Você está na página 1de 7

Selain aliran-aliran akhlak filosofis, ada pula aliran-aliran akhlak praktis

yang berhubungan dengan perbuatan manusia secara langsung dan berbasiskan


pada pendekatan psikologis.

Aliran-aliran akhlak praktis di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Behaviourisme

Peletak dasar aliran Behaviourisme adalah Ivan Petrovich Pavlop


(1849-1936) dan William McDougall (1871-1938). Menurut aliran
Behaviourisme, insting adalah kecenderungan bertingkah laku dalam situasi
tertentu sebagai hasil pembawaan sejak lahir dan tidak dipelajari sebelumnya.
Semua tingkah laku manusia dapat dikembalikan pada insting yang
mendasarinya, dan yang paling menonjol mewariskan insting adalah
orangtuanya karena itu disebut dengan insting orangtua (parental instinct).

Aliran Behaviourisme memandang manusia sebagai makhluk yang


tidak jauh berbeda dengan mesin (homo mechanicus) yang dapat dikendalikan
perilakunya melalui proses pengondisian yang terus-menerus (conditioning)
Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan
maladaptive behaviour atau perilaku menyimpang. Akhlak manusia dapat
dibentuk sebagaimana akhlak binatang. Kebiasaan akan memudahkan
manusia mengingat bentuk-bentuk perilakunya yang akan dipertontonkan.
Misalnya, anak kecil yang dilatih secara terus-menerus menjadi pemain
akrobat, ia akan semakin mahir berakrobat, demikian pula dengan seekor
singa sirkus yang terlatih.

Agar tingkah laku manusia berkembang lebih baik, perlu dilakukan


rekayasa dan modifikasi dalam pelatihan dan pendidikannya. Oleh sebab itu,
pengaruh pendidikan dalam lingkungan keluarga dan sekolah yang berubah-
ubah akan semakin mendewasakan anak didik, demikian pula dengan
pergaulan yang lebih luas. Anang Pamangsah (2008;1-2) menjelaskan bahwa
Behaviourisme memandang perilaku manusia sangat ditentukan oleh kondisi
lingkungan luar dan rekayasa pengondisian terhadap manusia tersebut. Pada
awalnya, manusia netral dala melihat dunia luarnya, baik atau buruk dari
perilakunya ditentukan oleh situasi dan perlakuan yang dialami oleh manusia
tersebut. Kemudian, pengaruh dunia luar meningkatkan daya berpikir dan
daya adaptasinya. Contohnya, seorang anak hilang di tengah hutan, lalu
diasuh oleh sekumpulan serigala, ia akan bertingkah laku seperti serigala.
Cara makan, berkomunikasi, mempertahankan hidup, menghindar dari
bahaya, dan mungkin cara berjalannya. Gambaran tersebut difilmkan dalam
sebuah sinema yang berjudul Mogli dan Tarzan.

Berdasarkan aliran ini, di berbagai bidang pendidikan dan psikoterapi


dilakukan proses pengembangan pembelajaran untuk anak didiknya serta
proses penyembuhan bagi orang yang memiliki kelemahan bertingkah laku
normatif. Dalam bidan pendidikan, dilakukan upaya merangsang anak didik
agar lebih giat belajar dengan metode yang direkayasa melalui dua pola, yaitu
pola instrumental dan pola verbalistik.

Pola instrumental adalah pola pembelajaran yang merangsang otak


kanan manusia. Oleh karena itu, bentuk-bentuk belajar demonstratif, estetik,
dan mengandung hiburan-hiburan terus dikembangkan. Misalnya melalui
pembangunan sekolah alam, strategi synergetic teaching, dan belajar dengan
metode outbond. Adapun belajar pola verbalistik lebih mengutamakan
pemberdayaan otak kiri, seperti belajar ilmu alam, fisika, kimia, dan
matematika.

Rancangan yang diberikan kepada anak didik akan menimbulkan


respons positif untuk pengembangan pikiran dan tingkah lakunya. Cara inilah
yang disebut dengan classical conditioning, yaitu suatu rangsangan yang
mendua akan menggantikan kebiasaan tertentu oleh kebiasaan lain. Misalnya,
seorang guru menyuruh membaca kepada anak didiknya sambil bertepuk
tangan. Jika dibiasakan dengan cara tersebut, tepuk tangan seorang guru akan
ditafsirkan oleh anak didik sebagai perintah membaca.

Menurut Behaviourisme, tingkah laku manusia memerlukan pujian


untuk memuaskan dirinya karena kepuasan akan menimbulkan rasa bangga
dan ingin mengulangnya kembali. Oleh sebab itu, tingkah laku yang
membahagiakan cenderung ingin diulangi. Ini yang disebut dengan law of
effect, yaitu perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan akan
cenderung diulang. Sebaliknya, bila akibat-akibat yang menyakitkan akan
cenderung dihentikan.

Akhlak seseorang akan terus menguat apabila dengan akhlaknya


diperoleh hasil yang memuaskan. Akhlaknya telah memberikan dampak
positif atau dapat menghilangkan dampak negatif. Misalnya dengan
melaksanakan puasa, ia memperoleh kesehatan badan dan hilangnya penyakit
asam urat atau diabetes yang selama ini menggerogoti tubuhnya. Dengan
hasil tersebut, ia akan semakin rajin berpuasa. Perilaku tersebut dalam
Behaviourisme merupaka operant conditioning, yaitu pola perilaku akan
menjadi mantap apabila perilaku tersebut berhasil diperoleh hal-hal yang
diinginkan pelaku.

Akhlak seseorang tidak terlepas dari prooses peneladanan kepada


orang lain. Berakhlak seperti orangtuanya, kawan-kawannya, tokoh idolanya,
atau ingin berakhlak seperti Nabi Muhammad SAW. Dalam Behaviourisme,
cara ini disebut dengan modelling,, yaitu munculnya perubahan perilaku
karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi.

2. Strukturalisme

Strukturalisme diperkenalkan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikolog


Jerman yang pertama kali mendirikan laboratorium psikologi untuk
melakukan berbagai eksperimen. Menurut aliran strukturalisme, pengalaman
menjadi unsur-unsur kesadaran yang akan memiliki makna apabila bersatu.
Pengalaman akan membantu manusia berakhlak lebih baik dan lebih berhati-
hati karena pengalaman memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan.

Aliran strukturalisme menganalisis kesadaran ke dalam unsur unsur


atau pengalaman untuk menentukan strukturnya berdasarkan hasil introspeksi
yang bersifat mekanik. Pengalaman sebagai unsur unsur kesadaran yang akan
memiliki makna apabila bersatu. Dengan kata lain, pengalaman pengalaman
yang kompleks dari mentalitas manusia merupakan struktur yang terdiri dari
refleksi-refleksi sederhana, sebagaimana persenyawaan unsur unsur kimiawi
yang terstruktur sedemikian rupa. Struktur kesadaran yang memiliki unsur
unsur sekaligus dilengkapi dengan hukum hukumnya tersendiri dengan
pendekatan instrospektif (Mursidin, 2010).

3. Fungsionalisme

Fungsionalisme berpandangan bahwa manusia bertahan hidup dengan


cara melakukan tingkah laku yang adaptable dengan lingkungan di
sekitarnya. Setiap adaptabilitas berkaitan dengan kelompok manusia tertentu
disesuaikan dengan identitas psikologisnya masing-masing secara normatif.
Setiap tingkah laku dimotivasi oleh rangsangan tertentu, demikian pula
rangsangan berhubungan erat dengan respons yang sesuai. Jadi, stimulus dan
respons keberadaannya bersamaan dan integral yang berwujud tingkah laku
fungsional. Aliran ini lebih bersifat pragmatis dalam bertingkah laku dan
mencapai tujuannya. Tokoh-tokoh fungsionalisme yang terkenal, di antaranya
William Jame (1842-1910), John Dewey (1859-1952), James Rowland (1867-
1949), Angell, Harvey A. Carr (1873-1954), James McKenn Cattell (1866-
1944), E.L. Thorndike (1874-1949), dan R.S. Woodworth (1869-1962).

Pada dasarnya, menurut aliran Fungsionalisme, akhlak manusia


berada dalam tradisi normatif yang tidak bernilai tinggi, tetapi setelah
manusia memahami makna perbuatan dan tingkah lakunya, setiap perbuatan
dinilai menurut fungsi dan manfaatnya. Jadi, jangan dikerjakan apabila
mengakibatkan kerugian karena hal itu tidak fungsional. Misalnya manusia
menerima pekerjaan sebagai pemulung, serendah apapun pekerjaan itu karena
menghadirkan uang yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidupnya. Manusia
akan melakukannya dan bekerja dengan baik.

 Humanisme Psikologis

Tokoh-tokoh aliran Humanisme adalah sebagai berikut.

a. Abraham Maslow (1908-1970)


Ia dijuluki sebagai “Bapak Spiritual” psikologi humanistik.
Menurut Maslow, manusia bertingkah laku secara bertahap, dari
yang paling sederhana sampai dengan yang paling matang dan
dianggapnya sempurna. Sebelum terpuaskan pada satu tempat, ia
akan terus berada di tempat yang sama, hingga akhirnya manusia
menemukan aktualitas dirinya.

Akhlak manusia dapat bergerak ke atas atau ke bawah,


seperti seorang penjahat berakhir menjadi seorang kyai, sebaliknya
seorang kyai berakhir menjadi seorang penjahat. Oleh karena itu,
wajar jika seorang Imam Al-Ghazali berpuas-puas diri dalam filsafat,
lalu pindah ke pemikiran kalam, dan akhirnya ia pun lebih
mengembangkan dirinya ke dalam dunia tasawuf.

b. Carl Rogers (1902-1987)

Rogers berpendapat bahwa setiap manusia memiliki potensi


dalam jiwanya yang harus didorong keluar dan berbentuk proses
aktualisasi diri yang sesungguhnya. Dorongan kuat dari
lingkungannya akan membangkitkan potensi diri manusia dan
meningkatkan kesehatan jiwa. Pada dasarnya, semua manusia
memiliki hasrat untuk menemukan makna hidup, kebahagiaan, dan
kestabilan jiwa. Jadi, akhlaknya statis sebelum ia menemukan batas
akhir pencarian makna sejati dari kehidupannya.

4. Kognitivisme

Aliran Kognitivisme dipelopori oleh Jean Piaget (1896-1980). Aliran


ini mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori
perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Kognitivisme memiliki
perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran
melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan
hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada.
Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Aliran ini berpandangan bahwa akhlak manusia dapat dikembangkan
oleh suatu proses pendidikan, peningkatan akal budinya, dan pembinaan
kognitif di lingkungan tertentu, seperti sekolah, keluarga, dan aktivitas yang
ada di lingkungan masyarakat.

5. Progressivisme

Progressivisme berpandangan bahwa kemampuan inteligensi manusia


merupakan alat untuk hidup, kesejahteraan, dan mengembangkan kepribadian
manusia. Menurut penganut aliran ini, akhlak manusia bersifat merdeka,
dapat dikembangkan terus-menerus sepanjang memiliki tingkat kecerdasan
berinteraksi dan mengadopsi berbagai gejala alamiah dan lingkungan di
sekitarnya. Manusia akan terus maju, tumbuh, dan berkembang lebih beradab
dan memiliki kebudayaan yang lebih memungkinkan untuk mencapai tujuan
utama dalam hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad dan Hamid, Abdul. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung : Pustaka
Setia

Mursidin. 2010. Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia : Bandung.

http://www.karyatulisku.com/2016/05/pengertian-teori-belajar-behaviorisme.html

Você também pode gostar