Você está na página 1de 3

Baru-baru ini publik Indonesia dihebohkan dengan kasus meninggalnya seorang bayi di Jakarta

karena tidak ada RS yang dapat menampung untuk memberikan perawatan intensif yang
dibutuhkan. Banyak pihak di luar kesehatan mempertanyakan komitmen para pelaku pelayanan
kesehatan(tenaga kesehatan, RS) terhadap masyarakat. Bahkan tidak sedikit pula yang menuduh
dokter dan rumah sakit tidak berpihak pada masyarakat miskin. Benarkah demikian?

Sebagaimana kita ketahui, DKI Jakarta termasuk yang gencar memasyarakatkan kartu Jakarta
Sehat. Kartu ini dapat dimiliki oleh seluruh penduduk ber-KTP DKI tanpa kecuali. Niat pemerintah
DKI sebenarnya baik, yaitu untuk membuka akses pelayanan kesehatan yang seluas-luasnya bagi
masyarakat. Namun membuat program jaminan kesehatan tidak semudah mendata penduduk dan
mengeluarkan kartu. Infrastruktur dan sistem rujukan harus dibenahi pula.

Sebagaimana yang terjadi di banyak daerah yang menerapkan pelayanan kesehatan gratis, angka
kunjungan pasien di RS (khususnya RS pemeirntah) menjadi sangat tinggi. Disatu sisi hal ini
disebabkan karena masyarakat yang mengalami masalah kesehatan dan tadinya tidak berani ke RS
karena tidak memiliki uang yang cukup, kini berbondong-bondong ke RS dengan berbekal kartu
miskin atau kartu jaminan kesehatan. Disisi lain, masyarakat dengan masalah kesehatan yang
sebenarnya terlalu berat juga tidak mau ketinggalan dalam memanfaatkan jaminan kesehatan ini
untuk mendapatkan pelayanan di RS. Akibatnya RS menjadi penuh sesak, antrian panjang,
melebihi kapasitas, dan para tenaganya mengalamioverload yang luar biasa. Oleh karena itu,
penerapan sistem jaminan kesehatan harus dibarengi pula dengan penambahan kapasitas pelayanan.
Kapasitas ini bukan hanya mengenai fasilitas fisik (jumlah TT, gedung, peralatan), melainkan juga
SDM (dokter, perawat, bahkan juga tenaga lain sesuai dengan rasio yang wajar).

Selain kapasitas pelayanan, sistem rujukan juga harus dibenahi. RS harus dikembalikan ke
fungsinya semula yaitu untuk pelayanan sekunder dan tersier. Puskesmas, klinik dan RS pratama
dikuatkan untuk dapat melayani masyarakat yang kasusnya ringan. SDM-nya haris dilatih dan
ditambah sesuai dengan tuntutan mutu pelayanan yang dikehendaki oleh pemerintah dan
masyarakat.

Saat ini banyak puskesmas dan RS Pratama (Kelas D) merujuk pasien ke RS Kelas C bukan dengan
indikasi medis yang sesungguhnya, melainkan karena “indikasi” biaya. Artinya, seorang pasien
bisa dirujuk ke RS lain (umumnya ke RS Pemerintah) bukan karena perujuk tidak mampu
menangani, melainkan karena tarif pasien jaminan kesehatan tidak sesuai (lebih rendah dari tarif
untuk pasien umum). Contoh kasus Jampersal (Jaminan Persalinan). Karena tarif Jampersal
dianggap tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, maka banyak RS (swasta) yang kemudian
merujuk pasien ke RS Pemerintah pada kelas di atasnya, meskipun secara klinis RS swasta tadi
mampu menangani pasien tersebut. Tentu saja ini tidak tepat dan harus dibenahi. Sebab jika tidak,
maka mekanisme jaminan ini tidak akan efektif untuk memberikan pelayanan yang bermutu bagi
masyarakat karena RS-RS pemerintah menjadi penuh dengan pasien rujukan yang bukan indikasi
medis.

Terkait dengan kasus Dera, Gubernur DKI, Jokowi, berencana untuk menambah kapasitas kelas III
dan perawatan intensif di RS. Namun menurut Kemenkes, dr. Nafsiah Mboi, jika mengacu ke
standar WHO jumlah TT di DKI sudah lebih dari cukup. Namun mengapa masih banyak pasien,
khususnya pasien kritis, yang tidak bisa tertampung?

Disatu sisi mungkin memang kapasitas TT RS di DKI sudah lebih dari cukup jika mengikuti
standar WHO. Namun jika dilihat secara lebih spesifik, untuk menampung kebutuhan khusus
jumlah ini masih kurang. Pelayanan intensif memang membutuhkan SDM khusus dan peralatan
serta ruangan yang didesain khusus. Oleh karenanya, tidak semua RS mampu dan memiliki ijin
untuk menyelenggarakan pelayanan intensif. Jika hanya RS tertentu yang boleh menyediakan
layanan intensif, maka mekanisme rujukan, sekali lagi, harus dibenahi agar RS (Kelas C, B dan A)
dimanfaatkan oleh pasien yang lebih membutuhkan, misalnya pasien kritis. Perbaikan system
rujukan ini juga akan memeratakan beban layanan kesehatan di seluruh RS yang ada.

Kasus kematian bayi Dera ini sekaligus membuka mata seluruh pihak bahwa kita belum siap
dengan sistem jaminan kesehatan. Masih banyak sekali mekanisme, infrastruktur hingga SDM yang
harus ditata dan ditingkatkan kapasitasnya agar dapat menerapkan Jaminan Kesehatan Semesta
sesuai amanat UU tentang BPJS.

Tidak kalah pentingnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan.
Menurut Menteri Kesehatan, penelitian yang dilakukan oleh Kemenkes menunjukkan bahwa
tingginya angka kunjungan ke RS disebabkan karena tingginya angka kesakitan penduduk. Angka
kesakitan yang tinggi ini disebabkan karena kesadaran penduduk untuk menjaga kebersihan dan
menerapkan pola hidup sehat masih rendah. Apalagi Jakarta akhir-akhir ini sering dilanda banjir
yang menimbulkan berbagai penyakit. Oleh karenanya, penanggulangan masalah kesehatan bukan
semata tanggung jawab sektor kesehatan itu sendiri, melainkan juga seluruh sektor juga memiliki
kontribusi terhadap derajat kesehatan masyarakat. Masalah kesehatan merupakan hilir dari berbagai
masalah lain, mulai dari kemampuan ekonomi untuk memenuhi kecukupan gizi keluarga, kondisi
keamanan di jalan raya dan tempat kerja, hingga masalah gaya hidup yang dapat mempengaruhi
kesehatan. Pelayanan kesehatan menjadi muara dari berbagai ketidakseimbangan yang terjadi di
aspek kehidupan yang lain. Meskipun demikian, pelayanan kesehatan tetap harus memenuhi
standar kebutuhan masyarakat dan standar klinis yang telah menjadi best practices.

Jakarta merupakan etalase pelayanan kesehatan Indonesia bagi dunia. Jika Pemerintah Indonesia
ingin mengembangkan medical tourism, maka layanan kesehatan di DKI Jakarta harus benar-benar
baik. Jika layanan kesehatan di DKI Jakarta – ibukota RI – saja buruk, apalagi layanan kesehatan di
daerah.

Você também pode gostar