Você está na página 1de 9

Hidrosefalus (kepala-air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani: "hydro" yang berarti air

dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga kondisi ini sering dikenal dengan "kepala air")
adalah penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro
spinal) atau akumulasi cairan serebrospinal dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid,
atau ruang subdural. Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak yang
selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-pusat saraf yang
vital.

Daftar isi
 1 Insidensi
 2 Etiologi
 3 Klasifikasi
 4 Manifestasi Klinis
 5 Patofisiologi
 6 Diagnosis
 7 Terapi
 8 Komplikasi
 9 Prognosis
 10 Rujukan
 11 Pranala luar

Insidensi
Tidak diketahui secara pasti, tetapi yang disertai hidrosefalus sekitar 2-5/1000 kelahiran. [1]

Etiologi
Penyebab hidrosefalus pada kasus congenital banyak belum diketahui, beberapa kasus <2%
berhubungan dengan kromosom X. Penyebab paling sering pada kasus acquired yaitu
obstruksi akibat tumor, adanya trauma, perdarahan intrakranial, dan infeksi. [2]

Klasifikasi
1. Non-communicating
Adanya obstruksi disepanjang saluran CSF (cairan serebrospinal dari ventrikel ke-3 di kepala
hingga ruang subarachnoid.
Obstruksi tersebut menghalangi penyerapan CSF di subarachnoid space dan arachnoid vili.
Contohnya yaitu : sumbatan yang diakibatkan karena aqueductal stenosis, ventriculitis, clot
akibat perdarahan interventricular. [1]

2. Communicating
Cairan serebrospinal dapat melalui seluruh lajur foramen termasuk yang didasar otak.
Walaupun demikian, tidak terjadi penyerapan ke vena akibat adanya hambatan di arachnoid
vili. Keadaan ini dapat disebabkan karena adanya meningitis atau perdarahan subarachnoid
yang parah. [1]
Manifestasi Klinis
 Kepala membesar, fontanel antrior menonjol.
 Vena pada kulit kepala dilatasi dan terlihat jelas pada saat bayi menangis.
 Terdapat bunyi creckedpot (tanda Macewen).
 Mata melihat kebawah, mudah terstimulasi, lemah dan kemampuan makan berkurang.
 Opisthotonus, dan spatik pada ekstremitas bawah.
 Pada bayi dengan malformasi Ac, bayi mengalami kesulitan menelan.
 Bunyi napas stridor.
 Kesulitan bernapas.
 Apnea, dan tidak ada refleks muntah.
 Sakit kepala, papil edema.
 Strabismus, ataxia, letargi, bingung, dan bicara inkoheren.

Bila hidrosefalus terjadi pada infant atau bayi yang baru lahir yang belum mengalami
penutupan pada sutura cranial, maka akan terjadi pembesaran kepala. Apabila hidrosefalus
terjadi setelah penutupan sutura cranial maka yang terjadi yaitu peningkatan tekanan
intrakranial, sehingga pasien mengalami nyeri kepala hebat, tanpa disertai perubahan ukuran
lingkar kepala. [3]

Patofisiologi
1. Congenital hydrocephalus
Adanya pembesaran ventrikel yang progresif. Semua kasus bersifat obstruktif atau
noncommunicating.
Malformasi dari saluran ini biasanya terjadi pada usia kehamilan 6-17 minggu, dan biasanya
Disertai gangguan otak. [1]

2. Post infection hydrocephalus


Hidrosefalus yang terjadi bisa bersifat communicating dan non-communicating. Infeksi
bakteri pada meningen dapat menyebabkan arachnoiditis dan menyebabkan hilangnya atau
rusaknya tempat absorpsi CSF. Contohnya ini yaitu infeksi yang disebabkan oleh [[grup B
streptococcus]], E. coli, Listeria monocytogenes.
Selain itu, ventriculitis dapat menyebabkan adanya obsturksi yang biasanya terjadi pada
dinding ventrikel ke-3 dan aqueduct of sylvius. Inflamasi ini bisa diakibatkan karena :
Tuberculosis, toxoplasmosis. [1]

3. Post hemorrhagic hydrocephalus (PHH) dan post hemorrhagic ventricle dilatation


(PVD)
Perbedaan PHH dan PVD terletak pada adanya pembesaran ventrikel dan peningkatan
tekanan intrakanial.
PVD : ada perdarahan yang hebat, juga terjadi pelebaran ventricle yang progresif, tidak
diketahuiadanya tanda peningkatan tekanan intracranial, dapat sembuh sendiri walaupun
tanpa intervensi.
PHH : merupakan suatu komplikasi dari perdarahan intraventricular, dapat menyebabkan
communicating maupun non-communicating hydrocephalus, terjadi peningkatan tekanan
intracranial. [1]
4. Other ventriculomegaly
Ventriculomegali dengan hilangnya periventricular white matter yang merupakan komplikasi
perdarahan yang infarct (PVHI). [1]

Diagnosis
1. Antenatal diagnosis : USG, amniocentesis, AFP level, serology test.
2. Newborn P.E. = head size, aqueductal stenosis, chorioretinitis, Cerebral bruit.
3. Cranial USG
4. CT scan
5.MRI. [1]

Terapi
Terapi untuk pasien hidrosefalus tergantung pada penyebabnya. Pemberian asetazolamid dan
furosemid (golongan diuretik) dapat mengurangi produksi CSF, tetapi memberikan efek yang
kurang baik untuk jangka panjang.
Pada kebanyakan kasus dilakukan shunting ekstrakranial, yaitu ventrikuloperitoneal shunt
(VP shunt) yaitu mengalihkan cairan CSF ke rongga perut, atau juga dilakukan irigasi cairan
secara langsung. Biasanya kedua proses tersebut dilakukan sekaligus. [4]

Komplikasi
Komplikasi dari VP shunt yaitu : 1. Oklusi, yang ditandai dengan sakit kepala, papiledema,
muntah, dan perubahan mental status. 2. Infeksi bacteria yang ditandai dengan demam, sakit
kepala, dan meningismus. Infeksi ini paling banyak diakibatkan karena Staphylococcus
epidermidis. [5]

Prognosis
Prognosis hidrosefalus bergantung pada dilatasi atau pembesaran dari ventrikel, anak dengan
hidrosefalus memiliki resiko untuk mengalami berbagai kelainan, gangguan memori, verbal,
maupun penglihatan. Beberapa anak mungkin bersikap agresif. Pasien dengan hidrosefalus
membutuhkan peninjauan jangka panjang secara berkala. [5]
PENDAHULUAN

Perdarahan epidural adalah sebuah bentuk cedera kepala yang mudah ditangani yang
selalu berhubungan dengan prognosa yang baik. Pada beberapa kejadian yang jarang,
perdarahan seperti itu bisa terjadi spontan. Kemajuan dalam pencitraan CT kontemporer telah
memberi konfirmasi diagnosa perdarahan epidural dengan cepat dan akurat. (1)

Perdarahan epidural muncul dalam ruang potensial diantara dura dan kranium. Epi
dalam bahasa Yunani berarti diatas. Sebuah perdarahan epidural bisa juga merujuk pada
ekstradural (diluar dura). (1)

Perdarahan epidural akibat gangguan pembuluh darah dura, termasuk cabang-cabang


arteri dan vena meningea media, sinus venosus dura, dan pembuluh darah kranium.
Perdarahan dan pertumbuhan berkelanjutan bisa mengakibatkan hipertensi intrakranial. (1)

Sebanyak 10-20% dari semua pasien dengan cedera kepala diperkirakan mendapat
perdarahan epidural, insiden yang sebanding dengan usia terdapat pada populasi pediatri.
Kira-kira 17% pasien yang sebelumnya sadar lalu memburuk menjadi koma setelah trauma
diketahui mendapat perdarahan epidural. (1)

DEFENISI

Perdarahan epidural adalah perdarahan yang menghasilkan sekumpulan darah diluar


dura mater otak atau tulang belakang. Perdarahan biasanya sebagai akibat dari robeknya
arteri meningea media dan mungkin dengan cepat mengancam jiwa. Juga disebut perdarahan
ekstradural. (2)

ETIOLOGI

Trauma merupakan penyebab khas perdarahan epidural, meskipun perdarahan spontan


bisa saja muncul. Trauma seringnya berupa benturan tumpul pada kepala akibat serangan,
terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Distosia,
ektraksi forseps, dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir juga mencakup perdarahan
pada bayi baru lahir.(1,3)

PATOFISIOLOGI

Tidak seperti perdarahan subdural, kontusio serebral, ataupun cedera aksonal difusa
otak, perdarahan epidural tidak diakibatkan sekunder dari gerakan kepala atau akselerasi.
Perdarahan epidural disebabkan gangguan struktural pembuluh darah kranium dan dura
umumnya dihubungkan dengan fraktur calvaria. Laserasi arteri meningea media dan sinus
dura yang menyertainya adalah etiologi yang paling umum. (1)

Pada fossa posterior, gangguan sinus venosus dura (misal, sinus transversum atau
sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan perdarahan epidural. Gangguan sinus sagitalis
superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber perdarahan epidural
non-arterial lainnya termasuk venous lakes, diploic veins, granulasi arachnoid, dan sinus
petrosus. (1)

Diploic veins (7)


Sejumlah kecil perdarahan epidural telah dilaporkan tanpa adanya trauma. Etiologinya
termasuk penyakit infeksi kranium, malformasi vaskuler dura mater, dan metastase ke
kranium. Perdarahan epidural spontan juga bisa berkembang pada pasien dengan koagulopati
sehubungan dengan masalah medis primer lainnya (misal, penyakit hati stadium akhir,
alkoholisme kronik, keadaan penyakit lain sehubungan dengan disfungsi trombosit). (1)

GAMBARAN KLINIS

Kebanyakan perdarahan epidural asalnya adalah trauma, seringnya melibatkan


benturan tumpul pada kepala. Pasien mungkin memiliki bukti eksternal cedera kepala seperti
laserasi kulit kepala, cephalohematoma, atau kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul.
Tergantung pada daya benturan, pasien mungkin saja tidak kehilangan kesadaran, kehilangan
kesadaran singkat, atau kehilangan kesadaran berkepanjangan. (1)

Interval lucid klasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan epidural. Pada
awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan
kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa
perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat
kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada luasnya
cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa perdarahan epidural. (1,3)

Dengan hipertensi intrakranial berat, respon Cushing mungkin muncul. Trias Cushing
klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini
biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama sekali batang otak, dikompromi oleh
peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin menyebabkan
iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa mengurangi respon Cushing. (1)

Penilaian neurologis penting. Perhatian terutama diberikan pada tingkat kesadaran,


aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil, dan tanda-
tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi
klinis terkini. GCS positif berhubungan dengan hasil akhir. Pada pasien yang sadar dengan
lesi massa, fenomena drift pronator mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah
ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan kedua
telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun
penting. (1)

Pada pencitraan yang dihasilkan oleh CT scan dan MRI, perdarahan epidural biasanya
tampak berbentuk konveks karena ekspansinya berhenti pada sutura kranium, dimana dura
mater sangat erat melekat ke kranium. Perdarahan epidural dapat muncul dalam kombinasi
dengan perdarahan subdural, ataupun dapat muncul sendiri. CT-scan mengungkap perdarahan
subdural atau epidural pada 20% pasien yang kehilangan kesadaran. (3)

ANATOMI

Dibawah tulang kranium terletak dura mater, yang terletak diatas struktur
leptomeningeal, arachnoid, dan pia mater, yang pada gilirannya, terletak diatas otak. Dura
mater terdiri atas 2 lapisan, dengan lapisan terluar bertindak sebagai lapisan periosteal bagi
permukaan dalam kranium. (1)

Meningens (8)
Seiring bertambahnya usia seseorang, dura menjadi penyokong pada kranium,
mengurangi frekuensi pembentukan perdarahan epidural. Pada bayi baru lahir, kranium lebih
lembut dan lebih kecil kemungkinan terjadinya fraktur. Perdarahan epidural dapat terjadi
ketika dura terkupas dari kranium saat terjadi benturan. (1)

Dura paling menyokong sutura, yang menghubungkan berbagai tulang pada kranium.
Sutura mayor merupakan sutura coronalis (tulang-tulang frontal dan parietal), sutura sagitalis
(kedua tulang parietal), dan sutura lambdoidea (tulang-tulang parietal dan oksipital).
Perdarahan epidural jarang meluas keluar sutura. (1)

Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal
(70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat
dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada regio temporal lebih
rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum membentuk alur dalam
skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul pada frontal, oksipital, dan regio
fossa posterior kira-kira pada frekuensi yang sama. Perdarahan epidural muncul kurang
begitu sering pada vertex atau daerah para-sagital. (1)

Berdasarkan studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin
menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena. (1)

Perdarahan epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang hati-
hati, akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya, dengan
infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya, mengenali perdarahan
epidural sangat penting. (1)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam
penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma. (1)

Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang


mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan
dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif.
(1)

Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang


signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume
darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang
menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan
ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering
terhadap level hematokrit. (1)

PENCITRAAN

 Radiografi (1)
o Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular
cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati.
o Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan
epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan
fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.
 CT-scan
o CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam
mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang
ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian
dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau
bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat
ventrikel keempat.
o CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom
kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom
menentukan jumlah radiasi yang diserap.
o Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari
waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu
tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-
4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah
hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang
mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level
hemoglobin serum yang rendah.
o Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital
dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.
o Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi
intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio
serebral, dan hematom intraserebral
 MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat
untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat
diamati ketika meluas. (1)

PENGOBATAN

Terapi Obat-obatan

Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang
baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural,
herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial. (1)

Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume
lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan
yang sangat ketat jika diambil rute konservatif. (1)
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika
lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan
pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal. (1)

Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian


klinis, publikasi terbaru “Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15
mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat
ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai
meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya
perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat
tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka
pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada
stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah
diamati. (1)

Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer
yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah
didiskusikan diatas. (1)

Terapi Bedah

Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury“,


perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm.
Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status
kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. (1)

Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom


temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan
lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang
yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial. (1)

Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa,
khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat.
Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan. (1)

Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini : (1)

 Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial
yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.
 Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

KOMPLIKASI

Kebanyakan dari komplikasi perdarahan epidural muncul ketika tekanan yang mereka
kerahkan mengakibatkan pergeseran otak yang berarti. Ketika otak menjadi subyek herniasi
subfalcine, arteri serebral anterior dan posterior mungkin tersumbat, menyebabkan infark
serebral. (1)

Herniasi kebawah batang otak menyebabkan perdarahan Duret dalam batang otak,
paling sering di pons. (1)

Herniasi transtentorial menyebabkan palsy nervus III kranialis ipsilateral, yang


seringnya membutuhkan berbulan-bulan untuk beresolusi sekali tekanan dilepaskan. Palsy
nervus III kranialis bermanifestasi sebagai ptosis, dilatasi pupil, dan ketidakmampuan
menggerakkan mata ke arah medial, atas, dan bawah. (1)

Pada anak-anak < 3 tahun, fraktur kranium dapat menyebabkan kista leptomeningeal
atau fraktur bertumbuh. Kista ini diyakini muncul ketika pulsasi dan pertumbuhan otak tidak
mengijinkan fraktur untuk sembuh, lalu menambah robek dura dan batas fraktur membesar.
Pasien dengan kista leptomeningeal biasanya memperlihatkan massa scalp pulsatil. (1)

PROGNOSIS

Meksipun tujuan akhir adalah mencapai angka kematian 0% dan hasil akhir fungsional
baik sebesar 100%, angka kematian keseluruhan pada kebanyakan seri pasien dengan
perdarahan epidural berkisar antara 9,4-33%, rata-rata sekitar 10%. Secara umum,
pemeriksaan motorik pre-operatif, skor GCS, dan reaktivitas pupil secara pasti berhubungan
dengan hasil akhir fungsional pasien dengan perdarahan epidural akut jika mereka berhasil
bertahan. Karena banyaknya perdarahan epidural yang terisolasi tidak melibatkan kerusakan
struktural otak yang mendasarinya, hasil akhir secara keseluruhan akan menjadi sempurna
jika evakuasi bedah yang tepat dilakukan. (1)

Pada pasien trauma cedera otak dengan perdarahan epidural, prognosis lebih baik jika
ada interval lucid (sebuah periode kesadaran sebelum kembalinya koma) dibandingkan jika
pasien koma sejak mendapat cedera. (3)

Você também pode gostar