis, hukum Indonesia yang memuat 6 (enam) dari 7 (tujuh) butir
kewajiban negara pelabuhan menurut dokumen port state measures, telah
diterapkan di PPS Nizam Zachman Jakarta. Namun masih terdapat
kekurangan di beberapa aspek;
2. Hal yang masih dianggap kurang untuk pelaksanaan port state measures
nantinya di PPS Nizam Zachman Jakarta:
1) Sosialisasi pemahaman IUU fishing kepada seluruh pelaku perikanan di
PPS Nizam Zachman Jakarta;
2) Sumberdaya manusia di PPS Nizam Zachman Jakarta (terutama di
syahbandar perikanan) masih kurang dalam segi kuantitas dan kualitas.
Kuantitas yang ada belum mampu menunjang pembagian jam kerja dalam
pengawasan. Sedangkan kualitas yang ada masih kurang dalam aspek
pemahaman terhadap objek pemeriksaan, penindaktegasan penerapan
hukum, dan perbaikan sistem pembagian kerja pemeriksaan kapal serta
kemampuan berbahasa asing (minimal Bahasa Inggris).
3) Pengawasan dan pemeriksaan (inspeksi) yang masih kurang siaga 24 jam
dan dinamis (mobilisasi pengawasan);
4) Sarana dan prasarana yang belum mampu menunjang pelaksanaan tugas
inspeksi atau pemeriksaan seperti, sarana komunikasi radio, faksimile,
perlengkapan petugas pemeriksa (seperti jaket hangat, senter, masker,
helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya), radio
komunikasi HT (Handy Talky), CCTV (Closed Circiut Televison),
95

speaker, kendaraan penunjang roda empat, dan kapal tug boat atau fire
boat yang membantu jika terjadi kebakaran.
5) PPS Nizam Zachman belum menggunakan sistem informasi kode
internasional. Hal ini dikarenakan hukum Indonesia belum mengatur
penggunaan sistem informasi kode internasional di pelabuhan perikanan
Indonesia. Selain itu, Indonesia belum memiliki sarana dan prasarana,
serta sumberdaya manusia yang mampu menunjang penggunaan sistem
informasi kode internasional tersebut. Perlu jaringan (networking) untuk
penerapan Monitoring Control System (MCS) termasuk hardware dan
software untuk mendukung hal tersebut.

5.2 Saran
Sesuai dengan hasil penelitian ini, maka saran yang dihasilkan berupa
rekomendasi pelaksanaan beberapa aksi untuk memperkuat persiapan penerapan
port state measures di PPS Nizam Zachman Jakarta. Rekomendasi tersebut
adalah:
1. Peningkatan sosialisasi pemahaman IUU fishing kepada seluruh pelaku
perikanan di PPS Nizam Zachman Jakarta (terutama nelayan, syahbandar
perikanan, dan pengawas perikanan) yang disesuaikan dengan pemahaman
internasional;
2. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam aspek pemahaman terhadap
objek pemeriksaan, penindaktegasan penerapan hukum, dan perbaikan sistem
pembagian kerja pemeriksaan kapal serta kemampuan berbahasa asing
(minimal Bahasa Inggris);
3. Harmonisasi pengelolaan perikanan dengan pihak terkait, seperti syahbandar
perikanan, pengawas perikanan, TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia –
Angkatan Laut), polisi air, pihak imigrasi, UPT PPS Nizam Zachman Jakarta,
dan pihak terkait lainnya;
4. Pelatihan sumberdaya pengawasan dan pemeriksaan (inspeksi) agar lebih
siaga 24 jam, dinamis dan rutin; dan
5. Pengadaan atau penambahan sarana dan prasarana yang menunjang
pelaksanaan port state measures, yaitu:
96

1) Sarana komunikasi radio;


2) Faksimile untuk komunikasi dari kapal ke syahbandar perikanan;
3) Perlengkapan petugas pemeriksa seperti jaket hangat, senter, masker,
helm, kacamata, mantel hujan, boot, dan lain sebagainya;
4) Radio komunikasi HT (Handy Talky);
5) Peningkatan jumlah CCTV (Closed Circiut Televison) ke 10 sudut
dermaga;
6) Speaker di seluruh wilayah pelabuhan;
7) Kendaraan penunjang roda empat;
8) Kapal tug boat atau fire boat yang membantu jika terjadi kebakaran; serta
9) Jaringan (networking) untuk penerapan Monitoring Control System (MCS)
termasuk hardware dan software.
97

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, AA. 2006. Problematika Penentuan Sampel dalam Penelitian Bidang


Perumahan dan Permikuman. Bandung: Departemen Arsitektur. Institut
Teknologi Bandung. http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/
article/download/16546/16538 [23 Agustus 2011].

Absah, Y. 2007. Pengaruh Kemampuan Pembelajaran Organisasi terhadap


Kompetensi, Tingkat Diversifikasi, dan Kinerja Perguruan Tinggi Swasta
di Sumatera Utara. [Disertasi]. Surabaya: Program Pascasarjana.
Universitas Airlangga. http://www.damandiri.or.id/file/
yeniabsahunaircover.pdf [23 Desember 2011].

Amalia dan Putri. 2008. Urgensi Arbitrase dan Mediasi Sebagai Metode
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan dalam Sengketa Bidang
Perbankan. Bandung: Fakultas Hukum. Universitas Pajadjaran.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/11/urgensi_arbitrase
_dan_mediasi.pdf [23 Agustus 2011].

Darmawan. 2006. Analisis Kebijakan Penanggulangan IUU-fishing dalam


Pengelolaaan Perikanan Tangkap Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan.
Jakarta: DKP.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan
Kapal Perikanan. Jakarta: DKP.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kelautan dan PerikananNomor PER.05/MEN/2007tentang
Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau
Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Jakarta: DKP.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Unit Perikanan Tangkap.
Jakarta: DKP.
98

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004 tentang tentang Pelabuhan
Pangkalan bagi Kapal Perikanan. Jakarta: DKP

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2007. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan. Jakarta: DKP.

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2004. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan.
Jakarta: DKP

[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. 2002. Laporan Tahunan Departemen


Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal
7-13.

Eriyanto. 2007. Teknik Sampling (Analisis Opini Publik). Jakarta: LKiS


Yogyakarta.

Fabra, A., V. Gascon, M. Marrero, S. Lieberman, dan K. Sack. 2011. Closing the
gap: Comparing tuna RFMO port state measure with the FAO Agreement
on Port State Measure. The PEW Environment Group.
http://www.pewenvironment.org/uploadedFiles/PEG/Publications/
Report/Tuna_RFMO_Report_July2011.pdf [23 Agustus 2011].

Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Issue, Sintesis, dan Gagasan.
Bogor: Gramedia Pustaka Utama.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Agreement on Port State


Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Draft Agreement on Port State
Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. International Plan of Action to


Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
Fishing. Rome: Food and Agriculture Organization.

Gulo, W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.


99

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Data Indikator Kinerja Umum
Kelautan dan Perikanan Tahun 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan
informasi. http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/16/Data-Indikator-
Kinerja-Umum-KKP-2010/?category_id=3 [16 September 2011].

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan


dalam Angka 2010. Jakarta: Pusat data statistik dan informasi.
http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/c/18/Buku-Kelautan-dan-
Perikanan-Dalam-Angka-2010/?category_id=3 [16 September 2011].

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan


dan Perikanan Nomor PER.18/MEN/2010 tentang Logbook Penangkapan
Ikan. Jakarta: KKP.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan


dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010 tentang Pemberian
Kewenangan Penerbitan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat
Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk Kapal Perikanan Berukuran di
Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage sampai dengan 60 (Enam Puluh)
Gross Tonnage kepada Gubernur. Jakarta: KKP.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Peraturan Menteri Kelautan


dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2010 tentang Surat Laik Operasi
Kapal Perikanan. Jakarta: KKP.

Lambang. 2009. Kebijakan Tindak Pidana Penghinaan terhadap Presiden. [Tesis].


Semarang: Program Magister Ilmu Hukum. Program Pascasarjana.
Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/16144/1/Adhya_Satya_
Lambang_B.pdf [27Agustus 2011].

Latar. 2004. Strategi Kebijakan untuk Penanggulangan Kegiatan Illegal,


Unreported, Unregulated (IUU) Fishing di Perairan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) Indonesia Utara Papua. [Skripsi]. Bogor: Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Lobach, T. 2004. Port State Measure. Norway: Directorate for Food, Agriculture
and Fisheries. Fisheries Committee.

Losh, SC. 2000. Types of Error and Basic Sampling Designs. Lecture Handout
EDF 5481 Methods of Educational Research.
100

Lubis, E., I. Solihin, T. Nugroho, dan R. Muninggar. 2010. Diktat Pelabuhan


Perikanan. Bogor: Bagian Kepelabuhan Perikanan dan Kebijakan
Pengelolaan. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Nikijuluw, VPH. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal Blue Water
Crime. Jakarta: Pustaka Cidesindo.

[PPS] Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. 2011.


Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap. Jakarta: PPS Nizam Zachman Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
Jakarta: Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang


Perikanan. Jakarta: Republik Indonesia.
101

LAMPIRAN
102

Lampiran 1 Draft Naskah Terjemahan


Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate
Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Negara
Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan
yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur)
103

Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,


Unreported, Unregulated Fishing
Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Persetujuan Tentang Ketentuan Negara Pelabuhan
Eliminate untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas
Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan
Tidak Diatur
PREAMBLE PEMBUKAAN
The Parties to this Agreement, Pihak-pihak dalam Persetujuan ini,

Deeply concerned about the continuation of illegal, Menaruh perhatian yang mendalam terhadap berlanjutnya
unreported and unregulated fishing and its detrimental effect penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak
upon fish stocks, marine ecosystems and the livelihoods of diatur (IUU Fishing) serta dampaknya yang merugikan
legitimate fishers, and the increasing need for food security on terhadap persediaan ikan, ekosistem kelautan dan mata
a global basis, pencaharian para nelayan yang sah, dan meningkatnya
kebutuhan terhadap keamanan pangan di seluruh dunia,

Conscious of the role of the port State in the adoption of Menyadari peran Negara Pelabuhan dalam penerapan
effective measures to promote the sustainable use and the langkah yang efektif untuk memajukan pemanfaatan yang
long-term conservation of living marine resources, berkelanjutan dan konservasi jangka panjang terhadap
sumber daya kelautan hayati,

Recognizing that measures to combat illegal, unreported and Memahami bahwa langkah-langkah untuk memberantas
unregulated fishing should build on the primary responsibility IUU Fishing sepatutnya berdasar pada tanggung jawab
of flag States and use all available jurisdiction in accordance utama dari Negara Bendera dan sepatutnya menggunakan
with international law, including port State measures, coastal kewenangan yang ada merujuk kepada hukum
State measures, market related measures and measures to internasional, termasuk ketentuan Negara Pelabuhan,
ensure that nationals do not support or engage in illegal, ketentuan Negara Pantai, ketentuan yang berkaitan dengan
unreported and unregulated fishing, pasar dan ketentuan untuk memastikan bahwa warga negara
tidak mendukung atau terlibat dalam IUU Fishing,

Recognizing that port State measures provide a powerful and Memahami bahwa ketentuan Negara Pelabuhan
cost-effective means of preventing, deterring and eliminating memberikan sarana yang memiliki kekwenangan besar dan
illegal, unreported and unregulated fishing, berbiaya efektif untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU Fishing,

Aware of the need for increasing coordination at the regional Menyadari perlunya peningkatan koordinasi di tingkat
and interregional levels to combat illegal, unreported and regional dan antarregional untuk melawan IUU Fishing
unregulated fishing through port State measures, melalui ketentuan Negara Pelabuhan,

Acknowledging the rapidly developing communications Mengakui bahwa cepatnya teknologi komunikasi yang
technology, databases, networks and global records that sedang berkembang, basis data, jaringan kerja, dan catatan-
support port State measures, catatan global yang mendukung ketentuan Negara
Pelabuhan,

Recognizing the need for assistance to developing countries to Mengenali kebutuhan akan bantuan bagi Negara-negara
adopt and implement port State measures, yang sedang berkembang untuk mengadopsi dan
menerapkan ketentuan Negara Pelabuhan,

Taking note of the calls by the international community Memperhatikan seruan komunitas internasional melalui
through the United Nations System, including the United PBB, termasuk Sidang Umum PBB dan Komite Perikanan
Nations General Assembly and the Committee on Fisheries of Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, yang selanjutnya
the Food and Agriculture Organization of the United Nations, disebut “FAO”, sebagai dokumen internasional yang
hereinafter referred to as “FAO”, for a binding international mengikat mengenai standar minimum ketentuan Negara
instrument on minimum standards for port State measures, Pelabuhan, berdasarkan pada Rencana Aksi Internasional
based on the 2001 FAO International Plan of Action to FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan
104

Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Memberantas IUU Fishing dan FAO Model Scheme
Unregulated Fishing and the 2005 FAO Model Scheme on tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk melawan IUU
Port State Measures to Combat Illegal, Unreported and Fishing,
Unregulated Fishing,

Bearing in mind that, in the exercise of their sovereignty over Mengingat bahwa, dalam praktik kedaulatan mereka
ports located in their territory, States may adopt more terhadap pelabuhan–pelabuhan yang berada di wilayahnya,
stringent measures, in accordance with international law, Negara dapat menggunakan ketentuan yang lebih ketat,
sesuai dengan hukum internasional.

Recalling the relevant provisions of the United Nations Mengingat ketetapan yang relevan dalam Konvensi PBB
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982, tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982, yang
hereinafter referred to as “the Convention”, selanjutnya disebut sebagai “Konvensi”,

Recalling the Agreement for the Implementation of the Mengingat Persetujuan untuk Pelaksanaan Ketetapan
Provisions of the United Nations Convention on the Law of Konvensi PBB mengenai Hukum Laut tanggal 10
the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Desember 1982 tentang Konservasi dan Pengelolaan
Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Persediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Persediaan
Fish Stocks of 4 December 1995, the Agreement to Promote Ikan yang Beruaya Jauh pada tanggal 4 Desember 1995,
Compliance with International Conservation and Management Persetujuan untuk Meningkatkan Kepatuhan terhadap
Measures by Fishing Vessels on the High Seas of 24 Ketentuan Pengelolaan dan Konservasi Internasional oleh
November 1993 and the 1995 FAO Code of Conduct for Kapal Perikanan di Laut Lepas tanggal 4 November 1993
Responsible Fisheries, dan Kode Etik FAO tahun 1995 tentang Perikanan yang
Bertanggung Jawab,

Recognizing the need to conclude an international agreement Memahami pentingnya memberikan consent terhadap
within the framework of FAO, under Article XIV of the FAO Persetujuan internasional dalam kerangka kerja FAO, di
Constitution, bawah Pasal XIV Konstitusi FAO.

Have agreed as follows: Telah menyetujui hal-hal sebagai berikut:


PART 1 BAGIAN 1
GENERAL PROVISIONS KETENTUAN UMUM
Article 1 Pasal 1
Use of terms Penggunaan Terminologi

For the purposes of this Agreement: Demi tujuan Persetujuan ini:


(a) “conservation and management measures” means (a) “ketentuan konsevasi dan pengelolaan” yaitu langkah-
measures to conserve and manage living marine langkah untuk melestarikan dan mengelola sumber
resources that are adopted and applied consistently with daya kelautan hayati yang diambil dan diterapkan
the relevant rules of international law including those secara konsisten dengan peraturan dalam hukum
reflected in the Convention; internasional yang relevan termasuk yang tercermin
dalam Konvensi;
(b) “fish” means all species of living marine resources, (b) “ikan” yaitu seluruh spesies sumber daya kelautan
whether processed or not; hayati, baik diproses maupun tidak;
(c) “fishing” means searching for, attracting, locating, (c) “penangkapan ikan” yaitu mencari, menarik,
catching, taking or harvesting fish or any activity which menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen
can reasonably be expected to result in the attracting, ikan atau suatu aktivitas yang secara logika bertujuan
locating, catching, taking or harvesting of fish; untuk menarik, menempatkan, menangkap, mengambil,
atau memanen ikan;
(d) “fishing related activities” means any operation in (d) “kegiatan yang berkenaan dengan penangkapan ikan”
support of, or in preparation for, fishing, including the yaitu suatu kegiatan yang mendukung atau dalam
landing, packaging, processing, transshipping or persiapan untuk, menangkap ikan, termasuk
transporting of fish that have not been previously landed pendaratan, pengepakan, pengolahan, pengalihangkutan
at a port, as well as the provisioning of personnel, fuel, atau pengangkutan ikan yang belum didaratkan di suatu
gear and other supplies at sea; pelabuhan, juga penyerahan ABK, bahan bakar, alat
tangkap, dan kebutuhan lain di laut;
(e) “illegal, unreported and unregulated fishing” refers to the (e) “IUU Fishing” mengacu kepada kegiatan-kegiatan yang
activities set out in paragraph 3 of the 2001 FAO tertera di paragraph 3 Rencana Aksi Internasional FAO
105

International Plan of Action to Prevent, Deter and tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak
hereinafter referred to as “IUU fishing”; Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang selanjutnya disebut
sebagai “IUU Fishing”;
(f) “Party” means a State or regional economic integration (f) “Pihak” yaitu Negara atau organisasi integrasi ekonomi
organization that has consented to be bound by this regional yang telah setuju untuk tunduk di bawah
Agreement and for which this Agreement is in force; Persetujuan ini dan dimana Persetujuan ini
diberlakukan;
(g) “port” includes offshore terminals and other installations (g) “pelabuhan” meliputi terminal-terminal lepas pantai
for landing, transshipping, packaging, processing, dan instalasi lain untuk pendaratan, pengalihangkutan,
refueling or resupplying; pengepakan, pengolahan, pengisian bahan bakar atau
pengisian perbekalan;
(h) “regional economic integration organization” means a (i) “organisasi integrasi ekonomi regional” yaitu
regional economic integration organization to which its organisasi integrasi ekonomi regional yang Negara
member States have transferred competence over matters anggotanya menyerahterimakan kompetensi terhadap
covered by this Agreement, including the authority to hal-hal yang tersebut dalam Persetujuan ini, termasuk
make decisions binding on its member States in respect kekuasaan untuk mengambil keputusan yang mengikat
of those matters; Negara anggotanya mengenai hal-hal tersebut;
(j) “regional fisheries management organization” means an (k) “organisasi pengelola perikanan regional” yaitu
intergovernmental fisheries organization or arrangement, organisasi atau lembaga perikanan antarnegara atau
as appropriate, that has the competence to establish yang disamakan, yang memiliki kompetensi untuk
conservation and management measures; and menerapkan ketentuan konservasi dan pengelolaan; dan
(j) “vessel” means any vessel, ship of another type or boat (l) “kapal” yaitu kapal apapun, jenis kapal lain atau perahu
used for, equipped to be used for, or intended to be used yang digunakan untuk, yang dilengkapi untuk, atau
for, fishing or fishing related activities. dimaksudkan untuk, menangkap ikan atau kegiatan-
kegiatan lain yang berkaitan dengan penangkapan ikan.
Article 2 Pasal 2
Objective Tujuan

The objective of this Agreement is to prevent, deter and Tujuan Persetujuan ini adalah untuk mencegah,
eliminate IUU fishing through the implementation of effective menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui
port State measures, and thereby to ensure the long-term penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, dan
conservation and sustainable use of living marine resources dengan demikian untuk memastikan konservasi jangka
and marine ecosystems. panjang dan pemanfaatan sumber daya kelautan hayati serta
ekosistem kelautan yang berkelanjutan.
Article 3 Pasal 3
Application Penerapan

1. Each Party shall, in its capacity as a port State, apply this 1. Setiap Pihak wajib, dalam kapasitasnya sebagai Negara
Agreement in respect of vessels not entitled to fly its flag Pelabuhan, menerapkan Persetujuan ini bila ada kapal-
that are seeking entry to its ports or are in one of its ports, kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang
except for: akan masuk ke pelabuhan-pelabuhannya atau berada
dalam salah satu pelabuhannya, kecuali untuk:

(a) vessels of a neighbouring State that are engaged in (a) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan
artisanal fishing for subsistence, provided that the port penangkapan ikan untuk mencari nafkah, apabila
State and the flag State cooperate to ensure that such Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja
vessels do not engage in IUU fishing or fishing related sama untuk memastikan bahwa kapal-kapal tersebut
activities in support of such fishing; and tidak terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan-
kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan
yang mendukung penangkapan ikan dimaksud; dan

(b) container vessels that are not carrying fish or, if (b) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang
carrying fish, only fish that have been previously mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan, hanya
landed, provided that there are no clear grounds for ikan yang sebelumnya telah didaratkan, dalam hal
suspecting that such vessels have engaged in fishing ini tidak terdapat dasar yang jelas untuk mencurigai
related activities in support of IUU fishing. bahwa kapal tersebut terlibat dalam kegiatan
penangkapan ikan yang berhubungan dengan IUU
106

Fishing.

2. A Party may, in its capacity as a port State, decide not to 2. Pihak dapat, dalam kapasitasnya sebagai Negara
apply this Agreement to vessels chartered by its nationals Pelabuhan, memutuskan untuk tidak menerapkan
exclusively for fishing in areas under its national Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh
jurisdiction and operating under its authority therein. warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan
Such vessels shall be subject to measures by the Party di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di
which are as effective as measures applied in relation to bawah kekuasaan wilayah tersebut. Kapal yang
vessels entitled to fly its flag. demikian wajib mempertimbangkan ketentuan dari
Pihak sebagaimana halnya ketentuan tersebut diterapkan
dalam kaitannya dengan kapal-kapal yang berhak untuk
mengibarkan benderanya.

3. This Agreement shall apply to fishing conducted in marine 3. Persetujuan ini wajib diterapkan untuk penangkapan
areas that is illegal, unreported or unregulated, as defined ikan yang dilakukan di wilayah laut secara ilegal, tidak
in Article 1(e) of this Agreement, and to fishing related dilaporkan, dan tidak diatur, sebagaimana ditegaskan
activities in support of such fishing. dalam Pasal 1 (e) Persetujuan ini, dan berlaku untuk
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan
ikan yang mendukung cara penangkapan ikan tersebut.

4. This Agreement shall be applied in a fair, transparent and 4. Persetujuan ini wajib diterapkan secara adil, transparan,
non-discriminatory manner, consistent with international dan nondiskriminatif, sesuai dengan hukum
law. internasional.

5. As this Agreement is global in scope and applies to all 5. Karena Persetujuan ini mencakup secara global dan
ports, the Parties shall encourage all other entities to berlaku untuk semua pelabuhan, Pihak-Pihak wajib
apply measures consistent with its provisions. Those that mendorong semua entitas yang lain untuk mengambil
may not otherwise become Parties to this Agreement may langkah-langkah yang konsisten dengan ketetapannya.
express their commitment to act consistently with its Bagi yang tidak menjadi Pihak dalam Persetujuan ini
provisions. dapat menunjukkan komitmen mereka untuk secara
konsisten bertindak sesuai dengan ketetapan ini.
Article 4 Pasal 4
Relationship with international law and other international Hubungan dengan Hukum Internasional dan Instrumen
instruments Internasional Lainnya

1. Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, 1. Tidak satu pun dalam Persetujuan ini yang bertentangan
jurisdiction and duties of Parties under international law. dengan hak, yuridiksi dan kewajiban – kewajiban Pihak-
In particular, nothing in this Agreement shall be construed Pihak dalam hukum internasional. Khususnya, tidak satu
to affect: pun dalam Persetujuan ini diartikan untuk
mempengaruhi:
(a) the sovereignty of Parties over their internal, (a) kedaulatan Pihak-Pihak atas perairan dalam,
archipelagic and territorial waters or their sovereign kepulauan, dan perairan territorialnya atau hak-hak
rights over their continental shelf and in their yang berdaulat atas landas kontinen dan zona
exclusive economic zones; ekonomi eksklusifnya;

(b) the exercise by Parties of their sovereignty over ports (b) pelaksanaan oleh Pihak-Pihak terhadap
in their territory in accordance with international law, kedaulatannya atas pelabuhan-pelabuhan dalam
including their right to deny entry thereto as well as to teritorinya sesuai dengan hukum internasional,
adopt more stringent port State measures than those termasuk hak untuk menolak masuk kesana
provided for in this Agreement, including such sebagaimana juga menerima ketentuan negara
measures adopted pursuant to a decision of a regional pelabuhan yang lebih ketat dibandingkan dengan
fisheries management organization. yang ditetapkan dalam Persetujuan ini, termasuk
diterimanya beberapa ketentuan yang mengikuti
keputusan dari organisasi pengelolaan perikanan
regional.

2. In applying this Agreement, a Party does not thereby 2. Dalam penerapan Persetujuan ini, Pihak tidak kemudian
become bound by measures or decisions of, or recognize, menjadi terikat oleh ketentuan – ketentuan atau
107

any regional fisheries management organization of which keputusan – keputusan, atau mengakui organisasi
it is not a member. pengelolaan perikanan regional mana pun yang tidak
menjadi anggota di dalamnya.

3. In no case is a Party obliged under this Agreement to give 3. Pihak dalam Persetujuan ini sama sekali tidak boleh
effect to measures or decisions of a regional fisheries memberikan consent terhadap ketentuan atau keputusan
management organization if those measures or decisions suatu organisasi pengelolaan perikanan regional apabila
have not been adopted in conformity with international ketentuan atau keputusan tersebut tidak sesuai dengan
law. hukum internasional.

4. This Agreement shall be interpreted and applied in 4. Persetujuan ini wajib diartikan dan diterapkan sesuai
conformity with international law taking into account dengan hukum internasional dengan memperhatikan
applicable international rules and standards, including peraturan dan standar internasional yang berlaku,
those established through the International Maritime termasuk yang ditetapkan oleh Organisasi Maritim
Organization, as well as other international instruments. Internasional, dan instrumen internasional lainnya.

5. Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed 5. Pihak-Pihak wajib mematuhi kewajiban yang dipikul
pursuant to this Agreement and shall exercise the rights sesuai dengan Persetujuan ini dengan itikad baik dan
recognized herein in a manner that would not constitute an wajib menggunakan hak – hak yang ada dalam
abuse of right. Persetujuan ini dengan cara yang tidak akan
menimbulkan penyalahgunaan hak.
Article 5 Pasal 5
Integration and coordination at the national level Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional

Each Party shall, to the greatest extent possible: Setiap Pihak wajib, dengan sebisa mungkin:
(a) integrate or coordinate fisheries related port State (a) mengintegrasikan atau mengkoordinasikan ketentuan-
measures with the broader system of port State controls; ketentuan Negara Pelabuhan yang berkaitan dengan
perikanan dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan
yang lebih luas;

(b) integrate port State measures with other measures to (b) mengintegrasikan ketentuan-ketentuan Negara
prevent, deter and eliminate IUU fishing and fishing Pelabuhan dengan ketentuan lain untuk mencegah,
related activities in support of such fishing, taking into menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan
account as appropriate the 2001 FAO International Plan kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, mendukung penangkapan ikan yang demikian, dengan
Unreported and Unregulated Fishing; and mempertimbangkan secara tepat Rencana Aksi
Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah,
Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan
yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur; dan

(c) take measures to exchange information among relevant (c) Mengadakan tukar informasi di antara badan nasional
national agencies and to coordinate the activities of such yang terkait dan mengkoordinasikan kegiatan badan
agencies in the implementation of this Agreement. tersebut dalam pelaksanaan Persetujuan ini.
Article 6 Pasal 6
Cooperation and exchange of information Kerja Sama dan Pertukaran Informasi

1. In order to promote the effective implementation of this 1. Untuk melaksanakan penerapan Persetujuan ini dengan
Agreement and with due regard to appropriate efektif dan atas pertimbangan persyaratan kerahasiaan,
confidentiality requirements, Parties shall cooperate and Pihak-Pihak wajib bekerja sama dan bertukar informasi
exchange information with relevant States, FAO, other dengan Negara terkait, FAO, organisasi internasional
international organizations and regional fisheries lainnya, dan organisasi – organisasi pengelolaan
management organizations, including on the measures perikanan regional, termasuk dalam ketentuan yang
adopted by such regional fisheries management digunakan oleh organisasi pengelolaan perikanan
organizations in relation to the objective of this regional lain sehubungan dengan tujuan Persetujuan
Agreement. ini.

2. Each Party shall, to the greatest extent possible, take 2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil
measures in support of conservation and management langkah-langkah dalam mendukung tindakan
108

measures adopted by other States and other relevant pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh
international organizations. negara lain dan organisasi internasional yang terkait.

3. Parties shall cooperate, at the subregional, regional and 3. Pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat
global levels, in the effective implementation of this subregional, regional, dan global, dalam penerapan
Agreement including, where appropriate, through FAO or Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu,
regional fisheries management organizations and melalui FAO atau organisasi dan lembaga pengelolaan
arrangements. perikanan regional.

PART 2 BAGIAN 2
ENTRY INTO PORT MASUK KE PELABUHAN
Article 7 Pasal 7
Designation of ports Penunjukkan Pelabuhan

1. Each Party shall designate and publicize the ports to which 1. Setiap Pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan
vessels may request entry pursuant to this Agreement. pelabuhan-pelabuhan dimana kapal perikanan mungkin
Each Party shall provide a list of its designated ports to meminta izin untuk masuk sesuai dengan Persetujuan
FAO, which shall give it due publicity. ini. Setiap Pihak wajib menyerahkan daftar pelabuhan
yang ditunjuk kepada FAO, yang akan
mempublikasikannya.

2. Each Party shall, to the greatest extent possible, ensure 2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, memastikan bahwa
that every port designated and publicized in accordance setiap pelabuhan yang ditunjuk dan dipublikasikan
with paragraph 1 of this Article has sufficient capacity to sehubungan dengan Paragraf 1 dalam Pasal ini memiliki
conduct inspections pursuant to this Agreement. kapasitas yang cukup untuk melaksanakan pemeriksaan
sesuai dengan Persetujuan ini.
Article 8 Pasal 8
Advance request for port entry Permohonan Awal Untuk Masuk ke Pelabuhan

1. Each Party shall require, as a minimum standard, the 1. Setiap Pihak wajib meminta, sebagai standar minimum,
information requested in Annex A to be provided before informasi yang diminta dalam Annex A untuk diberikan
granting entry to a vessel to its port. sebelum memberi izin masuk kepada kapal ke
Pelabuhan.

2. Each Party shall require the information referred to in 2. Setiap Pihak wajib meminta informasi yang tercantum
paragraph 1 of this Article to be provided sufficiently in dalam Paragraf 1 dalam Pasal ini untuk diberikan seawal
advance to allow adequate time for the port State to mungkin untuk memberi waktu yang cukup bagi Negara
examine such information. Pelabuhan untuk mempelajari informasi tersebut.
Article 9 Pasal 9
Port entry, authorization or denial Masuk Pelabuhan, Otorisasi, atau Penolakan

1. After receiving the relevant information required pursuant 1. Setelah menerima informasi terkait yang diperlukan
to Article 8, as well as such other information as it may sesuai dengan Pasal 8, juga informasi lain yang mungkin
require to determine whether the vessel requesting entry diperlukan untuk menentukan apakah kapal yang akan
into its port has engaged in IUU fishing or fishing related masuk ke pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau
activities in support of such fishing, each Party shall kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang
decide whether to authorize or deny the entry of the vessel mendukung penangkapan ikan yang demikian, setiap
into its port and shall communicate this decision to the Pihak wajib memutuskan apakah mengizinkan atau
vessel or to its representative. menolak kapal tersebut untuk masuk ke pelabuhan dan
wajib mengkomunikasikan keputusan ini ke kapal
tersebut atau yang mewakilinya.

2. In the case of authorization of entry, the master of the 2. Dalam hal izin masuk, nakhoda kapal atau yang
vessel or the vessel’s representative shall be required to mewakilinya wajib menyerahkan izin masuk kepada
present the authorization for entry to the competent pihak yang berwenang dari Pihak ketika tiba di
authorities of the Party upon the vessel’s arrival at port. Pelabuhan.
109

3. In the case of denial of entry, each Party shall 3. Dalam hal penolakan masuk, setiap Pihak wajib
communicate its decision taken pursuant to paragraph 1 of mengkomunikasikan keputusan yang diambil sesuai
this Article to the flag State of the vessel and, as dengan Paragraf 1 Pasal ini kepada Negara Bendera
appropriate and to the extent possible, relevant coastal kapal tersebut dan, bila perlu dan sebisa mungkin,
States, regional fisheries management organizations and Negara Pantai, organisasi pengelolaan perikanan
other international organizations. regional, dan organisasi internasional lainnya.

4. Without prejudice to paragraph 1 of this Article, when a 4. Tanpa mengurangi arti Paragraf 1 Pasal ini, ketika Pihak
Party has sufficient proof that a vessel seeking entry into memiliki bukti yang cukup bahwa suatu kapal yang akan
its port has engaged in IUU fishing or fishing related masuk ke Pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau
activities in support of such fishing, in particular the kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
inclusion of a vessel on a list of vessels having engaged in mendukung penangkapan ikan dimaksud, khususnya
such fishing or fishing related activities adopted by a kapal yang ada dalam daftar kapal yang pernah terlibat
relevant regional fisheries management organization in dalam penangkapan ikan yang demikian, atau kegiatan
accordance with the rules and procedures of such yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
organization and in conformity with international law, the digunakan oleh organisasi pengelolaan perikanan
Party shall deny that vessel entry into its ports, taking into regional yang terkait sesuai dengan peraturan dan
due account paragraphs 2 and 3 of Article 4. prosedur organisasi tersebut dan sesuai dengan hukum
internasional, Pihak tersebut wajib menolak kapal
tersebut untuk memasuki pelabuhan, dengan
mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3 dalam Pasal 4.

5. Notwithstanding paragraphs 3 and 4 of this Article, a Party 5. Meskipun Paragraf 3 dan 4 dalam Pasal ini berbunyi
may allow entry into its ports of a vessel referred to in demikian, Pihak dapat memberikan izin masuk kepada
those paragraphs exclusively for the purpose of inspecting kapal yang dimaksud dalam Paragraf tersebut ke
it and taking other appropriate actions in conformity with Pelabuhan khusus untuk tujuan memeriksa kapal
international law which are at least as effective as denial tersebut dan mengambil tindakan yang perlu sesuai
of port entry in preventing, deterring and eliminating IUU dengan hukum internasional yang setidaknya berupa
fishing and fishing related activities in support of such penolakan masuk ke Pelabuhan dalam usaha mencegah,
fishing. menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan
kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang
mendukung penangkapan ikan yang demikian.

6. Where a vessel referred to in paragraph 4 or 5 of this 6. Bila sebuah kapal yang dimaksud Paragraf 4 atau 5
Article is in port for any reason, a Party shall deny such dalam Pasal ini berada dalam pelabuhan untuk alasan
vessel the use of its ports for landing, transshipping, tertentu, Pihak wajib menolak kapal tersebut untuk
packaging, and processing of fish and for other port menggunakan pelabuhan tersebut untuk mendaratkan,
services including, inter alia, refueling and resupplying, mengalih-angkutkan, mengemas, dan mengolah ikan dan
maintenance and drydocking. Paragraphs 2 and 3 of untuk layanan pelabuhan lainnya termasuk, mengisi
Article 11 apply mutatis mutandis in such cases. Denial of bahan bakar dan mengisi perbekalan, melakukan
such use of ports shall be in conformity with international perawatan dan menggunakan galangan kapal. Paragraf 2
law. dan 3 Pasal 11 menerapkan mutatis mutandis (mengubah
hal yang perlu diubah atau perubahan perlu yang telah
dibuat) dalam hal tersebut. Penolakan penggunaan
pelabuhan harus sesuai dengan hukum internasional.
Article 10 Pasal 10
Force majeure or distress Force majeure atau Keadaan Sulit

Nothing in this Agreement affects the entry of vessels to port Tidak ada dalam Persetujuan ini yang mempengaruhi
in accordance with international law for reasons of force masuknya kapal ke pelabuhan yang sesuai dengan hukum
majeure or distress, or prevents a port State from permitting internasional atas alasan Force majeure atau keadaan sulit,
entry into port to a vessel exclusively for the purpose of atau mencegah Negara Pelabuhan memberi izin masuk ke
rendering assistance to persons, ships or aircraft in danger or pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk memberikan
distress. bantuan kepada perorangan, kapal atau pesawat udara
dalam bahaya atau kesulitan.
110

PART 3 BAGIAN 3
USE OF PORTS GUNA PELABUHAN
Article 11 Pasal 11
Use of ports Guna Pelabuhan

1. Where a vessel has entered one of its ports, a Party shall 1. Ketika sebuah kapal telah masuk ke pelabuhan, Pihak
deny, pursuant to its laws and regulations and consistent wajib menolak, sesuai dengan hukum dan peraturan dan
with international law, including this Agreement, that sesuai dengan hukum internasional, termasuk
vessel the use of the port for landing, transshipping, Persetujuan ini, kapal tersebut untuk menggunakan
packaging and processing of fish that have not been pelabuhan untuk mendaratkan, mengalihmuatkan,
previously landed and for other port services, including, mengemas, dan mengolah ikan yang sebelumnya belum
inter alia, refueling and resupplying, maintenance and didaratkan dan untuk menggunakan layanan pelabuhan
drydocking, if: lainnya, termasuk diantaranya, mengisi bahan bakar, dan
mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan
menggunakan kapal, apabila:
(a) the Party finds that the vessel does not have a valid (a) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak
and applicable authorization to engage in fishing or memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk
fishing related activities required by its flag State; menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan
dengan penangkapan ikan sebagaimana diminta
oleh Negara Bendera;

(b) the Party finds that the vessel does not have a valid (b) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak
and applicable authorization to engage in fishing or memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk
fishing related activities required by a coastal State in menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan
respect of areas under the national jurisdiction of that dengan penangkapan ikan sebagaimana diminta
State; oleh Negara Pantai sesuai dengan wilayah di bawah
kedaulatan nasional Negara tersebut;

(c) the Party receives clear evidence that the fish on board (c) Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang
was taken in contravention of applicable requirements diangkut melanggar hukum yang berlaku di Negara
of a coastal State in respect of areas under the national Pantai sesuai dengan wilayah kedaulatan nasional
jurisdiction of that State; Negara tersebut;

(d) the flag State does not confirm within a reasonable (d) Negara Bendera tidak memberikan konfirmasi
period of time, on the request of the port State, that dalam jangka waktu yang wajar, atas permintaan
the fish on board was taken in accordance with Negara Pelabuhan, bahwa ikan yang diangkut sesuai
applicable requirements of a relevant regional dengan peraturan yang berlaku, organisasi
fisheries management organization taking into due pengelolaan perikanan regional terkait dengan
account paragraphs 2 and 3 of Article 4; or mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3 Pasal 4; atau

(e) the Party has reasonable grounds to believe that the (e) Pihak memiliki alasan yang masuk akal untuk
vessel was otherwise engaged in IUU fishing or meyakini bahwa kapal tersebut juga terlibat dalam
fishing related activities in support of such fishing, IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
including in support of a vessel referred to in penangkapan ikan yang mendukung penangkapan
paragraph 4 of Article 9, unless the vessel can ikan yang demikian, termasuk mendukung kapal
establish: sebagaimana dimaksud Paragraf 4 Pasal 9, kecuali
jika kapal tersebut dapat menunjukkan:
(i) that it was acting in a manner consistent with (i) bahwa kapal tersebut bertindak sesuai dengan
relevant conservation and management measures; ketentuan pengelolaan dan konservasi yang
or terkait; atau
(ii) in the case of provision of personnel, fuel, gear (ii) dalam hal penyediaan perlengkapan ABK, bahan
and other supplies at sea, that the vessel that was bakar, alat tangkap, dan persediaan lain di laut,
provisioned was not, at the time of provisioning, bahwa kapal yang dibekali tersebut, pada saat
a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9. melakukan kegiatan dimaksud, bukan kapal yang
dimaksud Paragraf 4 Pasal 9.

2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall 2. Meskipun Paragraf 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak
not deny a vessel referred to in that paragraph the use of tidak boleh menolak kapal sebagaimana dimaksud dalam
111

port services: Paragraf tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan:


(a) essential to the safety or health of the crew or the (a) yang penting bagi keamanan atau kesehatan ABK
safety of the vessel, provided these needs are duly atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini terbukti
proven, or dibutuhkan, atau
(b) where appropriate, for the scrapping of the vessel. (b) bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut.

3. Where a Party has denied the use of its port in accordance 3. Apabila Pihak telah menolak penggunaan pelabuhannya
with this Article, it shall promptly notify the flag State sesuai dengan Pasal ini, Pihak wajib segera memberi
and, as appropriate, relevant coastal States, regional tahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai
fisheries management organizations and other relevant terkait, organisasi pengelolaan perikanan regional dan
international organizations of its decision. organisasi internasional terkait atas keputusan itu.

4. A Party shall withdraw its denial of the use of its port 4. Pihak wajib mencabut penolakannya atas penggunaan
pursuant to paragraph 1 of this Article in respect of a pelabuhan sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini terhadap
vessel only if there is sufficient proof that the grounds on suatu kapal hanya jika terdapat bukti bahwa dasar yang
which use was denied were inadequate or erroneous or that digunakan untuk menolak tidak cukup atau keliru atau
such grounds no longer apply. sudah tidak berlaku.
5. Where a Party has withdrawn its denial pursuant to 5. Jika Pihak telah mencabut penolakannya sesuai dengan
paragraph 4 of this Article, it shall promptly notify those Paragraf 4 Pasal ini, Pihak wajib segera memberi tahu
to whom a notification was issued pursuant to paragraph 3 secepatnya kepada Pihak-Pihak dimana pemberitahuan
of this Article. tersebut diberikan sesuai dengan Paragraf 3 Pasal ini.
PART 4 BAGIAN 4
INSPECTIONS AND FOLLOW-UP ACTIONS PEMERIKSAAN DAN PENINDAKLANJUTAN
Article 12 Pasal 12
Levels and priorities for inspection Tingkat dan Prioritas Pemeriksaan

1. Each Party shall inspect the number of vessels in its ports 1. Setiap Pihak wajib memeriksa jumlah kapal di
required to reach an annual level of inspections sufficient pelabuhannya yang diperlukan untuk memperoleh
to achieve the objective of this Agreement. tingkat pemeriksaan tahunan yang cukup untuk
mencapai tujuan Persetujuan ini.

2. Parties shall seek to agree on the minimum levels for 2. Pihak-pihak wajib berupaya untuk menyetujui pada
inspection of vessels through, as appropriate, regional tingkat minimum pemeriksaan kapal melalui, bila perlu,
fisheries management organizations, FAO or otherwise. organisasi pengelolaan perikanan regional, FAO atau
yang lainnya.

3. In determining which vessels to inspect, a Party shall give 3. Dalam menentukan kapal mana yang akan diperiksa,
priority to: Pihak wajib memberikan prioritas kepada:
(a) vessels that have been denied entry or use of a port in (a) kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau
accordance with this Agreement; menggunakan pelabuhan sesuai dengan Persetujuan
ini;

(b) requests from other relevant Parties, States or regional (b) permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait,
fisheries management organizations that particular Negara atau organisasi pengelolaan perikanan
vessels be inspected, particularly where such requests regional untuk memeriksa kapal tertentu, khususnya
are supported by evidence of IUU fishing or fishing jika permohonan tersebut didukung oleh bukti IUU
related activities in support of such fishing by the Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
vessel in question; and penangkapan ikan yang mendukung penangkapan
ikan yang demikian oleh kapal yang sedang
dipermasalahkan;

(c) other vessels for which there are clear grounds for (c) kapal lain yang dengan dasar jelas dicurigai terlibat
suspecting that they have engaged in IUU fishing or IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
fishing related activities in support of such fishing. penangkapan ikan yang mendukung penangkapan
ikan yang demikian.
Article 13 Pasal 13
Conduct of inspections Pelaksanaan Pemeriksaan
112

1. Each Party shall ensure that its inspectors carry out the 1. Setiap pihak wajib memastikan bahwa pemeriksa
functions set forth in Annex B as a minimum standard. melaksanakan fungsi yang tertera dalam Annex B
sebagai standar minimum.

2. Each Party shall, in carrying out inspections in its ports: 2. Setiap Pihak wajib, dalam melaksanakan pemeriksaan di
(i) ensure that inspections are carried out by properly pelabuhan:
qualified inspectors authorized for that purpose, (i) memastikan pemeriksaan dilaksanakan oleh
having regard in particular to Article 17; pemeriksa yang berkualitas yang diberi wewenang
untuk tugas tersebut, dengan memperhatikan
secara khusus Pasal 17;

(ii) ensure that, prior to an inspection, inspectors are (ii) memastikan bahwa, sebelum memeriksa,
required to present to the master of the vessel an pemeriksa menyerahkan dokumen yang
appropriate document identifying the inspectors menerangkan identitas pemeriksa kepada nakhoda
as such; kapal;

(iii) memastikan bahwa Pemeriksa memeriksa seluruh


(iii) ensure that inspectors examine all relevant areas
bagian kapal, ikan yang diangkut, jaring dan alat
of the vessel, the fish on board, the nets and any
tangkap lain, perlengkapan, dan dokumen atau
other gear, equipment, and any document or
catatan lain di kapal yang relevan untuk menguji
record on board that is relevant to verifying
kepatuhan terhadap ketentuan pengelolaan dan
compliance with relevant conservation and
konservasi yang terkait;
management measures;

(iv) require the master of the vessel to give inspectors (iv) mewajibkan nakhoda kapal memberikan semua
all necessary assistance and information, and to bantuan dan informasi yang diperlukan kepada
present relevant material and documents as may Pemeriksa, dan apabila diperlukan menyerahkan
be required, or certified copies thereof; bahan dan dokumen yang terkait atau semua
salinan dokumen yang sah dimaksud;

(v) in case of appropriate arrangements with the flag (v) dalam hal pengaturan tertentu dengan Negara
State of the vessel, invite that State to participate Bendera kapal tersebut, mengundang Negara itu
in the inspection; untuk ikut serta dalam pemeriksaan;

(vi) make all possible efforts to avoid unduly delaying (vi) mengusahakan semua kemungkinan untuk
the vessel to minimize interference and menghindari penundaan yang berlebihan kapal
inconvenience, including any unnecessary tersebut untuk meminimalkan campur tangan dan
presence of inspectors on board, and to avoid ketidaknyamanan, termasuk kehadiran pemeriksa
action that would adversely affect the quality of di atas kapal yang tidak perlu, dan untuk
the fish on board; menghindari tindakan yang secara kontradiktif
akan mempengaruhi kualitas ikan di kapal;
(vii) make all possible efforts to facilitate
communication with the master or senior crew (vii) mengusahakan segala kemungkinan untuk
members of the vessel, including where possible memfasilitasi komunikasi dengan nakhoda atau
and where needed that the inspector is ABK senior kapal tersebut, termasuk bila
accompanied by an interpreter; pemeriksa dikawal seorang penterjemah jika
mungkin dan jika diperlukan;
(viii) ensure that inspections are conducted in a fair,
transparent and non-discriminatory manner and (viii) memastikan bahwa pemeriksaan dilaksanakan
would not constitute harassment of any vessel; dengan cara yang adil, transparan, dan
and nondiskriminatif dan tidak akan menimbulkan
gangguan terhadap kapal mana pun; dan
(ix) not interfere with the master’s ability, in
(ix) tidak mencampuri kemampuan nakhoda kapal,
conformity with international law, to
sesuai dengan hukum internasional, untuk
communicate with the authorities of the flag
berkomunikasi dengan pihak berwenang Negara
State.
Bendera.
113

Article 14 Pasal 14
Results of inspections Hasil Pemeriksaan

Each Party shall, as a minimum standard, include the Setiap Pihak wajib, sebagai standar minimum, memasukkan
information set out in Annex C in the written report of the informasi yang tertera di Annex C dalam laporan tertulis
results of each inspection. hasil pemeriksaan.
Article 15 Pasal 15
Transmittal of inspection results Penyampaian Hasil Pemeriksaan

Each Party shall transmit the results of each inspection to the Setiap Pihak wajib menyampaikan hasil tiap pemeriksaan
flag State of the inspected vessel and, as appropriate, to: kepada Negara Bendera kapal yang diperiksa, dan bila
perlu, kepada:
(a) relevant Parties and States, including: (a) Pihak dan Negara terkait, termasuk:
(i) those States for which there is evidence through (i) negara-negara dimana melalui pemeriksaan
inspection that the vessel has engaged in IUU fishing terdapat bukti bahwa kapal tersebut terlibat IUU
or fishing related activities in support of such fishing Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
within waters under their national jurisdiction; and dengan penangkapan ikan yang mendukung
penangkapan ikan yang demikian dalam perairan
di bawah kewenangan nasional mereka, dan
(ii) the State of which the vessel’s master is a national. (ii) negara dimana nakhoda kapal menjadi
warganegara.
(b) relevant regional fisheries management organizations; (b) organisasi pengelolaan perikanan regional yang
and terkait, dan

(c) FAO and other relevant international organizations. (c) FAO dan organisasi internasional yang terkait.
Article 16 Pasal 16
Electronic exchange of information Pertukaran Informasi Elektronik

1. To facilitate implementation of this Agreement, each Party 1. Untuk memfasilitasi penerapan Persetujuan ini, setiap
shall, where possible, establish a communication Pihak wajib, jika memungkinkan, membangun
mechanism that allows for direct electronic exchange of mekanisme komunikasi yang memungkinkan pertukaran
information, with due regard to appropriate confidentiality informasi elektronik secara langsung, dengan
requirements. mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang
relevan.

2. To the extent possible and with due regard to appropriate 2. Sebisa mungkin dan dengan mempertimbangkan
confidentiality requirements, Parties should cooperate to persyaratan kerahasiaan yang relevan, Pihak-pihak wajib
establish an information-sharing mechanism, preferably bekerja sama untuk membangun mekanisme berbagi
coordinated by FAO, in conjunction with other relevant informasi, lebih diutamakan dibawah koordinasi FAO,
multilateral and intergovernmental initiatives, and to sehubungan dengan inisiatif multilateral dan antar-
facilitate the exchange of information with existing Negara yang terkait, dan untuk memfasilitasi pertukaran
databases relevant to this Agreement. informasi dengan basis data yang ada yang relevan
dengan Persetujuan ini.

3. Each Party shall designate an authority that shall act as a 3. Setiap Pihak wajib menunjuk suatu otoritas yang akan
contact point for the exchange of information under this bertindak sebagai pusat kontak untuk pertukaran
Agreement. Each Party shall notify the pertinent informasi di bawah Persetujuan ini. Setiap Pihak wajib
designation to FAO. memberi tahu penunjukkan tersebut kepada FAO.

4. Each Party shall handle information to be transmitted 4. Setiap Pihak wajib menangani informasi yang akan
through any mechanism established under paragraph 1 of disampaikan melalui mekanisme tertentu yang dibuat di
this Article consistent with Annex D. bawah paragraf 1 Pasal ini yang sesuai dengan Annex D.

5. FAO shall request relevant regional fisheries management 5. FAO wajib meminta organisasi pengelolaan perikanan
organizations to provide information concerning the regional terkait untuk memberikan informasi tentang
measures or decisions they have adopted and implemented langkah atau keputusan yang telah mereka gunakan dan
which relate to this Agreement for their integration, to the terapkan yang berhubungan dengan Persetujuan ini demi
extent possible and taking due account of the appropriate integrasi mereka, sebisa mungkin dan
114

confidentiality requirements, into the information-sharing mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang


mechanism referred to in paragraph 2 of this Article. relevan, ke dalam mekanisme berbagi informasi
sebagaimana tertuang dalam paragraf 2 Pasal ini.
Article 17 Pasal 17
Training of inspectors Pelatihan Pemeriksa

Each Party shall ensure that its inspectors are properly trained Setiap Pihak wajib memastikan bahwa pemeriksanya dilatih
taking into account the guidelines for the training of sebagaimana mestinya dengan mempertimbangkan
inspectors in Annex E. Parties shall seek to cooperate in this pedoman pelatihan pemeriksa dalam Annex E. Pihak-Pihak
regard. wajib berusaha untuk bekerja sama dalam hal ini.
Article 18 Pasal 18
Port State actions following inspection Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan

1. Where, following an inspection, there are clear grounds for 1. Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas
believing that a vessel has engaged IUU fishing or fishing untuk meyakini bahwa sebuah kapal telah terlibat IUU
related activities in support of such fishing, the inspecting Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan
Party shall: penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan
yang demikian, Pihak yang memeriksa wajib:
(a) promptly notify the flag State and, as appropriate, (a) segera memberitahu Negara Bendera dan, bila perlu,
relevant coastal States, regional fisheries Negara Pantai terkait, organisasi pengelolaan
management organizations and other international perikanan regional dan organisasi internasional
organizations, and the State of which the vessel’s lainnya, dan Negara dimana nakhoda kapal tersebut
master is a national of its findings; and menjadi warga Negara atas temuan tersebut; dan
(b) deny the vessel the use of its port for landing, (b) menolak kapal tersebut untuk menggunakan
transshipping, packaging and processing of fish that pelabuhannya untuk mendaratkan,
have not been previously landed and for other port mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan
services, including, inter alia, refueling and yang belum didaratkan sebelumnya dan layanan
resupplying, maintenance and drydocking, if these pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian
actions have not already been taken in respect of the bahan bakar dan pengisian perbekalan, melakukan
vessel, in a manner consistent with this Agreement, pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal,
including Article 4. jika tindakan ini belum dilakukan terhadap suatu
kapal, dengan cara yang sesuai dengan Persetujuan
ini, termasuk Pasal 4.

2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall 2. Meskipun paragraph 1 Pasal ini berbunyi demikian,
not deny a vessel referred to in that paragraph the use of Pihak tidak boleh menolak kapal sebagaimana yang
port services essential for the safety or health of the crew dimaksud dalam paragraf tersebut untuk menggunakan
or the safety of the vessel. layanan pelabuhan yang sangat penting bagi
keselamatan atau kesehatan ABK atau keselamatan
kapal.

3. Nothing in this Agreement prevents a Party from taking 3. Persetujuan ini tidak mencegah Pihak untuk mengambil
measures that are in conformity with international law in langkah yang sesuai dengan hukum internasional
addition to those specified in paragraphs 1 and 2 of this disamping seperti yang dituangkan dalam paragraf 1 dan
Article, including such measures as the flag State of the 2 dalam Pasal ini termasuk ketentuan – ketentuan
vessel has expressly requested or to which it has sebagaimana Negara bendera kapal tersebut telah
consented. meminta atau yang telah menyetujui.
Article 19 Pasal 19
Information on recourse in the port State Informasi Permintaan Bantuan di Negara Pelabuhan

1. A Party shall maintain the relevant information available 1. Pihak wajib menjaga agar informasi yang relevan
to the public and provide such information, upon written tersedia bagi masyarakat dan memberikan informasi
request, to the owner, operator, master or representative tersebut, atas permintaan tertulis, kepada pemilik kapal,
of a vessel with regard to any recourse established in operator, nakhoda atau perwakilan dari kapal dengan
accordance with its national laws and regulations mempertimbangkan permintaan bantuan yang dibuat
concerning port State measures taken by that Party sesuai dengan hukum dan peraturan nasional tentang
pursuant to Article 9, 11, 13 or 18, including information ketentuan Negara Pelabuhan dari Pihak tersebut sesuai
pertaining to the public services or judicial institutions dengan Pasal 9, 11, 13 atau 18, termasuk informasi yang
115

available for this purpose, as well as information on berkenaan dengan pelayanan umum atau lembaga
whether there is any right to seek compensation in hukum yang ada untuk tujuan ini, juga informasi
accordance with its national laws and regulations in the mengenai ada tidaknya hak untuk mendapatkan
event of any loss or damage suffered as a consequence of kompensasi sehubungan dengan hukum dan peraturan
any alleged unlawful action by the Party. nasional ketika terjadi kehilangan atau kerusakan yang
timbul sebagai akibat dari tindakan ilegal yang
dituduhkan oleh pihak tersebut.

2. The Party shall inform the flag State, the owner, operator, 2. Pihak tersebut wajib memberi tahu Negara Bendera,
master or representative, as appropriate, of the outcome pemilik, operator, nakhoda, atau perwakilan, bila perlu,
of any such recourse. Where other Parties, States or mengenai hasil permintaan bantuan. Ketika pihak,
international organizations have been informed of the Negara atau organisasi interansional lain telah diberi
prior decision pursuant to Article 9, 11, 13 or 18, the tahu tentang keputusan awal sesuai dengan Pasal 9, 11,
Party shall inform them of any change in its decision. 13, atau 18, Pihak tersebut wajib menginformasikan
perubahan apapun dalam keputusan itu kepada mereka.
PART 5 BAGIAN 5
ROLE OF FLAG STATES PERAN NEGARA BENDERA
Article 20 Pasal 20
Role of flag States Peran Negara Bendera

1. Each Party shall require the vessels entitled to fly its flag 1. Setiap pihak wajib meminta kapal yang berhak
to cooperate with the port State in inspections carried out mengibarkan benderanya untuk bekerja sama dengan
pursuant to this Agreement. Negara Pelabuhan dalam pemeriksaan yang
dilaksanakan sesuai dengan Persetujuan ini.
2. When a Party has clear grounds to believe that a vessel 2. Jika Pihak memiliki dasar yang jelas untuk meyakini
entitled to fly its flag has engaged in IUU fishing or bahwa suatu kapal yang berhak mengibarkan
fishing related activities in support of such fishing and is benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan
seeking entry to or is in the port of another State, it shall, yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
as appropriate, request that State to inspect the vessel or to mendukung penangkapan ikan yang demikian dan
take other measures consistent with this Agreement. hendak masuk ke atau berada di pelabuhan Negara lain,
Pihak tersebut wajib, bila perlu, meminta Negara
tersebut untuk memeriksa kapal itu atau mengambil
langkah-langkah lain yang sesuai dengan Persetujuan
ini.

3. Each Party shall encourage vessels entitled to fly its flag to 3. Setiap Pihak wajib mendorong kapal yang berhak
land, transship, package and process fish, and use other mengibarkan benderanya untuk mendaratkan,
port services, in ports of States that are acting in mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan, dan
accordance with, or in a manner consistent with this menggunakan layanan pelabuhan lainnnya di pelabuhan
Agreement. Parties are encouraged to develop, including Negara yang bertindak sesuai dengan, atau dengan cara
through regional fisheries management organizations and yang konsisten dengan Perjajian ini. Pihak-Pihak
FAO, fair, transparent and nondiscriminatory procedures didorong untuk mengembangkan, termasuk melalui
for identifying any State that may not be acting in organisasi pengolahan perikanan regional, dan FAO,
accordance with, or in a manner consistent with, this prosedur yang adil, transparan, dan nondiskriminatif,
Agreement. untuk mengidentifikasi Negara manapun yang tidak
bertindak sesuai dengan, atau cara yang konsisten
dengan Persetujuan ini.

4. Where, following port State inspection, a flag State Party 4. Apabila setelah pemeriksaan Negara Pelabuhan, Pihak
receives an inspection report indicating that there are clear Negara Bendera menerima laporan pemeriksaan yang
grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag has menunjukkan adanya dasar yang jelas untuk meyakini
engaged in IUU fishing or fishing related activities in bahwa sebuah kapal yang berhak mengibarkan
support of such fishing, it shall immediately and fully benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan
investigate the matter and shall, upon sufficient evidence, yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
take enforcement action without delay in accordance with mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak
its laws and regulations. Negara Bendera wajib segera melakukan investigasi
secara menyeluruh masalah tersebut dan wajib, dan bila
116

bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa


menunda-nunda sesuai dengan hukum dan peraturan.

5. Each Party shall, in its capacity as a flag State, report to 5. Setiap Pihak wajib dalam kapasitasnya sebagai Negara
other Parties, relevant port States and, as appropriate, other Bendera, melapor kepada Pihak lain, Negara Pelabuhan
relevant States, regional fisheries management yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan,
organizations and FAO on actions it has taken in respect of organisasi pengelolaan perikanan regional dan FAO atas
vessels entitled to fly its flag that, as a result of port State tindakan yang telah dilakukan terhadap kapal yang
measures taken pursuant to this Agreement, have been berhak mengibarkan benderanya yang, sebagai hasil
determined to have engaged in IUU fishing or fishing penerapan ketentuan Negara pelabuhan sesuai dengan
related activities in support of such fishing. Persetujuan ini, telah dinyatakan terlibat dalam IUU
Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan
yang demikian.

6. Each Party shall ensure that measures applied to vessels 6. Setiap Pihak wajib memastikan bahwa ketentuan yang
entitled to fly its flag are at least as effective in preventing, diterapkan kepada kapal yang berhak mengibarkan
deterring, and eliminating IUU fishing and fishing related benderanya setidaknya sama efektifnya, dalam
activities in support of such fishing as measures applied to mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing
vessels referred to in paragraph 1 of Article 3. atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan
yang mendukung penangkapan ikan yang demikian,
sebagaimana ketentuan yang diterapkan pada kapal yang
tercantum pada paragraf 1 Pasal 3.

PART 6 BAGIAN 6
REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES PERSYARATAN BAGI NEGARA YANG SEDANG
Article 21 BERKEMBANG
Requirements of developing States Pasal 21
Persyaratan bagi Negara yang Sedang Berkembang
1. Parties shall give full recognition to the special
requirements of developing States Parties in relation to the 1. Pihak-pihak wajib memberikan pengakuan penuh
implementation of port State measures consistent with this terhadap persyaratan khusus bagi Pihak negara yang
Agreement. To this end, Parties shall, either directly or sedang berkembang dalam hubungannya dengan
through FAO, other specialized agencies of the United penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang konsisten
Nations or other appropriate international organizations dengan Persetujuan ini. Dalam pada itu, negara – negara
and bodies, including regional fisheries management pihak wajib, baik secara langsung atau melalui FAO,
organizations, provide assistance to developing States badan khusus lain dari PBB atau organisasi internasional
Parties in order to, inter alia: yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi
pengelolaan perikanan regional lain, memberikan
bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk,
diantaranya:

(a) enhance their ability, in particular the least-developed (a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya
among them and small island developing States, to negara miskin dan negara yang sedang berkembang
develop a legal basis and capacity for the dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis
implementation of effective port State measures; hukum dan kapasitas demi penerapan ketentuan
Negara Pelabuhan yang efektif;
(b) facilitate their participation in any international (b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi
organizations that promote the effective development internasional manapun yang mendorong
and implementation of port State measures; and pengembangan dan penerapan ketentuan Negara
Pelabuhan yang efektif; dan
(c) facilitate technical assistance to strengthen the (c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat
development and implementation of port State pengembangan dan penerapan ketentuan negara
measures by them, in coordination with relevant Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan
international mechanisms. mekanisme internasional yang relevan.
117

2. Parties shall give due regard to the special requirements of 2. Pihak-Pihak wajib memberikan pertimbangan terhadap
developing port States Parties, in particular the least- persyaratan khusus bagi Pihak Negara Pelabuhan yang
developed among them and small island developing States, berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang
to ensure that a disproportionate burden resulting from the khususnya negara miskin dan Negara yang sedang
implementation of this Agreement is not transferred berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk
directly or indirectly to them. In cases where the transfer memastikan bahwa beban yang tidak sebanding yang
of a disproportionate burden has been demonstrated, muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak
Parties shall cooperate to facilitate the implementation by dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada
the relevant developing States Parties of specific mereka. Dalam hal telah terjadi pelimpahan atas beban
obligations under this Agreement. yang tidak sebanding, Pihak-Pihak wajib bekerja sama
untuk memfasilitasi pelaksanaan dari Pihak Negara yang
sedang berkembang terhadap kewajiban – kewajiban
khusus di bawah Persetujuan ini.

3. Parties shall, either directly or through FAO, assess the 3. Pihak-Pihak wajib, secara langsung atau melalui FAO,
special requirements of developing States Parties menilai persyaratan khusus bagi Pihak Negara yang
concerning the implementation of this Agreement. sedang berkembang sehubungan dengan pelaksanaan
Persetujuan ini.

4. Parties shall cooperate to establish appropriate funding 4. Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk membentuk
mechanisms to assist developing States in the mekanisme pendanaan yang memadai untuk membantu
implementation of this Agreement. These mechanisms Negara yang sedang berkembang dalam penerapan
shall, inter alia, be directed specifically towards: Perjajian ini. Mekanisme ini wajib, diantaranya
ditujukan secara khusus untuk:
(a) developing national and international port State (a) Mengembangkan ketentuan Negara Pelabuhan
measures; Nasional dan Internasional;
(b) developing and enhancing capacity, including for (b) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas,
monitoring, control and surveillance and for training termasuk untuk memantau, mengendalikan dan
at the national and regional levels of port managers, mengawasi serta untuk pelatihan bagi manajer
inspectors, and enforcement and legal personnel; pelabuhan, pemeriksa, serta aparat penegakan dan
pegawai hukum di level nasional dan regional;

(c) monitoring, control, surveillance and compliance (c) Memantau, mengendalikan, kegiatan – kegiatan
activities relevant to port State measures, including kepatuah dan pengawasan yang relevan dengan
access to technology and equipment; and ketentuan Negara Pelabuhan, termasuk akses untuk
teknologi dan perlengkapan; dan
(d) assisting developing States Parties with the costs (d) Membantu Pihak Negara yang sedang berkembang
involved in any proceedings for the settlement of dalam hal biaya yang berasal dari sidang – sidang
disputes that result from actions they have taken penyelesaian sengketa sebagai akibat dari tindakan
pursuant to this Agreement. – tindakan yang telah mereka lakukan sebagaimana
tertuang dalam Persetujuan ini.

5. Cooperation with and among developing States Parties for 5. Kerja sama dengan dan di antara Pihak Negara yang
the purposes set out in this Article may include the sedang berkembang untuk tujuan yang tertera dalam
provision of technical and financial assistance through Pasal ini dapat berupa ketentuan tentang bantuan teknis
bilateral,multilateral and regional channels, including dan keuangan melalui jalur bilateral, multilateral, dan
South-South cooperation. regional, termasuk kerja sama selatan-selatan.

6. Parties shall establish an ad hoc working group to 6. Pihak-pihak wajib membentuk kelompok kerja ad hoc
periodically report and make recommendations to the untuk melaporkan secara berkala dan membuat
Parties on the establishment of funding mechanisms rekomendasi kepada Pihak-Pihak dalam pembentukan
including a scheme for contributions, identification and mekanisme pendanaan termasuk sebuah skema untuk
mobilisation of funds, the development of criteria and kontribusi, identifikasi, dan mobilisasi dana,
procedures to guide implementation, and progress in the pengembangan kriteria dan prosedur untuk memandu
implementation of the funding mechanisms. In addition to pelaksanaan dan perkembangan penerapan mekanisme
the considerations provided in this Article, the ad hoc pendanaan. Di samping pertimbangan-pertimbangan
working group shall take into account, inter alia: yang tertera dalam pasal ini, kelompok kerja ad hoc
wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
118

(a) the assessment of the needs of developing States (a) penilaian akan kebutuhan pengembangan Pihak
Parties, in particular the leastdeveloped among them Negara yang sedang berkembang, khususnya negara
and small island developing States; miskin di antara mereka dan Negara yang sedang
berkembang dalam bentuk pulau kecil;

(b) the availability and timely disbursement of funds; (b) ketersediaan dari pencairan dana yang tepat waktu;

(c) transparency of decision-making and management (c) ketransparanan dalam pengambilan keputusan dan
processes concerning fundraising and allocations; and proses pengelolaan pengumpulan dan alokasi dana;
dan

(d) accountability of the recipient developing States (d) akuntabilitas Pihak Negara yang sedang
Parties in the agreed use of funds. Parties shall take berkembang sebagai penerima dalam penggunaan
into account the reports and any recommendations of dana yang disetujui. Pihak wajib
the ad hoc working group and take appropriate action. mempertimbangkan laporan dan rekomendasi dari
kelompok kerja ad hoc dan mengambil langkah –
langkah yang diperlukan.
PART 7 BAGIAN 7
DISPUTE SETTLEMENT PENYELESAIAN SENGKETA
Article 22 Pasal 22
Peaceful settlement of disputes Penyelesaian Perselisihan secara Damai

1. Any Party may seek consultations with any other Party or 1. Pihak-pihak boleh melakukan konsultasi dengan pihak
Parties on any dispute with regard to the interpretation or lain atau Pihak-pihak lain mengenai interpretasi atau
application of the provisions of this Agreement with a aplikasi ketentuan – ketentuan Persetujuan ini dengan
view to reaching a mutually satisfactory solution as soon maksud untuk mencapai sebuah penyelesaian yang
as possible. memuaskan kedua belah pihak sesegera mungkin.

2. In the event that the dispute is not resolved through these 2. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan
consultations within a reasonable period of time, the melalui konsultasi ini dalam rentang waktu yang
Parties in question shall consult among themselves as soon memadai, Pihak-pihak yang sedang bermasalah wajib
as possible with a view to having the dispute settled by berkonsultasi di antara mereka sendiri sesegera mungkin
negotiation, inquiry, mediation, conciliation, arbitration, dengan maksud untuk menyelesaikan perselisihan
judicial settlement or other peaceful means of their own dengan negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi,
choice. arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai lain
sesuai pilihan mereka.

3. Any dispute of this character not so resolved shall, with 3. Perselisihan yang tidak terselesaikan wajib, atas
the consent of all Parties to the dispute, be referred for persetujuan seluruh pihak yang bersengketa, diajukan ke
settlement to the International Court of Justice, to the Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke
International Tribunal for the Law of the Sea or to Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau
arbitration. In the case of failure to reach agreement on Arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah
referral to the International Court of Justice, to the Internasional, Pengadilan Internasional untuk Hukum
International Tribunal for the Law of the Sea or to Laut atau Arbitrasi, Pihak-pihak tersebut wajib terus
arbitration, the Parties shall continue to consult and berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk
cooperate with a view to reaching settlement of the dispute menyelesaikan persengketaan merujuk kepada aturan
in accordance with the rules of international law relating to Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi
the conservation of living marine resources. sumber daya kelautan hayati.
PART 8 BAGIAN 8
NON-PARTIES NON-PIHAK
Article 23 Pasal 23
Non-Parties to this Agreement Non-pihak Dalam Persetujuan Ini

1. Parties shall encourage non-Parties to this Agreement to 1. Pihak-pihak wajib mendorong Non-Pihak dalam
become Parties thereto and/or to adopt laws and Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam Persetujuan
regulations and implement measures consistent with its ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan
provisions. serta menerapkan langkah – langkah yang konsisten
dengan ketetapannya.
119

2. Parties shall take fair, non-discriminatory and transparent 2. Pihak-pihak wajib mengambil langkah-langkah yang
measures consistent with this Agreement and other adil, nondiskriminatif, dan transparan yang konsisten
applicable international law to deter the activities of non- dengan Persetujuan ini dan hukum internasional lain
Parties which undermine the effective implementation of yang berlaku untuk menghalangi kegiatan Non-Pihak
this Agreement. yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini.
PART 9 BAGIAN 9
MONITORING, REVIEW AND ASSESSMENT PEMANTAUAN, PENINJAUAN ULANG, DAN
Article 24 PENILAIAN
Monitoring, review and assessment Pasal 24
Pemantauan, Peninjauan Ulang, dan Penilaian

1. Parties shall, within the framework of FAO and its 1. Pihak-Pihak wajib, dalam kerangka kerja FAO dan
relevant bodies, ensure the regular and systematic badan terkaitnya, memastikan pemantauan teratur dan
monitoring and review of the implementation of this sistematis dan peninjauan ulang terhadap penerapan
Agreement as well as the assessment of progress made Persetujuan ini serta penilaian perkembangan yang
towards achieving its objective. diperoleh dalam mencapai tujuan.

2. Four years after the entry into force of this Agreement, 2. Empat tahun setelah pemberlakuan Persetujuan ini, FAO
FAO shall convene a meeting of the Parties to review and wajib mengadakan persidangan dari para Pihak untuk
assess the effectiveness of this Agreement in achieving its meninjau ulang dan menilai keefektifan Persetujuan ini
objective. The Parties shall decide on further such dalam mencapai tujuan. Pihak-pihak wajib menentukan
meetings as necessary. sidang selanjutnya apabila diperlukan.
PART 10 BAGIAN 10
FINAL PROVISIONS KETETAPAN AKHIR
Article 25 Pasal 25
Signature Penandatanganan

This Agreement shall be open for signature at ** from ** Persetujuan ini terbuka untuk ditandatangani pada. . . dari . .
until **, by all States and regional economic integration . sampai . . . oleh seluruh Pihak dan organisasi integrasi
organizations. ekonomi regional.

Article 26 Pasal 26
Ratification, acceptance or approval Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan

1. This Agreement shall be subject to ratification, acceptance 1. Persetujuan ini wajib diratifikasi, diterima atau disetujui
or approval by the signatories. oleh yang menandatangani Persetujuan ini.

2. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be 2. Instrumen Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan
deposited with the Depositary. wajib disimpan di Depositari.
Article 27 Pasal 27
Accession Aksesi

1. After the period in which this Agreement is open for 1. Setelah periode di mana Persetujuan terbuka untuk
signature, it shall be open for accession by any State or ditandatangani, Persetujuan ini terbuka untuk aksesi oleh
regional economic integration organization. Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional
manapun.

2. Instruments of accession shall be deposited with the 2. Instrumen aksesi wajib disimpan di Depositari.
Depositary.
Article 28 Pasal 28
Participation by Regional Economic Integration Keikutsertaan Organisasi Integrasi Ekonomi Regional
Organizations
1. In cases where a regional economic integration 1. Dalam hal dimana organisasi integrasi ekonomi regional
organization that is an international organization referred yang merupakan organisasi internasional sebagaimana
to in Annex IX, Article 1, of the Convention does not have dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini
competence over all the matters governed by this tidak memiliki kompetensi atas seluruh hal yang diatur
Agreement, Annex IX to the Convention shall apply dalam Persetujuan ini, Lampiran IX Konvensi ini
120

mutatis mutandis to participation by such regional berlaku mutatis mutandis terhadap keikutsertaan
economic integration organization in this Agreement, organisasi integrasi ekonomi regional tersebut dalam
except that the following provisions of that Annex shall Persetujuan ini, kecuali ketetapan-ketetapan Lampiran
not apply: berikut ini:
(a) Article 2, first sentence; and (a) Pasal 2, kalimat pertama; dan
(b) Article 3, paragraph 1. (b) Pasal 3, paragraph 1.
2. In cases where a regional economic integration 2. Dalam hal dimana organisasi kepaduan ekonomi
organization that is an international organization referred regional yang merupakan organisasi internasional
to in Annex IX, Article 1, of the Convention has sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1
competence over all the matters governed by this Konvensi ini memiliki kompetensi akan seluruh hal
Agreement, the following provisions shall apply to yang diatur dalam Persetujuan ini, ketetapan berikut
participation by the regional economic integration berlaku terhadap keikutsertaan organisasi integrasi
organization in this Agreement: ekonomi regional dalam Persetujuan ini:

(a) at the time of signature or accession, such organization (a) pada saat penandatanganan atau aksesi, organisasi
shall make a declaration stating: tersebut wajib membuat pernyataan yang
menyatakan:
(i) that it has competence over all the matters (i) bahwa organisasi tersebut memliki kompetensi
governed by this Agreement; terhadap hal-hal yang diatur dalam Persetujuan
ini;
(ii) that, for this reason, its member States shall not (ii) bahwa, untuk alasan ini, Negara anggotanya
become States Parties, except in respect of their tidak wajib menjadi Negara Pihak, kecuali atas
territories for which the organization has no wilayah mereka dimana organisasi tidak
responsibility; and memiliki tanggung jawab; dan
(iii) that it accepts the rights and obligations of States (iii) bahwa organisasi menerima hak dan kewajiban
under this Agreement; Negara di bawah Persetujuan ini;

(b) participation of such an organization shall in no case (b) keikutsertaan organisasi tersebut sama sekali tidak
confer any rights under this Agreement on member boleh memberikan hak apapun di bawah
States of the organization; Persetujuan ini pada Negara anggota organisasi.

(c) in the event of a conflict between the obligations of (c) apabila terjadi pertentangan antara kewajiban
such organization under this Agreement and its organisasi di bawah Persetujuan ini dan kewajiban
obligations under the Agreement establishing the di bawah Persetujuan yang membentuk organisasi
organization or any acts relating to it, the obligations tersebut atau undang – undang apa pun yang
under this Agreement shall prevail. berkenaan dengan itu, kewajiban organisasi di
bawah Persetujuan ini berlaku.
Article 29 Pasal 29
Entry into force Pemberlakuan Persetujuan

1. This Agreement shall enter into force thirty days after the 1. Persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal
date of deposit with the Depositary of the twenty-fifth penyimpanan di Depositari atas instrumen ratifikasi,
instrument of ratification, acceptance, approval or penerimaan, persetujuan atau aksesi ke dua puluh lima
accession in accordance with Article 26 or 27. sesuai dengan Pasal 26 atau 27.

2. For each signatory which ratifies, accepts or approves this 2. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima,
Agreement after its entry into force, this Agreement shall atau menyetujui Persetujuan ini setelah Persetujuan ini
enter into force thirty days after the date of the deposit of berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah
its instrument of ratification, acceptance or approval. tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan,
atau persetujuan.
3. For each State or regional economic integration 3. Bagi tiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi
organization which accedes to this Agreement after its regional yang melakukan aksesi Persetujuan ini setelah
entry into force, this Agreement shall enter into force Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30
thirty days after the date of the deposit of its instrument of hari setelah tanggal penyimpanan instrumen aksesi.
accession.

4. For the purposes of this Article, any instrument deposited 4. Demi tujuan Pasal ini, instrumen apa pun yang disimpan
by a regional economic integration organization shall not oleh organisasi integrasi ekonomi regional tidak
121

be counted as additional to those deposited by its Member dianggap sebagai tambahan kepada yang telah disimpan
States. oleh Negara anggota.
Article 30 Pasal 30
Reservations and exceptions Pensyaratan dan Pengecualian

No reservations or exceptions may be made to this Pensyaratan dan pengecualian tidak diboleh dilakukan
Agreement. terhadap Persetujuan ini.
Article 31 Pasal 31
Declarations and statements Deklarasi dan Pernyataan

Article 30 does not preclude a State or regional economic Pasal 30 tidak menghalangi suatu negara atau organisasi
integration organization, when signing, ratifying, accepting, integrasi ekonomi regional, ketika menandatangani,
approving or acceding to this Agreement, from making a meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi
declaration or statement, however phrased or named, with a Persetujuan ini, dengan melakukan deklarasi atau
view to, inter alia, the harmonization of its laws and pernyataan, atau apapun namanya, dengan maksud untuk
regulations with the provisions of this Agreement, provided antara lain harmonisasi hukum dan peraturan dengan
that such declaration or statement does not purport to exclude ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini, apabila
or to modify the legal effect of the provisions of this deklarasi atau pernyataan tersebut tidak bermaksud
Agreement in their application to that State or regional mengenyampingkan atau untuk mengubah pengaruh hukum
economic integration organization. ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini dalam
penerapannya kepada Negara atau organisasi integrasi
ekonomi regional.
Article 32 Pasal 32
Provisional application Pemberlakuan Sementara

1. This Agreement shall be applied provisionally by States or 1. Persetujuan ini berlaku untuk sementara waktu oleh
regional economic integration organizations which consent Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang
to its provisional application by so notifying the setuju terhadap pemberlakuan sementara dengan
Depositary in writing. Such provisional application shall memberitahu Depositari secara tertulis. Pemberlakuan
become effective from the date of receipt of the sementara tersebut menjadi efektif dari tanggal
notification. penerimaan pemberitahuan tersebut.

2. Provisional application by a State or regional economic 2. Pemberlakuan sementara oleh Negara atau organisasi
integration organization shall terminate upon the entry into integrasi ekonomi regional harus berakhir dengan
force of this Agreement for that State or regional berlakunya Persetujuan ini bagi Negara itu atau
economic integration organization or upon notification by organisai integrasi ekonomi regional atau atas
that State or regional economic integration organization to pemberitahuan oleh Negara tersebut atau organisasi
the Depositary in writing of its intention to terminate integrasi ekonomi regional kepada Depositari secara
provisional application. tertulis dengan maksud mengakhiri pemberlakuan
sementara.
Article 33 Pasal 33
Amendments Amandemen

1. Any Party may propose amendments to this Agreement 1. Pihak manapun dapat mengajukan amandemen terhadap
after the expiry of a period of two years from the date of Persetujuan ini dua tahun setelah berlakunya Persetujuan
entry into force of this Agreement. ini.

2. Any proposed amendment to this Agreement shall be 2. Amandemen yang diajukan terhadap Persetujuan ini
transmitted by written communication to the Depositary wajib disampaikan secara tertulis kepada Depositari
along with a request for the convening of a meeting of the bersama dengan permohonan untuk menyelenggarakan
Parties to consider it. The Depositary shall circulate to all pertemuan para Pihak untuk mempertimbangkan
Parties such communication as well as all replies to the amandemen dimaksud. Depositori wajib
request received from Parties. Unless within six months mengkomunikasikan hal tersebut kepada seluruh Pihak
from the date of circulation of the communication one half dan menjawab permohonan yang disampaikan oleh
of the Parties object to the request, the Depositary shall Pihak-pihak. Kecuali kalau dalam waktu enam bulan
convene a meeting of the Parties to consider the proposed sejak tanggal pengkomunikasian tersebut, 1 ½ dari Pihak
amendment. berkeberatan akan permohonan itu, Depositori wajib
mengadakan pertemuan para Pihak untuk
122

mempertimbangkan amandemen yang diajukan.

3. Subject to Article 34, any amendment to this Agreement 3. Mengingat Pasal 34, amandemen terhadap Persetujuan
shall only be adopted by consensus of the Parties present ini hanya akan diadopsi melalui kesepakatan Pihak-
at the meeting at which it is proposed for adoption. pihak yang hadir dalam sidang dimana amandemen
tersebut diajukan untuk diadopsi.

4. Subject to Article 34, any amendment adopted by the 4. Mengingat Pasal 34, amandemen yang diadopsi dalam
meeting of the Parties shall come into force among the pertemuan para Pihak akan berlaku setelah Pihak-pihak
Parties having ratified, accepted or approved it on the meratifikasi, menerima, atau menyetujuinya 90 hari
ninetieth day after the deposit of instruments of setelah penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan
ratification, acceptance or approval by two-thirds of the atau persetujuan oleh 2/3 Pihak dihitung dari jumlah
Parties to this Agreement based on the number of Parties Pihak pada tanggal adopsi amandemnen tersebut.
on the date of adoption of the amendment. Thereafter the Kemudian, amandemen akan berlaku bagi Pihak yang
amendment shall enter into force for any other Party on the lain 90 hari setelah Pihak tersebut menyimpan instrumen
ninetieth day after that Party deposits its instrument of ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan terhadap
ratification, acceptance or approval of the amendment. amandemen tersebut.

5. For the purposes of this Article, an instrument deposited 5. Demi tujuan Pasal ini, instrumen yang disimpan oleh
by a regional economic integration organization shall not organisasi integrasi ekonomi regional tidak dihitung
be counted as additional to those deposited by its Member sebagai tambahan dari yang telah disimpan Negara
States. anggota.

Article 34 Pasal 34
Annexes Lampiran - lampiran

1. The Annexes form an integral part of this Agreement and a 1. Lampiran - lampiran tersebut membentuk bagian yang
reference to this Agreement shall constitute a reference to tidak dapat dipisahkan dari Persetujuan ini dan
the Annexes. pengacuan kepada Persetujuan ini merupakan pengacuan
kepada lampiran – lampiran.

2. An amendment to an Annex to this Agreement may be 2. Sebuah amandemen terhadap lampiran perjanian ini
adopted by two-thirds of the Parties to this Agreement dapat dilaksanakan oleh 2/3 Pihak dalam Persetujuan ini
present at a meeting where the proposed amendment to the yang hadir dalam pertemuan dimana amandemen yang
Annex is considered. Every effort shall however be made diajukan terhadap lampiran dipertimbangkan. Setiap
to reach agreement on any amendment to an Annex by usaha wajib dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan
way of consensus. An amendment to an Annex shall be terhadap amandemen kepada lampiran melalui cara
incorporated in this Agreement and enter into force for mufakat. Amandemen terhadap sebuah lampiran wajib
those Parties that have expressed their acceptance from the dibentuk dalam Persetujuan ini dan berlaku bagi Pihak-
date on which the Depositary receives notification of pihak yang telah meyatakan penerimaan mereka pada
acceptance from one-third of the Parties to this tanggal Depositori menerima pemberitahuan penerimaan
Agreement, based on the number of Parties on the date of dari 1/3 Pihak dalam Persetujuan ini berdasarkan jumlah
adoption of the amendment. The amendment shall Pihak pada tangal pelaksanan amandemen. Amandemen
thereafter enter into force for each remaining Party upon akan berlaku bagi setiap pihak lainnya setelah Depositori
receipt by the Depositary of its acceptance. menerima pernyataan penerimaan.
Article 35 Pasal 35
Withdrawal Penarikan Diri

Any Party may withdraw from this Agreement at any time Pihak mana pun dapat menarik diri dari Persetujuan ini
after the expiry of one year from the date upon which the sewaktu-waktu satu tahun setelah tanggal berlakunya
Agreement entered into force with respect to that Party, by Persetujuan ini bagi Pihak-Pihak tersebut, dengan
giving written notice of such withdrawal to the Depositary. memberikan pemberitahuan penarikan diri secara tertulis
Withdrawal shall become effective one year after receipt of kepada Depositori. Penarikan diri berlaku satu tahun setelah
the notice of withdrawal by the Depositary. Depositori menerima pernyataan penarikan diri.
Article 36 Pasal 36
The Depositary Depositori

The Director-General of the FAO shall be the Depositary of Direktur Jenderal FAO akan menjadi Depositori dari
123

this Agreement. The Depositary shall: Persetujuan ini. Depositori wajib:

a. transmit certified copies of this Agreement to each a. memberikan salinan resmi Persetujuan ini kepada setiap
signatory and Party; penanda tangan dan Pihak:
b. register this Agreement, upon its entry into force, with b. mendaftarkan Persetujuan ini, setelah Persetujuan ini
the Secretariat of the United Nations in accordance with berlaku, kepada Sekretariat PBB sesuai dengan Pasal
Article 102 of the Charter of the United Nations; 102 Piagam PBB;
c. promptly inform each signatory and Party to this c. segera memberitahu setiap penanda tangan dan Pihak
Agreement of all: dalam Persetujuan ini mengenai:
(i) signatures and instruments of ratification, (i) tanda tangan dan instrumen ratifikasi, penerimaan,
acceptance, approval and accession deposited under persetujuan, dan aksesi di bawah Pasal 25, 26, dan
Articles 25, 26 and 27; 27;
(ii) the date of entry into force of this Agreement in (ii) tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini sesuai
accordance with Article 29; dengan Pasal 29;
(iii) proposals for amendment to this Agreement and their (iii) pengajuan amandemen terhadap Persetujuan ini dan
adoption and entry into force in accordance with pelaksanaanya serta mulai berlakunya sesuai dengan
Article 33; Pasal 33
(iv) proposals for amendment to the Annexes and their (iv) pengajuan amandemen terhadap lampiran –
adoption and entry into force in accordance with lampiran dan pelaksanaannya serta mulai
Article 34; and berlakunya sesuai dengan Pasal 34;
(v) withdrawals from this Agreement in accordance with (v) Penarikan diri dari Persetujuan ini sesuai dengan
Article 35. Pasal 35.
Article 37 Pasal 37
Authentic texts Teks-Teks Otentik

The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish Teks berbahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan
texts of this Agreement are equally authentic. Spanyol dari Persetujuan ini memiliki keotentikan yang
sama.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, Saksi Persetujuan, duta yang berkuasa penuh yang bertanda
being duly authorized, have signed this Agreement. tangan di bawah ini, yang berwenang dengan semestinya
telah menandatangani Persetujuan ini.

DONE at, on this day of, 2009 Ditandatangani di pada tanggal …. bulan… tahun 2009.
124

Lampiran 2 Annex A Port State Measures


Annex A
Information to be provided in advance by vessels requesting port entry

1. Intended port of call


2. Port state
3. Estimated date and time of arrival
4. Purpose(s)
5. Port and date of last port call
6. Name of vessel
7. Flage
8. Type of vessel
9. International radio call sign
10. Vessel contact information
11. Vessel owner(s)
12. Certificate of registry ID
13. IMO ship ID, if available
14. External ID, if available
15. RFMO ID, if available
16. VMS No Yes national Yes Type:
RFMO(s)
17. Vessel dimensions Length Beam Darft
18. Vessel master name and nationality
19. Relevant fishing authorization(s)
Identifier Issued by Validity Fishing Species Gear
area

20. Relevant transshipment authorization(s)


Identifier Issued by Validity
Identifier Issued by Validity
21. Transshipment information concerning donor vessels
Date Location Name Flage ID Species Product Catch Quantity
state number form area

22. Total catch on board 23. Catch to be offloaded


Species Product form Catch area Quantity Quantity
125

Lampiran 3 Annex B Port State Measures


Annex B

Port State inspection procedures

Inspectors shall:
a) verify, to the extent possible, that the vessel identification documentation
onboard and information relating to the owner of the vessel is true,
complete and correct, including through appropriate contacts with the flag
State or international records of vessels if necessary;

b) verify that the vessel’s flag and markings (e.g. name, external registration
number, International Maritime Organization (IMO) ship identification
number, international radio call sign and other markings, main
dimensions) are consistent with information contained in the
documentation;

c) verify, to the extent possible, that the authorizations for fishing and fishing
related activities are true, complete, correct and consistent with the
information provided in accordance with Annex A;

d) review all other relevant documentation and records held onboard,


including, to the extent possible, those in electronic format and vessel
monitoring system (VMS) data from the flag State or relevant regional
fisheries management organizations (RFMOs). Relevant documentation
may include logbooks, catch, transshipment and trade documents, crew
lists, stowage plans and drawings, descriptions of fish holds, and
documents required pursuant to the Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora;

e) examine, to the extent possible, all relevant fishing gear onboard,


including any gear stowed out of sight as well as related devices, and to
the extent possible, verify that they are in conformity with the conditions
of the authorizations. The fishing gear shall, to the extent possible, also be
checked to ensure that features such as the mesh and twine size, devices
and attachments, dimensions and configuration of nets, pots, dredges,
hook sizes and numbers are in conformity with applicable regulations and
that the markings correspond to those authorized for the vessel;

f) determine, to the extent possible, whether the fish on board was harvested
in accordance with the applicable authorizations;

g) examine the fish, including by sampling, to determine its quantity and


composition. In doing so, inspectors may open containers where the fish
has been pre-packed and move the catch or containers to ascertain the
integrity of fish holds. Such examination may include inspections of
product type and determination of nominal weight;
126

h) evaluate whether there is clear evidence for believing that a vessel has
engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such
fishing;

i) provide the master of the vessel with the report containing the result of the
inspection, including possible measures that could be taken, to be signed
by the inspector and the master. The master’s signature on the report shall
serve only as acknowledgment of the receipt of a copy of the report. The
master shall be given the opportunity to add any comments or objection to
the report, and, as appropriate, to contact the relevant authorities of the
flag State in particular where the master has serious difficulties in
understanding the content of the report. A copy of the report shall be
provided to the master; and

j) arrange, where necessary and possible, for translation of relevant


documentation.
127

Lampiran 4 Annex C Port State Measures


Annex C
Report of the result of the inspection

1. Inspection report no 2. Port state


3. Inspecting authority
4. Name of principal inspection ID
5. Port inspection
6. Commencement of inspection YYYY MM DD HH
7. Completion of inspection YYYY MM DD HH
8. Advanced notification received Yes No
9. Purpose(s) LAN TRX PRO OTH (specify)
10. Port and state and date of last YYYY MM DD
port call
11. Vessel name
12. Flag state
13. Type of vessel
14. International radio call sign
15. Certificate of registry ID
16. IMO ship ID, if available
17. External ID, if available
18. Port of registry
19. Vessel owner(s)
20. Vessel beneficial owner(s), if known
and different from vessel owner
21. Vessel operator(s), if different from
vessel owner
22. Vessel master name and nationality
23. Fishing master name and nationality
24. Vessel agent
25. VMS No Yes: National Yes: RFMOs Type:
26. Status in RFMO areas where fishing related activites have been
undertaken, including any IUU vessel listing
Vessel identifier RFMO Flag state Vessel on Vessel on IUU
status authorized live vessel list

27. Relevant fishing authorization(s)


Identifier Issued by Validity Fishing area(s) Species Gear
128

Lanjutan Annex C
28. Relevant transshipment authorization(s)
Identifier Issued by Validity
Identifier Issued by Validity
29. Transshipment information concerning donor vessels
Name Flage state ID na Species Product Catch Quantity
form areas(s)

30. Evaluation of offloaded catch (quantity)


Species Product Catch Quantity Quantity Different between quantity
form area(s) declared offloaded declared and quantity
determined, if any

31. Catch retained onboard (quantity)


Species Product Catch Quantity Quantity Different between quantity
form area(s) declared offloaded declared and quantity
determined, if any

32. Examination of logbook(s) and other Yes No Comments


documentation
33. Compliance with applicable catch Yes No Comments
docementation scheme(s)
34. Compliance with applicable trade Yes No Comments
information scheme(s)
35. Type of gear used
36. Gear examined in accordance Yes No Comments
with paragraph e) of Annex B
37. Finding by inspector(s)

38. Apparent infringement(s) noted including reference to relevant ilegal


instrument(s)
39. Comments by the master

40. Action taken

41. Master’s signature

42. Inspector’s signature


129

Lampiran 5 Annex D Port State Measures


Annex D
Information systems on port State measures

In implementing this Agreement, each Party shall:

a) seek to establish computerized communication in accordance with Article


16;

b) establish, to the extent possible, websites to publicize the list of ports


designated in accordance with Article 7 and the actions taken in
accordance with the relevant provisions of this Agreement;

c) identify, to the greatest extent possible, each inspection report by a unique


reference number starting with 3-alpha code of the port State and
identification of the issuing agency;

d) utilize, to the extent possible, the international coding system below in


Annexes A and C and translate any other coding system into the
international system.

countries/territories: ISO-3166 3-alpha Country Code


species: ASFIS 3-alpha code (known as FAO 3-alpha code)
vessel types: ISSCFV code (known as FAO alpha code)
gear types: ISSCFG code (known as FAO alpha code)
130

Lampiran 6 Annex E Port State Measures


Annex E
Guidelines for the training of inspectors

Elements of a training programme for port State inspectors should include at least
the following areas:

1. Ethics;

2. Health, safety and security issues;

3. Applicable national laws and regulations, areas of competence and


conservation and management measures of relevant RFMOs, and
applicable international law;

4. Collection, evaluation and preservation of evidence;

5. General inspection procedures such as report writing and interview


techniques;

6. Analysis of information, such as logbooks, electronic documentation and


vessel history (name, ownership and flag State), required for the validation
of information given by the master of the vessel;

7. Vessel boarding and inspection, including hold inspections and calculation


of vessel hold volumes;

8. Verification and validation of information related to landings,


transshipments, processing and fish remaining onboard, including utilizing
conversion factors for the various species and products;

9. Identification of fish species, and the measurement of length and other


biological parameters;

10. Identification of vessels and gear, and techniques for the inspection and
measurement of gear;

11. Equipment and operation of VMS and other electronic tracking systems;
and

12. Actions to be taken following an inspection.

Você também pode gostar