Você está na página 1de 2

Ust. Ahmad Sarwat, Lc.

, MA

Anak Meninggal Lebih Dulu Dari Ayah, Apakah Anak itu Dapat Warisan?

Fri 24 January 2014 12:00 | Mawaris | 62.569 views | Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Pertanyaan :
Bismilllah,
Assalamualaykum
Ust. Ahmad

Afwan, ana mau tanya?


Ayah sudah meninggal dunia dan meninggalkan 4 anak laki laki dan 3 anak perempuan, semuanya telah menikah dan punya anak

yang jadi pertanyaan adalah, dari 4 anak laki laki yang punya Hak waris ada diantaranya telah meninggal dunia mendahului sang ayah,
apakah hak warisnya masih ada bila anak tersebut meninggalnya mendahului ayahnya, sedangkan anaknya tersebut telah memiliki Istri dan
5 anak laki laki dan 2 anak perempuan, kalo punya hak waris bagaimana perhitungannya,

semoga pertanyaan saya Jelas, jazakulloh khoiron katsiro


Barokallohufiik
Ahmad

Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertama yang harus diketahui bahwa seseorang tidak dapat mendapatkan waris kecuali terdapat dalam dirinya syarat-syarat mendapatkan
waris itu sendiri. Dan ulama telah memformulasikan adanya 3 syarat dalam waris, yang kesemuanya ini harus terpenuhi;
1. Meninggalnya Pewaris secara Hak (benar) ataupun secara Hukum (seperti orang yang hilang tanpa kabar, kemudian hakim
menghukuminya sebagai orang yang meninggal).
2. Ahli waris dalam keadaan hidup ketika si Pewaris meninggal Dunia.
3. Tidak terdapat dala dirinya hal-hal yang menghalangi waris.
Yang menghalangi waris itu ada 3 macam, yaitu;
[1] Pembunuhan, maksdunya ialah si ahli waris membunuh pewaris. Maka yang seperti ini tidak mendapatkan waris.
[2] Perbedaan agama, jadi kalau ahli waris dan pewaris beda agama, maka tidak ada saling mewarisi diantara mereka.
[3] Perbudakan.
Tiga syarat di atas adalah syarat yang memang disepakati oleh seluruh ulama sejagad raya ini dan tidak ada yang menyilisihnya. Maka
kalau salah satu syarat tidak terpenuhi, maka tidak ada perwarisan.
Nah, kalau dari cerita yang disebutkan di atas, maka anak yang mneinggal lebih dulu dari ayahnya (pewaris) tidak termasuk orang yang
mnedapatkan warisan. Kenapa? Karena ia tidak ada ketika si ayah (pewaris) meninggal. Sebagaiman disebutkan sebelumnya bahwa syarat
waris itu, si ahli waris ada atau hidup ketika si pewaris meninggal. Dan anak itu tidak ada ketika ayahnya meninggal, maka tidak dapat waris.
Karena tidak dapat waris, jatahnya pun tidak ada dan tidak bisa diwakilkan atau digantikan oleh anaknya. Ini menjadi kesepakat ulama 4
madzhab. Apapun kitabnya, kita tidak akan menemukan adanya ahli waris pengganti dalam litelatur fiqih dari dulu sampai sekarang.
Pembagian
Maka pembagiannya ialah harta pewaris jatuh semua ke anak-anaknya itu tadi, yaitu 3 Anak laki-laki dan 3 perempuan. Satu anak laki-laki
yang dibicarakan ini tidak masuk dalam ahli waris karena ia sudah tidak ada ketika pewaris meninggal dunia.
Jadi, pembagiannya itu “Li Al-Dzakari Mitlu Hadzdzi Al-Untsayain”, laki-laki mendapat 2 jatah dibanding jatah wanita. Masing-masing anak
laki-laki yang jumlahnya 3 orang itu mendapat 2/9. Sedangkan anak perempuan yang jumlahnya 3 orang, masing-masing mendapat 1/9.
Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Saya mengira dan mungkin perkiraan saya tepat, bahwa munculnya pertanyaan ini karena memang ada salah satu pasal dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang menjadi ‘kitab suci’ di seluruh pengadilan agama Indonesia ini yang menyatakan adanya ahli waris pengganti. Yaitu
pasal 185, dan memang pasal ini menjadi boomerang sendiri untuk para pengadil di Indonesia.
Karena memang ini adalah kitab suci yang wajib ditaati maka seluruh pengadil di Indonesia memakai kitab suci ini dalam keputusan-
keputusannya, padahal pasal-pasal dalam KHI ini banyak yang menyelisih syariah. Dan ini juga banyak dikritik oleh para ilmuan-ilmuan
syariah sejak kemunculannya tahun 1991 sampai saat ini. apalagi yang terdapat dalam pasal 185 yang penuh kontriversial ini.
Bunyi pasal 185 KHI yang berisi 2 ayat seperti ini,
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Ahli Waris Pengganti Banyak Kerancuan
Perlu diluruskan di sini bahwa dalam syariah seseorang tidak bisa dikatakan sebagai “Pewaris” kecuali ia sudah meninggal. Karena ia yang
mewarisi harta, dan seseorang tidak bisa mewarisi harta kecuali ia sudah meninggal.
Dan tidak bisa seseorang disebut “Ahli Waris” kecuali jika ia hidup da nada ketika si pewaris meninggal. Karena Ahlli waris itu artinya orang
yang menerima warisan, bagaimana mungkin ia menjadi ahli waris kalau ia sudah meninggal dan tidak ada.
Redaksi pasal 185 ayat 1 dan 2 diatas benar-benar aneh dan membingungkan, Kata-kata “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada
sipewaris……” apa maksudnya? Bagaimana bisa ia jadi ahli waris kalau dia sudah meninggal? Dan bagaimana pula dia bisa jadi pewaris
kalau dia masih hidup? Ini kan pasal yang aneh.
Setelah penelitian, rupanya panitia penyusun memasukkan pasal ini mengambil dari pemahaman seorang ahli hukum adat bernama
Hazairin dalam beberapa karya tulisnya yang memang concern kepada hukum-hukum adat di Indonesia yang kemudia diselaraskan dengan
hukum syariat.
Tapi sayangnya dalam argument yang dipakai untuk menjadi sandaran dasar pasal ini tidaklah kuat. Bahkan terkesan memaksakan. Mau
dikompromikan bagaimanapun, pasal ini tidak bisa diterima nalar syariah.
Argumen Hazairin
Dalam bukunya, Hukum kewarisan Bilateral, Hazairin berargumen untuk menguatkan ‘ijtihad’-nya terkait ahli warispengganti ini dengan ayat
33 surat an-Nisa yang diartikan secara serampangan oleh beliau. Tanpa merujuk kepada ahli tafsir atau ahli fiqih sekalipun, beliau
memberikan pemahaman bahwa ini adalah ayat yang melegalkan adanya ahli waris pengganti, padahal tidak begitu.

ِ ‫ي ِم َّما ت ََركَ ْال َوا ِل َد‬


َ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُون‬ َ ‫َو ِل ُك ٍّل َجعَ ْلنَا َم َوا ِل‬
“bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan Mawali (pewaris-pewarisnya)”.
Beliau (Hazairin) menafsirkan kata Mawali di ayat ini sebagai pengganti, ya berarti pengganti ahli waris. Padahal tidak ada satu ahli tafsir
atau pun ahli fiqih yang mengatakan demikian.
Kalau kita lebih teliti lagi, bahwa ayat ini bukan menunjukkan adanya ahli waris pengganti, akan tetapi ayat ini adalah ayat yang menjadi
naskh (penghapus) kebiasaan orang jahiliyah yang sejak dulu saling mewarisi satu sama lain tanpa aturan yang jelas.
Mereka (jahiliyah) ketika itu, jika keduanya saling suka walaupun bukan anak atau kerabat, maka itulah yang menjadikannya saling
mewarisi, sebagaimana dijelaskan oleh para Mufassir. Tanpa kenal siapa kerabat siapa anak siapa orang tua. Yang penting, yang
disukainya siapapun itu, maka itulah yang mewarisi. Sampai-sampai ada istilah yang masyhur ketika itu:
“Damii Damuka, ‘Adzmi Adzmuka, Taritsuni wa Aristuka”, yang artinya: “darahku adalah darahmu, tulang ku adalah tulangmu, kau
mewarisiku dan aku mewarisimu”.
Nah, kebiasaan ini yang kemudian dihapus oleh syariah, maka turun ayat ini sebagai pemberitahuan bahwa masing-masing dari kalian telah
ada ahli warisnya yang akan menerima harta pusaka setelah si empunya meninggal. Lalu dimana dijelaskan ahli waris itu? Setelah ayat ini
turun, kemudian turun ayat yang mejalskan siapa yang mewarisi dan siapa yang tidak pada ayat 11, 12, 13 dan ayat 176 surat an-Nisa’.
(lihat tafsir Al-Thobari 8/275)
Semakin jelas akhirnya pasal ahli waris pengganti ini. tapi sayangnya masih saja pasal ini digunakan oleh para hakim dan akhirnya menjadi
boomerang sendiri bagi mereka dan juga orang-orang yang mengadukan perkaranya ke pengadilan agama.
Tidak sedikit akhirnya banyak keponakan dan paman berebut harta waris di pengadilan karena sebab pasal yang rancu ini. yang berujung
pada retaknya tali persaudaraan antara keluarga.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Zarkasih, Lc

Você também pode gostar