Você está na página 1de 36

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang

meliputi sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif. Jika pada

anestesi umum pasien tidak sadar, pada anestesi regional pasien tetap sadar,

tetapi tidak merasakan nyeri Anestesi dapat dibedakan menjadi tiga macam

yaitu anestesi lokal, regional, dan umum.1

Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu

menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian

tubuh yang spesifik dengan kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri

yang hilang bersifat lokal. Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri

suatu bagian tubuh untuk sementara pada impuls saraf, dengan menyuntikan

obat anestesi disekitar saraf sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh

diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau

seluruhnya, tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar. Anestesi regional terbagi

menjaadi epidural, spinal dan kaudal. Spinal anastesi atau yang biasa disebut

Subarachnoid Block (SAB).Anestesi umum (general anestesi) adalah

meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

reversibel. Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan agar

dapat menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan menyebabkan amnesia

yang bersifat reversibel dan dapat diprediksi.1

1
2

Mioma uteri atau kanker jinak yang terdapat di uterus adalah tumor

jinak yang tumbuh pada rahim. Dalam istilah kedokteranya disebut

fibromioma uteri, leiomioma, atau uterine fibroid. Mioma uteri merupakan

tumor kandungan yang terbanyak pada organ reproduksi wanita.

Kejadiannya lebih tinggi antara 20% – 25 % terjadi pada wanita diatas umur

35 tahun, tepatnya pada usia produktif seorang wanita, menunjukkan adanya

hubungan mioma uteri dengan estrogen.2

Berdasarkan penelitian World Health Organisation (WHO) penyebab

dari angka kematian ibu karena mioma uteri pada tahun 2010 sebanyak 22

kasus (1,95%) dan tahun 2011 sebanyak 21 kasus (2,04%). Di Indonesia

kasus mioma uteri ditemukan sebesar 2,39% -11,7% pada semua pasien

kebidanan yang di rawat. Mioma uteri lebih sering ditemukan pada wanita

kulit hitam dibandingkan wanita kulit putih. Data statistik menunjukkan 60%

mioma uteri terjadi pada wanita yang tidak pernah hamil atau hamil hanya

satu kali.3
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Myoma Uteri

2.1.1 Anatomi Uterus

Uterus pada serang dewasa berbentuk seperti buah avokad atau buah pir

yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar di tempat yang

paling lebar 5,25 cm, dan tebal 2,5 cm. Uterus terdiri atas corpus uteri (2/3 bagian

atas) dan cervix uteri (1/3 bagian bawah).4

Di dalam corpus uteri terdapat rongga (cavum uteri), yang membuka

keluar melalui saluran (canalis cervicalis) yang terletak di cervix. Bagian bawah

cervix yang terletak di vagina dinamakan portio uteri (pars vaginalis cervicis

uteri), sedangkan yang berada di atas vagina disebut pars supravaginalis servicis

uteri. Antara corpus dan cervix masih ada bagian yang disebut isthmus uteri.4

Bagian atas uterus disebut fundus uteri. Disitu tuba fallopi kanan dan kiri

masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri terutama atas miometrium, yang

merupakan otot polos berlapis tiga; lapisan otot sebelah luar berjalan longitudinal

dan lapisan sebelah dalam berjalan sirkuler, di antara kedua lapisan ini otot polos

berjalan saling beranyaman. Miometrium dalam keseluruhannya dapat

berkontraksi dan berelaksasi.4

Cavum uteri dilapisi oleh selaput lendir yang kaya dengan kelenjar yang

disebut endometrium. Endometrium terdiri atas epitel selapis kubik, kelenjar-

kelenjar, dan stroma dengan banyak pembuluh darah yang berkeluk-keluk. Di

2
4

corpus uteri endometrium licin, akan tetapi di serviks berkelok-kelok; kelenjar-

kelenjar itu bermuara di canalis cervicalis (arbo vitae). Pertumbuhan dan fungsi

endometrium sangat dipengaruhi ole hormon steroid ovarium.4

Di bagian luar, uterus dilapisi oleh lapisan serosa (peritoneum visceral).

Dengan demikian, dari luar ke dalam dinding corpus uteri akan dilapisi oleh

serosa atau perimetrium, miometrium dan endometrium. Uterus mendapat darah

dari arteria uterina (cabang dari arteri iliaca interna) dan dari arteri ovarica.4

2.1.2Definisi Mioma Uteri

Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid, atau

leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus dan

jaringan ikat yang menumpanginya.4

2.1.3 Etiologi Mioma Uteri

Etiologi pasti mioma uteri tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat

korelasi antara pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-

progesteron pada jaringan mioma uteri, serta adanya faktor predisposisi yang

bersifat herediter dan faktor hormon pertumbuhan dan Human Placental

Lactogen. Para ilmuwan telah mengidentifikasi kromosom yang membawa 145

gen yang diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli

mengatakan bahwa mioma uteri diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma

membesar sangat cepat pada saat kehamilan dan mengecil pada saat menopause,
5

sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi seperti

estrogen dan progesteron.4

2.1.4 Klasifikasi Mioma Uteri

Mioma uteri berasal dari miometrium dan klasifikasinya dibuat

berdasarkan lokasinya:4

a. Mioma Submukosa

Menempati lapisan dibawah endometrium dan menonjol ke dalam (cavum

uteri). Pengaruhnya pada vaskularisasi dan luas permukaan endometrium

menyebabkan perdarahan irregular. Mioma jenis ini dapat bertangkai

panjang sehingga dapat keluar melalui ostium cervix. Yang harus

diperhatikan dalam menangani mioma bertangkai adalah kemungkinan

terjadinya torsi dan nekrosis sehingga risiko infeksi sangat tinggi.

b. Mioma Intramural (Interstisial)

Mioma yang berkembang di antara miometrium.

c. Mioma Subserosa

Mioma yang tumbuh di bawah lapisan serosa uterus dan dapat bertumbuh

ke arah luar dan juga bertangkai. Mioma subserosa juga dapat menjadi

parasit omentum atau usus untuk vaskularisasi tambahan bagi

pertumbuhannya.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis hanya terdapat pada 35% - 50% penderita mioma.

Hampir sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat kelainan di


6

dalam uterusnya, terutama sekali pada penderita dengan obesitas. Keluhan

penderita sangat tergantung pula dari lokasi atau jenis mioma yang diderita.

Berbagai keluhan penderita dapat berupa:4

a. Perdarahan Abnormal Uterus

Perdarahan menjadi manifestasi klinis utama pada mioma dan

terjadi 30% pada penderita. Bila terjadi kronis maka dapat terjadi

anemia defisiensi zat besi dan bila berlangsung lama dan dalam jumlah

yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan suplementasi zat besi.

Perdarahan pada mioma submukosa seringkali diakibatkan oleh

hambatan pasokan darah endometrium, tekanan dan bendungan

pembuluh darah di area tumor (terutama vena) atau ulserasi

ensometrium di atas tumor. Tumor bertangkai seringkali menyebabkan

trombosis vena dan nekrosis endometrium akibat tarikan dan infeksi

(vagina dan cavum uteri terhubung oleh tangkai yang keluar dari ostium

cervix). Dismenorea dapat disebabkan oleh efek tekanan, kompresi,

termasuk hipoksia lokal miometrium.

b. Nyeri

Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam uterus kecuali apabila

kemudian terjadi gangguan vaskular. Nyeri lebih banyak terkait dengan

proses degenerasi akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai

mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma

subserosa dari cavum uteri. Gejala abdomen akut dapat terjadi bila

torsio berlanjut dengan terjadinya infark atau degenerasi merah yang


7

mengiritasi selaput peritoneum (seperti peritonitis). Mioma yang besar

dapat menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengedan.

Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan

persyarafan yang berjalan di atas permukaan tulang pelvis.

c. Efek Penekanan

Walaupun mioma dihubungkan dengan adanya desakan tekan,

tetapi tidaklah mudah untuk menghubungkan adanya penekanan organ

dengan mioma. Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan

terhadap organ sekitar. Parasitik mioma dapat menyebabkan obstruksi

saluran cerna perlekatannya dengan omentum menyebabkan strangulasi

usus. Mioma cervix dapat menyebabkan sekret serosanguinea vaginal,

perdarahan, dispareunia, dan infertilitas. Bila ukuran tumor lebih besar

lagi, akan terjadi penekanan ureter, kandung kemih dan rektum.

2.1.6 Diagnosis

Pada anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,

faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa

menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang serta adanya

riwayat pervaginam terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga dikeluhkan

perdarahan kontak.4

Pada pemeriksaan fisik, mioma uteri mudah ditemukan melalui

pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila

dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi
8

sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari

uterus.4

Pada hasil laboratorium, anemia merupakan akibat paling sering dari

mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya

cadangan zat besi. Kadang mioma menghasilkan eritropoietin yang pada

beberapa kasus menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia

dengan penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang

menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi

pembentukan eritropoietin ginjal.4

Dengan berkembangnya ultrasonografi, baik abdominal maupun

transvaginal, diagnosis mioma sangat dipermudah. MRI (Magnetic Resonance

Imaging) juga dapat dipergunakan dalam kehamilan karena MRI tidak memakai

radiasi ionisasi. CT-Scan merupakan kontraindikasi oleh karena radiasi.4

Diagnosis mioma uteri dalam kehamilan biasanya tidak sulit walaupun

terkadang dibuat kesalahan. Terutama kehamilan kembar, neoplasma ovarium,

dan uterus didelfis dan menyesatkan diagnosis. Ada kalanya mioma besar teraba

seperti kepala janin, sehingga kehamilan tunggal disangka kehamilan kembar;

atau mioma kecil disangka bagian kecil janin. Dalam persalinan mioma lebih

menonjol sewaktu ada his sehingga mudah dikenal.4

Mioma yang lunak dan tidak menyebabkan kelainan bentuk uterus sangat

sulit untuk dibedakan dari uterus gravidus. Bahkan, pada laparotomi waktu perut

terbuka, kadang-kadang tidak mungkin untuk dibuat diagnosis yang tepat.4


9

2.1.7 Penatalaksanaan

Terapi harus memperhatikan usia, paritas, kehamilan, konservasi fungsi

reproduksi, keadaan umum dan gejala yang ditimbulkan. Bila kondisi pasien

sangat buruk, lakukan upaya perbaikan yang diperlukan termasuk nutrisi,

suplementasi zat esensial, atau transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat

infeksi atau gejala abdominal akut, siapkan tindakan bedah gawat darurat untuk

menyelamatkan penderita. Pilihan prosedur bedah terkait dengan mioma uteri

adalah miomektomi atau histerektomi.4

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi mendadak memerlukan tindakan segera. Torsi tangkai mioma

subserosum menunjukkan tanda gawat abdomen akibat gangguan sirkulasi dan

nekrosis jaringan. Walaupun jarang terjadi, mioma dapat berubah menjadi ganas

(leiomiosarkoma). Kecurigaan terhadap sarkoma timbul apabila suatu mioma

uterus yang selama beberapa tahun tidak membesar, tiba-tiba menjadi besar.2

2.2 Regional Anestesia

Anesthesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai

analgesik karna menghilangkan nyeri dan pasien dapat tetap sadar. Oleh sebab itu,

tekhnik ini tidak memenuhi trias anesthesi karna, hanya menghilangkan persepsi

nyeri saja. Jika diberi tambahan obat hipnotik atau sedatif, disebut sebagai balance

anesthesia sehingga masuk dalam trias anesthesia. Hanya regio yang diblok saja

yang tidak merasakan sensasi nyeri.1


10

Efek pemberian analgesik dan anesthesi lokal dapat dijelaskan sebagai

berikut: golongan NSAID akan memblokir rangsang dengan cara memblokir

enzim siklooksigenase dijaringan perifer sehingga pembentukan prostaglandin

akan terhambat. Jika golongan opioid yang digunakan, golongan ini akan

memblokir reseptor opioid di medulla spinalis dan korteks serebri. Anesthesi lokal

seperti lidokain dan bupivacain memblokir penjalaran nyeri di medulla spinalis

dan serabut saraf yang enuju medulla spinalis sehingga rangsang nyeri tidak

sampai ke korteks serebri. Agonis alfa-2 seperti klonidin akan menghambat

pelepasan neuro transmiter.1

Teknik anesthesi regional dibagi menjadi 2 yaitu:1

1. Blokade sentral (blokade neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal,

epidural dan kaudal

2. Blokade perifer (blokade saraf), misalnya blok pleksus brachialis, aksila

dan alagesik regioanal intravena.

Anesthesi regional kebanyakan menggunakn blokade sentral, seperti pada

operasi Sectio Caesaria, Hernia dan operasi ortopedi daerah peruh kebawah.

Obat analgesik berupa anestetik lokal seperti bupivacain dan lidocain diberika

melalui ruang subarachnoid atau ruang epidural di kolumna vertebralis.

Tulang panggul (kolumna vertebralis) terdiri atas:1

 7 vertebrae servikal

 12 vertebrae thorakal

 5 vertebrae lumbal
11

 5 vertebrae sakral

 4-5 vertebrae koksigea

2.2.1 Anesthesi Epidural

Anesthesi epidural adalah bolkade saraf dengan menempatkan obat di

ruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada diantara ligamentum

flavum dan duramater. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum didasar

tengkorak dan bagian bawawh dengan selaput sakrokoksigeal. Kedalam ruang

ini rata-rata 5mm dan dibagianposterior kedalam maksimal terletak pada daerah

lumbal. Anesthetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf

spinal yang terletak d bagian lateral. Oset kerja anesthesi epidural lebih lambat

dibandingkan anesthesi spinal. Selain itu, kualitas blokade sensoris dan

motoriknya juga lebih lemah.1

Indikasi anesthesi epidural pada dasarnya sama dengan spinal yaitu:1

 Pembedahan atau penanggulangan pasca bedah

 Tatalaksana nyeri saat persalinan

 Penurunan tekanan darah saat pembedahan agar tidak banyak

perdarahan

 Tambahan pada anesthesi umum ringan karena penyakit tertentu pasien

2.2.2 Anesthesi Kaudal

Anesthesi kaudal sebenarnya sama dengan anesthesi epidural karna kanalis

kaudalis adalah kepanjangan ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang


12

kaudal melalui hiatus sakralis. Ruang kaudal berisi saraf sakral, peksus venosus,

felum terminal dan kantung dura. Tehnik ini biasa nya dilakuan pada pasien

anak-anak karna bentuk anataominya yang lebih mudah dibanduingkan pada

orang dewasa. Anesthesi kaudal biasanya diindasikan untuk bedah daerah sekitar

perineum dan anorektal misalnya hemororid dan fistula perianal.1

2.2.3 Regional Anestesia Subarachnoid (Ra-Sab)

2.2.3.1 Definisi Ra-Sab


Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh
tanpa terjadi hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua
kelompok teknik – central neuraxis blockade (blokade epidural atau
subarachnoid) dan peripheral nerve blockade.1
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent
(izin dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung),
dan pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan
aPTT). Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas
peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG;
peralatan resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung
tajam (Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.1

2.2.3.2 Indikasi Ra-Sab


Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai
berikut:1

1. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena


terdapat inervasi pada buli buli)
2. Hysterectomy
3. Caesarean section (T6)
4. Evakuasi alat KB yang tertinggal
13

5. Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti


arthroplasty
6. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal

2.2.3.3 Kontraindikasi Ra-Sab


Kontraindikasi Absolut.1
a) Pasien menolak
b) Deformitas pada lokasi injeksi
c) Hipovolemia berat
d) Sedang dalam terapi antikoagulan
e) Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
f) Peningkatan tekana intracranial.

Kontraindikasi Relatif .1
a) Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)
b) Infeksi sekitar tempat penyunikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis

2.2.3.4 Komplikasi Ra-Sab

Komplikasi Pasca Tindakan.1

a) Nyeri tempat suntikan


b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urine
e) Meningitis
14

2.2.3.5 Teknik Anastesi

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk


atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan.
Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.1

Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:1

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus


lateral. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar
tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat
tusukannya, misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-
L2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar
22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk
15

yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer


(penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah
1,003 – 1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS
disebut isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari
CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih
kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering
digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur
anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

2.2.3.6 Preoperatif

a) Penilaian Preoperatif

Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian


tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan
untuk menjalani tindakan operatif.1

Tujuan:1

1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif


2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
16

5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang


diramalkan.

b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan
dengan penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan
fungsi organ, dan anamnesis umum yang meliputi riwayat
penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat
operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi.1
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi
badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga
dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan
status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah,
gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing,
metabolik dan endokrin, otot rangka.1
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin.
Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang
menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan
khusus sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium
lengkap, pemeriksaan radiologi.1
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang
terkait bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa
dilakukan berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila
dianggap perlu, pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri
17

oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf medis


lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama
diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi.1

5. Menentukan prognosis pasien perioperative


Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American
Society of Anesthesiologist (ASA).1

Kelas Definisi

ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit


sistemik.

ASA 2 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan


penyakit sistemikringan sampai sedang

ASA 3 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan


penyakit sistemik berat yang disebabkan karena
berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.

ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai penyakit


sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.

ASA 5 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan


penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin
ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam24 jam
pasien meninggal.

ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani


transplantasi organ untuk donor.

E Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka


status pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)

(Tabel 2.1 Klasifikasi ASA)


18

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring.1

c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi.


Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-
8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak
berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.1

2. Terapi Cairan

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi


akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak
adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat
karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal,
19

keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.1

3. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum


induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:1

a) Meredakan kecemasan dan ketakutan


b) Memperlancar induksi anestesi
c) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d) Meminimalkan jumlah obat anestetik
e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang


dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan
baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa
digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.1

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan


pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat
diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600
mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
20

premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-


5 mg atau ondansetron 2-4 mg.1
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi
berupa pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi
Ranitidine 50 mg untuk profilaksis dari PONV (postoperative
nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti
emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek
menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna,
meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat
pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung
sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia
aspirasi.1
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada
kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos
(seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu
metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada
chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.1
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin.
Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi
sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi
asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko.1

2.2.3.7 Durante Operasi


Langkah-langkahnya sebagai berikut:1
a) Persiapan Pasien
Pasien dilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur
suhu pendingin ruangan.
b) Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan bupivacaine.
21

c) Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan
cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti
protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan
onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular,
sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan
mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang


digantikan. Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air,
penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis
maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit,
penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan
jenis replacement.1

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah


isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan
yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun
sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter
dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L,
Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada
komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang
paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah
durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3
hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.1

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan


kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah
hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons
atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat
menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150
22

cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau


lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.1

d) Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat
membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu
perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA
(standard monitor berikut ini adalah standard minimal monitoring):1
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun
pada kondisi emergensi, appropriate life support harus
diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic
anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu komponen
perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak
lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis
secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode
monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan
klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi
selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan
memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi,
dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien
selama anestesi adalah:
a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya
c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time
23

d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata,


aktivitas reflek palpebra)
e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.3.8 Post Operatif


a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room

Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia


care unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini,
pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level
nyerinya. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan
pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah
letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap
kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan
tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah
regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga
tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.1

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan


dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang
telah dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga.
Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera
setelah pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, pakaian pasien
yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti
dengan pakaian yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama
perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat
di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk mencegah
terjadinya risiko injury.1

Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan


dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani
dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien
24

ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh


dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek, monitoring
adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan
lancar.1

b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room

Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi


hilang dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum
efek anestesi benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat
masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.1

Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia


pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas
individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat
ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis
anestesi diketahui.

Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-


benar pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan
pemantauan seperangkat alat berikut:1

a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu

Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:1

a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan


kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali
25

pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif


pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan
pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu
menjaga respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat
jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu
juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot
sehingga pasien dapat kembali pulang.

Ruang Pulih:1

a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara


kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan
sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi,
memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri
pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien
dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada
ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang
akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
c) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik. Hal-hal yang perlu
diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran, respirasi (sumbatan
jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut
jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna,
aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan
pasca anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan
Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi
oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
26

Tabel 2.4 Aldrete Score

POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE

ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue


COLOR Oxygenation
PINK SpO2>92% on room air 2
PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1
CYANOTIC SpO2<90% on oxygen 0
RESPIRATION
CAN BREATHE DEEPLYAND COUGH Breathes deeply and 2
coughs freely
SHALLOW BUT Dyspneic, shallow or 1
ADEQUATEEXCHANGE limited breathing
APNEA OR OBSTRUCTION Apnea 0
CIRCULATION
BLOOD PRESSURE WITHIN 20% OF Blood pressure ± 20 2
NORMAL mmHg of normal
BLOOD PRESSURE WITHIN20–50% OF Blood pressure ± 20– 1
NORMAL 50mmHg of normal
BLOOD PRESSURE DEVIATING >50% Blood pressure more than 0
FROM NORMAL ± 50 mmHg of normal
CONSCIOUSNESS
AWAKE, ALERT, AND ORIENTED Fully awake 2

AROUSABLE BUT READILY DRIFTS Arousable on calling 1


BACK TO SLEEP
NO RESPONSE Not responsive 0
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2
MOVES TWO EXTREMITIES Same 1
NO MOVEMENT Same 0
27

Berdasarkan padaAldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.


AnesthAnalg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
revisited. J ClinAnesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-dischargebila total skor 10
atau minimal 9.

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk


dikeluarkan dari PACU adalah:1

a) Fungsi pulmonal yang tidak terganggu


b) Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c) Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d) Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e) Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f) Mual dan muntah dalam kontrol
g) Nyeri minimal

Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan


normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai
adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas
motorik. Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ±
60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan
general anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade
sensoris dan motoris.1
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya
multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor
pasien sendiri. Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid
selama anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi),
dan operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda.
28

Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang


seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis.1
Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-
hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti
ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15
mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang
bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut
extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan
oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics.1
Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila
dikombinasikan dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual
dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa
digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non
farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20
mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan
tangan).1

2.2.3.9 Efek Ra-Sab

Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi


regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam
ruang subarachnoid dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia
setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002).
Penyuntikan obat anestetik local pada ruang subarachnoid diantara konus
medularis dan bagian akhir dari ruang subarachnoid adalah untuk
menghindari adanya kerusakan pada medulla spinalis. Pada orang
dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang subarachnoid
antara L2 dan L5 (biasanya antara L3 dan L4). Untuk mendapatkan
blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini
tergantung kepada banyak factor, antara lain posisi pasien dan berat
jenis obat.
29

LAPORAN KASUS

Indentitas
• Nama : Sri Astuti
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Umur : 47 Tahun
• Agama : Islam
• Alamat : Pancing Medan
• Pekerjaan : Tukang Cuci
• Status Perkawinan : Menikah
• No RM : 25.54.73

Keluhan Utama : Keluar darah dari kemaluan


Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1 bulan terakhir. Awalnya
hilang timbul berupa bercak bercak dan semakin banyak
sejak 1 hari yang lalu sampai 5x ganti pembalut per hari,
darah warna merah segar. Riwayat keluar darah diluar
haid (+), Riwayat haid memanjang (+), Riwayat keluar
darah saat campur (-), Riwayat keputihan (-), Riwayat
trauma (-) , Riwayat minum jamu jamuan (-), BAK/BAB
(+) normal

• RPT : (-)
• RPO : (-)
• RPK : (-)
• Riwayat KB : Suntik 3 bulan
• Riwayat Haid : Menarche 14 Tahun, Teratur, 5-6 hari, Volume 1-2x ganti
pembalut/hari, Nyeri haid (+),
30

Pemeriksaan Fisik
Status Present
• Keadaan Umum : Baik
• Sensorium : Compos Mentis
• Tinggi Badan : 167 cm
• Berat Badan : 65 kg
• Keadaan Gizi : Baik
Vital Sign
• Tekanan Darah : 120/70 mmHg
• Nadi : 104x/menit,reguler
• RR : 20x/menit, reg, tipe pernafasan: thorakoabdominal
• Suhu : 36,70C
Pemeriksaan Umum
• Kulit : Sianosis (-), Oedem (-), Turgor (kembali cepat)
• Kepala : Normocepali
• Mata : Anemis +/+, , Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
• Mulut : Pharing hiperemis (-), tonsil (T1-T1)
• Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
• Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, retraksi costae -/-
• Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
• Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
• Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru, suara tambahan (-)
Abdomen
• Inspeksi : Datar, Simetris, masa (+)
• Palpasi : Nyeri tekan (+), Teraba massa padat sebesar bola
kasti, mobile, permukaan rata
31

• Perkusi : Normal
• Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
Genitalia
• Luka : Tidak - Nanah : Tidak
• Hernia : Tidak - Sikatriks : Tidak
• Inspeculo : Tampak portio / cervix, erosi (+), tampak stollcell,
dibersihkan kesan darah merembes dari OUE
• VT : Teraba massa padat, sebesar bola kasti, mobile,
permukaan rata, setengah umbilikus – simfisis
pubis

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Darah Rutin
• Hb : 9,4 g/dl
• HT : 28,1 %
• Eritrosit : 3,5 x 106/µL
• Leukosit : 15.500/ µL
• Trombosit : 455,000/µL
Metabolik
• KGDS : - mg/dl
Fungsi Ginjal
• Ureum : 19mg/dl
• Kreatinin : 0.89mg/dl

RENCANA TINDAKAN
• Tindakan : Laparotomi
• Anesthesi : RA-SAB
• PS-ASA :2
32

• Posisi : Supinasi
• Pernapasan : spontan dengan nasal kanul O2

KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
• Airway : Clear
• RR : 20x/menit
• SP : Vesikuler ka=ki
• ST : Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
• Akral : Hangat/Merah/Kering
• TD : 120/70 mmHg
• HR : 104x/menit
B3 (Brain)
• Sensorium : Compos Mentis
• Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
• RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
• Urine Output : PO : 100cc DO : 100cc
• Kateter : terpasang
B5 (Bowel)
• Abdomen : Soepel
• Peristaltik : Normal (+)
• Mual/Muntah : (+)/(+)
B6 (Bone)
• Oedem : (-)
33

PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
• Bupivacaine 0,5% : 20mg
• Fentanyl : 25µg
• Asam Traneksamat : 1gr
• Ephedrin : 5mg
Jumlah Cairan
• PO : RL 300 cc
• DO : RL 200 cc, Nacl 500cc+150cc, PCR 110cc
• Produksi Urin :-
Perdarahan
• Kasa Basah : 8 x 10 = 80 cc
• Kasa 1/2 basah : 5 x 5 = 25 cc
• Suction : 100ml
• Jumlah : 205ml
• EBV : 65 x 65 = 4225cc
• EBL : 10 % = 4225.5 cc
20% = 845 cc
30 % = 1267.5 cc
Durasi Operatif
• Lama Anestesi : 09.10 WIB–selesai
• Lama Operasi : 09.20 – 10.20 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB


• Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan
betadine + alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) →
injeksi bupivacain 0,5% 17,5mg → posisi supine → atur blok setinggi T6.
34

POST OPERASI
Operasi berakhir pukul : 10.20 WIB
• Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

Perawatan Post Operasi

• Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah


dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI


• Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
• IVFD RL 20 gtt/menit
• Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
• Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
• Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah
35

BAB III
Kesimpulan

3.1 Mioma uteri, dikenal juga dengan sebutan fibromioma, fibroid, atau
leiomioma merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus
dan jaringan ikat yang menumpanginya.

3.2 Pada kasus Mioma Uteri dengan diagnosa yang sudah pasti tindakan yang
biasanya dilakukan adalah Laparotomy. Laparotomy adalah semua jenis
pembedahan melalui akses membuka dengan dinding abdomen.

3.3 Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok
teknik yaitu central neuraxis blockade (blokade epidural atau
subarachnoid) dan peripheral nerve blockade.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas B. Boulton, Colin E. Blogg. 2010. 1994. Anestesiologi, Edisi 10,


EGC, Jakarta.
2. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3,
EGC, Jakarta.
3. Handayani, Novic. 2013.Mioma Uteri. Jakarta. [Diakses pada tanggal 18
September 2016 dari www.scribd.com]
4. Prof. dr. Mochamad Anwar ,dkk. 2011. Ilmu Kandungan, Edisi ketiga, PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Você também pode gostar

  • Buku Ajar PGD
    Buku Ajar PGD
    Documento295 páginas
    Buku Ajar PGD
    Khafidz Subekti
    89% (9)
  • Lapkas GINECOLOGY
    Lapkas GINECOLOGY
    Documento14 páginas
    Lapkas GINECOLOGY
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Bab I
    Bab I
    Documento2 páginas
    Bab I
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Bab Ii + Lapkas
    Bab Ii + Lapkas
    Documento39 páginas
    Bab Ii + Lapkas
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Slide Lapkas
    Slide Lapkas
    Documento46 páginas
    Slide Lapkas
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Bab I
    Bab I
    Documento2 páginas
    Bab I
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Documento1 página
    Daftar Isi
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Bab Ii + Lapkas
    Bab Ii + Lapkas
    Documento39 páginas
    Bab Ii + Lapkas
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Slide Lapkas
    Slide Lapkas
    Documento46 páginas
    Slide Lapkas
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • Anastesi Paper
    Anastesi Paper
    Documento36 páginas
    Anastesi Paper
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • #Paper Hernia Bab I
    #Paper Hernia Bab I
    Documento33 páginas
    #Paper Hernia Bab I
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • @fraktur Humerus
    @fraktur Humerus
    Documento14 páginas
    @fraktur Humerus
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • #Paper Hernia Bab I
    #Paper Hernia Bab I
    Documento33 páginas
    #Paper Hernia Bab I
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações
  • @fraktur Humerus
    @fraktur Humerus
    Documento14 páginas
    @fraktur Humerus
    Vina Sangga Viviani
    Ainda não há avaliações