Você está na página 1de 19

CIDERA KEPALA

A. DEFINISI CIDERA KEPALA

Cidera kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit

kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera

baik yang trauma tertutup maupun trauma tembus.

Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah

sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan

penatalaksanaan dan prognonis selanjutnya.

Tindakan resusitasi (rangsang jantung), anamnesis (riwayat orang sakit dan

penyakitnya pada masa lalu, atau mengenal sejarah suatu penyakit sampai ke titik

dimana catatan itu diambil agar dapat ditegakkan diagnosa yang tepat untuk

kepentingan terapi), dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan

secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan

terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cidera kepala menjadi ringan

segera ditentukan saat pasien tiba di rumah sakit.

Cidera kepala dibagi menjadi tiga yaitu cidera kepala ringan, sedang dan berat.

Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan skala Glasgow Coma Scale 15

(sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala

1
dapat terjadi abrasi, lacerasi, haematoma kepala dan tidak ada kriteria cidera sedang

dan berat. Sedangkan cidera berat adalah keadaan dimana struktur lapisan otak

mengalami cidera berkaitan dengan edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak

dapat mengikuti perintah, coma (GSC < 8) dan tidak dapat membuka mata.

Cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan

morfologi cidera:

1. Mekanisme: berdasarkan adanya penetrasi durameter

 Trauma tumpul: kecepatan tinggi (tabrakan otomobil) Kecepatan rendah

(terjatuh, dipukul)

 Taruma tembus: (luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya)

2. Keparahan cidera

 Ringan : Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15

 Sedang : GCS 9 – 13

 Berat : GCS 3 – 8

3. Morfologi

 Fraktur tengkorak: kranium, linear/stelatum, depresi/non depresi,

terbuka/tertutup.

Basis: dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan / tanpa

kelumpuhan nervus VII.

 Lesi Intrakranial: Fokal, Epidural, Intraserebral

Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cidera aksonal difus.

2
B. KLASIFIKASI TINGKAT KESADARAN

Tingkat kesadaran atau responsivitas dikaji secara teratur karena perubahan

pada tingkat kesadaran mendahului semua perubahan tanda vital dan neurologik lain.

a. Kompos metis (GCS 14-15)

Suatu keadaan sadar penuh atau kesadaran yang normal

b. Somnolen (GCS 13-11)

Suatu keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.

Somnolen disebut juga letargi atau obtundasi. Somnolen ditandai dengan mudahnya

klien dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

c. Sopor atau Stupor (GCS 8-10)

Suatu keadan dengan rasa ngantuk yang dalam. Klien masih dapat

dibangunkan dengan rangsang yang kuat, singkat dan masih terlihat gerakan spontan.

Dengan rangsang nyeri klien tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap

perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari klien.

Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

d. Koma ringan atau semi koma (GCS 5-7)

Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek (kornea,

pupil dan sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respon terhadap

rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan

jawaban primitif. Klien sama sekali tidak dapat dibangunkan.

3
e. Koma (dalam atau komplit) (GCS 3-4)

Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang

nyeri yang bagaimanapun kuatnya. (Lumbatobing, 1998).

Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif

tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek

yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal

respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).

Glasgow Coma Scale (GCS) :

Respon Nilai

a. Membuka mata

· Spontan 4

· Terhadap bicara 3

(Suruh pasien membuka mata)

· Dengan rangsang nyeri 2

(Tekan pada saraf supraorbita atau kuku)

· Tidak ada reaksi 1

(Dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata)

4
b. Respon verbal (bicara)

· Baik dan tidak ada disorientasi 5

(Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu

dimana ia berada)

· Kacau (confused)
4

(Dapat bicara dengan kalimat, namun ada disorientasi

waktu dan tempat)

· Tidak tepat
3
(Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa

kalimat dan tidak tepat)

· Mengerang

2
(Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang)

5
· Tidak ada jawaban

c. Respon motorik (gerakan)

· Menurut perintah 6

(Misalnya : suruh pasien angkat tangan)

· Mengetahui lokasi nyeri 5

(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan jari

pada supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat

tangannya sampai melewati dagu untuk maksud menapis

rangsang tersebut berarti ia dapat mengetahui lokasi

nyeri)

· Reaksi menghindar

· Reaksi Fleksi (dekortikasi) 4

(Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan objek 3

keras, seperti bolpoint, pada jari kuku. Bila sebagai

jawaban siku memfleksi, terdapat reaksi fleksi terhadap

nyeri (fleksi pada pergelangan tangan mungkin ada atau

6
tidak ada)

· Reaksi ekstensi (deserebarsi)

(Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi ekstensi

pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik pada

pergelangan tangan)
2
· Tidak ada reaksi

Dalam banyak aspek, pengelolaan cidera kepala pada anak serupa dnegan

dewasa. Namun dalam beberapa hal sedikit berbeda atau sangat khusus. Anak-anak

terutama yang berusia 2 tahun ke bawah rentan terhadap komplikasi dan sekuele berat

setelah cidera kepala berat. Banyak dari komplikasi tersbut berkaitan dengan cidera

sekunder otak seperti edema, hiperemia, hipoksia.

Mekanisme cidera kepala berat berupa dengan dewasa, namun anak yang

tertabrak kendaraan 3 kali lebih sering dari dewasa. Kecelakaan sepeda juga sering,

namun akibat jatuh tidak sesering dewasa. Walau begitu, derajat kerusakan yang

diakibatkan oleh jatuh tidak sama dengan dewasa.

C. TANDA DAN GEJALA CIDERA KEPALA BERAT

1. Gejala

7
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah

atau normal perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian,

inkontenensia kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah,

dan mengalami perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia,

vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan

pengecapan, sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru

karena kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.

2. Tanda

Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:

 Perubahan kesadaran

 Depresi

 Latergi

 Muntah (mungkin proyektif)

 Ataksia atau cara berjalan tidak tetap

 Gangguan menelan

 Perubahan kesadaran sampai koma

 Cidera orthopedic

 Kehilangan tonus otot

 Perubahan status mental

 Cemas

 Perubahan pupil

8
 Mudah tersinggung

 Kehilangan penginderaan

 Delirium (suatu kondisi dimana kesadaran menjadi kabur dan disertai ilusi

atau halusinasi)

 Kejang

 Kehilangan sensasi sebagian tubuh

 Agitasi

 Wajah menyeringai

 Bingung\

 Respon menarik pada rangsang

 Perubahan pola nafas

 Nyeri yang hebat

 Nafas bunyi rochi

 Gelisah

 Fraktur atau dislokasi

 Gangguan rentang gerak

 Gangguan penglihatan

 Gangguan dalam regulasi suhu tubuh

 Gangguan kognitif

 Afasia motoris atau sensoris

 Bicara tanpa arti disartria anomia

9
D. ETIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT

Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108) mendeskripsikan bahwa penyebab

cidera kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2

faktor yaitu:

1. Trauma Primer

Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan

deselerasi).

2. Trauma Sekunder

Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi

intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.

E. PATOFISIOLOGI CIDERA KEPALA BERAT

Trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar,

kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin

besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia

Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu

menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma

epidural, subdura maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi

pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi

hipoksia jaringan akan menyebabkan edema cerebral. Akibat dari haematoma diatas

akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang

10
berlawanan yang berakibat pada kenaikan TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang

kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat

akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi

kurang.

F. KOMPLIKASI CIDERA KEPALA BERAT

1. Kebocoran cairan cerebrospinal, dapat disebabkan oleh rusaknya

leptomeningen dan terjadi pada 2 – 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup.

Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari

pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun

pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumolok),

pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea

cairan cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan

indikasi untuk operasi reparatif.

2. Fistel Karotis-Kavernosusu, ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosisi

dan bruit orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cidera.

Anglografi diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan oklusi

balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat mencegah

hilangnya penglihatan yang permanen.

3. Diabetes Incipidus, dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai

hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik. Pasien

mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan

hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin (pitressin) 5 – 10 unit

11
intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 – 6 jam atau desmopressin

asetat subkutan atau intravena 2 – 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk

mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume

diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada

berat ringannya hipernatremia.

4. Kejang Pascatrauma, dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini

(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak

merupakan predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko

yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan

dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut

(berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko

mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur

depresi.

5. Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.

6. Meningitis Ventrikulitis

7. Infeksi saluran kemih

8. Perdarahan gastrointestinal

9. Sepsis asam negatif

10. Kebocoran CSS

12
G. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif:

a. Bedrest total

b. Pemberian obat-obatan

c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

d. Tindakan terhadap peningkatan TIK

 Pemantauan TIK dengan ketat

 Oksigenasi adekuat

 Pemberian manitol

 Penggunaan steroid

 Peningkatan kepala tempat tidur.

 Bedah neuro

e. Tindakan pendukung

 Dukung ventilasi

 Pencegahan kejang

 Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi

 Terapi anti konvulsan

 Klorpromazin : menenangkan pasien

 Selang nasogastrik

2. Prioritas Perawatan:

a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak

b. Mencegah komplikasi

c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal

13
d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana

pengobatan, dan rehabilitasi.

3. Tujuan:

a. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap

b. Komplikasi tidak terjadi

c. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain

d. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

e. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh

keluarga sebagai sumber informasi.

H. Diagnosa Keperawatan

1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas

di otak.

Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.

Kriteria evaluasi : Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak

ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas

normal.

Rencana tindakan :

1) Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat

dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan

14
pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan

menyebabkan asidosis respiratorik.

2) Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat

dalam pemberian tidal volume.

3) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya

2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai

kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran

gas.

4) Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat

mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan

meningkatkan resiko infeksi.

5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi

dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan

menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.

6) Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu

membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada

ventilator.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan

sputum.

Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi

15
Kriteria Evaluasi : Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada

selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Rencana tindakan :

1) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas.

Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan,

bronchospasme atau masalah terhadap tube.

2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).

Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi

pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan

sputum.

3) Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila

sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu

harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.

4) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi

untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta

pelepasan sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak

Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi

motorik.

Kriteria hasil : Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.

16
Rencana tindakan :

1) Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode

GCS. Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat

kesadaran.

2) Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan

untuk menentukan refleks batang otak.

3) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

4) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.

5) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan

pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.

6) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.

7) Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.

8) Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar

(kolaborasi).

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos -

coma)

Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.

Kriteria hasil : Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi

terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.

Rencana Tindakan :

17
1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.

2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.

3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.

4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk

menjaga lingkungan yang aman dan bersih.

5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan

lingkungan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, C.M dan Gallo, B.M. 1996. Keperawatan Kritis : Pendekatan


Holistik. Volume II. Jakarta: EGC

Long, C.B. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Volume II. Bandung:Yayasan IAPK
Padjajaran

Price, S.A dan Wilson, M.L. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit. Jakarta EGC

Saani, Syaiful. 2007. Cedera Kepala Pediatrik Berat Pertimbangan Khusus. Diambil
pada: www.medilinux.glogspot.com

Smeltzer, Bare, 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Volume
3. Jakarta: EGC

19

Você também pode gostar