Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
B. ETIOLOGI
C. KLASIFIKASI
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi
epilepsi dengan sindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi
Berdasarkan penyebab
1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada
anak dengan paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus
otak
b) klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)
1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)
a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran
tetap normal
Dengan gejala motorik:
Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian
tubuh saja
Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh
dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi
Jackson.
Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu
Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (epilepsi
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo).
Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-
tusuk jarum.
Visual: terlihat cahaya
Auditoris: terdengar sesuatu
Olfaktoris: terhidu sesuatu
Gustatoris: terkecap sesuatu
Disertai vertigo
Kejang klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.
Kejang tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan
dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
D. AATOMI FISIOLOGI
E. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan
neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter
eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps.
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang
dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan
inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke
belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi
kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx 𝑁𝑎+ ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan
ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan
korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan
lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di
tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan
energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan
metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf
motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin
muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya
cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan.
F. PATHWAY
Trauma lahir, cedera
Faktor idiopatik kepala, demam, gangguan
metabolik, tumor otak
Kerusakan neuron
saraf) G
Parsial Umum
sederhana komplex
absen miokloni Tonik klonik atonik
s k
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi
lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan
degeneratif serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan
jaringan otak yang tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance
imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas tetapi
dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
menilai fungsi hati dan ginjal
menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada 𝑁𝑎+ dan
𝐾 + dapat berpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya
aktivitas kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang
berhubungan dengan pengobatan
Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy
obat
Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi
yang teurapetik
Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi,
perdarahan\Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel,
fraktur
DET (Position Emission Hemography), mendemonstrasikan perubahan
metabolik ( Dongoes, 2000 : 202 )
J. MASALAH KEPERAWATAN
1. Resiko cedera
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
3. Ketidakefektifan pola napas
4. suhu tubuh/ hipertermi
ASUHAN KEPERWATAN
DENGAN KASUS EPILEPSIS
K. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS.
Pasien sering mangalami kejang.
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel,
kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan (pendarah gusi dan
memar tanpa sebab), kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa
pembengkakan
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.
5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post
natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang
pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir
dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem
kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga
mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak.
Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah
kelahariran dan pertumbuhan dan perkembanagannya.
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya
dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan
keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi,
adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu
dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
a) Selama serangan :
Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang
klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
Apakah pasien menggigit lidah.
Apakah mulut berbuih.
Apakah ada inkontinen urin.
Apakah bibir atau muka berubah warna.
Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu sisi atau keduanya.
b) Sesudah serangan
Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit,
gangguan bicara
Apakah ada perubahan dalam gerakan.
Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
c) Riwayat sebelum serangan
Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi
Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung
berdebar.
Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori,
auditorik, olfaktorik maupun visual.
d) Riwayat Penyakit
Sejak kapan serangan terjadi.
Pada usia berapa serangan pertama.
Frekuensi serangan.
Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang
disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
Apakah makan obat-obat tertentu
Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
b. Pemeriksaan fisik
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
3. Penglihatan (mata)
Perubahan pada posisi bola mata, dan perubahan pupil
4. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, perdarahan pada gusi
5. Ekstremitas:
Adanya kelemahan otot ekstremitas, distrosia osteo atau tidak
6. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
7. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,
pusing.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
8. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
9. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal, akumulasi
cairan.
Tanda : dispnea, apnea, batuk
c. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Ketidakefektifan pola napas b.d terganggunya saraf pusat pernafasan
4. Hipertermia b.d pemanjanan lingkungan yang panas
d. Rencana keperawatan
Dx 1: Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : untuk menjaga keadaan pasien jika tidak cidera
Kriteria hasil :
1. Klien terbebas dari cedera
2. Klien mampu menjelaskan cara/ metode untuk mencegah injury / cedera
3. Klien mampu menjelaskan resiko dari lingkungan / perilaku personal
4. Mampu memodifokasi gaya hidup untuk mencegah injury
5. Mampumengenali perubahan status kesehatan
Intervensi : 1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2. identifikasi kebutuhan keamanan pasien , sesui dengan kondisi fisik dan
fungsi kongnitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
3. menghindarkan lingkungan yang membahayakan
4. memasang side rall di tempat tidur
5. menyediakan tempat tidu yang aman dan nyaman
6. menganjurkan keluarga pasien untuk menemani pasien