Você está na página 1de 15

Arti hidup yang berkelimpahan menurut alkitab

Supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” - Yohanes
10:10

Pada umumnya setiap orang ingin hidup berkelimpahan. Hidup berkelimpahan yang bagaimana?
Apakah kelimpahan secara material (harta dan kekayaan) saja? Menurut ajaran teologi
kemakmuran atau teologi sukses (prosperity theology), kemakmuran dan sukses (kaya, berhasil,
dan sehat sempurna) adalah tanda-tanda eksternal dari Allah untuk orang-orang yang
dikasihinya. Ayat yang menjadi acuannya adalah Yohanes 10:10. Sehingga menghasilkan orang-
orang Kristen yang memiliki prinsip dan pemikiran yang pragmatis, yakni pergi beribadah ke
gereja diukur dari untung dan rugi. Dalam teologi sukses, manusia sebagai pusat, bukan Tuhan.
Tetapi dalam teologi injili, yang menjadi pusat iman kita hanyalah Allah atau Kristus saja.

Bagaimana cara memperoleh kelimpahan?

1. Menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah syarat hidup
berkelimpahan
Tuhan Yesus datang untuk memberi hidup yang luar biasa kepada kita. Yesus
berkata,”Akulah Hidup” (Yoh 14:6). Apakah anda mempunyai sumber hidup yang baru
ini di dalam diri anda? Di Kolose 3:4, Paulus berkata, “Kristus adalah hidup kita.”
Membuang kehidupan kita yang lama adalah hal yang paling sulit di lakukan, kecuali jika
Tuhan Yesus masuk ke dalam diri kita sebagai sumber kehidupan, kekuatan dan
Juruselamat kita. Apa buktinya Yesus itu Juruselamat yang memberikan keselamatan
yang eksklusif? Di Yohanes 10:9, Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya sebagai sumber
keselamatan bagi setiap orang yang datang percaya kepada-Nya: “Akulah pintu,
barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat…”
Istilah “Akulah” (Yun.ego eimi; Ibr. ani hud), arti harafiahnya: Aku ada, Akulah Dia.
Ucapan ini mempunyai pengertian ilahi, karena ungkapan tersebut digunakan di PL
sebagai penggambaran Allah ketika Dia menyatakan diri-Nya kepada Musa. Di PB,
Tuhan Yesus menggunakan istilah serupa untuk menyatakan bahwa diri-Nya adalah
Tuhan. Memang Yesus Kristus adalah Tuhan, maka Dia mampu menyelamatkan kita dari
kebinasaan. Istilah “pintu” di sini adalah bentuk tunggal. Artinya, pintu menuju
keselamatan tidak banyak, hanya satu, yaitu hanya melalui Kristus. Siapa yang mau
diselamatkan, harus lewat pintu tersebut. Mengapa? Karena hanya Yesus Kristus satu-
satunya jalan keselamatan dan satu-satunya nama yang olehnya kita percaya, kita
diselamatkan (lih. Yoh 3:16; Kis 4:12). Yesus mengklaim bahwa Dirinya satu-satunya
sumber bagi umat manusia untuk memperoleh keselamatan (Yoh 10:9b). Selamat dalam
arti apa? Dari hukuman dosa di neraka, dikaruniai rasa aman, perlindungan, selamat dari
rasa cemas dan kuatir. Yesus gembala yang baik sudah memberikan nyawa-Nya untuk
kita. Karena itu, kelahiran Yesus ke dunia adalah kelahiran Sang Juruselamat seperti yang
diberitakan oleh Malaikat kepada para gembala. “Hari ini telah lahir bagimu Juru
Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud" (Luk 2:11).
2. Yesus Kristus memberikan jaminan keselamatan yang eksklusif
Narasi dalam perumpamaan di Yohanes 10:1-10 terbagi dua bagian:
1. Pertama, cerita di ayat 1-6 adalah pemandangan sebuah desa dengan kandang
hewan yang memiliki pintu dan dijaga seorang penjaga yang membukakan pintu
hanya bagi para gembala yang sah (ay. 3).
2. Kedua, cerita di ayat 7-10, pemandangan sebuah bukit atau padang rumput di
alam terbuka yang berada di luar desa. Ketika malam, gembala menggiring hewan
mereka ke tempat yang aman. Sebuah ceruk atau relung bukit yang dikelilingi
dinding alami dan hanya ada satu lubang untuk keluar-masuk. Kemudian gembala
berbaring di depan lubang itu sehingga tidak ada domba atau serigala yang bisa
keluar atau masuk tanpa melewati sang gembala. Domba-domba di sini ialah para
murid dan orang-orang percaya. Yesus mengajarkan bahwa diri-Nya adalah Sang
Gembala Agung. Karena itu, jika pencuri dan hewan buas hendak mencuri dan
membinasakan para domba, mereka harus menghadapi Yesus terlebih dahulu,
yang akan berkorban membela dan melindungi umat-Nya. Yang menjadi
penekanan Yesus adalah bahwa diri-Nya sumber keselamatan dan sumber segala
berkat.

Hidup kekristenan adalah hidup dengan kualitas yang tinggi, karena ada pengampunan,
kasih dan pimpinanTuhan yang melimpah. Sudahkah anda menerima dan mengambil
kehidupan yang Kristus berikan? Di Yohanes 10:10 ada dua kata kunci: mempunyai
hidup dan mengalami kelimpahan, yang merupakan jaminan berkat bagi setiap orang
percaya. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pemberi hidup yang berlimpah bagi setiap
orang yang datang kepada-Nya. Kata “berkelimpahan” (perissos) artinya kelimpahan
yang hebat secara kuantitas dan kualitas (superabundant in quantity or superior in
quality, kelimpahan yang sangat tinggi dan melampaui ukuran (very highly, beyond
measure). Hidup yang Yesus berikan adalah kelimpahan secara eksternal dan internal
yang lebih bersifat rohani yang sudah dan sedang dinikmati sekarang dan akan dinikmati
di kekekalan di surga nanti. Apakah buktinya? Di ayat 7 dan 9 Yesus berkata, “Akulah
pintu…”(Yunani: he thura ton probaton) memakai kata sandang “he” (itu), artikel di
depan kata “pintu” memberikan makna “gagasan yang eksklusif.” Yesus tidak berkata
“Aku sebuah pintu” yang berimplikasi adanya pintu-pintu yang lain. Tetapi Ia berkata
dengan tegas dan lugas, “Akulah pintu itu.” Dengan demikian Yesus mengklaim bahwa
Diri-Nya satu-satunya pintu keselamatan itu. Dengan kata lain, jaminan keselamatan bagi
manusia hanya ada di dalam Yesus Kristus. Keselamatan yang ditawarkan Yesus Kristus
adalah keselamatan yang pasti dan eksklusif (Yoh 3:16; 14:6; Kis 4:12; 16:31; Rm 1:16;
5:8-10).
John Stott pernah bersaksi: “Mengapa aku seorang Kristen?” Dia berikan beberapa
alasan: pertama, karena Kristus yang lebih dahulu mengasihi, mencari dan menarik
dirinya; kedua, Kristen itu tidak hanya baik, tetapi juga benar. Kristus yang benar, tidak
berdosa, mati membenarkan orang berdosa, sehingga kita yang beriman kepada-Nya pasti
diselamatkan; ketiga, karena keselamatan adalah hadiah yang bebas dan mutlak yang
tidak layak kita terima. Bagaimana caranya menerima keselamatan itu? Mengaku dengan
mulut bahwaYesus adalah Tuhan dan percaya di dalam hati bahwa Allah sudah
membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kita akan diselamatkan (Rm. 10:9-10).

3. Yesus Kristus memberikan jaminan perlindungan, providensia dan kecukupan


makanan
Pada zaman sekarang banyak orang stress menghadapi dunia krisis multidimensional
(materi, moral dan rohani). Apakah mungkin kita memiliki hidup yang berkelimpahan?
Jawabannya: ya! Karena di dalam Tuhan Yesus selalu ada pengharapan. Di Yohanes
10:10 Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pemberi hidup berkelimpahan bagi setiap
orang percaya. Hidup yang Yesus berikan, selain berkelimpahan secara rohani atau
internal, juga berkelimpahan secara eksternal.
Yesus dilukiskan sebagai pintu. Hanya melalui pintu (Yesus) kawanan domba dibawa
masuk ke dalam keselamatan. Di dalam Yesus Kristus terdapat perlindungan dari bahaya
Setan dan kuasa kegelapan yang akan mencuri, membunuh dan membinasakan. Jadi, ada
jaminan proteksi dan keamanan bagi orang percaya di dalam Yesus Kristus. Selain itu,
dalamYesus ada jaminan berkat pemeliharaan dan kecukupan. Ayat 9 menegaskan bahwa
domba akan keluar dan masuk menemukan rumput yang hijau. Kata “keluar dan masuk”
adalah ungkapan perjalanan hidup manusia (Mzm 121:8). Istilah “menemukan padang
rumput” melukiskan providensia, pemberian dan penyediaan makanan yang Allah
berikan secara berkelimpahan bagi kawanan domba-Nya. Itu berarti bagi setiap orang
Kristen tersedia pemeliharaan dan kecukupan dari Tuhan. Allah tahu bahwa manusia
memiliki banyak kebutuhan, ada kebutuhan fisik dan non-fisik. Manusia membutuhkan
pengampunan, kasih, kekuatan, penghiburan, sukacita dan damai sejahtera. Tetapi yang
terpenting adalah kebutuhan keselamatan. Juga kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Dia memberikan jaminan, jika burung di udara Dia pelihara dan bunga dipadang Dia
dandani, maka dia juga pasti memeliharan umat-Nya (Mat 6:25-30; lihat juga Ibr 11:6;
13:5-6). Sebab itu, Alkitab mengingatkan kita agar tidak kuatir akan hari besok, akan
makanan, minuman dan pakaian (Mat 6:31; Flp 4:6-7). Tetaplah rajin bekerja keras
mencari nafkah hidup. Kemudian percayalah dan serahkan semuanya itu kepada Tuhan
dalam doa dan ucapan syukur.

Kesimpulan dan aplikasi


Akhirnya, hasil analisa dan sintesa dari istilah “hidup berkelimpahan” lebih menekankan makna
rohani (non-materi). Itu berarti bahwa Tuhan lebih mengutamakan berkat rohani selain berkat
materi, antara lain: jaminan keselamatan yang melimpah, pengampunan yang melimpah, damai
sejahtera dan sukacita yang melimpah, perlindungan dan keamanan yang melimpah, kepenuhan
kasih karunia Allah yang melimpah, kelimpahan dalam providensia dan kecukupan dari Allah.
Berkelimpahan berarti dipenuhi atau melebihi kebutuhan, lebih menekankan kelimpahan internal
(batiniah atau rohaniah) selain kelimpahan eksternal (material). Cara untuk memperoleh hidup
berkelimpahan adalah jika kita percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat. Dia memberikan hidup yang berkelimpahan dengan tujuan supaya kita menjadi
terang dan garam bagi dunia yang terhilang, dunia yang berdosa, bengkok dan terbalik ini.
Apakah anda sudah memiliki Yesus Kristus sumber hidup yang baru ini di dalam diri saudara?
Kapan terakhir kali orang-orang melihat sesuatu yang istimewa di dalam kehidupan kekristenan
anda sehingga mereka tertarik ingin menjadi orang percaya? Selamat menikmati hidup yang
berkelimpahan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Amin. Soli Deo Gloria.

Dikutip dari buletin dwibulanan Euangelion edisi ke-134

http://www.hokimtong.org/www/article-full.php?id=76
1.3 Arti Hidup Sejati Menurut Alkitab
Lalu, apa kata Alkitab tentang hidup sejati ? Pada bagian awal Bab 1 ini, saya sudah mengutip
Kejadian 2:7, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk
yang hidup.” (Terjemahan Baru LAI) atau terjemahan Alkitab BIS memberikan pengertian yang
lebih jelas, “Kemudian TUHAN Allah mengambil sedikit tanah, membentuknya menjadi seorang
manusia, lalu menghembuskan napas yang memberi hidup ke dalam lubang hidungnya; maka
hiduplah manusia itu.” Kata “nafas hidup” berasal dari bahasa Ibrani, neshâmâh yang berarti
tiupan atau hembusan atau nafas yang vital/sangat penting/berkenaan dengan hidup. Kata Ibrani
ini juga dipakai di dalam Amsal 20:27 untuk kata “Roh manusia” (Terjemahan Baru LAI) atau
“hati nurani manusia” (Alkitab BIS). Lalu kata “makhluk yang hidup” (TB-LAI) diterjemahkan a
living soul oleh King James Version (KJV) yang berarti jiwa/makhluk yang hidup. Kata “soul”
dalam KJV ini diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani nephesh yang artinya makhluk yang
bernafas. Dari Kejadian 2:7 inilah, kita mendapatkan satu prinsip hidup sejati dari Alkitab, yaitu
hidup sejati adalah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Sumber Hidup. Kalau Allah tidak
menghembuskan nafas hidup-Nya ke dalam hidung manusia, maka manusia tidak dapat menjadi
makhluk yang hidup. Nafas hidup-Nya itulah sumber hidup bagi hidup manusia yang
mengakibatkan manusia bisa bernafas dan itulah yang disebut makhluk yang hidup. Arti hidup
manusia yang sejati tidak didapat dari manusia itu sendiri yang sendiri merupakan makhluk yang
dicipta, tetapi dari Allah sebagai Sang Pencipta. Ketika kita ingin mengerti apa arti hidup sejati
belajarlah dan bertanyalah kepada Allah karena Ia yang menciptakan kita pasti mengetahui apa
arti hidup itu, dan jangan sekali-kali bertanya kepada para psikolog, eksistensialis, dll yang
sendirinya juga adalah sesama manusia. Sungguh suatu kebodohan manusia dunia ini ketika
mereka yang ingin mengerti arti hidup tidak langsung bertanya kepada Sang Sumber Hidup,
tetapi bertanya kepada sesama manusia yang sama-sama berdosa dan terbatas. Itulah kegagalan
psikologi dan eksistensialis yang tidak kembali kepada Allah.
Tetapi tahukah kita bahwa hidup manusia yang pada awalnya telah diciptakan Allah begitu mulia
sehingga manusia langsung bercakap-cakap dengan Allah ternyata dirusak oleh manusia sendiri
dengan meragukan eksistensi Allah. Itulah dosa. Dosa bukan dimulai ketika Hawa memetik buah
pengetahuan yang baik dan jahat yang dilarang oleh Allah, tetapi dosa dimulai ketika manusia
mulai meragukan kebenaran Allah. Usaha meragukan kebenaran Allah menjadi cikal bakal iblis
terus mencobai manusia dan akhirnya manusia pertama jatuh ke dalam dosa yang mengakibatkan
manusia setelah Adam dan Hawa ikut mewarisi dosa asal (original sin), di samping ada dosa
aktual yang dilakukan oleh masing-masing pribadi manusia. Ketika dosa masuk ke dalam
manusia, hidup manusia mulai kehilangan arah. Kehilangan arah ini ditandai dengan keinginan
manusia terus melawan Allah dan ini mulai nampak ketika Kain yang membenci dan menaruh
dendam kepada adiknya, Habel karena persembahan Kain tidak diterima oleh Tuhan, sedangkan
persembahan adiknya diterima oleh Tuhan. Lalu, dilanjutkan dengan kejadian-kejadian dan
tindakan-tindakan manusia yang membuat Tuhan menyesal, sampai-sampai Tuhan mengatakan,
“Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala
kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN,
bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” (Kejadian 6:5-6)
Tetapi yang menarik, di dalam setiap kejahatan yang manusia lakukan, Tuhan tetap menyediakan
sekelompok sisa (remnant) yang masih setia kepada Tuhan. Dua ayat setelah Kejadian 6:6, yaitu
pada ayat 8, Alkitab mengatakan, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.” Nuh
bisa mendapatkan anugerah Tuhan, itu semata-mata karena kedaulatan-Nya saja, bukan karena
kehendak Nuh yang ingin mencari Tuhan. Allah yang berdaulat adalah Ia yang berkehendak
menyatakan anugerah-Nya kepada siapapun menurut kedaulatan-Nya, bukan menurut perbuatan
baik manusia tersebut. Itulah Reformed theology. Nuh yang mendapatkan kasih karunia Tuhan di
antara manusia-manusia berdosa di zamannya berusaha mempertanggungjawabkan anugerah-
Nya itu dengan hidup beres dan menaati Tuhan dan firman-Nya. Lalu, akibat ketaatannya itu dari
membangun bahtera sampai keluar dari bahtera dan mendirikan mezbah bagi Tuhan, maka
Tuhan berjanji di dalam Kejadian 8:21-22, “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia,
sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan
membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada,
takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang
dan malam.” Bisa saja, pada waktu itu, Nuh tidak menaati Tuhan, lalu berdalih dengan seribu
macam alasan, akibatnya Nuh itu mati bersama orang-orang sezamannya. Tetapi puji Tuhan,
Nuh yang kita kenal di dalam Alkitab adalah Nuh yang meresponi anugerah Allah dengan tepat
dan taat mutlak kepada-Nya. Di situlah, Nuh mendapatkan makna hidup sejati, yaitu ketika ia
kembali taat kepada-Nya. Banyak orang dunia hari-hari ini berpikir bahwa menjadi Kristen itu
susah, karena apa saja tidak boleh, lalu mereka berpikir bahwa kalau tidak menjadi Kristen itu
lebih enak. Itu adalah kesalahan besar. Saya bertanya, kalau kita hidup di zaman Nuh, apakah
kita ingin menjadi seperti Nuh atau orang-orang sezamannya ? Kalau orang-orang dunia pasti
memilih menjadi seperti orang-orang yang hidup di zaman Nuh yang mengejek Nuh ketika Nuh
membangun bahtera, mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dll. Lalu, mereka menganggap diri
hebat, bebas, dan itulah hidup yang mereka cari. Tetapi benarkah demikian ? Setelah bencana air
bah yang menyapu bersih orang-orang di zaman itu, kecuali Nuh, maka mereka baru sadar
bahwa hidup itu hanya sementara dan hidup yang tidak kembali kepada Allah akan sia-sia
adanya, tetapi Nuh meskipun dirinya dihina ketika membangun bahtera pada waktu kemarau,
tetapi ia mengerti hidup itu sesungguhnya karena ia kembali taat kepada Allah. Ketaatan kepada
Allah itulah kunci utama kita menemukan hidup sejati. Tetapi kesalehan seperti Nuh itu sebentar
saja terjadi di dalam sejarah, selanjutnya orang-orang setelah Nuh banyak bermunculan dan
mereka banyak yang jahat dan memberontak terhadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah yang
Berdaulat memilih bangsa Israel menjadi bangsa pilihan-Nya. Kepada mereka, Allah
mewahyukan Taurat untuk memimpin dan mengatur perilaku mereka agar berkenan kepada-Nya.
Tetapi, bagaimana faktanya, apakah mereka semua menuruti perintah Taurat ? TIDAK. Mereka
memang menghafal semua yang tertulis di dalam Taurat, tetapi itu hanya menguasai bidang rasio
saja, dan tidak benar-benar mengerti artinya. Itulah sebabnya, mereka semakin mengerti Taurat,
bukan semakin mengerti esensi Taurat, tetapi lebih menekankan fenomena upacara sesuai
Taurat. Bahkan ada yang melarang orang berjalan beberapa kilometer di hari Sabat, dll. Taurat
yang sebenarnya baik malahan dibuat tidak baik oleh para ahli Taurat yang menganggap diri ahli
di bidang Taurat (itulah namanya ahli Taurat, ahli di bidang Taurat, ahli pula untuk memelintir
hal-hal esensi di dalam Taurat). Mereka berpikir dengan hidup berbuat baik seperti yang Taurat
perintahkan, mereka akan menemukan arti hidup dan keselamatan sejati. Dari Surga, Allah tidak
tinggal diam, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk mengembalikan
fungsi hidup sebagaimana pada waktu Ia menciptakan manusia. Kristus datang untuk menebus
dosa manusia dan mengembalikan makna hidup sejati. Ketika Ia berinkarnasi dan turun menjadi
manusia tanpa meninggalkan natur Ilahinya, Ia mengajarkan prinsip-prinsip penting tentang
makna hidup. Mari kita menelusuri satu per satu di dalam Injil.

Pertama, hidup itu berpusat kepada firman Allah. Hal ini tercantum di dalam Matius 4:4, “Ada
tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut
Allah.” (dikutip dari Ulangan 8:3) Hidup manusia bukan sekedar makan, minum, bersenang-
senang, tetapi hidup manusia itu berasal dari Allah, atau lebih tepatnya dari setiap firman Allah.
Di sini, Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa manusia itu hidup tidak memerlukan roti sama
sekali, tetapi Ia mengatakan bahwa manusia tidak hanya memerlukan roti saja untuk hidup. Kata
“hanya” atau “saja” dalam ayat ini berarti kita masih membutuhkan roti atau makanan jasmani
untuk menyambung hidup, tetapi poin penting atau esensinya bukan terletak pada roti atau
sesuatu yang jasmaniah, tetapi firman Allah itulah yang esensi dan terpenting yang menjamin
hidup kita menjadi bermakna. Dengan kata lain, firman Allah itu menjadi Sumber Hidup kita
yang paling hakiki. Firman Allah menjadi penuntun, pemimpin dan pengoreksi hidup kita ketika
kita ingin berbuat dosa. Firman Allah menjadi batas dan penghakim bagi kita, sehingga kita tidak
keluar dari jalan-Nya, sebagaimana yang pemazmur katakan di dalam Mazmur 119:105,
“Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Lalu, di dalam pasal yang sama di
ayat 1-10, “Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat
TUHAN. Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari
Dia dengan segenap hati, yang juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang hidup menurut jalan-
jalan yang ditunjukkan-Nya. Engkau sendiri telah menyampaikan titah-titah-Mu, supaya
dipegang dengan sungguh-sungguh. Sekiranya hidupku tentu untuk berpegang pada ketetapan-
Mu! Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku mengamat-amati segala perintah-Mu. Aku
akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur, apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil.
Aku akan berpegang pada ketetapan-ketetapan-Mu, janganlah tinggalkan aku sama sekali.
Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai
dengan firman-Mu. Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku
menyimpang dari perintah-perintah-Mu.” Firman-Nya itu sangat berarti bagi hidup pemazmur.
Hal ini sangat berbeda total dengan banyak paradigma hidup yang dianut oleh banyak orang
yang mengaku diri “Kristen” apalagi “melayani Tuhan” lalu alergi mendengar kata “Tuhan”
disebutkan di luar gereja. Kalau di dalam Mazmur 119:9, pemazmur mengatakan bahwa orang
muda dapat mempertahankan kelakuan yang bersih ketika firman-Nya menjaga hidup mereka,
tetapi dunia kita mengajarnya secara bertolak belakang, yaitu ketika psikologi mengajar mereka
tentang makna “hidup”, maka tidak heran, banyak orang muda yang belajar psikologi (tanpa
belajar firman-Nya) berakhir tragis, misalnya bunuh diri, stress, dll. Ketika manusia mencoba
menemukan makna hidup di luar firman-Nya, manusia tidak pernah menemukannya, karena
hidup sejati pasti berpusat kepada Allah dan firman-Nya sebagai Sumber Hidup.

Kedua, hidup yang tidak kuatir. Di dalam Matius 6:25, Tuhan Yesus mengajarkan, “Karena itu
Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau
minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah
hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” Hidup
manusia sudah ada di tangan-Nya, karena Ia lah yang mengaturnya, tetapi seringkali di dalam
hidup, manusia seringkali kuatir akan makanan, minuman, pakaian, dll, mengapa ? Karena
mereka diajar bukan kembali kepada Allah, tetapi kembali kepada dirinya sendiri sebagai pusat
hidup. Ketika Allah menjadi pusat hidup manusia, maka manusia tidak perlu menguatirkan
hidupnya. Perhatikan kalimat terakhir di dalam ayat 25 bahwa hidup itu lebih penting daripada
makanan. Mengapa demikian ? Karena kalau kita kekurangan makanan, kita bisa mencarinya
kembali, tetapi kalau kita kekurangan makna hidup, bisakah kita mencarinya di dalam dunia ini
tanpa kembali kepada Allah ?! TIDAK. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus berkata bahwa
kita tidak perlu kuatir. Lalu, apa solusi yang Tuhan Yesus berikan agar manusia tidak perlu lagi
menguatirkan hidupnya ? Di dalam ayat 31-33, Ia mengajarkan, “Sebab itu janganlah kamu
kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah
yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi
Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu
Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Anak-
anak Tuhan tidak perlu kuatir, karena kalau mereka kuatir, mereka sama halnya dengan bangsa-
bangsa (manusia) yang tidak mengenal Allah. Orang yang hidupnya terus kuatir sebenarnya
meragukan kedaulatan dan pemeliharaan Allah di dalam hidupnya. Tetapi tidak berarti dengan
menggunakan kalimat ini, lalu kita berkata bahwa kita tidak perlu bekerja, karena semuanya
diberikan Tuhan. Itu anggapan yang konyol. Kita tidak perlu kuatir di dalam hidup karena kita
percaya bahwa Tuhan itu memelihara hidup anak-anak-Nya dengan berkecukupan, meskipun
demikian Tuhan tetap menuntut kita untuk terus bekerja (lihat ayat 34 yang sering dilupakan,
“Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya
sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”) Kalau kita tidak perlu kuatir, tidak berarti kita
tidak memiliki kesusahan apapun, tetapi Kristus berkata bahwa kesusahan itu masih tetap ada,
tetapi biarkanlah kesusahan itu cukup untuk sehari jangan ditambahi dengan kekuatiran yang
tidak perlu. Tuhan sangat mengerti benar apa yang diperlukan manusia, sehingga Kristus
memerintahkan kita untuk pertama-tama mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, baru
setelah itu Ia akan menambahkan berkat-Nya. Jangan menggunakan ayat ini lalu mengajarkan
bahwa percaya kepada Tuhan Yesus pasti kaya, diberkati, hidup lancar, dll. Itu bidat/sesat. Ayat
33, kata “akan ditambahkan kepadamu” itu adalah bonus atau akibat setelah kita mempercayakan
diri kepada-Nya dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (mengutamakan-Nya sebagai
Tuhan dan Raja dalam hidup kita). Jangan sembarangan menafsirkan Alkitab.

Ketiga, hidup manusia sejati adalah hidup seperti anak kecil (rendah hati). Matius 18:1-6
mengajarkan prinsip ini, “Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya:
“Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil
dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan
masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti
anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang
anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah
satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu
kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Di sini, Tuhan Yesus
menggabungkan konsep “bertobat” dengan menjadi seperti anak kecil. Apa artinya ? Pada waktu
itu, para murid sedang berebut kekuasaan ingin menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Surga,
sehingga Kristus harus menegur mereka dan mengatakan bahwa seorang yang masuk Surga
adalah seorang yang bertobat, artinya tidak lagi mementingkan hal-hal duniawi yang merupakan
citra manusia lama dan segera memperbaharui hidup dengan mementingkan apa yang Tuhan
inginkan. Kedua, setelah bertobat, mereka harus menjadi seperti anak kecil yang memiliki
kerendahan hati. Anak kecil meskipun seringkali dihina oleh masyarakat sebagai manusia yang
kurang pengalaman, tetapi dipakai oleh Kristus untuk menghina mereka yang katanya sudah
berpengalaman, berpendidikan, dll, tetapi sombong dan tidak rendah hati lagi. Yang masuk ke
dalam Kerajaan Surga bukan konglomerat, presiden, pembesar negara, pendeta, dll, tetapi
mereka yang hidup seperti anak kecil (childlike) yang memiliki kerendahan hati (bedakan
dengan childish, yaitu sifat kekanak-kanakan, sifat ini tidak disukai oleh Tuhan). Hidup seperti
anak kecil (childlike) adalah hidup yang mulia. Ketika kita belajar hidup menjadi seperti anak
kecil, maka kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Orang-orang yang suka
menyombongkan diri sebagai “penghuni surga” lalu “bersaksi” bahwa dirinya berkali-kali naik
turun “surga”, berhati-hatilah, kalau ia tidak bertobat, mungkin ia nanti pasti menjadi penghuni
neraka. Tidak berarti karena kita telah berbuat baik, maka kita masuk Surga. Tolong baik-baik
mengerti ayat ini. Kita bisa rendah hati, itu semua karena Roh Kudus yang menggerakkan kita
untuk berbuat baik dan rendah hati. Jadi, kembali, anugerah Allah yang mendahului semua
respon manusia, baru setelah anugerah ini dinyatakan, Allah pula lah yang mengaktifkan
kehendak manusia untuk berbuat baik bagi kemuliaan-Nya.

Keempat, hidup manusia sejati adalah hidup kudus. Kekudusan hidup diajarkan oleh Tuhan
Yesus di dalam Matius 18:8-9 yang berkaitan dengan penyesatan, “” Hidup sejati adalah hidup
yang kudus. Bagi Tuhan Yesus, percuma saja “masuk ke dalam Jika tanganmu atau kakimu
menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam
hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua
kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan
buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada
dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.hidup” (TB-LAI) atau “hidup dengan
Allah” (BIS) dengan kedua tangan/kaki yang utuh tetapi salah satu berbuat dosa, lebih baik
hidup dengan Allah dengan sebelah tangan/kaki. Ayat ini jangan ditafsirkan dengan
sembarangan. Saya sempat membaca ada seorang pria Katolik di Filipina setelah membaca ayat
ini lalu memotong kaki dan tangannya. Ini namanya penafsiran Alkitab terlalu harafiah. Itu salah.

Kelima, hidup yang rela membayar harga demi Kristus. Di dalam Matius 19:29, Tuhan Yesus
mengajarkan, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya
laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan
menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” Orang-orang
dunia pasti kesulitan membaca ayat ini, karena mereka pasti berpikir bahwa kalau kita
kehilangan sesuatu, pasti kita tidak bisa hidup. Tetapi tidak demikian, Tuhan kita Yesus Kristus
mengajarkan hal yang paradoks yang bertentangan dengan pola pikir kita. Kristus mengatakan
bahwa justru ketika berani membayar harga demi nama Kristus, maka di saat itulah kita nantinya
akan mendapatkan kemuliaan kekal dan hidup sejati (kata “hidup sejati” ditambahkan di dalam
Alkitab BIS. Roma 8:18-21 sungguh menguatkan kita ketika kita di dalam bahaya penderitaan
karena nama Kristus, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat
dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu
seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah
ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang
telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan
dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-
anak Allah.” Inilah pengharapan anak-anak Tuhan di mana mereka akan menerima mahkota
kemuliaan setelah mereka menderita aniaya. Itulah paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang rela
menyangkal diri sendiri dan hidup 100% bagi Kristus. Ini tidak berarti kita harus menjadi
pendeta lalu meninggalkan profesi kita. Tidak ! Hidup yang 100% bagi Kristus adalah hidup
yang men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidupnya, mungkin hidup itu terasa sulit, kita akan diejek
sok suci, sok religius, dll, tetapi kita harus setia untuk tetap men-Tuhan-kan Kristus, karena di
dalam Dialah ada hidup sejati (Yohanes 1:4 ; 14:6).

Keenam, hidup sejati adalah hidup yang beriman. Di dalam Yohanes 3:15-16, Tuhan Yesus
bersabda, “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup
yang kekal.” (Alkitab BIS mengartikannya, “supaya semua orang yang percaya kepada-Nya
mendapat hidup sejati dan kekal. Karena Allah begitu mengasihi manusia di dunia ini, sehingga
Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak
binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan kekal.”) Sungguh menarik, kedua ayat ini.
Seringkali kita mengaitkan kedua ayat ini hanya untuk mengungkapkan kasih Allah yang begitu
besar kepada kita. Itu tidak salah. Tetapi ayat ini juga bisa mengajarkan tentang makna hidup
yang sejati hanya ada ketika kita beriman di dalam Kristus yang berinkarnasi menebus dan
menyelamatkan manusia yang berdosa. Di dalam iman itulah kita bisa menemukan hidup.
Sebagaimana Roma 1:17b mengatakan, “Orang benar akan hidup oleh iman.” (TB-LAI) atau
“Orang yang percaya kepada Allah sehingga hubungannya dengan Allah menjadi baik kembali,
orang itu akan hidup!” (BIS) Orang dunia seringkali membalik konsep ini dan mengatakan
bahwa orang hidup itu harus beriman, tetapi Alkitab dengan konsepnya yang pasti dapat
dipercaya mengatakan bahwa justru ketika beriman di dalam Kristus, manusia pilihan-Nya bisa
hidup. Mengapa demikian ? Karena hidup sejati adalah hidup yang terlebih dahulu beriman di
dalam-Nya dengan menyerahkan seluruh keberadaan hidup kita kepada-Nya dan menjadikan-
Nya sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita. Ketika kita percaya kepada sesuatu, di situ kita
berani menyerahkan apapun kepada yang kita percayai. Demikian juga kita percaya di dalam-
Nya, maka kita juga rela menyerahkan apapun yang ada pada diri kita untuk dikuasai oleh-Nya,
karena kita percaya bahwa Allah itu adalah Allah yang Mutlak dan pasti dapat dipercayai.

Terakhir, hidup sejati adalah hidup yang berpengharapan dan menuju kepada kekekalan. Hal ini
diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Yohanes 10:27-28, “Domba-domba-Ku mendengarkan
suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup
yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan
seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”, Yohanes 11:25,26, “Akulah
kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,
dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” dan
Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi
barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang
kekal.” Di dalam Yohanes 12:25, Alkitab BIS mengartikan dengan lebih jelas, “Orang yang
mencintai hidupnya akan kehilangan hidupnya. Tetapi orang yang membenci hidupnya di dunia
ini, akan memeliharanya untuk hidup sejati dan kekal.” Apakah dengan ayat ini, kita harus
bersama-sama membunuh tubuh jasmani kita supaya kita bisa hidup kekal ? Lalu, apakah kita
tidak boleh mencintai diri kita ? TIDAK. Kata “mencintai nyawanya” itu dari bahasa aslinya
dapat diartikan mengasihani diri atau menganggap diri berguna, hebat, dll, sehingga ketika kita
berlaku demikian, maka justru yang terjadi bukan kita semakin hidup, tetapi malahan kita
semakin kehilangan nyawa atau makna hidup sejati kita. Sebaliknya, ketika kita membenci (tidak
mencintai) nyawa kita (atau dapat diterjemahkan menyangkal diri kita—bandingkan Matius
16:24), maka yang didapat bukan kehilangan nyawa tetapi kita akan menerima dan menemukan
makna hidup sejati dan kekal. Ini namanya paradoks. Dunia kita tidak akan mengerti konsep ini
sampai suatu saat Roh Kudus mencerahkan pikirannya. Puji Tuhan, kita adalah salah satu dari
antara mereka yang boleh mendapatkan anugerah Tuhan. Inilah indahnya menjadi orang Kristen
dapat mengerti paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang terus menuju kepada pengharapan akan
kekekalan. Akibatnya, di dalam hidup ini, kita tidak perlu dipusingkan dengan hal-hal yang tidak
penting, misalnya kekayaan duniawi, kedudukan yang dihormati, dll, itu semua sampah, sama
seperti yang diungkapkan Paulus bahwa pengenalannya akan Kristus membuat dia rela
menganggap sampah pada semua yang ia anggap kebanggaan pada masa dulunya. Beranikah kita
seperti Paulus menganggap sampah semua kemegahan dan kehebatan dunia yang berdosa ini lalu
kembali hidup yang berfokus kepada pengharapan akan kekekalan ? Renungkanlah.

Setelah kita merenungkan ketujuh poin makna hidup menurut ajaran Tuhan Yesus, sudahkah kita
berani menentukan fokus hidup sejati yaitu kepada dan di dalam Kristus itu sendiri ? Biarlah kita
mulai mengambil keputusan untuk segera men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita dan
menentukan tujuan hidup kita berpijak dari firman Allah, bergantung kepada pimpinan Roh
Kudus dan murni untuk memuliakan-Nya selama-lamanya. Soli Deo Gloria. Amin.

Você também pode gostar