Você está na página 1de 8

Idealisme

Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM). Ia adalah murid


Socrates (Ali, 1996: 23). Aliran idealisme merupakan suatu aliran filsafat yang
mengagungkan jiwamenurut aliran ini, cita adalah gambaran asli yang bersifat
rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli yang bersifat rohani dan jiwa
yang terletak di antara gambaran asli (cita) (Suryadipura, 1994: 133). Dari
pertemuan jiwa dan cita, lahirlah suatu angan-angan, yaitu dunia idea. Aliran ini
memandang dan menganggap yang nyata hanya idea. Idea selalu tetap, tidak
mengalami perubahan dan pergeseran (Poedjawijatna, 1987: 23). Keberadaan idea
tidak tampak dalam wujud lahiriah, dan gambaran aslinya hanya dapat dipotret
oleh jiwa murni. Menurut pandangan idealisme, alam adalah gambaran dari dunia
idea disebabkan posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea
adalah hakikat murni dan asli di mana keberadaanya sangat absolut dan
kesempurnaanya sangat mutlak, tidak bisa dijangkau oleh materiil (Hamdani Ali,
1986: 29). Pada kenyataanya, idea digambarkan dengan dunia yang tidak
berbentuk, sedangkan jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh (idea).

Aliran idealisme sangat identik dengan alam dan lingkungan, karena itu
aliran ini melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang
dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan itu seperti ada yang
datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang mati, demikian seterusnya. Kedua,
realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea). Gagasan dan
pikiran yag utuh didalamnya memiliki nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian
kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena
idea merupakan wujud yang hakiki (Peursen, 1978:61).

Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah bahwa manusia menganggap roh
atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi
kehidupan manusia. Roh merupakan hakikat yang sebenarnya, sementara benda
atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme
berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis
yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah, dan dimensi gerakan tersebut untuk
menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia.

Realisme
Dengan memasuki abad ke-20,realisme muncul,khususnya di Inggris dan
AmerikaUtara.Real berarti yang aktual atau yang ada,kata tersebut menunjuk kepa
da benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguhsungguh,artinya yang bukan
sekadar khayalan atau apa yang ada dalam pikiran. Real menunjukkan apa yang
ada. Reality adalah keadaan atau sifat benda yang real atau yang ada,yakni
bertentangan dengan yang tampak. Dalam arti umum, realisme berarti kepatuhan
kepada fakta, kepada apa yang terjadi, jadi bukan kepada yang diharapkan atau
yang diinginkan. Akan tetapi dalam filsafat, kata realisme dipakai dalam arti yang
lebih teknis.
Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek
indera kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa
benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan pikiran
kita. Bagi kelompok realis, alam itu, dan satu-satunya hal yang dapat kita lakukan
adalah: menjalin hubungan yang baik dengannya. Kelompok realis berusaha
untuk melakukan hal ini, bukan untuk menafsirkannya menurut keinginan atau
kepercayaan yang belum dicoba kebenarannya. Seorang realis bangsa Inggris,
John Macmurray mengatakan:
Kita tidak bisa melpaskan diri dari fakta bahwa terdapat perbedaan antara
benda dan ide. Bagi common sense biasa, ide adalah ide tentang sesuatu benda,
suatu fikiran dalam akal kita yang menunjuk suatu benda. Dalam hal ini benda
dalah realitas dan ide adalah 'bagaimana benda itu nampak pada kita'. Oleh karena
itu, maka fikiran kita harus menyesuaikan diri dengan benda-benda , jika mau
menjadi benar, yakni jika kita ingin agar ide kita menjadi benar, jika ide kita
cocok dengan bendanya, maka ide itu salah dan tidak berfaedah. Benda tidak
menyesuaikan dengan ide kita tentang benda tersebut. Kita harus mengganti ide-
ide kita dan terus selalu menggantinya sampai kita mendapatkan ide yang benar.
Cara berpikir common sense semacam itu adalah cara yang realis; cara tersebut
adalah realis karena ia menjadikan 'benda' adalah bukan 'ide' sebagai ukuran
kebenaran, pusat arti. Realisme menjadikan benda itu dari real dan ide itu
penampakkan benda yang benar atau yang keliru. Realisme menegaskan bahwa
sikap common sense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya, bahwa
bidang aam atau obyek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa
pengalaman kita tidak mengubah watak benda yang kita rasakan
Perennialisme
Di zaman zaman modern ini, banyak bermunculan krisis di berbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan
keadaan krisis ini, perenialisme mengembalikan jalan keluar yaitu krisis ini,
perennialisme memberi jalan keluar yaitu dengan mengembalikan pada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketanguhannya.
Untuk itu, pendidikan harus mengarahkan perhatiannya pada kebudayaan ideal
yang telah teruji dan tangguh.
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang artinya kekal dan abadi, dari
makna yang terkandung dalam kata itu’ aliran Perennialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang kepada masa lampau. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi
kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986:
154). Dari pendapat ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran
yang memberikan kemungkinan bagi seorang untuk bersikap tegas dan lurus.
Karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah
tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat
pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi,
karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara induktif. Jadi,
dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan. Penguasaan
pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang
untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan
penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-
faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan
penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya
yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini
merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka
yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat,
politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang
telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik ke arah
kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu
mendapat tuntunan ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan
pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional
seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting
bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak didik
ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas
utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada
anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat
tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Prinsip-prinsip pendidikan Perennialisme
Di bidang pendidikan, Perennialisme saangat dipengaruhi oleh: Plato,
Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal. Maka
tujuan utama pendidikan adalah “ membina pemimpin yang sadar dan
mempraktekan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu : nafsu,
kemauan, dan pikiran. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah ‘kebahagiaan”.
Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek
harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti halnya Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang diinginkan oleh
Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam
individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru
adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada dirinya.
. Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan pada nilai-
nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda
dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk
perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Nilai-nilai yang dapat memenuhinya adalah yang berasal dari kebudayaan dan
filsafat yang korelatif selama empat abad belakang. Sejak zaman Renaissance,
sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan essensialisme awal. Sedangkan
puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke 19. Idealisme,
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan
menitikberatkan pada aku.
Menurut idealisme, pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya
sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos
menuju ke makrokosmos. Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang
dicapai manusia melalui indera memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului
oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu sudah
mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu sudah
ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi, apriori
yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah pada
budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil
landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai substansi spiritual yang
membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna, 1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan tentang
hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani
yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang
telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima dan
mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang timbul
untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
Selain itu juga di warnai dengan pandangan-pandangan dari paham penganut
aliran idealisme dan realisme. Imam Bernadib (1981), menyebutkan beberapa
tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
1. Desiderius Erasmus, humananis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan
hidup yang berpijak pada dunia lain.
2. Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah seorang
yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3. Johann Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai salah
seorang murid Immanuel Kant yang berpendapat dengan kritis, herbert
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang
dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum
kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh
Herbert sebagai ‘pengajaran yang mendidik’.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan
hakikat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal
yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi
esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai
ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Materialisme

Aliran materialisme merupakan aliran filsafat yang berisikan tentang


ajaran kebendaan. Menurut aliran ini, benda merupakan sumber segalanya
(Poewadarminta, 1984:683). Aliran ini berpikiran sederhana, bahwa segala
sesuatu yang ada di alam ini berpikiran sederhana, bahwa segala sesuatu yang ada
di alam ii dapat dilihat atau diobservasi, baik wujudnya, gerakannya, maupun
peristiwa-peristiwanya.

Berdasarkan persepsinya itu, maka realita semesta ini pastilah


sebagaimana yang tampak di hadapan kita. Semuanya adalah materi, serba zat,
serba benda. Manusia merupakan makhluk ilmiah yang tidak memiliki perbedaan
dengan alam semesta, karena itu tingkah laku manusia pada prosesnya sejalan
dengan sifat dan gerakan peristiwa alamiah menjadi bagian hukum alam. Dengan
demikian, gerakan manusia adalah bagian dari gerakan alam semesta an
merupakan suatu pola mekanisme atau perjalanan menurut aturan yang mengikat
dan terkait. Dengan kata lain, manusia tunduk dan terlibat dengan peristiwa
hukum alam, hukum sebab akibat (kausalitas), hukum yang objektif, di mana
manusia bergerak karena menerima akibat sesuatu. Reaksi manusia manusia
tersebut merupakan stimulus response (Muhammad Noor Syam, 1986: 162-163).

Fokus aliran materialisme adalah benda dan segala berawal dari benda.
Karena itu yang nyata hanya dunia materi. Segala kenyataan yang didasarkan
pada zat atau unsur jiwa, roh, sukma, (idealisme), oleh aliran materialisme
dianggap materi. Meskipun mempunyai sifat yang berbeda dengan sifat materi,
jiwa, roh dan sukma itu mempunyai naluri untuk bergerak sendiri, yang
mempunyai gerakan yang terbebas atau kaku.
Alasannya, kekuasaan dan kebesaran Tuhan hanya dapat dibuktikan
dengan berfungsinya akal.

Argumen :

Jadi menurut pandangan saya dari pemaparan tentang landasan filsafat,


yang disebutkan bahwa antara filsafat dan pendidikan terdapat adanya keterkaitan
yang erat antara satu dengan yang lain karena landasan pendidikan merupakan
suatu kajian yang dikembangkan dalam kaitannya dengan dunia pendidikan
sedangkan filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sesuatu
sampai ke akar-akarnya.

Daftar Pustaka:

Jalaludin dan Abdulah. 2011. Filsafat Pendididkan. Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

Saduloh, Uyoh 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Você também pode gostar