Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dapat menurunkan harga; demikian sebaliknya. Kedua, setiap individu memiliki
kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) sebagai dasar
melakukan transaksi (exchange). Tanpa adanya hak kepemilikan, individu tidak
akan pernah bisa mengeksekusi kegiatan ekonomi (transaksi). Oleh karena itu,
salah satu fungsi terpenting dari kapitalisme adalah menawarkan dan melindungi
hak kepemilikan swasta (private property rights). Ketiga, kegiatan ekonomi
dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni pemodal (capital), tenaga
kerja (labor), dan pemilik lahan (land). Pemilik modal memeroleh pendapatan
dari laba (profit), tenaga kerja dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa
(rent). Keempat, tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar
pasar (free entry dan exit barriers). Pelaku ekonomi yang melihat peluang profit
bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pelaku ekonomi yang gagal
(rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi yang menghambatnya.
4
negara bisa masuk untuk memperkuat fungsi pasar, seperti pembuatan sarana
transportasi, listrik, dan telekomunikasi.
5
pemilik lahan memberikan jaminan tempat bagi kegiatan produksi. Akibat
penekanannya terhadap aspek produksi tersebut (dan bukan konsumsi), Karl Marx
mendefinisikan kapitalisme sebagai cara produksi (mode of production) [Grassby,
1999:3]. Pada level mikro, pemisahan pelaku ekonomi secara otomatis
menyebabkan berjalan mekanisme check and balances. Dalam praktiknya, di
tingkat korporasi, pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan mempunyai
otoritas masing-masing (seberapa pun terbatasnya) untuk menjalin kerjasama
maupun pengawasan. Inilah yang menjadi dasar tenaga kerja diperbolehkan
membuat serikat kerja sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingannya,
khususnya berhadapan dengan pemilik modal.
6
pranata faktor produksi selalu terhambat ketimbang percepatan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut
adalah kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah, dan
tenaga kerja. Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih
banyak menguntungkan pemilik tenaga kerja (budak/slave), sementara pada jaman
feodal keuntungan itu banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada jaman kapitalis
saat ini pemegang polis atau profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalan yang
mengemukaka adalah, ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan
atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-
masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor
produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx (Hayami, 1997:14)
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi)
selalu tidak diikuti dengan penataan superstruktur (faktor-faktor produksi), dan itu
berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.
7
Lepas dari hal tersebut, sekadar sebagai kasus, di Kuba-misalnya-setelah
masa revolusi pemerintahan Fidel Castro mengubah struktur kepemilikan secara
mendasar dengan mengubah hak kepemilikan privat menjadi hak kepemilikan
negara. Dengan modus ini, pemerintah Kuba berharap bisa mengoyak
kelembagaan ekonomi yang sebelumnya telah menimbulkan ketimpangan
pendapatan. Kebijakan itu dilanjutkan dengan adanya revolusi agraria (agrarian
reform), yang dilakukan pertama kali pada tanggal 17 Mei 1959 melalui UU
Reformasi (Reform Law). Setelah itu, pada 1963 muncul legislasi reformasi lahan
kedua dengan menghapuskan petani skala menengah dan besar. Dengan distribusi
lahan ini, pemerintah Kuba berkeyakinan dapat memutus dari praktik kapitalisme,
yakni dengan jalan menyerang fondasi paling dasar dari perekonomian Kuba yang
membuatnya terjebak dalam jaringan kapitalisme internasional (Ruffin,
1990:119). Meskipun saat ini bukan tergolong negara yang kaya, setidaknya
berdasarkan peringkat pendapatan per kapita, tetapi dari sisi pemerataan
pendapatan pemerintah Kuba saat ini telah berhasil memerbaikinya dibandingkan
masa pra-revolusi dulu. Deksripsi tersebut setidaknya membuktikan kuatnya
pengaruh pilar serba-negara dan target pemerataan dalam sistem ekonomi sosialis.
8
sistem ekonomi kapitalis (Jaffe, 1998:121). Faktanya, sebagian dari skenario ini
memang terjadi di negara-negara yang selama ini mengusung sosialisme sebagai
sistem ekonominya, seperti negara-negara Eropa Timur sebelum dekade 1990-1n
dan Kuba.
9
positif antara hak-hak politik (political right) dengan pertumbuhan ekonomi
(Clague et. Al.,1997:96). Studi lain menyebut kapitalisme memiliki kedekatan
korelasi dengan kebebasan politik (demokrasi), sehingga kepitalisme dianggap
merupakan kondisi yang penting (necessary condition) untuk menuju kebebasan
politik (Pryor, 2010:91-92). Temuan-temuan tersebut tentu saja makin
memperumit skenario yang diinginkan oleh para ahli untuk mencoba menjabarkan
secara memuaskan tentang hubungan kedua variabel tersebut. Dalam banyak
kasus perbedaan hasil itu lebih banyak disebabkan oleh keragaman variabel yang
di pakai dalam penelitian.
10
jelas, bahwa hanya dengan adanya pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat bisa
meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahteraannya secara signifikan
sehingga memungkinkan mereka bisa berpartisipasi secara efektif dalam lapangan
politik dengan tanggung jawab yang mencukupi. Pandangan ini mengemuka
cukup lama dan diyakini sebagai “kebenaran” sehingga beberapa negara secara
konsisten mencoba menerapkan teori ini. Tetapi dalam perkembangnya, tesis
Lipset tersebut tidak sepenuhnya mendapat pembenaran empirik karena
ditemukannyadua hal berikut. Pertama, ternyata ada beberapa negara yang tidak
menunjukan pertumbuhan yang berarti, bahkan bisa dikatakan miskin, justru
tingkat partisipasi efektif (demokrasi, dalam arti luas) masyarakat dalam politik
sangat bagus, misalnya India. Kedua, sebaliknya negara-negara dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi dengan rentan waktu perolehan yang cukup lama
dalam realitasnya tidak segera menampakkan perkembangan ke arah demokrasi
dalam lapangan politik. Bahkan dalam banyak hal, seringkali implementasi sistem
pemerintahan otoriter dijadikan legitimasi bagi perolehan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Termasuk klasifikasi ini adalah negara-negara sosialis dan Asia
Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.
11
Secara spesifik, Barro menunjukkan bahwa posisi awal GDP per kapital
pendidikan tingkat menegah dan perguruan tinggi, angka harapan hidup, fertilitas,
konsumsi pemerintah, nilai tukar, inflasi, indeks saturan hukum dan indeks
demokrasi berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Khusus
mengenai aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai seberapa jauh
kualitas birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah membatalkan
kontrak, risiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta (asing atau
dalam negeri), dan pemeliharaan umum aturan hukum digerakan untuk mengelola
kehidupan bernegara. Setiap tindakan pemerintah yang cenderung menjauhi
aturan dan kepastian hukum, membuat respon pertumbuhan ekonomi akan
memburuk, demikian sebaliknya. Studi yang mirip juga telah dikerjakan oleh
Kunio (2000: 119-120) , yang mewartakan bahwa negara – negara yang memiliki
kelembagaan yang lebih sempurna, misalnya adanya jaminan hak kepemilikan
dan intervensi pemerintah yang tepat, mempunyai kualitas pembangunan ekonomi
yang lebih baik. Hasilnya, studi yang di kerjakan oleh Thomas et. Al. (2001: 156 )
menunjukan bahwa negara yang indeks demokrasinya tinggi berkorelasi dengan
pendapatan per kapita dan pengeluaran sosial yang juga tinggi.
12
OECD, seperti argentina, saudi arabia, thailand, uruguay, dan venezuela yang
memiliki GDP perkapita lebih dari US$ 2.900 pada tahun 1960. Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita awal yang tinggi (initial per
capital income) tidak memberikan jaminan bagi kinerja perekonomian yang bagus
dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang pendapatan awal per
kapitanya tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki keunggulan dalam menjamin hak
kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi publik yang efisien,
justru menghasilkan perekonomoian yang menonjol (clague, et al, 1997:74-75)
13
bagi orang untuk mengerjakan investasi (Todaro, 1997:70-73). Dari sini dapat
dipahami mengapa setiap undang-undang mengenai PMA (Penanaman Modal
Asing) disebuah negara selalu diterangan secara detail mengenai jaminan hak
kepemilikan agar inestor asing memiliki kepastian hukum atas kepemilikan lahan
dan perusahannya. Tanpa jaminan yang eksplisit tersebut bisa dipastikan investor
takut untuk membuat keputusan investasi karena adanya ruang ketidakpastian
(uncertainty), suatu variabel yang penting dalam kegiatan ekonomi.
Pada level ekonomi makro setidaknya ada lima isu penting yang sering
ditelaah yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan anggaran defisit, stabilisasi
nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan
investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro
isu yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi,pengembangan pasar modal,
penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan dan mepromosikan
kompetisi.
14
Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi bisa diterima
mengingat negara hendak memindahkan pengelolan ekonomi dari serba negara
(state guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction). Negara – negara
yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada lebel makro
dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi
yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisitanggaran yang besar, nilai
tukar mata uang domestik yang tidak stabil dan perdangangan lebih ditunjukkan
pada pasar domestik. Sedangkan pada level ekonomi mirko harga cenderung
dipatok oleh pemrintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat
monopolistikakibat intervensi negara dan tiadanya jaminan terhadap hak
kepemilikan untuk individu. Hal inilah yang membuat perekonomian tidak
efesien.
15
1. Kelembagaan akan menempatkan semua pihak berada dalam posisi
yang sepadan akibat adanya rule of law yang mengatur. Pelaku
ekonomi yang tidak memiliki modal besar dan koneksi politik dijamin
bisa melakukan investasi juga tanpa harus mengeluarkan biaya.
Sebaliknya usahawa besar tidak lantas bisa memuluskan investasinya
hanya karena mempunyai koneksi politik karena praktirk semacam itu
dibatasi oleh peraturan yang tidak mengijinkan. Jika prosedur yang fair
dan transparansi akan membuat semua pihak diposisikan secara
sejajar.
2. Efisensi kelembagaan dalam wujud ketiadaan jaminan hak
kepemilikan, korupsi, penyalahgunaaninfrastruktur publik dan
kebijakan yang mendistorsi pasar justru akan lebih merugikan
kelompok masyarakat yang lemah dan miskin. Kasus monopoli
misalnya dapat terjadi karena adanya sistem regulasi dan proteksi yang
tidak ramah terhadap penguatan kelembagaan.
16
pengupahan kepada pkerja didasarkan kebijakan (UU) tersebut. Melalui skenario
inilah perubahan kelembagaan (institutional change) akan terjadi untuk menjaga
agar tindakan dan kegiatan eonomi terus berjalan.
17
konstituen mengalami mobilitas bersama. Jika setiap pergerakan rakyat cuma
mengajak segelintir pelaku ekonomi maka peranan negara wajib menghentikan
program pembangunan tersebut. Cara pandang ini tentu saja tidak berseberangan
dengan upaya modernisasi tetapi hanya memastikan bahwa proses menuju
kemajuan harus berlandaskan pada cita-cita filsafat politik yang sudah
dirumuskan. Fakta yang tidak bisa ditolak adalah setiap kebijakan pembangunan
pasti dianggap merupakan proses menuju kemajuan dan kemakmuran bersama.
Dari sinilah unsur etika bisa masuk dan sangat berperan penting dalam
menghitung setiap nisbah Pembangunan yang dilaksanakan.
18
pemerintah sehingga menentukan hidup matinya kepentingan rakyat banyak . Hal
itu bisa dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi tersebut ke wilayah-wilayah
yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik. Dampaknya adalah
pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsistem dari usaha ekonomi
tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang melakukan
interaksi sosial. Dengan begitu matinya pelaku ekonomi kecil dan menyempitnya
ruang publik merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi.
Dengan dua implikasi di atas tentu saja peran negara tidak bisa dicegah.
Dalam konteks ini fungsi negara tidak lagi sekedar menghindari terjadinya resesi
ekonomi ataupun mengatasi praktik ekonomi yang merugikan kepentingan pihak
lain, melainkan melindungi kepentingan rakyat yang tersisih sebagai cermin
komitmen sosialnya. Pada titik ini, secara minimal peran negara adalah membatasi
pengaruh ekspansi korporasi besar yang merugikan kepentingan publik dengan
mengeluarkan regulasi-regulasi yang bisa menghilangkan keserakahan modal.
Model dan pasar merupakan dua karib yang bersahabat akrab adalah dua modal
ekonomi yang tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa asupan regulasi sehingga
mampu menerkam ke seluruh penjuru pelaku ekonomi. Lebih dari itu, negara
19
juga harus melindungi dan menjamin bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan jaminan hidup melalui sistem jaminan sosial yang matang. Upaya
kuratif ini merupakan wajah lain dari misi etis Negara, bahwa negara bertanggung
jawab terhadap proses distribusi atas hasil pembangunan, walaupun betapa
baiknya sebuah regulasi telah dibuat oleh Negara. Negara secara etnis harus hadir
untuk melayani kaumnya yang takluk karena dipaksa bertarung dengan kekuatan
pasar yang buas.
20
ekonomi klasik atau neo klasik dan keynesian. Tentu saja ada banyak variasi
derajat intervensi negara untuk mengatur kegiatan perekonomian tersebut.
Regulasi
- Mendorong
kompetisi Legislasi Anti-trust
- Regulasi
monopoli Administrasi harga Proteksi hak kepemilikan
- Proteksi Aturan masuk dan
Level tarif
konsumen keluar, lisensi investasi
Hambatan non-tarif UU perlindungan
- Proteksi tenaga
konsumen dan UU
kerja
tenaga kerja
Barang Publik
21
populasi langsung
- Proteksi Ongkos tidak Kontrol polusi &
lingkungan langsung perwilayahan
- Struktur legal Ongkos tidak
(hukum) langsung Pengadilan Independen
- Pendidikan & Ongkos tidak Campuran pemerintah /
penelitian langsung swasta
- Pelayanan Subsidi (Free Campuran pemerintah /
kesehatan Vouchers) swasta
- Integrasi sektor Campuran pemerintah /
informal Dukungan selektif NGO
- Pembangunan Campuran perintah /
regional Intensif selektif NGO
Monopoli Alamiah
- Penyediaan
infrastruktur dan Monopoli pemerintah
perangkatnya
Redistribusi
- Transfer kepada
Jaminan kesempatan
kaum miskin & Pajak dan subsidi
kerja
rentan
- Kebutuhan dasar Jaminan sosial Kontrak sosial
Perencanaan
- Informasi & Informasi & Perencanaan indikatif/
peramalan disiminasi terpusat
- Kebijakan industrial Proteksi selektif Lisensi investasi
22
Organisasi
23
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam sistem politik otoriter terdapat sisi positif dan negatifnya, sebagai berikut :
1. Sisi positif
Sistem politik otoriter memiliki efektivitas yang tinggi dalam pengambilan
keputusan karena dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh satu
pertimbangan yang dianggap benar dan tidak perlu dicampuri dengan
pertimbangan lain yang tidak disetujui. Tidak adanya peluang bagi pihak
manapun untuk melakukan pemberontakan, pembangkangan, maupun
penolakan atas tujuan yang akan dicapai. Segala sesuatunya diatur oleh
negara sehingga kebijakan yang dibuat dapat berjalan sesuai rencana.
Rezim otoriter juga dapat berfungsi sebagai kelembagaan yang mengelola
24
aturan main, memberikan intensif bagi yang menaati peraturan dan
menghukum pelanggar aturan kebijakan yang dibuat.
2. Sisi negatif
Persoalan yang selalu muncul dalam sistem politik otoriter adalah
ketidakakuratan kebijakan. Kebijakan yang tidak akurat disebabkan oleh
informasi yang bias atau tidak jelas. Rezim otoriter tidak memiliki
kemampuan untuk mengatasi permintaan barang dan jasa yang semakin
berkembang, besar dan kompleks. Perekonomian yang semakin kompleks,
arus informasi dari sistem ini akan semakin sulit dikendalikan dan potensi
sumber-sumber imperfect information dalam bentuk moral hazzard dan
adverse selection semakin menguat seiring banyak pihak berkepentingan
yang muncul.
3.2. Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26