Você está na página 1de 32

Laporan Kasus

Hernia Inguinalis Lateralis Dextra

Disusun oleh:

Fauzan Ditiaharman, S. Ked 04054821618122


Rina Novitriani, S.Ked 04084821618231
Rofifah Dwi Putri, S.Ked 04084821618228
Albert Kosasih, S.Ked 04054821618102
Rizkia Retno Dwi Ningrum, S.Ked 04054821618114
Annisah Sarie Husni, S.Ked 04084821618212
Elsa Tamara Saragih, S.Ked 04084821618214

Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif


Periode 11 Desember 2017 –15 Januari 2018

Pembimbing:
dr. Ibnu Umar, Sp.An

BAGIAN DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT DAERAH RABAIN MUARA ENIM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017-2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Hernia Inguinalis Lateral Dextra

Oleh :
Fauzan Ditiaharman, S. Ked 04054821618122
Rina Novitriani, S.Ked 04084821618231
Rofifah Dwi Putri, S.Ked 04084821618228
Albert Kosasih, S.Ked 04054821618102
Rizkia Retno Dwi Ningrum, S.Ked 04054821618114
Annisah Sarie Husni, S.Ked 04084821618212
Elsa Tamara Saragih, S.Ked 04084821618214

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Daerah Rabain Muara
Enim Periode 11 Desember 2017 – 15 Januari 2018.

Palembang, Desember 2017

dr.Ibnu Umar, Sp.An

KATA PENGANTAR

ii
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Hernia Inguinalis Lateralis
Dextra.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ibnu Umar, Sp.An selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, Desember 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
KATA PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I STATUS PASIEN ............................................................................... 1
1.1 Identifikasi..................................................................................................1
1.2 Anamnesis...................................................................................................1
1.3 Pemeriksaan Fisik.......................................................................................2
1.4 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................5
1.5 Diagnosis Kerja..........................................................................................5
1.6 Tatalaksana.................................................................................................. 5
1.7 Rencana Pemeriksaan................................................................................. 6
1.8 Prognosis ....................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................7
2.1 Kristaloid dan Koloid.................................................................................7
2.1.1 Cairan Kristaloid.............................................................................. 7
2.1.2 Cairan Koloid................................................................................... 15
2.2 Terapi Cairan...............................................................................................22
2.2.1 Terapi Cairan Preoperatif.................................................................22
2.2.2Penggantian Cairan Intraoperatif......................................................23
2.2.3 Terapi Cairan Postoperasi.................................................................26
BAB III ANALISIS MASALAH ..................................................................27
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................30

iv
BAB I
STATUS PASIEN

1.1 Identifikasi
Nama : Tn.BT
Tanggal Lahir : 23 Juni 1974
Usia : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karyawan swasta
Suku : Sumatera
Agama : Islam
Alamat : Gunung Megang, Kabupaten Muara Enim
Tanggal MRS : 19 Desember 2017
Nomor CM : 554367

1.2 Anamnesis
(Autoanamnesis dan Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 19 Desember
2017 pukul 14.00 di RR IBS RSUD Rabain Muara Enim)
a. Keluhan Utama:
Benjolan di lipat paha kanan sejak ± 1 minggu SMRS
b. Riwayat Perjalanan Penyakit:
±1 bulan yang lalu pasien mengeluh timbul benjolan sebesar telur
puyuh di lipat paha kanan.
± 1 minggu yang lalu pasien mengeluh benjolan di lipat paha semakin
lama semakin membesar. Benjolan timbul saat mengangkat beban berat,
dan hilang atau masuk lagi saat pasien berbaring. Benjolan juga dirasakan
timbul bila pasien batuk atau bersin. Nyeri tidak ada, demam tidak ada,
mual dan muntah tidak ada. BAB dan BAK biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit kardiovaskular (hipertensi, nyeri dada, masalah
sirkulasi) disangkal.

1
 Riwayat respirasi (asma, infeksi saluran napas atas dalam 2
minggu, sleep apnea) disangkal.
 Riwayat Neurologis (stroke atau stroke ringan/TIA, kejang,
neuropati) disangkal.
 Riwayat diabetes melitus disangkal.
 Riwayat masalah tiroid disangkal.
 Riwayat masalah ginjal disangkal.
 Riwayat masalah hati (ikterus, hepatitis) disangkal.
 Riwayat anestesi atau operasi sebelumnya dalam 1 tahun terakhir
disangkal.
 Riwayat operasi hernia inguinalis lateralis dextra (+) tahun 1993.
 Riwayat konsumsi alkohol rutin atau dalam waktu 24 jam
disangkal.
 Riwayat alergi makanan/obat-obatan disangkal.
 Riwayat kejang disangkal.
 Riwayat trauma disangkal.
 Riwayat merokok (+) ± selama 20 tahun dan berhenti sejak 1
bulan yang lalu

1.3 Pemeriksaan Fisik (19 Desember 2017)


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
Pernafasan : 20 x/menit, regular
Suhu : 36,5ºC
VAS Score :3
SpO2 : 98%
Tinggi Badan : 162 cm
Berat Badan : 52 kg

Status Lokalis

2
Kepala : Normosefali, ekspresi wajar, rambut hitam, lurus,
tidak mudah dicabut, alopesia (-), deformitas (-).
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-), edema
palpebra (-), pupil bulat, isokor, reflex cahaya (+/
+).
Hidung : Deformasi (-), sekret (-), epistaksis (-)
Telinga : Deformasi (-), MAE lapang, sekret (-).
Mulut : buka mulut 3 jari (+), gigi ompong, mallampati
grade 1, bibir kering (-), bibir pucat (-), sianosis
(-), atropi papil (-),faring hiperemis (-), tonsil T1-
T1, snoring (-), gigi palsu (-), trismus (-).
Leher : Jarak thyro-mental 3 jari (+), ROM leher baik,
JVP (5-2)cmH2O,KGB (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
Thoraks : Bentuk dada normal, sela iga melebar (-), spider
naevi (-), ginekomastia (-), retraksi (-)

Paru-paru
Inspeksi : Statis dinamis kiri=kanan
Palpasi : Stem fremitus normal kanan = kiri, sela iga
melebar (-)
Perkusi : Sonor di semua lapang paru, batas paru hati ICS
VI, peranjakan 1 sela iga.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-) di kedua lapang
paru, wheezing (-)

Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas atas: ICS II linea parasternalis sinistra,
Batas kiri: ICS V linea midclavicularis
sinistraBatas kanan: Linea sternalis dekstra
Auskultasi : HR 84 kali/menit, BJ I-II (+) normal, murmur(-),
gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, umbilikus menonjol (-),venektasi (-), caput
medusa (-), striae (-), scar (-), benjolan (+) di

3
inguinalis dextra saat pasien posisi berdiri atau
duduk
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (-), nyeri tekan McBurney (-),
Rovsing sign (-), Psoas sign (-), Obturator sign
(-), defans muscular (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Palmar pucat (-/-), edema pretibial (-), akral


dingin (-).

Klasifikasi Status Fisik


ASA : 1 (pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik dan
biokimia)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (15 Desember 2017)
Hemoglobin 14,2g/dl
Leukosit 4.300/mm3
Trombosit 237.000/mm3
Hematrokit 41%
GDS 89 mg/dl

1.5 Diagnosis Kerja


Hernia Inguinalis Lateralis Dextra

1.6 Tatalaksana
- Pre Operatif
Nonfarmakologis
- Monitor dan evaluasi pasien selama 24 jam (tanda vital, intake dan
output)
Farmakologis (pre operatif)
- IVFD RL gtt xx/ menit
- Inj. Ceftriaxone 2x1 gr IV

- Intra Operatif
- Inj. Bupivacain 15mg
- Inj. Fentanyl 100 µg
- Inj. Asam traneksamat2 x 500 mg
- Inj. Ranitidin 1 x 50 mg
- Terapi cairan Ringer Laktat 828ml

4
Dosis maintenance
(4x10)+(2x10)+(1x32) = 92
Kebutuhan cairan 1 jam I
(1/2 x 8 x 92) + 92 + (4 x 92) = 828 ml

- Post Operatif
Farmakologi
- Ketorolac 1x 30 mg
- IVFD RL gtt XX/m
Nonfarmakologis
- Monitor dan evaluasi pasien selama 24 jam (tanda vital, intake dan
output).
- Istirahat
- Edukasi
- Pasien boleh makan di ruangan
- Mobilisasi setelah pasien sudah bisa BAK

1.7 Rencana Pemeriksaan


 Darah rutin

1.8 Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad fungsionam : bonam
 Quo ad sanationam : bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kristaloid dan Koloid


2.1.1. Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid adalah larutan elektrolit dengan molekul yang kecil yang
dapat berdifusi secara bebas dari intravascular ke kompartemen interstisial.
Komponen prinsip dari cairan kristaloid adalah sodium klorida. Sodium adalah
determinan penting untuk volume ekstraselular dan terdistribusi secara merata di
cairan ekstraseluler. Sodium dalam cairan kristaloid juga terdistribusi secara
merata di cairan ekstraseluler. Dikarenakan volume plasma hanya 25% dari
volume interstisial, hanya 25% cairan kristaloid yang akan menyebabkan ekpansi
dari volume plasma, sedangkan 75% lainnya akan mengekspansi cairan
interstisial. Oleh karena itu, efek predominan dari cairan kristaloid adalah untuk
mengekspansi volume interstisial, bukan volume plasma.1

Gambar 1. Ilustrasi yang menggambarkan perbedaan kecenderungan cairan koloid


dan kristaloid untuk mengekspansi volume plasma dan interstisial.

2.1.1.1 Isotonik Saline


Salah satu cairan kristaloid yang banyak digunakan adalah sodium klorida
0,9%. Larutan ini banyak mempunyai variasi nama antara lain normal saline,
saline fisiologis, dan isotonic saline. Istilah NaCl 0,9% akan digunakan untuk

6
isotonic saline, agar dapat membedakannya dengan hipertonik saline yang akan
dijelaskan selanjutnya.1
Istilah yang paling populer untuk NaCl 0,9% adalah normal saline, tetapi
larutan ini sebenarnya tidak normal baik secara kimia maupun fisiologis. Larutan
ini tidak normal secara kimia karena konsentrasi dari larutan 1 N NaCl adalah 58
gram per liter (dikombinasikan dengan berat molekul dari sodium dan klorida),
sedangkan NaCl 0,9% mengandung hanya 9 gram dari NaCl per liter. Larutan ini
juga tidak normal secara fisiologis karena komposisi dari NaCl 0,9% berbeda dari
komposisi cairan ekstraseluler. Hal ini dijelaskan pada Tabel 1. Ketika
dibandingkan dengan plasma (cairan ekstraseluler), 0,9% NaCl mempunyai
konsentrasi sodium yang lebih tinggi (154 vs 140 mEq/L), konsentrasi klorida
yang lebih tinggi (154 vs 103 mEq/L), osmolalitas yang lebih tinggi (308 vs 290
mOsm/L), dan pH yang lebih rendah (5,7 vs 7,4). Perbedaan ini akan mempunyai
efek yang merusak pada keseimbangan asam basa dan cairan.1
Tabel 1. Perbedaan Plasma dan Cairan Kristaloid

Fluid mEq/L
Na Cl K Ca M Buffers pH Osmolality(mOsm
g /L)
Plasma 140 103 4 4 2 HCO3(25) 7.4 290
0.9% NaCl 154 154 - - - - 5.7 308
7.5% NaCl 128 128 - - - - 5.7 2567
3 3
Ringer 147 156 4 4 - - 5.8 309
Injection
Ringer Lactate 130 109 4 3 - Lactate (28) 6.5 273
Ringer Acetate 131 109 4 3 - Acetate (28) 6. 275
7
Normosol 140 98 5 - 3 Acetate (27) 7.4 295
Plasma-Lyte A Gluconate (23)

Efek dari NaCl 0,9% dalam mengekspansi volume plasma dan volume
cairan intersitisial ditunjukkan pada Gambar 2. Infus satu liter dari NaCl 0,9%
akan menambah 275 mL ke volume plasma dan 825 mL ke volume interstisial.
Distribusi ini merupakan ekpekstasi dari pemberian cairan kristaloid. Namun,

7
peningkatan total dari volume ekstraseluler (1.100 ml) sedikit lebih besar
dibandingkan volume infus. Hal ini disebabkan karena perpindahan cairan dari
intraseluler ke ekstraseluler, yang timbul karena NaCl 0,9% sedikit hipertonik
terhadap cairan ekstraseluler.2

a. Edema Interstisial
Infus NaCl 0,9% dapat menyebabkan edema interstisial dibandingkan
cairan kristaloid dengan konten sodium yang rendah (contoh. Ringer laktat,
Plasma-Lyte). Hal ini berhubungan dengan peningkatan simpanan sodium dari
NaCl 0,9%, yang akan meningkatkan tonisitas dari cairan interstisial dan
menyebabkan retensi sodium dengan mensupresi aksis renin-angiotensin-
aldosteron. Penurunan perfusi renal juga dapat dilihat setelah pemberian infusk
NaCl 0,9%, yang dapat disebabkan karena vasokonstriksi renal yang dimediasi
oleh klorida. Peningkatan edema interstisial dengan NaCl 0,9% dapat
menyebabkan pengaruh negatif pada keluaran klinis.3

Gambar 2. Efek dari cairan koloid dan kristaloid pada volume plasma dan
interstisial.

b. Efek Asam Basa


Infus NaCl 0,9% dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan asidosis
metabolik, seperti yang ditunjukkand dari Gambar 3. Pada studi klinis, infus NaCl
0,9% dengan kecepatan 30 mL/kg/jam diikuti dengan penurunan progresif dari pH
darah (dari 7,41 ke 7,28) dalam waktu dua jam, sedangkan pH tidak berubah jika
diberikan larutan Ringer laktat dalam kecepatan yang sama. Asidosis metabolik

8
yang diinduksi oleh saline adalah asidosis hiperkloremik, yang disebabkan karena
tingginya konsentrasi klorida didalam NaCl 0,9% relatif terhadap plasma (154 vs
103 mEq/L). Perbedaan yang dekat antara konsentrasi klorida di Ringer laktat dan
plasma dapat menjelaskan mengapa dengan pemberian Ringer laktat dalam
jumlah yang banyak tidak terlalu berpengaruh terhadap pH.4

Gambar 3. Efek NaCl 0,9% vs Ringer laktat terhadap pH darah pada pasien yang
menjalani bedah elektif. Total volume infus setelah 2 jam adalah 5 sampai 6 liter
untuk masing-masing cairan.

2.1.1.2 Cairan Ringer


Sydney Ringer, dokter dari Inggris yang mempelajari kontraksi dari
jantung kodok, memperkenalkan larutan sodium klorida pada tahun 1880 yang
mengandung kalsium dan potassium untuk menunjang kontraksi kardiak dan
viabilitas sel. Larutan ini dikenal sebagai injeksi Ringer dan merupakan NaCl
0,9% dengan tambahan potassium dan kalsium ionisasi.5
a. Ringer Laktat
Pada awal tahun 1930, dokter anak-anak bernama Alexis Hartmann
menambahkan sodium laktat kedalam larutan Ringer untuk berperan sebagai
buffer untuk terapi dari asidosis metabolic. Larutan ini awalnya disebut sebagai

9
larutan Hartmann, dan sekarang lebih dikenal sebagai larutan Ringer laktat.
Komposisi dari larutan ini ditunjukkan pada tabel 2. Konsentrasi sodium pada
Ringer laktat diturunkan untuk mengkompensasi pelepasan sodium dari sodium
laktat, dan konsentrasi klorida diturunkan untuk mengkompensasi molekul laktat
negatif; dimana keduanya dapat menetralkan elektrisitas larutan garam.5

b. Ringer Asetat
Dikarenakan kekhawatiran bahwa infus dengan volume yang besar dari
larutan Ringer laktat dapat meningkatkan level laktat di plasma pada pasien
dengan gangguan klirens laktat (contoh pada pasien dengan penyakit hati), buffer
laktat diganti dengan asetat untuk membuat larutan Ringer asetat. Asetat
dimetabolisme di otot dibandingkan di hati, dimana membuat Ringer asetat
sebagai alternatif dari Ringer laktat pada pasien dengan gagal hati.5

c. Keuntungan dan Kerugian


Keuntungan utama dari Ringer laktat dan Ringer asetat dibandingkan
saline isotonik (NaCl 0,9%) adalah efek yang tidak begitu signifikan pada
keseimbangan asam-basa. Kerugian utama dari larutan Ringer adalah konten dari
kalsium; sebagai contoh, kalsium terionisasi pada larutan Ringer dapat berikatan
dengan antikoagulan sitrat yang disimpan di sel darah merah dan dapat
menyebabkan pembentukan clot. Karena alasan ini, larutan Ringer
dikontraindikasikan sebagai cairan diluen untuk tranfusi konsentrat eritrosit
(PRC). Namun, pembentukan clot tidak muncul jika volume larutan Ringer tidak
melebih 50% dari volume PRC.5
d. Pertimbangan Laktat
Seperti dikatakan diatas, konten laktat pada larutan Ringer laktat (28
mM/L) membuat kekhawatiran mengenai risiko hiperlaktatemia palsu dengan
infus jumlah besar dari cairan. Pada subjek yang sehat, infus satu liter Ringer
laktat selama lebih dari 1 jam tidak menyebabkan peningkatan jumlah serum
laktat. Pada pasien yang sakit, yang mungkin memiliki gangguan klirens laktat
dari shock sirkulasi atau hepatic, akibat dari infus Ringer laktat pada jumlah
serum laktat yang tidak diketahui. Namun, jika klirens laktat menjadi 0, tambahan
satu liter Ringer laktat terhadap volume darah 5 liter (yang membutuhkan infus 3-
4 liter cairan) dapar meningkatkan level serum laktat sampai 4,6 mM/L. oleh

10
karena itu, infus Ringer laktat jarang dapat memberikan efek terhadap level serum
laktat kecuali volume besar diinfuskan kepada pasien.5

2.1.1.3 Hipertonik Saline


Larutan saline hipertonik seperti NaCl 7,5% (mempunyai osmolalitas 8-9
kali dibandingkan plasma) lebih efektif untuk menyebarkan volume ekstraseluler
dibandingkan larutan kristaloid isotonik. Hal ini digambarkan pada Gambar 4,
yang menunjukkan infus 250 mL NaCl 7,5% menyebabkan peningkatan 1,235 mL
cairan ekstraseluler, 5 kali lebih besar dibandingkan volume infus.6

Gambar 4. Perbandingan volume kumulatif dari tiga cairan intravena yang


dibutuhkan untuk menjaga kecepatan normal dari aliran darah aorta.
Gambar 4 menjelaskan bahwa saline hipertonik akan cocok pada situasi
dimana pemberian volume kecil dari cairan resusitasi dapat menguntungkan;
contoh: resusitasi pre rumah sakit pada korban trauma, terutama pada trauma otak.
Namun, bukti yang diakumulasikan tidak menunjukkan keuntungan bertahan dari
saline hipertonik dibandingkan dengan kristaloid isotonik untuk manajemen dari
syok traumatic atau trauma otak. Tambahan dextran-70 6% ke saline hipertonik
untuk membuat cairan hiperonkotik-hipertonik tidak menunjukkan hasil yang
menguntungkan.6

11
2.1.1.4 Larutan Dekstrosa 5%

a.Protein-Sparing Effect

Sebelum penggunaan terstandar dari pemberian makan melalui pipa


enteral dan nutrisi parenteral total, larutan dekstrosa 5% digunakan untuk dapat
menyediakan kalori pada pasien yang tidak dapat makan. Dektrosa menyediakan
3,4 kkal per gram ketika dimetabolisme secara penuh, jadi larutan dekstrosa 5%
(50 gram dekstrosa per liter) menyediakan 170 kkal per liter. Infus 3 liter larutan
D5 per hari (125 mL/menit) menyediakan 3 x 170=510 kkal/hari, yang cukup
sebagai kalori nonprotein untuk membatasi pemecahan protein endogen untuk
menyediakan kalori. Hal ini sudah tidak penting lagi, karena kebanyakan pasien
dapat mentoleransi pemberian makanan melalui pipa enteral, dan untuk yang tak
bisa, dapat diberi melalui nutrisi parenteral total.7
b. Efek Volume
Tambahan dari dekstrosa ke cairan intravena dapat meningkatkan
osmolalitas (50 g dektrosa ditambahkan ke 278 mOsm/L ke cairan intravena).
Untuk larutan dekstrosa 5%-in-water (D5W), tambahan dekstrosa dapat
menyebabkan dekatkan osmolalitas ke plasma. Namun, ketika dekstrosa diambil
oleh sel dan dimetabolisme, efek osmolalitas secara cepat akan berkurang, dan
tambahan air akan bergerak kedalam sel. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 2.
Infus satu liter D5W akan menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler (plasma
dan cairan interstisial) sekitar 350 mL, dimana sisa 650 mL telah pindah ke
intraseluler. Oleh karena itu, efek utama dari D5W adalah edema seluler.7
Efek berlawanan dari D5W dapat muncul ketika dekstrosa ditambahkan ke
NaCl 0,9%. Seperti yang dijelaskan sebelum, osmolalitas dari NaCl 0,9% sedikit
lebih tinggi dibandingkan cairan ekstraseluler (308 vs 290 mOsm/L), dan hal ini
akan menyebabkan pergerakan air keluar dari sel. Ketika 50 gram dekstrosa
ditambahkan untuk membuat D5-normal saline, osmolalitas dari cairan akan
meningkat menjadi 560 mOsm/L, dimana hampir 2 kali dari osmolalitas normal
cairan ekstraseluler. Jika utilisasi glukosa terganggu, infus D5W dalam jumlah
besar akan menyebabkan dehidrasi selular.7
c. Peningkatan Produksi Laktat

12
Pada subjek yang sehat, hanya 5% infus glukosa yang dapat menyebabkan
pembentukan laktat, tetapi pada pasien yang sakit berat dengan hipoperfusi
jaringan, sebanyak 85% metabolisme glukosa dialihkan menjadi produksi laktat.
Efek lanjut ini didemonstrasikan pada Gambar 5. Pada kasus ini, hipoperfusi
jaringan diinduksi oleh penjepitan aorta selama operasi aneurisma aorta
abdominal. Pasien yang menerima cairan intraoperative untuk menjaga tekanan
pengisian kardiak yang normal menggunakan larutan Ringer ataupun larutan
dekstrosa 5%. Ketika cairan yang mengandung dekstrosa dimasukkan, level
serum laktat mulai naik setelah penjepitan aorta, dan peningkatan level laktat
disirkulasi akan muncul selama operasi berlangsung, hasil ini mengindikasikan
bahwa, ketika aliran sirkulasi terhambat, infus larutan dekstrosa 5% dapat
menyebabkan produksi asam laktat dan peningkatan signifikan dari serum laktat.7

Gambar 5. Efek dari terapi cairan intravena dengan dan tanpa dekstrosa

2.1.2. Cairan Koloid


Pada istilah kimia, larutan koloid adalah larutan partikulat dengan partikel
yang tidak dapat larut dengan sempurna (larutan ini juga disebut sebagai
suspensi). Dari istilah klinis, cairan koloid adalah larutan saline dengan molekul
solute yang besar yang tidak dapat secara langsung melewati membran dari
plasma ke cairan interstisial. Molekul sisa pada cairan koloid akan menghasilkan

13
gaya osmotik yang dikenal sebagai tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik
yang menahan air pada kompartemen vaskular.8
a. Perpindahan Cairan Kapiler
Arah dan kecepatan dari pertukaran cairan (Q) diantara darah kapiler dan
cairan interstisial ditentukan oleh keseimbangan diantara tekana hidrostatik di
kapiler (Pc), yang mana menyebabkan pergerakan cairan keluar dari kapiler, dan
tekanan osmotik koloid di plasma (COP), yang mendukung perpindahan cairan
kedalam kapiler.8
Pada posisi supinasi, rata-rata Pc normal adalah 20 mmHg (30 mmHg di
ujung-ujung kapiler dari arteri dan 10 mmHg di ujung-ujung kapiler dari vena);
COP yang normal adalah sekitar 28 mmHg, sehingga akan mendukung
pergerakan dari cairan ke dalam kapiler. Sekitar 80% dari COP plasma terjadi
karena disebabkan oleh fraksi albumin dari protein plasma, sehingga reduksi dari
konsentrasi albumin (hipoalbuminemia), dimana mendukung pergerkan cairan
dari kapiler dan dapat menyebabkan interstisial edema.8
b. Cairan Resusitasi
Distribusi volume koloid dan kristaloid dapat dijelaskan oleh pengaruh
mereka pada plasma COP. Cairan kristaloid dapat dikurangi oleh plasma COP
(efek dilusi),, yang dapat pergerakan dari cairanc-cairan ini ke aliran darah. Cairan
koloid dapat menjaga COP normal (cairan iso-onkotik), yang mana tetap menekan
cairan ini berada di aliran darah, atau dapat meningkatkan plasma COP (cairan
koloid hiperonkotik), dimana dapat menarik cairan instersrtisial ke aliran darah.8
c. Efek Volume
Distribusi volume dari cairan koloid didemonstrasikan pada Gambar 1.
Cairan koloid pada hal ini adalah larutan albumin 5%, yang mempunyai COP 20
mm Hg. Infus satu liter larutan ini akan menyebabkan peningkatan 700 mL di
dalam volume plasma dan 300 mL pada volume cairan interstisial. Ketika
dibandingkan dengan peningkatan volume plasma setelah pemberian 1 liter NaCl
0,9% (275 mL), cairan koloid 3 kali lebih efektif untuk ekspansi volume plasma
dibandingkan cairan kristaloid.8
Cairan koloid dapat meningkatkan kardiak output hanya dengan jumlah
volume yang kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan pada cairan kristaloid.8
d. Perbandingan Cairan Koloid

14
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kemampuan cairan koloid
untuk meningkatkan volume plasma ditentukan oleh COP dari cairan yang relatif
terhadap COP plasma. Hal ini didemonstrasikan pada Tabel 2, yang dimana
mencantumkan cairan koloid tersering digunakan di Amerika Serikat, begitu pula
COP masing-masing cairan dan peningkatan volume plasma. Dapat dilihat bahwa
makin tinggi COP suatu cairan, maka makin besar peningkatan volume plasma
yang relatif terhadap volume yang diinfuskan. Cairan dengan COP 20-30 mmHg
dianggap sebagai cairan isoonkotik; cairan ini memproduksi peningkatan volume
plasma yang secara kasar ekuivalen dengan volume infus. Cairan koloid dengan
COP > 30 mmHg adalah cairan hiperonkotik (COP cairan > COP plasma); cairan
ini memproduksi peningkatan volume plasa yang biasanya lebih besar
dibandingkan dengan volume yang diinfuskan. Hal ini paling dapat dilihat pada
pemberian 25% albumin, yang mana mempunyai COP 70 mmH, dan
memproduksi peningkatan volume plasma 3-4 kali lebih besar dari volume infus.8
Tabel 2. Karakteristik Cairan Koloid
Fluid Average Oncotic Plasma Volume Duration of
Infusate
molecular Wt Pressure effect
Volume
(kilodaltons) (mmHg)
25% 69 70 3.0-4.0 12 h
Albumin
10% 26 40 1.0-1.5 6h
Dextran-40
6% 450 30 1.0-1.3 24 h
Hetastarch
5% Albumin 69 20 0.7-1.3 12 h

2.1.2.1 Larutan Albumin


Albumin adalah protein plasma yang memiliki beberapa fungsi. Albumin
merupakan determinan utama dari plasma COP, dan merupakan protein transpor
utama di darah, mempunyai aktivitas antioksidan yang signifikan, dan membantu
menjaga keenceran darah dengan menghambat agregasi platelet. Sebanyak 2/3

15
albumin di tubuh berlokasi diluar pembuluh darah; namun peran dari albumin
ekstravaskular masih belum diketahui dengan jelas.8

a. Karakteristik
Larutan albumin merupakan larutan yang berasal dari serum albumin
manusia yang tersedia sebagai larutan 5% (50 g/L) dan larutan 25% (250 g/L) di
NaCl 0,9%. Larutan albumin 5% biasanya diberikan dalam aliquots 250 mL;
tekanan osmotik koloid adalah 20 mmHg, dan rata-rata peningkatan volume
plasma 100% dalam volume yang diinfuskan. Efek volume mulai berkurang
setelah 6 jam, dan dapat hilang setelah 12 jam.8
Larutan albumin 25% adalah larutan hiperonkotik dengan tekanan osmotik
koloid 70 mmHg (lebih dari dua kali plasma). Larutan ini diberikan dalam
aliquots 50-100 mL, dan peningkatan volume plasma adalah 3 sampai 4 kali dari
volume infus. Efek yang dihasilkan oleh perpindahan cairan dari rongga
interstisial, jadi volume cairan interstisial menurun tetapi volume plasma
meningkat. Karena larutan ini tidak menggantikan volume yang hilang, teteapi
memindahkan cairan dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya, album 25%
seharusnya disimpan ketika saat terjadi hipovolemia yang disebabkan karena
hipoalbuminemia, yang dapat menyebabkan perpindahan cairan dari plasma ke
interstisial.8

b. Keamanan
Reputasi albumin menjadi buruh pada tahun 1998 ketika suatu studi klinis
mengatakan bahwa satu dari 17 pasien yang menerima infus albumin meninggal
yang diakibatkan karena cairan tersebut. Hal ini sudah disangkal oleh studi-studi
terbaru yang menunjukkan bahwa albumin tidak memiliki risiko yang tinggi untuk
menyebabkan kematian dibandingkan cairan-cairan yang menyebabkan ekspansi
plasma yang lain. Pendapat konsensus terbaru mengatakan bahwa albumin 5%
aman untuk digunakan sebagai cairan resusitasi., kecuali pada kasus kemungkinan
cedera kepala, dimana banyak studi yang menunjukkan tingginya angka mortalitas
pada pasien yang menerima albumin dibandingkan saline isotonic. Albumin
hiperonkotik sering dihubungkan dengan peningkatan risiko cedera ginjal dan
kematian pada pasien dengan syok sirkulasi.8

16
2.1.2.2 Hydroxyethyl Starch
Hydroxyethyl starch (HES) adalah polisakarida termodifikasi yang terbuat
dari rantai panjang polimer glukosa, yang menghambat degradasi enzim.
Eliminasi HES melibatkan hidrolisis oleh enzim amylase di aliran darah.9
a. Berat Molekul
Persiapan HES memiliki bermacam-macam berat molekul, dan
diklasifikasikan sebagai berat molekul besar (450 kilodalton atau Kd), sedang
(200 kD), dan rendah (70 kD). Persiapan berat molekul yang tingi mempunyai
durasi aksi yang diperpanjang karena hasil pemecahan amilasei pada molekul
lebih kecil yang aktif secara osmotically. Ketika produk pemecahan mencapai
berat molekul 50 kD, molekul ini dapat dikeluarkan oleh ginjal.9
b. Rasio Substitusi Molar
Persiapan HES juga dapat diklasifikasikan oleh rasio substitusi radikal
hidroksi per polimer glukosa, yang disebut sebagai rasio substitusi molar. Sejak
radikal hidroksi menghambat degradasi enzimatik, rasio OH/glukosa yang lebih
tinggi dihubungkan dengan aktivitas yang diperpanjang. Peningkatan rasio
substitusi molar yang lebih tinggi meningkan risiko koagulopati yang
dihubungkan dengan HES.9
c. Persiapan Individu
Persiapan individual dideskripsikan oleh konsentrasi, berat molekul, dan
rasio substitusi molar. Sebagian besar persiapan tersedia dalam larutan 6% pada
NaCl 0,9%. Awal dari persiapan HES mengindikasikan rasio substitusi molar
(contoh: pentastarch=0,5, tetrastarch=0,4). Hetastarch adalah persiapan HES yang
paling banyak digunakan di Amerika Serikat, dan mempunyai berat molekul yang
tinggi (450 kD) dan mempunyai rasio substitusi molar yang tinggi (0,7).
Tetrastarch adalah preparasi HES yang baru-baru ini diperkenalkan di Amerika
Serikat, dan mempunyai berat molekul yang rendah (130 kD) dan mempunyai
rasio substitusi molar yang rendah (0,4).9

d. Efek Volume
Kemampuan larutan HES 6% sebagai expansi volume plasma sama
dengan albumin 5%. Tekanan onkotik lebih tinggi daripada albumin 5%, dan

17
peningkatan volume plasma dapat lebih tinggi juga. Efek dari volume plasma
dapat bertahan sampai 24 jam dengan preparasi berat molekul yang tinggi seperti
hetastach. Durasi aksi dari preparasi berat molekul yang rendah setidaknya 6 jam,
tetapi efeknya mulai berkurang dalam waktu satu jam.9

e. Perubahan Hemostasis
HES dapat mengganggu hemostasis dengan menginhibisi Faktor VII dan
faktor von Wille-brand, serta mengganggu adesi platelet. Efek ini awalnya
ditujukan pada preparasi berat molekul tinggi, tetapi rasio OH/glukosa yang tinggi
saat ini dianggap lebih penting dalam menentukan risiko perubahan hemostasis.
Koagulopati yang signifikan secara klinis lebih jarang terjadi kecuali volume
besar HES diberikan.9
f. Nefrotoksisitas
Beberapa studi menunjukkan hubungan diantara infus HES dan
peningkatan risiko cedera ginjal dan kematian: hubungan ini sudah dilaporkan
pada penggunaan hetastarch, pentastarch, dan tetrastarch. Tekanan osmotik koloid
dari preparasi HES (30 mmHg untuk hetastarch dan 36 mmHg untuk tetrastarch)
sudah diimplikasikan pada cedera ginja, walaupun mekanisme pastinya masih
belum jelas. Cedera ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan HES sudah
dilaporkan kebanyakan pada pasien dengan kondisi yang mengancam jiwa seperti
sepsis berat dan syok sirkulasi. Pada pasien yang memiliki sakit ringan,
didapatkan tidak adanya hubungan antara HES dan cedera ginjal, dan beberapa
studi menunjukkan respon yang baik pada beberapa pasien.9

g. Hiperamilasemia
Enzim amylase berperan dalam hidrolisis dari HES yang berikatan dengan
molekul HES, dan akan menurunkan klirens amylase oleh ginjal. Hal ini
merupakan hasil dari peningkatan 2-3 kali serum amylase diatas normal.
Peningkatan tersebut biasanya akan kembali normal dalam waktu satu minggu
setelah penggunaan HES dihentikan. Level serum lipase tidak dipengaruhi oleh
infus HES.9
2.1.2.3 Dekstran
Dekstran merupakan polimer glukosa yang diproduksi oleh bakteri
(Leucono-stoc) yang diinkubasi di media sukrosa. Pertama kali dikenalkan pada

18
tahun 1940, koloid ini tidak begitu popular (setidaknya di Amerika Serikat) karena
risiko yang dapat didapat dari efek samping penggunaan. Preparasi dekstran yang
umum adalah dekstran-40 10% dan dekstran-70 6%, masing-masing preparasi
menggunakan NaCl 0,9% sebagai pelarutnya.9

a. Karakteristik
Kedua preparasi dekstran memiliki tekanan osmotik koloid sebesar 40
mmHg, dan dapat menyebabkan peningkatan besar pada volume plasma
dibandingkan dengan albumin 5% atau hetastarch 6%. Dekstran-70 lebih dipilih
dikarenakan durasi kerjanya (12 jam) lebih lama dari dextran-40 (6 jam).9
b. Kerugian
1. Dekstran menyebabkan perdarahan tergantung dari dosis pemberian
yang berhubungan dengan terganggunya agregasi platelet, penurunan
Faktor VIII dan faktor von Willebrand, dan peningkatan fibrinolysis.
Defek hemostatis dapat diminimalisir dengan membatasi dosis harian
dekstran sampai 20 mL/kg.
2. Dekstran melapisi permukaan sel darah merah dan dapat menganggu
kemampuan cross-match darah. Preparasi eritrosit harus dibersihkan
untuk mengeliminasi permasalahan ini. Dekstran juga meningkatkan
sedimentasi eritrosit sebagai hasil interaksi dengan eritrosit.
3. Dekstran juga dihubungkan dengan kerusakan ginjal yang dimediasi
secara osmotik, sama dengan yang diobservasi pada preparasi HES.
Namun, komplikasi ini muncul hanya dengan infus dekstran. Reaks
anafilaksis, yang biasanya lebih sering pada dekstran, sekarang
dilaporkan sebesar 0,03%.

2.2 Terapi Cairan

2.2.1 Terapi Cairan Preoperatif

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan, kehilangan


cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi termasuk kehilangan
darah.Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi
dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi

19
gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan
pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut ini10:

Tabel 1. Estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan10

Berat kebutuhan

10 kg pertama 4 ml/kg/jam

10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam

Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam

Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg? Jawab:


40+20+5=65 ml/jam

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan
menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat
diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya
puasa.Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40+20+50)ml/jam x 8 jam atau
880 ml. ( Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari
konservasi ginjal). Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan
defisit preoperative. Perdarahan preoperative, muntah , diuresis dan diare sering
dihubungkan.

2.2.2 Penggantian Cairan Intraoperatif

Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan


penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan
intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan jenis
cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan kehilangan
darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya pergeseran cairan, maka
maintenance solution dapat digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer
Lactate biasa digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah
harus digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara volume
cairan intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia berberat lebih
(dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan

20
transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada Hb 7-8 g/dL
(hematocrit 21-24%).10

Hb <7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport


Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan penyakit
yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih tinggi mungkin
digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang terus menerus. Dalam
prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat kira-kira 3-4 kali dari
banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid dengan perbandingan 1:1 sampai
dicapai Hb yang diharapkan.11

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Volume Darah10

Usia Volume Darah

NEONATES

PREMATURE 95 ML/KG

FULL-TERM 85 ML/KG

INFANTS 80 ML/KG

ADULTS

MEN 75ML/KG

WOMAN 65 ML/KG

Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red blood
cell.Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan dengan
perkiraan volume darah ( Tabel 2). Pasien dengan hematocrit normal biasanya
ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari volume darah mereka.
Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien] dan prosedur dari pembedahan .
Perlu diketahui jumlah darah yang hilang untuk penurunan hematocrit sampai
30%, dapat dihitung sebagai berikut10:

21
 Estimasi volume darah dari Tabel 2.
 Estimasi volume sel darah merah ( RBCV) hematocrit preoperative
( RBCVpreop).
 Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga
volume darah normal .
 Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika . hematocrit
30%; RBCVlost= RBCVpreop-RBCV30%.
 Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

CONTOH

Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif 35%. Berapa


banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan hematocritnya sampai 30%?

Volume Darah yang diperkirakan= 65 mL/kg x 85 kg= 5525 ml.

RBCV35%= 5525 x 35%= 1934 mL.

RBCV30%= 5525 x 30%= 1658 mL

Kehilangan sel darah merah pada 30%= 1934- 1658= 276 mL.

Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL= 828 mL.

Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien


kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan sampai
terjadi penurunan hematocrit hingga 24% ( hemoglobin< 8.0 g/dL), tetapi ini
diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang hilang,contoh pada penyakit
jantung dimana diberikan transfusi jika kehilangan darah 800 mL.

Tabel 3. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan10

DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN PENAMBAHAN


CAIRAN

MINIMAL (contoh hernioraphy) 0 – 2 ML/KG

22
SEDANG ( contoh cholecystectomy) 2 – 4 ML/KG

BERAT (contohreseksi usus) 4 – 6 ML/KG

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut: ( 1) satu unit sel darah
merah sel akan meningkatkan hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada
orang dewasa); dan ( 2) 10mL/kg transfusi sel darah merah akan meningkatkan
hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%.

Menggantikan hilangnya cairan redistribusi dan evaporasi

Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan tingkat
manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat trauma jaringan.
Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan menurut Tabel 3, berdasarkan
pada apakah trauma jaringan adalah minimal, moderat, atau berat10.

2.2.3 Terapi Cairan Postoperasi

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini12:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan


kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan
basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak
dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari
sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress
pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung
menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca
bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik
dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari
cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan
pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi

23
3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan
bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai
penderita dapat minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan
1°Csuhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
- humidifikasi.
2. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%,
sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
3. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi
cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter
pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

BAB III
ANALISIS MASALAH

Tn. BT, 42 tahun, datang ke Poliklinik RSUD Rabain Muara Enim dengan
keluhan benjolan di lipat paha kanan sejak ± 1 minggu SMRS.± 1 bulan yang lalu
pasien mengeluh timbul benjolan sebesar telur puyuh di lipat paha kanan.± 1
minggu yang lalu pasien mengeluh benjolan di lipat paha semakin lama semakin
membesar. Benjolan timbul saat mengangkat beban berat, dan hilang atau masuk
lagi saat pasien berbaring. Benjolan juga dirasakan timbul bila pasien batuk atau
bersin. Nyeri tidak ada, demam tidak ada, mual dan muntah tidak ada. BAB dan
BAK biasa. Pasien mengaku memiliki riwayat operasi hernia inguinalis dextra
tahun 1993. Pasien juga mengaku memiliki kebiasaan merokok sejak ± 20 tahun
namun telah berhenti sejak 1 bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
TD 110/70 mmHg, nadi 84x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,50C, pada
pemeriksaan abdomen didapatkan adanya luka bekas operasi dan timbul benjolan

24
sebesar bola tenis terutama saat pasien dalam posisi duduk atau berdiri.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, pasien didiagnosis dengan
hernia inguinalis lateralis dextra.
Tatalaksana sebelum operasi pada pasien ini diberikan antibiotik berupa
ceftriaxone. Pemberian ceftriaxone ditujukan untuk mengatasi risiko infeksi,
mengingat ceftriaxone merupakan antibiotik spektrum luas. Pada pasien juga
diberikan cairan berupa RL. Alasan pemberian RL adalah karena RL tidak
mengganggu keseimbangan asam basa terlalu besar dibandingkan dengan
pemberian NaCl.
Tatalaksana saat intraoperative pada pasien ini diberikan bupivakain,
fentanyl, asam traneksamat, serta ranitidine. Pada pasien ini dilakukan anestesi
regional yaitu jenis spinal. Bupivakain merupakan obat anestesi lokal jenis amida
yang bertujuan untuk memblok saraf tulang belakang dengan cara mengurangi
aliran keluar-masuk sodium di sistem saraf. Bupivakain dapat diberikan
bersamaan dengan obat lain, dalam hal ini misalnya ditambahkan pemberian
fentanyl yang bertujuan untuk memperpanjang durasi efek obat. Salah satu efek
pemberian bupivakain adalah dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal
seperti mual dan muntah, oleh sebab itu dapat diberikan ranitidine untuk
mengatasi masalah tersebut. Pada pasien ini, diberikan asam traneksamat untuk
mengurangi risiko perdarahan yang masif akibat tindakan pembedahan. Namun,
karena obat ini juga dapat menyebabkan efek berupa mual, maka hal ini juga
dapat diatasi dengan pemberian ranitidine.
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan pada rencana tindakan
operasi adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain itu, pada saat
tindakan operasi pasien juga dapat mengalami kehilangan banyak darah secara
akut sehingga akan terjadi defisit cairan ekstraseluler sehingga akses intravena
harus sudah terpasang.

Pada Tn. BT, Estimasi Blood Volume (EBV) adalah sebagai berikut:
EBV= 75 cc/kgBBx 52 = 3900 cc
Estimasi blood loss = % blood lossx EBV

25
Untuk Estimated Blood Loss pada pasien ini menggunakan perhitungan:
EBL = 20% x EBV
EBL = 780 cc
Pada kondisi ini terapi cairan tetap diberikan dan sebaiknya diberikan baik
preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif dengan pertimbangan dilakukannya
transfusi darah.
Untuk MABL (maximal allowable blood loss): batas jumlah perdarahan
yang masih bisa ditolerir sebelum dilakukan transfusi pada pasien ini
menggunakan perhitungan sebagai berikut:
(initial Ht-target Ht) / initial HT x EBV

(41-30)/41 x 3900 = 1046 ml

Pada intraoperatif perdarahan pada pasien ini sebanyak 100 cc sehingga


pada pasien ini masih belum dipertimbangkan untuk dilakukan pemberian
transfusi karena belum melampaui MABL. Oleh sebab itu, pada pasien ini,
diberikan terapi cairan Ringer Laktat sebanyak 828 cc untuk 1 jam pertama,
dengan perhitungan sebagai berikut:
Kebutuhan cairan 1 jam pertama = (½ x P)+ M + I
M= Maintenance
P= Puasa
I= Stress Intraoperatif
Pada kasus ini, pasien dengan berat badan 52 kg perhitungan kebutuhan
cairan maintenance (M) = (4x10)+(2x10)+(1x32) = 92 cc
Kebutuhan cairan puasa (P) = Lama jam puasa x M = 8 x 92 cc= 736 cc
Kebutuhan cairan (I) = stress operasi x M = 4 x 92 = 368 cc

Sehingga kebutuhan cairan 1 jam pertama intraoperatif:


= 368 cc + 92 cc + 368 cc = 828 cc.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Awad S, Allison S, Lobo DN. The history of 0.9% saline. Clin Nutr 2008; 27:179-
188.
2. Imm A, Carlson RW. Fluid resuscitation in circulatory shock. Crit Care Clin
1993;9:313-333.
3. Chowdhury AH, Cox EF, Francis ST, Lobo DN. A randomized, controlled,
double-blind crossover study on the effect of 2-L infusions of 0.9% saline and
Plasma-Lyte 148 on renal blood flow and renal corical tissue pefusion in healthy
volunteers. Ann Surg. 2012;256:18-24.
4. Scheingraber S, Rehm M, Schmisch C, Finsterer U. Rapid saline infusion
produces hyperchloremic acidosis in patients undergoing gynecologic surgery.
Anesthesiology. 1999;90:1265-1270.
5. Griffith CA. The family of Ringer’s solutions. J Natl Intravenous Ther Assoc
1986;9:480-483.
6. Chiara O, Pelosi P, Brazzi L, et al. Reuscitation from hemorrhagic shock:
Experminetal model comparing normal saline, dextran, and hypertonic saline
solutions. Crit Care Med 2003; 31:1915-1922.
7. Kavanagh BP, McCowen KC. Glycemic control in the ICU. N Engl J Med
2010;363:25402546.

27
8. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 10th Ed., Philadelphia:
W.B. Caunders, Co, 2000, pp. 169-170.
9. Muller M, Lefrant JY. Metabolic effects of plasma expanders. Tranfusion Alter
Transfusion Med 2010;11:10-21.
10. Morgan GE. Clinical Anesthesiology: 44th Edition.
11. Snell RS. Clinical neuroanatomy: 7thedition. Philadelphia: Wolters Kluwer Health;
2010
12. Aitkenhead A, Smith G, Rowbotham D. Texbook of anaesthesia. Fifth edition.
United Kingdom: Churchill livingstone elsevier; 2007.

28

Você também pode gostar