Você está na página 1de 149

i

SKRIPSI

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN TINGKAT


KECEMASAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI UNIT
HEMODIALISA RSUD PROVINSI NTB
TAHUN 2017

OLEH

HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


036 STYC 13

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2017
ii

SKRIPSI

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN TINGKAT


KECEMASAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI UNIT
HEMODIALISA RSUD PROVINSI NTB
TAHUN 2017

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)


Pada Program Studi Ilmu Keperawatan Jenjang S.1 STIKES Yarsi Mataram

OLEH

HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


036 STYC 13

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2017

ii
iii

SKRIPSI

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN TINGKAT


KECEMASAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI UNIT
HEMODIALISA RSUD PROVINSI NTB
TAHUN 2017

Penelitian Korelasional Dengan Pendekatan Cross Sectional

OLEH

HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


036 STYC 13

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2017

iii
iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN


Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

NAMA : HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


NIM : 036 STYC 13
PROGRAM STUDI : S1 KEPERAWATAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan

bersedia diberikan sanksi jika di kemudian hari terbukti melakukan plagiat

terhadap karya orang lain

Mataram,…………………….

Yang Menyatakan

Heni Agustini Megantari Putri


036 STYC 13

iv
v

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui pada:

Hari :

Tanggal :

Tahun :

Pembimbing 1 : Dian Istiana, Ners.,M.Kep.,Sp.Kep.Jiwa (_______________)


NIK : 2040225

Pembimbing 2 : Syamdarniati, SKM., M.Kes (_______________)


NIK : 3031408

Mengetahui

Program Studi Ilmu Keperawatan Jenjang S.1

Ketua

Irwan Hadi, S.Kep.,Ners.,M.Kep.


NIK : 3061107

v
vi

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji pada :

Hari :

Tanggal :

Tahun :

TIM PENGUJI

Penguji 1 : Zaenal Arifin, Ners.,M.Kep.,Sp.Kep.MB (________________)


NIK : 3040747

Penguji 2 : Dian Istiana, Ners.,M.Kep.,Sp.Kep.Jiwa (________________)


NIK : 2040225

Penguji 3 : Syamdarniati, SKM., M.Kes (________________)


NIK : 3031408

Mengetahui

Program Studi Ilmu Keperawatan Jenjang S.1

Ketua

Irwan Hadi, S.Kep.,Ners.,M.Kep.


NIK : 3061107

vi
vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya

sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan Mekanisme Koping

dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa

RSUD Provinsi NTB Tahun 2017” dapat terselesaikan. Skripsi ini merupakan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) pada

Program Studi Ilmu Keperawatan Jenjang S.1 STIKES Yarsi Mataram.

Bersamaan dengan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa hormat

dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan hati yang tulus kepada Ibu

Dian Istiana, S.Kep., Ners., M.Kep., Sp.J selaku pembimbing 1 dan Ibu

Syamdarniati SKM., M.Kes selaku pembimbing 2 yang dengan penuh kesabaran

dan ketekunan dalam meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan

dorongan, dan saran-saran selama penyusunan skripsi. Tidak lupa penulis

sampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan

hati yang tulus kepada:

1. H. Zulkahfi., S.Kep., Ners., M.Kes. selaku Ketua STIKES Yarsi Mataram

yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu

Keperawatan Jenjang S.1

2. Dr. H. Lalu Hamzi Fikri, MM selaku Direktur RSUD Provinsi NTB yang

telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk melakukan

penelitian, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

vii
viii

3. I Nyoman Putra S.Kep., Ners. selaku kepala ruangan dan seluruh perawat di

ruang hemodialisa yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk

memperoleh data di Unit Hemodialisa.

4. Irwan Hadi, S.Kep., Ners., M.Kep., selaku Kaprodi S.1 Keperawatan yang

telah memberikan kesempatan dan dorongan kepada penulis untuk

menyelesaikan pendidikan Program Studi Ilmu Keperawatan Jenjang S.1

5. Baiq Nurainun Apriani Idris S.Kep.,Ners selaku dosen pembimbing akademik

yang telah membimbing dan memberikan motivasi kepada penulis sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

6. Bapak dan Ibu Dosen serta staf STIKES Yarsi Mataram yang telah

mengajarkan ilmu dengan dedikasi, kesabaran dan keikhlasannya.

7. Maad Adnan dan Nurjannah Uzlifah, kedua orang tua penulis yang penulis

sayangi, hormati dan banggakan, yang telah memberikan doa, nasehat, dan

curahan kasih sayang serta dukungan baik moril maupun materiil yang tak

terhingga selama ini.

8. Dwi Citra Amalia Juniannaba’, adik tercinta yang telah memberikan semangat

dan dukungan, keceriaan, serta kasih sayangnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Orang-orang tercinta dan sahabat-sahabat terkasih, yang telah memberikan

segala dukungan dan bantuan sehingga peneliti mampu melewati masa-masa

sulit dengan mudah.

10. Semua rekan-rekan S.1 Keperawatan seperjuangan khususnya kelas A2 yang

telah membantu dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini. Terima

kasih atas semangat, kenangan, dan kebersamaan yang telah terjalin.

viii
ix

11. Semua pihak yang turut berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini, yang

tanpa mengurangi rasa terima kasih tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis berharap semoga dengan doa, motivasi, nasehat, dan

dukungan yang telah diberikan kepada penulis, dapat bermanfaat bagi penulis

untuk menjadi orang yang lebih baik, dan semoga dengan disusunnya skripsi ini,

dapat memberikan manfaat kepada penulis khususnya, dan pembaca pada

umumnya.

Mataram, Februari 2017

Penulis

ix
x

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu


Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha
Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya (QS: Al-’Alaq 1-5)
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ? (QS: Ar-Rahman 13)
Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu beberapa derajat
(QS : Al-Mujadilah 11)

Alhamdulillahirobbil’alamin Sujud syukurku kepadaMu Ya Allah, atas takdirMu


telah Kau jadikan aku manusia yang senantiasa berpikir, berilmu, beriman dan
bersabar dalam menjalani kehidupan ini.

Kupersembahkan Sebuah Karya Ini Teruntuk :

Ayahanda dan Ibunda tercinta (Maad Adnan dan Nurjannah Uzlifah), yang setiap
waktu ikhlas menjaga, mendidik, membimbing anak-anaknya dengan baik, yang
tiada pernah hentinya selama ini memberi semangat, doa, dorongan, nasehat dan
kasih sayang serta dukungan baik moril maupun materiil yang tak terhingga
selama ini. terimalah karya ini, karena dengan doa dan restu ayah dan ibu karya
ini dapat terselesaikan.

Dwi Citra Amalia Juniannaba’, adik tercinta yang selalu mendukung,


menyemangati dan menjadi teman bermain selama ini serta telah memberi kasih
sayangnya yang selalu tercurah.

Firman Saputra yang telah memberikan semangat, dukungan, motivasi dan


bantuannya selama ini.

Sahabat-sahabat terkasih (Asriatun, Komala Sari, Fulqy, Rinda, Eka Sapta, Erna,
Maya, Ela, Khadijah, Aini, Yuli) yang telah memberikan sejuta pengalaman
berharga selama ini, yang telah menghibur, menemani, dan mendukung penulis.
Semoga cita-cita yang kita harapkan akan terwujud di waktu yang tepat. Aamiin
Ya Rabbal’alamiin

x
xi

ABSTRAK

HUBUNGAN MEKANISME KOPING DENGAN TINGKAT KECEMASAN


PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI UNIT HEMODIALISA
RSUD PROVINSI NTB
TAHUN 2017

OLEH

HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


036 STYC 13

Data World Health Organitation (WHO) menyebutkan prevalensi gagal


ginjal kronik di dunia pada tahun 2012 adalah sekitar 250 juta orang dan pada
tahun 2013 sebesar 500 juta orang. Dari survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia
terdapat 18 juta orang di Indonesia menderita penyakit ginjal kronik. Gagal Ginjal
Kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan memerlukan
pengobatan berupa transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, hemodialisis dan rawat
jalan dalam jangka waktu yang lama. Pasien yang menjalani hemodialisis
mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal.
Kecemasan merupakan dampak psikologis yang sering dikeluhkan oleh pasien
hemodialisis. Mekanisme koping merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kecemasan pasien.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mekanisme koping
dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa
RSUD Provinsi NTB. Jenis Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan
desain penelitian korelasional menggunakan pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB pada tanggal 7-
15 Februari 2017. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive
sampling dengan jumlah sampel yaitu 69 responden. Instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner karakteristik responden,
kuesioner HARS, dan kuesioner Jalowiec Coping Scale. Analisa data dalam
penelitian ini menggunakan analisis uji Chi-Square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan mekanisme
koping dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di Unit
Hemodialisa RSUD Provinsi NTB dengan nilai signifikansi sebesar 0,009
(p<0,05). Dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan keluarga dapat
memberikan dukungan kepada pasien agar menggunakan koping yang adaptif
sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien.

Kata Kunci : Mekanisme Koping, Tingkat Kecemasan, Gagal Ginjal Kronik.

xi
xii

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN COPING MECHANISMS AND ANXIETY


LEVEL OF PATIENTS WITH CHRONIC RENAL FAILURE AT
HEMODIALYSIS UNIT OF WEST NUSA TENGGARA
PROVINCE HOSPITAL IN 2017

BY

HENI AGUSTINI MEGANTARI PUTRI


036 STYC 13

Data of World Health Organization (WHO) stated the prevalence of


chronic renal failure in the world in 2012 is approximately 250 million people and
in 2013 increasing to 500 million people. Indonesian Association of Nephrology
survey, there were 18 million people in Indonesia suffered from chronic kidney
disease. Chronic renal failure is a progressive impairment of renal function and
require treatment to kidney transplant, peritoneal dialysis, hemodialysis and
outpatients in the long term. Patients undergoing hemodialysis experienced
various problems arising due to non-functioning of the kidneys. Anxiety is the
psychological impact that often complained by hemodialysis patients. Coping
mechanism is one of the factors that affect the patient's anxiety.
This research aims to determine the relationship between coping
mechanisms with anxiety level of patients with chronic renal failure at
Hemodialysis Unit of West Nusa Tenggara Province Hospital. The type of this
research is quantitative with correlational design using cross sectional approach.
This research conducted at Hemodialysis Unit of West Nusa Tenggara Province
Hospital on February 7 to 15, 2017. Sample selection conducted purposive
sampling method with total sampling around of 69 respondents. The instruments
of this research were respondent characteristic questionnaire, HARS questionnaire
and Jalowiec Coping Scale questionnaire. Data analysis of this research using
Chi-Square test analysis. The results showed that there is a relationship between
coping mechanisms and anxiety level of patients with chronic renal failure at
Hemodialysis Unit of West Nusa Tenggara Province Hospital with a significance
value of 0.009 (p <0.05). The results of this research expected to provide support
to familys of the patient to use adaptive coping so it can reduce the patient's
anxiety level.

Keywords: Coping Mechanisms, Levels Anxiety, Chronic Renal Failure.

xii
xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ................................................................................ i


HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................... ii
HALAMAN SAMPUL DALAM .............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................ x
ABSTRAK ................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum............................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................. 5
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... 6
1.4.1 Manfaat Teoritis ........................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis............................................................. 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 7
1.6 Keaslian Penelitian ................................................................... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 10


2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik ......................................... 10
2.1.1 Definisi Gagal ginjal Kronik ........................................ 10
2.1.2 Kriteria Gagal Ginjal Kronik ........................................ 10
2.1.3 Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik ................. 11
2.1.4 Etiologi ......................................................................... 12
2.1.5 Karakteristik Pasien Gagal Ginjal Kronik .................... 13
2.1.6 Patofisiologi.................................................................. 17
2.1.7 Manifestasi Klinis......................................................... 18
2.1.8 Komplikasi ................................................................... 19
2.1.9 Penatalaksanaan............................................................ 21
2.1.10 Prognosis ...................................................................... 25
2.2 Konsep Dasar Mekanisme Koping ........................................... 25
2.2.1 Definisi Mekanisme Koping ........................................ 25

xiii
xiv

2.2.2 Klasifikasi Mekanisme Koping .................................... 26


2.2.3 Mekanisme Pertahanan Ego ......................................... 26
2.2.4 Gaya Koping................................................................. 29
2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mekanisme
Koping .......................................................................... 31
2.2.6 Pengukuran Mekanisme Koping .................................. 34
2.3 Konsep Dasar Kecemasan ........................................................ 35
2.3.1 Definisi Kecemasan ...................................................... 35
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan .......... 37
2.3.3 Sumber Koping Untuk Mengatasi Kecemasan ............ 38
2.3.4 Jenis-Jenis Gangguan Kecemasan ................................ 39
2.3.5 Ciri-Ciri Kecemasan ..................................................... 43
2.3.6 Etiologi Kecemasan ...................................................... 44
2.3.7 Tanda dan Gejala .......................................................... 45
2.3.8 Tingkat Kecemasan ...................................................... 47
2.3.9 Macam-Macam Kecemasan ......................................... 50
2.3.10 Teori Kecemasan .......................................................... 51
2.3.11 Reaksi Kecemasan ........................................................ 54
2.3.12 Cara Mengukur Kecemasan ......................................... 54
2.4 Konsep Hemodialisis................................................................ 55
2.4.1 Definisi Hemodialisis ................................................... 55
2.4.2 Tujuan Hemodialisis..................................................... 55
2.4.3 Indikasi Hemodialisis ................................................... 56
2.4.4 Kontraindikasi Hemodialisis ........................................ 57
2.4.5 Akses Sirkulasi Darah pada Hemodialisis.................... 57
2.4.6 Komplikasi Hemodialisis ............................................. 58
2.4.7 Dampak Hemodialisis .................................................. 58
2.4.8 Asuhan Keperawatan Selama Hemodialisis ................. 63
2.5 Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan
Pasien Gagal Ginjal Kronik...................................................... 64
2.6 Kerangka Teoritis ..................................................................... 67
2.7 Jurnal Terkait............................................................................ 68

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS DAN DEFINISI


OPERASIONAL ......................................................................... 72
3.1 Kerangka Konsep ..................................................................... 72
3.2 Variabel Penelitian ................................................................... 73
3.2.1 Variabel Independen..................................................... 73
3.2.2 Variabel Dependen ....................................................... 73
3.3 Hipotesis ................................................................................... 73
3.4 Definisi Operasional ................................................................. 73

xiv
xv

BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................ 77


4.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 77
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................... 77
4.2.1 Lokasi Penelitian .......................................................... 77
4.2.2 Waktu Penelitian .......................................................... 77
4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Sampling.......... 77
4.3.1 Populasi ........................................................................ 77
4.3.2 Sampel .......................................................................... 77
4.3.3 Besar Sampel ................................................................ 78
4.3.4 Teknik Sampling .......................................................... 79
4.4 Etika Penelitian ........................................................................ 79
4.5 Instrumen Penelitian ................................................................. 80
4.6 Pengumpulan Data ................................................................... 81
4.7 Pengolahan Data ....................................................................... 83
4.8 Analisis Data ............................................................................ 85

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 87


5.1 Hasil Penelitian ........................................................................ 87
5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................ 87
5.1.2 Karakteristik Responden .............................................. 92
5.1.3 Variabel yang di ukur ................................................... 94
5.1.4 Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat
Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD
Provinsi NTB Tahun 2017 ........................................... 95
5.2 Pembahasan .............................................................................. 97
5.2.1 Karakteristik Responden .............................................. 97
5.2.2 Mekanisme Koping Pasien Gagal Ginjal Kronik ......... 105
5.2.3 Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik ......... 109
5.2.4 Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat
Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD
Provinsi NTB Tahun 2017 ........................................... 112

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 120


6.1 Simpulan................................................................................... 120
6.2 Saran ......................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xv
xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Prevalensi Jumlah Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB ........... 2
Tabel 1.2 Keaslian Penelitian ..................................................................... 9
Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................... 73
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Sumber Daya Manusia di RSUD
Provinsi NTB .............................................................................. 88
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Usia ............................................................................................. 92
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Jenis Kelamin ............................................................................. 93
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Tingkat Pendidikan ..................................................................... 93
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan
Pekerjaan .................................................................................... 94
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Mekanisme Koping Pasien Gagal Ginjal
Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB .................... 94
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal
Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB .................... 95
Tabel 5.8 Tabulasi Silang Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat
Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa
RSUD Provinsi NTB Tahun 2017 .............................................. 96

xvi
xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis .................................................................... 67


Gambar 3.1 Kerangka Konsep .................................................................... 72

xvii
xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Kegiatan Penelitian


Lampiran 2 Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 3 Lembar Informed Consent
Lampiran 4 Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 5 Lembar Kuesioner Karakteristik Responden
Lampiran 6 Lembar Kuesioner Jalowiec Coping Scale
Lampiran 7 Lembar Kuesioner HARS
Lampiran 8 Surat Izin Penelitian
Lampiran 9 Lembar Konsultasi
Lampiran 10 Biodata Peneliti
Lampiran 11 Hasil Penelitian

xviii
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu

memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal

kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan

memerlukan pengobatan berupa transplantasi ginjal, dialisis peritoneal,

hemodialisis dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama (Black &

Hawks, 2014).

Menurut World Health Organization melaporkan bahwa 57 juta

kematian di dunia, dimana tingkat kematian penyakit tidak menular di dunia

adalah sebesar 36 juta (Yemima, Kanine & Wowiling, 2013). Badan

Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan prevalensi gagal ginjal kronik di

dunia pada tahun 2012 adalah sekitar 250 juta orang dan mengalami

peningkatan pada tahun 2013 sebesar 50% yaitu menjadi 8 % dari 7 miliar

penduduk dunia atau sebesar 500 juta orang. Di Amerika Serikat, kejadian

dan prevalensi gagal ginjal meningkat 50% di tahun 2014. Data menunjukkan

bahwa setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena

gangguan ginjal kronis, artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah

pasien dialisis (Widyastuti, 2014).

1
2

Di Indonesia angka kejadian gagal ginjal kronis berdasarkan data dari

Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis 0,2% dari

penduduk Indonesia. Dari survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi

Indonesia terdapat 18 juta orang di Indonesia menderita penyakit ginjal

kronik. Hanya 60% dari pasien gagal ginjal kronis tersebut yang menjalani

terapi dialisis dan sisanya melakukan transplantasi ginjal (Yemima, Kanine &

Wowiling, 2013). Prevalensi gagal ginjal kronik di Provinsi NTB yaitu 0,1 %

dari pasien gagal ginjal kronis di Indonesia (Depkes RI, 2013).

Tabel 1.1. Prevalensi Jumlah Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB
No Bulan 2014 % 2015 % 2016 %
1 Januari 110 8,6 135 9,3 128 8,7
2 Februari 107 8,3 132 9,1 129 8,8
3 Maret 111 8,7 139 9,6 132 8,9
4 April 114 8,9 118 8,1 136 9,3
5 Mei 107 8,4 122 8,4 139 9,5
6 Juni 108 8,4 131 9 139 9,5
7 Juli 113 8,8 131 9 136 9,3
8 Agustus 117 9,1 136 9,3 139 9,5
9 September 119 9,3 131 9 133 9,1
10 Oktober 136 10,6 144 9,9 125 8,5
11 November 139 10,9 136 9,3 132 8,9
TOTAL 1.281 100 1.455 100 1.468 100
Sumber : Laporan Bulanan Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB Tahun 2014,
2015, dan 2016

Berdasarkan tabel 1.1 diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Provinsi NTB pada

tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 13,6 % dari tahun 2014 dan pada

tahun 2016 meningkat sebesar 0,9 % dari tahun 2015. Jumlah pasien gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa pada tahun 2014 sebanyak 1.281

pasien dari bulan Januari hingga bulan November 2014 dengan rata-rata per

bulan adalah 117 pasien, pada tahun 2015 menjadi 1.455 pasien dari bulan

Januari hingga bulan November 2015 dengan rata-rata per bulan adalah 133
3

kasus, dan pada tahun 2016 menjadi 1.468 pasien dari bulan Januari hingga

bulan November 2016 dengan rata-rata per bulan adalah 134 pasien.

Hemodialisis (HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh

pasien penyakit ginjal kronik di seluruh dunia (Daurgirdas et al., 2007).

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti sebagian kerja atau

fungsi ginjal dalam mengeluarkan sisa hasil metabolisme dan kelebihan

cairan serta zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh (Rahmi, 2008). Hemodialisis

yang dilakukan oleh pasien dapat mempertahankan kelangsungan hidup

sekaligus akan merubah pola hidup pasien (Ignatavicus & Workman, 2010).

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami berbagai masalah yang timbul

akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal ini menjadi stressor fisik yang

berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan pasien yang meliputi biologi,

psikologi, sosial, dan spiritual (Muttaqin & Sari, 2014).

Kecemasan merupakan dampak psikologis yang sering dikeluhkan

oleh pasien hemodialisis. Rasa cemas yang dialami pasien bisa timbul karena

masa penderitaan yang sangat panjang (seumur hidup). Selain itu, sering

terdapat bayangan tentang berbagai macam pikiran yang menakutkan

terhadap proses penderitaan yang akan terjadi padanya, walaupun hal yang

dibayangkan belum tentu terjadi. Situasi ini menimbulkan perubahan drastis,

bukan hanya fisik tetapi juga psikologis (Rahmi, 2008). Proses tindakan

invasif merupakan salah satu faktor situasional yang berhubungan dengan

kecemasan. Kondisi ini lebih dominan sehingga kadang terabaikan apalagi

pada pasien GGK yang memerlukan tindakan hemodialisis yang sangat asing

bagi masyarakat. Pasien sering mengganggap hemodialisis merupakan suatu


4

hal yang mengerikan terutama ruangan, peralatan dan mesin yang serba asing,

sehingga pasien sering menolak dan mencari alternatif lain (Rika, 2006).

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan penyebab dari

gangguan kecemasan. Antara lain teori psikoanalitik, teori interpersonal, teori

perilaku, teori keluarga, dan faktor biologis. Pasien dapat mengatasi

kecemasannya dengan menggunakan sumber koping di lingkungan sekitarnya

(Suliswati, 2012). Sumber koping tersebut adalah aset ekonomi, kemampuan

menyelesaikan masalah, dukungan sosial keluarga, keyakinan, dan budaya

dapat membantu individu dalam menggunakan mekanisme koping yang

adaptif (Subiatmini, 2012).

Mekanisme koping terdiri dari koping adaptif dan maladaptif.

Koping adaptif bertujuan membuat perubahan langsung dalam lingkungan

sehingga situasi dapat diterima dengan lebih efektif. Sedangkan koping

maladaptif dilakukan untuk membuat perasaan lebih nyaman dengan

memperkecil gangguan emosi pada gangguan stres. Bahkan bila situasi

dipandang sebagai sesuatu yang menantang dan menguntungkan, upaya

koping masih diperlukan untuk mengembangkan dan mempertahankan

tantangan yaitu untuk mempertahankan keuntungan positif tantangan itu dan

menghilangkan semua ancaman dalam situasi yang berbahaya dan

mengancam. Koping yang berhasil akan mengurangi dan menghilangkan

sumber masalah dan penyembuhan akan terjadi. Jika upaya koping gagal atau

tidak efektif maka keadaan tegang meningkat sehingga menjadi peningkatan

kebutuhan energi lalu sumber penyakit nampak lebih besar (Mustafa, 2008).
5

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada tanggal 25

November 2016 pada 10 pasien gagal ginjal kronik yang telah menjalani

hemodialisa selama < 6 bulan di Unit Hemodialisa RSUD Kota mataram,

didapatkan bahwa 3 orang mengalami kecemasan ringan, 4 orang mengalami

kecemasan sedang, 2 orang mengalami kecemasan berat dan 1 orang tidak

mengalami kecemasan. Berdasarkan data dan teori diatas peneliti tertarik

untuk meneliti tentang “Hubungan mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi

NTB Tahun 2017”

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan

pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD

Provinsi NTB.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik responden pasien gagal ginjal kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

2. Mengidentifikasi mekanisme koping pasien gagal ginjal kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

3. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.


6

4. Menganalisis hubungan mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD

Provinsi NTB.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

sumber bacaan yang bermanfaat dalam memperkaya ilmu

pengetahuan dengan keperawatan khususnya tentang hubungan

mekanisme koping dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal

kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Peneliti

Diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti tentang

keperawatan jiwa pada pasien gagal ginjal kronik khususnya

tentang hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan

pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi

NTB dan sebagai pengalaman berharga bagi peneliti untuk

meningkatkan kemampuan, mengaktualisasikan pengetahuan dan

wawasan keperawatan khususnya keperawatan jiwa pada pasien

dengan gagal ginjal kronik.

2. Bagi Pasien

Diharapkan dengan mengetahui hubungan mekanisme

koping dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB, dapat memberikan

informasi yang tepat bagi pasien sehingga dapat mengurangi


7

kecemasan pada pasien serta membantu pasien untuk

mempertahankan mekanisme koping dan bagaimana mengurangi

tingkat kecemasan yang dirasakan.

3. Bagi Perawat RSUD Provinsi NTB

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber

acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

khususnya mengatasi masalah kecemasan pasien gagal ginjal

kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan

pembendaharaan ilmu pengetahuan dalam ilmu keperawatan

khususnya keperawatan jiwa pada klien gagal ginjal kronik.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

informasi sehingga dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya

yang lebih mendalam dengan variabel lain.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam lingkup keperawatan jiwa pada pasien

gagal ginjal kronik. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien gagal ginjal

kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB. Variabel independen dalam

penelitian ini adalah mekanisme koping. Sedangkan variabel dependennya

adalah tingkat kecemasan. Desain penelitian yang digunakan adalah

korelasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini telah dilakukan

di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB. Penelitian ini dilakukan karena


8

tingkat kecemasan pada seseorang dapat mengganggu kondisi fisik dan

psikologis pasien GGK, sehingga kecemasan pada pasien perlu diatasi dengan

baik dan tepat agar tidak menghambat proses keperawatan dan pengobatan

yang diberikan.
9

1.6 Keaslian Penelitian


Tabel 1.2 Keaslian Penelitian
Nama Judul Metode Populasi Analisa Hasil Perbedaan dengan Persamaan
Penelitian dan Penelitian Saat Ini dengan
Sampel Penelitian
Saat Ini
Wartili Hubunga Deskriptif Total Uji Chi- Ada Variabel Variabel
sna la, n analitik Sampling Square hubungan Independen : Dependen :
Kundre tindakan korelasion anatara mekanisme koping Tingkat
, hemodial al dengan tindakan pasien gagal ginjal kecemasan
Babaka isa pendekatan hemodialis kronik. pasien gagal
l dengan cross is Populasi dan ginjal kronik
(2015) tingkat sectional dengan sampel : purposive Metode
Kecemas tingkat sampling Penelitian :
an klien kecemasan Hasil : ada deskriptif
gagal dengan hubungan korelasional
ginjal di nilai p = mekanisme koping dengan
ruangan 0,027 lebih dengan tingkat pendekatan
Dahlia kecil dari α kecemasan pada cross
rsup prof = pasien gagal ginjal sectional
dr.r. 0,05 (p < kronik di Unit Analisa :
Kandou 0,05) Hemodialisa RSUD Uji Chi-
manado Provinsi NTB Square
dengan nilai
signifikansi sebesar
0,009 (p<0,05)
Yemim Mekanis Deskriptif Accident Analisis Responden Variabel Variabel
a, me al Univariat yang Dependen : tingkat Independen
Kanine, koping Sampling mengguna kecemasan pasien :
Wowili pada kan koping gagal ginjal kronik mekanisme
ng pasien adaptif 27 Metode penelitian koping
(2013) penyakit orang : deskriptif pasien gagal
ginjal (45,8%) korelasional dengan ginjal
kronik sedangkan pendekatan cross kronik.
yang yang sectional
menjalan mengguna Populasi dan
i terapi kan koping sampel : purposive
hemodial maladaptif sampling
isi di 32 orang Analisa : Chi-
Rumah (54,2%). Square
Sakit Pasien Hasil : ada
Prof. Dr. PGK yang hubungan
R.D. menjalani mekanisme koping
Kandou terapi dengan tingkat
Manado hemodialis kecemasan pada
is lebih pasien gagal ginjal
banyak kronik di Unit
mengguna Hemodialisa RSUD
kan koping Provinsi NTB
maladaptif dengan nilai
signifikansi sebesar
0,009 (p<0,05)
10

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik adalah keadaaan dimana kedua ginjal

sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok

untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal irreversibel

(Baradero, Dayrit & Siswadi, 2009).

Gagal ginjal kronik merupakan pertanda kerusakan ginjal atau

penurunan fungsi ginjal dalam waktu 3 bulan atau lebih. Gagal ginjal

kronik terjadi jika nefron rusak sehingga mempengaruhi kemampuan

ginjal dalam membuang sampah (Tjokroprawiro, 2007).

Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat

yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis

atau transplantasi ginjal dan ditandai dengan adanya uremia (retensi

urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah) (Sudoyo, 2009).

2.1.2 Kriteria Gagal Ginjal Kronik

Menurut Sudoyo (2009), kriteria gagal ginjal kronik adalah

sebagai berikut :

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan

struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi

glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

a. Kelainan patologi

10
11

b. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam

komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan

(imaging tests).

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.1.3 Tahap Perkembangan Gagal Ginjal Kronik

Menurut Baradero, Dayrit & Siswadi (2009), gagal ginjal

dibagi menjadi beberapa tahapan antara lain :

1. Penurunan cadangan ginjal

a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi

b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal

c. Ureum dan kreatinin serum masih normal

d. Pasien asimtomatik

2. Gagal ginjal

a. 75-80% nefron tidak berfungsi

b. Laju filtrasi glomelurus 20-40% normal

c. Ureum dan kreatinin serum mulai meningkat

d. Anemia ringan dan azotemia ringan

e. Nokturia dan poliuria

3. Gagal Ginjal Kronik

a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal

b. Ureum dan kreatinin serum meningkat

c. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik

d. Berat jenis urin


12

e. Poliuria dan nokturia

4. End-Stage renal disease (ERSD)

a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi

b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal

c. Ureum dan kreatinin tinggi

d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik

e. Berat jenis urine tetap 1,010

f. Oliguria.

2.1.4 Etiologi

Menurut Baughman (2010), kondisi gagal ginjal kronik dapat

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

1. Glomerulonefritis kronis

2. Pielonefritis

3. Hipertensi tak terkontrol

4. Lesi herediter seperti penyakit polikistik, kelainan vaskuler,

obstruksi saluran perkemihan

5. Penyakit ginjal sekunder akibat penyakit sistemik (diabetes),

infeksi, obat-obatan atau preparat toksik.

Menurut Baradero, Dayrit & Siswadi (2009), gagal ginjal

kronik dapat disebakan oleh beberapa kondisi antara lain seperti

eksaserbasi nefritis, obstruksi saluran kemih, kerusakan vaskular

akibat diabetes melitus, dan hipertensi terus-menerus.


13

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah

diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%).

Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan

kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada

organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh

darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan

dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol

akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal

kronik (Kamaludin, 2010).

2.1.5 Karakteristik Pasien Gagal Ginjal Kronik

Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang,

tempat, atau hal yang menggambarkannya. Sesuatu yang membuatnya

unik atau berbeda. Karakteristik dalam individu adalah sarana untuk

memberitahu satu terpisah dari yang lain, dengan cara bahwa orang

tersebut akan dijelaskan dan diakui. Sebuah fitur karakteristik dari

orang yang biasanya satu yang berdiri di antara sifat-sifat yang lain

(Sunaryo, 2006).

Menurut Sunaryo (2006), karakteristik pasien meliputi usia,

jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan :

1. Usia

Usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak

dilahirkan atau diadakan). Usia meningkatkan atau menurunkan

kerentanan terhadap penyakit tertentu. Pada umumnya kualitas

hidup menurun dengan meningkatnya umur. Penderita gagal ginjal


14

kronik usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik

oleh karena biasnya kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan

yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa

terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai

harapan hidup yang lebih tinggi, sebagai tulang punggung

keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada

keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa

sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang

motivasi dalam menjalani terapi hemodialisa. Usia juga erat

kaitannya dengan prognosa penyakit dan harapan hidup mereka

yang berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai

komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila

dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Widyastuti,

2009). Rentang usia berdasarkan Depkes RI yaitu masa balita (usia

0-5 tahun), masa kanak-kanak (usia 5-11 tahun, masa remaja awal

(usia 12-16 tahun), remaja akhir (usia 17-25 Tahun), dewasa awal

(usia 26-35 tahun), dewasa akhir (usia 36-45 tahun), lansia awal

(usia 46-55 tahun), lansia akhir (usia 56-65 tahun), manula (usia

>65 tahun) (Widyastuti, 2009).

2. Jenis kelamin

Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia

dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita. Istilah

gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin.

Gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-


15

laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan

sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-

norma dan adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.

Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-

laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat

perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara

lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika

atau kondisi fisiologis (Budiarto & Anggraeni, 2006).

Penelitan Yuliaw (2009), menyatakan bahwa responden

memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari

jenis kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit

gagal ginjal kronik, sedangkan laki-laki lebih rendah dan

responden laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek

dibandingkan perempuan, semakin lama menjalani terapi

hemodialisa akan semakin rendah kualitas hidup penderita.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan bagian integral dalam

pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses

pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan bertujuan

untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan

pembangunan sektor ekonomi, yang satu dengan lainnya saling

berkaitan dan berlangsung dengan bersamaan (Hamalik, 2008).


16

Yuliaw (2009), dalam penelitiannya mengatakan bahwa,

pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan

mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan

pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang

di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,

berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana

mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan

oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan

sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat

keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana

pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk

terbentuknya tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan

lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahuan

(Notoatmodjo, 2010).

4. Pekerjaan

Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas

seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi, kantor,

perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji

baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan

hidupnya sehari-hari (Lase, 2011).

Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang

kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin


17

karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau

membayar transportasi (Notoatmodjo, 2010).

Budiarto dan Anggraeni (2006), mengatakan berbagai jenis

pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit.

Hal ini disebabkan sebagian hidupnya dihabiskan di tempat

pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang berbeda.

2.1.6 Patofisiologi

Patofisiologi gagal ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya

proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi

pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan

terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler

dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,

akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi

nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah

kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan

nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi

sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran

darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut

menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal

(GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan

aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi


18

sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria,

hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut (Sudoyo, 2009).

2.1.7 Manifestasi Klinis

Pasien akan menunjukkan beberapa tanda dan gejala.

Keparahan bergantung pada tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain

yang mendasari dan usia pasien (Baughman, 2010). Tanda gejala yang

timbul menurut Baughman (2010), antara lain :

1. Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, gagal ginjal kongestif,

edema pulmonal, perikarditis.

2. Gejala-gejala dermatologis, gatal-gatal hebat (pruritus), serangan

uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresi.

3. Gejala-gejala gastrointestinal, anoreksia, mual, muntah, cegukan,

penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut,

kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap dan parotitis atau

stomatitis.

4. Perubahan neuromuskular, perubahan tingkat kesadaran, kacau

mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.

5. Perubahan hematologis, kecenderungan perdarahan.

6. Keletihan dan letargi, sakit kepala, kelemahan umum.

7. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakter pernafasan

menjadi kusmaul dan terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi

(kedutan mioklonik) atau kedutan otot.


19

2.1.8 Komplikasi

Menurut Alam & Hadibroto (2008), penyakit gagal ginjal

kronik disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi

yang sering lebih berbahaya. Komplikasi yang seringkali ditemukan

pada penderita penyakit gagal ginjal kronik menurut Alam &

Hadibroto (2008), adalah :

1. Anemia

Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena

terjadi gangguan pada produksi hormon eritropoetin yang bertugas

mematangkan sel darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi

yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat

dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah

merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan

jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah

adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat

sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.

2. Osteodistofi Ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat

gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat

dalam darah sangat tinggi, akan terjadi pengendapan garam

kalsium fosfat diberbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatik)

berupa berupa nyeri persendian (arthritis), batu ginjal

(nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah,

gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan).


20

3. Gagal Jantung

Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam

jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja,

tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal

jantung pada penderita gagal ginjal kronik dimulai dari anemia

yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga

terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular

hyperthropy/LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah

dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya

(sindrom kardiorenal).

4. Disfungsi Ereksi

Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau

mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan

hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan

sistem endokrin (yang memproduksi hormon testosteron) untuk

merangsang hasrat seksual (libido), secara emosional penderita

gagal ginjal kronik juga mengalami perubahan emosi yang

menguras energi. Namun, penyebab utama gangguan kemampuan

pria penderita gagal ginjal kronik adalah suplai darah yang tidak

cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.


21

2.1.9 Penatalaksanaan

Menurut Suharyanto (2009), penatalaksanaan gagal ginjal

kronik meliputi :

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah

sebelum terjadinya penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun

sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah

tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan

penurunan LFG untuk mngetahui kondisi komorbid yang dapat

memperburuk keadaan pasien.

3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah

terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Cara untuk mengurangi

hiperfiltrasi glomerulus adalah :

a. Pembatasan asupan protein

Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam

tubuh tetapi di pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain,

yang terutama dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan

tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat,

dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal.

Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada penderita

gagal ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi


22

nitrogen dan ion anorganik lainnya dan mengakibatkan

sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga berkaitan

dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat

selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah

terjadinya hiperfosfatemia.

b. Terapi farmakologi

Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.

Pemakaian obat antihipertensi (ACE inhibitor) disamping

bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga

sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan

nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan

hipertrofi glomerulus.

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi,

pengedalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengedalian

hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan elektrolit.

5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi

a. Anemia

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar

hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi

terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas

ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum),

mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit, dan


23

kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian eritropoetin (EPO)

merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah

11-12 g/dl.

b. Osteodistrofi renal

Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :

1) Mengatasi hiperfosfatemia

a) Pembatasan asupan fosfat 600-800 mg/hari

Pemberian pengikat fosfat, seperti garam,

kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium.

Diberikan secara oral untuk menghambat absorbsi

fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang

banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan

calcium acetate.

b) Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat

menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid,

dengan nama sevelamer hidroklorida.

2) Pemberian kalsitriol

Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat

darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali

normal karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan

kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan

penumpukan garam calcium carbonate di jaringan yang

disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat


24

mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap

kelenjar paratiroid.

3) Pembatasan cairan dan elektrolit

Pembatasan asupan cairan untuk mencegah

terjadinya edema dan kompikasi kardiovaskular sangat

perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500-800

ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi

asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium

dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan

aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-

obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi

kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar

kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan

natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan

edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan

dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang

terjadi.

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada

LFG < 15 ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau

transplantasi ginjal.
25

2.1.10 Prognosis

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis

jangka panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal.

Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk

mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu, biasanya

GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan

menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat

(Kamaludin, 2010).

2.2 Konsep Dasar Mekanisme Koping


2.2.1 Definisi Mekanisme Koping

Keliat (1992) dalam Nasir & Muhith (2011), mengemukakan

bahwa mekanisme koping diartikan sebagai cara yang dilakukan

individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan

perubahan, serta respons terhadap situasi yang mengancam. Menurut

Lazarus (1985) dalam Nasir & Muhith (2011), koping adalah

perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk

mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang

melelahkan atau melebihi sumber individu.

Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam

menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi, dan situasi

yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku (Chaplin,

2009).
26

2.2.2 Klasifikasi Mekanisme Koping

Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Nasir & Muhith

(2011), mekanisme koping berdasarkan penggolongan dibagi menjadi

dua, yaitu :

1. Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme koping yang

mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai

tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,

memecahkan masalah secara efektif, tehnik relaksasi, latihan

seimbang, dan aktifitas konstruktif.

2. Mekanisme koping maladaptif merupakan mekanisme koping

yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan

menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai lingkungan.

2.2.3 Mekanisme Pertahanan Ego

Mekanisme pertahanan ego menurut Nasir & Muhith (2011),

adalah sebagai berikut :

1. Kompensasi adalah proses dimana seseorang memperbaiki

penurunan citra diri dengan secara tegas menonjolkan

keistimewaan dan kelebihan.

2. Penyangkalan (Denial) adalah menyatakan ketidaksetujuan

terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut atau

menolak untuk menerima atau menghadapi kenyataan yang tidak

enak. Mekanisme pertahanan ini adalah yang paling sederhana

dan primitif.
27

3. Pemindahan (Displacement) adalah pengalihan emosi yang

semula ditujukan pada seseorang atau benda lain yang biasanya

netral atau lebih sedikit mengancam dirinya.

4. Disosiasi adalah pemisahan suatu kelompok proses mental atau

perilaku dari kesadaran atau identitasnya. Keadaan dimana

terdapat dua atau lebih kepribadian pada diri seorang individu.

5. Identifikasi (Identification) adalah proses dimana seseorang

untuk menjadi seseorang yang ia kagumi berupaya dengan

mengambil atau menirukan pikiran-pikiran, perilaku, dan selera

orang tersebut.

6. Intelektualisasi (Intelectualzation) adalah menggunakan logika

dan alasan yang berlebihan untuk menghindari pengalaman yang

menggangu perasaannya.

7. Introjeksi (introjection) adalah suatu jenis identifikasi yang kuat

dimana seseorang mengambil dan meleburkan nilai-nilai serta

kualitas seseorang atau kelompok ke dalam struktur egonya

sendiri, yang berasal dari hati nurani.

8. Isolasi adalah pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang

mengganggu dapat bersifat sementara atau berjangka lama.

9. Proyeksi adalah pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri

sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan,

emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi.

10. Rasionalisasi adalah pengemukakan penjelasan yang tampak logis

dan dapat diterima masyarakat untuk menghalalkan


28

(membenarkan) dorongan perasaan, perilaku, dan motif yang

tidak dapat diterima.

11. Reaksiformasi adalah pengembangan sikap dan pola perilaku

yang ia sadari, yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya ia

rasakan atau ingin lakukan.

12. Regresi adalah kemunduran akibat stres terhadap perilau dan

meruapakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih

dini.

13. Represi adalah pengesampingan secara tidak sadar tentang

pikiran, impuls, atau ingatan yang menyakitkan atau

bertentangan, dari kesadaran seseorang. Merupakan pertahan ego

primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain.

14. Pemisahan (Splitting) adalah sikap mengelompokan orang atau

keadaan hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk.

Orang seperti ini mengalami kegagalan untuk mengadukan nilai-

nilai positif dan negatif didalam diri sendiri.

15. Sublimasi adalah penerimaan suatu sasaran pengganti yang

mulia, artinya dimata masyarakat terdapat suatu dorongan yang

mengalami halangan dalam penyalurannya secara normal.

16. Supresi adalah suatu proses yang digolongkan sebagai

mekanisme pertahanan, tetapi sebetulnya merupakan analog

represi yang disadari. Hal ini merupakan pengesampingan yang

disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang. Kadang-

kadang dapat mengarah pada represi yang berikutnya.


29

17. Undoing adalah tindakan atau perilaku atau komunikasi yang

menghapuskan sebagian dari tindakan atau perilaku atau

komunikasi sebelumnya, merupakan mekanisme pertahanan

primitif.

18. Fiksasi adalah berhentinya tingkat perkembangan pada salah satu

aspek tertentu, seperti: emosi tingkah laku, atau pikiran sehingga

perkembangan selanjutnya terhambat.

19. Simbolisasi adalah menggunakan benda atau tingkah laku sebagai

simbol pengganti suatu keadaan atau hal yang sebenarnya.

20. Konversi adalah transformasi konflik emosional kedalam

bentuk gejala-gejala jasmani.

2.2.4 Gaya Koping

Menurut Nasir & Muhith (2011). gaya koping merupakan

penentuan dari gaya seseorang atau cita-cita tertentu dari seseorang

dalam memecahkan suatu masalah berdasarkan tuntutan yang

dihadapi. Gaya koping menurut Nasir & Muhith (2011), dicirikan

sebagai berikut :

1. Gaya Koping Positif

Gaya koping positif merupakan gaya koping yang mampu

mendukung integritas ego. Berikut ini adalah macam gaya koping

positif, yaitu :

a. Problem solving, merupakan usaha untuk memecahkan suatu

masalah. Masalah harus dihadapi dan dipecahkan, dan bukan

dihindari atau ditekan dialam bawah sadar, seakan-akan


30

masalah itu tidak berarti. Pemecahan masalah ini digunakan

sebagai cara untuk menghindari tekanan atau beban psikologis

akibat adanya stressor yang masuk dalam diri seseorang.

b. Utilizing social support, merupakan tindak lanjut dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi ketika masalah itu

belum terselesaikan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan

manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.tidak

semua orang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, hal

ini karena rumitnya masalah yang dihadapi.

c. Looking for silver lining, kepelikan masalah yang dihadapi

terkadang akan membawa kebuntuan upaya menyelesaikan

masalah. Walaupun sudah ada upaya maksimal, terkadang

masalah tersebut belum didapatkan titik temunya.

2. Gaya koping negatif

Gaya koping negatif merupakan gaya koping yang akan

menurunkan integritas ego, dimana penentuan gaya koping akan

merusak dan merugikan dirinya sendiri, yang terdiri atas hal-hal

sebagai berikut:

a. Avoidance, merupakan bentuk dari proses internalisasi terhadap

suatu pemecahan masalah kedalam alam bawah sadar dengan

menghilangkan atau membebaskan diri dari suatu tekanan

mental akibat masalah-masalah yang dihadapi.

b. Self-blame, merupakan bentuk dari ketidakberdayaan atas

masalah yang dihadapi dengan menyalahkan diri sendiri tanpa


31

evaluasi diri yang optimal. Kegagalan orang lain dialihkan

dengan menyalahkan dirinya sendiri sehingga menekan

kreativitas dan ide yang berdampak pada penarikan diri dari

struktur sosial.

c. Wishfull thinking, kegagalan dalam mencapai tujuan yang

diinginkan seharusnya tidak menjadikan seseorang berada

dalam kesedihan yang mendalam. Hal ini terjadi karena dalam

penentuan standar diri, diset atau dikondisikan terlalu tinggi

sehingga sulit untuk dicapai.

2.2.5 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Koping

1. Harapan akan self-efficacy

Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan kita

terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang kita

hadapi, harapan terhadap kemampuan diri untuk menampilkan

tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri

untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura,

2010).

2. Dukungan sosial

Menurut Wills & Filer Fegan (2001) dalam Mutoharoh

(2010), individu dengan dukungan sosial tinggi akan mengalami

stres yang rendah ketika mereka mengalami stres, dan mereka

akan mengatasi stres atau melakukan koping lebih baik. Selain itu

dukungan sosial juga menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih

rendah, mempercepat proses penyembuhan ketika sakit dan untuk


32

mengurangi resiko kematian terhadap penyakit yang serius. Selain

itu dukungan sosial juga memiliki hubungan dengan penyesuaian

yang baik untuk dan atau proses penyembuhan yang lebih cepat

dari penyakit ginjal. Dukungan sosial juga mempunyai hubungan

positif yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan

kesejahteraannya atau dapat meningkatkan kreativitas individu

dalam kemampuan penyesuaian yang adaptif terhadap stres dan

rasa sakit yang dialami.

3. Optimisme

Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan antara

optimisme dengan kesehatan yang lebih baik. Misalnya individu

yang mempunyai pikiran lebih pesimis selama masa sakitnya akan

lebih menderita dan mengalami distress (Nevid et.al., 2006).

Pikiran yang opitmis dapat menghadapi suatu masalah lebih

efektif dibanding pikiran yang pesimis berdasarkan cara individu

melihat suatu ancaman. Pikiran yang optimis dapat membuat

keadaan yang stressfull sebagai sesuatu hal yang harus dihadapi

dan diselesaikan, oleh karena itu, individu lebih akan memilih

menyelesaikan dan menghadapi masalah yang ada dibandingkan

dengan individu yang mempunyai pikiran yang pesimis

(Matthews, 2008 dalam Widyati, 2016).

4. Pendidikan

Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran

kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-


33

tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-

masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu tingkat

pendidikan individu memberikan kesempatan yang lebih banyak

terhadap diterimanya pengetahuan baru termasuk informasi

kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

5. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil

tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya

seperti mata, hidung, telinga dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan merupakan faktor penting terbentuknya perilaku

seseorang. Pada suatu penelitian, pasien -pasien penyakit jantung

pengguna koping represif (mengandalkan penyangkalan) yang

menerima informasi lengkap tentang keadaan mereka

menunjukkan tingkat komplikasi medis yang lebih tinggi daripada

pasien yang menggunakan koping represif tapi tidak menerima

informasi lengkap tentang keadaan mereka (Nevid et.al., 2006).

6. Jenis Kelamin

Ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam

kontrol diri. Anak laki-laki lebih sering menunjukkan perilaku-

perilaku yang kita anggap sulit yaitu gembira berlebihan dan

kadang-kadang melakukan kegiatan fisik yang agresif, menentang

menolak otoritas. Perempuan diberi penghargaan atas sensitivitas,

kelembutan, dan perasaan kasih, sedangkan laki-laki didorong

untuk menonjolkan emosinya, juga menyembunyikan sisi lembut


34

mereka dan kebutuhan mereka akan kasih sayang serta

kehangatan. Bagi sebagian anak laki-laki, kemarahan adalah reaksi

emosional terhadap rasa frustrasi yang paling bisa diterima secara

luas (Affandi, 2009 dalam Widyati, 2016).

2.2.6 Pengukuran Mekanisme Koping

Jalowiec Coping Scale (JCS) yang dibuat oleh Jalowiec dan

kawan-kawan pada tahun 1979. JCS terdiri dari 15 item strategi

pengendalian berorientasi masalah (problem oriented = P) dan 25

item pengendalian berorientasi sikap (affective oriented = A). Subyek

diminta untuk menilai tiap-tiap item dengan skala 5 poin (1 = tidak

pernah, 2 = kadang-kadang, 3 = hampir sering, 4 = sering, 5 = hampir

selalu). Dari 25 item affective oriented terdapat 15 pertanyaan negatif,

yaitu pada nomor 1, 2, 5, 7, 8, 9, 12, 16, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 34.

Untuk pertanyaan negatif ini skornya dibalik secara berurutan yaitu

nilai atau skor 1, 2, 3, 4, 5 diskor dengan 5, 4, 3, 2, 1. Nilai koping

total memiliki kisaran antara 40 sampai 200, dimana skor 40-120 =

koping maladaptif, skor 121-200 = koping adaptif (Johnson, Godwin,

& Patterson, 1998).

Content validity terhadap kuesioner koping telah diuji oleh

Ibrahim pada tahun 2004 dengan tempat penelitian di Bandung, dan

telah dievaluasi oleh tiga orang ahli, yaitu seorang ahli dari Fakultas

Ilmu Keperawatan Universitas indonesia, seorang dari Fakultas

Kedokteran Padjajaran dan seorang perawat senior dari RS Habibie

Bandung (Aryanto, 2007).


35

Uji reliabilitas terhadap kuesioner koping telah diuji oleh

Ibrahim pada tahun 2004 dengan hasil koefisien reliabilitas JCS 0,87 :

0,83 untuk affective oriented dan 0,84 untuk problem oriented

(Aryanto, 2007).

2.3 Konsep Dasar Kecemasan


2.3.1 Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan gejolak emosi seseorang yang

berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang

digunakan dalam mengatasi permasalahan (Asmadi, 2008).

Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir

yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi

(Nevid et.al., 2006).

Menurut Kelly (2001) dalam Cervone (2012), kecemasan

adalah mengenali bahwa suatu peristiwa yang dihadapi oleh seseorang

berada diluar jangkauan kenyamanan pada sistem konstruk seseorang.

Kecemasan menurut Greist dan Jeverson (2000) dalam Maisaroh

(2011), adalah pengalaman manusiawi yang universal, suatu respon

emosional yang tidak menyenangkan dan penuh kekhawatiran, suatu

reaksi antisipatif serta rasa takut yang tidak terarah karena sumber

ancaman atau pikiran tentang sesuatu yang akan datang tidak jelas dan

tidak terdefinisikan.

Atkinson (2003) dalam Maisaroh (2011), menyatakan

kecemasan dapat timbul jika ego menghadapi ancaman impuls yang

tidak dapat dikendalikan. Kecemasan tidak selalu berdasar atas

kenyataan, tetapi dapat juga hanya berdasarkan imajinasi individu.


36

Kecemasan yang irasional ini biasanya disebabkan oleh ketakutan

individu akan ketidakmampuan diri sendiri.

Kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai

dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan

berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai kenyataan,

kepribadian masih tetap utuh atau tidak mengalami keretakan

kepribaadian normal (Hawari, 2008).

Kecemasan adalah perasaan yang menetap berupa ketakutan

atau kecemasan yang merupakan respon terhadap kecemasan yang

akan datang. Hal tersebut dapat merupakan perasaan yang ditekan ke

dalam alam bawah sadar bila terjadi peningkatan akan adanya bahaya

dari dalam. Kecemasan bukanlah suatu panyakit melainkan suatu

gejala. Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu

panjang dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman

hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi khusus dapat

mempercepat munculnya kecemasan tetapi setelah terbentuk pola

dasar yang menunjukan reaksi rasa cemas pada pengalaman hidup

seseorang (Ibrahim, 2007).

Kecemasan adalah keadaan dimana individu atau kelompok

mengalami perasaan gelisah dan aktivasi sistem saraf autonom dalam

merespon ancaman yang tidak jelas. Kecemasan akibat terpejan pada

peristiwa traumatik yang dialami individu yang mengalami,

menyaksikan atau menghadapi satu atau beberapa peristiwa yang

melibatkan kematian aktual atau ancaman kematian atau cedera serius


37

atau ancaman fisik diri sendiri (Doenges, 2006).

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Wangmuba (2009), menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi kecemasan seseorang, antara lain :

1. Pengetahuan

Semakin banyaknya pengetahuan yang dimiliki oleh

seseorang maka seseorang tersebut akan lebih siap dalam

menghadapi sesuatu dan dapat mengurangi kecemasan.

2. Stress yang ada sebelumnya

Perubahan pekerjaan tertentu, kekhawatiran akan keadaan

keuangan, tempat tinggal, permasalahan keluarga, perceraian dan

permasalahan lainnya membuat survivor berisiko mengalami

kecemasan. Kecemasan ini akan semakin tinggi jika dukungan

yang diperoleh bersifat terbatas.

3. Dukungan Sosial

Tidak adanya sistem dukungan sosial dan psikologis

menyebabkan seseorang berisiko mengalami kecemasan, karena

tidak ada yang membantunya dalam memaknai peristiwa serta

menghadapi kenyataan secara lapang dada untuk membangkitkan

harga dirinya.

4. Kemampuan Mengatasi Masalah (Mekanisme Koping)

Kemampuan koping yang buruk atau maladaptif

memperbesar resiko seseorang mengalami kecemasan.


38

5. Lingkungan Budaya dan Etnis

Setiap informasai yang bersifat baru akan disaring oleh

budaya setempat untuk dinilai apakah informasi tersebut layak

atau tidak untuk disampaikan, sehingga terkadang informasi yang

sifatnya penting untuk diketahui tidak dapat disampaikan tepat

waktu dan tepat sasaran yang pada akhirnya dapat berisiko

terjadinya kecemasan pada seseorang yang tidak mengetahuinya.

6. Kepercayaan

Adanya kepercayaan tertentu yang tidak membenarkan

perilaku atau informasi (yang berkaitan dengan penyakitnya) dapat

berisiko menimbulkan kecemasan karena seseorang akan timbul

persepsi bahwa hal tersebut tidak baik atau merupakan suatu

masalah.

2.3.3 Sumber Koping Untuk Mengatasi Kecemasan

Menurut Ibrahim (2007), individu dapat mengatasi stress dan

cemas dengan menggunakan sumber koping yang ada di dalam

lingkungan. Sumber koping tersebut antara lain, yaitu :

1. Modal ekonomi

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-

barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

2. Kemampuan menyelesaikan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari

informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan

tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian


39

mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil

yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana

dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

3. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan

informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh

orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan

masyarakat sekitarnya.

4. Keyakinan

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat

penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control)

yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan

(helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi koping

tipe : problem - solving focused coping.

5. Budaya

Budaya setiap tempat berbeda-beda dalam menilai apakah

setiap informasi baru tersebut layak atau tidak untuk disampaikan,

sehingga budaya yang bersifat ekstrim kurang dapat menerima

informasi baru.

2.3.4 Jenis-jenis Gangguan Kecemasan

Menurut Laura (2010), jenis-jenis gangguan kecemasan, yaitu :

1. Gangguan Kecemasan Tergeneralisasi

Gangguan kecemasan tergeneralisasi adalah gangguan

kecemasan yang terdiri atas kecemasan yang bertahan untuk


40

setidaknya 6 bulan. Individu dengan gangguan ini tidak dapat

menunjukkan kecemasannya. Generalized Anxiety Disorders

berbeda dari perasaan atau kecemasan sehari-hari karena para

penderitanya mengalami kecemasan yang bertahan terus-menerus

untuk setidaknya 6 bulan, dan individu dengan gangguan

kecemasan tergeneralisasi tidak mampu untuk menunjukkan

alasan jelas untuk kecemasan tersebut.

Orang dengan gangguan kecemasan tergeneralisasi merasa

cemas hampir setiap saat. Mereka mungkin mengkhawatirkan

pekerjaan mereka, hubungan mereka atau kesehatan mereka.

Mereka juga mencemaskan hal-hal kecil, seperti terlambat untuk

sebuah perjanjian atau apakah pakaian mereka cocok dengan diri

mereka. Kecemasan mereka sering bergeser dari satu aspek

kehidupan ke aspek yang lain.

2. Gangguan Panik

Gangguan panik adalah sebuah gangguan kecemasan yang

ditandai dengan kemunculan ketakutan akan teror yang tiba-tiba

datang dan berulang. Dalam panic disorder, seseorang mengalami

secara berulang-ulang kemunculan mendadak dari sebuah teror

yang sangat intens. Individu kerap mengalami perasaan hancur,

tetapi mungkin saja tidak merasa cemas setiap saat. Serangan

panik sering kali muncul tanpa peringatan terlebih dahulu dan

menghasilkan denyut jantung yang sangat cepat, nafas menjadi

sangat pendek, sakit di dada, gemetar, berkeringat, pusing dan


41

perasaan tidak berdaya.

3. Gangguan Fobia

Phobic disorder adalah sebuah bentuk gangguan

kecemasan dimana individu memiliki ketakutan yang irrasional,

berlebihan dan persisten akan suatu objek tertentu atau situasi.

Sebuah ketakutan berkembang menjadi fobia ketika sebuah situasi

demikian mengancam hingga individu menjadi selalu

mengusahakan untuk menghindarinya. Seperti pada gangguan

kecemasan lain, fobia adalah ketakutan yang tidak dapat

dikendalikan, tidak proporsional dan disruptif. Contoh fobia yang

paling umum adalah takut ketinggian, takut ular dan lain-lain.

4. Gangguan Obsesif-kompulsif

Obsessive-compulsive disorder atau OCD adalah

gangguan kecemasan dimana individu memiliki pikiran-pikiran

yang menimbulkan kecemasan yang tidak dapat hilang begitu saja

(obsesi) dan atau dorongan-dorongan untuk melakukan perilaku

berulang, ritual untuk mencegah atau menghasilkan suatu situasi

(kompulsi). Individu dengan OCD menunjukkan kekhawatiran

normal dan melakukan pengulangan rutinitas mereka, terkadang

hingga ratusan kali dalam satu hari.

5. Gangguan Stress Pasca Trauma

Post-traumatic stress disorder atau PTSD adalah sebuah

gangguan kecemasan yang berkembang melalui paparan terhadap

suatu kejadian traumatis, situasi-situasi yang menekan, penyiksaan


42

yang parah, dan bencana alam maupun bencana akibat kelalaian

manusia. PTSD adalah gangguan kecemasan yang berkembang

melalui pengalaman traumatis, seperti perang; situasi yang sangat

opresif, seperti holocaust; penyiksaan yang parah seperti pada

perkosaan; bencana alam, seperti banjir dan tornado; dan

kecelakaan yang tidak disebabkan oleh alam, seperti kecelakaan

pesawat terbang.

Gejala-gejala PTSD, gejala-gejala PTSD bervariasi namun

meliputi hal-hal berikut:

a. Kemunculan-kemunculan kembali gambaran tentang kejadian

dimana individu menghidupkan kembali kejadian traumatis.

b. Kemampuan yang menjadi terbatas untuk merasakan emosi-

emosi, sering melaporkan merasa mati rasa yang berujung

pada ketidakmampuan merasakan kebahagiaan, hasrat seksual

atau hubungan interpersonal yang menyenangkan.

c. Perangsangan berlebihan yang berakibat pada respon yang

berlebihan atau ketidakmampuan untuk tidur.

d. Kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengingat.

e. Perasaan takut, meliputi tremor yang menunjukkan kecemasan.

f. Perilaku impulsive yang muncul meliputi agresifitas atau

perubahan mendadak dalam gaya hidup.

Tidak semua individu yang mengalami kejadian yang

sama mengembangkan gangguan stress pasca trauma yang

membebani kemampuan mengatasi masalah individu (Laura,


43

2010).

2.3.5 Ciri-ciri Kecemasan

Menurut Nevid et al. (2006), adapun ciri-ciri kecemasan, yaitu:

1. Ciri-ciri fisik dari kecemasan

Kegelisahan, gugup, tangan atau anggota tubuh bergetar,

sensasi dari pita ketat yang mengikat disekitar dahi, kekencangan

pada pori-pori kulit perut atau dada, banyak berkeringat, telapak

tangan yang berkeringat, pingsan, mulut terasa kering, sulit bicara,

susah bernafas atau nafas tersendat-sendat, jantung berdetak

kencang, jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin, merasa

lemas atau mati rasa, leher atau punggung terasa kaku, terdapat

gangguan sakit perut atau mual, panas dingin, sering buang air

kecil, wajah terasa memerah dan merasa sensitif atau mudah

marah.

2. Ciri-ciri behavioral dari kecemasan

Perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen,

serta perilaku terguncang.

3. Ciri-ciri kognitif dari kecemasan

Khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan

ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi dimasa

depan, keyakinan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi

tanpa ada penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi kebutuhan,

merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya

sedikit atau tidak mendapat perhatian, ketakutan akan kehilangan


44

kontrol, ketakutan akan kehilangan mengatasi masalah, berfikir

bahwa semuanya tidak bisa lagi dikendalikan, berfikir bahwa

semua terasa membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir

terhadap hal-hal sepele, tidak mampu menghilangkan pikiran-

pikiran terganggu, khawatir akan ditinggal sendirian dan sulit

berkonsentrasi atau memfokuskan.

2.3.6 Etiologi Kecemasan

Menurut Sumiati (2009), faktor penyebab kecemasan adalah

sebagai berikut :

1. Faktor Predisposisi (Pendukung) :

Ketegangan dalam kehidupan dapat berupa hal-hal

sebagai berikut :

a. Peristiwa traumatik

b. Konflik emosional

c. Gangguan konsep diri

d. Frustasi

e. Gangguan fisik

f. Pola mekanisme koping keluarga

g. Riwayat gangguan kecemasan

h. Medikasi

2. Faktor Presipitasi :

a. Ancaman terhadap integritas fisik

1) Sumber internal

2) Sumber eksternal
45

b. Ancaman terhadap harga diri

1) Sumber internal

2) Sumber eksternal

Kecemasan yang dialami oleh seseorang dapat ditimbulkan

dari adanya sebuah ancaman yang dapat menimbulkan rasa ketakutan

dan akhirnyanya merasa cemas atau khawatir. Kecemasan atau

ansietas dapat ditimbulkan oleh bahaya dari luar dan dari dalam diri

seseorang yang sifat ancamannya itu samar-samar. Bahaya dari dalam

bisa timbul bila ada sesuatu hal yang tidak dapat diterimanya,

misalnya pikiran, perasaan, keinginan, dan dorongan (Gunarsah &

Gunarsah, 2008).

2.3.7 Tanda dan Gejala

Menurut Suliswati (2012), kecemasan memiliki beberapa

simtom antara lain :

1. Simtom suasana hati

Simtom-simtom suasana hati dalam gangguan-gangguan

kecemasan adalah kecemasan, tegangan, panik, dan kekhawatiran.

Individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan

adanya hukuman dan bencana yang mengancam dari suatu sumber

tertentu yang tidak diketahui. Simtom-simtom suasana hati yang

lain adalah depresi dan sifat mudah marah. Depresi dapat terjadi

karena individu mungkin tidak melihat suatu pemecahan terhadap

masalahnya serta cepat menyerah dan mengaku bersalah. Orang

yang mengalami kecemasan tidak bisa tidur dan dengan demikian


46

dapat menyebakan sifat mudah marah. Deperesi dan sifat mudah

marah dilihat sebagai simtom-simtom sekunder karena keduanya

disebabakan oleh kecemasan yang merupakan simtom primer.

2. Simtom kognitif

Simtom-simtom kognitif dalam gangguan-gangguan

kecemasan menunjukkan kekhawatiran dan keprihatinan mengenai

bencana yang diantisipasi oleh individu. Misalnya seseorang

individu yang merasa takut berada di tengah khalayak ramai

(agorafobia) menghabiskan banyak waktu untuk khawatir

mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan (mengerikan) yang

mungkin terjadi dan kemudian dia merencanakan bagaimana

diaharus menghindari hal-hal tersebut. Perhatian yang dipusatkan

hanya pada masalah-masalah tersebut menyebabkan seseorang

tidak fokus terhadap masalah-masalah nyata yang ada sehingga

seseorang merasa sering tidak bekerja atau belajar secara efektif

dan akhirnya merasa cemas.

3. Simtom somatik

Simtom-simtom somatik dari kecemasan dapat dibagi

menjadi dua kelompok. Pertama adalah simtom-simtom langsung

yang terdiri dari keringat, mulut kering, bernafas pendek, denyut

nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa berdenyut-

denyut, dan otot terasa tegang. Simtom-simtom ini menunjukkan

tingkat rangsangan dari saraf otonomi tinggi dan respon-respon

yang sama juga terjadi pada ketakutan. Simtom-simtom tambahan


47

dapat terjadi karena orang tersebut mulai bernafas terlalu cepat

(hiperventilasi). Hiperventilasi menyebabkan kepala pusing,

jantung berdenyut dengan cepat, dada terasa sakit dan kehabisan

nafas. Kedua, apabila kecemasan itu berkepanjangan maka

simtom-simtom tambahan seperti tekanan darah meningkat secara

kronis, sakit kepala, otot melemah, dan gangguan fungsi usus

(kesulitan pencernaan dan rasa nyeri pada perut) mungkin dapat

rerjadi. Tidak semua orang yang mengalami kecemasan akan

mengalami simtom-simtom fisik yang sama. Hal ini terjadi karena

perbedaan-perbedaan individual dalam pemolaan reaktivitas

otonomi.

2.3.8 Tingkat Kecemasan

Menurut Hamilton (1998) dalam Videbeck (2008), membagi

kecemasan menjadi 4 tingkat antara lain kecemasan ringan,

kecemasan sedang, kecemasan berat dan panik yaitu :

1. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan diperlukan seseorang untuk dapat

berespon secara efektif terhadap lingkungan dan kejadian,

berhubungan dengan ketegangan otot ringan, sadar akan

lingkungan dan rileks atau sedikit gelisah. Pada cemas ringan

respon emosional sedikit tidak sabar, aktifitas menyendiri,

tersimulasi dan tenang. Seorang cemas ringan dijumpai hal-hal

sebagai berikut: lapangan presepsi luas, terlihat percaya diri dan

tenang, waspada dan memperhatikan banyak hal,


48

mempertimbangkan informasi, cenderung untuk tidur.

2. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk

memuaskan pada suatu hal dan mengesampingkan yang lain,

kepercayaan diri goyah, ketegangan otot sedang sehingga

seseorang mengalami tidak perhatian secara selektif. Seseorang

dengan kecemasan sedang biasanya menunjukan keadaan seperti :

lapang presepsi menurun, perubahan suara: bergetar, nada suara

tinggi, pupil dilatasi, mulai berkeringat, kewaspadaan dan

ketegangan meningkat, peningkatan tanda-tanda vital, respon yang

muncul adalah : Respon fisik sering berkemih, pola tidur berubah,

respon kognitif rentang perhatian menurun, respon emosional

mudah tersinggung, banyak pertimbangan.

3. Kecemasan Berat

Kecemasan ini menyebabkan presepsi berkurang sehingga

cenderung terjadi penurunan ketrampilan kognitif menurun secara

signifikan, individu yang mengalami ansietas berat sulit untuk

berpikir dan melakukan pertimbangan, pada ansietas berat

individu memperlihatkan kegelisahan, iritabilitas atau

menggunakan cara psikomotor-emosional yang sama lainnya

untuk melepas ketegangan. Hal-hal yang sering dijumpai pada

seseorang yang mengalami cemas berat adalah :

a. Lapang presepsi terbatas, proses berpikir terpecah-pecah,

ketika diinstruksikan untuk melakukan sesuatu tidak dapat


49

berkonsentrasi.

b. Tidak mampu mempertimbangkan informasi, hiperventilasi,

takikardi, pengeluaran keringat meningkat

c. Berkomunikasi sulit untuk dipahami, berteriak, gemetar

d. Kontak mata buruk, menarik diri, kebutuhan ruang gerak

meningkat.

4. Panik

Kecemasan yang berhubungan dengan ketakutan dan teror,

individu akan mengalami panik dan tidak mampu mengontrol

presepsi walaupun dengan pengarahan, terjadi peningkatan

aktifitas motorik, menurunkan kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain. Panik merupakan disorganisasi kepribadian,

pada keadaan panik hormon stres dan neurotransmeter berkurang.

Hal-hal yang dijumpai dengan keadaan panik, adalah :

a. Tanda-tanda vital meningkat kemudian menurun

b. Pikiran tidak logis hilang kemampuan mengingat, individu

dalam keadaan panik tidak dapat melihat atau memahami

situasi

c. Halusinasi, waham, ilusi mungkin terjadi dan keadaan saat

panik individu tidak dapat tidur

d. Pikiran tidak logis, terganggu dan tidak rasional.


50

2.3.9 Macam-macam Kecemasan

Freud (1993) dalam Hall & Lindsey (2009), membedakan tiga

macam kecemasan yakni kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan

kecemasan moral atau perasaan-perasaan bersalah, yaitu :

1. Kecemasan Realistis

Kecemasan realistis adalah kecemasan yang realistis atau

takut akan bahaya-bahaya didunia luar, kedua tipe kecemasan lain

berasal dari realitas.

2. Kecemasan Neurotis

Kecemasan neurotis adalah kecemasan apabila insting-

insting tidak dapat dikendalikan dan menyebabkan orang-orang

berbuat sesuatu yang dapat dihukum. Kecemasan neurotik

bukanlah ketakutan terhadap hukuman yang mungkin terjadi jika

suatu insting dipuaskan. Kecemasan neurotik mempunyai dasar

dalam kenyataan sebab dunia sebagaimana diwakili oleh orang tua

dan berbagai autoritas lain akan menghukum anak bila ia

melakukan tindakan-tindakan impulsif.

3. Kecemasan Moral

Kecemasan moral adalah kecemasan kata hati. Kecemasan

ini mempunyai dasar realistis karena dimasa lampau orang telah

mendapatkan hukuman sebagai akibat dari perbuatan yang

melanggar kode moral dan mungkin akan mendapat hukuman lagi.

Orang-orang yang super egonya berkembang dengan baik

cenderung merasa bersalah jika mereka yang bertentangan dengan


51

norma moral. Kecemasan moral juga mempunyai dasar dalam

realitas di masa lalu jika melanggar norma moral dapat diberikan

hukuman.

2.3.10 Teori Kecemasan

Menurut Suliswati (2012), teori-teori kecemasan terdiri dari

teori psikoanalitik, teori interpersonal, teori perilaku, teori keluarga

dan teori biologik, yaitu :

1. Teori Psikoanalitik

Kecemasan dapat timbul secara otomatis akibat dari

stimulus internal dan eksternal yang berlebihan. Akibat stimulus

(internal dan eksternal) yang berlebihan yang melampaui

kemampuan individu menanganinya. Ada dua tipe kecemasan

yaitu kecemasan primer dan kecemasan subsekuen, yaitu :

a. Kecemasan Primer

Kejadian traumatik yang diawali saat bayi akibat

adanya stimulasi tiba-tiba dan trauma pada saat persalinan,

kemudian berlanjut dengan kemungkinan tidak tercapainya

rasa puas akibat kelaparan atau kehausan. Penyebab

kecemasan primer adalah keadaan ketegangan atau dorongan

yang diakibatkan oleh faktor eksternal.

b. Kecemasan Subsekuen

Sejalan dengan peningkatan ego dan usia, freud

melihat ada kecemasan lain akibat konflik emosi diantara dua

elemen kepribadian yaitu id dan seperego. Freud menjelaskan


52

bila terjadi kecemasan bahwa posisi ego sebagai pengembang

id dan superego berada kondisi bahaya.

2. Teori Interpersonal

Kecemasan timbul akibat ketidakmampuan untuk

berhubungan interpersonal dan sebagai akibat penolakan.

Kecemasan bisa dirasakan bila individu mempunyai kepekaan

lingkungan. Kecemasan pertama kali ditentukan oleh hubungan

ibu dan anak pada awal kehidupannya, bayi berespon seolah-olah

dia dan ibunya adalah satu unit. Dengan bertambahnya usia, anak

melihat ketidaknyamanan yang timbul akibat tindakannya sendiri

dan diyakini bahwa ibunya setuju atau tidak setuju dengan

perilaku itu.

Adanya trauma seperti perpisahan dengan orang berarti

atau kehilangan dapat menyebabkan kecemasan pada individu.

Kecemasan yang timbul pada masa berikutnya muncul pada saat

individu mempersepsikan bahwa ia akan kehilangan orang yang

dicintainya. Harga diri seseorang merupakan faktor penting yang

berhubungan dengan kecemasan. Orang yang mempunyai

predisposisi mengalami kecemasan adalah orang yang mudah

terancam, mempunyai opini negatif terhadap dirinya atau

meragukan kemampuannya.

3. Teori Perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan merupakan

hasil frustasi akibat berbagai hal yang memengaruhi individu


53

dalam mencapai tujuan yang diinginkan misalnya memperoleh

pekerjaan, berkeluarga, kesuksesan dalam sekolah. Perilaku

merupakan hasil belajar dari pengalaman yang pernah dialami.

Kecemasan dapat juga muncul melalui konflik antara dua pilihan

yang saling berlawanan dan individu harus memilih salah satu.

Konflik menimbulkan kecemasan dan kecemasan akan

meningkatkan persepsi terhadap konflik dengan timbulnya

perasaan ketidakberdayaan.

Konflik muncul dari dua kecenderungan yaitu “approach”

dan “avoidance” approach merupakan kecenderungan untuk

melakukan atau menggerakan sesuatu. Avoidance adalah kebalikan

yaitu tidak melakukan atau menggerakan sesuatu melalui sesuatu.

4. Teori Keluarga

Studi pada keluarga dan epidemiologi memperlihatkan

bahwa kecemasan selalu ada pada tiap-tiap keluarga dalam

berbagai bentuk dan sifatnya heterogen.

5. Teori Biologik

Otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin,

reseptor tersebut berfungsi membantu regulasi kecemasan.

Regulasi tersebut berhubungan aktivitas neurontransmiten gamma

amino butyric acid (GABA) yang mengontrol aktifitas neuron

dibagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.


54

2.3.11 Reaksi Kecemasan

Menurut Suliswati (2012), kecemasan dapat menimbulkan

reaksi konstruktif maupun destruktif bagi individu, yaitu :

1. Konstruktif adalah individu termotivasi untuk belajar mengadakan

perubahan terutama perubahan terhadap perasaan tidak nyaman

dan terfokus pada kelangsungan hidup. Contohnya: individu yang

melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi karena akan

dipromosikan naik jabatan.

2. Destruktif adalah individu bertingkah laku maladaptif dan

disfungsional. Contohnya: individu menghindari kontak dengan

orang lain atau mengurung diri, tidak mau mengurus diri, tidak

mau makan.

2.3.12 Cara Mengukur Kecemasan

Menurut Hawari (2008), untuk mengetahui sejauh mana

derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat

sekali digunakan alat ukur yang dikenal dengan nama Hamilton

Anxiety Range of Scale (HARS). Alat ukur ini terdiri dari 14

kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan

gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala

diberi penilaian angka (score) antara 0-4, yang artinya nilai 0 = Tidak

ada gejala sama sekali, 1 = Satu dari gejala yang ada, 2 = Sedang/

separuh dari gejala yang ada, 3 = Berat/lebih dari ½ gejala yang ada, 4

= Sangat berat/semua gejala ada. Penentuan derajat kecemasan dengan

cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil: Skor kurang
55

dari 14 = tidak ada kecemasan, skor 14-20 = kecemasan ringan, skor

21-27= kecemasan sedang, skor 28-41= kecemasan berat, skor 42-56=

kecemasan berat sekali (panik).

2.4 Konsep Hemodialisis


2.4.1 Definisi Hemodialisis

Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya

melalui dializer yang terjadi secara difusi dan ultrasifiltrasi kemudian

darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan

akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa

darah pasien ke dan dari dializer (tempat terjadi pertukaran cairan,

elektrolit dan zat sisa tubuh) kembali ke dalam tubuh (Baradero,

Dayrit, & Siswadi, 2009).

2.4.2 Tujuan Hemodialisis

Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan

biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal,

dilakukan dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis

merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal

replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan sebagian dari

fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK

stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang

memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan

HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD

persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al.,

2007).
56

2.4.3 Indikasi Hemodialisis

Menurut Daurgirdas et al. (2007), Indikasi HD dibedakan

menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik, yaitu :

1. Indikasi hemodialisis segera antara lain :

a. Kegawatan ginjal

1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)

4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG

biasanya K >6,5 mmol/l )

5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

6) Uremia ( BUN >150 mg/dL)

7) Ensefalopati uremikum

8) Neuropati/miopati uremikum

9) Perikarditis uremikum

10) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)

11) Hipertermia

b. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati

membran dialisis.

2. Indikasi Hemodialisis Kronik

Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan

berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin

hemodialisis. Menurut KDOQI dialisis dimulai jika GFR <15

ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak


57

selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika

dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini :

a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan

muntah

c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot

d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

2.4.4 Kontraindikasi Hemodialisis

Menurut PERNEFRI (2003) dalam Efendi (2013),

kontraindikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan

akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas

hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain

diantaranya adalah penyakit Alzheimer, demensia multi infark,

sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan

keganasan lanjut.

2.4.5 Akses Sirkulasi Darah pada Hemodilasis

Menurut Baradero, Dayrit & Siswadi (2009), terdapat lima

cara memperoleh akses ke sirkulasi darah pasien yaitu :

1. Fistula arteriovena

2. Graft arteriovena

3. Shunt (pirai) arteriovena eksternal

4. Kateterisasi vena femoralis

5. Kateterisasi vena subklavia.


58

2.4.6 Komplikasi Hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan

sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada

penderita penyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal

kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami

perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang

mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang

sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan

hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan

dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi

intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD

(Baradero, Dayrit & Siswadi 2009).

2.4.7 Dampak Hemodialisis

Menurut Muttaqin dan Sari (2014), dampak hemodialisis akan

berakibat terhadap respon pasien. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya karakteristik individu, pengalaman sebelumnya

dan mekanisme koping. Adapun dampak yang terjadi akibat

hemodialisis menurut Muttaqin dan Sari (2014), adalah :

1. Dimensi Fisik

Dimensi fisik mempunyai beberapa dampak terhadap

hidup penderita gagal ginjal kronik. Dimensi fisik merujuk pada

gejala-gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani.

Pada penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan

fisik. Kelemahan merupakan hal utama yang dirasakan oleh pasien


59

gagal ginjal kronik. Kelemahan berhubungan dengan gangguan

pada kondisi fisik, termasuk malnutrisi, anemia uremia.

Kelemahan fisik dapat menurunkan motivasi. Kelemahan secara

signifikan berhubungan dengan timbulnya gejala gangguan

masalah tidur, status kesehatan fisik yang menurun dan depresi.

Seluruh aktivitasnya terbatas dikarenakan kelemahan, respon fisik

dirasakan menurun, merasa mudah capek, dan keterbatasan dalam

asupan cairan dan nutrisi serta merasakan kurang tidur (Farida,

2010).

Hal ini mempengaruhi semua kesehatan fisik penderita

gagal ginjal kronik sehingga tidak dapat melakukan kegiatan

seperti saat sebelum menjalani hemodialisis. Adaptasi yang

dilakukan penderita dalam mengatasi kesehatan fisik yang

menurun berupa membatasi aktivitas fisik seperti tidak melakukan

pekerjaan yang berat, membatasi pemasukan cairan dan nutrisi

sesuai yang dianjurkan berdasarkan kesehatannya (Farida, 2010).

2. Dimensi Psikologi

Respon psikologis pada pasien gagal ginjal kronik dapat

bervariasi dan sering berhubungan dengan kerugian, baik aktual

maupun potensial, dan telah disamakan dengan proses kesedihan.

Kecemasan merupakan respon psikologis yang paling umum.

Kemarahan dan penolakan yang sering dilakukan oleh pasien

untuk melindungi diri dan emosi tak terkendali, ini dapat memiliki

efek negatif yang dapat menyebabkan penurunan kepatuhan pasien


60

terhadap rejimen pengobatan dan mengurangi komunikasi yang

efektif antara pasien dan tim kesehatan (Farida, 2010).

Dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada pasien

dan keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi dialisis akan

mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas sosial

dan dapat menciptakan konflik, frustasi, rasa bersalah, kecemasan,

serta depresi di dalam keluarga (Smeltzer & Bare, 2009).

Adapun perubahan psikologis yang tampak pada pasien

hemodialisis diantaranya :

a. Kecemasan

Menurut Smeltzer & Bare (2009), pasien yang

menjalani terapi hemodialisis, diagnosa gagal ginjal kronis dan

kebutuhan akan dialisis sering mengganggu pikiran pasien

serta keluarganya. Individu dengan hemodialisis jangka

panjang sering merasa khawatir akan kondisi sakitnya yang

tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam kehidupannya.

Mereka biasanya menghadapi masalah finansial, dorongan

seksual yang menghilang serta impotensi, depresi akibat sakit

yang kronis dan ketakutan akan kematian. Pasien-pasien yang

lebih muda khawatir terhadap perkawinan mereka, anak-anak

yang dimilikinya, dan beban yang ditimbulkan pada keluarga

mereka. Gaya hidup terencana berhubungan dengan terapi

dialisis dan pembatasan asupan makanan serta cairan sering

menghilangkan semangat hidup pasien dan keluarganya.


61

b. Dependensi

Klien memerlukan dialisis untuk mempertahankan

hidup dan secara fisiologis tergantung pada mesin dialisis.

Konsep diri mereka berubah dari manusia mandiri menjadi

manusia yang harus bergantung pada sesuatu. Selain itu pasien

hemodialisis harus mengikuti jadwal rutin yang telah

ditetapkan dan memasukkannya ke dalam kegiatan kehidupan

mereka sehingga energi mereka dipusatkan untuk menjalani

terapi dialisis (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia, 2008 dalam

Farida, 2010).

c. Perasaan Kehilangan

Pada awal menjalani hemodialisis respon pasien

seolah-olah tidak menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya,

marah dengan kejadian yang ada dan merasa sedih dengan

kejadian yang dialami sehingga memerlukan penyesuaian diri

yang lama terhadap lingkungan yang baru dan harus menjalani

hemodialisis dua kali seminggu. Barangkali sulit bagi pasien,

pasangan dan keluarganya untuk mengungkapkan rasa marah

serta perasaan negatif. Meskipun perasaan tersebut normal

dalam situasi ini. (Smeltzer & Bare, 2009).

3. Dimensi Spiritual

Penderita gagal ginjal kronik akan mengalami perubahan

dalam hal spiritual. Pasien lebih mendekatkan diri kepada Tuhan

dibandingkan sebelum terkena gagal ginjal dan melakukan


62

hemodialisis. Mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan dengan

menjalankan aturan agama dan tidak berbuat hal yang dilarang

agama. Lebih memikirkan kehidupan untuk bekal diakhirat. Inti

dari spiritual adalah kualitas dari suatu proses menjadi lebih

religius, berusaha mendapatkan inspirasi, penghormatan, perasaan

kagum, memberi makna dan tujuan yang dilakukan oleh individu

yang percaya dan tidak percaya kepada Tuhan (Smeltzer & Bare,

2009).

4. Dimensi Hubungan Sosial

Nutrisi merupakan komponen penting dalam kehidupan

pasien dengan gagal ginjal kronik. Efek samping jika mengalami

gangguan nutrisi adalah hiperkalemia, hiperfosfatemia, protein

yang berhubungan dengan kekurangan gizi dan kelebihan cairan.

Sebagian besar dari interaksi orang, melibatkan makan dan minum

sehingga tidak jarang untuk pasien dengan ESRF untuk

mengurangi keterlibatan sosial mereka karena pembatasan

makanan dan minuman yang ketat. Masalah sosial lainnya dapat

dipengaruhi oleh penyakit kronis dan termasuk status kerja pasien,

hubungan antara keluarga dan teman-teman, dan bahkan keinginan

untuk melakukan kegiatan rekreasi. Perubahan aspek sosial dapat

disebabkan oleh perubahan fisik dan atau psikologis dan bisa ada

siklus negatif yang jika dipelihara maka penyebabnya juga dapat

menjadi efek (Tallis, 2006 dalam Farida, 2010). Pasien

hemodialisis juga mengalami gangguan sosial berupa disfungsi


63

seksual. Disfungsi seksual terjadi pada klien gagal ginjal kronik

tahap akhir dengan hemodialisis. Pada pasien gagal ginjal kronik,

umumnya mendapatkan terapi antidepresan, dimana obat ini dapat

berefek menurunkan libido dan menunda orgasme pada wanita,

menurunkan ereksi dan ejakulasi pada laki-laki. Selain faktor

depresan hal lain yang berkontribusi pada disfungsi seksual adalah

body image, defisiensi zinc dan gangguan hormonal (Tallis, 2006

dalam Farida, 2010).

5. Dimensi Lingkungan

Penelitian yang dilakukan oleh Chang dalam Farida

(2010), mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi kemampuan

dalam melakukan koping pada pasien yang menjalani

hemodialisis. Hasil penelitian mengatakan penyebab stres utama

adalah yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan

ketidakmampuan untuk mendapatkan uang.

2.4.8 Asuhan Keperawatan Selama Hemodialisis

Menurut Baradero, Dayrit & Siswadi (2009), asuhan

keperawatan yang dapat dilakukan selama hemodialisis adalah :

1. Pantau status fisik sebelum dan sesudah dialisis untuk mengetahui

apakah ada perubahan fisiologis

2. Ciptakan rasa nyaman dan aman untuk mengurangi kekhawatiran

atau kecemasan

3. Bantu pasien mengerti perubahan pada gaya hidup dan

menyesuiakan dengan perubahan tersebut. Hal ini menyangkut


64

pendidikan kesehatan mengenai tindakan dan medikasi. Pasien

didorong mengungkapkan perasaannya.

2.5 Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan Pasien Gagal

Ginjal Kronik

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu

memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal

kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan dan

memerlukan pengobatan berupa transplantasi ginjal, dialisis peritoneal,

hemodialisis dan rawat jalan dalam jangka waktu yang lama (Black &

Hawks, 2014).

Hemodialisis (HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh

pasien penyakit ginjal kronik di seluruh dunia (Daurgirdas et al., 2007).

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti sebagian kerja atau

fungsi ginjal dalam mengeluarkan sisa hasil metabolisme dan kelebihan

cairan serta zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh (Rahmi, 2008). Hemodialisis

yang dilakukan oleh pasien dapat mempertahankan kelangsungan hidup

sekaligus akan merubah pola hidup pasien. Pasien yang menjalani

hemodialisis mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak

berfungsinya ginjal. Hal ini menjadi stressor fisik yang berpengaruh pada

berbagai dimensi kehidupan pasien yang meliputi biologi, psikologi, sosial,

spiritual (Muttaqin & Sari, 2014).


65

Kecemasan merupakan dampak psikologis yang sering dikeluhkan

oleh pasien hemodialisis. Rasa cemas yang dialami pasien bisa timbul karena

masa penderitaan yang sangat panjang (seumur hidup). Selain itu, sering

terdapat bayangan tentang berbagai macam pikiran yang menakutkan

terhadap proses penderitaan yang akan terjadi padanya, walaupun hal yang

dibayangkan belum tentu terjadi. Situasi ini menimbulkan perubahan drastis,

bukan hanya fisik tetapi juga psikologis (Rahmi, 2008). Proses tindakan

invasif merupakan salah satu faktor situasional yang berhubungan dengan

kecemasan. Kondisi ini lebih dominan sehingga kadang terabaikan apalagi

pada pasien GGK yang memerlukan tindakan hemodialisis yang sangat asing

bagi masyarakat. Pasien sering mengganggap hemodialisis merupakan suatu

hal yang mengerikan terutama ruangan, peralatan dan mesin yang serba asing,

sehingga pasien sering menolak dan mencari alternatif lain (Rika, 2006).

Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan penyebab dari

gangguan kecemasan. Antara lain teori psikodinamika, faktor-faktor sosial

dan lingkungan, faktor-faktor kognitif dan emosional dan faktor biologis.

Pasien dapat mengatasi kecemasannya dengan menggunakan sumber koping

di lingkungan sekitarnya. Sumber koping tersebut adalah aset ekonomi,

kemampuan menyelesaikan masalah, dukungan sosial keluarga dan

keyakinan budaya dapat membantu individu dalam menggunakan mekanisme

koping yang adaptif (Subiatmini, 2012).

Jangkup, Elim & Kandou (2015), mengatakan bahwa pasien GGK

yang menjalani proses hemodialisis < 6 bulan memiliki tingkat kecemasan

yang signifikan berat dibandingkan dengan yang menjalani proses


66

hemodialisis > 6 bulan. Rani (2009) dalam Jangkup, Elim & Kandou (2015),

mengatakan bahwa semakin lama menjalani proses hemodialisis maka

dengan sendirinya responden akan terbiasa menggunakan semua alat yang

digunakan dan proses yang dilakukan saat melakukan proses hemodialisis,

sementara responden yang pertama menjalani proses hemodialisis merasa

bahwa ini suatu masalah yang sedang mengancam pada dirinya dan merasa

bahwa hal yang dilakukan ini sangat menyiksa dirinya.


67

2.6 Kerangka Teoritis

Glomerulonefritis Pielonefritis Hipertensi Tak Terkontrol

Gagal Ginjal Kronik

Faktor-faktor yang
mempengaruhi
kecemasan : Hemodialisa
1. Pengetahuan
2. Stress yang ada
sebelumnya Kecemasan
3. Dukungan sosial
4. Kemampuan
mengatasi masalah
(mekanisme
koping) Tingkat Kecemasan ;
5. Lingkungan budaya a. Tidak ada kecemasan (<14)
dan etnis b. Kecemasan Ringan (14-20)
6. Kepercayaan c. Kecemasan Sedang (21-27)
d. Kecemasan Berat (28-41)
e. Panik (42-56)

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis. Modifikasi teori Baughman (2010), Bandura (2010),
Yemima, Kanine & Wowiling (2013), Nevid et.al., (2006),
Notoatmodjo (2010), Wangmuba (2009), Videbeck (2008), Baradero
(2009).
68

2.7 Jurnal Terkait

1. Adrian. 2015. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup


pada pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa RSUD Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo. Hasil : terdapat hubungan antara pekerjaan,
lama hemodialisa, kepatuhan asupan cairan, durasi hemodialisa dengan
kualitas hidup dan tidak terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin,
pendidikan, dukungan keluarga dengan kualitas hidup.
2. Agustini R. 2010. Dampak dukungan keluarga dalam mempengaruhi
kecemasan pada pasien penderita gagal ginjal kronik di RS Panti Rapih
Yogyakarta. Hasil : dukungan keluarga mempengaruhi kecemasan pada
pasien penderita gagal ginjal kronik.
3. Armiyati Y. 2011. Faktor yang Berkorelasi Terhadap Mekanisme Koping
Pasien CKD yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Kota Semarang.
Hasil : tidak ada hubungan antara umur dengan respon mekanisme koping
dan ada hubungan anatar lama menderita CKD, lama hemododialisa, dan
stress dengan respon mekanisme koping pasien.
4. Aroem H. 2015. Gambaran Kecemasan dan kualitas hidup pada pasien
yang menjalani hemodialisa. Hasil : gambaran kecemasan dan kualitas
hidup pada pasien yang menjalani hemodialisa mengalami kecemasan
ringan dan berada pada kualitas hidup baik
5. Butar & Cholina. 2008. Karakteristik Pasien Dan Kualitas Hidup Pasien
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisa. Hasil : ada
hubungan antara karakteristik pasien dan kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.
6. Hadi. 2015. Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis Dengan Kepatuhan
Pembatasan Asupan Cairan Pada Pasien GGK. Hasil : terdapat hubungan
lama menjalani hemodialisis dengan kepatuhan pembatasan asupan cairan
pada pasien GGK
7. Ihdaniyati A. 2014. Hubungan tingkat kecemasan dengan strategi koping
pasien gagal jantung kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali. Hasil :
ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan strategi koping pasien
gagal jantung kongestif
69

8. Jangkup J., Elim C., Kandou L. 2015. Tingkat Kecemasan Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di BLU RSUP Prof.
Dr. R.D.Kandou Manado. Hasil : Pasien PGK yang menjalani
hemodialisis < 6 bulan memiliki tingkat kecemasan yang signifikan berat
dibandingkan dengan yang menjani hemodialisis >6 bulan.
9. Mesuri R. 2014. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Tingkat Stress
Pada Pasien Fraktur. Hasil : terdapat hubungan bermakna antara
mekanisme koping dengan tingkat stres
10. Pratiwi D. 2014. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di PTPN RS
Gatoel Mojokerto. Hasil : ada hubungan dukungan keluarga dengan
tingkat depresi pada responden, dengan nilai t adalah 0,596 dan P
signifikan sebesar 0,000.
11. Rahman. 2013. Hubungan Tindakan Hemodialisais Dengan Tingkat
Kecemasan Pasien Di Ruangan Hemodialisa RSUD. Labuang Baji
Pemprov Sulawesi Selatan. Hasil : ada hubungan tindakan hemodialisais
dengan tingkat kecemasan pasien
12. Romani, Hendarsih, Lathu. 2012. Hubungan Mekanisme Koping Individu
Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Di Unit
Hemodialisa RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Hasil : ada
hubungan antara mekanisme koping individu dengan tingkat kecemasan
pada pasien gagal ginjal kronis di Unit Hemodialisa RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
13. Rostanti A. 2016. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
menjalani terapi hemodialisa pada penyakit gagal ginjal kronik di RSUP
Prof. Dr. R. D Kandou Manado. Hasil : ada hubungan antara dukungan
keluarga, tingkat pendidikan dan lamanya menjalani hemodialisa terhadap
kepatuhan dalam menjalani terapi hemodialisa.
14. Sari I. 2013. Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Rawat
Inap di Rumah Sakit Umum Haji Medan. Hasil : Proporsi penderita GGK
berdasarkan sosiodemografi tertinggi terdapat pada kelompok umur 48-55
70

tahun 25,6%, jenis kelamin laki-laki 50,6%, agama Islam 91,7%,


pekerjaan ibu rumah tangga 38,9% dan tempat tinggal Medan 69,4%.
15. Sari L. 2013. Mekanisme Koping Pasien Gagal Ginjal yang Menjalani
Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil : mayoritas
responden menggunakan koping maladaptif.
16. Sasmita, Bayhaki, Hasanah. 2015. Hubungan Antara tingkat kecemasan
Dengan Strategi Koping Pasien Gagal ginjal kronikYang Menjalani
Hemodialisis Vol. 2 No. 2. Hasil : tidak ada hubungan anatara tingkat
kecemasan dengan strategi koping pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa.
17. Sudirman. 2014. Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat
Kecemasan Pasien di Ruangan Hemodialisa RSUD Labuang Baji
Pemprov Sulawesi Selatan. Hasil : ada hubungan tindakan hemodialisa
dengan tingkat kecemasan pasien
18. Sula Y. 2014. Hubungan Mekanisme Koping Dengan Tingkat Kecemasan
Pasien Stroke di RS Bhayangkara Makassar. Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Yayasan Gema Insan Akademik Makassar. Hasil : adanya
hubungan antara mekanisme koping dengan tingkat kecemasan pasien
stroke di RS Bhayangkara Makassar dimana diperoleh nilai = 0.030.
19. Supadmi W. 2015. Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik di RSUD Wates
Kulon Progo Vol. 11. No. Hasil : jenis kelamin, usia, riwayat hipertensi,
DM, riwayat merokok dan riwayat penggunaan suplemen berhubungan
dengan kejadian GGK.
20. Syaiful H. 2014. Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan
Status Gizi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani
Hemodialisis di RS. Dr. M. Djamil Padang. Hasil : tidak ada hubungan
antara umur dan lamanya hemodialisis dengan status gizi pada penderita
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
21. Wartilisna., Kundre R., Babakal A. 2015. Hubungan tindakan
hemodialisa dengan tingkat Kecemasan klien gagal ginjal di ruangan
Dahlia rsup prof dr. Kandou manado. Hasil : ada hubungan antara
71

tindakan hemodialisa dengan tingkat kecemasan klien gagal ginjal di


ruang dahlia dengan Uji chi-square a = 0,00.
22. Widyastuti R. 2014. Korelasi Lama Menjalani Hemodialisis dengan
Indeks Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Arifin
Achmad provinsi Riau. Hasil : terdapat korelasi lama menjalani
hemodialisis dengan indeks massa tubuh pasien gagal ginjal kronik di
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
23. Yemima, Kanine, Wowiling. 2013. Mekanisme Koping Pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Rumah
Sakit Prof. Dr.R.D Kandou Manado. Hasil : pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisa lebih banyak menggunakan koping
maladaptif.
24. Yuliaw A. 2009. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kualitas
Hidup Dimensi Fisik pasien Gagal Ginjal Kronik di RS Dr. Kariadi
Semarang. Hasil : ada hubungan karakteristik individu dengan kualitas
hidup dimensi fisik pasien gagal ginjal kronik di RS Dr. Kariadi
Semarang.
25. Zurmeli. 2015. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup
Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di
RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Hasil : ada hubungan antara dukungan
keluarga dengan kualitas hidup pasien GGK.
72

BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teoritis yang telah diuraikan pada tinjauan

kepustakaan maka dapat dirangkumkan kerangka berfikir peneliti dalam

bentuk sebuah kerangka konsep seperti yang terlihat di bawah ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Kecemasan Pasien


Pasien Gagal Gagal Ginjal Kronik yang
Ginjal Kronik Menjalani Hemodialisa :
yang Menjalani Mekanisme 1. Tidak ada kecemasan
Hemodialisa : Koping 2. Kecemasan ringan
1. Umur 3. Kecemasan sedang
2. Jenis Kelamin 4. Kecemasan berat
3. Tingkat
5. panik
Pendidikan
4. Pekerjaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kecemasan :

1. Pengetahuan
2. Stress yang ada sebelumnya
3. Dukungan sosial
4. Lingkungan budaya dan etnis
5. Kepercayaan

Variabel Perancu
Keterangan :
: Di teliti
: Tidak di teliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep. Modifikasi teori Sunaryo (2006), Nasir & Muhith
(2011), Hamilton (1998) dalam Videbeck (2008), Wangmuba (2009).

72
73

3.2 Variabel Penelitian


3.2.1 Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah mekanisme

koping.

3.2.2 Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tingkat

kecemasan.

3.3 Hipotesis Penelitian


Ho : Tidak ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat
kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD
Provinsi NTB Tahun 2017
Ha : Ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan
pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi
NTB Tahun 2017
3.4 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
N Variabel Definisi Parameter Alat Cara Hasil Ukur Skala
o Operasional Ukur Ukur Ukur
1 Karakteris Ciri-ciri yang
tik dimiliki
Responde responden :
n:

a. Usia a. Lamanya 1. Remaja Kuesio Menja 1. 1 = Ordinal


hidup dari Akhir ner Remaja
wab
responden 2. Dewasa Akhir (17-
yang dihitun Awal pertany 25 Tahun)
g 3. Dewasa 2. 2 =
aan den
dengan tahu Akhir Dewasa
n mulai dari 4. Lansia gan Awal (26-
lahir sampai Awal 35 tahun)
5. Lansia checkli 3. 3=
saat
dilakukan Akhir st (√) p Dewasa
penelitian. 6. Manula Akhir (36-
ada 45 tahun)
kolom 4. 4 = Lansia
Awal (46-
yang tel 55 tahun)
ah 5. 5 = Lansia
Akhir (56-
65 tahun)
74

tersedia 6. 7 =
Manula
(>65
tahun)

b. Jenis b. Perbedaan 1. Laki- Kuision Menja 1. 1 = Laki- Nominal


Kela fisik seperti Laki er wab laki
min laki-laki dan 2. Perempu pertany 2. 2 =
perempuan an aan den Perempua
gan n
checkli
st (√) p
ada
kolom
yang tel
ah
tersedia

c. Tingk c. Jenjang 1. Tingkat Kuision Menja 1. 1 = Ordinal


at pendidika Pendidik er wab Tingkat
pendi terakhir yan an pertany Pendidika
dikan g telah Rendah aan den n rendah
ditamatkan 2. Tingkat gan (SD, SMP)
responden Pendidik checkli 2. 2 =
an tinggi st (√) p Tingkat
3. Lain-lain ada Pendidika
(Tidak kolom n tinggi
bersekol yang tel (SMA,
ah, putus ah perguruan
sekolah) tersedia tinggi)
3. 3 = lain-
lain (Tidak
sekolah,
putus
sekolah)
d. pekerj Kegiatan aktif 1. PNS Kuesio Menja 1. 1 = PNS Nominal
aan 2. Non wab 2. 2 = Non
yang ner
PNS pertany PNS
dilakukan oleh 3. Lain-lain aan den 3. 3 = Lain-
(Tidak gan lain (Tidak
manusia
bekerja, checkli bekerja,
berupa tugas Ibu st (√) p Ibu rumah
rumah ada tangga,
yang
tangga, kolom dan
menghasilkan dan yang tel pensiun)
pensiun) ah
sebuah karya
tersedia
dan jasa
bernilai
imbalan dalam
bentuk uang.
75

Variabel Independen
2 Mekanis Cara yang Mekanisme Kuesio Mengis Skor : Nominal
koping i 1. 1 = Tidak
me digunakan ner JCS
adaptif : Kuesio pernah
Koping individu a. Problem (Jalowi ner 2. 2 =
solving Kadang-
dalam ec
b. utilizing kadang
menyelesaikan social Coping 3. 3 =
support Hampir
masalah, Scale)
c. looking sering
menyesuaikan for 4. 4 = Sering
silver 5. 5 =
diri dengan
lining Hampir
perubahan Mekanisme selalu
koping Hasil Ukur:
yang terjadi
maladaptive 1. 1 =
dan respon : Koping
a. Avoidan adaptif
terhadap
ce (Skor 121-
situasi yang b. Self- 200)
blame 2. 2 =
mengancam
c. Wishfull Koping
baik secara thinking maldaptif
(Skor 40-
kognitif
1. problem 120)
maupun oriented
: 15 item
perilaku.
strategi
pengend
alian
berorient
asi
masalah
2. affective
oriented
: 25 item
pengend
alian
berorient
asi sikap

Variabel Dependen
3 Tingkat Respons 1. Perasaan Kuesio Mengis Skor : Ordinal
Kecemasa Emosional cemas ner i 1. 0 = Tidak
n Pasien terhadap 2. Ketegan HARS Kuesio ada gejala
Gagal penilaian gan ner sama sekali
Ginjal individu yang 3. Ketakuta 2. 1 = Satu
Kronik subyektif, yang n dari gejala
dipengaruhi 4. Ganggua yang ada
alam bawah n tidur 3. 2 =
sadar dan tidak 5. Ganggua Separuh
diketahui n dari gejala
penyebabnya kecerdas yang ada
terutama pada an 4. 3 = Lebih
paien gagal 6. Perasaan dari ½
ginjal kronik depresi gejala yang
7. Gejala ada
76

somatic 5. 4 = Semua
8. Gejala gejala ada
sensorik Hasil Ukur:
9. Gejala 1. 0= Tidak
kardiova ada
skular kecemasan
10. Gejala (<14)
respirato 2. 1=
ri Kecemasa
11. Gejala n ringan
gastroint (14-20)
estinal 3. 2=
12. Gejala Kecemasa
urogenit n sedang
al (21-27)
13. Gejala 4. 3=
otonom Kecemasa
14. Perilaku n berat
(28-41)
5. 4 = Panik
(42-56)
77

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan

penelitian korelasional menggunakan pendekatan Cross Sectional. Penelitian

ini menghubungkan antara tingkat mekanisme koping yang dimiliki

menggunakan kuesioner JCS (Jalowiec Coping Scale) dengan tingkat

kecemasan menggunakan kuesioner HARS (Hamilton Anxietas Range Scale).

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Unit Hemodialisa RSUD

Provinsi NTB.

4.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 7-15 Februari

2017.

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua klien dengan gagal

ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB sejumlah 168

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

4.3.2 Sampel

Agar karakteristik responden tidak menyimpang dari

populasinya, maka sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu

77
78

ditentukan kriteria inklusi maupun kriteria ekslusi (Notoadmodjo,

2012).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Bersedia menjadi responden.

2. Pasien dengan gagal ginjal kronik yang telah menjalani

hemodialisa selama < 6 bulan di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi

NTB.

3. Pasien yang bisa membaca dan menulis.

Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak

dapat diambil sebagai sampel atau tidak memenuhi kriteria inklusi

pada saat penelitian berlangsung (Notoatmodjo, 2012) yaitu :

1. Tidak bersedia menjadi responden.

2. Pasien dengan gagal ginjal kronik yang telah menjalani

hemodialisa selama > 6 bulan di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi

NTB.

3. Pasien yang tidak bisa membaca dan menulis.

4. Pasien yang mengalami komplikasi.

4.3.3 Besarnya Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan

menggunakan rumus (Nursalam, 2014) sebagai berikut :

𝑁
Rumus : n =
1+N(𝑑2 )

Keterangan :

n : Sampel

N : Populasi
79

d : Presisi (0,1)

168
n=
1+168(0,12 )

168
n=
1+168(0,01)

168
n= = 63 Responden
2,68

Untuk menghindari dropout maka dilakukan penambahan

sampel sebanyak 10%. Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah

sebanyak 69 orang yang menderita gagal ginjal kronik.

4.3.4 Teknik Sampling

Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari

populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2014). Penelitian

ini menggunakan teknik purposive sampling.

4.4 Etika Penelitian

Ada beberapa etika yang dilakukan untuk mendukung kelancaran

penelitian ini antara lain sebagai berikut (Nursalam, 2014) :

1. Informed consent (Lembar Persetujuan)

Informed consent merupakan cara persetujuan antara peneliti

dengan calon responden dengan memberikan lembar persetujuan. Peneliti

menjelaskan tujuan penelitian kepada calon responden. Calon responden

bersedia menjadi responden maka dipersilahkan menandatangani lembar

persetujuan.
80

2. Anonimity (Kerahasiaan Identitas)

Anonimity merupakan etika penelitian dimana peneliti tidak

mencantumkan nama responden dan tanda tangan pada lembar alat ukur,

tetapi hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data. Kode yang

digunakan berupa nama responden.

3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)

Peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik informasi atau

masalah lain yang menyangkut privacy klien. Hanya kelompok data

tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

Alat dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Kuesioner pertama yang digunakan adalah kuesioner karakteristik responden

yang terdiri dari empat pertanyaan yaitu usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan pekerjaan. Responden menjawab dengan memberikan tanda

checklist pada kolom yang tersedia sesuai dengan karakteristik responden.

Mekanisme koping diukur menggunakan Jalowiec Coping Scale (JCS) yang

dibuat oleh Jalowiec dan kawan-kawan pada tahun 1979. JCS terdiri dari 15

item strategi pengendalian berorientasi masalah (problem oriented = P) dan

25 item pengendalian berorientasi sikap (affective oriented = A). Subyek

diminta untuk menilai tiap-tiap item dengan skala 5 poin (1 = tidak pernah, 2

= kadang-kadang, 3 = hampir sering, 4 = sering, 5 = hampir selalu). Dari 25

item affective oriented terdapat 15 pertanyaan negatif, yaitu pada nomor 1, 2,

5, 7, 8, 9, 12, 16, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 34. Untuk pertanyaan negatif ini

skornya dibalik secara berurutan yaitu nilai atau skor 1, 2, 3, 4, 5 diskor


81

dengan 5, 4, 3, 2, 1. Nilai koping total memiliki kisaran antara 40 sampai 200,

dimana skor 40 – 120 = koping maladaptif, skor 121 – 200 = koping adaptif

(Johnson, Godwin & Patterson, 1998).

Kuesioner tingkat kecemasan yang digunakan adalah kuesioner

HARS. HARS (Hamilton Anxiety Range of Scale). Alat penelitian yang

digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan pasien (WHO, 2015). Cara

penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori: 0 =

Tidak ada gejala sama sekali, 1 = Satu dari gejala yang ada, 2 =

Sedang/separuh dari gejala yang ada, 3 = Berat/lebih dari ½ gejala yang ada,

4 = Sangat berat/semua gejala ada. Penentuan derajat kecemasan dengan cara

menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil: skor <14 = tidak ada

kecemasan, skor 14-20 = kecemasan ringan, skor 21-27= kecemasan sedang,

skor 28-41= kecemasan berat, skor 42-56= kecemasan berat sekali (panik)

(Hawari, 2008).

4.6 Pengumpulan Data

Prosedur-prosedur yang dilakukan dalam pengumpulan data pada

penelitian ini sebagai berikut :

a. Mengurus kelengkapan surat pengantar atau surat izin penelitian kepada

Direktur RSUD Provinsi NTB.

b. Memperoleh izin untuk melakukan penelitian dari Direktur RSUD

Provinsi NTB.

c. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan prosedur

penelitian yang akan dilaksanakan kepada responden.


82

d. Setelah responden memahami tujuan penelitian, maka peneliti

mengajukan surat persetujuan pengambilan data untuk ditanda tangani

dilembar persetujuan dan informed consent sebagai buktinya.

e. Jika responden telah menyatakan bersedia, maka kuesioner diberikan dan

responden diminta untuk mempelajari terlebih dahulu tentang cara

pengisian kuesioner dengan dibantu penjelasan dari peneliti.

f. Setelah kuesioner diisi oleh responden, selanjutnya dikumpulkan (apabila

terdapat kekurangan maka responden diminta melengkapi kembali) dan

dipersiapkan untuk diolah.

g. Melakukan analisis dengan komputer

Data primer diperoleh secara langsung menggunakan kuesioner dari

responden yang merupakan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB. Adapun data primer

yang diperoleh adalah :

a. Data karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa

di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

b. Data mekanisme koping pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

c. Data tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

Data sekunder diperoleh dari Rekam Medis yaitu RSUD Provinsi

NTB. yang digunakan sebagai data pelengkap dan penunjang data primer

yang ada relevansinya untuk keperluan penelitian. Adapun data sekunder

yang diperoleh adalah :


83

a. Jumlah pasien gagal ginjal kronik di RSUD Provinsi NTB tahun 2014,

2015, dan 2016.

b. Jumlah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Unit

Hemodialisa RSUD Provinsi NTB tahun 2014, 2015, dan 2016.

4.7 Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tahap sebagai

berikut :

1. Editing

Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi data untuk melihat

kebenaran pengisian dan kelengkapan jawaban kuesioner dari responden.

Hal ini dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga bila ada

kekurangan segera dapat dilengkapi. Selama proses penelitian ada

beberapa data yang tidak terisi sehingga peneliti meminta responden

untuk melengkapinya sehingga didapatkan data yang lengkap.

2. Coding

Peneliti melakukan pemberian kode pada data untuk

mempermudah mengolah data (Nursalam 2014). Karakteristik responden

dari segi usia diberikan kode “1” untuk “(Remaja Akhir) usia 17-25

tahun”, kode “2” diberikan untuk “(Dewasa Awal) usia 26-35 tahun”,

kode “3” diberikan untuk “(Dewasa akhir) usia 36-45 tahun”, kode “4”

diberikan untuk “(Lansia Awal) usia 46-55 tahun”, kode “5” diberikan

untuk “(Lansia Akhir) usia 56-65 tahun”, kode “6” diberikan untuk “

(Manula) usia >65 tahun”. Jenis kelamin diberikan kode “1” untuk “laki-

laki” dan kode “2” untuk “perempuan”. Tingkat pendidikan diberikan


84

kode “1” untuk “Tingkat pendidikan rendah (SD dan SMP)” dan kode “2”

untuk “Tingkat pendidikan tinggi (SMA, Perguruan Tinggi)” kode “3”

untuk “lain-lain (tidak sekolah, putus sekolah)”. Pekerjaan diberikan kode

“1” untuk “PNS”, kode “2” untuk “Non PNS”, kode “3” untuk “lain-lain

(tidak bekerja, IRT, pensiun)”.

Kuesioner mekanisme koping (JCS) diberikan kode “1” jika

pernyataan “koping adaptif (skor 121-200)”, kode “2” jika pernyataan

“koping maladaptif (Skor 40-120)”. Kuesioner HARS diberikan kode “0”

pada pernyataan “tidak ada kecemasan (skor <14), kode “1” pada

pernyataan “kecemasan ringan (skor 14-20)”, kode “2” diberikan pada

pernyataan “kecemasan sedang (skor 21-27)”, kode “3” diberikan pada

pernyataan “kecemasan berat (skor 28-41)”, kode “4” diberikan pada

pernyataan “panik (skor 42-56)”.

3. Entry data

Merupakan suatu proses pemasukan data kedalam komputer

untuk selanjutnya dilakukan analisa data dengan menggunakan program

komputer.

4. Cleaning

Cleaning adalah memastikan bahwa seluruh data yang

dimasukkan kedalam mesin pengolah data sudah sesuai dengan

sebenarnya atau proses pembersihan data. Dalam proses ini peneliti

melakukan pengecekan ulang untuk memastikan bahwa semua data yang

dimasukkan dalam program komputer telah sesuai dengan data asli yang

didapat di lapangan.
85

4.8 Analisis Data

Analisa data dilakukan untuk menjawab hipotesis penelitian. Data

yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan teknik statistik kuantitatif

dengan menggunakan analisis unviariat dan bivariat. Pada penelitian ini

menggunakan sistem komputer dalam penghitungan data. Adapun analisa

yang digunakan sebagai berikut :

1. Analisa Univariat

Analisa univariat merupakan suatu analisa yang digunakan untuk

menganalisis tiap-tiap variabel dari hasil penelitian yang menghasilkan

suatu distribusi frekuensi dan presentase dari masing-masing variabel

(Nursalam, 2014). Analisa univariat dalam penelitian ini adalah distribusi

tentang usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, tingkat kecemasan dan

mekanisme koping.

2. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

independen dan dependen dengan menggunakan uji Chi-Square.

Penelitian ini menggunakan pengujian statistik dengan uji Chi-Square

karena kedua variabel merupakan data kategorik. Hasil dari uji dapat

diketahui dengan rumus:

(O−E)²
X2 = ∑ E

X2 = Uji Chi-Square

E = Nilai Ekspektasi (harapan)

O = Nilai Observasi

∑ = Jumlah Data
86

Pada penelitian ini akan menghubungkan dua variabel yaitu

variabel mekanisme koping (independen) dengan variabel tingkat

kecemasan (dependen).

Analisa hasil uji statistik : Apabila p value > 0,05 maka Ho

diterima dan Ha ditolak, artinya tidak ada hubungan mekanisme koping

dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik di RSUD

Provinsi NTB. Apabila p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima,

artinya ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan pada

pasien gagal ginjal kronik di RSUD Provinsi NTB.


87

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


5.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

RSUD Provinsi NTB adalah rumah sakit negeri kelas B.

Rumah sakit ini memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan

subspesialis terbatas. RSUD Provinsi NTB merupakan rumah sakit

rujukan bagi rumah sakit-rumah sakit Kota/Kabupaten yang ada di

Provinsi Nusa Tenggara Barat.

1. Informasi Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB

a. Nomor Kode RSUD Provinsi : 52 71 010

b. Alamat : Jalan Prabu Rangkasari

Dasan Cermen

Cakranegara Kota

Mataram

c. Status Kepemilikan : Pemerintah Provinsi

Nusa Tenggara Barat.

d. Tipe Rumah Sakit : B (Pendidikan), Kep.

Menkes. RI. NO.

13/MENKES/SK/1/2005.
e. Jumlah Tempat Tidur : 300 tempat tidur. Kota

Matar

am.

87
88

f. Jumlah Sumber Daya Manusia :

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Sumber Daya Manusia


di RSUD Provinsi NTB
Sumber Tingkat Pendidikan Total
No Daya S-2/
SMA D3 D4 S-1
Manusia Spesialis
1 Perawat 12 147 23 233 - 415
2 Bidan - 50 22 - 1 73
3 Dokter - - - 48 83 131
Perekam
4 6 16 - 4 - 26
Medis
5 Apoteker 8 24 - 15 - 47
6 Fisoterapis - 4 1 3 - 8
7 Nutrisionis - 14 2 7 - 23
Okupasi
8 - 2 - - - 2
Terapi
Pranata
9 4 6 - 20 - 30
Labkes
10 Radiografer - 9 3 - - 12
Refraksi
11 - 3 - - -
Optisien
12 Sanitarian - 3 - 7 - 10
Teknisi
13 3 6 2 - - 11
Elektromedis
14 Teknisi Gigi - - 1 1 - 2
Terapi
15 - 1 - - - 1
Wicara
Jumlah 33 285 54 338 84 794
Sumber Data : Data Sekunder, Bagian Tata Usaha 2017

2. Sejarah Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB

Bangunan gedung yang digunakan sebagai rumah sakit

berasal dari perubahan gedung peninggalan Belanda yang didirikan

sekitar tahun 1915, terletak ditengah Kota Mataram di atas tanah

seluas 1,25 hektar yang awalnya merupakan gedung sekolah dasar

(HIS). Pada zaman Jepang digunakan sebagai tempat pendidikan

sekolah menengah Tji Gako dan sekolah guru (KYO IN dan SI

HANG GAKO). Setelah Indonesia Merdeka tidak lagi sebagai


89

tempat pendidikan tetapi sebagai tempat Palang Merah Indonesia

kemudian menjadi rumah sakit dengan nama Rumah Sakit Beatrix.

Antara tahun 1947-1948 baru berganti nama menjadi Rumah Sakit

Umum Mataram dan menjadi bagian dari Dinas Kesehatan Rakyat

Daerah Lombok. Pada masa itu bangunan gedung ditambah lagi

sesuai kebutuhan. Pada tahun 1959 daerah Nusa Tenggara Barat

dibagi menjadi Kabupaten (Daerah Swatantra Tingkat II). Rumah

sakit menjadi milik daerah Lombok Barat.

Surat Keputusan Gubernur kepala daerah tingkat I Nusa

Tenggara Barat No. 448/Pem.47/5/151 tanggal 5 November 1969

mengubah status Rumah Sakit Umum Mataram yang dikelola

pemerintah kabupaten daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Hal

ini berjalan sampai sekarang namun lebih dikenal dengan nama

Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Tahun 2005 RSU Mataram berubah tipe dari tipe B menjadi

tipe B Pendidikan sesuai SK Menkes No. 13/Menkes/SK/I/2005

berdasarkan peraturan Gubernur No. 18/2006 RSU Mataram

menjadi RSUD Provinsi NTB.

Di tahun 2007 telah dimulai peletakan batu pertama

pembangunan relokasi RSUD Provinsi NTB secara bertahap di

kelurahan Dasan Cermen Cakranegara Kota Mataram dengan luas

area 122,416 m2. Pada saat yang sama dicanangkan oleh Gubernur

bahwa RSUD Provinsi NTB yang lama akan menjadi Rumah Sakit

Khusus Ibu dan Anak di bawah kesatuan RSUD Provinsi NTB.


90

3. Visi Misi RSUD Provinsi NTB

a. Visi : Menjadi rumah sakit rujukan yang unggul dalam

pelayanan pendidikan dan penelitian di Indonesia Timur.

b. Misi :

1) Memberikan pelayanan kesehatan yang unggul dan

berkualitas secara profesional, selaras dengan

perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan.

2) Mengembangkan pelayanan kesehatan yang terintegrasi

dalam program pembangunan kesehatan di Provinsi Nusa

Tenggara Barat dan Sistem Kesehatan Nasional.

3) Menyiapkan sumber daya yang unggul untuk menunjang

pelaksanaan pelayanan pendidikan, pelatihan dan penelitian

kesehatan.

4) Mengembangkan sistem manajemen dan administrasi

rumah sakit untuk menunjang pelayanan.

4. Instalasi-Instalasi di RSUD Provinsi NTB

a. Instalasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit

b. Instalasi Sterilisasi Sentral

c. Instalasi Sarana Pemeliharaan Sarana RS

d. Instalasi Rekam Medik

e. Instalasi Kesehatan Lingkungan

f. Instalasi Bedah Sentral

g. Instalasi Rawat Darurat

h. Instalasi Rawat Intensif


91

i. Instalasi Rawat Inap

j. Instalasi Rawat Jalan

k. Instalasi Anestesi

l. Instalasi Reanimasi

m. Instalasi Keterapian Fisik

n. Instalasi Rehabilitasi Medik

o. Instalasi Gizi

p. Instalasi Farmasi

q. Instalasi Forensik

r. Instalasi Pemulasaran Jenazah

s. Instalasi Pelayanan Darah

t. Instalasi Radiologi

u. Instalasi Laboratorium Klinik.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi pada penelitian ini bertempat di Unit Hemodialisa

RSUD Provinsi NTB. Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB

terdiri dari 1 ruang perawatan, 2 kamar VIP, 1 ruang administrasi, 1

ruang CAPD, 1 ruang REUSE, 1 ruang reverse osmosis, 1 counter

perawat dan 1 gudang. Jumlah bed di Unit Hemodialisa RSUD

Provinsi NTB berjumalah 32 bed dengan 32 mesin dializer dengan

fasilitas tenaga kesehatan berjumlah 11 orang perawat, 1 orang

dokter dan 1 orang koordinator Unit Hemodialisa RSUD Provinsi

NTB. Waktu penelitian dilaksanakan pada tanggal 7-15 Februari

2017 dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 69 orang.


92

5.1.2 Karakteristik Responden

Hasil identifikasi karakteristik responden di Unit Hemodialisa

RSUD Provinsi NTB yang meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan,

dan pekerjaan akan diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dilihat pada

tabel dibawah ini :

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Berdasarkan Usia (n=69)
No Usia Jumlah Persentase (%)
1 Remaja Akhir 2 2,9
(usia 17-25 tahun)
2 Dewasa Awal 15 21,7
(usia 26-35 tahun)
3 Dewasa Akhir 17 24,6
(usia 36-45 tahun)
4 Lansia Awal 10 15,5
(usia 46-55 tahun)
5 Lansia Akhir 20 29,0
(usia 56-65 tahun)
6 Manula 5 7,2
(usia >65 tahun)
Total 69 100,0
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden merupakan lansia akhir (usia 56-65

tahun) yaitu sebanyak 20 orang (29,0%) dan yang paling sedikit

merupakan remaja akhir (usia 17-25 tahun) yaitu sebanyak 2 orang

(2,9%).
93

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat

dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Berdasarkan Jenis Kelamin (n=69)
No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-laki 38 55,1
2 Perempuan 31 44,9
Total 69 100,0
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.3 diatas, dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak

38 orang (55,1%).

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dapat

dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Berdasarkan Tingkat Pendidikan (n=69)
No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 Tingkat Pendidikan 26 37,7
Rendah (SD, SMP)
2 Tingkat Pendidikan 36 52,2
Tinggi (SMA, PT)
3 Lain-lain (Tidak 7 10,1
sekolah, Putus
sekolah)
Total 69 100,0
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.4 diatas, dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tinggi

(SMA, PT) yaitu sebanyak 36 orang (52,2%), dan yang paling

sedikit memiliki status tingkat pendidikan lain-lain (tidak sekolah,

putus sekolah) yaitu sebanyak 7 orang (10,1%).


94

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan dapat dilihat

pada tabel dibawah ini :

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Berdasarkan Pekerjaan (n=69)
No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
1 PNS 14 20,3
2 Non PNS 26 37,7
3 Lain-lain (Tidak 29 42,0
bekerja, IRT, Pensiun)
Total 69 100,0
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.5 diatas, dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden memiliki status pekerjaan lain-lain

(Tidak bekerja, IRT, pensiun) yaitu sebanyak 29 orang (42,0%),

dan yang paling sedikit merupakan PNS yaitu sebanyak 14 orang

(20,3%).

5.1.3 Variabel yang diukur

Identifikasi untuk masing-masing variabel diuraikan dalam

bentuk tabel sebagai berikut :

1. Identifikasi Mekanisme Koping Pasien Gagal Ginjal Kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Mekanisme Koping Pasien Gagal


Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi
NTB Tahun 2017
No Mekanisme Koping Jumlah Persentase (%)
1 Adaptif 32 46,4
2 Maladaptif 37 53,6
Total 69 100,0
Sumber : Data Primer, 2017
95

Berdasarkan tabel 5.6 diatas, dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden menggunakan koping maladaptif yaitu

sebanyak 37 orang (53,6%).

2. Identifikasi Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Pasien Gagal


Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi
NTB Tahun 2017
No Tingkat Kecemasan Jumlah Persentase (%)
1 Tidak Ada Kecemasan 7 10,1
2 Kecemasan Ringan 13 18,8
3 Kecemasan Sedang 15 21,7
4 Kecemasan Berat 19 27,5
5 Panik 15 21,7
Total 69 100,0
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.7 diatas, dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden memiliki kecemasan berat yaitu

sebanyak 19 orang (27,5%) dan yang paling sedikit responden yang

tidak mengalami kecemasan yaitu sebanyak 7 orang (10,1%).

5.1.4 Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB
Tahun 2017
Berdasarkan hasil identifikasi variabel diatas dapat dibuat

tabulasi silang antara variabel mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan sebagai berikut :


96

Tabel 5.8 Tabulasi Silang Hubungan Mekanisme Koping dengan


Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit
Hemodialisa RSUD Provinsi NTB Tahun 2017
Tingkat Kecemasan
Mekanisme Tidak Cemas Cemas Cemas Jumlah
Panik
Koping Cemas Ringan Sedang Berat
∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

Adaptif 6 18,8 10 31,2 6 18,8 5 15,6 5 15,6 32 100

Maladaptif 1 2,7 3 8,1 9 24,3 14 37,8 10 27,0 37 100

Total 7 10,1 13 18,8 14 21,7 19 27,5 15 21,7 69 100

Uji Chi-
0,009
Square
Sumber : Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel 5.8 diatas, menunjukkan bahwa dari 32

responden yang menggunakan koping adaptif, sebanyak 6 orang

(18,8%) tidak mengalami kecemasan, 10 orang (31,2%) memiliki

kecemasan ringan, 6 orang (18,8%) memiliki kecemasan sedang, 5

(15,6%) orang memiliki kecemasan berat dan 5 (15,6%) orang

memiliki tingkat kecemasan panik, sedangkan dari 37 responden yang

menggunakan koping maladaptif, sebanyak 1 orang (2,7%) tidak

mengalami kecemasan, 3 orang (8,1%) memiliki kecemasan ringan, 9

orang (24,3%) memiliki kecemasan sedang, 14 (37,8%) orang

memiliki kecemasan berat dan 10 (27,0%) orang memiliki tingkat

kecemasan panik.

Hasil uji Chi-Square diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,009

(p<0,05). Dari analisis tersebut maka Ho ditolak dan Ha diterima,

sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan mekanisme koping


97

dengan tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Unit

Hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Responden

1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik responden berdasarkan usia berdasarkan tabel

5.2 didapatkan yang paling banyak adalah lansia akhir (usia 56-65

tahun) sebanyak 20 orang (29,0%). Hasil penelitian ini sesuai

dengan penelitian Syaiful (2014), tentang hubungan umur dan

lamanya hemodialisis dengan status gizi pada penderita penyakit

ginjal kronik dimana mayoritas responden berusia 50-59 tahun

sebanyak 30 orang (50,86%) dan didukung pula oleh penelitian

Sasmita (2015), yang menyebutkan bahwa usia responden gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa terbanyak berada pada

rentang usia 41-65 tahun sebanyak 20 orang (66,6%) serta

diperkuat oleh penelitian Rostanti (2016), tentang faktor-faktor

yang berhubungan dengan kepatuhan menjalani terapi hemodialisa

dimana mayoritas responden berusia 53-60 tahun yaitu sebanyak

40 orang (59,7%).

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sidharta (2008),

bahwa secara normal penurunan fungsi ginjal baru terjadi pada

usia lebih dari 40 tahun. Penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada

usia lebih dari 40 tahun merupakan salah satu bentuk proses

degeneratif yang dialami manusia. Setiap ginjal memiliki sekitar 1

juta nefron saat lahir. Memasuki usia 40 tahun, mulai terjadi


98

penurunan sedikit demi sedikit ukuran ginjal dan jumlah nefron.

Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal,

sehingga dapat dikatakan seseorang yang berusia diatas 40 tahun

berisiko terjadap kejadian gagal ginjal kronik (Roach, 2010 dalam

Zurmeli, 2015). Namun pada saat ini penurunan fungsi ginjal

banyak terjadi pada usia sebelum 40 tahun yang dikarenakan

perubahan gaya hidup, banyak mengkonsumsi makanan yang

mengandung lemak dan minuman bersoda (Agustini, 2010). Usia

berpengaruh terhadap cara pandang seseorang dalam kehidupan

masa depan, koping terhadap masalah yang dihadapi dan dalam

pengambilan keputusan. Selain itu usia erat kaitanya dengan

prognosa penyakit, kecendrungan terjadi komplikasi, serta

kepatuhan terhadap terapi pengobatan (Zurmeli, 2015).

Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan

fungsional, keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan

lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah.

Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan

diri cenderung menjadi semakin sulit menyesuaikan diri pada

masa-masa selanjutnya. Penyesuaian diri pada lanjut usia adalah

kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan

akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang

dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara

tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang

disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme


99

psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru. Terjadi

gangguan orientasi terhadap waktu, tempat dan orang

berhubungan dengan gangguan kognitif. Gangguan orientasi

sering ditemukan pada gangguan kognitif dan gangguan

kecemasan (Widyastuti, 2014).

Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan

meningkatnya umur. Penderita gagal ginjal kronik usia muda akan

mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karena biasanya

kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan yang berusia tua

(Romani, 2012). Penderita yang dalam usia produktif merasa

terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai

harapan hidup yang lebih tinggi, sebagai tulang punggung

keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada

keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa

sudah tua, lelah hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang

motivasi dalam menjalani terapi hemodialisa. Usia juga erat

kaitannya dengan prognosa penyakit dan harapan hidup mereka

yang berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai

komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila

dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Butar,

2008).
100

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

berdasarkan tabel 5.3 diatas didapatkan sebagian besar responden

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 38 orang (55,1%). Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zurmeli

(2015), tentang hubungan dukungan keluarga dengan kualitas

hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa

dimana mayoritas responden adalah laki-laki berjumlah 67 orang

(63,8%) dan di dukung pula oleh penelitian Aroem (2015), tentang

gambaran kecemasan dan kualitas hidup pada pasien yang

menjalani hemodialisa dimana mayoritas responden adalah laki-

laki berjumlah 19 orang (63,3%), serta penelitian Hadi (2015),

tentang hubungan lama menjalani hemodialisis dengan kepatuhan

pembatasan asupan cairan pada pasien GGK dimana mayoritas

responden adalah laki-laki berjumlah 29 orang (53,7%)

Secara klinik laki-laki mempunyai risiko mengalami gagal

ginjal kronik 2 kali lebih besar dari pada perempuan. Hal ini

dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan

dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga

laki-laki lebih mudah terkena gagal ginjal kronik dibandingkan

perempuan. Perempuan lebih patuh dibandingkan laki-laki dalam

menggunakan obat karena perempuan lebih dapat menjaga diri

mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian obat

(Morningstar et al., 2002 dalam Supadmi, 2015).


101

Menurut Roach (2010) dalam Zurmeli (2015), gangguan

pada sistem perkemihan terutama pada gagal ginjal dapat terjadi

pada laki-laki maupun perempuan. Baik laki-laki maupun

perempuan dapat berisiko terpapar dengan gangguan sistem

perkemihan. Sidharta (2008), mengatakan bahwa gangguan gagal

ginjal dapat terjadi karena penurunan fungsi yang progresif dan

perubahan gaya hidup. Jenis kelamin bukanlah suatu faktor risiko

terkena GGK. Menurut Agustini (2010), bersadarkan pola gaya

hidup laki-laki lebih beresiko terkena GGK. Kebiasaan merokok

dan minum alkohol dapat menyebaban ketegangan pada ginjal

sehingga memaksa ginjal bekerja keras. Asap yang mengandung

nikotin dan tembakau akan masuk ke dalam tubuh. Nikotin

bersama dengan bahan kimia berbahaya lainnya seperti

karbonmonoksida dan alkohol menyebabkan perubahan denyut

jantung, pernapasan sirkulasi dan tekanan darah. Karsinogen

alkohol yang disaring keluar dari tubuh melalui ginjal juga

mengubah sel DNA dan merusak sel-sel ginjal. Perubahan ini

mempengaruhi fungsi ginjal dan memicu GGK.

3. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

berdasarkan tabel 5.4 didapatkan yang paling banyak memiliki

tingkat pendidikan tinggi (SMA, PT) sebanyak 36 orang (52,2%).

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sasmita (2015), yang

menyebutkan bahwa jumlah responden terbanyak adalah dengan


102

tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 12 orang (40%) dan

didukung oleh penelitian Hadi (2015), dimana mayoritas

responden memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu sebanyak 29

orang (53,7%), hal ini juga diperkuat oleh penelitian Aroem

(2016), dimana mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan

SMA sebanyak 16 orang (53,3%), serta hasil penelitian Adrian

(2015), tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas

hidup pada pasien gagal ginjal kronik di ruang hemodialisa RSUD

Prof. Dr. H. Aloei Saboe Gorontalo, menyebutkan bahwa jumlah

responden terbanyak adalah dengan tingkat pendidikan SMA-

Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 18 orang (60%).

Yuliaw (2009), dalam penelitiannya mengatakan bahwa,

pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan

mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan

pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah

yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,

berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana

mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan

oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan

sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat

keputusan.

Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana

pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari


103

pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari

pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu,

dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Pengetahuan atau kognitik merupakan domain yang

penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari

pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,

2010). Status pengetahuan seseorang tentang penyakit gagal ginjal

kronis dapat mempengaruhi kemampuannya dalam memilih dan

memutuskan terapi hemodialisis yang sesuai dengan kondisinya,

dengan pengambilan keputusan yang tepat, ketaatan klien dalam

menjalani terapi hemodialisis dapat dipertahankan (Zurmeli,

2015).

4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan berdasarkan

tabel 5.5 didapatkan yang paling banyak adalah responden yang

memiliki status pekerjaan lain-lain (tidak bekerja, IRT, pensiun)

sebanyak 29 orang (42,0%). Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian Pratiwi (2014), tentang hubungan dukungan keluarga

dengan tingkat depresi pasien gagal ginjal kronik dengan

hemodialisa dimana mayoritas responden tidak bekerja yaitu

sebanyak 11 orang (36,7%) dan didukung pula oleh penelitian

Hadi (2015), dimana mayoritas responden tidak bekerja yaitu

sebanyak 35 orang (64,8%) dan diperkuat oleh penelitian Yemima


104

(2013), tentang mekanisme koping pada pasien pasien penyakit

ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa dimana mayoritas

responden adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 18 orang

(30,5%) dan penelitian Sari (2013), tentang karakteristik penderita

GGK yang rawat inap di RSU Haji Medan yang menunjukkan

jumlah responden terbanyak berdasarkan pekerjaan adalah ibu

rumah tangga sebanyak 70 orang (38,9%).

Sidartha (2008), mengungkapkan bahwa ibu rumah tangga

memiliki resiko terkena gagal ginjal kronik di akibatkan oleh

kurangnya aktifitas. Kegiatan sehari-hari ibu rumah tangga tidak

seintens laki-laki yang bekerja, terutama pada saat ini banyak

peralatan yang membantu kinerja ibu rumah tangga layaknya

mesin cuci atau alat pembersih rumah yang lebih mudah dipakai

sehingga para ibu rumah tangga dalam kesehariannya kurang

melakukan aktifitas ataupun latihan fisik seperti berolahraga rutin,

sehingga dapat mempengaruhi kesehatan ibu rumah tangga.

Kurangnya aktifitas membuat ibu rumah tangga memiliki resiko

terkena diabetes dimana diabetes merupakan salah satu faktor

penyebab terjadinya gagal ginjal kronik.

Budiarto dan Anggraeni (2006), mengatakan berbagai jenis

pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi

penyakit. Hal ini disebabkan sebagian hidupnya dihabiskan di

tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang

berbeda.
105

Menurut Sumidjo (2006), bahwa sosial ekonomi

merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkah laku

seseorang. Keadaan ekonomi keluarga mampu mencukupi dan

menyediakan fasilitas serta kebutuhan untuk keluarganya.

Sehingga seseorang dengan tingkat sosial ekonomi tinggi akan

mempunyai motivasi yang berbeda dengan tingkat sosial ekonomi

rendah. Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan

pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang

kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin

karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau

membayar transportasi (Notoatmodjo, 2010).

Responden yang tidak bekerja dalam penelitian ini, rata-

rata mengungkapkan semenjak menderita gagal ginjal dan harus

menjalani hemodialisa secara rutin responden merasa cepat lelah,

dan berbagai gejala muncul saat bekerja sehingga tidak dapat

bekerja secara maksimal dan memutuskan untuk berhenti bekerja.

5.2.2 Mekanisme Koping Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit


Hemodialisa RSUD Provinsi NTB
Berdasarkan tabel 5.6 diatas, menunjukkan bahwa sebagian

besar responden menggunakan koping maladaptif yaitu sebanyak 37

orang (53,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian

Yemima, Kanine dan Wowiling (2013), pada 59 pasien CKD di

Manado yang menunjukkan bahwa responden yang menggunakan

koping adaptif 27 orang (45,8%), sedangkan yang menggunakan

koping maladaptif 32 orang (54,2 %), hasil penelitian ini juga


106

didukung oleh penelitian Sari (2013), tentang mekanisme koping

pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta yang menunjukkan mayoritas responden

menggunakan koping maladaptif yaitu sebanyak 20 orang (57,1%).

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Armiyati

(2011), tentang faktor yang berkorelasi terhadap mekanisme koping

pasien CKD yang menjalani hemodialisis di RSUD Kota Semarang

yang menunjukkan secara keseluruhan mekanisme koping pasien

CKD yang menjalani hemodialisis adalah adaptif yaitu sebanyak 32

orang (82,1%), hal ini dikarenakan terdapat beberapa faktor-faktor

yang mempengaruhi mekanisme koping seseorang sehingga

mekanisme koping seseorang dapat berbeda-beda.

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi

menjadi 2 yaitu mekanisme koping adaptif dan maladaptif.

Mekanisme koping adaptif mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan,

belajar dan mencapai tujuan. Sedangkan mekanisme koping

maladaptif menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,

menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan (Stuart &

Sundeen dalam Nasir & Muhith, 2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping

seseorang yang pertama adalah harapan akan self-efficacy yaitu

berkenaan dengan harapan kita terhadap kemampuan diri dalam

mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan terhadap kemampuan

diri untuk menampilkan tingkah laku terampil dan harapan terhadap


107

kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang

positif (Bandura, 2010). Faktor yang kedua yaitu dukungan sosial.

Peran dukungan sosial sebagai penahan munculnya stres telah

dibuktikan kebenarannya (Wills & Filer Fegan, 2001) dalam

Mutoharoh (2010), percaya bahwa memiliki kontak sosial yang luas

membantu melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stres. Individu

dengan dukungan sosial tinggi akan mengalami stres yang rendah

ketika mereka mengalami stres, dan mereka akan mengatasi stres atau

melakukan koping lebih baik. Dukungan sosial juga mempunyai

hubungan positif yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan

kesejahteraannya atau dapat meningkatkan kreativitas individu dalam

kemampuan penyesuaian yang adaptif terhadap stres dan rasa sakit

yang dialami.

Faktor ketiga yaitu optimisme, pikiran yang optimis dapat

menghadapi suatu masalah lebih efektif dibanding pikiran yang psimis

berdasarkan cara individu melihat suatu ancaman. Pikiran yang

optimis dapat membuat keadaan yang stresful sebagai sesuatu hal

yang harus dihadapi dan diselesaikan, oleh karena itu individu lebih

akan memilih menyelesaikan dan menghadapi masalah yang ada

dibandingkan dengan individu yang mempunyai pikiran yang pesimis

(Matthews, 2008 dalam Widyati, 2016). Pendidikan adalah upaya

persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau

melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi

masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Selain itu tingkat


108

pendidikan individu memberikan kesempatan yang lebih banyak

terhadap diterimanya pengetahuan baru termasuk informasi kesehatan.

Faktor lainnya yaitu pengetahuan, ketidakseimbangan antara koping

individu dengan banyaknya informasi yang tersedia dapat

menghambat kesembuhan (Notoatmodjo, 2010).

Faktor terakhir yaitu jenis kelamin, ada perbedaan antara laki-

laki dan perempuan dalam mengontrol diri. Anak laki-laki lebih sering

menunjukkan perilaku-perilaku yang kita anggap sulit yaitu gembira

berlebihan dan kadang-kadang melakukan kegiatan yang agresif,

menantang, menolak otoritas. Perempuan diberi penghargaan atas

sensivitas, kelembutan dan perasaan kasih, sedangkan laki-laki

didorong untuk menonjolkan emosinya, juga menyembunyikan sisi

lembut mereka dan kebutuhan mereka akan kasih sayang serta

kehangatan. Bagi sebagian anak laki-laki, kemarahan adalah reaksi

emosional terhadap rasa frustasi yang paling bisa diterima secara luas

(Affandi, 2009 dalam Widyati, 2016).

Mekanisme koping yang maladaptif dalam penelitian ini

ditunjukkan dengan masih banyaknya responden yang selalu khawatir

dengan kondisinya, tidak mau berbagi dengan orang lain dan sering

putus asa untuk melakukan pengobatan. Mekanisme koping yang

adaptif dalam penelitian ini ditunjukan dengan upaya pasien untuk

mencoba berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi

yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi,

menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan


109

kekuatan supranatural seperti melakukan kegiatan ibadah dan berdoa,

melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan, membuat

berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi yang kurang

menyenangkan, dan mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.

5.2.3 Tingkat Kecemasan Pasien Gagal Ginjal Kronik di Unit


Hemodialisa RSUD Provinsi NTB
Berdasarkan tabel 5.7 diatas, menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki kecemasan berat yaitu sebanyak 19 orang

(27,5%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sasmita

(2015), pada 30 pasien GGK yang menunjukkan bahwa tingkat

kecemasan yang di alami paling banyak adalah kecemasan berat yaitu

sebanyak 12 orang (40,0%) dan didukung oleh penelitian Wartilisna

(2015), tentang hubungan tindakan hemodialisa dengan tingkat

kecemasan klien gagal ginjal dimana mayoritas responden memiliki

kecemasan berat yaitu sebanyak 79 orang (34,2%), serta di perkuat

oleh penelitian Jangkup (2015), tentang tingkat kecemasan pada

pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan

hasil bahwa pasien PGK yang menjalani hemodialisa < 6 bulan

memiliki tingkat kecemasan yang signifikan berat dibandingkan

dengan yang menjalani hemodialisa > 6 bulan.

Kecemasan merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh

setiap manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman.

Namun ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan, maka

perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders.

Beberapa hasil penelitian bahkan menengarai bahwa gangguan cemas


110

juga merupakan komorbiditas. Kecemasan pada pasien penyakit ginjal

kronik stadium terminal disebabkan karena pasien harus menjalani

hemodialisis, oleh karena penyakit ginjal kronik (PGK) itu sendiri,

biaya hemodialisis yang cukup mahal yang mengakibatkan kecemasan

maupun depresi pada pasien bertambah (Njah et al., 2006).

Menurut Brunner & Suddarth dalam Rahman (2013), klien

yang akan menjalani hemodialisis mengalami depresi, ketakutan dan

kecemasan. Tingkat kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik

faktor biologis maupun fisiologis, baik dari dalam pasien maupun dari

luar pasien, penerimaan terhadap pelaksanaan hemodialisis, sosial

ekonomi, usia pasien, kondisi pasien, lama dan frekuensi menjalani

hemodialisis timbul karena ancaman dari pasien sehingga

menimbulkan respon psikologis dan perilaku pasien yang dapat

diamati, sedangkan ancaman diri pada pasien hemodialisis dapat

bersumber dari respon manusia (perawat), interaksi manusia dan

lingkungan yang terpapar oleh alat yang digunakan. Pasien yang

menjalani tindakan hemodialisa jangka panjang maka akan merasa

khawatir atas kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan dan

berefek terhadap gaya hidup sehingga mengalami kecemasan.

Kompleksitas masalah yang timbul selama hemodialisis akan

berdampak terjadinya kecemasan pada pasien. Keterbatasan pola atau

kebiasaan hidup dan ancaman kematian. Oleh karena itu banyak

pasien dan keluarganya memerlukan dukungan secara emosional


111

untuk mengahadapi kecemasan tentang penyakitnya (Sudirman,

2014).

Untuk mempertahankan hemostasis pada kelangsungan tubuh

di perlukan filtrasi yang baik salah satunya adalah ginjal, pada

penelitian yang dilakukan terdapat pasien yang menjalani tindakan

hemodialisa akut dan kronik dengan tingkat kecemasan yang

bervariasi. Tingkat kecemasan di pengaruhi oleh bagaimana pasien

menjalani tindakan hemodialisa. Pada pasien yang baru menjalani

tindakan hemodialisa rata-rata yang di dapatkan adalah tingkat

kecemasan berat karena pada periode awal pasien merasa berputus asa

dan tidak dapat sembuh seperti sedia kala. Setelah terapi berkelanjutan

pasien mulai dapat beradaptasi dengan baik serta tingkat kecemasan

mulai sedang dan ringan (Wartilisna, 2015).

Menurut asumsi peneliti, kecemasan responden dalam

penelitian ini dikarenakan adanya ketidakmampuan dari responden

untuk menyesuaikan diri ataupun beradaptasi terhadap masalah

penyakit yang dihadapinya saat ini serta tindakan hemodialisa yang

harus rutin dijalankan yang menimbulkan beberapa efek samping

seperti yang diungkapkan responden bahwa responden mengalami

gatal dikulit, mual, dan muntah sehari setelah menjalani hemodialisa.

Pasien gagal ginjal kronik yang sakit kurang dari enam bulan

cenderung mengalami kecemasan sedang dan berat. Pasien gagal

ginjal kronik yang baru menjalani hemodialisa sangat besar

kemungkinan mengalami kecemasan dikarenakan belum mengenal


112

alat dan cara kerja mesin hemodialisa, kurang adekuatnya informasi

dari tenaga kesehatan terkait prosedur hemodialisa maupun kecemasan

akan keberhasilan proses hemodialisa saat itu. Hal ini dapat menjadi

stressor yang meningkatkan kecemasan pasien gagal ginjal kronik

(Romani, 2012). Stuart & Sundeen dalam Nasir dan Muhith (2011),

mengungkapkan bahwa penyakit merupakan sumber kecemasan yaitu

ancaman terhadap integritas fisik meliputi disabilitas fisiologis.

5.2.4 Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB
Tahun 2017
Berdasarkan tabel 5.8 diatas, menunjukkan bahwa hasil uji

Chi-Square diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,009 (p<0,05). Hal ini

menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa

ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat kecemasan pasien

gagal ginjal kronik di unit hemodialisa RSUD Provinsi NTB.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Romani

(2012), yang menunjukkan hasil analisa bivariat yaitu dari statistik

Chi-Square menunjukkan p-value 0,001 < 0,05 yang berarti ada

hubungan mekanisme koping individu dengan tingkat kecemasan

pasien gagal ginjal kronis di Unit Hemodialisa RSUP Dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Sula

(2014), tentang hubungan mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan pasien stroke di RS Bhayangkara Makassar yang

menunjukkan hasil dengan uji Chi-Square melalui pendekatan uji


113

fisher exact test dengan nilai hitung p = 0,030 lebih kecil dari nilai a =

0,05 yang berarti ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan pasien stroke di RS Bhayangkara, penelitian ini juga

diperkuat oleh penelitian Ihdaniyati (2014), yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan

strategi koping pasien gagal jantung kongestif di Rumah Sakit Umum

Pandan Arang Boyolali.

Perilaku koping maladaptif seperti terjadinya respon panik

dapat disebabkan oleh salah satu faktor yaitu penilaian individu

terhadap masalah. Jika individu meyakini bahwa situasi atau masalah

yang dialami masih dapat diubah secara konstruktif maka dapat

terbentuk koping adaptif. Namun jika masalah diyakini sebagai suatu

yang mengancam maka akan terbentuk koping maladaptif (Lazarus &

Folkman dalam Mesuri, 2014). Hal ini berarti individu menganggap

bahwa gagal ginjal yang dialami dan tindakan hemodialisa yang di

jalani merupakan situasi yang menekan dan mengancam bagi dirinya.

Untuk menghindari perilaku maladaptif, maka faktor yang

dapat mendukung adalah mengidentifikasi sumber koping yang dapat

membantu individu beradaptasi dengan stresor yang ada dengan

menggunakan sumber koping yang ada.Salah satu sumber koping

yang dapat membantu individu dalam menghindari perilaku

maladaptif yaitu meningkatkan dukungan sosial. Menurut Sadock &

Virginia (2007) dalam Mesuri (2014), dukungan sosial merupakan

pendukung paling utama dalam membentuk mekanisme koping yang


114

efektif atau adaptif. Selain itu dukungan sosial mempengaruhi

kesehatan dengan cara melindungi individu dari efek negatif stres.

Sehingga dengan meningkatkan dukungan sosial maka akan dapat

menurunkan perilaku maladaptif.

Sumber koping yang dimanfaatkan dengan baik dapat

membantu pasien GGK mengembangkan mekanisme koping yang

adaptif, sehingga pasien GGK dapat menanggulangi kecemasannya

ditandai dengan tingkat kecemasan yang ringan dan sedang.

Penggunaan sumber koping seperti dukungan sosial, aset materi dan

nilai keyakinan individu membantu individu mengembangkan koping

yang adaptif sehingga kecemasan yang dirasakan oleh individu

cenderung ringan dan sedang, dan demikian juga sebaliknya (Romani,

2012).

Asmadi (2008), mengatakan bahwa tingkat kecemasan

mempunyai karakteristik atau manifestasi yang berbeda satu sama

lain. Manifestasi kecemasan yang terjadi bergantung pada kematangan

pribadi, pemahaman dalam menghadapi ketegangan, harga diri, dan

mekanisme koping yang digunakan.

a. Mekanisme Koping Maladaptif dengan Tingkat Kecemasan

Hasil dari penelitian ini terdapat 9 orang yang

menggunakan mekanisme koping maladaptif dengan tingkat

kecemasan sedang, 14 orang dengan tingkat kecemasan berat dan

10 orang dengan tingkat kecemasan panik. Hal tersebut

dikarenakan pada pasien gagal ginjal kronik banyak mengalami


115

permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik, psikologis dan

sosial. Jika permasalahan tersebut tidak diperhatikan akan

menimbulkan kecemasan yang luar biasa. Seperti yang kita ketahui

bahwa penyakit gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang

beresiko besar menimbulkan kematian, dan perawatannya

membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi.

Pada penelitian ini, kelemahan fisik yang dirasakan oleh

responden sebagai akibat dari lelah dan penurunan aktivitas akibat

dari hemodialisis yang dijalaninya. Responden mengungkapkan

ketidakpuasan mengenai aktivitas yang dijalaninya sebagai akibat

dari kelemahan yang dirasakan. Kelemahan fisik dirasakan pada

saat bekerja berat, berjalan lama dan untuk aktivitas yang berat

seperti berjalan, mencuci dan menyapu. Responden

mengungkapkan memiliki kualitas tidur yang tidak baik karena

memiliki banyak pikiran mengenai penyakit yang tak kunjung

sembuh meskipun telah berusaha berobat ke berbagai tempat dan

memikirkan memiliki anak yang masih kecil. Responden juga

mengungkapkan mengalami perubahan dalam bersosialisasi karena

jarang keluar rumah dan melakukan kegiatan seperti pengajian dan

sebagainya seperti sebelum sakit.

Kecemasan yang dialami pasien GGK yang menjalani

hemodialisa memerlukan upaya penyesuaian dan penanganan agar

individu adaptif. Jika individu mempunyai koping yang efektif

maka kecemasan akan diturunkan dan energi digunakan langsung


116

untuk istirahat dan penyembuhan. Jika koping tidak efektif atau

gagal maka keadaan tegang akan meningkat, ketidakseimbangan

terjadi dan respon pikiran serta tubuh akan meningkat berupaya

untuk mengembalikan keseimbangan (Sula, 2014).

Terdapat 1 orang dengan mekanisme koping yang

maladaptif tidak mengalami kecemasan dan 3 orang dengan

kecemasan ringan. Hal ini disebabkan karena pasien dapat

mengurangi ketegangannya dengan cara melakukan pendekatan-

pendekatan sosial terutama dengan dukungan dari keluarganya,

yang selalu menemani pasien setiap saat selama dirawat dirumah

sakit.

Pada penelitian ini, responden mengungkapkan dukungan

yang diberikan oleh keluarga berupa kenyamanan fisik seperti

ditemani untuk menjalani hemodialisa secara rutin, diingatkan

mengenai diit yang harus dijalani. Responden juga mengungkapkan

keluarga selalu mencari informasi mengenai kesehatan responden

serta diberikan motivasi agar tetap kuat dan tidak putus asa dalam

menjalani hemodialisa sehingga responden merasa tidak khawatir

karena keluarga selalu mendukungnya.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Oktaviana

(2001) dalam Sula (2014), menyatakan dukungan sosial diartikan

sebagai suatu bentuk tingkah laku yang menimbulkan perasaan

nyaman dan membuat individu bahwa ia dihormati, dihargai,

dicintai dan bahwa orang lain bersedia memberikan perhatian dan


117

keamanan. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan (Cob

Kuntjoro, 2002 dalam Sula, 2014), yang mendefinisikan dukungan

sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau

menolong orang dengan sikap menerima kondisinya.

b. Mekanisme Koping Adaptif dengan Tingkat Kecemasan

Hasil dari penelitian ini, terdapat 6 orang dengan

mekanisme koping yang adaptif tidak mengalami kecemasan dan

10 orang dengan kecemasan ringan, dan 6 orang dengan kecemasan

sedang. Hal ini disebabkan oleh penerimaan terhadap apa yang

telah dialami oleh responden dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian ini, responden mengungkapkan

dapat menerima keadaannya saat ini dan selalu berpikir positif,

sabar, ikhlas dan tetap berikhtiar dengan rutin menjalani

hemodialisa serta berusaha agar tidak merasa stress karena menurut

responden stress juga dapat memperburuk kondisi kesehatannya.

Mekanisme koping bersumber dari ego yang sering di sebut

sebagai mekanisme pertahanan mental, diantaranya yaitu sublimasi

atau penerimaan yakni perilaku yang ditampilkan oleh responden

merupakan tindakan konstruktif dalam menyelesaikan masalah.

Responden yang memiliki mekanisme koping adaptif sebagaian

besar menggunakan mekanisme pertahanan ego sublimasi atau

penerimaan. Dimana ketika responden mulai menerima terhadap

apa yang dialaminya secara konstruktif akan mengurangi


118

ketegangan terhadap masalah yang dialami yang secara langsung

akan berpengaruh terhadap tinggkat kecemasan (Sula, 2014).

Terdapat hanya 5 orang dengan mekanisme koping yang

adaptif dengan kecemasan berat dan 5 orang juga dengan tingkat

kecemasan panik. Hal ini karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi

dan rendahnya harapan akan self-eficacy.

Berdasarkan hasil penelitian ini, responden mengungkapkan

sudah berpasrah dengan kondisinya karena mengetahui bahwa

penyakitnya tidak dapat disembuhkan, merasa kecewa karena

dahulu tidak langsung ke pelayanan kesehatan saat gejala awal

muncul, ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan,

berhenti bekerja terutama pada responden laki-laki sebagai kepala

rumah tangga karena mudah lelah sedangkan masih memiliki istri

dan anak kecil yang harus dibiayai serta beban bertambah untuk

membayar biaya transportasi untuk rutin menjalani hemodialisa.

Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang beresiko

besar menimbulkan kematian, dan perawatannya membutuhkan

waktu yang lama bahkan seumur hidup untuk menjalani

hemodialisa serta biaya yang tinggi. Responden yang mengalami

gagal ginjal kronik dengan tingkat ekonomi yang rendah akan

memiliki tingkat kecemasan yang berat karena semakin

bertambahnya beban pikiran yang disebabkan oleh besarnya biaya

pengobatan yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi. Hal ini

sesuai dengan teori Durham (2009) dalam Sula (2014), yang


119

menjelaskan bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah

prevalensi gangguan psikiatriknya lebih banyak.


120

BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat

dikemukakan kesimpulan mengenai hubungan mekanisme koping dengan

tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD

Provinsi NTB yaitu karakteristik responden berdasarkan usia yang paling

banyak adalah lansia akhir (usia 56-65 tahun) sebanyak 20 orang (29,0%),

karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 38 orang (55,1%), karakteristik

responden berdasarkan tingkat pendidikan yang terbanyak dengan tingkat

pendidikan tinggi (SMA, PT) yaitu sebanyak 36 orang (52,2%), karakteristik

responden berdasarkan pekerjaan yang terbanyak responden yang memiliki

status pekerjaan lain-lain (tidak bekerja, IRT, pensiun) sebanyak 29 orang

(42,0%).

Mekanisme koping pasien gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa

RSUD Provinsi NTB sebagian besar menggunakan koping maladaptif

sebanyak 37 orang (53,6%). Tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik di

Unit Hemodialisa RSUD Provinsi NTB mayoritas memiliki kecemasan berat

sebanyak 19 orang (27,5%).

Berdasarkan hasil uji Chi-Square di dapatkan nilai signifikansi sebesar

0,009 (p<0,05) yang berarti ada hubungan mekanisme koping dengan tingkat

kecemasan pasien gagal ginjal kronik di unit hemodialisa RSUD Provinsi

NTB Tahun 2017.

120
121

6.2 Saran
6.2.1 Bagi Instansi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan

literatur atau informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisa.

6.2.2 Bagi Perawat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber

informasi bagi perawat dalam memberikan peningkatan terhadap

kualitas asuhan keperawatan dengan melibatkan perawat untuk

membantu pasien agar dapat menggunakan koping yang adaptif

sehingga dapat menurunkan tingkat kecemasan yang dialami pasien,

karena kecemasan yang dialami dapat semakin memperburuk

kesehatan pasien serta dapat mengganggu proses pengobatan yang

dijalani.

6.2.3 Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak

rumah sakit agar memberikan pelatihan kepada perawat khususnya

perawat hemodialisa mengenai pemberian asuhan keperawatan dari

sisi psikologis dan penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan

dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien gagal ginjal

kronis yang menjalani hemodialisa tidak hanya dalam pengobatan

medis saja namun perlu memberikan asuhan keperawatan yang

bersifat holistik dan menyeluruh dengan mempertimbangkan segi

psikologis, kultural, sosial dan spiritual.


122

6.2.4 Bagi Keluarga Pasien

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi keluarga

pasien untuk memberikan dukungan kepada pasien agar dapat

meningkatkan kepercayaan diri pasien, meningkatkan motivasi, dan

kepatuhan akan diit yang dijalani, karena dukungan dari keluarga

sangat dibutuhkan dan paling berperan terhadap kondisi psikologis

pasien.

6.2.5 Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

informasi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan tingkat

kecemasan pasien gagal ginjal kronik dan diharapkan dapat

melakukan penelitian lebih lanjut pada variabel lain yang dapat

mempengaruhi tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa seperti pengetahuan, stress yang ada

sebelumnya, dukungan sosial, lingkungan budaya, etnis dan

kepercayaan.
123

DAFTAR PUSTAKA

Adrian. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Pada


Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD Prof. Dr. H.
Aloei Saboe Kota Gorontalo. http://eprints.ung.ac.id. Diakses pada tanggal
16 Februari 2017 pukul 20.20 WITA

Agustini R. (2010). Dampak Dukungan Keluarga dalam Mempengaruhi


Kecemasan pada Pasien Penderita Gagal Ginjal Kronik di RS Panti Rapih
Yogyakarta. Http://skripsi-indonesia.com/kategori/skripsi/. Diakses pada
tanggal 15 Februari 2017 pukul 21.00 WITA
Alam S. & Hadibroto I. (2008). Gagal Ginjal. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta

Ariyanto D. (2007). Hubungan Antara Tipe Kepribadian A dan B pada


Mahasiswa Lintas Jalur Program Studi Ilmu Keperawatan dengan Koping
Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Semester di Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Fakultas
Kedokteran, UNDIP : Semarang. http://scribd.com/DIDIK-ARIYANTO-
G2B205010. Diakses pada 09 November 2016 pukul 20.00 WITA

Armiyati Y. (2011). Faktor yang Berkorelasi Terhadap Mekanisme Koping


Pasien CKD yang Menjalani Hemodialisis Di RSUD Kota Semarang.
Universitas Muhammadiyah Semarang. Diakses pada tanggal 15 Februari
2017 pukul 17.50 WITA

Aroem H. (2015). Gambaran Kecemasan dan Kualitas Hidup pada Pasien yang
Menjalani Hemodialisa. http://eprints .ums.ac.id. Diakses pada tanggal 16
Februari 2017 pukul 21.30 WITA
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Salemba Medika : Jakarta

Bandura A. (2010). Self Efficacy Mechanism in Psikological and Health


Promoting Behavior. Prentice Hall : New Jersy

Baradero M., Dayrit M., Siswadi Y. (2009). Seri Asuhan Keperawatan Klien
Gangguan Gunjal. EGC : Jakarta

Baughman D. C. (2010). Keperawatan Medikal Bedah. EGC : Jakarta

Black J. & Hawks J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Elsevier :


Singapore

Budiarto & Anggraeni. (2006). Pengantar Epidemiologi. EGC : Jakarta

Butar & Cholina. (2008). Karakteristik Pasien dan Kualitas Hidup Pasien Gagal
Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisa. Medan Universitas
Sumatera Utara. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul 20.00 WITA
124

Cervone & Pervin. (2012). Kepribadian: Teori dan penelitian (jilid 2). Salemba
Humanika : Jakarta

Chaplin J. P. (2009). Dictionary of Psychology. (di terjemahkan oleh Kartini


Kartono). PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta

Daugirdas et al. (2007). Handbook of Dialysis. 4th ed. Lipincott William &
Wilkins : Phildelphia

Depkes RI. (2013). Gangguan Kardiovaskuler pada Penderita Gagal Ginjal.


Departemen Kesehatan RI.
http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/ginjal250406.htm Di akses
5 November 2016 pukul 09.00 WITA

Doenges M. E. (2006). Rencana Asuhan Keperawatan Psikiatri. EGC : Jakarta

Efendi. (2013). Nefrologi Klinik, Tata Laksana Gagal Ginjal Kronik. FK Unsri :
Palembang

Farida A. (2010). Pengalaman Klien Hemodialisis Terhadap Kualitas Hidup


dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta.
Universitas Indonesia. Tesis. Depok. http://lib.ui.ac.id/137288-T-
Anna%20Farida.pdf. Diakses pada tanggal 5 November 2016 pukul 10.19
WITA

Gunarsah S. & Gunarsah Ny. S. D. (2008). Psikologi Keperawatan. Gunung


Mulia : Jakarta

Hadi. (2015). Hubungan Lama Menjalani Hemodialisis dengan Kepatuhan


Pembatasan Asupan Cairan pada Pasien GGK.
http://opac.unisayogya.ac.id. Diakses pada tanggal 16 Februari 2017 pukul
20.25 WITA
Hall C. S. & Lindsey G. (2009). Teori-Teori Psikodinamik (klinis). Kanisius :
Yogyakarta

Hamalik O. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi Aksara : Jakarta

Hawari D. (2008). Manajemen Stress, Cemas dan Depresi. FK UI : Jakarta

Ibrahim A. ( 2007). Perbedaan Tingkat Kecemasan (anxietas) Antara Laki-laki


dan Perempuan Pada Kasus PTSD (Post Trauma Stres Disorder) Korban
Gempa Klaten Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran, UNS : Semarang.
http://eprints.uns.ac.id/12612/16.pdf. Diakses pada 09 November 2016
pukul 20.00 WITA

Ignatavicius & Workman. (2010). Medical Surgical Nursing : Patient Centered


Collaborative Care Sixth Edition. Elseiver : USA
125

Ihdaniyati A. (2014). Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Strategi Koping


Pasien Gagal Jantung Kongestif di RSU Pandan Arang Boyolali.
ejurnal.ac.id/pdf/download. Diakses pada tanggal 16 Februari 2017 pukul
20.00 WITA
Jangkup J., Elim C., Kandou L. (2015). Tingkat Kecemasan pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di BLU RSUP Prof. Dr.
R.D.Kandou Manado. Jurnal Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/7823. Di akses
pada tanggal 5 November 2016 pukul 10.50 WITA

Johnson, Godwin, Patterson. (1998). Emotion, Coping and Complaining


Propensity Following a Dissatisfactory Service and Counter. Prentice Hall
International : New York. Diakses pada 09 November 2016 pukul 20.10
WITA

Kamaludin A. (2010). Gagal Ginjal Kronik. Bagian Ilmu Penyakit Dalam UPH :
Jakarta

Lase W. N. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup


Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di RSUP Haji
Adam Malik Medan. Di akses pada tanggal 5 November 2016 pukul 11.25
WITA
Laura K. (2010). Psikologi Umum. Salemba Humanika : Jakarta

Maisaroh E. N. & Falah F. (2011). Religiusitas dan Kecemasan menghadapi


Ujian Nasional pada Siswa Madrasah Aliyah. Jurnal. Universitas Islam
Sultan Agung Semarang. : Semarang
http://journal.unissula.ac.id/proyeksi/article/2f110.d.bmk. Di akses pada
tanggal 09 November 2016 pukul 19.30 WITA

Mesuri R. (2014). Hubungan Mekanisme Koping Dengan Tingkat Stress Pada


Pasien Fraktur.http://journal.unnas.ac.id. Di akses pada tanggal 17
Februari 2017 pukul 19.30 WITA

Mustafa A. (2008). Mekanisme Koping Pasien Stroke.


http://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/download.388.pdf. Di akses
Di akses pada tanggal 5 November 2016 pukul 10.25 WITA

Mutoharoh I. (2010). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Mekanisme


Koping Klien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Jakarta. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017
pukul 20.00 WITA
Muttaqin A. & Sari K. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkenihan. Salemba Medika : Jakarta
126

Nasir A. & Muhith A. (2011). Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa : Pengantar


Dan Teori. Salemba medika : Jakarta

Nevid et al. (2006). Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga : Jakarta

Njah et al. (2006). Anxiety and Depression in the Hemodialysis Patient.


Nephrologie. 2005, 22 (7) : 353-7. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017
pukul 21.20 WITA
Notoatmodjo S. (2010). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta

__________. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta

Nursalam. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika :


Jakarta

Pratiwi D. (2014). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi


Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di PTPN RS
Gatoel Mojokerto. Medica Majapahit. Mojokerto: STIKES Majapahit.
Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul 20.25 WITA

Rahman. (2013). Hubungan Tindakan Hemodialisais dengan Tingkat Kecemasan


Pasien di Ruangan Hemodialisa RSUD Labuang Baji Pemprov Sulawesi
Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosisi Volume 4 Nomor 5 Tahun
2014. ISSN : 2302-1721. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul
20.50 WITA
Rahmi W. (2008). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Yang Pertama Kali
menjalani Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Kraton. Penelitian
Keperawatan Medikal Bedah. http://repository.unand.ac.id/5650/ Di akses
pada tanggal 5 November 2016 pukul 10.50 WITA

Rika D. (2006) Hubungan antara Intensitas Shalat dengan Kecemasan


Menghadapi Hemodialisa pada Pasien Gagal Ginjal. Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah : Malang.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=332494. Di akses
pada tanggal 5 November 2016 pukul 11.00 WITA

Romani, Hendarsih, Lathu. (2012). Hubungan Mekanisme Koping Individu


dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Gagal Ginjal Kronis di Unit
Hemodialisa RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Artikel
Ilmiah.Yogyakarta : Universitas Respati Yogyakarta. Diakses pada tanggal
15 Februari 2017 pukul 20.30 WITA

Rostanti A. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan


Menjalani Terapi Hemodialisa pada Penyakit Gagal Ginjal Kronik Di
RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado. http://ejournal.unsrat.ac.id. Diakses
pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 20.30 WITA
127

Sari I. (2013). Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum Haji Medan. http://download.portalgaruda.org. Diakses
pada tanggal 16 Februari 2017 pukul 19.30 WITA

Sari L. (2013). Mekanisme Koping Pasien Gagal Ginjal yang Menjalani


Hemodialisa di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
http://repository.umy.ac.id. Diakses pada tanggal 16 Februari 2017 pukul
20.10 WITA

Sasmita, Bayhaki, Hasanah. (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan


dengan Strategi Koping Pasien Gagal Ginjal Kronikyang Menjalani
Hemodialisis Vol. 2 No. 2. Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Riau ipi385057.pdf. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul 21.25
WITA

Sidartha B. (2008). Usia Muda Makin Rentan Gagal Ginjal. Diperoleh tanggal 23
Januari 2015 dari http://www.biofirstore.com/penjelasan-biofir/usia-muda-
makin-rentan-gagal-ginjal.html. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017
pukul 21.30 WITA
Smeltzer S. C. & Bare B. G. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth ( Edisi 8 Volume 1). EGC : Jakarta

Subiatmini. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Perawat dengan Tingkat


Kecemasan pada Pasien Kanker yang menjalani Kemoterapi,
http://digilib.unismus.ac.id. Di akses pada tanggal 09 November 2016
pukul 20.30 WITA

Sudirman. (2014). Hubungan Tindakan Hemodialisa dengan Tingkat Kecemasan


Pasien di Ruangan Hemodialisa RSUD Labuang Baji Pemprov Sulawesi
Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosisi Volume 4 nomor 5 tahun 2014.
ISSN : 2302-1721. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul 20.25
WITA
Sudoyo A. W. (2009). Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi V. Pusat Penerbitan IPD FK UI : Jakarta

Suharyanto T. & Madjid A. (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Gangguan Sistem Perkemihan. Trans Info Media : Jakarta

Sula Y. (2014). Hubungan Mekanisme Koping dengan Tingkat Kecemasan Pasien


Stroke di RS Bhayangkara Makassar. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Yayasan Gema Insan Akademik Makassar. 251337014-Hubungan-
Mekanisme-Koping-dengan-Tingkat-Kecemasan-Pasien-Stroke-di-Rs-
Bhayangkara-Makassar.pdf. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul
22.00 WITA
Suliswati. (2012). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC : Jakarta

Sumiati. (2009). Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. CV TIM : Jakarta


128

Sumidjo W. 2006. Gaya Kepemimpinan dan Motivasi. PT. Raja Grafindo Persada
: Jakarta
Sunaryo. (2006). Psikologi Untuk Keperawatan. EGC : Jakarta

Supadmi W. (2015). Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik di RSUD Wates Kulon
Progo Vol. 11. No. 2. 334._bu_woro.pdf. Diakses pada tanggal 15 Februari
2017 pukul 20.30 WITA

Syaiful H. (2014). Hubungan Umur dan Lamanya Hemodialisis dengan Status


Gizi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisis di
RS. Dr. M. Djamil Padang. http://download.portalgaruda.org. Diakses pada
tanggal 16 Februari 2017 pukul 21.00 WITA
Tjokroprawiro A. (2007). Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University Press :
Surabaya

Videbeck. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Ed. 5. EGC : Jakarta

Wangmuba. (2009). Kecemasan dan Psikologi.


http://wangmuba.com/tag/kecemasan Di akses pada tanggal 5 November
2016 pukul 10.00 WITA

Wartilisna., Kundre R., Babakal A. (2015). Hubungan Tindakan Hemodialisa


Dengan Tingkat Kecemasan Klien Gagal Ginjal Di Ruangan Dahlia
RSUP Prof Dr. Kandou Manado. www.e-
junal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/download/6737/6253. Di akses
pada tanggal 5 November 2016 pukul 11.25 WITA

Widyastuti R. (2014). Korelasi Lama Menjalani Hemodialisis dengan Indeks


Massa Tubuh Pasien Gagal Ginjal Kronik di RSUD Arifin Achamad
provinsi Riau. Jurnal Gizi Volume 1 No.2 Oktober 2014. Poltekkes
Kemenkes Riau: Riau.
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFDOK/article/view/2856. Di akses 5
November 2016 pukul 11.15 WITA

Widyati S. (2016). Hubungan Mekanisme Koping Individu dengan Tingkat


Kecemasan Pasien GGK di Bangsal Teratai RSUD Soediran Mangun
Sumarso Wonogiri. Stikes Kusuma Husada Surakarta. www.ebscohost.com
Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul 20.30 WITA
Yemima, Kanine, Wowiling. (2013). Mekanisme Koping Pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronik Yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Rumah Sakit Prof.
Dr.R.D Kandou Manado.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php.jkp/article/view/2254. Di akses pada
tanggal 5 November 2016 pukul 11.25 WITA

Yuliaw A. (2009). Hubungan Karakteristik Individu dengan Kualitas Hidup


Dimensi Fisik pasien Gagal Ginjal Kronik di RS Dr. Kariadi Semarang.
129

digilib.unimus.ac.id/files/disk1/106/jtpunimus-gdl-annyyuliaw-5289-2-
bab2.pdf. Di akses pada tanggal 5 November 2016 pukul 11.45 WITA

Zurmeli. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien


Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru. Jurnal Keperawatan. Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Riau. Diakses pada tanggal 15 Februari 2017 pukul 20.00
WITA
1
2

Você também pode gostar