Você está na página 1de 24

KAJIAN TENTANG PEMERINTAHAN DESA

PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH


Hasrat
Hasrat Arief
Arief Saleh
Saleh

Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisip UNHAS

PENDAHULUAN otonomi daerah tidak pernah sepi dari

S
perdebatan, terlebih setelah pada
epanjang sejarah penyeleng-garaan
tahapan implementasi dari UU. tersebut
pemerintahan di Indonesia, otonomi
ternyata kemudian ditemukan adanya
daerah selalu menjadi masalah
kelemahan dan dampak negatif yang
sentral yang diperdebatkan oleh
ditimbulkan. Bukan tidak mungkin
berbagai kalangan. Ada era yang ditandai
perdebatan itu akan terus berlanjut
dengan pemberian otonomi yang seluas-
meskipun Undang-undang Nomor 32
luasnya dan ada era lain yang
tahun 2004 yang merupakan pengganti
mencatumkan pemberian otonomi yang
dari UU tersebut telah diterbitkan.
nyata, dinamis dan bertanggung jawab,
Mengapa demikian ? Menurut hemat
namun dengan kecenderungan yang lebih
penulis, tidak tertutup kemungkinan
mengarah pada pergeseran kuat menuju
suara sumbang terhadap keberadaan
pengutamaan dekonsentrasi.
kedua UU tersebut hanyalah fenomena
Otonomi daerah sesudah lengsernya
temporal sebagai dampak dari suasana
Suharto pada 21 Mei 1998 yang seiring
dan semangat reformasi yang sedang
dengan berhembusnya angin reformasi,
menggelinding termasuk euphoria-nya,
diselenggarakan dengan mengacu kepada
sekaligus sebagai bagian dari proses
Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun
penyesuaian kearah terciptanya
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
keseimbangan-keseimbangan baru. Oleh
Dalam UU ini otonomi daerah
sebab itu dapat dikatakan bahwa untuk
ditempatkan secara utuh di Kabupaten/
memberikan penilaian plus/minus
Kota atas dasar otonomi luas, nyata dan
terhadap kedua UU tersebut diusianya
bertanggung jawab, dan pada daerah
yang relatif muda, masih terlalu dini,
otonom provinsi diselenggarakan atas
dan tidaklah fair apabila yang lebih
dasar otonomi terbatas. Saat ini acuan
banyak ditonjolkan semata
yang digunakan adalah Undang-undang
kelemahannya tanpa mengetengahkan
Nomor 32 tahun 2004 yang merupakan
hal-hal positif yang telah dicapai.
pengganti dari UU No.22 tahun 1999.
Namun demikian, juga sukar untuk
Sejak diundangkannya,(UU No.22
disangkal bahwa otonomi daerah yang
tahun 1999) kajian tentang format
antara lain dimaksudkan untuk
2 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

pemerataan pembangunan, ada nyata dapat dilihat dari substansi


kecenderungan telah memunculkan materi PP 25/2000 yang dalam banyak
“raja-raja” kecil baru di daerah yang hal mencoba menarik kembali ke
lebih menitik beratkan perhatiannya pemerintah pusat beberapa
pada upaya meningkatkan Pendapatan kewenangan daerah otonom yang
Asli Daerah (PAD) ketimbang pada ditetapkan pada UU 22/99, termasuk
upaya mensejahterakan masyarakat. penarikan kembali kewenangan dalam
Secara umum, akar masalahnya bidang pertanahan.
dapat dikelompokkan kedalam dua Tarik ulur antara kedua kutub di
kategori. Pertama, adalah disebabkan atas, seyogyanya segera dihentikan,
oleh tidak ada dan atau tidak jelasnya karena permasalahan yang dihadapi
filosofi/konsep yang mendasarinya dan bukan terletak pada bentuk dan atau
kemungkinan adanya kekeliruan dalam format penyelenggaraan negara, tetapi
substansi materi, misalnya penetapan pada pencapaian cita-cita nasional,
titik berat otonomi pada sebagaimana dicantumkan pada
Kabupaten/Kota tanpa memperhatikan pembukaan UUD 1945. Bentuk negara
kondisi Kabupaten/Kota yang sangat bukanlah tujuan (ends) tetapi hanya
beragam. Kedua, berkaitan dengan merupakan sarana (means) untuk
proses implementasi, yang antara lain mencapai cita-cita bangsa. Tarik ulur
disebabkan oleh perbedaan dan perdebatan format
pengetahuan dan penafsiran, perbedaan penyelenggaraan negara yang usianya
kepentingan dan berbagai perbedaan sama dengan usia republik ini perlu
yang lain, termasuk perbedaan segera diakhiri dengan suatu kebijakan
kebutuhan, kemampuan dan kondisi dari nasional tertinggi (perpektif presiden)
masing-masing daerah, serta berbagai yang mengikat semua komponen
sumber daya yang lain yang ada di bangsa. Kebijakan tersebut tentunya
daerah. Dalam konteks ini, juga harus menyeluruh dan independen
termasuk adanya tarik ulur antara tanpa mengabaikan derajat kompetensi
pihak-pihak yang memiliki orientasi lembaga-lembaga tinggi negara serta
konsep penyelenggaraan negara yang jajarannya.
berbeda. Pihak pertama adalah yang Mencermati dinamika lingkungan
percaya bahwa sentralisasi merupakan strategis yang berubah dengan laju yang
satu-satunya sistem yang mampu semakin tinggi, maka diperlukan format
mencegah disintegrasi bangsa, penyelenggaraan negara yang luwes dan
sedangkan pihak lainnya ingin memiliki pada satu sisi kemampuan
mengedepankan desentralisasi sebagai untuk memanfaatkan peluang yang ada,
kiat untuk mempercepat pencapaian sedangkan pada sisi lain memiliki
cita-cita nasional. Indikator paling ketahanan yang tangguh terhadap
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 3

berbagai ancaman yang timbul. Model saat ini alternatif terbaik dalam
sentralisasi jelas sulit dikembangkan pengelolaan negara adalah otonomi
untuk mencapai kinerja seperti itu, daerah. Oleh sebab itu, diperlukan
khususnya bagi Indonesia yang memiliki upaya berkesinambungan untuk terus
wilayah yang begitu luas, jumlah memantapkan konsep dan
penduduk yang besar, serta tingkat penyelenggaraannya. Pada sisi lain,
keragaman sosial budaya yang tinggi. diundangkannya Undang-undang Nomor
Oleh karena itu, satu-satunya pilihan 32 tahun 2004 sebagai revisi UU 22/99
yang tersedia adalah meneruskan sebagaimana diamanatkan dalam TAP
kebijakan desentralisasi dengan MPR No.IV tahun 2000, maka tidak
sepenuh hati, walaupun perlu digaris dapat dihindari hal tersebut tetap harus
bawahi, agar penerapan kebijakan ini dilaksanakan. Dalam hal ini intensitas
dilakukan secara berhati-hati agar tidak pelaksanaan otonomi seyogyanya dan
mengulang sejarah kelam Uni Soviet harus lebih ditingkatkan untuk
dan Yogoslavia. memberikan pengalaman yang lebih
Diingatkan bahwa otonomi daerah banyak dan pemahaman yang lebih
sebagai konsekwensi logis dari mendalam baik bagi aparatur
desentralisasi pemerintahan tidak hanya pemerintah, masyarakat, maupun bagi
menyangkut persoalan penyerahan stakeholder lainnya. Titik berat
wewenang dari pemerintah pusat intensitas pelaksanaannya, antara lain
kepada pemerintah daerah, tetapi dapat diarahkan pada peraturan
secara implisit didalamnya juga melekat perundang-undangan yang merupakan
tugas dan tanggung jawab yang cukup penjabaran UU tersebut, penguatan
berat dengan kelembagaan pemerintah dan
masyarakat, pemantapan manajemen
TUJUAN UTAMA UNTUK pemerintah nasional dan daerah
MENSEJAHTERAKAN RAKYAT. berdasarkan prinsip-prinsip good
Otonomi daerah memang membuka governance.
ruang untuk kebebasan dan demokrasi, Selain itu, dalam upaya
akan tetapi jangan dengan alasan demi menemukenali hal-hal yang menjadi
otonomi daerah, demi kebebasan dan pemicu terjadinya dampak negatif
demokrasi, kesejahteraan rakyat lalu dalam implementasi kedua UU tersebut,
terabaikan. Jika hal ini terjadi, maka maka nampaknya sudah perlu dilakukan
tidak mustahil perjalanan sejarah penelitian/ pengkajian secara
bangsa ini akan bermuara pada menyeluruh dan mendasar berbagai
disintegrasi. persoalan yang erat kaitannya dengan
Terlepas dari pro kontra terhadap kedua UU tersebut, termasuk UU politik
UU tersebut, bagaimanapun juga untuk dan produk hukum lainnya, sembari
4 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

menjaring pemikiran-pemikiran dianut dan dipraktekkan oleh Orde


strategis, menampung aspirasi Baru. Hal tersebut juga dipengaruhi
masyarakat dan daerah, sekaligus oleh dinamika lingkungan strategis serta
mencoba meramu kembali model pergeseran tuntutan masyarakat yang
otonomi daerah yang lebih tidak mampu lagi diakomodasikan oleh
komprehensif dalam bingkai negara pendekatan atau paradigma
kesatuan republik Indonesia, sesuai pembangunan Orde Baru. Kelemahan
dengan perkembangan aspirasi mendasar dari konsep sentralisasi
masyarakat, kecenderungan dinamika umumnya sangat rigid dan memiliki
lingkungan global, serta kesiapan kelembaman (inertia) yang relatif besar
masyarakat dan stakeholder lainnya sehingga sulit berartikulasi secara
dalam menerima dan menerapkan optimal terhadap dinamika lingkungan,
otonomi tersebut. serta kondisi global yang senantiasa
Lebih jauh apabila kita coba berubah dengan laju yang semakin
menengok kebelakang, walaupun pada cepat. Selain itu, konsep sentralisasi
fase awal berkuasanya rezim Orde Baru tidak memiliki instrumen yang peka
(Orba), pendekatan pembangunan top- terhadap kebhinekaan, sehingga
down yang digunakan menunjukkan mengalami kesulitan dalam mengelola
keberhasilan yang cukup mengesankan, berbagai sumberdaya lokal yang
akan tetapi pada sisi yang lain juga umumnya sangat beragam dan variatif.
tidak dapat dipungkiri bahwa Berhembusnya angin reformasi yang
“keberhasilan” pembangunan ekonomi mengiringi lengsernya Soeharto pada 21
ketika itu ternyata tidak mampu diikuti Mei 1998, di Indonesia telah terjadi
oleh pertumbuhan sosial, budaya dan transisi politik yang menghasilkan
politik yang seimbang. Peningkatan antara lain desentralisasi dan
hasil pembangunan ternyata belumlah demokratisasi. Kedua proses politik
dinikmati secara merata oleh seluruh tersebut berjalan secara simultan yang
lapisan masyarakat. (Sjahrir, 1986; terlihat jelas dalam pergeseran format
Tjokrowinoto, 1986; Sayogyo, 1984, politik yang semula bersifat otoritarian-
Gani, 1984; Hidayat, 1986; Efendi, sentralistik menjadi lebih demokratis-
1986). desentralitik (Dwipayana, 2003).
Menurut Gany (1999) Orde Baru Konsekwensi logis dari pergeseran
memang banyak meninggalkan tersebut adalah otonomi daerah yang
pekerjaan rumah bagi pemerintahan ditandai melalui penetapan UU. No. 22
pasca Soeharto, akan tetapi terciptanya yang sekarang direvisi dengan UU. No.
kondisi seperti itu, tidaklah semata- 32 tahun 2004.
mata diakibatkan oleh kesalahan konsep Ditinjau dari keikutsertaan
atau pendekatan pembangunan yang masyarakat, kehadiran kedua UU ini
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 5

telah dan semakin membuka ruang bagi pembangunan top-down. Perbedaannya


masyarakat untuk ikut berperan kalau pada UU No.5 tahun 1979
(berpartisipasi) dalam penyelenggaraan filosofinya memberikan penekanan pada
pemerintahan dan proses pembangunan. “keseragaman”, maka baik dalam UU
Dalam konteks ini, sukar dihindari No. 22 tahun 1999, maupun dalam UU
terjadinya benturan kepentingan antara No.32 tahun 2004 filosofinya adalah
aparatur pemerintah yang masih “keberagaman”. (Pembahasan lebih
terbiasa dengan pola kebiasaan lama jauh dapat dilihat pada uraian bagian II
dan kebutuhan dominasinya disatu dari makalah ini)
pihak, dengan arus bawah berupa Dalam konteks ini dapat dikatakan
tuntutan partisipasi masyarakat dipihak bahwa penyelenggaraan pemerintahan
yang lain. Padahal dalam era dimana dan pembangunan yang begitu
teknologi informasi, serta dinamika sentralistik ketika berkuasanya Rezim
perubahan lingkungan yang berkembang Orde, diperparah oleh penyeragaman
dan berubah begitu cepat saat ini, juga pemerintahan desa melalui Undang-
memberikan sinyal semakin menguatnya Undang (UU) Nomor 5 tahun 1979, yang
tuntutan arus bawah. Selain itu, juga mengabaikan keberagaman daerah,
telah terjadi pergeseran spirit zaman norma, kultur, hak asal usul dan adat
(zeitgeist), dari spirit yang istiadat setempat. Artinya selain
mengutamakan dominasi dan mengingkari kebhinekaan, juga
pengendalian ke spirit yang bertentangan dengan makna yang
mengedepankan kesetaraan yang terkandung dalam pasal 18 dari Undang-
dialogis (Amien, 1999). Dalam undang Dasar 1945 tentang
manajemen pembangunan, pergeseran Pemerintahan Daerah. Apalagi jika
tersebut ditandai oleh perubahan konteks pembahasannya dikaitkan
pendekatan yang digunakan, dengan dengan makna yang terkandung dalam
munculnya konsep good governance pasal 18, 18A dan 18B hasil amandemen
(tata pelayanan/pemerintahan yang UUD 1945.
baik). Pengalaman selama kurang lebih
Berkaitan dengan penyelenggaraan tiga dekade menunjukkan bahwa,
pemerintahan desa, secara normatif aktivitas pemerintah melalui tangan
kedua UU tersebut menempatkan desa Kepala Desa dan Perangkatnya juga
sebagai unit organisasi pemerintahan mendominasi hampir seluruh aspek
terendah. Sebelumnya pengaturan / kehidupan masyarakat desa. Ruang yang
Penyelenggaraan Pemerintahan desa memadai bagi masyarakat desa untuk
diatur tersendiri dalam Undang-Undang mengembangkan kreativitas dan
No. 5 tahun 1979 yang bercorak melakukan suatu kegiatan tanpa campur
sentralistik, dengan pendekatan tangan Pemerintah Desa juga sangat
6 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

terbatas. Sebagai contoh, sebelum secara otomatis (ex-officio) juga


berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999, di mengetuai dan menjadi Sekretaris
desa dibentuk Lembaga Musyawarah lembaga tersebut. Dalam posisi dimana
Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Kades dan Sekdes secara hierarkhis
Masyarakat Desa (LKMD) yang seragam garis pembinaannya berada dibawah
di seluruh Indonesia. LMD selain sebagai Camat, Bupati sampai Gubernur, maka
bagian dari organisasi pemerintahan keberadaan kedua lembaga tersebut
desa, ia juga diharapkan menjadi wadah yang semula diharapkan sebagai saluran
penampung dan penyalur aspirasi pembawa suara desa ke negara
masyarakat, wadah permusyawaratan (bottom-up), keadaannya kemudian
/permufakatan dari pemuka masyarakat berubah menjadi jaringan pengendalian
yang ada di desa, dan di dalam birokrasi atas proses pembangunan
mengambil keputusan ditetapkan sampai ketingkat Desa, sekaligus
berdasarkan musyawarah mufakat menjadi saluran perintah dari negara ke
dengan memperhatikan secara sungguh- warga desa. Mas’oed menamakan hal
sungguh kenyataan hidup yang ada dan ini sebagai penetrasi negara ke desa
berkembang dalam masyarakat. Dari (Mas’oed 1994:125).
segi keanggotaan, semua anggota LMD
ditunjuk oleh Kepala Desa (selanjutnya Perkembangan Otonomi Daerah dan
disebut Kades), sedangkan Kades dan Implikasinya Terhadap Pengaturan
Sekretarisnya ex-officio menjadi Ketua Tentang Desa dan Proses
dan Sekretaris lembaga tersebut Selain Pembangunan Desa
LMD, di desa juga dibentuk LKMD yang
diharapkan berfungsi menjadi wadah 2.1.Pengaturan Tentang Desa Dalam
penggerak partisipasi masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan
merencanakan dan melaksanakan sebelum Berlakunya UU. Nomor
pembangunan, pendorong 22/1999
kegotongroyongan masyarakat, sarana Kebijakan pembangunan dan
komunikasi antara pemerintah dan pendekatan yang digunakan dalam
masyarakat, dan membantu Kades seluruh rangkaian dari proses
dalam mengkoordinasikan pembangunan di suatu wilayah
pembangunan. Dari segi keanggotaan, termasuk desa, bagaimanapun juga
meskipun secara formal dikatakan tidaklah terlepas dari pengaruh
tumbuh dari, oleh, dan untuk berbagai perubahan dan
masyarakat, dan secara organisasi perkembangan, baik yang terjadi di
berdiri sendiri, akan tetapi Kades dan dalam lingkup wilayah tersebut
Sekretaris Desa (selanjutnya disebut (internal), maupun yang terjadi di
Sekdes) karena jabatannya, maka luar wilayah itu (eksternal). Dalam
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 7

hal ini termasuk pesatnya 22/1999 terdapat sejumlah


perkembangan teknologi informasi, Peraturan Perundang-Undangan
ilmu pengetahuan, perubahan yang mengatur tentang
politik dan pemerintah(an), pemerintahan daerah. Secara
kebijakan dalam bidang singkat substansi Peraturan
perekonomian dsb. Artinya Perundang-Undangan tersebut
gelombang perubahan dan dapat diuraikan sebagai berikut:
perkembangan yang terjadi pada • UU. No.1/1945, tentang
level Nasional, Provinsi, dan pembentukan Komite Nasional
Kabupaten/Kota, riaknya juga akan Daerah, pada dasarnya lebih
terasa sampai di desa. Sebagai menitik beratkan pada asas
contoh, perbincangan demokratisasi dekonsentrasi
yang begitu semarak akhir-akhir ini • UU. No.22/1948, mengenai UU
di tingkat desa, pada dasarnya Pokok tentang Pemerintahan
merupakan riak dari gelombang Daerah yang berlaku untuk
perubahan yang terjadi pada level Indonesia bagian Barat,
nasional. Perwujudan gelombang penekanannya lebih mengarah
perubahan tersebut antara lain pada asas Desentralisasi
terlihat dalam bentuk Peraturan • UU. No.44/1950, tentang
Perundang-Undangan, yang Pemerintahan Daerah yang
merupakan acuan dalam seluruh berlaku untuk Indonesia bagian
rangkaian dari proses pembangunan Timur, dengan penekanan yang
di suatu wilayah. juga lebih mengarah pada asas
Dalam konteks Otonomi daerah Desentralisasi.
dan implikasinya terhadap • UU. No.1/1957, tentang Pokok-
pengaturan tentang desa dan proses pokok Pemerintahan Daerah
pembangunan desa, Peraturan merupakan pengganti UU No.
Perundang-Undangan yang cukup 22/48 dan UU. No.44/1950,
relevan diketengahkan selain pasal akan tetapi dianggap dapat
18 Undang-Undang Dasar 1945 yang membahayakan kesatuan
menjadi landasan konstitusionalnya, Bangsa dan keutuhan negara,
adalah Peraturan Perundang- karena hanya mementingkan
Undangan yang mengatur tentang demokrasi, pelaksanaan
bentuk dan susunan pemerintahan otonomi dan asas desentralisasi.
daerah termasuk pemerintahan Ketika itu, juga terjadi
desa. dualisme struktural (Kepala
Sejak proklamasi kemerdekaan Daerah bertanggungjawab
tahun 1945, hingga lahirnya UU. No. kepada DPR, Bupati dan
8 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

Gubernur merupakan alat mengarah pada pengutamaan


pemerintah pusat), asas dekonsentrasi. Bahkan
• Penpres No.6/1959 jo Penpres otonomi percontohan yang
No.5/1960, penekan utamanya diterapkan ketika itu, bukannya
adalah pada asas dekonsentrasi. meningkatkan kemampuan
Penpres ini diterbitkan sejalan daerah, malah meninggalkan
dengan perubahan-perubahan berbagai masalah.
ketatanegaraan sejak keluarnya • UU. No.5/1979, tentang
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pemerintahan Desa
Artinya meskipun UU No.1/1957 menonjolkan sentralisasi, dan
masih berlaku, akan tetapi penyeragaman secara nasional
telah dilakukan perubahan dan sosok organisasional pemerintah
penambahan sebagaimana desa. Selain itu, rangkaian
diatur dalam kedua Penpres struktur organisasi
tersebut. pemerintahan desa dalam UU
• UU. No.18/1965, tentang Pokok- tersebut, lebih banyak
pokok Pemerintahan Daerah dimanfaatkan sebagai ujung
secara resmi merupakan tombak penetrasi negara ke
pengganti UU. No.1/1957. desa, ketimbang menjadi wadah
Meskipun asas dekonsentrasi pembawa suara desa ke negara.
juga disebutkan, tetapi sifatnya Hal ini tercermin dalam hampir
hanya sebagai komplemen, semua kebijakan pemerintah
sedangkan titik beratnya adalah pusat yang terkait dengan desa,
pada asas desentralisasi. Ketika termasuk keberadaan Lembaga
itu malah muncul tuntutan Musyawarah Desa dan Lembaga
untuk membentuk Daerah Ketahanan Masyarakat Desa.
Tingkat III Kecamatan. Sesuai dengan uraian tentang
• UU. No.5/1974, tentang Pokok- peraturan perundang-undangan
pokok Pemerintahan di Daerah. yang telah dikemukakan di atas,
Dalam UU ini asas terlihat adanya dua asas yang
Desentralisasi, Dekonsentrasi menjadi titik berat penekanannya
dan Tugas Pembantuan yakni: asas dekonsentrasi dan asas
dicantumkan dan dikatakan desentralisasi. UU yang lebih
bahwa prinsipnya adalah pada menitik beratkan pada asas
otonomi nyata, dinamis dan dekonsentrasi sifatnya akan lebih
bertanggungjawab, akan tetapi sentralistik dan cenderung otoriter,
secara operasional dibanding UU yang diterapkan
kecenderungannya masih lebih dengan semangat desentralisasi
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 9

yang lebih demokratis. Implikasi Adapun dasar pemikiran


peraturan perundang-undangan pengaturannya adalah
tersebut terhadap pengaturan Keanekaragaman (diversity),
tentang desa dan proses Partisipasi, Otonomi asli,
pembangunan desa, tentu saja juga Demokratisasi, dan Pemberdayaan
akan seirama dengan titik berat Masyarakat. (Pengaturan tentang
penekanan asas dalam desa dalam UU tersebut
pemberlakuan setiap UU. Artinya selengkapnya dapat dilihat pada
meskipun beberapa variabel yang Bab XI yang terdiri dari 6 bagian dan
lain seperti kultur dan/atau adat 18 pasal).
istiadat, kebiasaan, serta nilai di Berbeda dengan UU sebelumnya
setiap desa dan masyarakatnya yang meletakkan sentralisasi
punya andil yang cukup besar pengaturan tentang desa di tangan
mempengaruhi pola pemerintah pusat dan adanya
penyelenggaraan pemerintahan dan penyeragaman pemerintahan desa,
pendekatan yang digunakan dalam dalam UU ini pengaturan tentang
proses pembangunan di masing- desa kewenangannya dilimpahkan
masing desa, akan tetapi titik berat pada Kabupaten/Kota, sehingga
penekanan asas dalam dalam penetapannya cukup melalui
pemberlakuan setiap UU (sifatnya Peraturan Daerah (Perda)
normatif) bagaimanapun juga Kabupaten/Kota, namun dengan
tidaklah dapat diabaikan. Dalam hal tetap memperhatikan pengakuan
ini termasuk implikasinya terhadap dan penghormatan terhadap hak
aspek yang berkaitan dengan asal usul dan adat istiadat desa.
kreativitas, prakarsa, partisipasi Cakupan kewenangan desa
masyarakat dan sebagainya. berdasarkan hak asal usul desa
sebagaimana tercantum dalam pasal
2.2.Pengaturan Tentang Desa Dalam 99 UU. No.22/1999, dan salah satu
Undang-Undang Nomor 22/1999 fungsi dari Badan Perwakilan Desa
Perubahan konstitusional yang untuk mengayomi adat istiadat
termaktub dalam UU No.22/1999, (pasal 104), serta substansi
selain telah merubah tata hubungan beberapa pasal dan/atau ayat
desa dengan pemerintah supra desa dalam pengaturan tentang desa,
(Pemerintah Pusat, Pemerintah sekaligus merupakan pengakuan
Provinsi dan Pemerintah terhadap desa sebagai sebuah
Kabupaten/Kota), juga telah entitas politik, budaya dan hukum,
merubah tata hubungan antar yang tentu saja berimplikasi
lembaga dan kekuatan di desa. terhadap penyelenggaraan
10 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

pemerintahan dan proses menjadi domain sepenuhnya dari


pembangunan. masyarakat desa, bahkan Kepala
Sesuai dengan dasar pemikiran Desa sebagai pejabat publik
pengaturan UU ini, dan meskipun dilantik oleh Bupati,
perhatiannya terhadap hetero- tetapi harus mempertanggung-
genitas budaya, dimungkinkan jawabkan jabatannya kepada rakyat
munculnya model-model pemerinta- melalui BPD.
han desa yang lebih bervariasi di Menyangkut tata hubungan
setiap daerah. Bukti empiris yang antar lembaga di desa, juga telah
dapat diamati di Sulawesi Selatan terjadi pergeseran. Kalau dimasa
khususnya di Tana Toraja adalah Orde Baru LMD dan LKMD hanya
mulai dihidupkannya kembali sebagai merek atau “pelengkap
pemerintahan asli seperti Lembang. penderita” dan berada di bawah
Demikian pula di Sumatera Barat telunjuk dan kontrol Kepala Desa,
(Nagari), dan di Bali (Desa maka dalam UU ini tata hubungan
Pakraman). tersebut telah bergeser dan
Selain itu, penonjolan yang juga menempatkan BPD sebagai institusi
terlihat dalam UU No.22/1999 yang berfungsi mengontrol dan bisa
adalah semangat untuk lebih meminta pertanggungjawaban
mengedepankan partisipasi Kepala Desa. Kerjasama BPD
masyarakat. Artinya dalam dengan Kades memang ada, akan
penyelenggaraan pemerintahan tetapi keduanya merupakan institusi
desa, proses pembangunan, bahkan yang terpisah.
proses politik, tidak lagi dilakukan Semasa diberlakukannya
secara terpusat (top-down) oleh Undang-Undang (UU) Republik
supra desa, akan tetapi berasal dari Indonesia Nomor 22 tahun 1999
partisipasi masyarakat. Sebagai tentang Pemerintahan Daerah, yang
contoh apabila Pemerintah supra disahkan dan diundangkan pada 7
desa ingin melaksanakan proyek Mei 1999, kemudian diikuti oleh
pembangunan di suatu desa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
misalnya, maka sejak awal 76 tahun 2001 tentang Pedoman
Pemerintah supra desa sudah harus Umum Pengaturan Mengenai Desa,
membicarakannya dengan dan sejumlah Peraturan Perundang-
masyarakat desa bersangkutan. undangan yang lain, penataan
Demikian pula dalam pemilihan kelembagaan pemerintahan desa
Kepala Desa, UU ini mengisyaratkan telah mengalami perubahan. Dasar
untuk tidak lagi diintervensi oleh pemikiran pengaturannya adalah
pemerintah supra desa, akan tetapi Keanekaragaman (diversity),
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 11

Partisipasi, Otonomi asli, ketidak stabilan situasi politik desa.


Demokrasi, dan Pemberdayaan Dalam hal ini BPD memposisikan diri
Masyarakat. Gambaran dari dasar pada posisi yang kurang lebih sama
pemikiran tersebut antara lain dengan DPR (D) di Kabupaten/Kota
terlihat pada pembentukan Badan dan/atau Provinsi, yang setiap saat
Perwakilan Desa yang selanjutnya mengawasi tindak tanduk Kades,
disingkat BPD, sebagai salah satu bahkan ada yang menjurus pada
dari dwi tunggal penyelenggaraan upaya mencari-cari kesalahan Kades
pemerintahan di desa. Secara tegas dan mengeritiknya. Akibatnya
di dalam peraturan perundang- banyak Kades yang gamang, serba
undangan tersebut dinyatakan salah dan tidak mampu
bahwa pemerintahan desa adalah melaksanakan program
kegiatan pemerintahan yang pembangunan desanya. Ekses lain
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa yang muncul adalah mulai
dan Badan Perwakilan Desa. Jadi terusiknya kedamaian, kerukunan
kalau Kades dan Perangkatnya dan ketenangan desa, dan bahkan
merupakan eksekutif desa, maka berimbas terhadap sendi-sendi
BPD atau sebutan lain yang sesuai kehidupan dan kekerabatan warga
dengan budaya yang berkembang di desa. Selain itu, dalam peraturan
desa, berfungsi sebagai badan perundang-undangan yang sama
legislatif desa. Dalam fungsi juga dinyatakan, bahwa di desa
legislasi, BPD bersama Pemerintah juga dapat dibentuk lembaga
Desa menetapkan Peraturan Desa kemasyarakatan desa sesuai
(selanjutnya disebut Perdes), kebutuhan desa. Misalnya Lembaga
namun demikian Kades dalam Pemberdayaan Masyarakat (LPM)
melaksanakan tugas dan atau apapun namanya, yang
kewajibannya bertanggungjawab merupakan mitra Pemerintah Desa
kepada rakyat melalui BPD. Selain dalam meningkatkan partisipasi
fungsi tersebut, BPD juga berfungsi masyarakat dalam penyelenggaraan
melakukan pengawasan pembangunan. Manfaat keterlibatan
penyelenggaraan pemerintah desa, masyarakat desa dan seluruh
pelaksanaan Perdes, Anggaran elemen/komponen terkait
Pendapatan dan Belanja Desa (stakeholders) yang beraktivitas di
sekaligus sebagai wadah penampung desa dalam proses pembangunan,
dan penyalur aspirasi masyarakat. selain akan meminimalkan
Ekses dari besarnya fungsi BPD kesenjangan, juga diharapkan akan
dalam UU No. 22 / 1999, ternyata di melahirkan pelaksanaan
sejumlah desa telah menimbulkan pembangunan yang lebih sesuai
12 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

dengan apa yang dibutuhkan dan kita juga tidak bisa menutup mata
dirasakan oleh masyarakat desa. Hal bahwa implementasi dari otonomi
ini dimaksudkan agar pada saatnya dan demokratisasi desa tersebut,
kelak, masyarakat desa dapat masih berjalan tertatih-tatih dan
tampil sebagai pelaku utama bekerja dalam berbagai
pembangunan untuk dirinya sendiri, keterbatasan. Terdapat sejumlah
sehingga pelaksanaan pembangunan faktor yang yang potensial menjadi
desa bisa berjalan lebih efektif, penyebabnya antara lain adalah:
ketimbang pembangunan yang • Masih adanya pemahaman yang
dipaksakan dari atas tanpa sempit tentang otonomi
keterlibatan masyarakat desa dan termasuk otonomi desa, yang
elemen yang lain. seolah-olah hanya milik
Fenomena lain adalah pemerintah, bukan local
kecenderungan mulai terjadinya governance stakeholders yang
pergeseran dari dominasi peran mencakup pemerintah,
birokrasi ke arah penguatan peran masyarakat sipil dan swasta.
institusi masyarakat lokal dan/atau Pemahaman seperti ini
adat. Sebagai contoh, di Bali, dipengaruhi oleh penggunaan
Pemerintah Desa harus berbagi pendekatan yang berpusat pada
peran dengan Institusi Adat yang negara dengan penekanan pada
disebut Desa Adat dalam “bureaucratic power oriented”
penyelenggaraan pemerintahan dan atau “autonomy within
proses pembangunan. Desa adat bureaucracy” bukan dengan
selain dilibatkan dalam penerbitan pendekatan yang berpusat pada
identitas kependudukan dan proses masyarakat. Akibatnya otonomi
perizinan investasi, ia juga desa diartikan hanya sebatas
dilibatkan dalam berbagai operasi pembuatan peraturan desa yang
penertiban. Bahkan menurut merupakan otoritas Pemerintah
Dwipayana (2003) dalam beberapa Desa dan Badan Perwakilan
kegiatan penyelenggaraan pemerin- Desa, serta keharusan
tahan dan proses pembangunan, penegakannya di masyarakat,
Desa Adat nampaknya lebih dan bukan sebagai proses politik
“berwibawa” dibandingkan Desa sehari-hari.
dinas/Birokrasi desa. • Berbagai kebiasaan masa lalu
Kendati semangat otonomi dan yang sukar dihapuskan dan
demokratisasi desa pada tahap awal masih melekat di benak
telah berhasil dibangkitkan kembali sebahagian besar elemen desa.
oleh UU No.22/1999, akan tetapi Misalnya kebiasaan menunggu
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 13

petunjuk dari atas termasuk produksi dan distribusi yang


dalam pembuatan peraturan dilakukan oleh pelaku dan
desa. organisasi ekonomi desa). Pada
• Kemampuan Sumber Daya bagian lain dari hasil riset dan
Manusia (SDM) di desa yang advokasi Dwipayana dkk (2003) juga
relatif masih rendah dan dikemukakan bahwa dalam
terbatas. Pembaharuan tata pemerintahan
• Masih kurangnya pemahaman seharusnya diletakkan pada dua
para elite daerah dan desa level yakni: Pertama, di level desa
sendiri terhadap peraturan perlu dibangun good governance
perundang-undangan yang yang memungkinkan keterlibatan
mengatur tentang desa, seluruh elemen desa dalam urusan
keberadaan institusi yang ada di publik, penyelenggaraan pemerin-
desa, termasuk pemahaman tahan serta merumuskan
tentang tata hubungan antar kepentingan desa.
lembaga tersebut. Dalam konteks ini demokratisasi
Pada sisi lain dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan
konsep good governance yang dapat terbentuk melalui perluasan
berorientasi pada masyarakat, hasil ruang publik, pengaktifan kelompok
riset advokasi yang dilakukan oleh sosial dan forum warga yang bukan
Dwipayana dkk., (2003: 22-23) saja dimaksudkan untuk keperluan
sebagai agenda kerja dari Institute self helf kelompok, tetapi juga
for Research and Empowerment sebagai wahana awareness warga,
(IRE) kerjasama the Ford civic engagement dan partisipasi
Foundation di lima desa yakni: Desa dalam urusan pemerintahan di
Gadungan (Wedi, Klaten); Duwet tingkat komunitas. Kedua, pada
(Ngawen, Klaten); Wukirsari level tata hubungan desa dengan
(Imogiri, Bantul); Jenarwetan supra desa (Kabupaten–Provinsi),
(Purwodadi, Purworejo); dan Grogol perlu dibangun proses
(Weru, Sukoharjo), dikemukakan “delivery/intermediary” yang bisa
pemetaan governance di level desa mengantarkan semesta kepentingan
yang terdiri dari empat elemen desa pada domain politik supra desa
yakni: negara (Pemerintah desa), secara partisipatif. Hal ini misalnya
masyarakat politik (BPD), bisa dilakukan dengan memperluas
masyarakat sipil (organisasi ruang-ruang publik bagi proses
masyarakat, institusi lokal dan pengambilan keputusan di
warga masyarakat), serta Kabupaten maupun di Provinsi.
masyarakat ekonomi (arena Adapun matriks pemetaan
14 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

selengkapnya dapat dilihat pada pembangunan di desa. Dalam


tabel 1 : konteks ini, khususnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan
proses pembangunan desa, hal
mendasar yang seharusnya
dikembangkan adalah: trustee
(saling percaya), partnership
(kemitraan) antar elemen dalam
masyarakat (stakeholders). Upaya
membangun trustee dan
partnership dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan proses
pembangunan adalah melalui
penerapan prinsip-prinsip good
Berbasis pada model dari hasil
governance.
kajian tersebut mengisyaratkan
Proses pembangunan dan
bahwa dalam pembuatan keputusan
penyelenggaraan pemerintahan di
dan rumusan tentang kepentingan
Indonesia dewasa ini dijiwai oleh
desa dan masyarakatnya,
semangat desentralisasi, dan
seyogyanya tidak ditentukan hanya
konsekwensi logis dari desentralisasi
oleh elite yang terbatas, melainkan
adalah otonomi daerah. Sebagai
dilakukan oleh komunitas desa
suatu konsep, tujuan penerapannya
secara partisipatif. Namun demikian
menurut Rondinelli dan Dhanamitt
untuk mewujudkan hal tersebut,
adalah sebagai berikut:
menurut pendapat penulis
bagaimanapun juga dibutuhkan • Memberikan kontribusi terhadap
pencapaian tujuan-tujuan
kehadiran corak pemerintah desa
politik yang lebih luas.
yang partisipatif, yakni pemerintah
Desentralisasi hendaknya dapat
desa yang memberikan
meningkatkan stabilitas politik
kesempatan/peluang elemen yang
melalui demokratisasi dan
lain untuk terlibat dalam proses
liberalisasi, sebagai reaksi
pembangunan.
terhadap instabilitas politik
Pemerintah desa walaupun
bukan satu-satunya aktor dalam yang diciptakan oleh
governance akan tetapi dengan pemerintahan yang sentralistik;
berbagai kondisi yang melatar • Meningkatkan efisiensi dan
belakanginya, ia hingga saat ini efektivitas administrasi negara
masih merupakan motor penggerak di semua lini, bidang dan
sektor, mulai dari tingkat yang
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 15

paling atas sampai yang paling dalamnya juga tersirat harapan


bawah; yang mencakup berbagai aspek,
• Meningkatkan efisiensi ekonomi termasuk aspek politik, ekonomi
dan menejerial dengan dan aspek sosial. Gambaran dari
memberikan dukungan kepada harapan tersebut terlihat dalam
pemerintah pusat dan daerah penekanan tujuan yang ingin
untuk mencapai tujuan-tujuan dicapai seperti: pencapaian
pembangunan yang lebih stabilitas politik melalui
menitik beratkan kepada demokratisasi, efisiensi dan
prinsip-prinsip penggunaan dana efektivitas administrasi negara,
yang efektif; efisiensi ekonomi, respons dan
• Meningkatkan respons dan kepekaan pemerintah terhadap
kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan dan tuntutan
pemenuhan kebutuhan dan masyarakat, serta kemandirian
tuntutan yang diajukan oleh dalam memecahkan permasalahan
berbagai kelompok kepentingan pembangunan, termasuk penentuan
di dalam masyarakat; sarana, metoda atau alat dalam
• Mendorong unit-unit pelaksanaan program-program
pemerintahan/ administrasi pembangunan, namun menurut
negara di daerah agar lebih penulis tujuan utama yang tidak
mandiri didalam memecahkan boleh terlupakan adalah
berbagai permasalahan kesejahteraan rakyat.
pembangunan ; dan mendukung Masih dalam konteks
dan mendorong pemerintah pelaksanaan pembangunan desa, hal
daerah untuk memilih dan lain yang menarik dan perlu
menentukan sarana, metoda dicermati dari Undang-undang
atau alat demi tercapainya Nomor 22 tahun 1999 adalah
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemberian kewenangan yang luas
dan program-program kepada daerah, terutama daerah
pembangunan di daerah. kabupaten / kota, untuk
(Rondinelli et al, 1984; melaksanakan tugas pemerintahan
Dhanamitt, 1990 dikutip dalam dan pembangunan yang sifatnya
Tikson, 2001) multi sektoral. Wujudnya yang juga
Secara implisit dari keenam merupakan sebagian dari esensi
tujuan penerapan desentralisasi otonomi daerah (Otoda), antara lain
tersebut, selain mencerminkan adalah tuntutan/kewajiban daerah
adanya prediksi terhadap untuk merumuskan program
pelaksanaan dari desentralisasi, di pembangunan secara komprehensif
16 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

mulai dari pembangunan tingkat 2.3.Pengaturan Tentang Desa Dalam


pedesaan hingga kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 32/2004
Artinya, meskipun desa sebagai Pengawaman/sosialisasi UU
wilayah otonom dalam undang- No.32 tahun 2004 tentang
undang yang sama dinyatakan Pemerintahan Daerah memang
memiliki kewenangan untuk sudah dilakukan, demikian pula
mengatur dan mengurus rumah Peraturan Pemerintah No.72 tahun
tangga desanya sendiri, akan tetapi 2005 tentang Desa. Namun
tanggungjawab pembangunannya demikian, kondisi di lapangan juga
juga tidak terlepas dari menunjukkan bahwa pemahaman
tanggungjawab pemerintah daerah. yang sama tentang peraturan
Berkaitan dengan hal tersebut perundang-undangan tersebut selain
menurut pemikiran awal penulis, masih memerlukan waktu yang
dibutuhkan adanya peraturan, relatif lama, juga masih perlu
entah itu berupa peraturan desa dilakukan secara lebih luas dengan
(Perdes) atau peraturan daerah melibatkan segenap pemangku
(Perda), yang selain lebih kepentingan di desa.
mempertegas dan memperjelas Apabila berbicara tentang
hubungan antara pemerintah daerah penyelenggaraan pemerintahan
dengan pemerintah desa termasuk desa, maka untuk memahaminya
kewenangannya, juga mengatur berangkat dari pasal 200 sampai
lebih terinci besarnya bagian desa, dengan 216 (17 pasal). Pasal 200
baik dari bagi hasil pajak dan ayat (1) menyebutkan “Dalam
retribusi daerah Kabupaten / Kota, pemerintahan daerah kabupaten
maupun dari dana perimbangan /kota dibentuk pemerintahan desa
keuangan antara pusat dan daerah yang terdiri dari Pemerintah desa
yang diterima oleh kabupaten/kota. dan Badan Permusyawaratan Desa”,
Perhatian terhadap hal ini cukup sedangkan Pemerintah desa terdiri
penting, selain untuk mengakomodir atas Kepala Desa dan Perangkat
aspirasi yang muncul dari bawah Desa (pasal 201 ayat 1)
(Desa), juga untuk mencegah Ditinjau dari landasan pemikiran
tumpang tindihnya peraturan- pengaturan mengenai desa,
peraturan tersebut, serta mencegah nampaknya apa yang termaktub
munculnya perdes yang justru dalam UU Nomor 32/2004, tidaklah
bertentangan dengan peraturan jauh berbeda dengan UU Nomor
yang tingkatannya lebih tinggi. 22/1999. Sebagai pencerminan
otonomi desa Kepala Desa tetap
dipilih langsung oleh penduduk desa
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 17

Warga Negara Republik Indonesia, pertanggungjawaban. Artinya,


demikian pula Perangkat Desa walaupun berkaitan dengan
(pasal 202 ayat 2). Perubahan yang pertanggungjawaban Kades, BPD
terjadi pada UU ini adalah berfungsi (menampung dan
dirubahnya nama Badan Perwakilan menyalurkan aspirasi) apabila ada
Desa (BPD) menjadi Badan masyarakat yang menanyakan
Permusyawaratan Desa (BPD), dan dan/atau meminta keterangan lebih
posisi Sekretaris Desa yang akan lanjut tentang pertanggungjawaban
diisi dari pegawai negeri sipil yang dimaksud, akan tetapi hubungan
memenuhi persyaratan, dan/atau antara Kades dengan BPD sifatnya
Sekretaris Desa yang akan hanya sebatas hubungan konsultatif.
dipegawaikan sepanjang yang Demikian pula dalam penetapan
bersangkutan memenuhi anggota BPD dan berbagai kebijakan
persyaratan. desa ditekankan agar dilakukan
Menyangkut perubahan nama, secara musyawarah mufakat.
nampaknya ada sesuatu yang Filosofi musyawarah dan mufakat ini
tersirat dan perlu dicermati. Kalau nampaknya ingin mengembalikan ke
pada UU No.22/1999 fungsi dan budaya politik lokal masyarakat
kewenangan BPD begitu besar (BPD pedesaan untuk mengeliminir
selain melakukan pengawasan konflik antar elit politik desa
penyelenggaraan pemerintahan dengan penyelesaian yang lebih arif
desa, Kades juga bertanggungjawab agar tidak menimbulkan ekses yang
kepada BPD, dan dalam penetapan dapat merugikan masyarakat luas.
kebijakan desa dapat saja dilakukan Harus diakui bahwa
voting), maka dalam UU No. 32 / kekurangharmonisan hubungan
2004 fungsi dan kewenangan antara Pemerintah Desa dengan BPD
tersebut berkurang. Kades pada merupakan fakta empiris dalam
dasarnya memang implementasi UU No. 22 tahun
bertanggungjawab terhadap rakyat 1999.
desa, akan tetapi tata cara dan Hal yang cukup menarik
prosedur pertanggungjawabannya dicermati adalah posisi Sekretaris
disampaikan kepada Desa (Pasal 202 ayat 3) yang
Bupati/Walikota melalui Camat, menegaskan diisi dari Pegawai
sedangkan kepada BPD, Kades Negeri Sipil (PNS) yang memenuhi
hanya memberikan keterangan persyaratan. Apabila Sekretaris
laporan pertanggungjawaban, dan Desa yang ada selama ini bukan
kepada rakyat disampaikan PNS sepanjang memenuhi
informasi pokok-pokok persyaratan perundang-undangan,
18 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

maka secara bertahap akan mengurangi kerepotan


diangkat menjadi PNS. Nampaknya Bupati/Walikota apabila harus
perubahan ini dilatarbelakangi oleh melakukannya sendiri, membina dan
pemikiran bahwa status Kepala Desa mengawasi penyelenggaraan desa
sebagai jabatan politis (hasil yang jumlahnya cukup banyak di
pemilihan/proses politik) setiap kabupaten/kota.
seyogyanya didampingi oleh seorang
Sekretaris Desa dari jalur jabatan PENUTUP
karier. Hal ini kurang lebih sama Dalam kerangka konsep good
dengan kedudukan Bupati/Gubernur governance dan untuk mewujudkan
(Jabatan politis) yang juga dibantu kemitraan serta penerapan/penjabaran
oleh seorang Sekretaris Daerah dari prinsip-prinsip dari konsep tersebut
jalur jabatan karier. Tentu saja kita dalam proses pembangunan di desa
semua berharap agar pengisian PNS dibutuhkan kehadiran pemerintah desa
sebagai Sekretaris Desa tersebut yang partisipatif (Participatory village
betul-betul dapat berfungsi secara Government) yakni pemerintah yang
maksimal dalam membantu mampu menciptakan dan/atau memberi
kelancaran roda pemerintahan dan kesempatan serta peluang seluruh
pembangunan di desa dan bukan elemen atau pemangku kepentingan
sebaliknya justru menjadi (stakeholders) yang beraktivitas di
penghambat munculnya kreativitas wilayah kerjanya, utamanya sektor
orang desa dan/atau bahkan swasta dan masyarakat madani
dijadikan jalur pengendalian (masyarakat warga/Civil Society) untuk
birokrasi atas proses pembangunan terlibat dalam seluruh rangkaian proses
sampai ketingkat Desa. pembangunan. Dalam perpektif
Menyangkut pembinaan dan pembangunan, pendekatan
pengawasan penyelenggaraan pembangunan seperti ini disebut
pemerintahan desa secara normatif pendekatan partisipatoris.
dikoordinasikan oleh Pada tataran implementasi,
Bupati/Walikota, akan tetapi meskipun dukungan dan kesungguhan
pembinaan dan pengawasan berbagai elemen yang lain telah ada,
tersebut dapat dilimpahkan kepada tetapi tanpa komitmen dari pemerintah
Camat. Meskipun dalam UU desa dan/atau aparatnya sebagai salah
digunakan istilah dapat satu elemen (stakeholder) dalam
dilimpahkan, akan tetapi secara governance, yang selama ini menjadi
operasional kewenangan tersebut aktor utama pembangunan, maka upaya
selama ini juga lebih banyak penjabaran konsep tersebut dan
dilaksanakan oleh Camat, sekaligus penerapan prinsip-prinsipnya akan
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 19

sangat sukar terwujud. Dalam hal ini keputusan/kebijakan yang akan


diharapkan adanya kesungguhan dan dilakukan di desa dilakukan secara
itikad baik pemerintah desa melalui musyawarah. Dalam konteks ini,
tangan para aparaturnya, untuk hubungan antara Badan
memainkan peran sebagai motivator Permusyawaratan Desa dengan
dan fasilitator utama dalam upaya Pemerintah Desa (Kepala Desa +
mewujudkannya. Partisipasi seluruh Perangkat Desa) sifatnya hanya sebatas
komponen termasuk pemerintah desa hubungan konsultatif.
dalam proses pembangunan, akan Pengawaman berbagai Peraturan
meminimalkan kesenjangan antara desa hendaknya tetap dilakukan dengan
kebutuhan masyarakat dengan program memanfaatkan berbagai sarana yang
pemerintah desa. Selain itu, dengan dimiliki oleh desa utamanya sarana-
keikutsertaan seluruh komponen dalam sarana keagamaan yang ada, termasuk
seluruh rangkaian dari proses bagaimana melibatkan tokoh
pembangunan, sekaligus akan masyarakat/pemuka agama.
membangkitkan kesadaran dalam diri Fenomena adanya beberapa
komponen tersebut, bahwa mereka ketentuan dalam peraturan perundang-
adalah bagian dari proses pembangunan undangan yang ternyata kurang seirama
yang sedang berlangsung di sekitarnya, dengan kondisi riil di lapangan, maka
dan pada gilirannya diharapkan akan nampaknya sudah perlu dilakukan
tampil sebagai pelaku utama harmonisasi substansi hukum dengan
pembangunan untuk dirinya sendiri. nilai-nilai yang hidup dan berkembang
Secara teoritis, apabila pemerintah dalam masyarakat melalui
desa memberikan kesempatan/peluang penelitian/pengkajian secara
seluruh elemen desa dalam proses menyeluruh dan mendasar berbagai
pembangunan (pemerintah desa yang persoalan yang erat kaitannya dengan
partisipatif), maka efektivitas berbagai fenomena tersebut. Sebagai
pembangunan dalam arti tingkat contoh pembatasan masa jabatan dan
kesesuaian program pemerintah desa usia Kades/BPD, hendaknya dikaji lebih
dengan apa yang dibutuhkan dan lanjut oleh para akhli secara
dirasakan masyarakat desa juga akan komprehensif, termasuk bagaimana
semakin tinggi. mengakomodir norma dan nilai-nilai
Substansi dari perubahan pada UU sosial budaya setempat, kebiasaan serta
No.22/1999 tentang kedudukan/ fungsi kesepakatan yang hidup dan
BPD seolah-olah sama dengan DPRD di berkembang dalam kehidupan
Kabupaten/Kota, maka pada UU Nomor keseharian masyarakat.
32 / 2004 kedudukan/fungsi tersebut Dalam perspektif yuridis, substansi
berubah dengan penekanan agar hukum (instrumen organik)
20 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

perwujudannya seyogyanya sesuai memberdayakan daerah serta


dengan nilai/norma yang hidup dalam menghargai keanekaragaman nilai-nilai
masyarakat, agar memberikan manfaat sosial budaya setempat. Untuk itu desa
dan rasa keadilan yang sebesar- serta kelembagaan sosial budaya
besarnya bagi masyarakat. Hukum yang masyarakatnya sebagai suatu tatanan,
substansinya mengakomodir norma- hendaknya diberikan ruang gerak dan
norma lokal, melahirkan hukum kewenangan untuk mengembangkan
“responsif/populis” yang akan dipatuhi dirinya sendiri secara mandiri, namun
oleh masyarakat, dan kepatuhan tetap mengupayakan interkoneksitas
masyarakat pada hukum akan dengan tatanan lainnya, sehingga pada
mengembalikan kewibawaan hukum dan akhirnya akan tercipta hubungan
pada saatnya akan menciptakan negara sinergis antar tatanan-tatanan tersebut.
rule of law atau negara yang berdimensi Pemdes, utamanya Kades yang
keadilan. Hal ini mengisyaratkan bahwa nampaknya masih merupakan motor
dalam pengaturan tentang desa, utama penggerak pembangunan di desa,
termasuk penataan kelembagaannya, selain harus menunjukkan sikap dan
seyogyanya lebih luwes sesuai kondisi, penampilan terpuji, juga ia harus mau
adat istiadat dan nilai-nilai budaya desa dan mampu secara konsisten untuk
setempat, sesuai dengan perkembangan senantiasa memberikan contoh secara
zaman dan tidak lagi diatur dengan langsung di lapangan. Selain itu, semua
model yang seragam dan uniform dari elemen/komponen desa hendaknya
pusat. Dengan kata lain penanganan dalam berfikir dan bertindak senantiasa
desa dan berbagai kebijakan tentang dilandasi oleh itikad baik untuk
desa seyogyanya ditangani secara mengutamakan kesejahteraan dan
kontekstual sesuai dengan situasi dan kemaslahatan rakyat.
kondisi masing-masing desa. Dalam Dengan demikian dapat dikatakan
konteks ini seyogyanya pengaturan bahwa apapun pengertian yang
tentang desa terpisah dari UU diberikan kepada ‘desa” pada dasarnya
pemerintahan daerah. “desa” adalah suatu “tatanan” yang
Pemerintah nasional, pemerintah mandiri dan memiliki karakteristik
daerah (propinsi dan kabupaten) tetap sesuai perkembangan budaya
berkewajiban memfasilitasi agar masyarakatnya. Olehnya kepada “desa”
pemerintahan desa berjalan lancar dan hendaknya diberikan ruang gerak untuk
dapat mensejahterakan masyarakatnya mengembangkan dirinya melakukan
tanpa mematikan akses penyaluran interkoneksitas dengan tatanan lainnya
aspirasi dan tuntutan masyarakat, agar dapat membangun dirinya
sekaligus akan menumbuhkembangkan berdasarkan potensi yang dimilikinya.
kreativitas dan prakarsa masyarakat, Dalam konteks ini, Pemerintah dan
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 21

Pemerintah Daerah (Pusat dan atau dari Perspektif Sains Baru.


Propinsi dan Kabupaten) tetap PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
memfasilitasi agar pemerintahan desa
berjalan lancar dan dapat membangun Ahmad, R.G., dkk. 2003. Dari
demi kesejahteraan masyarakatnya. Parlemen ke Ruang Publik:
Oleh karena pemerintah Menggagas Proses Pembentukan
Peraturan Partisipatif. Jentera
propinsi/Gubernur adalah Kepala
Jurnal Hukum,
Daerah (otonomi terbatas) sekaligus Jakarta.
Wakil pemerintah dan atau perangkat
pusat di daerah (asas desentralisaasi Capra, F. 1981. Titik Balik
Peradaban,Sains,Masyarakat
dan dekonsentrasi) maka seyogyanya
dan Kebangkitan Kebudayaan
kewenangan pengaturan umum tentang Yayasan Bentang Budaya,
pemerintahan desa lebih didelegasikan Yogyakarta.
kepada pemerintah daerah propinsi,
Chandra, E., dkk. 2003. Membangun
yang dapat mengembangkan
Forum Warga, Implementasi
interkoneksitas antar daerah/desa di Partisipasi dan Penguatan
wilayah propinsi. Bahkan menurut Masyarakat Sipil. Yayasan
hemat penulis, Kepmendagri tentang AKATIGA, Bandung.
kelembagaan desa diharapkan tidak
Diamar, S., dkk. 2004.
terlalu banyak bersifat mengatur Pengarusutamaan Partisipasi
tentang apa yang harus dilakukan oleh Masyarakat dalam Perencanaan
pemerintahan desa, melainkan hanya Pembangunan. CV. Cipruy,
Jakarta.
sebatas pedoman yang merupakan
acuan umum yang harus dijabarkan
Dwipayana, A.A.G.N.A., dan Eko, S.
lebih lanjut sesuai karakteristik dan (Ed), 2003. Membangun Good
kemampuan daerah. Pendekatan ini Governance di Desa. IRE Press,
memberikan implikasi positif terhadap Yogyakarta.
lahirnya suatu Kepmendagri yang
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. K.
bersifat adaptif dan dinamis sesuai 2002. Pemerintahan Daerah di
dengan arah reformasi kelembagaan Indonesia.Sinar Grafika,
pemerintahan dalam rangka Jakarta. Lembaga Administrasi
Negara. 2000. Akuntabilitas dan
pelaksanaan OTODA.
Good Governance. LAN
Percetakan Negara, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Kemitraan Bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan, 2001. Tata
Amien, A.M. 2005. Kemandirian Lokal Pemerintahan Yang Baik Dari
Konsepsi Pembangunan, Kita Untuk Kita. Sekretariat
Organisasi, dan Pendidikan
22 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pusat Studi Kebijakan Manajemen


Pemerintahan, Jakarta. Pembangunan, 2002.
Participatory Local Social
Osborne, D. dan Plastrik, P. 2001. Development Planning.Modul
Memangkas Birokrasi: Lima Pelatihan I - V, Proyek
Strategi Menuju Pemerintahan Kerjasama PMD-JICA, PSKMP
Wirausaha. Penerbit PPM dan UNHAS, Makassar.
C.V. Teruna Grafika, Jakarta.
Rasyid, M.R. 1997. Makna
Osborne, D.dan Gaebler, T.1995. Pemerintahan, Tinjauan Dari
Mewirausahakan Birokrasi Segi Etika dan
(Reinventing Government): Kepemimpinan.PT.Yarsif
Mentransformasi Semangat Watampone, Jakarta.
Wirausaha ke dalam Sektor
Publik. Seri Umum No.17, Rondinelli.1981. Government
Lembaga PPM dan Pustaka Decentralisation in
Binaman Pressindo, Jakarta. Comparative Perspektif: Theory
and Practice in Developing
Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Countries. In International
2003. Himpunan Peraturan Review of Administrative
Perundang-undangan Mengenai Science. Vol. 47 No.2.
Desa Dilengkapi Dengan
Beberapa Pedoman dalam Santoso, P., dkk. 2002. Merubah Watak
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Strategi Penguatan
Desa. Biro Bina Dekonsentrasi Partisipasi Desa.Lappera
Bagian Bina Pemerintahan Desa Pustaka Utama, Yogyakarta.
Propinsi Sulawesi Selatan,
Makassar. Sayogyo. 1977. Golongan Miskin dan
Partisipasi dalam Pembangunan
__________. 1999. Undang-Undang Desa.Prisma, V.No.I.LP3ES,
Republik Indonesia Nomor 22 Jakarta.
Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah. Sedarmayanti. 2003. Good Governance
Diperbanyak oleh Biro Bina dalam Rangka Otonomi Daerah,
Dekonsentrasi Bagian Bina Upaya Membangun Organisasi
Pemerintahan Desa Propinsi Efektif dan Efisien Melalui
Sulawesi Selatan, Makassar. Restrukturisasi dan
Pemberdayaan.CV. Mandar
__________. 2004. Undang-Undang Maju, Bandung.
Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Slamet, Y. 1989. Konsep-Konsep Dasar
Pemerintahan Daerah. Partisipasi Sosial. Pusat Antar
Diperbanyak oleh Biro Bina Universitas Studi Sosial
Otonomi Daerah Sekretariat Universitas Gadjah Mada,
Provinsi Sul-Sel, Makassar. Yogyakarta.
Hasrat Arief Saleh, Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah 23

Soeparmo, R.1977. Mengenal Desa __________. 1990. Birokrasi


Gerak dan Pengelolaannya. Pembangunan Masyarakat.
PT. Intermasa, Jakarta. Makalah pada seminar Nasional
HIPIIS, Yogyakarta, 16-21 Juli
Syafiie, I. K. 2003. Kepemimpinan 1990.
Pemerintahan Indonesia. PT.
Refika Aditama, Bandung. Wheatley, M.J. 1997. Leadership and
The New Science (terjemahan).
Tikson, D.T. 2001. Pembangunan Abdi Tandur, Jakarta.
Daerah Dalam Era Otonomi.
Universitas Hasanuddin, White, R.P. et al., 1997. The Future
Makassar. Of Leadership (Masa Depan
Kepemimpinan) Revolusi
__________. 2001. Partisipasi Gelombang. Interaksara, Batam.
Masyarakat Dalam Manajemen
Perkotaan. Modul Pelatihan Widjaja, H.A.W. 2003. Otonomi Desa
Manajemen Perkotaan Merupakan Otonomi Yang Asli,
Kerjasama URDI, PPIS Sul-Sel Bulat dan Utuh. PT. Raja
dan PPS UNHAS, Makassar. Grafindo Persada, Jakarta.

Tjokroamidjojo, B. 2000. Good


Governance (Paradigma Baru
Manajemen Pembangunan). UI.
Press, Jakarta.

Tjokrowinoto, M. et al. 2001. Birokrasi


Dalam Polemik. Arif (Ed),
Pustaka Pelajar Bekerjasama
dengan Pusat Studi Kewilayahan
Universitas Muhammadiyah
Malang, Yogyakarta.
24 Government: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008

Você também pode gostar