Você está na página 1de 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Studi tentang Ekonomi Kelembagaan saat ini begitu memperoleh tempat


dikalangan pemikir ekonomi dan sosiologi. Tidak saja di Barat, tetapi kajian yang
sama tumbuh di dunia timur, termasuk di Indonesia. Dalam ekonomi kelembagaan
dikenal juga institusi. Terdapat beberapa pengertian institusi yang dikemukakan
oleh para ekonom. Salah satunya pengertian yang dikemukakan oleh Douglas C.
North yaitu institusi sebagai aturan-aturan (constraints) yang diciptakan oleh
manusia untuk mengatur dan membentuk interaksi politik, sosial, dan ekonomi.
Aturan-aturan tersebut terdiri dari aturan formal seperti undang-undang, konstitusi
dan aturan informal seperti norma sosial, konvensi, adat istiadat. Ekonomi
Kelembagaan membahas masalah ekonomi dalam ranah hubungan ekonomi dan
kehidupan sosial serta hubungannya dengan kepemilikan seseorang atau property
right.

Ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan pada


pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem ekonomi
dan sosial bekerja (Black, 2002). Salah satu kunci dalam aspek ekonomi
kelembagaan adalah menyangkut property right atau hak pemilikan. Property
right ini melekat dalam bentuk aturan formal dan juga norma sosial dan adat.
Relevansi hak pemilikan ini tergantung dari seberapa besar ia bisa dijalankan dan
diakui dalam masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah makalah ini, sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep kelembagaan kapitalisme dan sosialisme?
2. Bagaimana konsep ekonomi kelembagaan dan demokrasi?
3. Bagaimana perubahan kelembagaan dan pembangunan ekonomi?
4. Apakah masih ada tempat untuk negara dalam ekonomi kelembagaan dan
sistem ekonomi ?

1
1.3. Tujuan

1. Mengetahui tentang peran kelembagaan kapitalis dan sosialisme.


2. Mengetahui konsep ekonomi kelembagaan dan demokrasi.
3. Mengetahui perubahan kelembagaan dan pembangunan ekonomi.
4. Mengetahui tempat negara dalam ekonomi kelembagaan dan sistem
ekonomi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Teori kelembagaan hidup dan berjalan di atas realitas sosial yang


sesungguhnya, sesuatu yang diabaikan dalam pendekatan ekonomi klasik atau
neoklasik. Oleh karena asumsi semacam itu, ekonomi kelembagaan memasukkan
aspek-aspek sosial, politik, hukum, budaya, dan lain-lain sebagai satu kesatuan
unit analisis. Dengan dasar ini, formulasi ekonomi kelembagaan haruslah
berbeda-beda apabila diberlakukan dalam struktur atau sistem ekonomi, sosial,
budaya, atau hukum yang berlainan. Perbedaan tersebut bukan diakibatkan oleh
ketidakjelasan konsep dari ekonomi kelembagaan itu sendiri, melainkan
merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa kegiatan ekonomi berada di atas
realitas sosial. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran dan implikasi yang lebih
mendalam dari sistem ekonomi dan politik terhadap formulasi konsep ekonomi
kelembagaan. Sekadar menyederhanakan, sistem kapitalis dan sosialis dipilih
sebagai studi kasus sistem ekonomi; serta sistem politik otoriter dan demokratis
sebagai studi kasus sistem politik. Selain itu, intervensi negara juga dapat
diwujudkan lewat perspektif ekonomi kelembagaan.

2.1. Kelembagaan Kapitalisme dan Sosialisme

Kapitalisme dianggap sebagai penemuan luar biasa dalam sejarah umat


manusia. Bahkan, kapitalisme industrial (industrial capitalism) dipandang sebagai
transformasi terbesar yang pernah ada di dunia ini (Mathews, 2011:868). Sistem
ekonomi kapitalis (kapitalisme) sendiri tegak oleh beberapa pilar dasar yang
melatarinya. Setidaknya, wajah kapitalisme bisa dilukis dalam empat sketsa
berikut. Pertama, kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalisme
digerakkan dan dikoordinasikan oleh pasar (bebas) dengan instrumen harga
sebagai penanda (sinyal). Jika harga dianggap melebihi biaya produksi dan
margin laba, maka hal itu merupakan sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk
masuk ke pasar untuk menambah persediaan (supply) barang atau jasa sehingga

3
dapat menurunkan harga; demikian sebaliknya. Kedua, setiap individu memiliki
kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) sebagai dasar
melakukan transaksi (exchange). Tanpa adanya hak kepemilikan, individu tidak
akan pernah bisa mengeksekusi kegiatan ekonomi (transaksi). Oleh karena itu,
salah satu fungsi terpenting dari kapitalisme adalah menawarkan dan melindungi
hak kepemilikan swasta (private property rights). Ketiga, kegiatan ekonomi
dipisahkan oleh tiga pemilik faktor produksi, yakni pemodal (capital), tenaga
kerja (labor), dan pemilik lahan (land). Pemilik modal memeroleh pendapatan
dari laba (profit), tenaga kerja dari upah (wage), dan pemilik lahan dari sewa
(rent). Keempat, tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar
pasar (free entry dan exit barriers). Pelaku ekonomi yang melihat peluang profit
bisa langsung masuk pasar, demikian pula dengan pelaku ekonomi yang gagal
(rugi) dapat langsung keluar tanpa ada regulasi yang menghambatnya.

Dengan empat pilar tersebut, ekonomi kelembagaan yang dikembangkan


di negara-negara kapitalis diarahkan agar dapat menjalankan prinsip itu. Dalam
hal penguatan pasar sebagai instrumen untuk mengoordinasi kegiatan ekonomi,
misalnya, aturan mainnya yang digunakan adalah mengeluarkan negara atau
pemerintah dari aktivitas ekonomi. Seluruh kegiatan ekonomi digerakkan oleh
sektor swasta lewat pasar, sehingga bisa mendiskripsikan preferensi setiap
individu. Bahkan, akibat peran pasar yang dominan, kapitalisme sendiri sering
disinonimkan sebagai ekonomi pasar (market economics) [Grassby, 1999: 3].
Dalam posisi seperti ini, peran negara tidak lebih sebagai fasilitator kegiatan
ekonomi. Atau, lebih spesifik lagi, negara diperlukan kehadirannya apabila terjadi
kegagalan pasar (market failure), baik karena eksternalitas maupun keperluan
munculnya barang publik. Menurut cara pandang aliran neoklasik, apabila
eksternalitas dan barang publik eksis, maka negara bisa hadir melalui regulasi
yang dibuat (Caporaso dan Levine, 1922:92-93). Misalnya, dalam kasus
eksternalitas, negara diperkenankan memberikan penalti atas korporasi yang
menghasilkan polusi (negative externality). Sedangkan dalam kasus public good,

4
negara bisa masuk untuk memperkuat fungsi pasar, seperti pembuatan sarana
transportasi, listrik, dan telekomunikasi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa prinsip private property rightmerupakan


dasar terpenting dari kapitalisme. Bahkan, ekonomi kapitalis sangat tergantung
dari kelembagaan yang memapankan dan menjamin hak kepemilikan privat secara
ekslusif yang bisa digunakan melakukan pertukaran secara sukarela berdasarkan
kontrak. Seterusnya, hak kepemilikan privat hanya dapat berfungsi dengan efektif
apabila individu yang tidak memiliki otorisasi dapat dikeluarkan (excluded) dari
pemanfaatan property right tersebut sehingga tidak dapat memetik keuntungan
ataupun biaya yang melekat pada pemiliknya (Kasper dan Streit, 1998:173).
Dengan keyakinan itu, kelembagaan ekonomi kapitalisme didesain agar bisa
menjamin dan memberikan hak kepemilikan kepada masyarakat (private). Dari
perspektif ini, tidak dibenarkan adanya kelembagaan ekonomi yang menghambat
hak seseorang untuk mendapatkan hak kepemilikan. Jika ini terjadi, maka
risikonya sulit bagi individu tersebut melakukan transaksi secara sukarela. Dalam
jangka panjang, praktik yang menghambat hak kepemilikan privat akan
menganggu kegiatan ekonomi secara keseluruhan sehingga disinsentif bagi
pertumbuhan ekonomi. Argumentasi inilah yang menjadi faktor penting yang
mempercepat negar-negara kapitalis dalam mengakumulasi kapital dan
menggerakkan kegiatan ekonomi.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah pemisahan kegiatan ekonomi


dalam tiga pelaku, yakni pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan.
Meskipun relasi antara ketiga pelaku ini dianggap sangat tidak adil oleh ekonom
kiri (marxian economists), namun faktanya pembagian kerja itu telah
mendonorkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kompetisi yang tinggi di negara-
negara kapitalis. Pada level makro, pemisahan pemilik faktor produksi tersebut
menjadi alasan munculnya segregasi hubungan ekonomi yang efisien melalui
spesialisasi. Pemilik modal menyiapkan sepenuhnya kebutuhan material (alat
produksi) sehingga proses produksi bisa berlangsung, tenaga kerja memberikan
kemampuan atau keterampilan maksimal agar diperoleh output yang bermutu, dan

5
pemilik lahan memberikan jaminan tempat bagi kegiatan produksi. Akibat
penekanannya terhadap aspek produksi tersebut (dan bukan konsumsi), Karl Marx
mendefinisikan kapitalisme sebagai cara produksi (mode of production) [Grassby,
1999:3]. Pada level mikro, pemisahan pelaku ekonomi secara otomatis
menyebabkan berjalan mekanisme check and balances. Dalam praktiknya, di
tingkat korporasi, pemilik modal, tenaga kerja, dan pemilik lahan mempunyai
otoritas masing-masing (seberapa pun terbatasnya) untuk menjalin kerjasama
maupun pengawasan. Inilah yang menjadi dasar tenaga kerja diperbolehkan
membuat serikat kerja sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingannya,
khususnya berhadapan dengan pemilik modal.

Akhirnya, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi kapitalis memberi


tempat yang leluasa bagi setiap pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar
melalui sistem insentif. Setiap adanya regulasi yang merintangi pelaku ekonomi
masuk dan keluar pasar, di situlah akan terjadi inefisiensi ekonomi. Inefisiensi itu
dengan mudah dikenali dan harga yang terbentuk di pasar. Jika harga terlalu
tinggi dari yang seharusnya, berarti jumlah supply sangat terbatas sehingga hal ini
menjadi sinyal bagi pelaku ekonomi lain untuk masuk (entry) pasar. Apabila
produser masuk ini dirintangi, maka konsumen akan dirugikan (consumers loss).
Sebaliknya, jika harga sangat rendah dari yang seharusnya, maka ini juga pertanda
bagi sebagian aktor ekonomi untuk keluar dari pasar agar jumlah produk
berkurang. Bila mekanisme keluar ini dihambat, maka akan banyak sekali pelaku
ekonomi yang mengalami kerugian (producers loss). Melalui skenario tersebut,
ekonomi kelembagaan sistem kapitalis didesain agar cukup terdapat ruang bagi
pelaku ekonomi untuk berpartisipasi dalam perekonomian. Secara operasional,
prinsip ini tentu saja didukung dengan kemauan pemerintah untuk seminimal
mungkin memproduksi regulasi yang justru berpotensi membawa efek negatif
bagi free entry dan exit barriers, misalnya lewat UU perijinan yang berlebihan.

Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut dianggap oleh Karl Marx sangat


eksploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapan dengan
pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-

6
pranata faktor produksi selalu terhambat ketimbang percepatan inovasi produksi
(teknologi). Dalam terminologi ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut
adalah kelembagaan yang mengatur interaksi antara pemilik modal, tanah, dan
tenaga kerja. Dalam masa klasik kuno, kelembagaan faktor-faktor produksi lebih
banyak menguntungkan pemilik tenaga kerja (budak/slave), sementara pada jaman
feodal keuntungan itu banyak dipungut oleh tuan tanah, dan pada jaman kapitalis
saat ini pemegang polis atau profit terbesar adalah pemilik modal. Persoalan yang
mengemukaka adalah, ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan
atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-
masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor
produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx (Hayami, 1997:14)
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi)
selalu tidak diikuti dengan penataan superstruktur (faktor-faktor produksi), dan itu
berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.

Berdasarkan kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-


faktor produksi (means of production) di bawah kontrol negara. Keputusan
produksi dan investasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis (sektor
privat), tetapi berdasarkan perencanaan terpusat (central plan). Perencanaan
tersebut isinya meliputi target tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan
perangkat yang dibutuhkan untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Negara dalam
mendesain dan mengimplementasikan rencana mempertimbangkan seluruh
kebutuhan warga negara (the entire society) berdasarkan sumber daya yang
dimiliki berbasiskan tindakan kolektif daripada kepentingan privat. Perencanaan
dilihat sebagai perangkat pembangunan yang menguntungkan karena hal itu bisa
mengeliminasi kepastian yang inheren dalam sistem pasar (Jaffe, 1998:120-121).
Dengan keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi
serba negara. Negara bukan sekadar sebagai agen yang mengalokasikan dan
memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu
sendiri. Akibat tekanan yang terlampau besar kepada negara, rezim sosialis kerap
dipandang sebagai anti nilai-nilai kewirausahaan (Fritsch dan Rusakova, 2012:6).

7
Lepas dari hal tersebut, sekadar sebagai kasus, di Kuba-misalnya-setelah
masa revolusi pemerintahan Fidel Castro mengubah struktur kepemilikan secara
mendasar dengan mengubah hak kepemilikan privat menjadi hak kepemilikan
negara. Dengan modus ini, pemerintah Kuba berharap bisa mengoyak
kelembagaan ekonomi yang sebelumnya telah menimbulkan ketimpangan
pendapatan. Kebijakan itu dilanjutkan dengan adanya revolusi agraria (agrarian
reform), yang dilakukan pertama kali pada tanggal 17 Mei 1959 melalui UU
Reformasi (Reform Law). Setelah itu, pada 1963 muncul legislasi reformasi lahan
kedua dengan menghapuskan petani skala menengah dan besar. Dengan distribusi
lahan ini, pemerintah Kuba berkeyakinan dapat memutus dari praktik kapitalisme,
yakni dengan jalan menyerang fondasi paling dasar dari perekonomian Kuba yang
membuatnya terjebak dalam jaringan kapitalisme internasional (Ruffin,
1990:119). Meskipun saat ini bukan tergolong negara yang kaya, setidaknya
berdasarkan peringkat pendapatan per kapita, tetapi dari sisi pemerataan
pendapatan pemerintah Kuba saat ini telah berhasil memerbaikinya dibandingkan
masa pra-revolusi dulu. Deksripsi tersebut setidaknya membuktikan kuatnya
pengaruh pilar serba-negara dan target pemerataan dalam sistem ekonomi sosialis.

Hal penting lainnya, argumen sistem ekonomi sosialis didasarkan kepada


adanya nilai-nilai lain (other values) yang pantas dipertimbangkan, selain aspek
pertumbuhan atau profit. Contohnya, karena kepemilikan produktif sektor swasta
dikontrol oleh negara, diandaikan tidak ada eksploitasi terhadap pekerja oleh
pemilik modal maupun konsentrasi laba di tangan sedikit pelaku ekonom (small
elite). Implikasinya, distribusi pendapatan dalam sistem ekonomi kapitalis lebih
merata dibandingkan sistem ekonomi kapitalis, karena yang terakhir ini laba yang
diperoleh sebagian besar dipegang oleh pemilik modal. Lebih dari itu, dalam
sistem ekonomi sosialis penyediaan kebutuhan dasar (provision of basic needs)
secara struktural lebih feasible karena produksi dikerjakan tidak semata-mata
untuk tujuan laba (private profit). Dengan begitu, melalui skema tersebut, model
pembangunan di bawah sistem ekonomi sosialis lebih stabil, rasional, berdasarkan
prioritas dan kebutuhan nasional, lebih adil, dan tidak boros (wasteful) ketimbang

8
sistem ekonomi kapitalis (Jaffe, 1998:121). Faktanya, sebagian dari skenario ini
memang terjadi di negara-negara yang selama ini mengusung sosialisme sebagai
sistem ekonominya, seperti negara-negara Eropa Timur sebelum dekade 1990-1n
dan Kuba.

Tentu saja, dengan pilar tersebut, ekonomi kelembagaan sistem ekonomi


sosialis lebih simpel daripada sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi kelembagaan
sistem ekonomi sosialis hanya didasarkan pada dua prinsip berikut. Pertama,
negara menyiapkan seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan
kegiatan ekonomi, seperti investasi, dari mulai proses perencanaan,
operasionalisasi, pengawasan, sampai ke evaluasi. Pada level ini fungsi negara
merancang sistem kepemilikan, proses transaksi, dan pembagian keuntungan
berbasiskan instrumen negara. Jadi, dalam kasus hak kepemilikan, negara bukan
cuma mengontrol, tetapi juga menguasai hak kepemilikan (state property rights).
Dengan prosedur inilah negara berharap target pemerataan pendapatan bisa
dicapai. Kedua, pelaku ekonomi lainnya (institutional arrangements), tetapi setiap
pelaku ekonomi membuat kontrak dengan negara sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan (institutional environment). Dengan model seperti ini, diandaikan tidak
ada eksploitasi antar pelaku ekonomi (misalnya antara pemilik modal dan
pekerja), seperti dalam sistem ekonomi kapitalis. Pada level ini pula, ketimpangan
pandapatan antar pelaku ekonomi juga tidak akan terjadi.

2.2. Ekonomi Kelembagaan dan Demokrasi

Kajian tentang hubungan sistem politik dengan kinerja perekonomian


sudah banyak dilakukan oleh para ahli dengan hasil yang berbeda – beda.
Pendeknya tidak ada satupun sistem politik yang lebih superior dibandingkan
dengan sistem politik lainnya jika ukuran kebaikannya dinilai dari prestasi kinerja
perekonomian. Studi yang dilakukan oleh Burkhart dan Lewis-Beck (1994),
Hilliwell (1994) dan Barro (1996), misalnya memperlihatkan keeratan yang
rendah antara sistem politik demokratis dengan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, studi yang dilakukan oleh Balla (1994) menampakkan hubungan yang

9
positif antara hak-hak politik (political right) dengan pertumbuhan ekonomi
(Clague et. Al.,1997:96). Studi lain menyebut kapitalisme memiliki kedekatan
korelasi dengan kebebasan politik (demokrasi), sehingga kepitalisme dianggap
merupakan kondisi yang penting (necessary condition) untuk menuju kebebasan
politik (Pryor, 2010:91-92). Temuan-temuan tersebut tentu saja makin
memperumit skenario yang diinginkan oleh para ahli untuk mencoba menjabarkan
secara memuaskan tentang hubungan kedua variabel tersebut. Dalam banyak
kasus perbedaan hasil itu lebih banyak disebabkan oleh keragaman variabel yang
di pakai dalam penelitian.

Demokrasi sebagai sistem politik yang diharapkan bisa memberikan


pengaruh positif terhadap kegiatan ekonomi, dalam perkembangannya tidak mesti
menunjukkan gejala yang menggembirakan. Pasalnya, beberapa variabel penting
dalam demokrasi, seperti hak kepemilikan dan kebebasan memilih tempat tinggal,
juga dimiliki oleh sistem politik lainnya. Sebaliknya, kelebihan yang dimiliki oleh
sistem politik lainnya, seperti kecepatan dalam pengambilan keputusan, justru
absen dalaill sistem politik demokratis. Dari sisi ini, demokrasi sesungguhnya
hanya bisa menggaransi dua hal penting, yakni hak-hak politik (political rights)
dan kebebasan sipil (civil liberties), dan kurang memberikan jaminan secara
langsung bagi penumbuhan ekonomi. Hak-hak politik adalah hak berpartisipasi
memaknai proses politik, sedangkan kebebasan sipil adalah hak menyatakan
ekspresi, mengorganisasi, dan melakukan demonstrasi, dan hak memeroleh
otonomi dalam hal kebebasan beragama, pendidikan, perjalanan, dan hak personal
lainnya. Tentu saja pemaknaan demokrasi sepetti ini masih dalam lingkup
prosedural, karena semua hal tersebut bisa diperoleh lewat cara yang tidak
substansial.

Adalah Seymor Martin Lipset yang pertama mengerjakan studi dengan


memberikan postulat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat bagi
terbentuknya peluang demokratisasi pada masa akan datang (Collier, 1979:19).
Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi sulit bagi diciptakannya pemerintahan dan
masyarakat yang demokratis. Argumentasi dari kesimpulan ini memang cukup

10
jelas, bahwa hanya dengan adanya pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat bisa
meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahteraannya secara signifikan
sehingga memungkinkan mereka bisa berpartisipasi secara efektif dalam lapangan
politik dengan tanggung jawab yang mencukupi. Pandangan ini mengemuka
cukup lama dan diyakini sebagai “kebenaran” sehingga beberapa negara secara
konsisten mencoba menerapkan teori ini. Tetapi dalam perkembangnya, tesis
Lipset tersebut tidak sepenuhnya mendapat pembenaran empirik karena
ditemukannyadua hal berikut. Pertama, ternyata ada beberapa negara yang tidak
menunjukan pertumbuhan yang berarti, bahkan bisa dikatakan miskin, justru
tingkat partisipasi efektif (demokrasi, dalam arti luas) masyarakat dalam politik
sangat bagus, misalnya India. Kedua, sebaliknya negara-negara dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif tinggi dengan rentan waktu perolehan yang cukup lama
dalam realitasnya tidak segera menampakkan perkembangan ke arah demokrasi
dalam lapangan politik. Bahkan dalam banyak hal, seringkali implementasi sistem
pemerintahan otoriter dijadikan legitimasi bagi perolehan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Termasuk klasifikasi ini adalah negara-negara sosialis dan Asia
Tenggara, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Kegagalan bangunan tesis di atas memunculkan keinginan mengerjakan


studi yang lebih baru untuk mereposisikan bagaimna sesungguhnya relasi antara
pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Setidaknya penelitian terbaru yang
dilakukan oleh Tavarez, dan Wacziarg menemukan bahwa demokrasi bisa
mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan akses kepada pendidikan,
rendahnya ketimpangan pendapatan per kapita, dan rendahnya konsumsi
pemerintah. Jadi efeknya demokrasi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah secara
tidak langsung. Kemudian studi Barro menjelaskan bahwa peningkatan hak – hak
politik pada tahap awal cenderung meningkatkan investasi dan pertumbuhan
ekonomi ketika kekuatan perintahan sebagai fakta penentu. Tetapi di negara -
negara yang sudah mencapai tingkat demokrasi tertentu peningkatan demokrasi
akan menurunkan investasi dan pertumbuhan ekonomi karena ada tekanan
melakukan redistribusi pendapatan ( Barro, 1996:15-22)

11
Secara spesifik, Barro menunjukkan bahwa posisi awal GDP per kapital
pendidikan tingkat menegah dan perguruan tinggi, angka harapan hidup, fertilitas,
konsumsi pemerintah, nilai tukar, inflasi, indeks saturan hukum dan indeks
demokrasi berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Khusus
mengenai aturan hukum, parameter yang digunakan adalah sampai seberapa jauh
kualitas birokrasi, kecenderungan korupsi, kebijakan pemerintah membatalkan
kontrak, risiko pemerintah menasionalisasikan kekayaan swasta (asing atau
dalam negeri), dan pemeliharaan umum aturan hukum digerakan untuk mengelola
kehidupan bernegara. Setiap tindakan pemerintah yang cenderung menjauhi
aturan dan kepastian hukum, membuat respon pertumbuhan ekonomi akan
memburuk, demikian sebaliknya. Studi yang mirip juga telah dikerjakan oleh
Kunio (2000: 119-120) , yang mewartakan bahwa negara – negara yang memiliki
kelembagaan yang lebih sempurna, misalnya adanya jaminan hak kepemilikan
dan intervensi pemerintah yang tepat, mempunyai kualitas pembangunan ekonomi
yang lebih baik. Hasilnya, studi yang di kerjakan oleh Thomas et. Al. (2001: 156 )
menunjukan bahwa negara yang indeks demokrasinya tinggi berkorelasi dengan
pendapatan per kapita dan pengeluaran sosial yang juga tinggi.

2.3. Perubahan Kelembagaan dan Pembangunan ekonomi

Kajian yang menguliti hubungan antar kelembagaan dan pembangunan


ekonomi memang belum banyak dilakukan oleh para ahli . tetapi dari sedikit
penelitian tersebut terdapat sebuah fakta berikut. Negara-negara yang telah
dikelompokkan berdasarkan ketersediaan aturan main hak kepemilikan, investasi
modal manusia (human capital/pendidikan), dan kinerja ekonomi menunjukkan
hubungan yang kuat antara peranan kelembagaan dalam pembangunan ekonomi.
Negara-negara tersebut dibagi dalam lima kategori: Satu, Negara-negara asia
timur, yakni hongkong, indonesia, korea, malaysia, singapura, taiwan dan
thailand. Dua, negara-negara yang tergabung dalam OECD, yakin mesir, irlandia,
jepang,portugal,spanyol, dan turki yang memiliki GDP per kapita kurang dari
US$ 2.900 pada tahun 1960. Tiga, negara-negara sub sahara afrika. Empat,
negara-negara amerika latin. Dan yang terakhir yaitu negara-negara kaya non-

12
OECD, seperti argentina, saudi arabia, thailand, uruguay, dan venezuela yang
memiliki GDP perkapita lebih dari US$ 2.900 pada tahun 1960. Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa pendapatan per kapita awal yang tinggi (initial per
capital income) tidak memberikan jaminan bagi kinerja perekonomian yang bagus
dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang pendapatan awal per
kapitanya tidak terlalu tinggi, tetapi memiliki keunggulan dalam menjamin hak
kepemilikan, menegakkan sistem kontrak, dan administrasi publik yang efisien,
justru menghasilkan perekonomoian yang menonjol (clague, et al, 1997:74-75)

Contoh mikro tentang pentingnya kelembagaan dalam pembangunan


ekonomi tersebut bisa dianalisis sebagai berikut, transaksi ekonomi (pertukaran
atau jual beli) masyarakat di negara-negara yang kelembagaannya kuuat
cenderungakan lebih banyak menggunakan cek, transfer antarbank,maupun surat-
surat berharga lainnya dibandingkan dengan menggunakan uang tunai. Mereka
bisa melakukan itu karena percaya bahwa pemakaian instrument tersebut tidak
akan menimbulkan persoalan, misalnya klaim uangnya ditolak. Kalaupun kan
muncul permasalahan pasti terdapat aturan yang memungkinkan semua pelaku
transaksi tidak akan dirugikan, misalnya karena adanya penipuan. Tetapi,
sebaliknya, dalam sebuah negara yang sistem perbankannya rapuh, sangat sulit
bagi setiap individu untuk memakai instrumen itu untuk melakukan trabsaksi
karena adanya ketidakpastian (resiko). Mereka lebih memilih menggunakan uang
tunai sebagai alat transaksi. Tentu saja model ini akan menimbulkan inefisiensi
jika transaksi berjumlah besar dan jaraknya saling berjauhan, sehingga
dampaknya bisa mengerem percepatan kegiatan ekonomi (Yustika, 2002:275)

Sedangkan kasus makro bisa diambilkan dari hubungan antara hak


kepemilikan dan investasi. Negara-negara yang jaminan hak kepemilikannya
lemah cenderung akan ditinggal oleh investor, baik domestik maupun asing.
Investor asing takut melakukan ekspansi modal karena sewaktu-waktu perusahaan
dapat dinasionalisasi, sedangkan usahawan domestik ragu membuka investasi
karena khawatir kontraknya dibatalkan oleh pemerintah. Tentu saja peristiwa
tersebut akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi karena tidak ada insentif

13
bagi orang untuk mengerjakan investasi (Todaro, 1997:70-73). Dari sini dapat
dipahami mengapa setiap undang-undang mengenai PMA (Penanaman Modal
Asing) disebuah negara selalu diterangan secara detail mengenai jaminan hak
kepemilikan agar inestor asing memiliki kepastian hukum atas kepemilikan lahan
dan perusahannya. Tanpa jaminan yang eksplisit tersebut bisa dipastikan investor
takut untuk membuat keputusan investasi karena adanya ruang ketidakpastian
(uncertainty), suatu variabel yang penting dalam kegiatan ekonomi.

Fakta dan kasus-kasus diatas cukup meyakinkan untuk mengambil


kesimpulan bahwa antara pembangunan ekonomi dan kelembagaan memiliki
keeratan hubungan yang sangat tinggi, mengingat kinerja perekonomian sebuah
negara dipengaruhi oleh kebijakan dan kelembagaan. Tetapi juga yang harus
diperhatikan, kelembagaan harus selalu mengalami perkembangan dan perubahan
karena kegiatan ekonomi semakin kompleks. Perubahan kelembagaan diperlukan
mengingat proses perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dengan
sendirinya menciptakan dasar-dasar kelembagaan dalam fase ini mungkin saja
ketiadaan kelembagaan formal akan ditutupi dengan kelembagaan informal, tetapi
tentu saja ini tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang (Diehl, 1998:51). Juga,
dalam konteks perubahan kelembagaan (formal) ini, diperlukan alat ukur dan
variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambilan
kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada negara yang
sedang melakukan proses transisi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan
mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian.

Pada level ekonomi makro setidaknya ada lima isu penting yang sering
ditelaah yakni kontrol terhadap inflasi, pengurangan anggaran defisit, stabilisasi
nilai tukar mata uang, intensitas perdagangan internasional, dan peningkatan
investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada level mikro
isu yang dibahas adalah liberalisasi harga, privatisasi,pengembangan pasar modal,
penciptaan sistem hukum untuk menegakkan hak kepemilikan dan mepromosikan
kompetisi.

14
Isu makro dan mikro ekonomi pada perekonomian transisi bisa diterima
mengingat negara hendak memindahkan pengelolan ekonomi dari serba negara
(state guided) menjadi dibimbing oleh pasar (market direction). Negara – negara
yang menganut perencanaan terpusat dan serba negara biasanya pada lebel makro
dicirikan dengan angka inflasi yang fluktuatif, pemerintah menjadi agen ekonomi
yang terpenting sehingga seringkali mengalami defisitanggaran yang besar, nilai
tukar mata uang domestik yang tidak stabil dan perdangangan lebih ditunjukkan
pada pasar domestik. Sedangkan pada level ekonomi mirko harga cenderung
dipatok oleh pemrintah, perusahaan dimiliki oleh negara, iklim pasar sangat
monopolistikakibat intervensi negara dan tiadanya jaminan terhadap hak
kepemilikan untuk individu. Hal inilah yang membuat perekonomian tidak
efesien.

Akhirnya pertanyaan kritis yang diajukan sesuai dengan kondisi negara


berembang yaitu apakah keberadaan kelembagaan tidak malah memposisikan
pelaku ekonomi lemah semakin terjepit berhadapan dengan pelaku ekonomi
mapan? Kasus sharecropping pada sektor pertanian misalnya selama ini
menempatkan penggarap tanah (tenant) memperoleh bagian yang tidak adil
deibandingkan dengan pemilik tanah (landlords). Jika dalam kondisi demikian
keberadaan kelembagaan harus ditegakkan, bukankan petani penggarap justru
akan lebih dieksploitasi ? kasus lainnya bagaimana jika dalam suatu hubungan
pinjam meminjam antar negara (maju dan miskin) karena masalah moral hazard,
sebagian dari utang tidak digunakan sesuai rencana yang dibikin, tetapi banyak
yang dimanipulasi dan dikorupsi oleh pemegang kekuasaan sehingga suatu negara
terancam bangkrut. Apakah dalam kondisi semacam itu kelembagaan yang sudah
disepakati dipaksakan sehingga negara tersebut tetap wajib membayar utang ? jika
praktiknya seperti itu bukankah kelembagaan dan pembangunan ekonomi hanya
akan memihak kaum yang kaya dan kuat? Tentu saja tidak mudah dan sederhana
untuk menjawab persoalan tersebut. Sungguh pun begitu terdapat dua pendekatan
yang dapat digunakan untuk meredam kekhawatiran tersebut, sebagai berikut :

15
1. Kelembagaan akan menempatkan semua pihak berada dalam posisi
yang sepadan akibat adanya rule of law yang mengatur. Pelaku
ekonomi yang tidak memiliki modal besar dan koneksi politik dijamin
bisa melakukan investasi juga tanpa harus mengeluarkan biaya.
Sebaliknya usahawa besar tidak lantas bisa memuluskan investasinya
hanya karena mempunyai koneksi politik karena praktirk semacam itu
dibatasi oleh peraturan yang tidak mengijinkan. Jika prosedur yang fair
dan transparansi akan membuat semua pihak diposisikan secara
sejajar.
2. Efisensi kelembagaan dalam wujud ketiadaan jaminan hak
kepemilikan, korupsi, penyalahgunaaninfrastruktur publik dan
kebijakan yang mendistorsi pasar justru akan lebih merugikan
kelompok masyarakat yang lemah dan miskin. Kasus monopoli
misalnya dapat terjadi karena adanya sistem regulasi dan proteksi yang
tidak ramah terhadap penguatan kelembagaan.

Di luar itu sifat kelembagaan tidaklah statis, tetapi dinamis. Dalam


pengertian ini kelembagaan yang sudah tidak relevan secara otomatis akan
berubah karena desakan partisipan yang terlibat didalamnya maupun penetrasi
dari otoritas luar atau secara teoritis perubahan kelembagaan bisa terjadi karena
dua hal yaitu permintaan dari konsituen (demand of consituents) dan penawaran
dari otoritas tertentu (supply of institution), misalnya perubahan Undang - Undang
oleh pemerintah. Dalam kasus yang pertama (demand of consituents) misalnya
serikat pekerja bisa menekan pemilik modal untuk menaikkan tingkat upah atau
fasilitas kesehatan sebagai imbal balik dari kenaikan produktivitas atau
keuntungan perusahaan. Sementara untuk kasus yang keuda (supply of
institution), pemerintah berupaya untuk terus memperbaiki tingkat kesejahteraan
pekerja melalui penciptaan Undang - Undang upah minimum. Setiap tahun
standar upah minimun dinaikkan oleh pemerintah untuk mengimbangi tingkat
infalsi yang terjadi dalam perekonomian. Perusahaan sebagai entitas yang obyek
dari kebijakan pemerintah tersebut, terpaksa juga harus menyesuaikan sistem

16
pengupahan kepada pkerja didasarkan kebijakan (UU) tersebut. Melalui skenario
inilah perubahan kelembagaan (institutional change) akan terjadi untuk menjaga
agar tindakan dan kegiatan eonomi terus berjalan.

2.4. Masih Adakah Tempat Untuk Negara

Dalam perguliran pemikiran ekonomi, secara konservatif terdapat


beberapa argumentasinyang muncul berkenaan pentingnya peran negara untuk
melindungi setiap pelaku ekonomi. Mazhab neoklasik, misalnya mengijinkan
peran negara dalam perekonomian jika terdapat kasus eksternalitas dan barang-
barang publik. Dlam hal ini peran negara dituntut untuk membuat regulasi. Peran
regulatif tersebut bertujuan untuk menyelamatkan sebagian rakyat dari tindakan
tidak etis yang dilakukan oleh sebagian penduduk lainnya. Sedangkan paham
Keynesian berpendapat bahwa fungsi atau peran negara diperlukan untuk
mencegah terjadinya resesi ekonomi sebagai akibat rendahnya permintaan
agregat. Menurut pendapat Keynes, jika negara dibiarkan “diam” maka selamanya
resesi secara periodik akan muncu, karena persoalan rendahnya permintaan
agregat tersebut bersifat sistematis. Paham ini memberikan ilustrasi, bahwa negara
dalam saat-saat tertentu harus bertindak untuk menjaga tingkah kehidupan dan
kesejahteraan rakyatnya,yang dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa
dijalankan masyarakat secara sukarela.

Dengan begitu, di samping memiliki fungsi rasional negara juga wajib


mengemban peran etis (etika) untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan
penduduk yang menjadi bagian dari eksistensinya. Maksud etika di sini bukan
sekedar suatu pemikiran sistematis tentang moral melainkan lebih dari itu adanya
suatu pemahaman yang selalu menanyakan secara kritis dan mendasar tentang
segala hal atau keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia (Negara) seharusnya
menjalankan kehidupannya (misinya). Program-program rasional dari
pembangunan pada ujungnya tetap harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban
etis negara. Apakah memang program yang bersangkutan mengajak seluruh

17
konstituen mengalami mobilitas bersama. Jika setiap pergerakan rakyat cuma
mengajak segelintir pelaku ekonomi maka peranan negara wajib menghentikan
program pembangunan tersebut. Cara pandang ini tentu saja tidak berseberangan
dengan upaya modernisasi tetapi hanya memastikan bahwa proses menuju
kemajuan harus berlandaskan pada cita-cita filsafat politik yang sudah
dirumuskan. Fakta yang tidak bisa ditolak adalah setiap kebijakan pembangunan
pasti dianggap merupakan proses menuju kemajuan dan kemakmuran bersama.
Dari sinilah unsur etika bisa masuk dan sangat berperan penting dalam
menghitung setiap nisbah Pembangunan yang dilaksanakan.

Peran etis semacam ini menjadi relevan ketika proses liberalisasi


ekonomi tidak bisa dibendung dan tiba-tiba telah berada di hadapan kita. Pasar
yang dianggap dapat mengatur sirkulasi kemakmuran bersama telah dipilih
sebagai instrumen satu-satunya untuk menggerakan kegiatan ekonomi, tanpa
negara diperbolehkan ikut campur. Namun dalam kenyataannya pasar tidak akan
pernah berfungsi dengan baik bila tidak didukung oleh infrastruktur fisik, sosial,
mental, pendidikan, dan organisasi yang semua itu harus terwujud bila negara
terlibat di dalamnya. Ada dua asumsi yang diakui keakuratannya mengenai proses
liberalisasi yaitu menguatnya peran modal atau pelaku ekonomi swasta (korporasi,
agen bisnis) dalam mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya dan pasar akan
menjadi instrumen tunggal yang mengatur bekerjanya aktivitas ekonomi yang
antara lain ditandai dengan dilarangnya intervensi langsung negara dalam
perekonomian seperti subsidi, tata niaga, monopoli, lisensi sampai segala bentuk
proteksi lainnya. Dengan karakteristik liberalisasi yang seperti itu konsekuensi-
konsekuensi yang muncul barangkali bisa diperkirakan dan sekaligus dapat
memposisikan di mana seharusnya negara tampil.

Ada dua implikasi penting dari liberalisasi bisa dijelaskan sebagai


berikut. Pertama efek dari penguatan pelaku ekonomi berskala besar dalam
mempengaruhi seluruh lekuk kehidupan kiranya mudah untuk dibuktikan. Di
negara berkembang pengaruh dari korporasi besar dan perusahaan-perusahaan
multinasional sedemikian besar khususnya dalam mempengaruhi kebijakan

18
pemerintah sehingga menentukan hidup matinya kepentingan rakyat banyak . Hal
itu bisa dilihat dari ekspansi usaha-usaha ekonomi tersebut ke wilayah-wilayah
yang sebelumnya digunakan untuk kepentingan publik. Dampaknya adalah
pelaku-pelaku ekonomi kecil yang selama ini hidup subsistem dari usaha ekonomi
tersebut akan mati secara perlahan dan masyarakat kehilangan ruang melakukan
interaksi sosial. Dengan begitu matinya pelaku ekonomi kecil dan menyempitnya
ruang publik merupakan tragedi paling mengenaskan dari liberalisasi.

Kedua, liberalisasi juga membuka ruang kepada sektor swasta untuk


membeli kebijakan pemerintah melalui politik uang. Hampir seluruh kebijakan
pemerintah yang bertendesi pada perbaikan aspek distribusi langsung di penggal
di tengah jalan oleh pelaku sektor swasta karena akan mengurangi profit mereka.
Kebijakan redistributif semacam pajak progresif dan peneliti utang sangat rawan
dari gangguan usaha berskala besar tersebut, bukan cuma di negara berkembang
tetapi juga di negara maju. Efek dari upaya pencegahan ini tentu saja akan
mengurangi subsidi sosial pada masyarakat misalnya untuk pangan, pendidikan,
kesehatan, dan perumahan. Ini merupakan konsekuensi paling serius dari
liberalisasi, ketika modal dibiarkan berkuasa tanpa ada regulasi yang sanggup
mengawalnya. Modal bisa menekuk seluruh tatanan ekonomi sesuai dengan
hukum yang dimilikinya sendiri yakni kekuatan yang besar akan memakan daya
yang lebih kecil.

Dengan dua implikasi di atas tentu saja peran negara tidak bisa dicegah.
Dalam konteks ini fungsi negara tidak lagi sekedar menghindari terjadinya resesi
ekonomi ataupun mengatasi praktik ekonomi yang merugikan kepentingan pihak
lain, melainkan melindungi kepentingan rakyat yang tersisih sebagai cermin
komitmen sosialnya. Pada titik ini, secara minimal peran negara adalah membatasi
pengaruh ekspansi korporasi besar yang merugikan kepentingan publik dengan
mengeluarkan regulasi-regulasi yang bisa menghilangkan keserakahan modal.
Model dan pasar merupakan dua karib yang bersahabat akrab adalah dua modal
ekonomi yang tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa asupan regulasi sehingga
mampu menerkam ke seluruh penjuru pelaku ekonomi. Lebih dari itu, negara

19
juga harus melindungi dan menjamin bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan jaminan hidup melalui sistem jaminan sosial yang matang. Upaya
kuratif ini merupakan wajah lain dari misi etis Negara, bahwa negara bertanggung
jawab terhadap proses distribusi atas hasil pembangunan, walaupun betapa
baiknya sebuah regulasi telah dibuat oleh Negara. Negara secara etnis harus hadir
untuk melayani kaumnya yang takluk karena dipaksa bertarung dengan kekuatan
pasar yang buas.

Argumen ini semakin relevan dipahami oleh negara-negara yang sejak


awal menempatkan aspek aturan sosial sebagai ujung dari proses pembangunan,
dan bukan semata kemakmuran ekonomi. Negara-negara tersebut dipastikan akan
membuat kebijakan publik yang hendak diambil melalui serangkaian penilaian
etis maupun nasional. Misalnya negara secara umum memberikan penekanan
kepada pasar untuk memantau kegiatan ekonomi masyarakat, tetapi sambil
memberikan pagar pajak progresif agar keuntungan ekonomi yang diperoleh dari
pasar tidak sampai mengganggu keseimbangan sosial. Melewati simulasi
semacam inilah negara hadir memerankan fungsi etisnya lewat perencanaan
kebijakan ekonomi yang mengandaikan kesejahteraan sosial sebagai nilai dasar
yang harus dipenuhi.

Sedangkan dalam perspektif ekonomi kelembagaan peran negara


difokuskan untuk membentuk kerangka kelembagaan yang dapat mengatur
kegiatan ekonomi, hak kepemilikan, penegakan, dan eksekusi hukum yang
menghasilkan biaya transaksi. Jika peran negara dalam kegiatan ekonomi bisa
dibagi dalam empat klasifikasi yaitu stabilisasi makro ekonomi, mengoreksi
kegagalan pasar, redistribusi pendapatan, dan mengarahkan proses penyatuan
kegiatan ekonomi maka peran yang terakhir merupakan wilayah yang menjadi
konsentrasi peran negara dalam perspektif ekonomi kelembagaan. Maksudnya
peran negara lebih diarahkan untuk mendesain kegiatan ekonomi secara lebih
efisien berdasarkan kesetaraan informasi dan posisi tawar antar pelaku ekonomi.
Sedangkan tiga peran negara yang paling awal menjadi fokus dari pendekatan

20
ekonomi klasik atau neo klasik dan keynesian. Tentu saja ada banyak variasi
derajat intervensi negara untuk mengatur kegiatan perekonomian tersebut.

Tabel : Tujuan dan Instrumen Pemerintah

Tujuan Perangkat Intensif Perangkat Kelembagaan


Stabilisasi - -
- Kesempatan kerja Administrasi pajak dan
penuh Kebijakan Perpajakan pabean
Kontrol perdagangan &
- Stabilitas harga kebijakan pengeluaran distribusi
- Keseimbangan
anggaran kebijakan moneter UU perbankan &kredit
- Keseimbangan
eksternal kebijakan nilai tukar Pengawasan niali tukar

Regulasi
- Mendorong
kompetisi Legislasi Anti-trust
- Regulasi
monopoli Administrasi harga Proteksi hak kepemilikan
- Proteksi Aturan masuk dan
Level tarif
konsumen keluar, lisensi investasi
Hambatan non-tarif UU perlindungan
- Proteksi tenaga
konsumen dan UU
kerja
tenaga kerja
Barang Publik

- Pertahanan & Ongkos tidak


keamanan langsung Monopoli pemerintah
- Pengawasan Ongkos tidak Monopoli pemerintah

21
populasi langsung
- Proteksi Ongkos tidak Kontrol polusi &
lingkungan langsung perwilayahan
- Struktur legal Ongkos tidak
(hukum) langsung Pengadilan Independen
- Pendidikan & Ongkos tidak Campuran pemerintah /
penelitian langsung swasta
- Pelayanan Subsidi (Free Campuran pemerintah /
kesehatan Vouchers) swasta
- Integrasi sektor Campuran pemerintah /
informal Dukungan selektif NGO
- Pembangunan Campuran perintah /
regional Intensif selektif NGO

Monopoli Alamiah
- Penyediaan
infrastruktur dan Monopoli pemerintah
perangkatnya

Redistribusi
- Transfer kepada
Jaminan kesempatan
kaum miskin & Pajak dan subsidi
kerja
rentan
- Kebutuhan dasar Jaminan sosial Kontrak sosial

Perencanaan
- Informasi & Informasi & Perencanaan indikatif/
peramalan disiminasi terpusat
- Kebijakan industrial Proteksi selektif Lisensi investasi

22
Organisasi

- Merespon global Otonomi, Diskriminasi dalam


oligopoli dan transparansi, dan oligopoli nasional
memperkuat akuisi akuntabilitas (pemerntah/swasta),
ilmu pengetahuan oligopoli nasional pembangunan
kelembagaan untuk
mempromisikan
informasi, pendidikan,
dan teknologi.

Intervensi negara tidak hanya berurusan kepada model intervensi, tetapi


juga pilihan perangkat kelembagaan untuk bisa mencapai tujuan dari intervensi.
Dalam tabel tersebut ditunjukkan bahwa setidaknya termuat tujuh tujuan
intervensi yaitu stabilisasi rumah, regulas, barang publik, monopoli alamiah,
redistribusi, perencanaan dan organisasi. Dari keseluruhan tujuan intervensi
tersebut terdapat ragam kelembagaan yang bisa diproduksi pemerintah agar bisa
mencapai tujuan dimaksud, misalnya melalui instrumen perpajakan, kontrol
perdagangan, monopoli Negara, kontrak sosial, jaminan sosial, lisensi investasi,
pengawasan polusi dan pembangunan kelembagaan untuk memperkuat
pendidikan dan teknologi. Dengan ruang lingkup instrumen kelembagaan yang
demikian luas, berarti sekaligus mengonfirmasi bahwa peran negara dalam
kegiatan ekonomi masih cukup lebar, khususnya apabila dilihat dari perspektif
ekonomi kelembagaan. Intervensi tersebut tidak lantas lenyap dengan adanya
liberalisasi, justru akan semakin intensif demi melindungi kepentingan pelaku
ekonomi domestik.

23
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ekonomi kelembagaan adalah cabang ilmu ekonomi yang menekankan


pada pentingnya aspek kelembagaan dalam menentukan bagaimana sistem
ekonomi dan sosial bekerja (Black, 2002). Teori ekonomi kelembagaan
berdampak pada sistem ekonomi dan politik. Sistem kapitalis dan sosialis akan
dibahas sebagai sistem ekonomi, sistem politik otoriter serta demokratis. Sistem
politik otoriter yang bertolak belakang dengan sistem politik demokrasi. Sistem
politik demokrasi menjamin adanya hak-hak politik dan kebebasan sipil. Sistem
politik otoriter tidak memberikan tempat baik bagi kelompok sipil untuk
menyalurkan aspirasi politik dan kebebasan privat lainnya. Ciri dari sistem politik
ini adalah adanya sentralisasi atau pemusatan kekuasaan pada satu titik yaitu
negara. Sistem politik ini mengansumsikan bahwa negara dapat melakukan
kontrol secara penuh terhadap segala aspek kehidupan serta dapat memaksakan
rakyatnya untuk mematuhi segala aturan demi mencapai tujuan dan cita-cita
negaranya.

Dalam sistem politik otoriter terdapat sisi positif dan negatifnya, sebagai berikut :

1. Sisi positif
Sistem politik otoriter memiliki efektivitas yang tinggi dalam pengambilan
keputusan karena dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh satu
pertimbangan yang dianggap benar dan tidak perlu dicampuri dengan
pertimbangan lain yang tidak disetujui. Tidak adanya peluang bagi pihak
manapun untuk melakukan pemberontakan, pembangkangan, maupun
penolakan atas tujuan yang akan dicapai. Segala sesuatunya diatur oleh
negara sehingga kebijakan yang dibuat dapat berjalan sesuai rencana.
Rezim otoriter juga dapat berfungsi sebagai kelembagaan yang mengelola

24
aturan main, memberikan intensif bagi yang menaati peraturan dan
menghukum pelanggar aturan kebijakan yang dibuat.
2. Sisi negatif
Persoalan yang selalu muncul dalam sistem politik otoriter adalah
ketidakakuratan kebijakan. Kebijakan yang tidak akurat disebabkan oleh
informasi yang bias atau tidak jelas. Rezim otoriter tidak memiliki
kemampuan untuk mengatasi permintaan barang dan jasa yang semakin
berkembang, besar dan kompleks. Perekonomian yang semakin kompleks,
arus informasi dari sistem ini akan semakin sulit dikendalikan dan potensi
sumber-sumber imperfect information dalam bentuk moral hazzard dan
adverse selection semakin menguat seiring banyak pihak berkepentingan
yang muncul.

Perspektif ekonomi kelembagaan berfokus dalam membentuk kerangka


lembaga demi keteraturan kegiatan ekonomi. Contohnya, kepemilikan, penegakan
dan eksekusi hukum. Dengan begitu peranan negara dalam ekonomi dapat dibagi
menjadi empat yaitu stabilisasi makro ekonomi, mengoreksi kegagalan pasar,
retribusi pendapatan dan pengarahan penyatuan kegiatan ekonomi.

3.2. Saran

Bagi penulis berikutnya, disarankan untuk dapat melengkapi kekurangan


yang ada dalam penulisan ekonomi kelembagaan dan sistem ekonomi yang ada.
Bagi peneliti berikutnya juga disarankan untuk mengembangkan pemikiran topik
dari pembahasan di atas. Dan kepada pembaca juga diharapkan bisa memberikan
masukan dan kritik apabila ada kesalahan atau kekurangan dalam penulisan yang
dibuat.

25
DAFTAR PUSTAKA

Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan


Kebijakan. Jakarta : Erlangga.

26

Você também pode gostar