Dewasa ini makin banyak banyak bermunculan organisasi profesi dari kelompok profesi sejenis dan setiap organisasi makin menyadari perlunya membuat kode etik untuk menjadi pedoman perilaku bagi para anggotanya. Tujuan khusus dari setiap organisasi profesi adalah untuk mengembangkan kompetensi para anggota secara berkelanjutan sekaligus untuk melakukan pengendalian perilaku para anggotanya dengan berpedoman pada kode etik yang telah disepakati bersama. Kelompok-kelompok organisasi profesi seperti ini tidak membeda-bedakan latar belakang status para anggota mereka, baik dari sektor swasta atau sektor publik. Setiap organisasi profesi mempunyai pedoman kode etik untuk menjadi standar/acuan perilaku bagi para anggotanya. Karena banyaknya organisasi profesi yang ada, maka pada kesempatan ini hanya akan dibahas beberapa contoh kode etik dari beberapa organisasi profesi, yaitu profesi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI), Perhimpunan Auditor Internal Indonesia (PAII), Himpunan Psikologi Indonesia, dan Advokat Indonesia. Setelah mempelajari masing-masing kode etik profesi ini, dapat diketahui bahwa: (1) tidak ada sistematika baku dalam penulisan kode etik; (2) terdapat banyak istilah dan konsep yang sama, tetapi pemaknaan atas istilah-istilah atau konsep tersebut bias jadi berbeda; dan (3) banyak konsep dan istilah yang maknanya tumpang-tindih.
Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia(BPK-RI)
Kode Etik BPK dituangkan dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007, serta telah diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2007. Kode Etik ini berlaku untuk Anggota dan Pemeriksa BPK. Anggota BPK dan Pemeriksa BPK mempunyai pengertian yang berbeda menurut pasal 1 ayat 2 dan 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007, yaitu : a. Anggota BPK adalah pejabat Negara pada BPK yang dipilih oleh DPR dan diresmikan berdasarkan Keputusan Presiden. b. Pemeriksa BPK adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengeloaan dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK. Proses penalaran atas kode etik BPK-RI ini dengan mengacu pada cirri-ciri utama suatu profesi. Pasal 2 kode etik BPK mengatur tentang nilai-nilai dasar yang wajib dimiliki oleh anggota dan pemeriksa BPK. Nilai-nilai dasar ini terdiri atas: a. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. c. Menjunjung tinggi indepedensi, integritas, dan profesionalitas. d. Menjunnjung tinggi martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK. Tabel 9.1 Proses Penalaran Kode Etik BPK CIRI PROFESI KODE ETIK BPK 1. Kepentingan Publik Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongan (Pasal 2b) 2. Tanggung Jawab Mengembangkan standar kompetensi tinggi yang menyangkut knowledge, skill, dan attitude 3. Kompetensi Dilihat dari tiga unsure kompetensi (knowledge, skill, attitude): a. Pengetahuan (knowledge) Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (Pasal 1 ayat 8) b. Keterampilan (skill) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) merupakan patokan pemeriksaan yang menyangkut standar umum, standar pelaksanaan pekerjaan, dan standar pelatoran (Pasal 1 ayat 5) c. Sikap perilaku (attitude) Menyangkut diri (pribadi) dan hubungan dengan lembaga/pihak lain. Menyangkut diri (pribadi) Bagi setiap anggota dan pemeriksa wajib mematuhi, memiliki, dan menjunjung nilai-nilai dasar (Pasal 2): Taat pada peraturan (ayat 2) Mengutamakan kepentingan Negara (ayat b) Menjunjung tinggi indepedensi, integritas, dan profesionalitas (ayat c) Menjujung tinggi martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK Hubungan rekan sejawat Menghormati dan memercayai serta saling membantu di antara pemeriksa sehingga dapat bekerja sama dengan baik dalam melaksanakan tugas (Pasal 8 ayat 1g) Hubungan klien Menghindari terjadinya benturan kepentingan (Pasal 6 ayat 1b) Dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat memengaruhi pelaksanaan tigas dan wewenangnya (Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2a) Dilarang membocorkan informasi yang diperolehnya dari auditee (Pasal 6 ayat 2d) Hubungan Lain Dilarang merangkap jabatan pada badan, lembaga, atau perusahaan lain untuk anggota dan pemeriksa (Pasal 3 ayat 2a dan Pasal 6 ayat 2a) Dilarang menjadi anggota partai politik bagi anggota BPK (Pasal 3 ayat 2b) Pengawasan Melalui Majelis Kehormatan Kode Etik (Bab III Pasal 9- 32)
Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode etik yang berlaku bagi Ilmuwan psikologi dan psikolog dibedakan berdasarkan latar belakang pendidikan mereka, di mana latar belakang pendidikan ini menetukan boleh atau tidaknya seseorang melakukan prakyik psikologi. Para Ilmuwan psikologi dalam batas-batas tertentu dapat memberika jasa psikologi, tetapi tidak boleh menjalankan praktik psikologi. Prakti psikologi hanya boleh dilakukan ileh para psikolig. Dengan menggunakan model penalaran pada gambar 9.1 esensi dari kode etik psikolgi dapat dirangkum seperti terlihat pada Tabel 9.4 berikut ini: Tabel 9.4 Ringkasan Proses Penalaran Kode Etik Psikolog Ciri Profesi Kode Etik Psikologi 1. Kepentingan publik Mengabdikan pengetahuan tentang perilaku manusia bagi kesejahteraan manusia (pembukaan) Mengutamakan kepentingan umum daripada pribadi atau golongan ( Pasal 14a) 2. Tanggung Jawab Pentingnya setiap Ilmuwan psikologi mempunyai rasa tanggung jawab menyangkut kompetensi, objektivitas, kejujuran, integritas, bersikap bijak, dan hati-hati. 3. Kompetensi 3.1 Pengetahuan Ilmuwan Psikologi adalah para lulusan perguruan tinggi (Knowladge) dan universitas di dalam maupun luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud Nomor 18/D/0/1993 untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan dapat memberika jasa psikologi, tetapi tidak berhak dan tidak berwenang untuk melakukan praktik psikologi di Indonesia. 3.2 Keterampilan (skill) Psikolog adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikologi); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikologi Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan berhak dan berwenang untuk melakukan praktik psikologi di wilayah hukum Negara Republik Indonesi. Sarjana Psikolog menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai psikolog. Untuk melakukan praktik psikologi , Sarjana Psikolog yang tergolong kriteria ini diwajibkan memiliki izin praktik psikolog sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3.3 Sikap perilaku (attitude) Menyangkut diri Kesadaran diri tentang Pancasila dan UUD 1945 (Pribadi) Mengindahkan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat (Pasal 4a) Menjaga citra profesi (Pasal 4b) Memiliki objektivitas, kejujuran, integritas, bersikap bijak, dan hati-hati (Pasal 2) Hubungan rekan sejawat Saling menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan sejawat (Pasal 5a) Saling memberi umpan balik (Pasal 5b) Saling mengingatkan untuk mencegah pelanggaran kode etik (Pasal 5c) Menghargai karya cipta rekan sejawat/pihak lain (Pasal 15) Hubungan klien Melindungi klien dari akibat yang merugikan sebagai dampak pemberian jasa/praktik yang dilakukan (Pasal 8c) Melindungli kerahasiaan data klien, kecuali ada persetujuan dari klien, atau ada hubungannya dengan pihak berwenang (Pasal 12) Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan pemakai jasa, atau klien dan pihak-pihak terkait (Pasal 8d) Hubungan lain Menghargai kompetensi profesi lain (Pasal 6a) Mencegah pemberian jasa dari pihak yang tidak berkompeten (Pasal 6b) Pengawasan Melalui Majelis Psikologi (Pasal 18) Yanes Hargita 142160187 EA-C
KODE ETIK PROFESI LAINNYA
Keberadaan Berbagai Profesi
Dewasa ini makin banyak banyak bermunculan organisasi profesi dari kelompok profesi sejenis dan setiap organisasi makin menyadari perlunya membuat kode etik untuk menjadi pedoman perilaku bagi para anggotanya. Tujuan khusus dari setiap organisasi profesi adalah untuk mengembangkan kompetensi para anggota secara berkelanjutan sekaligus untuk melakukan pengendalian perilaku para anggotanya dengan berpedoman pada kode etik yang telah disepakati bersama. Kelompok-kelompok organisasi profesi seperti ini tidak membeda-bedakan latar belakang status para anggota mereka, baik dari sektor swasta atau sektor publik. Setiap organisasi profesi mempunyai pedoman kode etik untuk menjadi standar/acuan perilaku bagi para anggotanya. Karena banyaknya organisasi profesi yang ada, maka pada kesempatan ini hanya akan dibahas beberapa contoh kode etik dari beberapa organisasi profesi, yaitu profesi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI), Perhimpunan Auditor Internal Indonesia (PAII), Himpunan Psikologi Indonesia, dan Advokat Indonesia. Setelah mempelajari masing-masing kode etik profesi ini, dapat diketahui bahwa: (1) tidak ada sistematika baku dalam penulisan kode etik; (2) terdapat banyak istilah dan konsep yang sama, tetapi pemaknaan atas istilah-istilah atau konsep tersebut bias jadi berbeda; dan (3) banyak konsep dan istilah yang maknanya tumpang-tindih.
Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia(BPK-RI)
Kode Etik BPK dituangkan dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007, serta telah diumumkan dalam Lembaran Berita Negara Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2007. Kode Etik ini berlaku untuk Anggota dan Pemeriksa BPK. Anggota BPK dan Pemeriksa BPK mempunyai pengertian yang berbeda menurut pasal 1 ayat 2 dan 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2007, yaitu : a. Anggota BPK adalah pejabat Negara pada BPK yang dipilih oleh DPR dan diresmikan berdasarkan Keputusan Presiden. b. Pemeriksa BPK adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengeloaan dan tanggung jawab keuangan Negara untuk dan atas nama BPK. Proses penalaran atas kode etik BPK-RI ini dengan mengacu pada cirri-ciri utama suatu profesi. Pasal 2 kode etik BPK mengatur tentang nilai-nilai dasar yang wajib dimiliki oleh anggota dan pemeriksa BPK. Nilai-nilai dasar ini terdiri atas: a. Mematuhi peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. b. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. c. Menjunjung tinggi indepedensi, integritas, dan profesionalitas. d. Menjunnjung tinggi martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK. Tabel 9.1 Proses Penalaran Kode Etik BPK CIRI PROFESI KODE ETIK BPK 1. Kepentingan Publik Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongan (Pasal 2b) 2. Tanggung Jawab Mengembangkan standar kompetensi tinggi yang menyangkut knowledge, skill, dan attitude 3. Kompetensi Dilihat dari tiga unsure kompetensi (knowledge, skill, attitude): a. Pengetahuan (knowledge) Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (Pasal 1 ayat 8) b. Keterampilan (skill) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) merupakan patokan pemeriksaan yang menyangkut standar umum, standar pelaksanaan pekerjaan, dan standar pelatoran (Pasal 1 ayat 5) c. Sikap perilaku (attitude) Menyangkut diri (pribadi) dan hubungan dengan lembaga/pihak lain. Menyangkut diri (pribadi) Bagi setiap anggota dan pemeriksa wajib mematuhi, memiliki, dan menjunjung nilai-nilai dasar (Pasal 2): Taat pada peraturan (ayat 2) Mengutamakan kepentingan Negara (ayat b) Menjunjung tinggi indepedensi, integritas, dan profesionalitas (ayat c) Menjujung tinggi martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas BPK Hubungan rekan sejawat Menghormati dan memercayai serta saling membantu di antara pemeriksa sehingga dapat bekerja sama dengan baik dalam melaksanakan tugas (Pasal 8 ayat 1g) Hubungan klien Menghindari terjadinya benturan kepentingan (Pasal 6 ayat 1b) Dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun baik langsung maupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat memengaruhi pelaksanaan tigas dan wewenangnya (Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2a) Dilarang membocorkan informasi yang diperolehnya dari auditee (Pasal 6 ayat 2d) Hubungan Lain Dilarang merangkap jabatan pada badan, lembaga, atau perusahaan lain untuk anggota dan pemeriksa (Pasal 3 ayat 2a dan Pasal 6 ayat 2a) Dilarang menjadi anggota partai politik bagi anggota BPK (Pasal 3 ayat 2b) Pengawasan Melalui Majelis Kehormatan Kode Etik (Bab III Pasal 9- 32)
Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode etik yang berlaku bagi Ilmuwan psikologi dan psikolog dibedakan berdasarkan latar belakang pendidikan mereka, di mana latar belakang pendidikan ini menetukan boleh atau tidaknya seseorang melakukan prakyik psikologi. Para Ilmuwan psikologi dalam batas-batas tertentu dapat memberika jasa psikologi, tetapi tidak boleh menjalankan praktik psikologi. Prakti psikologi hanya boleh dilakukan ileh para psikolig. Dengan menggunakan model penalaran pada gambar 9.1 esensi dari kode etik psikolgi dapat dirangkum seperti terlihat pada Tabel 9.4 berikut ini: Tabel 9.4 Ringkasan Proses Penalaran Kode Etik Psikolog Ciri Profesi Kode Etik Psikologi 1. Kepentingan publik Mengabdikan pengetahuan tentang perilaku manusia bagi kesejahteraan manusia (pembukaan) Mengutamakan kepentingan umum daripada pribadi atau golongan ( Pasal 14a) 2. Tanggung Jawab Pentingnya setiap Ilmuwan psikologi mempunyai rasa tanggung jawab menyangkut kompetensi, objektivitas, kejujuran, integritas, bersikap bijak, dan hati-hati. 3. Kompetensi 3.1 Pengetahuan Ilmuwan Psikologi adalah para lulusan perguruan tinggi (Knowladge) dan universitas di dalam maupun luar negeri, yaitu mereka yang telah mengikuti pendidikan dengan kurikulum nasional (SK Mendikbud Nomor 18/D/0/1993 untuk pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi); lulusan pendidikan tinggi strata 2 (S2) dan strata 3 (S3) dalam bidang psikologi, yang pendidikan strata (S1) diperoleh bukan dari fakultas psikologi. Ilmuwan Psikologi yang tergolong kriteria tersebut dinyatakan dapat memberika jasa psikologi, tetapi tidak berhak dan tidak berwenang untuk melakukan praktik psikologi di Indonesia. 3.2 Keterampilan (skill) Psikolog adalah Sarjana Psikologi yang telah mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dengan kurikulum lama (Sistem Paket Murni) Perguruan Tinggi Negeri (PTN); atau sistem Kredit Semester (SKS) PTN; atau pendidikan program akademik (Sarjana Psikologi) dan program pendidikan profesi (Psikologi); atau kurikulum lama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang sudah mengikuti ujian negara sarjana psikologi; atau pendidikan tinggi psikologi di luar negeri yang sudah mendapat akreditasi dan disetarakan dengan psikologi Indonesia oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas RI). Sarjana Psikologi dengan kriteria tersebut dinyatakan berhak dan berwenang untuk melakukan praktik psikologi di wilayah hukum Negara Republik Indonesi. Sarjana Psikolog menurut kriteria ini juga dikenal dan disebut sebagai psikolog. Untuk melakukan praktik psikologi , Sarjana Psikolog yang tergolong kriteria ini diwajibkan memiliki izin praktik psikolog sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3.3 Sikap perilaku (attitude) Menyangkut diri Kesadaran diri tentang Pancasila dan UUD 1945 (Pribadi) Mengindahkan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat (Pasal 4a) Menjaga citra profesi (Pasal 4b) Memiliki objektivitas, kejujuran, integritas, bersikap bijak, dan hati-hati (Pasal 2) Hubungan rekan sejawat Saling menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan sejawat (Pasal 5a) Saling memberi umpan balik (Pasal 5b) Saling mengingatkan untuk mencegah pelanggaran kode etik (Pasal 5c) Menghargai karya cipta rekan sejawat/pihak lain (Pasal 15) Hubungan klien Melindungi klien dari akibat yang merugikan sebagai dampak pemberian jasa/praktik yang dilakukan (Pasal 8c) Melindungli kerahasiaan data klien, kecuali ada persetujuan dari klien, atau ada hubungannya dengan pihak berwenang (Pasal 12) Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan pemakai jasa, atau klien dan pihak-pihak terkait (Pasal 8d) Hubungan lain Menghargai kompetensi profesi lain (Pasal 6a) Mencegah pemberian jasa dari pihak yang tidak berkompeten (Pasal 6b) Pengawasan Melalui Majelis Psikologi (Pasal 18)