Você está na página 1de 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Avian Influenza (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus yang secara alami menginfeksi unggas dan ditularkan ke manusia. Virus
avian influenza terbagi menjadi tiga tipe yaitu tipe A, B dan C yang
dikelompokan berdasarkan atas perbedaan antigen protein inti (nucleoprotein)
dan protein matriks. Virus tipe A merupakan patogen utama yang berperan
dalam pandemi influenza di seluruh dunia (Soedarto, 2010; Helmi et al.,
2016).
Suatu virus avian influenza berpatogenisitas tinggi subtipe H5N1
dilaporkan menginfeksi 18 orang di Hongkong dan 6 diantaranya meniggal di
tahun 1997, ini merupakan kasus penularan pertama virus avian influenza
dari spesies unggas ke manusia. Virus tersebut kemudian menyebar tidak
hanya di kawasan Asia, akan tetapi juga di kawasan Eropa dan Afrika.
Berdasarkan data dari WHO sampai 10 Desember 2013 total kasus avian
influenza pada manusia berjumlah 648 kasus dengan 384 kematian yang
keseluruhannya terjadi pada 15 negara (Garjito, 2013).
Sedangkan untuk prevalensi di Indonesia sendiri, hingga bulan Januari
2015 terdapat 197 kasus dikonfirmasi terinfeksi virus H5N1, 165 diantaranya
fatal (Sekjen Kemenkes, 2015 dalam Tarigan, 2015).
Hospes alami dari virus influenza A adalah burung liar dan unggas air.
Pada hospes tersebut, virus ini berada dalam keadaan seimbang dan tidak
menimbulkan penyakit. Berdasarkan tingkat infeksi virus AI, maka virus
tersebut dapat dikelompokkan atas dua tingkatan infeksi yaitu highly
pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza
(LPAI). Tingkatan infeksi HPAI merupakan infeksi yang sangat patogen yang
dapat menyebabkan angka kematian sampai 100% (Keawcharoen et al., 2011
dalam Helmi et al., 2016).

1
Faktor yang sangat memengaruhi kasus infeksi virus AI yang terus
terjadi di Indonesia adalah akibat dari penanganan virus AI yang belum
maksimal. Hal ini dapat dilihat dari pola distribusi unggas di pasaran yang
tidak terkontrol, rendahnya biosekuriti pada perternakan unggas, serta masih
lemahnya strategi vaksinasi (Helmi et al., 2016).
Dari pernyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kasus penularan
avian influenza merupakan masalah yang memerlukan perhatian dan
penanganan yang efektif oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
yang dapat berkerjasama dengan tenaga kesehatan maupun masyarakat
dilingkungan yang mengalami wabah tersebut. Pengetahuan tentang avian
influenza lebih lanjut diperlukan, tidak hanya pemerintah dan tenaga
kesehatan namun harus diketahui oleh warga Indonesia, khususnya warga
setempat yang mengalami serangan wabah ini agar lebih tanggap serta
meminimalisir masalah yang lebih lanjut. Oleh kerena itu, penyusun sangat
tertarik membahas tentang avian influenza agar lebih memahaminya.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana konsep teori dari avian influenza serta penaganan dan
pencegahan yang efektif ?.

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui serta memahami konsep teori dari avian
influenza agar dapat menerapkannya pada lingkungan yang
mengalami wabah ini.
1.3.2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui serta memahami definisi avian influenza
 Untuk mengetahui serta memahami etiologi avian influenza
 Untuk mengetahui serta memahami manifestai klinis dari klien
terinfeksi avian influenza

2
 Untuk mengetahui serta memahami patofisiologi penularan avian
influenza
 Untuk mengetahui serta memahami pemeriksaan penunjang dalam
penegakkan diagnosis infeksi avian influenza
 Untuk mengetahui serta memahami tatalaksana avian influenza
 Untuk mengetahui serta memahami cara pencegahan infeksi avian
influenza.

3
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Definisi
Flu burung (avian flu) adalah penyakit influenza (disebabkan oleh virus
influenza tipe A) yang terdapat pada (menyerang) unggas dan umumnya tidak
menular pada manusia. Namun beberapa tipe (subtipe) diantaranya ternyata
dapat menyerang manusia khususnya oleh virus influenza subtipe H5N1
(Tamher & Noorkasiani, 2008).
Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang
secara alami hanya dapat menginfeksi unggas, dan kadang-kadang babi. Pada
keadaan tertentu virus flu burung dapat ditularkan dari unggas ke manusia.
Penyebabnya adalah virus Influenza Tipe A yang dapat menyebabkan wabah
(epidemi) global yang menjalar ke seluruh dunia (pandemi) (Soedarto, 2010).

2.2. Etiologi
Flu burung disebabkan oleh virus Avian influenza (AI) tipe A. Subtipe
H5 dan H7 merupakan bentuk yang ganas yang dapat menimbulkan flu
burung tipe A. Meskipun demikian tidak semua subtipe H5 dan H7 dapat
menimbulkan influenza yang berat pada unggas. Hanya subtipe H5N1 dari
virus avian influenza yang dapat menular dari unggas ke hewan mamalia,
misalnya kuda dan babi dan juga dapat menular ke manusia (Soedarto, 2010).
Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan avian influenza
adalah dari subtipe A H5N1.Virus ini dapat bertahan hidup di air sampai 4
hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30 haripada 0° C. Didalam tinja unggas
dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan hidup lebih lama, tetapi
Virus akan mati pada pemanasan 60° C selama 30 menit atau 56° C selama 3
jam dan dengan detergent, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang
mengandung iodine (Elytha, 2011).

4
2.3. Patofisiologi
Penularan penyakit avian influenza (flu burung) dapat terjadi melalui
kontak langsung dan kontak dengan lingkungan. Kontak langsung dapat
terjadi antara sesama unggas dan dari unggas ke manusia. Kontak tidak
langsung dengan unggas adalah kontak dengan lingkungan ataupun material
yang tercemar discharge unggas yang sakit/ karier FB. Penularan FB secara
aerogenic (melalui udara) hingga sekarang belum pemah dilaporkan.
Penularan antar manusia di Indonesia hingga sekarang belum ada dilaporkan.
Penularan juga dari burung liar yang berpindah-pindah, virus H5N1 dapat
ditularkan secara kontak langsung atau kontak dengan lingkungan yang
tercemar kotoran atau cairan ekskresi/ sekresi ke unggas peliharaan kemudian
virus akan memperbanyak diri. Unggas peliharaan yang terjangkit virus
H5N1 melalui kotoran, cairan ekskresi/ sekresi akan menular ke manusia.
Setelah manusia terjangkit virus subtipe baru dapat menular ke manusia lain,
sehingga terjadi penularan dari manusiake manusia, hal ini dapat
menimbulkan pandemi, yang perlu menjadi perhatian dan peningkatan
kewaspadaan (Elytha, 2011).
Sumber penularan virus influenza A (H5N1) terhadap manusia adalah
unggas, misalnya ayam, burung dan itik. Meskipun virus H5N1 biasanya
tidak menginfeksi manusia, namun pada tahun 2003 sejumlah hampir 400
orang berasal dari 12 negara dilaporkan terserang virus influenza yang ganas
ini. Kuda dan babi juga dapat menjadi sumber infeksi virus avian influenza
karena hewan-hewan tersebut merupakan hospes reservoir. Penularan virus
umunya terjadi melalui udara yang mengandung bahan infektif dalam bentuk
titik ludah (droplet) pada waktu penderita batuk atau bersin-bersin. Selain itu
kontak langsung dan hubungan yang sangat dekat dengan unggas yang sakit,
atau terinfeksi virus melalui tinja unggas yang sakit dapat juga menyababkan
penularan ke manusia. Karena itu penularan dapat terjadi pada waktu
membersihkan kandang, merawat unggas, pada waktu menyembelih unggas,
membersihkan unggas potong dan pada waktu memasak daging unggas
(Soedarto, 2010).

5
Dalam penularan pada sel hospes, tahapannya meliputi:
 Pelekatan virus pada permukaan sel
Virus influenza akan melekat dengan permukaan sel setelah terjadi
percampuran antara bagian ujung terluar HA dengan asam sialat dari suatu
sel glikoprotein dan glikolipid. Asam sialat kemudian akan berikatan
dengan galaktose α 2-3 (pada unggas) atau α 2-6 (pada manusa) untuk
mendeterminasi spesifisitas hospes. Sejak diketahuinya asam sialat yang
terkandung pada karbohidrat di beberapa sel organisme, kapasitas ikatan
dari HA akan dapat menjelaskan mengapa berbagai tipe sel dalam suatu
organisme dapat terinfeksi (Garjito, 2013).
 Masuknya Virus ke dalam sel hospes
Virion akan masuk dan menyatu ke dalam sebuah ruang endosom sel
hospes melalui mekanisme yang tergantung dan tidak tergantung kepada
clathrin setelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai. Dalam ruang
ini virus tersebut mengalami degradasi dengan cara menyatukan membran
virus dengan membran endosome. Proses ini dimediasi oleh pemindahan
proton melalui terowongan protein dari matrix-2 (M2) virus, pada nilai pH
di endosom sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadi serangkaian penataan
ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoprotein homotrimerik HA.
Sebagai hasilnya, tersingkap ranah yang sangat lipofilik dan fusogenik dari
setiap monomer HA yang masuk ke dalam membran endolisomal, dan
dengan demikian mengawali terjadinya fusi antara membran virus dengan
membran lisomal (Garjito, 2013).
 Pelepasan Selubung Virus serta Sintesis RNA dan Protein Virus
Dalam proses ini, tahapan penting bagi keberhasilan virus hidup
dalam hospes adalah pelepasan selubung virus dan kedelapan segmen
RNA genomik dari virus, yang terbungkus dalam lapisan pelindung dari
protein (ribonucleoprotein complex, RNP) nukleokapsid (N), dilepaskan
ke dalam sitoplasma. Di sini mereka disalurkan ke nukleus untuk
melakukan transkripsi mRNA virus dan replikasi RNA genomik melalui
proses yang rumit yang secara cermat diatur oleh faktor virus dan faktor

6
sel. Beberapa protein virus yang baru saja disintesis kemudian diangkut ke
dalam nukleus dimana mereka akan berikatan dengan RNA virus untuk
membentuk RNPs. Protein virus hasil sintesis baru lainnya diproses di
dalam retikulum endoplasma dan perangkat golgi dimana glikosilasi
terjadi. Protein yang telah termodifikasi tersebut kemudian diangkut ke
dalam membran sel dimana mereka akan melekat pada lipid bilayer.
Ketika konsentrasi pada membran plasma telah mencapai konsentrasi
tertentu, RNPs dan protein M1 akan mengelompok membentuk partikel
virus, kemudian partikel ini akan dikeluarkan dari membran dan akan
dibebaskan dengan bantuan aktivitas neurominidase (Garjito, 2013).
 Pelepasan virus
Sel yang menghasilkan foci virus terkelompok di dalam suatu
lapisan mukosa dari saluran mukosa pada saluran pernapasan, pada usus,
pada lapisan endotelium, miokardium dan otak. Melalui sekresi nasal,
jutaan partikel virus tiap ml akan dilepas, dimana 0,1 μl partikel aerosol
mengandung lebih dari 100 partikel virus. Pada saat awal terjadinya
infeksi virus influenza, virus juga dapat ditemukan di dalam darah dan
cairan tubuh lainnya. Infektifitas partikel virus dipengaruhi oleh suhu, pH,
salinitas air dan radiasi ultra violet. Pada suhu 4oC waktu paruh
infektivitasnya berkisar antara 2-3 minggu dalam air. Infektivitas partikel
virus influenza secara mudah dapat diaktivasi menggunakan seluruh jenis
alkohol sebagai desinfektan, krom dan aldehida. Temperatur diatas 70oC
juga dikatakan dapat merusak infektivitas dalam waktu beberapa detik
(Garjito, 2013).

2.4. Manifestasi Klinis


Sesudah melewati masa inkubasi selama 1-3 hari, penderita flu burung
akan mengalami demam dengan mengigil, sakit kepala, malaise, lemah
badan, nyeri otot, fotofobia, dan konjungtiva merah. Komplikasi yang dapat
terjadi berupa bronkitis, sinusitis, batuk berdahak dan pneumonia disertai
batuk darah. Selain itu penderita juga dapat mengalami mual, muntah, diare

7
dan gangguan neurologik (Soedarto, 2010; Garjito, 2013). Sementara itu
masa infektif pada manusia adalah sekitar 1 hari sebelum sampai 3-5 hari
sesudah gejala timbul. Pada anak dapat sampai 21 hari (Garjito, 2013).
Sedangkan menurut Tamher & Noorkasiani (2008), gejala avian
influenza meliputi:
 Rasa panas seperti terbakar
 Radang dan merah pada bagian mata, tenggorokan dan lidah
 Bersin dan batuk
 Diare dan muntah
 Kulit terlihat pucat.
Pada manusia, infeksi penyakit ini dimulai dengan infeksi virus pada sel
epitel saluran napas. Virus ini kemudian memperbanyak diri dengan sangat
cepat, sehingga akan dapat mengakibatkan lisis sel epitel dan terjadi
deskuamasi lapisan epitel saluran napas. Replikasi virus tersebut akan
merangsang pembentukan proinflammatory cytokine, termasuk IL-2, IL-6
dan TNFá yang kemudian masuk ke sirkulasi sistemik dan pada gilirannya
akan dapat menyebabkan gejala sistemik influenza seperti demam, malaise,
myalgia, dll. Pada kondisi sistem imun yang menurun, virus akan dapat lolos
dan masuk ke dalam sirkulasi darah dan ke organ tubuh lainnya (Garjito,
2013).
Pada infeksi virus influenza A H5N1, terjadi pembentukan sitokin yang
berlebihan (cytokine storm) untuk menekan replikasi virus, tetapi justru hal
ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru yang lebih luas dan berat.
Pada tahap selanjutnya terjadi pneumonia virus berupa pneumonitis
interstitial. Proses kemudian berlanjut dengan terjadinya eksudasi dan edema
intra alveolar, mobilisasi sel-sel radang dan juga eritrosit dari kapiler sekitar,
pembentukan membran hyaline dan juga fibroblast. Sel radang kemudian
akan memproduksi banyak sel mediator peradangan, yang secara klinis
keadaan ini disebut sebagai ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome).
Difusi oksigen akan terganggu, terjadi hipoksia/anoksia yang dapat merusak
organ lain (anoxic multiorgan disfunction). Proses ini biasanya terjadi secara

8
cepat dan penderita akan dapat meninggal dalam waktu singkat oleh karena
proses yang irreversible (Garjito, 2013).

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Menurut Yuliarti (2012) diagnosis flu burung meliputi :
a. Rapid Test
Alat ini berbentuk kotak plastik kecil yang didalamnya terdapat
keetas putih dengan kode C (control) dan T (Test) yang sudah ditetesi
antibodi virus flu burung yang berperan mendeteksi antigen virus. Jika
unggas terkena flu burung, antigen virus pada unggas terikat dengan
antibodi yang ada dalam kertas, sehingga akan memunculkan dua garis
vertikal pada area C dan T
b. HI (Hemaglutinasi Inhibisi): Alat ini untuk melihat antibodi terhadap
Hemaglutinin (H). Uji ini lebih sensitif dari pada repid test dan cukup
murah, meskipun membutuhkan wakt ulebih lama (sekitar 3 hari)
c. AGP (Agar Gel Netralisasi): Alat ini untuk melihat antibodi terhadap
Neuraminidase (N).
d. VN (Virus Netralisasi): Alat ini untuk mengetahui pembentukan antibodi
e. PCR (Polimerase Chain Recation): Alat ini untuk memastikan adanya
virus influenza A subtipe H5N1. Uji ini sensitif dan akurasinya tinggi,
tetapi mungkin karena membutuhkan biaya mahal, sehinga masih jarang
digunakan.
Namun, untuk diagnosis unggas yang telah divaksinasi dapat
menggunakan metode:
a. Penempatan ayam sentinel
Metode sentinel dilakukan dengan cara menempatkan sekitar 20 ekor
ayam yang tidak divaksin terhadap Avian Influenza (AI) secara random di
tengah tengah flok ayam yang divaksin (Suarez 2005). Jika ayam
menunjukkan gejala klinis, ulas trakhea atau kloaka diambil untuk deteksi
virus atau komponennya dengan mengisolasi virus atau PCR. Metode
sentinel ini sangat sensitif dan spesifik, akan tetapi mempunyai risiko

9
tinggi untuk diterapkan pada highly pathogenic. Metode sentinel adalah
metode yang paling banyak dipakai. Sebuah survei yang dilakukan pada
tahun 2011 tehadap negara-negara anggota OIE, mengungkapkan bahwa
16 diantara 30 negara yang menerapkan vaksinasi terhadap HPAI atau
LPAI melakukan monitoring kejadian infeksi pada unggas yang telah
divaksin (Tarigan, 2015).
b. Vaksin hemaglutinin subunit atau rekombinan
Pada infeksi virus Influenza, antibodi terbentuk terhadap berbagai
komponen atau protein virus, tetapi antibodi terhadap glikoprotein
membran, hemaglutinin, merupakan antibodi yang paling bertanggung
jawab terhadap proteksi. Imunisasi dengan hanya hemaglutinin tanpa
protein virus yang lain, mampu melindungi hewan atau unggas terhadap
infeksi virus Influenza dengan hemaglutinin yang sama (Swayne 2006).
Pengenalan atau monitoring adanya infeksi diantara ayam-ayam yang
divaksin dengan vaksin subunit hemaglutinin dapat dengan mudah
dilakukan dengan mendeteksi antibodi terhadap protein virus yang lain,
seperti protein matriks atau nukleoprotein dengan teknik AGP atau ELISA
(Tarigan, 2015).
c. Neuraminidase heterologus
Strategi ini meliputi penggunaan vaksin yang mengandung subtipe
virus yang mengandung neuraminidase berbeda atau heterolog, tetapi
hemaglutinin yang sama atau homolog dengan virus yang beredar di
lapangan. Antibodi terhadap neuraminidase virus yang beredar dipakai
sebagai penanda adanya infeksi pada ayam yang sudah divaksin. Strategi
DIVA neuraminidase heterolog mengabaikan peranan neuraminidase virus
vaksin. Sekalipun antibodi terhadap neuraminidase berperan dalam
mengurangi keparahan penyakit, tetapi yang terutama bertanggung jawab
terhadap proteksi serangan virus penantang, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas adalah antibodi terhadap hemaglutinin (Tarigan, 2015).

10
2.6. Penatalaksanaan
Penderita flu burung harus diisolasi untuk mencegah penularan
penyakit pada orang lain, dan agar penderita tidak tertular infeksi sekunder.
Virus H5N1 yang menyebabkan infeksi dan kematian di Asia telah resisten
terhadap amantadine dan rimantadine, dua obat antivirus yang biasanya
digunakan untuk mengobati influenza. Dua jenis obat antivirus lainnya yaitu
oseltamivir dan zanamivir dalam tahapan uji coba penggunaanya (Soedarto,
2010).
Obat antiviral yang sering digunakan untuk memberantas virus flu
burung yaitu tamiflu (oseltamivir) harus diberikan sedini mungkin, kurang
dari 3 hari sesudah terjadinya infeksi. Penderita harus diberikan pengobatan
suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita. Obat-obatan
simtomatis untuk mengurangi keluhan penderita sedangkan antibiotika hanya
diberikan jika terjadi infeksi sekunder oleh bakteri (Soedarto, 2010).
Berdasarkan gambaran farmakologi, mekanisme aksi, data in vivo
maupun data klinik yang lain, pemberian Oseltamivir menjadi pilihan
pertama saat ini hingga uji klinik acak terkendali yang lebih spesifik
dilakukan. Pada dewasa, pemberian dosis 2 x 75 mg sehari selama 5 hari
dikatakan cukup untuk mengatasi infeksi ringan H5N1. Dosis perlu
digandakan untuk keadaan yang lebih berat dan lama terapi dapat
diperpanjang hingga 7-10 hari (Garjito, 2013).

2.7. Pencegahan
1. Vaksinasi
Vaksinasi aktif dilakukan terhadap orang yang beresiko tinggi
tertular virus Avian influenza. Populasi unggas (peternakan) yang diduga
telah terinfeksi atau diduga menjadi sumber penularan virus AI harus
segera dimusnahkan. Vaksinasi unggas dilakukan sesuai dengan ketentuan
dan prosedur WHO (World Health Organization). Konsumsi daging
unggas berasal dari daerah epidermis harus dihentikan dan dilarang. Babi
dan kuda sebaiknya divaksinasi satu tahun satu kali karena hewan-hewan

11
tersebut juga merupakan hospes reservoir virus flu burung (Soedarto,
2010).
2. Stamping Out
Stamping out adalah pemusnahan semua unggas yang terinfeksi atau
kemungkinan terinfeksi dan diikuti dengan monitoring perkembangan
penyakit dengan teliti, merupakan prosedur standar yang dianjurkan dalam
pemberantasan penyakit menular sebelum penyakit menyebar secara luas
(Tarigan, 2015).

12
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Avian influenza merupakan penyakit yang diakibatkan oleh virus avian
influenza yang bersumber dari hewan kemudian menginfeksi hewan lainnya,
namun saat ini telah berekembang dapat menular pada manusia yang dari
beberapa kasus merupakan masalah yang besar. Virus yang umumnya dan
secara cepat menginfeksi dan menimbulkan gejala ialah virus avian influenza
subtipe A H5N1, dengan penularannya melalui udara, sentuhan dengan tubuh
maupun kotoran hewan dimana akan bermukim di sel hospes manusia.
Manifestasi klinis seperti suhu badan meningkat, sakit kepala, nyeri otot,
malaise serta dengan gejala khas rasa terbakar dan radang dan merah pada
bagian mata (konjungtiva).
Untuk diagnosis dalam penegakkan seseorang terinfeksi ialah dengan
menggunakan pemeriksaan menggunakan metode deteksi pada unggas
maupun deteksi pada unggas yang telah di vaksinasi. Prinsip penanganan
ialah dengan deteksi dini serta tatalaksana yang segera. Apabila seseorang
terkena infeksi avian influenza maka tatalaksana yang tepat dengan
mengkonsumsi oseltamivir harus diberikan sedini mungkin > 3 hari sesudah
terjadinya infeksi, pengobatan suportif untuk meningkatkan imunitas serta
antibiotika. Vaksinasi baik bagi unggas maupun manusia merupakan langkah
pencegahan yang efektif menghindari terinfeksinya virus avian influenza.

3.2. Saran
Sebagai satu diantara tenaga kesahtan seharusnya kita mampu untuk
menguasai konsep teori dari avian influenza agar kita memahami tatalaksana
untuk klien serta pencegahannya. Masyarakat merupakan garis pertahanan
lini pertama dalam penanggulangan maupun pencegahan epedemi virus avian
influenza.

13
DAFTAR PUSTAKA

Darmawan, Rahmansyah. 2009. Tanya Jawab : Flu Babi, Flu Singapura dan Flu
Burung. Depok : Penebar Swadaya.

Elytha, Fauziah. 2011. Sekilas Tentang Avian Influenza (AI). Jurnal Kesehatan
Masyarakat, Vol. 6, No.1. Data diperoleh dari
jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/ pada tanggal 9 Maret 2017.

Garjito, Triwobowo Ambar. 2013. Virus Avian Influenza H5n1: Biologi


Molekuler dan Potensi Penularannya ke Unggas dan Manusia. Jurnal
Vektora Vol. V No. 2. Data diperoleh dari ejournal.litbang.depkes.go.id
pada tanggal 9 Maret 2017.

Helmi, Teuku Zahrial et al. 2016. Isolasi dan Identifikasi Virus Avian Influenza
Pada Berbagai Spesies Unggas Secara Serologis dan Molekuler. Jurnal
Kedokteran Hewan Vol. 10 No. 1. Data diperoleh dari
www.jurnal.unsyiah.ac.id/ pada tanggal 9 Maret 2017.

Tamher & Noorkasiani. 2008. Flu Burung : Aspek Klinis dan Epidemiologi.
Jakarta: Salemba Medika

Tarigan, Simson. 2015. Infeksi Subklinis Avian Influenza H5N1 pada Peternakan
Ayam yang Menerapkan Program Vaksinasi. WARTAZOA Vol. 25 No. 2.
Data diperoleh dari medpub.litbang.pertanian.go.id/index.php/wartazoa/
pada tanggal 9 Maret 2017.

Yuliarti, N. 2012. Menyingkap Rahasia Penyakit Flu Burung. Yogyakarta : Andi


Offset

14

Você também pode gostar

  • Pathway
    Pathway
    Documento1 página
    Pathway
    Anonymous D0noC8
    Ainda não há avaliações
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Documento1 página
    Daftar Pustaka
    Anonymous D0noC8
    Ainda não há avaliações
  • Pathway
    Pathway
    Documento1 página
    Pathway
    Anonymous D0noC8
    Ainda não há avaliações
  • Pathway
    Pathway
    Documento1 página
    Pathway
    Anonymous D0noC8
    Ainda não há avaliações