Você está na página 1de 18

Perubahan Biokimia Dengan Aktivitas Enzim Oleh Mikroorganisme dan

Kerusakannya Pada Buah Segar Serta Aplikasinya Dalam Meningkatkan


Produk Buah
Mutiara Nabila (240210150004), Andriyani Santika Dewi (240210150017),
Yushini Ayu Laras (240210150051), dan Shafira Aulia Rahmah (240210150067)
Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Jalan
Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 45363 Telp. (022)
7798844, 779570 Fax. (022) 7795780

ABSTRAK

Kata Kunci :

ABSTRACT

Keyword :

PENDAHULUAN
Buah-buahan adalah salah satu jenis komoditi hortikultura yang tersedia
dengan jumlah yang besar dan beragam. Keunggulan cita rasa yang dimiliki buah-
buahan Indonesia tidak kalah dengan buah-buah dari negara lainnya. Kelemahan
dari produk buah-buahan ini adalah mudah rusak atau dapat dikatakan masa
simpannya singkat, sementara ketika sedang musim, produksinya dapat meningkat
tajam. Hal tersebut menyebabkan komoditi hortikultura mudah busuk dan
terbuang.
Perubahan biokimia pada buah dapat disebabkan oleh enzim yang
dihasilkan oleh aktivitas mikroorganisme pada buah. Enzim itu sendiri
merupakan suatu protein yang mempunyai aktivitas katalitik yang bersifat spesifik
mengubah substrat menjadi produk dengan jalan menurunkan energi aktivasi.
Enzim yang lengkap dengan semua komponennya disebut holoenzim, enzim yang
hanya terdiri dari protein saja disebut apoenzim, dan enzim yang terdiri dari
bagian non-protein disebut kofaktor. Senyawa yang diubah dalam reaksi yang
dikatalisis enzim disebut substrat (deMan, 1997).
Efek yang ditimbulkan oleh enzim hasil mikroorganisme adalah perubahan
warna, aroma, tekstur, rasa, dan kandungan di dalam buah. Perubahan biokimia
tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada komoditi buah ketika buah terus
mengalami pematangan tanpa dilakukan pengolahan lebih lanjut, namun aktivitas
enzim dari mikroorganisme tidak hanya dapat menyebabkan kerusakan pada buah,
diketahui bahwa enzim hasil kerja mikroorganisme dapat digunakan untuk
meninkatkan kualitas atau mutu produk buah, seperti enzim pektinase yang dapat
menjernihkan jus buah. Pengolahan buah-buahan menjadi produk yang memiliki
masa simpan lebih lama, namun tidak dipungkiri perubahan biokimia masih dapat
terjadi pada buah-buahan yang sudah mengalami pengolahan lebih lanjut akibat
aktivitas enzim oleh mikroorganisme.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perubahan biokimia
dengan aktivitas enzim dari mikroorganisme pada buah, kerusakan yang
disebabkannya, dan apikasinya dalam meningkatkan produk buah.

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Biokimia Pada Buah Hasil Enzim dan Mikroorganisme


2.1.1 Enzim Amilase
Enzim amilase merupakan enzim dalam buah yang menyebabkan rasa
buah akan bertambahan manis dan tidak kecut, karena kandungan pati yang masih
berwujud karbohidrat kompleks di ubah menjadi gula sederhana (monosakarida)
yang mudah dicerna. Pati merupakan cadangan karbohidrat pada tanaman
berbentuk granula-granula tak larut yang tersusun dari dua macam molekul
polisakarida yaitu amilosa dan amilopektin, umumnya ditemukan pada umbi, akar
dan biji. Gula reduksi terutama dalam bentuk glukosa diperoleh dari hidrolisis pati
oleh enzim amilase yang terdapat pada kapang Rhizopus. Selain dari pati, glukosa
dapat diperoleh dari hidrolisis isoflavon glikosida oleh kapang Rhizopus (Septiani
dkk., 2004). pH untuk enzim acid fungal amilase optimum pada 4 – 5 dan untuk
enzim glukoamilase pada 3,5 – 5 (Novo,1995).
Enzim α-amilase (α-1,4 glukan-4-glukanhidrolase) merupakan salah satu
jenis enzim yang berperan atau berfungsi menghidrolisis atau memecah molekul-
molekul pati menjadi molekul-molekul lain yang lebih sederhana seperti dekstrin,
maltosa, maltotriosa dan glukosa. Mekanisme kerja dari enzim α-amilase adalah
dengan cara memecah ikatan α1,4 glikosidik rantai glukan pati dari sebelah
dalam. Mekanisme enzim amilase dalam mengubah pati menjadi gula sederhana
sebagai berikut:

PATIm

memecah ikatan α1,4 glikosidik


DISAKARIDA (maltosa
atau maltotriosa)

MONOSAKARIDA
(glukosa, fruktosa)

Hidrolisis amilosa oleh a-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama
adalah degradasi menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak.
Degradasi ini terjadi secara cepat diikuti pula dengan menurunnya viskositas
dengan cepat. Tahap kedua relatif lambat dengan pembentukan glukosa dan
maltosa sebagai hasil akhir. Sedangkan untuk amilopektin, hidrolisis dengan a-
amilase menghasilkan glukosa, maltosa dan berbagai jenis a-limit dekstrin yang
merupakan oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang semuanya
mengandung ikatan a-1,6 glikosidik (Suhartono, 1989).
Perubahan pematangan buah akibat dari kerja enzim amilase dapat dilihat
dalam jurnal berjudul “Magnitude of Changes in the Activity of Amylases and
Cellulase and its Association with the Biochemical Composition during
Maturation and Ripening of Banana (Musa spp.)”
Hasil pengamatan pada jurnal menunjukan Aktivitas amilase yang sangat
tinggi diketahui dari 92 (103,40 ± 8,20 * Unit) sampai hari ke 96 (51,78 ± 2,26
Unit)) dan bertanggung jawab atas degradasi pati pada tahap awal proses
pematangan buah. Aktivitas amilase kemudian berangsur-angsur menurun ke
tahap yang terlalu matang (12,67 ± 1,30 * Unit pada hari ke 100 dan 5,78 ± 0,37
pada hari ke 102) pada saat itu pati telah ditransformasikan menjadi gula larut.
Aktivitas rendah selama tahap awal pengembangan buah dan pematangan buah
dan aktivitas tinggi secara signifikan selama tahap pemasakan buah secara jelas
menetapkan peran enzim amilase dalam transformasi pati menjadi gula larut pada
buah pisang (Mohan et al., 2014).
Rasa manis buah pisang terutama disebabkan oleh tingginya konsentrasi
fruktosa yang terbentuk saat pemasakan. Konsentrasi fruktosa yang tiba-tiba
selama pematangan dikaitkan dengan degradasi sukrosa dan pati sehingga secara
keseluruhan meningkatkan konsentrasi gula larut terutama Fruktosa. Pada tahap
buah yang belum matang (buah-buahan lunak) ditandai dengan sedikit pati dan
bila menumbuhkan akumulasi pati terjadi. Ketika buah yang mulai memanggang
pati akan terdegradasi ke gula larut terutama fruktosa, dinding sel akan
terdegradasi dan akibatnya buah menjadi manis dan lembut (Mohan et al., 2014).
2.1.2 Enzim Klorofilase
Enzim khlorofilase merupakan enzim yang secara alami sudah berada pada
buah. Enzim klorofilase adalah enzim yang terdapat pada buah yang dapat
menyebabkan terjadinya degradasi klorofil. Enzim klorofilase merupakan satu-
satunya enzim yang dapat mengkatalis degradasi klorofil (Manurung, 2011).
Enzim klorofilase adalah jenis enzim esterase yang memiliki sifat unik, diman
pada suhu kamar enzim ini hanya aktif jika ada pelarut-pelarut organik, sedangkan
dalam pelarut air, fungsi enzim akan optimum pada kisaran suhu 65-75oC, diduga
hal ini diakibatkan oleh keadaan enzim yang secara fisik terikat pada lipoprotein
lamella (Gross, 1991). Menurut laporan Mac Kinney dan Weast dalam Sari (2005)
bahwa aktifitas maksimum dari enzim klorofilase adalah 750C. Jones et al dalam
Sari (2005) melaporkan bahwa blansir pada suhu 1000C selama 4 detik secara
nyata menginaktivasi enzim klorofilase.
Klorofilase merupakan sebuah esterase dimana secara in vitro dapat
mengkatalis pemecahan phytol dari klorofil membentuk klorofilides dan
kemudian Mg yang terikat akan terlepas membentuk pheophorbide. Derivat
klorofil yang terbentuk ketika dilakukan proses pemanasan dapat dikelompokkan
menjadi dua, berdasarkan ada/tidaknya atom magnesium di tengah tetrapirol.
Derivat yang mengandung Mg berwarna hijau, sedangkan yang tidak mengandung
Mg berwarna kecoklatan. Jika ada ion seng atau tembaga, akan terbentuk
kompleks seng atau tembaga yang berwarna hijau. Atom magnesium pada klorofil
mudah digantikan oleh ion hidrogen, yang akan menghasilkan warna coklat
feofitin. Reaksi ini merupakan reaksi irreversible dalam larutan air (Fennema,
1996).

Klorofil (Hijau)

Klorofilase

Klorofilid

Mg
Pheophorbide (Hijau
Kecoklatan)

Pada buah berwarna hijau terdapat enzim klorofilase yang dapat


menghidrolisa rantai fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk klorofilid.
Klorofilid merupakan senyawa yang berwarna hijau, mempunyai sifat spektral
yang sama dengan klorofil, tetapi lebih larut dalam air. Klorofilid juga dapat
kehilanganion magnesium yang diganti dengan ion hidrogen membentuk
feoforbid (Clydedale dan Francis, 1976).
Klorofil dapat dengan mudah dihidrolisis untuk menghasilkan klorofilid
dan fitol. Hidrolisis terjadi di bawah kondisi asam maupun basa. Biasanya
klorofilid terbentuk secara enzimatik oleh klorofilase. Konversi sempurna menjadi
turunan yang bebas fitol dapat diversifikasi dengan memeriksa ketidaklarutannya
dalam petroleum eter (Gross, 1991).
Reaksi feofitinisasi adalah reaksi pembentukan feofitin yang berwarna
hijau kecoklatan. Reaksi ini terjadi karena ion Mg di pusat molekul klorofil
terlepas dan digantikan oleh ion H. Denaturasi protein pelindung dalan kloroplas
mengakibatkan ion magnesium mudah terlepas dan digantikan oleh ion hidrogen
membentuk feofitin. Ion Mg2+ dari klorofil akan semakin banyak lepas dengan
proses pemanasan serta pengaruh keasaman. Peristiwa ini terjadi karena protein
yang mengadakan ikatan kompleks dengan molekul klorofil mengalami
denaturasi, sehingga sumbangan ikatan yang berasal dari ligan protein dalam
mempertahankan Mg2+menjadi berkurang (Clydedale dan Francis, 1976).

Dikutip dalam jurnal “Triton X-100 Reacts With Chlorophyll In The


Presence Of Chlorophyllase” dibahas bahwa Klorofilase transesterifikasi klorofil
dengan surfaktan Triton X-100. Triton X-100, alkohol utama, dengan adanya
Chlase dapat dengan mudah menggantikan kelompok pengester esterifikasi alami
(Phytyl, Farnesyl, Geranylgeraniol) untuk menghasilkan turunan klorofil yang
mengandung Triton X-100 transesterifikasi. Ester Tritonyl Chlorophyllide mudah
terdispersi dalam air, dan menawarkan kemungkinan unik untuk perancangan
sistem klorofil berair.
Penghambatan dalam reaksi klorofil CHlase di hadapan Triton X-100
kemungkinan disebabkan oleh reaksi transesterifikasi yang kompetitif dimana
deterjen adalah substratnya. Akumulasi Ester Tritonyl Chlorophyllide hanya
terjadi pada turunan klorofil atau klorofil yang tidak memiliki kelompok
karbometoksik pada cincin V. Triton X-100 telah banyak digunakan dalam
pembuatan protein membran fotosintesis dari bahan tanaman dan bakteri,
biasanya pada konsentrasi di bawah 0,2%. Tingkat hidrolisis katalis-katalis Chl
pada kloroplas dan kompleks protein klorofil bergantung pada kehadiran Triton
X-100. Setiap Ester Tritonyl yang mungkin terbentuk di hadapan Chlase akan
sulit dideteksi karena hidrolisis berikutnya dari Ester Tritonyl dari Chl a dan BChl
a. Kelarutan turunan klorofil baru dalam air harus memungkinkan untuk
mempelajari sistem klorofil berair yang mengandung komponen yang larut dalam
air seperti protein. Oleh karena itu, dengan adanya Triton X-100 atau kelompok
alkohol primer lainnya, transesterifikasi yang melibatkan spesies klorofil dapat
terjadi.

2.1.3 Enzim Pektinase


Beberapa spesies mikroorganisme seperti Bacillus, Erwinia,
Kluyveromyces, Aspergillus, Rhizopus, Trichoderma, Pseudomonas, Penicillium
dan Fusarium adalah produsen pektinase yang baik (De Gregorio, et al., 2002). Di
antara mikroorganisme yang mensintesis enzim pektinolitik, jamur, terutama
jamur filamen, seperti Aspergillus niger dan Aspergillus carbonarius dan Lentinus
edodes, lebih disukai di industri karena sekitar 90% enzim yang dihasilkan dapat
disekresikan ke dalam medium kultur (Blandino et al., 2001).
Pektinase adalah nama umum dari kelompok enzim yang mengatalisis
hidrolisis ikatan glikosidik pada polimer pektat (Rangarajan 2010) atau enzim
yang berperan dalam degradasi substansi pektin (Heerd et al., 2012). Menurut
Oyeleke (2012), pektinase merupakan enzim komersial yang dapat merusak
pektin (substrat polisakarida) dengan cara memecah asam poligalakturonat
menjadi asam monogalakturonat melalui pelepasan ikatan glikosidik. Pedrolli et
al. (2009) menjelaskan selain mengatalisis degradasi zat pektat (pektin) melalui
depolimerisasi (hidrolase dan liase), pektinase juga dapat merombak zat pektat
(pektin) tersebut melalui reaksi diesterifikasi (esterase).
Polygalacturonan adalah komponen karbohidrat penting dari jaringan pektin
yang terdiri dari dinding sel tanaman. Enzim pektinase sebagai katalisis hidrolisis
ikatan α-1,4-glikosidik pada asam galakturonat membentuk pada D-galakturonat.
Enzim poligalakturonase ini bekerja dengan menghidrolisis asam pektat (pectic ac
is) seperti menghidrolisa asam pektinat (pectinic acid) dengan membuka ikatan
glikosida yang disebabkan potongan secara acak (Jermyn dan Tomkins
dalamSatiawihardja, 1992). Melalui proses ini, ia melembutkan dinding sel dan
meningkatkan hasil ekstrak jus dari buah. Enzim pektinase juga dapat
menyebabkan pelunakan yang umumnya pada buah-buahan.

Pektin

Asam
poligalakturonat

Hidrolisis ikatan glikosidik

Asam monogalakturonat

Gambar 1. Diagram Mekanisme Pelunakan Buah Oleh Enzim Pektinase


(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)

2.1.4 Enzim Hidrolase


Buah dapat mengeluarkan aroma khas setelah dipetik atau didiamkan
selama beberapa hari akibat perubahan senyawa organik dalam buah yang
terkonversi menjadi senyawa aromatik yang mudah menguap ke udara, proses ini
terjadi oleh enzim hidrolase. Hidrolase memotong ikatan α-1,4 glikosidik asam
poligalakturonat dengan hidrolisis.

Dikutip dalam jurnal, analisis umum variasi jumlah dan kandungan


senyawa aromatik dalam sampel tiga buah anggur menunjukkan bahwa senyawa
yang berbeda secara signifikan pada berbagai anggur adalah ester, yang
merupakan penyumbang utama perbedaan jumlah senyawa aromatik. Secara
umum, senyawa aromatik lebih banyak dan kandungan ester, aldehida, dan keton
relatif lebih tinggi pada anggur rasberi dan murbei daripada pada anggur stroberi.
Dalam penelitian ini, jumlah dan kandungan ester, asam, keton dan aldehid, yang
merupakan senyawa aromatik yang ada dalam jumlah kecil, berbeda secara
signifikan untuk berbagai anggur. Berdasarkan pertimbangan yang disajikan di
atas, perbedaan aroma pada tiga buah anggur berpotensi terutama diatur oleh
perbedaan kandungan relatif dan total senyawa aromatik (Yiming Feng at al,
2015).
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa senyawa yang berkontribusi
terutama terhadap rasa adalah aroma buah yang terutama dihasilkan oleh senyawa
alkohol dan ester pada anggur stroberi. Chen (2010) menganalisis komponen
aroma mulberry dari varietas yang berbeda, dan menemukan bahwa komponen
aroma terutama meliputi asam lemak tinggi, ester asam lemak, alkohol lemak,
alkohol aromatik, asetaldehida, keton alifatik, dan lain-lain. Ditemukan juga
kandungan relatifnya. Asam lemak tinggi, yang merupakan prekursor penting
untuk pengembangan aroma, sangat tinggi. Aldehida, nonanal, heksanol, 3-metil-
butanol, 2,3-butanadiol, feniletanol, dan 3-hidroksi-2-butanon adalah unsur utama
aroma buah murbei dan memberi aroma buah murbei, bunga, dan hijau.
2.1.5 Kerusakan akibat enzim hasil mikroorganisme pada buah
Kualitas buah dapat menurun saat pematangan hingga mencapai tahap
lanjut dan terjadinya kerusakan. (Bapat et al., 2010). Salah satu contoh enzim dari
hasil mikroorganisme yang telah disebutkan diatas adalah enzim pektinase.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, enzim pektinase dihasilkan oleh beberapa
spesies mikroorganisme seperti Bacillus, Erwinia, Kluyveromyces, Aspergillus,
Rhizopus, Trichoderma, Pseudomonas, Penicillium dan Fusarium adalah
produsen pektinase yang baik (De Gregorio, et al., 2002).
Aktivitas mikroorganisme dalam buat tersebut menghasilkan enzim
pektinase yang dapat menyebabkan pelunakan buah sehingga buah mengalami
kerusakan. Mekanisme kerusakan buah akibat enzim pektinase terjadi melalui
perombakan pektin. Ketegasan dan juiciness adalah komponen tekstur yang paling
penting dalam hal buah berdaging (Toivonen dan Brummell, 2008). Kedua ciri
tersebut sangat ditentukan oleh karakteristik sel parenkim (bentuk dan ukuran,
ketebalan dinding sel dan kekuatan, turgor sel) dan luas dan kekuatan daerah
adhesi antara sel yang berdekatan (Harker et al., 1997). Selama pematangan,
dinding sel parenkim dirombak, sehingga mengubah sifat mekaniknya, dan adhesi
sel berkurang secara signifikan akibat pelepasan lamella tengah. Modifikasi
dinding sel dan lamella tengah menyebabkan pelunakan buah. Semakin lama buah
mengalami pematangan tanpa dilakukan perlakuan lebih lanjut maka aktivitas
mikrroganisme dalam buah akan semakin bertambah dan buah pun akan
mengalami kerusakan.
Namun, selain dapat menyebabkan kerusakan pada buah, enzim pektinase
banyak diaplikasikan pada produk buah yaitu berbagai jus buah yang berfungsi
untuk memperbaiki mutu jus tersebut. Mekanisme enzim pektinase dalam
memperbaiki mutu produk buah sebagai berikut.

2.2 Aplikasi Enzim Pektinase pada Produk Buah


2.2.1 Jus Buah
2.2.1.1 Enzim Pektinase Pada berbagai Jus Buah
Pektinase adalah kelompok enzim yang mendegradasi substansi yang
mengandung pektin menjadi fraksi yang lebih kecil sehingga mengakibatkan
pengurangan viskositas, mengurangi pembentukan gel dan meningkatkan
konsentrasi jus (Screenath et al., 1987). Oleh karena itu, penggunaan enzim
pektinase dalam klarifikasi jus ini diharapkan dapat mengurangi pembentukan gel
pada jus. Karena hasil perasan jus akan berubah menjadi gel ketika dibiarkan
beberapa saat tanpa perlakuan tertentu.
Aplikasi utama dari enzim pektinase terletak pada industri pengolahan jus
selama ekstraksi, klarifikasi dan tahap konsentrasi (Martin, 2007). Enzim juga
digunakan untuk mengurangi kepahitan yang berlebihan pada kulit jeruk,
mengembalikan rasa yang hilang saat pengeringan dan memperbaiki stableness
olahan buah persik dan acar.
Kelebihan pektinase dalam jus meliputi, misalnya, klarifikasi jus, produk
pekat, pulp dan purees; penurunan total waktu dalam ekstraksi; peningkatan
produksi jus dan produk pekat stabil dan pengurangan limbah pulp; penurunan
biaya produksi; dan kemungkinan pengolahan berbagai jenis buah (Uenojo dan
Pastore 2007). Misalnya, dalam produksi jus buah markisa, enzim ditambahkan
sebelum filtrasi ketika hidrolisis enzimatik struktur tanaman terjadi. Hal ini
menyebabkan degradasi padatan tersuspensi dan penurunan viskositas,
mempercepat keseluruhan proses (Paula, et al., 2004).
Pektinase terdapat secara alami pada organisme dan telah banyak diisolasi
dari fungi seperti Aspergillus indicus, A. flavus, A. niveus (Angayarkanni et al.
2002), dan juga dari bakteri seperti Erwinia carotovora, E. crysanthemi
(Sittidilokratna et al. 2007), Bacillus sphaericus (Jayani et al., 2010).
Mekanisme enzim pektinase dalam menjernihkan jus jeruk adalah dengan
Melepaskan hubungan α (1,4)-glikosidik dengan transmitinasi, yang
menghasilkan galakturonida dengan ikatan tak jenuh antara C4 dan C5 pada
nonreducing akhir asam galakturonat. Mekanisme enzim pektinase dalam
menjernihkan jus jeruk adalah sari buah yang diperoleh disaring dengan saringan
100 – 150 mesh, selanjutnya ditambahkan dengan enzim pektinase. Enzim pektin
metil esterase dari pektinase akan menghidrolisis pektin di dalam sari buah
menjadi metanol dan asam poli galakturonat. Enzim poli galakturonase
menghidrolisa asam poligalakturonat menjadi asam monogalakturonat. Kemudian
sari buah ini dipisahkan dari endapannya dengan cara filtrasi atau sentrifusi dan
dipasteurisasi pada suhu 180 – 1900 F selama 2 menit (Tressler dan Woodroof,
1976).

PEKTIN PADA SARI


BUAH KERUH

+ Enzim pektinase

Metanol dan asam


galakturonat

+Enzim poli galakturonase

Monogalakturonat

Bauman (1981), menetapkan bahwa ada tiga fase dalam penjernihan yaitu
destabilisasi, koagulasi dan sedimentasi. Dalam penjernihan juice, pektin harus
cukup terhidrolisis sehingga tidak mempengaruhi fase koagulasi penjernihan.
Degradasi pektin sangat penting sewaktu filtrasi, sebab jika tidak terdegradasi
pektin akan menyumbat filter. Filtrasi biasanya dilakukan setelah hidrolisa pektin
sempurna. Depektinisasi efisien untuk menjaga stabilitas kejernihan juice terhadap
terbentuknya kekeruhan setelah pembotolan selama penyimpanan pada temperatur
rendah. Peningkatan waktu atau peningkatan tingkat enzim yang digunakan sering
membantu mengatasi problem tersebut. Degradasi dari pektin terlarut akan
menurunkan viskositas, mempercepat pengendapan partikel yang terkoagulasi,
mencegah terbentuknya gel pada pembuatan konsentat dan menstabilkan
konsentat.
Penjernihan sari buah dengan enzim pektinase ini tergantung dari jumlah
enzim yang ditambahkan, suhu dan waktu proses. Misalnya pada penjernihan sari
buah apel sebanyak 100 gallon dengan menggunakan pektinol A (nama dagang
dari pektinase) sebanyak 12 – 14 “ounce” pada suhu 15,6 – 18,30 C dibutuhkan
waktu selama 12 – 15 jam. Pektinol A aktif pada selang suhu 0 – 600 C dengan
suhu optimal 37,80 C.
Dikutip dari jurnal “Purification and characterization of pectinase produced
from Apple pomace and evaluation of its efficacy in fruit juice extraction and
clarification” dapat disimpulkan bahwa apel dapat berfungsi sebagai substrat
untuk produksi metil esterase. Enzim bisa berhasil dan menunjukkan kondisi
stabilitas yang berbeda. Ini bisa jadi merupakan ekstraksi jus dan juga untuk
peningkatan kualitas sensorik tanpa alat karakteristik fisiko-kimia plum, peach,
pir, dan jus aprikot. Pektin metil esterase dalam ekstrak kasar dimurnikan antara
20-80% amonium sulfat (Gambar 1). Seiring konsentrasi amonium sulfat
dinaikkan dari nol menjadi 80%, aktivitas PME (unit / g) meningkat dari 8,25
menjadi 21,50 U / g (kenaikan 160,6%). Kandungan protein terlarut dalam ekstrak
kasar (62 mg / ml) turun menjadi 21 m pada fraksi amonium sulfat 80%. Hasil ini
serupa dengan yang dilaporkan sebelumnya dimana mereka melaporkan
pemurnian PME 2,4 kali lipat dari buah apel menggunakan fraksinasi 2SO4(NH4).
Hasil 30% dari pektinase yang dimurnikan dengan fraksinasi (NH4)2SO4 telah
dilaporkan sebelumnya.

2.2.2 Wine
2.2.2.1 Enzim Pektinase Pada Wine
Enzim pektinase digunakan terutama pada varietas merah, fungsi pektinase
dengan memecah dinding sel kulit anggur merah, sehingga mengeluarkan
antosianin (komponen warna dalam anggur merah) dan tanin. Ini kemudian
membantu meningkatkan intensitas warna secara keseluruhan serta stabilitas
warna anggur, dengan membiarkan antosianinikat dengan tanin, dan juga
strukturnya. Manfaat tambahan dari perawatan pektinase adalah bahwa partikel
mengendap lebih cepat. Tindakan pektinase pada molekul pektin bermuatan
negatif memperlihatkan padatan anggur bermuatan positif, yang menyebabkan
daya tarik dan peningkatan flokulasi.
Dalam anggur merah, tanin dan antosianin adalah kelas fenolik yang
paling penting. Tanin berkontribusi pada rasa anggur tetapi dapat juga
membentuk polimer berpigmen yang berasosiasi dengan antosianin untuk
menyediakan pigmen stabil yang dibutuhkan untuk memberi warna merah pada
anggur jangka panjang. Anthocyanin Anggur adalah pigmen merah, terletak di
lapisan eksternal pertama dari jaringan hypodermal dan terutama di vakuola
(Barcelo et al. 1994), serta khusus struktur yang disebut anthocyanoplasts (Pecket
& Small 1980). Aspek visual dari anggur merah, dijelaskan oleh warna,
kecerahan, kekeruhan atau kekeruhan, dll adalah salah satu yang paling penting.
Dalam beberapa terakhir tahun, beberapa praktik enologis diterapkan untuk
meningkatkan kualitas anggur difokuskan untuk mendukung ekstraksi bahan
pewarna.
Efek penambahan pektinase pada pengolahan dan kualitas anggur. Enzim
pektolitik adalah enzim-enzim komersial pertama yang digunakan dalam industri
anggur (Rombouts & Pilnik 1980). Perlakuan enzim pektolitik dari anggur merah
dapat mempercepat ekstraksi pigmen dan fenol. Perlakuan enzim menghasilkan
warna yang lebih terang, lebih cemerlang, dan warna yang stabil sangat
meningkat. Hambatan terhadap penyebaran antosianin, tanin dan aroma yang
terdapat pada sel kulit. Jadi, untuk melepaskan isi sel, polisakarida yang
ditemukan di dinding sel pekto-selulosa dan Selubung tengah berry harus
dihidrolisis. Untuk melemahkan dinding sel dan memudahkan difusi kandungan
vakuola, aktivitas hemi-selulosa sekunder juga dibutuhkan untuk aktivitas
pektolitik yang dibutuhkan. Dua sediaan enzim (Scottzyme Color Pro dan Color
X) menghasilkan anggur dengan konsentrasi antosianin dan fenol total yang lebih
tinggi, dan lebih besar intensitas warna dan kejernihan visual dibandingkan
dengan anggur kontrol [Watson et al. 1999a].
Kandungan anggur yang diolah enzim juga telah meningkatkan intensitas
aroma dan rasa, dan meningkatkan kepahitan. Perlakuan ini menghasilkan
peningkatan pada karakteristik organoleptik (warna). Persiapan Vinozym Vintage
FCE dan Rot Rot Trenolin menunjukkan ekstraksi yang lebih intensif dari pigmen
anggur merah (anthocyanin) dan peningkatan intensitas warna [Mojsov et al.
2010]. Pada tahun 1994, Australian Wine Research Institute mengadakan sebuah
penelitian meninjau kembali kinerja berbagai sediaan enzim pektis yang tersedia
secara komersial dengan sehubungan dengan efek warna merah dan warna anggur
[Leske 1996]. Investigasi ini berusaha untuk menilai keabsahan hipotesis bahwa
penggunaan enzim pektis menghasilkan:
1. Ekstraksi warna yang lebih besar selama fermentasi anggur merah
2. Ekstraksi warna lebih cepat selama maserasi dan fermentasi anggur merah
3. Ekstraksi warna yang lebih besar dari anggur merah pada saat menekan
dan
4. Memperbaiki klarifikasi anggur. Hasil yang diolah dengan enzim tidak
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada yang diukur parameter
pada setiap tahap pengolahan bila dibandingkan dengan sampel kontrol
secara mencolok.
Penjernihan dilakukan untuk menghilangkan partikel yang mengganggu
kenampakan wine. Proses klarifikasi ini terdiri dari penghilangan partikel kasar
yang berukuran 5 – 10 mikrometer dan penghilangan partikel yang berukuran 1 –
4 untuk menjernihkan wine. Pada proses ini dibantu oleh enzim pektinase.
Partikel pada must anggur memiliki pektin secara alami maupun yang
ditambahkan, menjadikan muatannya negatif. Karena pektinase mendegradasi
ikatan pada must, sehingga partikelnya ada yang bermuatan positif. Partikel yang
muatannya berlawanan dapat bergabung dan terjadilah flokulasi. Partikel yang
berat molekulnya lebih besar akan mengendap di bagian bawah sehingga
memudahkan untuk menjernihkan wine.

2.2.2.2 Bakteri Asam Laktat Pada Wine


Kerusakan wine secara mikrobiologi dapat disebabkan oleh Bakteri Asam
Laktat (BAL) dari jenis Leuconostoc, pediococcus, dan Lactobacillus. Bakteri
jenis ini dapat memetabolisme gula, asam, dan unsur lain yang ada dianggur
menghasilkan beberapa senyawa yang menyebabkan pembusukan. Setelah
fermentasi alkohol selesai, maka secara alami akan terjadi proses MLF
(Malolactic Fermentasi) yang dilakukan oleh BAL. Reaksi ini mengubah
dekarboksilasi L-malic acid menjadi L-lactic acid dengan menurunkan kadar
keasaman wine dan menaikkan pH antara 0,3 sampai 0,5. Setelah proses MLF
selesai, maka kehidupan dari BAL tergantung pada komposisi wine dan
bagaimana wine ditangani. Jika wine memiliki pH tinggi (> 3,5) dan SO2 tidak
memadai, maka bakteri BAL dapat tumbuh dan merusak wine atau penyebab
kebusukan (Murli, 2007).
KESIMPULAN
Enzim yang terdapat alami pada buah maupun hasil mikroorganisme dapat
menyebabkan perubahan biokimia pada buah segar, perubahan tersebut dapat
menyebabkan kerusakan pada buah jika buah tidak dilakukan pengolahan lebih
lanjut. Salah satu contoh enzim hasil mikroorganisme yang dapat menyebabkan
kerusakan pada buah segar adalah enzim pektinase dimana dapat menyebabkan
pelunakan pada buah, namu ternyata selain dapat menyebabkan kerusakan pada
buah segar, enzim pekinase dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan kualitas atau
mutu produk buah seperti pada jus buat ataupun pada wine.

DAFTAR PUSTAKA

Almeida, C.; Brányik, T.; Moradas-Ferreira, P.; Teixeira, J. (2005). Process


Biochem., 40, 1937.
Bapat VA, Trivedi PK, Ghosh A, Sane VA, Ganapathi TR, Nath P. Ripening of
fleshy fruit: molecular insight and the role of ethylene. Biotechnology
Advances. 2010;28:94–107.
Blandino, A.; Dravillas, K.; Cantero, D.; Pandiella, S. S.; Webb, C.(2001).
Process
Chen J, Kan J, Yang RS. Gas chromatography-mass spectrometric analysis of
aroma components in mulberry from different varieties. Food Sci.
2010;31:E239–43
Clydesdale FM, Francis FJ. 1976. Pigments. In: Fennema OR (ed). Principles of
Food Science. New York: Marcel Dekker, Inc.
Da Silva, E. G.; Borges, M. F.; Medina, C.; Piccoli, R. H.; Schwan, R. F.; (2005)
FEMS Yeast Res. 5, 859.
Decao Ma, Xia Yan, Qianqian Wang, Yanan Zhang, Yongsheng Tao. 2017.
Performance Of Selected P. Fermentans and Its Excellular Enzyme In Co-
Inoculation With S. Cerevisiae For Wine Aroma Enhancement. LWT -
Food Science and Technology 86 (2017) 361-370
De Gregorio, A.; Mandalani, G.; Arena, N.; Nucita, F.; Tripodo, M. M.; Lo Curto,
R. B. (2002). SCP and Crude Pectinase Production By Slurry-State
Fermentation Of Lemon Pulps. Bioresour. Technol., Vol.83,No.2, p. 8994.
Esti Widowati, Rohula Utami, Edhi Nurhartadi, M.A.M. Andriani, Ambar Wuri
Wigati. 2014. Produksi dan Karakterisasi Enzim Pektinase oleh Bakteri
Pektinolitik dalam Klarifikasi Jus Jeruk Manis (Citrus cinensis). Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan 3 (1).
Fennema. 1996. Food Chemistry. 3th Edition. New York: Marcel Dekker, Inc.
Gross, J. 1991. Pigments in Vegetables, Chlorophylls and Carotenoids. Van
Nostrand Reinhold, New York.
Harker FR, Redgwell RJ, Hallet IC, Murray SH. Texture of fresh fruit.
Horticultural Reviews. 1997;20:121–224.
Izabel Soares, Zacarias Távora, Rodrigo Patera Barcelos and Suzymeire Baroni.
2014. Microorganism-Produced Enzymes in the Food Industry. Federal
University of the Bahia Reconcavo / Center for Health Sciences, Brazil.
Kamal Rai Aneja, Romika Dhiman, Neeraj Kumar Aggarwal, Vikas Kumar,
and Manpreeet Kaur.. 2014. Microbes Associated with Freshly Prepared
Juices of Citrus and Carrots. International Journal of Food Science
Volume 2014 (2014), Article ID 408085.
Kaur, G.; Kumar, S.; Satyanarayama, T. (2004). Bioresour. Technol. 94, 239.
Lima, A. S.; Alegre, R. M.; Meirelles, A. J. A. (2000). Carbohydr. Polym. 50, 63.
Mattila-Sandholm, T.; Crittenden, R.; Mogensen,G.; Fondén, R.; Saarela,
M. Technological challenges for future probiotic foods. Int. Dairy J.
Vol:12, pp. 173-182.
Manurung, P. 2011. Pigmen Klorofil Daun Katuk dan Aplikasinya sebagai Zat
Pewarna Alami (online)
(http://breanmanurung.wordpress.com/2011/02/26/pigmen-klorofil-
daunkatuk-dan-aplikasinya-sebagai-zat-pewarna-alami/ diakses 23
Desember 2017).
Michalski, T.J., Bradshaw, C., Hunt, J.E., Norris, J.R., and Katz, J.J. 1987. Triton
X-100 Reacts With Chlorophyll In The Presence Of Chlorophyllas.
Chemistry Division, Argonne National Laboratory, Argonne, IL 60439,
USA. Volume 226, number 1, 72-76.
Mohan T, Rajesh PN, Zuhra KF, Vijitha K (2014) Magnitude of Changes in the
Activity of Amylases and Cellulase and its Association with the
Biochemical Composition during Maturation and Ripening of Banana
(Musa spp.). Biochem Physiol 3: 127. doi: 10.4172/2168-9652.1000127.
Novo. 1995. Novo’s Hand Book. Kopenhagen. Denmark
Oyeleke S.B., Oyewole O.A., Egwim E.C., Dauda BEN, Ibeh EN. 2012.
Cellulase and Pectinase Production Potentials Of Aspergillus Niger
Isolated From Corn Cob. J Bayero journal of pure and app scie 5(1): 078-
083.
Paula, B.; Moraes, I. V. M.; Castilho, C.C.; Gomes, F. S.; Matta, V. M.; Cabral,
L. M. C. (2004). Melhoria na eficiência da clarificação de suco de
maracujá pela combinação dos processos de microfiltração e enzimático.
Boletim CEPPA, Vol.22, No.2, pp. 311-324.
Rangarajan V, Rajasekharan M, Ravichandran R, Sriganesh K, Vaitheeswaran V.
2010. Pectinase Production From Orange Peel Extract and Dried Orange
Peel Solid As Substrates Using Aspergillus niger. J Internasional Journal
of Biotech and Biochem 6(3): 445-453.
Sari, Kurniawati W. 2005. Studi Kemampuan Pengikatan Kolesterol Oleh Ekstrak
Daun Suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) Dalam Simulasi Sistem
Pencernaan In Vitro. Skripsi Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Silva, C.R.; Delatorre, A. B.; Martins, M. L. L. (2007). Effect Of The Culture
Conditions On The Production Of An Extracellular Protease By
Thermophilic Bacillus sp. and some properties of the enzymatic activity.
Brazilian Journal of Microbiology, Vol.38, pp.253-258.
Sorensen, J. F.; Krag, K. M.; Sibbesen, O.; Delcur, J.; Goesaert, H.; Svensson, B.;
Tahir, T. A.; Brufau, J.; Perez-Vendrell, A. M.; Bellincamp, D.; D’Ovidio,
R.; Camardella, L.; Giovane, A.; Bonnin, E.; Juge, N. (2004). Biochim.
Biophys. Acta, 1696, 275.
Suhartono. 1989. Enzim dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tapre, A. R. and Jain, R. K. 2014. Pectinases: Enzymes For Fruit Processing
Industry. International Food Research Journal 21(2): 447-453 (2014).
Taragano, V. M.; Pilosof, A. M. R. (1999). Enzyme Microb. Technol. 25, 411.
Toivonen PM, Brummell DA. Biochemical bases of appearance and texture
changes in fresh-cut fruit and vegetables. Postharvest Biology and
Technology. 2008;48:1–14.
Uenojo, M., Pastore, G. M. (2007). Pectinases: Aplicações Industriais e
Perspectivas. Química Nova, Vol.30, No. 2, pp. 388-394.
Yiming Feng, Min Liu, Yanan Ouyang, Xianfang Zhao, Yanlun Ju, and Yulin
Fang. 2015. Comparative study of aromatic compounds in fruit wines
from raspberry, strawberry, and mulberry in central Shaanxi
area. Shaanxi. Volume 59, 2015 - Issue 1.

Você também pode gostar