Você está na página 1de 28

ASET TETAP (PSAK 16)

A. Latar Belakang
Setiap entitas membutuhkan aset untuk menjalankan aktivitas usahanya dalam
menghasilkan laba. Salah satu assset yang penting untuk dimiliki adalah aset tetap.
Namun dalam pelaksanaannya entitas menghadapi beberapa masalah dalam megelola
aset tetap.
Ditambah lagi dengan perkembangan metode pencatatan akuntansi di dunia. Standar
yang dulunya hanya menetapkan biaya perolehan sebagai metode penghitungan aset
tetap mengalami perkembangan guna tersajinya laporan keuangan yang lebih andal dan
relevan.
Selain metode historis, sekarang ini metode revaluasi juga digunakan sebagai metode
penghitungan aset tetap. Ini diputuskan guna tersajinya aset tetap yang sesuai dengan
nilai wajar (harga pasar yang andal). Namun metode biaya perolehan juga masih tetap
digunakan dengan mempertimbangkan nilai wajar aset tetap yang juga dinilai secara
teratur.
Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai permasalahan-permasalahan tersebut. Saya
akan mencoba membahasnya dalam makalah ini dan dikaitkan dengan PSAK 16 sebagai
standar akuntansi yang mengatur tentang pengelolaan aset tetap.

PEMBAHASAN

PSAK 16 mengatur tentang perlakuan akuntansi untuk properti, pabrik, dan


perlengkapan (yang biasa disebut sebagai aset tetap) dan akuntansi untuk pembebanan
penyusutan, dan rugi penurunan nilai atas aset tetap. Namun PSAK 16 tidak berlaku
untuk:
a) aset tetap diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58
(revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang
Dihentikan;
b) pengakuan dan pengukuran aset eksplorasi dan evaluasi (PSAK 64: Aktivitas
Eksplorasi dan Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya Mineral);
c) hak penambangan dan cadangan mineral dari minyak, gas alam dan sumber
daya tidak terbarui lainnya.
d) properti investasi sesuai PSAK 13 (revisi 2011): Properti Investasi

A. Karakteristik Aset Tetap

Menurut PSAK 16 aset tetap didefinisikan sebagai aset berwujud yang


digunakan dalam produksi atau penyediaan barang dan jasa, untuk direntalkan kepada
pihak lain atau untuk tujuan administratif, serta diharapkan untuk digunakan selama
lebih dari satu periode. Dalam Kieso (2011:512) aset tetap memiliki karakteristik
berikut ini:
1. Aset dimiliki untuk digunakan dalam operasional dan bukan untuk dijual.
Hanya aset yang digunakan dalam operasi normal bisnis diklasifikasikan sebagai
aset tetap. Sebagai contoh bangunan yang menganggur (tidak terpakai)
diklasifikasi terpisah sebagai investasi; property,plant, dan equipment yang
dimiliki untuk price appreciation diklasifikasikan sebagai investasi. Sebagai
tambahan property, plant, dan equipment (aset tetap) yang dimiliki untuk dijual
atau dilepas diklasifikasikan secara terpisah dan dilaporkan dalam laporan posisi
keuangan. Tanah untuk perusahaan properti (pengembang) diklasifikasikan
sebagai persedian.
2. Aset memiliki masa umur manfaat yang panjang dan biasanya disusutkan.
Aset tetap memiliki umur manfaat lebih dari satu periode. Perusahaan
mengalokasikan biaya investasi dari aset ini untuk periode yang akan datang
melalui pembebanan depresiasi secara periodik. Pengecualian diterapkan untuk
tanah, yang hanya disusutkan apabila terjadi penurunan nilai yang meterial pada
tanah, seperti disebakan oleh hilangnya kesuburan tanah dikarenakan oleh rotasi
tanaman yang buruk, kekeringan, atau erosi tanah.
3. Aset memiliki substansi fisik. Aset tetap merupakan aset berwujud yang
ditandai dengan keberadaan atau substansi fisik. Hal inilah yang membedakan
aset tetap dengan aset tidak berwujud seperti paten atau goodwill. Tidak seperti
bahan baku, aset tetap tidak secara fisik menjadi bagian untuk produk yang akan
dijual kembali.

B. Pengakuan Aset Tetap


Dalam PSAK 16 paragraf 7,biaya perolehan aset tetap harus diakui sebagai aset
jika dan hanya jika:
1) kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari
aset tersebut. Secara umum, biaya setelah perolehan yang menghasilkan satu atau
lebih dari hal-hal berikut dapat dikatakan memiliki ‘manfaat ekonomis dimasa
depan’, apabila:
a) Perpanjangan estimasi masa manfaat aset.
b) Peningkatan kapasitas.
c) Perbaikan kualitas keluaran (output) secara substansial.
d) Penurunan biaya operasi yang dinilai sebelumnya secara substansial.
2) biaya perolehan aset dapat diukur secara andal.

Sesuai dengan prinsip pengakuan tersebut, PSAK 16 paragraf 12 menyatakan


entitas tidak boleh mengakui biaya perawatan sehari-hari aset tetap sebagai bagian
dari aset bersangkutan. Biaya-biaya ini diakui dalam laba rugi saat terjadinya. Biaya
perawatan sehari-hari terutama terdiri atas biaya tenaga kerja dan bahan habis pakai
(consumables) termasuk di dalamnya suku cadang kecil. Pengeluaran-pengeluaran
untuk hal tersebut sering disebut “biaya pemeliharaan dan perbaikan” aset
tetap.Terkecuali jika pengeluaran tersebut merupakan pengeluaran yang signifikan
yang mengakibatkan entitas memperoleh manfaat ekonomik masa depan, maka
pengeluaran itu dapat diklasifikasikan sebagai pengeluaran modal dan nilainya
dikapitalisasi ke dalam aset tetap.

Sebagai contoh, ketika Starbucks membeli mesin pembuat kopi untuk


operasional, biaya ini dilaporkan sebagai aset tetap karena mesin itu dapat diukur
dengan andal dan memiliki manfaat ekonomik di masa depan. Namun ketika
Starbucks melakukan perbaikan biasa (rutin) pada mesin pembuat kopi, pengeluaran
ini dibebankan menjadi beban tahun berjalan pada laporan laba rugi komprehensif dan
bukan dikapitalisasi ke aset tetap, karena pengeluaran ini hanya memberikan manfaat
ekonomi untuk periode berjalan.Contoh lainnya dijelaskan dalam PSAK 16 paragraf 8
yaitu:
Aset tetap dapat diperoleh untuk alasan keamanan atau lingkungan. Perolehan
aset tetap semacam itu, walaupun tidak secara langsung meningkatkan manfaat
ekonomik masa depan dari suatu aset tetap yang ada, mungkin diperlukan bagi entitas
untuk memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari aset lain yang terkait. Dalam
keadaan ini, perolehan aset tetap semacam itu memenuhi kualifikasi untuk diakui
sebagai aset, karena aset tersebut memungkinkan entitas memperoleh manfaat
ekonomik masa depan yang lebih besar dari aset-aset terkait dibandingkan dengan
manfaat ekonomik yang dihasilkan seandainya aset tersebut tidak diperoleh. Sebagai
contoh, pabrik kimia mungkin menerapkan proses penanganan kimiawi yang baru
dalam rangka memenuhi ketentuan lingkungan yang berlaku untuk produksi dan
penyimpanan zat kimiawi berbahaya; perbaikan pabrik yang terkait diakui sebagai
aset karena tanpa perbaikan tersebut entitas tidak dapat memproduksi dan menjual
zat-zat kimiawi. Namun demikian, jumlah tercatat aset tersebut dan aset lain yang
terkait harus di-review untuk menguji apakah telah terjadi penurunan nilai sesuai
dengan PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset (PSAK 16:11).

Agar aset tetap dapat beroperasi secara berkelanjutan, perlu dilakukan inspeksi
teratur terlepas apakah ada komponen yang diganti. Dalam setiap inspeksi yang
signifikan, biaya inspeksi diakui dalam jumlah tercatat aset tetap sebagai suatu
penggantian apabila memenuhi kriteria pengakuan. Sisa jumlah tercatat biaya inspeksi
yang terdahulu, jika ada (yang dibedakan dari komponen fisiknya), dihentikan
pengakuannya. Hal ini terjadi terlepas apakah biaya inspeksi terdahulu teridentifikasi
dalam transaksi perolehan atau konstruksi aset tetap tersebut. Jika diperlukan, estimasi
biaya inspeksi sejenis yang akan dilakukan di masa depan dapat digunakan sebagai
indikasi biaya inspeksi saat aset tersebut diperoleh atau dibangun (PSAK 16:17).

C. Dasar Pengukuran
Menurut PSAK 16 paragraf 15,suatu aset tetap yang memenuhi kualifikasi untuk
diakui sebagai aset pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan. Lebih lanjut
lagi dijelaskan dalam PSAK 16 paragraf 10,biaya perolehan tersebut termasuk biaya
awal untuk memperoleh atau mengkonstruksi aset tetap dan biaya-biaya selanjutnya
yang timbul untuk menambah, mengganti, atau memperbaikinya.
Rincian lebih jelas diungkapkan dalam PSAK 16 paragraf 16 yang
mengklasifikasikan komponen-komponen yang masuk ke dalam biaya perolehan aset
tetap yaitu:
1) harga perolehannya, termasuk bea impor dan pajak pembelian yang tidak boleh
dikreditkan setelah dikurangi diskon pembelian dan potongan-potongan lain.
Contoh British Airways mengindikasikan pesawat disajikan sebesar nilai wajar
kas yang diserahkan setelah dikurangi kredit manufaktur;
2) biaya-biaya yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke
lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan intensi
manajemen.Contoh Skanska AB membeli mesin berat dari Caterpillar, Skanska
mengkapitalisasi biaya pembelian ke dalam biaya kirim. Adapun contoh biaya
yang dapat diatribusikan secara langsung dijelaskan dalam PSAK 16 paragraf 17
yaitu:

a) biaya imbalan kerja (seperti didefinisikan dalam PSAK 24 (revisi 2010):


Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari pembangunan atau akuisisi
aset tetap;
b) biaya penyiapan lahan untuk pabrik;
c) biaya handling dan penyerahan awal;
d) biaya perakitan dan instalasi;
e) biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi
hasil bersih penjualan produk yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian
tersebut (misalnya, contoh produk dihasilkan dari peralatan yang sedang
diuji); dan
f) komisi profesional.
3) estimasi awal biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi lokasi
aset. Kewajiban atas biaya tersebut timbul ketika aset tersebut diperoleh atau
karena entitas menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk tujuan
selain untuk menghasilkan persediaan. Dengan adanya persyaratan terakhir ini
maka dalam harga perolehan aset tetap dapat terkandung suatu nilai estimasi yang
mungkin mengakibatkan selisih perbedaan dengan penghitungan perpajakan.

Biaya restorasi lokasi aset (decommissioning costs) yang diprediksi akan terjadi
pada akhir masa manfaat aset diperlakukan sebagai bagian dari kos aset tetap. Dengan
demikian kos aset tetap adalah mencakup kos perolehan aset tetap ditambah
dengan decommissioning costs dan dismantling costs.
Rekening lawan dari decommissioning costs adalah rekening utang bersyarat.
IAS 37 menegaskan bahwa provisions atau pencadangan utang atas decommissioning
costs akan diakui hanya pada saat dipenuhi kriteria sebagai berikut1:

1. Pada saat pelaporan keuangan perusahaan terbukti memiliki kewajiban (present


obligation) baik secara legal maupun bersifat konstruktif, sebagai akibat dari
peristiwa yang lalu.
2. Dapat diprediksi akan terjadinya arus keluar sumberdaya ekonomi untuk
menyelesaikan kewajiban, dan
3. Dapat diprediksi secara memadai jumlah kewajiban yang harus diselesaikan
diwaktu yang akan datang.

Contoh implementasi decommissioning costs adalah sebagai berikut, misalnya


dalam rangka memenuhi ketentuan perizinan pemerintah dalam pengadaan aset tetap,
perusahaan diwajibkan pada akhir masa pakai aktiva tetap perusahaan harus
membongkar aktiva tetap, membersihkan lokasi penempatan aktiva tetap, dan
mengembalikan tanah seperti keadaan semula. Kondisi semacam ini memenuhi
ketentuan sebagai kewajiban masa sekarang sebagai akibat peristiwa masa lalu
(pengadaan aset tetap), yang kemungkinan besar akan mengakibatkan arus keluar
sumberdaya di masa yang akan datang. Pengakuan kos atas peristiwa di masa yang
akan datang semacam ini memerlukan estimasi yang cukup cermat, mengingat
estimasi berhubungan dengan jangka waktu yang cukup panjang, yang sangat rentan
dengan berbagai kemungkinan yang bisa mempengaruhi ketepatan estimasi, paling
tidak bisa sangat dipengaruhi oleh evolusi atau bahkan revolusi perubahan teknologi,
yang kemungkinan besar akan mempengarui
realisasi decommissioning dan dismantling costs2.

Untuk mengatasi kerumitan estimasi, IAS 37 memberikan arahan teknis dengan


menyatakan bahwa estimasi yang terbaik adalah dengan cara mengukur dengan
tepat decommissioning dan dismantling costs pada akhir masa kegunaan aset tetap,
kemudian mengukurnya dengan nilai sekarang (discounted to present
value), selanjutnya present value dari kedua unsur kos tersebut dimasukkan sebagai
bagian dari kos perolehan aset tetap. Meskipun telah disediakan arahan teknis

1
http://www.aaykpn.ac.id/article/read/23
2
idem
semacam ini, kesulitan dalam praktik tetap akan terjadi, karena yang menjadi
persoalan utama adalah pada teknis pengukuran secara tepat prediksi potensi kos yang
akan terjadi pada akhir umur ekonomis aset tetap, bukan pada bagaimana mengukur
nilai sekarang dari kedua unsur kos tersebut. Dari kaca mata US GAAP, masalah berat
seperti ini barangkali yang membuat US GAAP tidak mengatur standard tentang
unsur biaya semacam ini3.

Perlu dipahami bahwa dismantling costs, legal costs atau constructive


obligations, yang merupakan bagian dari kos perolehan aset tetap, tidak
diperkenankan untuk diperluas sampai dengan kos operasional aset tetap di waktu
yang akan datang, mengingat kos operasional di waktu yang akan datang tidak
memenuhi kriteria sebagai kewajiban masa sekarang (present obligation).
Konsekuensi dari ketentuan kapitalisasi dismantling costs maka dismantling
costs harus dibebankan ke masing-masing periode yang menikmati jasa aset tetap
melalui prosedur depresiasi. Pada masing-masing periode dismantling costs harus
disesuaikan dengan perkembangan informasi terbaru dengan tujuan untuk
meningkatkan ketepatan prediksi dismantling costs. Kenaikan nilai
cadangan (provision) dari dismantling costs dilaporkan sebagai bunga atau semacam
biaya pendanaan.

Beberapa contoh decommissioning costs atau dismantling costs yang harus


diakui pada saat perolehan aset tetap, misalnya sebagai berikut4:

1. Kasus lease premises (leasing aset tetap). Misalnya dalam transaksi leasing
terdapat kewajiban bagi lessee atau pembeli bahwa pada akhir umur ekonomi
aset tetap harus mengosongkan lokasi penempatan aset tetap, atau harus
membongkar dan memindahkan aset tetap ke lokasi lain. Dalam hal terjadi
kasus semacam, jika leasing termasuk kategori leasing pendanaan (finance
lease), maka taksiran biaya pembongkaran dan pemindahan
aset (distmantling dan decommissioning costs) harus dikapitalisasi atau
dibukukan sebagai bagian dari kos aset tetap, dan didepresiasi selama umur
ekonomi aset tetap. Dalam hal leasing termasuk sebagai kategori leasing
operasional, kos semacam ini harus dipalorkan sebagai beban

3
idem
4
idem
ditangguhkan (deferred charge). Dalam US GAAP kos semacam ini tidak
diperlakukan sebagai kos aset tetap, karena kos aset tetap diukur berdasarkan
kos yang telah terjadi (historical costs), dan tidak termasuk kos yang
kemungkinan akan terjadi.
2. Kepemilikan aset tetap (owned premises). Mesin dalam contoh 1 dipasang pada
lokasi pabrik yang dimiliki perusahaan. Pada akhir umur ekonomi mesin,
perusahaan memiliki opsi untuk membongkar dan memindahkan mesin serta
menanggung seluruh biaya pembongkaran dan pemindahan mesin, atau
membiarkan mesin tetap ditempatnya dan tidak dioperasikan lagi. Jika
perusahaan memilih tidak membongkar dan memindahkan mesin, maka akibat
yang ditimbulkan adalah menurunkan nilai wajar (fair value) dari lokasi mesin,
jika perusahaan memutuskan untuk menjual lokasi mesin sebagaimana
adanya. Tetapi karena tidak ada kewajiban legal untuk membongkar dan
memindahkan aset tetap, dalam hal ini mesin, maka kos pembongkaran tersebut
tidak dimasukkan sebagai bagian kos dari aset tetap. Semestinya kos
pembongkaran harus tetap diakui sebagai kos aset tetap, agar perlakuan
akuntansinya konsisten dengan kasus nomor 1 (satu) di atas.
3. Dengan menggunakan kasus yang sama seperti contoh 1 dan 2, misalnya dalam
kasus ini pemilik perusahaan memberi opsi kepada fihak ketiga untuk membeli
perusahaan pada akhir tahun ke 5, yaitu akhir umur ekonomis aset tetap. Di
dalam menawarkan opsi, secara verbal pemilik perusahaan mengatakan bahwa
perusahaan akan dalam keadaan bersih, seluruh mesin serta perlengkapan kantor
akan disingkirkan dari lokasi pabrik. Pemilik perusahaan berharap bahwa
pembeli opsi menjadi tertarik karena biaya pembongkaran aset tetap (dalam hal
ini mesin) ditanggung oleh penjual, yaitu dalam bentuk janji untuk
membersihkan pabrik dari mesin-mesin lama. Dalam kasus semacam ini,
meskipun status legalnya kemungkinan masih dapat dipertanyakan, tetapi secara
janji semacam ini telah memunculkan kewajiban konstruktif (constructive
obligation) dan harus diakui sebagai decommissioning costs.
4. PT X bergerak dalam produksi bahan-bahan kimia. Perusahaan memasang tank
bawah tanah untuk menyimpan berbagai jenis bahan kimia. Tank dipasang pada
saat perusahaan membeli fasilitas pabrik tujuh tahun yang lalu. Pada bulan
Februari 2009 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan
perusahaan untuk membongkar tank semacam ini pada saat tank sudah tidak
digunakan lagi. Dalam kasus semacam ini maka mulai sejak dikeluarkan
peraturan pemerintah perusahaan harus mengakuidecomissioning obligation.
Misalnya dalam kasus PT X ini, dalam kegiatan operasionalnya perusahaan juga
menggunakan cairan kimia untuk membersihkan peralatan pabrik yang
dimilikinya, yang ditempatkan dalam penampungan yang khusus dirancang
untuk tujuan tersebut. Penampungan dan tanah sekitarnya yang semuanya
adalah milik PT X, terkontaminasi oleh pembersih berbahan kimia tersebut.
Pada tanggal 1 Februari 2009 pemerintah menerbitkan peraturan yang berisi
keharusan untuk membersihkan dan membuang limbah produksi yang
membahayakan pada akhir penggunaan fasilitas penampungan sisa bahan kimia.
Atas berlakunya peraturan pemerintah tersebut, berakibat timbulnya keharusan
untuk mengakui dengan segera biaya pembersihan dan pembuangan limbah
industri (decommissioning costs and obligation) yang berhubungan dengan
kontaminasi yang telah terjadi.

Tentang kemungkinan terjadinya perubahan taksiran decommissioning


costs dan dismantling costs, IFRIC nomor 1 menginterpretasikan bahwa penyesuaian
hanya diperlukan untuk sisa umur aset tetap, atau berlaku secara prospektif, dan tidak
berlaku secara restrospektif5. Di Indonesia hal ini diatur dalam ISAK 9 yang
menyatakan bahwa perubahan biaya penonaktifan yang muncul dari perubahan
estimasi dan tariffdiskonto harus disesuaikan dengan biaya perolehan aset pada
periode berjalan secara prospektif (atau jika aset tersebut diperhitungkan
menggunakan model revaluasi, perubahan tersebut harus diperhitungkan sebagai
revaluasi surplus/defisit) dan perubahan biaya penonaktifan yang muncul akibat
berjalannya waktu diskonto harus diperhitungkan sebagai biaya pendanaan.
Inilah salah satu perbedaan antara US GAAP dan IFRS, karena US GAAP
berbasis kos historis, maka dismantling dan decommissioning costs tidak diakui.
Utang bersyarat yang selama ini diakomodasi oleh US GAAP adalah bukan untuk
konteks semacam ini, misalnya hutang hadiah, utang garansi, atau utang karena
adanya tuntutan hukum fihak ketiga, yang jumlah nominalnya relatif lebih mudah
pengukurannya. Hambatan yang akan dihadapi pada saat IFRS diterapkan adalah
pada penaksiran atau pengukurandismantling costs dan taksiran kos lain yang akan

5
idem
timbul pada saat aset tetap dihentikan pemanfaatannya. Namun demikian IFRIC
nomor 1, telah memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi hambatan ini 6.

Ketika entitas membeli aset tetap dengan diskon pembelian, maka entitas dapat
menggunakan dua pendekatan untuk melaporkan diskon pembelian dan aset tetap,
yaitu:

1. dengan mengurangi nilai aset tanpa memperhatikan apakah diskon tersebut


diambil atau tidak diambil (disajikan pada nilai nettonya). Alasan untuk
pendekatan ini adalah asumsi bahwa biaya ril aset adalah harga dari kas atau
setara kas atas aset tersebut. Apabila diskon tidak diambil maka diskon
tersebut dianggap sebagai kerugian tahun berjalan.
2. Tidak mengurangi nilai aset, aset disajikan pada nilai bruto. Alasan untuk
pendekatan ini adalah kegagalan untuk mengambil diskon tidak harus selalu
dianggap kerugian. Ketentuan mungkin tidak menguntungkan, atau mungkin
tidak bijaksana bagi perusahaan untuk mengambil diskon.
Pada praktik bisnis saat ini kedua pendekatan tersebut digunakan, meskipun
pendekatan pada butir 1 lebih baik untuk digunakan karena menyajikan nilai aset
pada nilai wajarnya.
Perusahaan seringkali membeli aset tetap dengan kontrak kredit jangka panjang,
menggunakan wesel, utang hipotek, obligasi, atau obligasi peralatan. Untuk
merefleksikan biaya yang benar, perusahaan mencatat aset yang dibeli dengan
kontrak kredit jangka panjang setara dengan nilai tunai yang diakui pada saat
terjadinya. Jika pembayaran suatu aset ditangguhkan hingga melampaui jangka
waktu kredit normal, perbedaan antara nilai tunai dengan pembayaran total diakui
sebagai beban bunga selama periode kredit kecuali dikapitalisasi sesuai dengan
PSAK 26 (revisi 2008): Biaya Pinjaman.Contoh:
Greathouse Co membeli aset hari ini senilai Rp 10 juta dengan wesel tanpa
bunga selama 4 tahun. Perusahaan tidak akan mencatat aset sebesar Rp 10 juta,
melainkan sebesar nilai sekarang dari wesel senilai Rp 10 juta tersebut. Asumsikan
bahwa tingkat bunga 9% dengan cicilan sebesar Rp2 juta setiap tahunnya. Maka
Greathouse mencatat aset tersebut sebesar:

6
idem
1
1−
(1+0,09)4
PV= Rp 2 juta × = Rp 6,479,440
0,09

Jurnal pada saat pembelian:


Peralatan 6,479,440

Wesel Bayar 6,479,440

Jurnal pada pembayaran pertama:

Beban Bunga (6,479,440 × 9%) 607,450

Wesel Bayar 1,392,550

Kas 2,000,000

Ketika tingkat bunga tidak dinyatakan, atau jika tingkat spesifik tidak
memungkinkan, maka perusahaan akan mengkaitkan dengan tingkat bunga terkait.
Tingkat bunga ini akan dinegosiasikan antara penjual dan pembeli dalam transaksi
pinjaman serupa. Dalam mengkaitkan dengan tingkat bunga, perusahaan harus
mempertimbangkan beberapa faktor diantaranya peringkat kredit peminjam, jumlah
dan tanggal maturitas wesel, dan tingkat bunga yang berlaku umum.Apabila
perusahaan tidak mengaitkan tingkat bunga, maka aset akan dicatat lebih besar dari
nilai wajarnya dan beban bunga akan menjadi kurang catat pada laporan laba rugi
sepanjang periode kontrak kredit tersebut.
Kadang-kadang aset tetap dibeli dan dibayar melalui penerbitan ekuitas
perusahaan. Dalam kasus seperti itu,jika ekuitas tersebut diperdagangkan secara
aktif maka harga pasar ekuitas yang diterbitkan merupakan nilai wajar yang
dijadikan indikasi biaya aset yang diakui. Karena ekuitas merupakan alat ukur yang
baik untuk harga setara kas saat ini . Jika perusahaan tidak dapat menentukan nilai
wajar ekuitas berdasarkan nilai pasarnya, maka perusahaan mengestimasi nilai wajar
aset tersebut. Dan kemudian menggunakan nilai wajar aset sebagai dasar pencatatan
aset dan penerbitan ekuitas. Contoh:
Upgrade Living Co membeli tanah, sebagai pengganti membayar dengan kas
perusahaan menerbitkan saham sebanyak 5,000 lembar saham biasa dengan nilai
pari Rp 1,000 per lembar dan memiliki harga pasar sebesar Rp 1,200 per lembar.
Dalam contoh ini, jelas bahwa nilai wajar ekuitas lebih jelas dari pada nilai wajar
tanah. Upgrade Living Co mencatat transaksi ini sebagai berikut:

Tanah (1,200 × 5, 000 lembar) 6,000,000


Saham Biasa(1,000×5,000) 5,000,000
Premi Saham-Biasa 1,000,000
Permasalahan khusus dalam penghitungan aset tetap muncul ketika perusahaan
membeli dua atau lebih aset tetap secara bersamaan atau dengan pembelian tunggal
(lump-sum purchase price). Ketika situasi yang umum terjadi, perusahaan
mengalokasikan total biaya semua aset tersebut pada dasar nilai wajar aset tersebut.
Asumsi bahwa biaya akan merubah proporsi langsung menjadi nilai wajar. Ini
merupakan prinsip yang sama dengan perusahaan yang mengaplikasikan untuk
alokasi biaya lump-sum dari item persediaan yang berbeda.
Untuk mengukur nilai wajar, perusahaan harus menggunakan teknik penilaian
yang tepat. Dalam beberapa kasus, teknik penghitungan tunggal akan tepat. Namun
pada kasus lainnya, pendekatan penghitungan berganda mungkin untuk digunakan.
Contoh:
Norduct Homes, Inc membeli beberapa aset dari Comfort Heating seharga Rp
80 juta. Berikut ini merupakan harga aset yang dibeli Norduct Homes, Inc:
Nilai Buku Nilai Wajar
Persediaan 30 juta 25 juta
Tanah 20 juta 25 juta
Bangunan 35 juta 50 juta
Total 85 juta 100 juta
Norduct Homes, Inc mengalokasikan Rp 80 juta harga beli pada dasar nilai
wajar (asumsikan identifikasi spesifik atas biaya tidak dapat diprediksi), maka aset
tetap yang diakui dalam laporan keuangan adalah sebagai berikut:
25 𝑗𝑢𝑡𝑎
P ersediaan × 80 juta = 20 juta
100 𝑗𝑢𝑡𝑎
25 𝑗𝑢𝑡𝑎
Tanah 100 𝑗𝑢𝑡𝑎
× 80 juta = 20 juta
50 𝑗𝑢𝑡𝑎
Bangunan × 80 juta = 40 juta
100 𝑗𝑢𝑡𝑎

Apabila suatu aset tetap ditukarkan dengan aset lain selain kas (aset non
moneter), maka aset tersebut diukur berdasarkan nilai wajar aset yang diserahkan
atau nilai wajar dari aset diterima, pilih mana yang lebih jelas. Dengan demikian
perusahaan akan langsung mengakui laba atau rugi pertukaran ini. Rasionalisasi
untuk pengakuan langsung ini adalah kebanyakan transaksi memiliki substansi
komersial, dan oleh karena itu laba/rugi harus segera diakui.
PSAK 16 mengatur entitas menentukan apakah suatu transaksi pertukaran
memiliki substansi komersial atau tidak dengan mempertimbangkan sejauh mana
arus kas masa depan diharapkan dapat berubah sebagai akibat dari transaksi tersebut.
Suatu transaksi pertukaran memiliki substansi komersial jika:
1) konfigurasi (contohnya risiko, waktu, dan jumlah) arus kas atas aset yang
diterima berbeda dari konfigurasi dari aset yang diserahkan; atau
2) nilai spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh
perubahan transaksi sebagai akibat dari pertukaran; dan
3) selisih di (1) atau (2) adalah relatif signifikan terhadap nilai wajar dari aset yang
dipertukarkan.
Untuk tujuan menentukan apakah transaksi pertukaran memiliki substansi
komersial, nilai spesifik entitas dari bagian operasi entitas yang dipengaruhi oleh
transaksi mencerminkan arus kas setelah pajak. Hasil analisis ini dapat menjadi jelas
tanpa entitas melakukan perhitungan lebih rinci. Contoh:
Andrew Co menukarkan peralatannya dengan tanah milik Roddick Inc.
Kemungkinan bahwa waktu dan jumlah arus kas yang timbul untuk tanah akan
berbeda secara signifikan dari arus kas yang timbul dari peralatan. Sebagai hasilnya
baik Andrew Co maupun Roddick Inc berada pada posisi ekonomi yang berbeda.
Oleh karena itu terjadi substansi komersial, dan perusahaan mengakui laba/rugi
pertukaran.
Nilai wajar aset dapat diukur secara andal meskipun tidak ada transaksi pasar
yang sejenis, jika:
1) variabilitas rentang estimasi nilai wajar yang masuk akal (wajar) untuk aset
tersebut tidak signifikan; atau
2) probabilitas dari berbagai estimasi dalam rentang tersebut dapat dinilai secara
rasional dan digunakan dalam mengestimasi nilai wajar.
Selain hal-hal di atas, PSAK 16 juga mengatur bagaiman biaya perolehan suatu
aset yang dibangun sendiri ditentukan, yaitu dengan menggunakan prinsip yang
sama sebagaimana perolehan aset dengan pembelian. Jika entitas membuat aset
serupa untuk dijual dalam usaha normal, biaya perolehan aset biasanya sama dengan
biaya pembangunan aset untuk dijual (lihat PSAK 14 (revisi 2008): Persediaan).
Oleh karena itu, dalam menetapkan biaya perolehan maka setiap laba internal
dieliminasi. Demikian pula jumlah abnormal yang terjadi dalam pemakaian bahan
baku, tenaga kerja, atau sumber daya lain dalam proses konstruksi aset yang
dibangun sendiri tidak termasuk biaya perolehan aset. PSAK 26 (revisi 2008): Biaya
Pinjaman menetapkan kriteria yang harus dipenuhi sebelum biaya bunga dapat
diakui sebagai suatu komponen biaya perolehan aset tetap. PSAK 26 mensyaratkan
biaya pinjaman yang dapat dikapitalisasi adalah :
- biaya pinjaman yang dapat diatribusikan langsung dengan konstruksi atau
pembangunan aset tetap.
- bila biaya pinjaman tersebut menghasilkan manfaat ekonomi masa depan untuk
entitas dan dapat diukur secara andal.

Masalah kontroversial lainnya terkait biaya perolehan aset tetap yang dibangun
sendiri adalah perlakuan terhadap semua ‘keuntungan’ atau ‘kerugian’ konstruksi.
Sesuai dengan konservatisme, PSAK 16 secara umum menyatakan bahwa keuntungan
konstruksi tidak boleh segera diakui, sementara kerugian konstruksi harus segera
diakui. Contoh 1:
Delhi Co membuat mesin untuk digunakan sendiri dengan biaya Rp 100 juta, dan
mesin serupa dapat dibeli dengan harga Rp 120 juta. Pada kasus ini, laba internal
sebesar 20 juta dihapuskan dan akan direalisasikan melalui penurunan beban
penyusutan pada saat mesin itu digunakan dan mesin dicatat senilai Rp 100 juta.
Contoh 2:
Delhi Co membuat mesin untuk digunakan sendiri dengan biaya Rp 100 juta, dan
mesin serupa dapat dibeli dengan harga Rp 90 juta. Pada kasus ini, mesin dicatat
senilai Rp 90 juta. Karena pemborosan dalam pemakaian bahan baku, tenaga kerja,
dan sumber daya lain tidak boleh dimasukkan ke dalam biaya perolehan aset
sedangkan rugi Rp 10 juta dihapuskan dalam penghasilan.
Setelah membahas mengenai biaya apa saja yang termasuk ke dalam alokasi aset
tetap, PSAK 16 juga mengatur biaya-biaya yang tidak dapat dikapitalisasi ke aset
tetap:

1) biaya pembukaan fasilitas baru


2) biaya pengenalan produk baru (termasuk biaya iklan dan aktivitas promosi);
3) biaya penyelenggaraan bisnis di lokasi baru atau kelompok pelanggan baru
(termasuk biaya pelatihan staf); dan
4) administrasi dan biaya overhead umum lainnya

Pengakuan terhadap biaya-biaya dalam jumlah tercatat suatu aset tetap dihentikan
ketika aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap
digunakan sesuai dengan intensi manajemen. Oleh karena itu, biaya pemakaian dan
pengembangan aset tidak dimasukkan ke dalam jumlah tercatat aset tersebut. Sebagai
contoh, biaya-biaya berikut ini tidak termasuk di dalam jumlah tercatat suatu aset
tetap:

1) biaya-biaya yang terjadi ketika suatu aset telah mampu beroperasi sesuai dengan
intensi manajemen namun belum dipakai atau masih beroperasi di bawah
kapasitas penuhnya;
2) kerugian awal operasi, seperti ketika permintaan terhadap keluaran (output)
masih rendah; dan
3) biaya relokasi atau reorganisasi sebagian atau seluruh operasi entitas.

Sebagian kegiatan terjadi sehubungan dengan pembangunan atau


pengembangan suatu aset tetap, tetapi tidak dimaksudkan untuk membawa aset
tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai
dengan intensi manajemen. Kegiatan insidental ini mungkin terjadi sebelum atau
selama kontruksi atau aktivitas pengembangan. Contoh, penghasilan yang diperoleh
dari pengunaan lahan lokasi bangunan sebagai tempat parkir mobil sampai
pembangunan dimulai. Karena kegiatan insidental ini tidak dimaksudkan untuk
membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap
digunakan sesuai dengan intensi manajemen, penghasilan dan beban yang terkait dari
kegiatan insidental diakui dalam laba rugi dan diklasifikasikan dalam penghasilan
dan beban.
Setelah pengakuan awal, suatu perusahaan harus memilih model biaya atau
model revaluasi sebagai kebijakan akuntansinya dan harus menerapkan kebijakan
tersebut terhadap keseluruhan aset dalam satu kelompok aset tetap yang sama,
misalnya kelompok bangunan (paragraf 29).
1) Dalam model biaya, aset tetap dicatat sebesar biaya perolehannya dikurangi
akumulasi penyusutan dan semua akumulasi rugi penurunan nilai aset bila ada
(paragraf 30).
2) Dalam model revaluasi, aset tetap dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai
wajar pada tanggal revaluasi dikurangi semua akumulasi penyusutan dan
akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi (paragraf
31).

D. Model Biaya

Menurut PSAK 16 paragraf 30, model biaya suatu aset tetap dicatat sebesar
biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai
aset.

Akuntansi untuk Penyusutan

PSAK 16 mensyaratkan bahwa setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya
perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset dan yang masa
manfaat dan/atau pola penggunaannya berbeda disusutkan secara terpisah (paragraf
43). Sebagai contoh, sebuah bangunan dengan masa manfaat 50 tahun dan eskalator di
dalamnya dengan masa manfaat 10 tahun disusutkan secara terpisah. Menurut PSAK
16 penyusutan aset yang dapat disusutkan dimulai pada saat aset tersebut siap untuk
digunakan dan bahwa penyusutan tersebut dihentikan hanya pada saat aset itu
diklasifikasikan sebagai ‘dimiliki untuk dijual’ berdasarkan PSAK 58 (PSAK 16
paragraf 55). Dengan demukian, penyusutan tidak dihentikan apabila suatu aset tidak
sedang digunakan atau tidak lagi digunakan, kecuali jika aset itu telah sepenuhnya
disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method
(seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada
produksi.
Penyusutan didefinisikan dalam PSAK 16 sebagai ‘ alokasi sistematis jumlah
yang dapat disusutkan dari suatu aset sepanjang masa manfaatnya’ (paragraf 6).
Dengan demikian, dalam menentukan beban penyusutan, tiga faktor yang harus
dipertimbangkan adalah :

1. jumlah yang dapat disusutkan,


2. estimasi umur manfaat,
3. metode alokasi.

Jumlah tersusutkan adalah biaya perolehan aset, atau jumlah lain yang
merupakan pengganti biaya perolehan, dikurangi nilai residunya. Jumlah tersusutkan
dari suatu aset dialokasikan secara sistematis sepanjang umur manfaatnya.
Nilai residu didefinisikan dalam paragraf 6 sebagai jumlah neto yang akan
diperoleh perusahaan dari pelepasan suatu aset jika aset itu telah mencapai akhir umur
manfaatnya dan telah beroperasi dalam kondisi yang diharapkan diakhir umur
manfaatnya (yaitu dampak inflasi diabaikan). PSAK 16 juga menyinggung fakta
bahwa nilai residu suatu aset sering tidak signifikan dan dapat diabaikan dalam
perhitungan jumlah yang dapat disusutkan (paragraf 53).
Nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap di-review minimum setiap akhir
tahun buku dan apabila ternyata hasil review berbeda dengan estimasi sebelumnya
maka perbedaan tersebut diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai
dengan PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi
dan Kesalahan.
Nilai residu aset dapat meningkat ke suatu jumlah yang setara atau lebih besar
dari jumlah tercatatnya. Jika hal tersebut terjadi, maka beban penyusutan aset tersebut
adalah nol, hingga nilai residu selanjutnya berkurang menjadi lebih rendah dari
jumlah tercatatnya (PSAK 16:55).

Umur manfaat adalah periode suatu aset yang diharapkan dapat digunakan oleh
entitas, atau jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari
suatu aset oleh entitas. Manfaat ekonomi masa depan melekat pada aset yang
dikonsumsi oleh entitas terutama melalui penggunaan aset itu sendiri. Namun,
beberapa faktor lain seperti keusangan teknis, keusangan komersial dan keausan
selama aset tersebut tidak terpakai, sering mengakibatkan menurunnya manfaat
ekonomi yang dapat diperoleh dari aset tersebut. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di
atas, seluruh faktor berikut ini diperhitungkan dalam menentukan umur manfaat dari
setiap aset(PSAK 16:57):
1) ekspektasi daya pakai dari aset. Daya pakai atau daya guna tersebut dinilai
dengan merujuk pada ekspektasi kapasitas aset atau keluaran fisik dari aset;
2) ekspektasi tingkat keausan fisik, yang tergantung pada faktor pengoperasian aset
tersebut seperti jumlah penggiliran (shift) penggunaan aset dan program
pemeliharaan aset dan perawatannya, serta perawatan dan pemeliharaan aset pada
saat aset tersebut tidak digunakan (menganggur);
3) keusangan teknis dan keusangan komersial yang diakibatkan oleh perubahan atau
peningkatan produksi, atau karena perubahan permintaan pasar atas produk atau
jasa yang dihasilkan oleh aset tersebut; dan
4) pembatasan penggunaan aset karena aspek hukum atau peraturan tertentu, seperti
berakhirnya waktu penggunaan sehubungan dengan sewa.
Umur manfaat aset ditentukan berdasarkan kegunaan yang diharapkan oleh
entitas. Kebijakan manajemen aset suatu entitas dapat meliputi pelepasan aset yang
bersangkutan setelah jangka waktu tertentu atau setelah pemanfaatan sejumlah
proporsi tertentu dari manfaat ekonomik masa depan yang melekat pada aset. Oleh
karena itu, umur manfaat dari suatu aset dapat lebih pendek dari umur manfaat dari
aset tersebut. Estimasi umur manfaat suatu aset merupakan hal yang membutuhkan
pertimbangan berdasarkan pengalaman entitas terhadap aset yang serupa(PSAK
16:58).
Metode penyusutan yang digunakan mencerminkan ekspektasi pola konsumsi
manfaat ekonomik masa depan dari aset oleh entitas. Metode penyusutan yang
digunakan untuk aset di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi
perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa
depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan diubah untuk mencerminkan
perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan diperlakukan sebagai
perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan
Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi dan Kesalahan.
Berbagai metode penyusutan dapat digunakan untuk mengalokasikan jumlah
yang disusutkan secara sistematis dari suatu aset selama umur manfaatnya. Metode
tersebut antara lain :
1. metode garis lurus (straight line method). Metode garis lurus menghasilkan
pembebanan yang tetap selama umur manfaat aset jika nilai residunya tidak
berubah,
2. metode saldo menurun (diminishing balance method). Metode saldo menurun
menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat aset, dan
3. metode jumlah unit (sum of the unit method). Metode jumlah unit menghasilkan
pembebanan berdasarkan pada penggunaan atau output yang diharapkan dari
suatu aset.
Metode penyusutan aset dipilih berdasarkan ekspektasi pola konsumsi manfaat
ekonomik masa depan dari aset dan diterapkan secara konsisten dari periode ke
periode kecuali ada perubahan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomik
masa depan dari aset tersebut.
Oleh karena itu, metode penyusutan yang digunakan harus konsisten dengan
ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset itu. Misalnya, untuk
aset yang digunakan secara merata sepanjang umur manfaatnya, metode garis lurus
harus diterapkan, misalnya gedung yang dipakai untuk urusan administratif. Di pihak
lain, untuk aset yang digunakan secara lebih intensif di umur masa hidupnya dan
tidak begitu intensif di akhir masa hidupnya, metode dipercepat harus digunakan
misalnya adalah mesin-mesin pabrik yang dipakai intensif di awal karena mengejar
target produksi.
Dengan demikian pemilihan metode penyusutan tidak bisa disama ratakan untuk
seluruh aset tanpa memperhatikan pola konsumsinya, misalnya demi alasan
kemudahan perpajakan.

PSAK 16 menyatakan bahwa biaya penyusutan pada setiap periode harus diakui
sebagai beban kecuali jika beban tersebut dimasukkan dalam jumlah tercatat aset
lainnya (paragraf 48).
Jika suatu aset tetap digunakan untuk menghasilkan pendapatan pada periode
berjalan, maka penyusutan harus dibebankan secara langsung dalam laporan laba rugi
komprehensif. Di pihak lain, jika aset tetap digunakan untuk memproduksi barang
atau jasa, maka penyusutan dibebankan pertamakali ke biaya produksi (atau
konstruksi) dan akhirnya dibebankan dalam laporan laba rugi komprehensif sebagai
bagian dari harga pokok penjualan.
Dalam kedua kasus itu, jurnal kredit biasanya dicatat dalam akun terpisah yang
disebut ‘akun akumulasi penyusutan’ sehingga jumlah biaya perolehan aset terkait
tidak berubah.
Apabila suatu aset diperoleh atau dilepaskan selama satu periode, metode yang
paling akurat secara teoritis untuk menghitung beban penyusutan pada periode itu
adalah metode berdasarkan jumlah hari (atau bulan) yang digunakan.
Namun, sebagian besar perusahaan menerapkan kebijakan yang lebih praktis,
yaitu memberikan penyusutan tahun penuh untuk aset yang diperoleh selama satu
periode dan tidak ada penyusutan untuk aset yang dilepaskan selama periode itu atau
sebaliknya, atau memberikan penyusutan untuk aset yang telah digunakan selama
lebih dari enam bulan selama periode berjalan dan tidak ada penyusutan untuk aset
yang telah digunakan selama enam bulan atau kurang selama periode berjalan.

Penyusutan diakui walaupun nilai wajar aset melebihi jumlah tercatatnya,


sepanjang nilai residu aset tidak melebihi jumlah tercatatnya. Perbaikan dan
pemeliharaan aset tidak meniadakan keharusan untuk menyusutkan aset. Hal ini
terjadi karena penyusutan didefinisikan dalam PSAK 16 sebagai proses alokasi dan
bukan proses penilaian.

Aset yang dapat disusutkan merupakan fasilitas yang perlu terjadi untuk
memperoleh pendapatan. Biaya perolehan aset itu (dikurangi nilai sisa, jika ada),
seperti beban lain yang terjadi dalam proses perolehan pendapatan, harus dibebankan
terhadap penghasilan. Namun, karena aset yang dapat disusutkan digunakan selama
lebih dari satu periode, jumlah yang dapat disusutkan harus dialokasikan pada periode
yang menerima manfaat dari penggunaan aset itu. Proses alokasi ini yang disebut
sebagai penyusutan.

Jika nilai suatu aset lebih besar dari biaya perolehannya (atau jumlah tercatat
neto) dan diputuskan bahwa nilai aset itu diperhitungkan, maka yang perlu dilakukan
adalah proses revaluasi secara terpisah. Setelah revaluasi dilakukan, penyusutan masih
harus diperhitungkan untuk mengalokasikan jumlah yang revaluasian (dikurangi nilai
sisa, jika ada) sepanjang masa hidup aset yang direvaluasi. Sebetulnya, PSAK 16
menyatakan bahwa beban penyusutan dapat terjadi sekalipun nilai wajar suatu aset
lebih besar dari jumlah tercatatnya (paragraf 52).
Penurunan Nilai (Impairment)

Dalam menentukan apakah suatu aset tetap mengalami penurunan nilai, entitas
menerapkan PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset. Pernyataan tersebut
menjelaskan bagaimana entitas me-review jumlah tercatat asetnya, bagaimana
menentukan jumlah terpulihkan dari aset dan kapan mengakui atau membalik rugi
penurunan nilai.

Pada dasarnya, PSAK 48 mensyaratkan bahwa kapan pun terdapat indikasi


penurunan nilai, maka jumlah terpulihkan (yang didefinisikan sebagai jumlah terbesar
dari nilai realisasi neto dan nilai pakai) dari aset itu harus diestimasi, dan jika jumlah
terpulihkan lebih rendah dari jumlah tercatat, maka nilai aset itu harus diturunkan
menjadi sebesar nilai terpulihkannya. Rugi penurunan nilai harus segera dibebankan
ke penghasilan, kecuali jika membalik revaluasi positif sebelumnya (yang harus
dibebankan ke akun cadangan revaluasi).

PSAK 48 juga menyatakan bahwa jika pada periode setelahnya, kondisi dan
peristiwa yang sebelumnya menyebabkan penghapusan jumlah tercatat suatu pos atau
kelompok aset tetap tidak lagi ada dan jika ada bukti meyakinkan bahwa kondisi dan
peristiwa baru tidak akan berubah di masa depan, maka segala kenaikan jumlah yang
dapat dipulihkan yang timbul harus dicatat kembali. Jumlah yang dicatat kembali
harus dikurangi oleh jumlah yang seharusnya diakui sebagai penyusutan jika
penghapusan tidak terjadi.

Kompensasi dari pihak ketiga untuk aset tetap yang mengalami penurunan
nilai, hilang atau dihentikan dimasukkan dalam laba rugi pada saat kompensasi diakui
menjadi piutang. Penurunan nilai atau kerugian aset tetap, klaim atas atau pembayaran
kompensasi dari pihak ketiga dan pembelian atau konstruksi selanjutnya atas
penggantian aset adalah peristiwa ekonomi yang terpisah dan dicatat secara terpisah
dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Penurunan nilai aset tetap harus diakui sesuai dengan PSAK 48.
2) Penghentian pengakuan aset tetap ditentukan sesuai dengan PSAK 16.
3) Kompensasi dari pihak ketiga harus dimasukkan dalam laporan laba rugi
komprehensif pada saat menjadi piutang.
4) Biaya perolehan aset tetap yang diperbaiki, dibeli, atau dikonstruksi sebagai
penggantian dari pihak ketiga ditentukan sesuai dengan PSAK 16.

Penghentian Aset
Jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat:
1) Pada saat dilepaskan
2) Pada saat tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari
penggunaan atau pelepasannya.
Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghentian pengakuan aset tetap
dimasukkan dalam laba rugi pada saat aset tersebut dihentikan pengakuannya
(kecuali PSAK 30: Sewa mengharuskan perlakuan yang berbeda dalam hal transaksi
jual dan sewa-balik). Keuntungan tidak boleh diklasifikasikan sebagai pendapatan.
Namun, entitas yang aktivitas normal rutinnya adalah menjual aset yang
sebelumnya disewakan, maka entitas mentransfer aset tetap tersebut menjadi
persediaan sesuai nilai tercatat ketika aset tidak lagi disewakan dan menjadi aset
dimiliki untuk dijual. Imbalan dari penjualan aset tersebut diakui sebagai pendapatan
sesuai dengan PSAK 23 (revisi 2010): Pendapatan. PSAK 58 (revisi 2009): Aset
Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan tidak
diterapkan ketika aset yang dimiliki untuk dijual dalam keadaan bisnis normal
dipindahkan ke persediaan.
Pelepasan aset tetap dapat dilakukan dengan berbagai cara (misalnya: dijual,
disewakan berdasarkan sewa pembiayaan, atau disumbangkan). Dalam menentukan
tanggal pelepasan aset, entitas menerapkan kriteria dalam PSAK 23 (revisi 2009):
Pendapatan untuk mengakui pendapatan dari penjualan barang. PSAK 30 (revisi
2011): Sewa diterapkan untuk pelepasan melalui jual dan sewa-balik.
Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghentian pengakuan suatu aset
tetap ditentukan sebesar pendapatan antara jumlah hasil pelepasan neto, jika ada, dan
jumlah tercatat dari aset tersebut. Piutang atas pelepasan aset tetap diakui pada saat
awal sebesar nilai wajarnya. Jika pembayaran untuk hal tersebut ditangguhkan,
perhitungan yang akan diterima diakui pada saat awal sebesar nilai tunainya.
Perbedaan antara jumlah nominal piutang dan nilai tunainya diakui sebagai
pendapatan bunga sesuai dengan PSAK 23 (revisi 2009): Pendapatan yang
mencerminkan imbalan efektif atas piutang.
B. Model Revaluasi

Dalam model revaluasi, suatu aset tetap dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu
nilai wajarnya pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan
akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. PSAK 16
menyatakan bahwa jika revaluasi digunakan, aset itu harus dinilai pada nilai
wajarnya (paragraf 31).
PSAK 16 lebih lanjut menyatakan bahwa nilai wajar tanah dan bangunan
biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki
kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar (paragraf 32).
Meskipun tidak diatur secara khusus dalam PSAK 16, pada umumnya
disepakati bahwa penilaian harus didasarkan pada ‘nilai pasar untuk penggunaan
yang ada’ dan bukan pada ‘nilai pasar untuk penggunaan alternatif’. Nilai pasar
untuk penggunaan yang ada adalah estimasi nilai pasar yang memperhitungkan salah
satunya bukti transaksi pasar terbuka properti serupa, yaitu properti yang digunakan
untuk tujuan serupa.
Frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang
direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari
jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap
mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu
direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan
apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut
mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.
Jika suatu aset tetap direvaluasi, maka akumulasi penyusutan pada tanggal
revaluasi diperlakukan dengan salah satu cara berikut ini:
1) disajikan kembali secara porposional dengan perubahan dalam jumlah tercatat
bruto aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah
revaluasiannya. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan
cara memberi indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.
2) dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto aset dan jumlah tercatat neto setelah
eliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut.
Metode ini sering digunakan untuk bangunan.
Jumlah penyesuaian yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi
penyusutan membentuk bagian dari kenaikan atau penurunan dalam jumlah tercatat.
Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan
untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan
dan nilai lainnya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat
direvaluasi secara bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset
tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang
revaluasi dimutakhirkan.
Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, maka kenaikan tersebut
diakui dalam pendapatan komprehensif lain dan terakumulasi dalam ekuitas pada
bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan tersebut harus diakui dalam laba rugi
hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui
sebelumnya dalam laba rugi.
Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, maka penurunan tersebut diakui dalam
laba rugi. Namun, penurunan nilai tercatat diakui dalam pendapatan komprehensif lain
selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.
Penurunan nilai yang diakui dalam pendapatan komprehensif lain mengurangi akumulasi
dalam ekuitas pada bagian surplus revaluasi.
Surplus revaluasi aset tetap yang telah disajikan dalam ekuitas dapat
dipindahkan langsung ke saldo laba pada saat aset tersebut dihentikan
pengakuannya. Hal ini meliputi pemindahan sekaligus surplus revaluasi pada saat
penghentian atau pelepasan aset tersebut. Namun, sebagian surplus revaluasi
tersebut dapat dipindahkan sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas. Dalam hal
ini, surplus revaluasi yang dipindahkan ke saldo laba adalah sebesar perbedaan
antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian aset dengan jumlah
penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Pemindahan surplus revaluasi
ke saldo laba tidak dilakukan melalui laba rugi.
Untuk mencatat dampak revaluasi, PSAK 16 menyediakan dua metode
(paragraf 35):
1) Baik jumlah tercatat bruto maupun akumulasi penyusutan disajikan kembali
secara proporsional untuk menghasilkan jumlah tercatat neto yang sama
dengan jumlah revaluasian neto.
2) Akumulasi penyusutan dihapuskan dan jumlah revaluasian neto diperlukan
sebagai jumlah tercatat bruto yang baru.

Dampak metode (1) adalah tetapnya hubungan antara biaya perolehan (atau
penialaian) dan akumulasi penyusutan. Dengan kata lain, hubungan antara jumlah
tercatat bruto dan akumulasi penyusutan tidak berubah. Alasan metode (2) adalah
bahwa setelah revaluasi, aset itu dianggap sebagai aset ‘baru’.
Sebagaimana telah disebutkan, jumlah yang dapat disusutkan dari aset tetap
untuk tujuan penyusutan didefinisikan dalam PSAK 16 sebagai ‘biaya
perolehannya atau jumlah lain pengganti biaya, dikurangi nilai residunya’ (paragraf
6). Oleh karenya, apabila suatu aset tetap direvaluasi, maka jumlah revaluasianlah
(bukan biaya perolehannya) yang menjadi dasar untuk menghitung jumlah yang
dapat disusutkan.
Selain itu, seperti telah disebutkan, PSAK 16 mensyaratkan bahwa nilai residu
aset tetap di-review minimum setiap tanggal pelaporan.
Oleh karenanya, apabila suatu aset tetap direvaluasi, jumlah yang dapat
disusutkan harus dihitung kembali, berdasarkan jumlah revaluasian dan estimasi
nilai residu baru. Jumlah yang dapat disusutkan yang baru dihitung kemudian
dialokasikan sepanjang sisa umur manfaat aset itu.
Dapat dilihat bahwa PSAK 16 menyatakan ‘sebagian surplus dapat direalisasi
oada saat aset itu digunakan oleh perusahaan’ (paragraf 41). Jumlah surplus yang
direalisasi secara periodic adalah selisih antara jumlah penyusutan berdasarkan
jumlah revaluasian dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset-
aset tersebut (paragraf 41).

PSAK 16 lebih lanjut menyatakan bahwa realisasi bertahap atas cadangan


surplus revaluasi harus diperhitungkan melalui pemindahan saldo laba, dan bukan
melalui laporan laba rugi komprehensif (paragraf 41)
PSAK 16 menyatakan bahwa cadangan revaluasi dapat (penekanan dari
penulis) dipindahkan secara langsung ke saldo laba pada saat penghentian
pengakuan (paragraph 39). Praktik yang berlaku umum di Negara tetangga
Malaysia adalah apabila pengakuan suatu aset revaluasi dihentikan, surplus
revaluasi (yang kini direalisasi dan karenanya dapat didistribusikan) dipindahkan
melalui cadangan modal yang tidak dapat didistribusikan ke cadangan yang dapat
didistribusikan (misalnya saldo laba). Satu-satunya perbedaan dalam praktik adalah
sebagaian perusahaan melakukan pemindahan langsung, dan sebagian lain
melakukannya melalui laporan laba rugi komprehensif.

C. Pengungkapan
Laporan keuangan mengungkapkan, untuk setiap kelompok aset tetap:
1. dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto;
2. metode penyusutan yang digunakan;
3. umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan;
4. jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan (dijumlahkan dengan akumulasi
rugi penurunan nilai) pada awal dan akhir periode; dan
5. rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan:
a. penambahan;
b. aset diklasifikasi sebagai tersedia untuk dijual atau termasuk dalam
kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual
sesuai PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk
Dijual dan Operasi yang Dihentikan dan pelepasan lainnya;
c. akuisisi melalui kombinasi bisnis;
d. peningkatan atau penurunan akibat dari revaluasi sesuai paragraf 31, 39,
dan 40 serta dari rugi penurunan nilai yang diakui atau dijurnal balik
dalam pendapatan komprehensif lain sesuai PSAK No. 48 (revisi 2009):
Penurunan Nilai Aset;
e. rugi penurunan nilai yang diakui dalam laba rugi sesuai PSAK 48;
f. rugi penurunan nilai yang dijurnal balik dalam laba rugi sesuai PSAK 48;
g. penyusutan;
h. selisih nilai tukar neto yang timbul dalam penjabaran laporan keuangan
dari mata uang fungsional menjadi mata uang pelaporan yang berbeda,
termasuk penjabaran dari kegiatan usaha luar negeri menjadi mata uang
pelaporan dari entitas pelapor; dan
i. perubahan lain.

Laporan keuangan juga mengungkapkan:


1. keberadaan dan jumlah restriksi atas hak milik, dan aset tetap yang dijaminkan
untuk liabilitas;
2. jumlah pengeluaran yang diakui dalam jumlah tercatat aset tetap yang sedang
dalam pembangunan;
3. jumlah komitmen kontraktual dalam perolehan aset tetap; dan
4. jumlah kompensasi dari pihak ketiga untuk aset tetap yang mengalami
penurunan nilai, hilang atau dihentikan yang dimasukkan dalam laba rugi, jika
tidak diungkapkan secara terpisah pada pendapatan komprehensif lain.

Pemilihan metode penyusutan dan estimasi umur manfaat aset adalah hal-
hal yang memerlukan pertimbangan. Oleh karena itu, pengungkapan metode yang
digunakan dan estimasi umur manfaat atau tarif penyusutan memberikan informasi
bagi pengguna laporan keuangan dalam me-review kebijakan yang dipilih
manajemen dan memungkinkan perbandingan dengan entitas lain. Untuk alasan
yang serupa, juga perlu diungkapkan:

1) penyusutan, apakah diakui dalam laba rugi atau diakui sebagai bagian dari biaya
perolehan aset lain, selama suatu periode; dan
2) akumulasi penyusutan pada akhir periode.
Entitas mengungkapkan sifat dan dampak perubahan estimasi akuntansi yang
berdampak material pada periode berjalan atau diperkirakan berdampak material
pada periode berikutnya. Untuk aset tetap, pengungkapan tersebut dapat muncul dari
perubahan estimasi dalam:
1. nilai residu;
2. estimasi biaya pembongkaran, pemindahan atau restorasi suatu aset tetap;
3. umur manfaat; dan
4. metode penyusutan.

Jika aset tetap disajikan pada jumlah revaluasian, hal berikut diungkapkan:
(a) tanggal efektif revaluasi;
(b) apakah penilai independen dilibatkan;
(c) metode dan asumsi signifikan yang digunakan dalam mengestimasi nilai wajar
aset;
(d) penjelasan mengenai nilai wajar aset yang ditentukan secara langsung berdasarkan
harga terobservasi (observable prices) dalam suatu pasar aktif atau transaksi pasar
terakhir yang wajar atau diestimasi menggunakan teknik penilaian lainnya;
(e) untuk setiap kelompok aset tetap, jumlah tercatat aset seandainya aset tersebut
dicatat dengan model biaya; dan
(f) surplus revaluasi, yang menunjukkan perubahan selama periode dan pembatasan-
pembatasan distribusi kepada pemegang saham.

Você também pode gostar