Você está na página 1de 28

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. W.

R
DENGAN CEDERA KEPALA BERAT DI RUANGAN
DAHLIA RSUD BLUD dr. BEN MBOI RUTENG

Ns. SUSANA SURYA SUKUT.S.Kep

RSUD BLUD dr. BEN MBOI RUTENG


2018
BAB 1
PENDAHULUAN

a. LATAR BELAKANG
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan intertisial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Tarwoto, 2007: 125).
Hampir semua orang dalam hidupnya mengalami beberapa bentuk trauma
kepala. Lansia, bayi, dan mereka yang bermasalah seperti penyalahgunaan alkohol,
terapi anti-koagulasi khususnya rentan untuk konsekuensi serius setelah cedera
kepala. Di Indonesia, cedera kepala adalah penyebab utama kecacatan dan kematian
dewasa di bawah usia 40 tahun yang mempunyai dampak penting pada pasien
cedera otak, keluarga dan masyarakat. Berbagai derajat gejala termasuk kehilangan
kesadaran sementara atau permanen, mual, muntah, sakit kepala, pusing, dan hilang
ingatan mungkin tampak terkait dengan keparahan cedera kepala. Tanda dan gejala
cedera kepala mungki terjadi langsung atau berkembang perlahan setelah beberapa
jam hingga hari. Bahkan jika cedera tidak serius ditemukan, pengamatan hati-hati
oleh seorang dewasa yang bertanggung jawab, baik di rumah atau rumah sakit harus
dilakukan dalam 24-48jam pertama setelah cedera.
(Http://www.cederakepala.com/2011)
Pengobatan disesuaikan, tergantung keparahan dan jangkauan cedera. Pengobatan
berkisar mulai observasi tanda memburuk seperti rasa kantuk, meningkatnya sakit
kepala atau pusing (cedera kepala minor) untuk mengambil gumpalan darah pada
otak untuk meringankan tekanan pada otak (disebabkan oleh gumpalan darah) atau
pemasukan monitor tekanan otak (cedera kepala akut). (Tarwoto, 2007).
b. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan studi kasus tentang Cedera Kepala Berat (CKB)
diharapkan perawat mampu memahami tentang asuhan keperawatan
pada pasien dengan cedera kepala berat, serta dapat menerapkan
asuhan keperawatan yang tepat dan komprehensif sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan klien dan memperpendek masa
perawatan klien di rumah sakit.

2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan studi kasus diharapkan:
a. Perawat memahami konsep tentang CKB
b. Perawat mampu memahani tentang asuhan keperawatan dengan CKB
yang meliputi pengkajian, Analisa data, Diagnosa Keperawatan,
Intervensi keperawatan, Implementasi Keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.
c. Perawat memahami asuhan keperawatan CKB sesuai kasus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan
(decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik
dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai
daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera
kepala adalah keadaan dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang
tengkorak, durameter, pembuluh darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma
tumpul maupun trauma tembus.

B. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat
kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala
Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
 GCS 13 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
 GCS 9 – 12
 Saturasi oksigen > 90 %
 Tekanan darah systole > 100 mmHg
 Lama kejadian < 8 jam
 Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
 Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga
tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
“X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka
reaksi verbal diberi nilai “T”.
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu
masuk infeksi intracranial.
b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara
anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi
pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter
daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih
melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody
otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus
cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).
Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,
mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita
tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan :
2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit.
Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit
kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya
kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien
tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan
antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf,
gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1
jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan
jaringan otak yang berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di
daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N.
Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi
kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar
otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat
encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru
– jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya
suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak
dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat
robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis
haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,
occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan
corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri
meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara
durameter dan cortex Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda
meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada
praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak,
karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering
menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga
karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
subduralis haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar
kepala ringan, memar otak dan laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia,
hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada
organ tubuh yang lain.

C. ETIOLOGI
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera
kepala adalah karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan
deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
2. Trauma akibat persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat
olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah
ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20
mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam
keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml/menit/100 gr. Jaringan
otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu
berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung
juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul
rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena
benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,
kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat
terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang
tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema
otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK
normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang
lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio
serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan
oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan
dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). Trauma pada kepala menyebabkan
tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya
getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan
akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh
perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan
menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan
tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga
suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema
cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra
Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam
lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga
masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan
pada 24 – 72 jam setelah injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3
hari kemudian diberikan makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami
penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500 – 3000 TKTP).
f. Pembedahan bila ada indikasi.
H. KOMPLIKASI
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada
saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat
penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1). Keadaan umum
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas bunyi
ronchi.
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi
bradikardi kemudian takikardi.
6). Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7). Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan
selera
8). SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9). Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
N.VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah
N.VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

b. Skala Koma glasgow (GCS)


NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak
1 VERBAL nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak
tepat
5 Orientasi baik
1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
2 MOTORIK 5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
1 Tidak berespon
3 Reaksi 2 Rangsang nyeri
membuka mata 3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
(EYE) 4 Spontan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko perfusi serebral tidak efektif
b. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan
c. Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis
d. nyeri Akut b.d agen cedera fisik
e. Resiko jatuh
.

3. INTERVENSI
BAB III
TINJAUAN KASUS
1.Pengkajian

2. Analisa Data
3. Diagnosa
4.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengkajian-evaluasi
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.SIMPULAN
B. SARAN
NO. TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
a. Setelah dilakukan 1. Kaji kepatenen jalan - Ronki, mengi
asuhan keperawatan napas menunjukan aktivitas
selama 3X24 jam, sekret yang dapat
menimbulkan
diharapkan klien dapat
penggunaan otot-otot
mempertahanakan asesoris dan
patensi napas dengan meningkatkan kerja
kriteria hasil : pernapasan.
a. Bunyi napas vesikuler 2. Beri posisi semifowler. - Membantu
b. Tidak ada spuntum memaksimalkan
c. Masukan cairan ekspansi paru dan
adekuat. menurunkan upaya
pernapasan.
3. Lakukan penghisapan
lendir dengan hati-hati - Pengisapan dan
selama 10-15 menit. membersihkan jalan
Catat sifat-sifat, warna napas dan akumulasi
dan bau sekret. dari sekret. Dilakukan
Lakukan bila tidak ada dengan hati-hati
retak pada tulang untuk menghindari
basal dan robekan terjadinya iritasi
dural. saluran dan reflek
vagal.

4. Berikan posisi semi - Posisi semi prone


pronelateral/miring dapat membantu
atau terlentang setiap keluarnya sekret dan
dua jam. mencegah aspirasi.
Mengubah posisi
untuk merangsang
mobilisi sekret dari
saluran pernapasan.

5. Pertahankan masukan - Membantu


cairan sesuai mengencerkan sekret,
kemampuan klien. meningkatkan
pengeluaran sekret.
6. Berikan bronkodilator - Meningkatkan
IV dan aerosol sesuai ventilasi dan
indikasi. membuang sekret
serta relaksasi otot
halus/spsponsne
bronkus.
b. Setelah dilakukan 1. Pantau frekuensi, - Perubahan dapat
asuhan keperawatan irama dan kedalaman menandakan awitan
selama 3X24 jam, pernapasan. Catat komplikasi pulmo atau
ketidakteraturan menandakan luasnya
diharapkan klien
pernapasan. keterlibatan otak.
mempunyai pola Pernapasan lambat,
pernapasan yang efektif periode aprea dapat
dengan kriteria hasil: menandakan perlunya
a. Pola napas nomal ventilasi mekanis.
(irama teratur, RR = - Kemampuan
16-24 x/menit). 2. Catat kompetensi
reflek GAG dan mobilisasi penting
b. Tidak ada untuk pemeliharaaan
pernapasan cuping kemampuan untuk
melindungi jalan napas jalan napas.
hidung. Kehilangan reflek
c. Pergerakan dada sendiri.
batuk menandakan
simetris. perlunya jalan napas
d. Nilai GDA normal. buatan/intubasi.
PH darah = 7,35-7,45.
PaO2 = 80-100 3. Tinggikan kepala - Untuk memudahkan
tempat tidur sesuai ekspansi paru dan
mmHg.
indikasi. menurunkan adanya
PaCO2 = 35-45 kemugkinan lidah
mmHg. jatuh menutupi jalan
HCO3- = 22-26 m.Eq/L napas.
4. Anjurkan kllien untuk - Mencegah atau
bernapas dalam dan menurunkan
batuk efektif. atelektasis.
5. Beri terapi O2 - Memaksimalkan O2
tambahan. pada darah arteri dan
membantu dalam
mencegah hipoksia.
6. Pantau analisa gas
- Menentukan
darah, tekanan
kecukupan
oksimetri.
pernapasan,
keseimbangan asam
basa.
c. Setelah dilakukan 1. Kaji status neurologis - Hasil dari pengkajian
asuhan keperawatan yang berhubungan dapat diketahui secara
selama 3X24 jam, dengan tanda-tanda dini adanya tanda-
peningkatan TIK, tanda peningkatan TIK
diharapkan klien
sehingga dapat
mempunyai perfusi menentukn arah
jaringan adekuat tindakan selanjutnya
dengan kriteria hasil: serta manfaat untuk
a. Tingkat kesadaran menentukan lokasi,
normal terutama CGS. perluasan dan
(composmetis). perkembangan
b. TTV Normal. keruskan SSP.
(TD: 120/80 mmHg,
- Dapat mendeteksi
suhu: 36,5-37,50C, secara dini tanda-
Nadi: 80-100 anda peningkatan TIK,
x/menit, RR: 16-24 misalnya hilangnya
x/m) autoregulasidapat
2. Monitor TTV; TD, mengikuti kerusakan
denyut nadi, suhu, vaskularisasi selenral
minimal setiap jam lokal. Napas yang
sampai klien stabil. tidak teratur dapat
menunjukkan lokasi
adanya gangguan
serebral.
- Posisi kepala dengan
sudut 15-45o dari
kaki akan
3. Tingggikan posisi meningkatkan dan
memperlancar aliran
kepala dengan sudut
balik vena kepala
15-45o tanpa bantal
dan posisi netral. sehingga mengurangi
kongesti cerebrum,
dan mencegah
penekanan pada saraf
medula spinalis yang
menambah TIK.
- Deman menandakan
adanya gangguan
hipotalamus:
4. Monitor suhu dan atur peningkatan
suhu lingkungan kebutuhan metabolik
sesuai indikasi. Batasi akan meningkatkan
pemakaian selimut TIK.
dan kompres bila de
- Mencegah kelibahan
mam.
cairan yang dapat
menambah edema
serebri sehingga
5. Monitor asupan dan terjadi peningkatan
keluaran setiap TIK.
delapan jam sekali.
- Mengurangi
hipokremia yang
dapat meningkatkan
vasoditoksi cerebri,
6. Berikan O2 tambahan
volume darah dan TIK.
sesuai indikasi.
- Manitol/gliserol
merupakan cairan
hipertonis yang
berguna untuk
7. Berikan obat-obatan menarik cairan dari
antiedema seperti intreseluler dan
manito, gliserol dan ekstraseluler. Lasix
losix sesuai indikasi. untuk meningkatkan
ekskresi natrium dan
air yang berguna
untuk mengurangi
edema otak.
d. Setelah dilakukan 1. Kaji respon sensori - Informasi yang
asuhan keperawatan terhadap panas atau penting untuk
selama 3X24 jam, dingin, raba atau keamanan kllien ,
sentuhan. Catat semua sistem sensori
diharapkan klien
perubahan-perubahan dapat terpengaruh
mengalami perubahan yang terjadi. dengan adanya
persepsi sensori dengan perubahan yang
kriteria hasil: melibatkan
a. Tingkat kesadaran kemampuan untuk
normal. E4 M6V5. menerima dan
b. Fungsi alat-alat berespon sesuai
indera baik. stimulus.
c. Klien kooperatif 2. Kaji persepsi klien, baik - Hasil pengkajian dapat
kembali dan dapat respon balik dan menginformasikan
berorientasi pada koneksi kemampuan susunan fungsi otak
orang, waktu dan klien beroerientasi yang terkena dan
tempat. terhadap orang, membantu intervensi
tempat dan waktu. sempurna.
- Merangsang kembali
3. Berikan stimulus yang kemampuan persepsi-
berarti saat penurunan sensori.
kesadaran.
- Gangguan persepsi
4. Berikan keamanan sensori dan buruknya
klien dengan keseimbangan dapat
pengamanan sisi meningkatkan resiko
tempat tidur, bantu terjadinya injury.
latihan jalan dan
lindungi dari cidera.
- Pendekatan antar
5. Rujuk pada ahli
disiplin dapat
fisioterapi , terapi
menciptakan rencana
deuposi, wicara, terapi
penatalaksanaan
kognitif.
terintregasi yang
berfokus pada
peningkatan evaluasi,
dan fungsi fisik,
kognitif dan
ketrampilan
perseptual.
e. Setelah dilakukan 1. Tentukan riwayat - Informasi akan
asuhan keperawatan nyeri, lokasi, memberikan data
selama 3X24 jam, nyeri intensitas, keluhan dan dasar untuk
durasi. membantu dalam
berkurang atau
menentukan
terkendali dengan pilihan/keeferktifan
2. Monitor TTV.
kriteria hasil: intervensi.
a. Pelaporan nyeri - Perubahan TTV
terkontrol. 3. Buat posisi kepala merupakan indikator
b. Pasien tenang, tidak o
lebih tinggi (15-45 ). nyeri.
gelisah.
- Meningkatkan dan
c. Pasien dapat cukup
melancarkan aliran
istirahat.
balik darah vena dari
kepala sehingga dapat
4. Ajarkan latihan teknik mengurangi edema
relaksasi seperti dan TIK.
latihan napas dalam. - Latihan napas dapat
membantu
pemasukan O2 kebih
5. Kurangi stimulus yang banyak , terutama
tidak menyenangkan untuk oksigenasi otot.
dari luas dan berikan
- Respon yang tidak
tindakan yang
menyenangkan
menyenangkan seperti
menambah
masase.
ketegagngan saraf dan
mamase akan
mengalihkan
rengsang terhadap
nyeri.
f.. Setelah dilakukan 1. Periksa kembali - Mengidentifikasi
asuhan keperawatan kemampuan dan kemungkinan
selama 3X24 jam, keadaan secara kerusakan yang terjadi
fungsional pada secara fungsional dan
diharapkan klien
kerusakan yang terjadi mempengaruhi pilihan
mampu melakukan intervensi yang akan
aktifitas fisik dan ADL dilakukan
dengan kriteria hasil:
a. Klien mampu pulih 2. Kaji tingkat - Seseorang dalam
kemampuan mobilitas setiap kategori
kembali pasca akut mempunyai resiko
dengan skala 0-4
dalam 0: Klien tidak kecelakaan, namun
mempertahankan bergantung orang lain. dengan kategori nilai
fungsi gerak. 1: Klien butuh sedikit 2-4 menpunyai resiko
b. Tidak terjadi yang terbesar untuk
bantuan.
komplikasi , seperti terjadinya bahaya.
dekubitus, 2: Klien butuh bantuan
bronkopnemonia sederhana.
tromboplebitis dan 3: Klien butuh bantuan
kontraktur sendi. atau peralatan yang
c. Mampu banyak.
mempertahankan 4: Klien butuh sangat
keseimbangan fungsi
bergantung pada
tubuh.
orang lain.

- Dapat meningkatkan
sirkulasi seluruh tubuh
3. Atur posisi klien dan
dan mencegah adanya
ubah posisi secara
tekanan pada organ
teratur tiap dua jam
yang menonjol.
sekali bila tidak ada
kejang atau setelah
empat jam pertama. - Mempertahankan
4. Bantu klien melakukan fungsi sendi dan
gerakan sendi secara mencegah resiko
teratur. tromboplebitis.
- Meningkatkan
sirkulasi dan
5. Pertahankan linen
meningkatkan
tetap bersih dan bebas
elastisitas kulit dan
kerutan
menurunkan resiko
terjadinya ekskariasi
kilit
- Mempertahankan
mobilisasi dan fungsi
6. Bantu untuk sendi/posisi normal
melalukan latihan ekstremitas dan
rentang gerak menurunkan
aktif/pasif terjadinya vena statis
- Meningkatkan
kesembuhan dan
membentuk kekuatan
otot
7. Anjurkan klien untuk
tetap ikut serta dalam
pemenuhan
kebutuhan ADL sesuai
kemampuan
g Setelah dilakukan 1. Observasi tanda-tanda - Mengetahui saat
asuhan keperawatan kejang, waktu terjadinya kejang
selama 3X24 jam, untuk antisipasi
2. Pertahankan - Menurunkan
diharapkan klien tidak
penghalang tempat terjadinya trauma
mengalami cedera tidur terpasang
dengan kriteria hasil: 3. Jauhkan benda-benda - Menurunkan
a. Pernyataan yang dapat melukai terjadinya trauma
pemahaman faktor klien
yang trlibat dalam 4. Pertahankan agar lidah - Menurunkan
kemungkinan cedera. tidak tergigit terjadinya trauma
b. Menunjukkan 5. Berikan obat sesuai - Mengendalikan kejang
perilaku , gaya hidup dengan indikasi, misal
untuk menurunkan antikonvulsan
faktor resiko dan
melindungi dari
cedera
c. Mengubah
lingkungan sesuai
indikasi untuk
meningkatkatkan
keamanan

h Setelah dilakukan 1. Pertahankan teknik - Menurunkan resiko


asuhan keperawatan aseptik dan teknik cuci terjadinya infeksi dan
selama 3X24 jam, tangan yang tepat bagi kontaminasi silang
pasien, pengunjung
diharapkan klien tidak
maupun staf.
mengalami infeksi 2. Pantau suhu secara - Peningkatan suhu
dengan kriteria hasil: teratur merupakan salah satu
a. Tidak ada tanda- indikator terjadinya
tanda infeksi, rubor, infeksi
kalor, dolor. 3. Ubah posisi klien - Mencegah kerusakan
b. Suhu tubuh 36,5-37,5 dengan sering. kulit
o
C Pertahankan linen
c. Mencapai tetap kering dan bebas
penyembuhan tepat dari kerutan.
waktu 4. Batasi/hindari - Menurunkan resiko
d. Berpartisipasi dalam prosedur invansif kontaminasi
intervensi dalam 5. Beri antibiotik sesuai - Mengidentifikasi
pencegahan infeksi indikasi infeksi

i.. Setelah dilakukan 1. Inspeksi seluruh area - Kulit biasanya


asuhan keperawatan kulit. Catat adanya cenderung rusak
selama 3X24 jam, kemerahan karena perubahan
sirkulasi perifer,
diharapkan klien tidak tekanan
mengalami infeksi 2. Lakukan perubahan - Meningkatkan sirkulasi
dengan kriteria hasil: posisi sesering pada kulit dan
mungkin mengurangi tekanan
a. Mengidentifikasi
pada daerah tulang
faktor resiko
yang menonjol
individual.
3. Pertahankan linen - mengurangi/mencega
b. Mengungkapkan
tetap kering, bersih h adanya iritasi kulit
pemahaman tentang
dan bebas kerutan
kebutuhan tindakan
4. Tinggikan ekstremitas - Meningkatkan arus
c. Berpartisipasi pada
bawah secara periodik balik vena,
tingkat kemampuan
mencegah/mengurang
untuk mencegah
i pembentukan edema
kerusakan kulit.
5. Masase penonjolan - Meningkatkan sirkulasi
tulang dengan lembut ke jaringan,
menggunakan meningkatkan tonus
krim/lotion vaskuler dan
mengurangi edema
jaringan
j. Setelah dilakukan 1. Ukur haluaran dan BJ - Penurunan haluaran
asuhan keperawatan urin. Catat urin dan BJ akan
selama 3X24 jam, ketidakseimbangan menyebabkan
input dan output. hipovolemia.
diharapkan klien tidak
2. Dorong masukan - Memperbaiki
mengalami infeksi cairan peroral sesuai kebutuhan cairan
dengan kriteria hasil: toleransi
a. TTV dalam batas 3. Pantau tekanan darah - Pengurangan dalam
normal dan denyut jantung sirkulasi volume cairan
TD 120/80 mmHg, dapat mengurangi
nadi 60-100x/menit, tekanan darah,
o
suhu 36,5-37,5 C, RR mekanisme
16-24x/menit kompensasi awal
takikardi untuk
b. Nadi perifer teraba
meningkatkan curah
kuat
jantung dan tekanan
c. Haluaran urin
darah sistemik
adekuat
4. Palpasi denyut perifer - Denyut yang lemah,
mudah hilang dapat
menyebabkan
hipovolemi
5. Kaji membran mukosa, - Merupakan indikator
turgor kulit, dan rasa dari kekurangan
haus volume cairan dan
sebagai pedoman
untuk penatalaksaan
rehidrasi
6. Berikan tambahan - Memperbaiki
cairan parenteral kebutuhan cairan
sesuai indikasi

Você também pode gostar