Você está na página 1de 5

ecara terminologi kolam stabilisasi, lagoon, dan kolam oksidasi memiliki maksud yang sama.

Metode

S
yang memanfaatkan cekungan tanah ini dimanfaatkan sebagai cara untuk pengolahan sekunder atau
tersier. Kolam stabilisasi ini telah diaplikasikan untuk mengolah air limbah selama lebih dari 300 tahun.
Kolam banyak dipilih untuk mengolah limbah yang berkapasitas kecil karena hanya membutuhkan biaya
konstruksi dan operasi yang rendah. Metode ini digunakan untuk mengolah air limbah dari limbah
domestik dan industri pada berbagai perubahan kondisi cuaca. Metode kolam dapat digunakan sebagai
pengolahan tunggal ataupun dikombinasikan dengan berbagai proses pengolahan lainnya.

Kolam stabilisasi dapat diklasifikasikan menjadi kolam fakultatif (aerob-anaerob), kolam aerasi, kolam aerobik, dan
kolam anaerobik yang didasarkan pada tipe reaksi atau aktivitas biologi yang sering terjadi di dalam kolam.
Pengelompokan lain juga dapat dilakukan berdasarkan jenis influen (eflluen yang belum terolah, telah tersaring,
telah diendapkan, atau eflluen yang berasal dari pengolahan sekunder (seperti lumpur akif)), lama pengurasan
(tidak diemisikan, menengah, atau terus menerus), dan berdasarkan proses pemberian oksigen (dari proses
fotosintesis, dari udara dipermukaan, atau aerasi mekanis).
1. Kolam Fakultatif (Facultative Ponds)
Kolam fakultatif merupakan jenis kolam stabilisasi yang biasanya banyak digunakan. Kolam ini disebut
sebagai lagoon. Kedalaman kolam fakultatif biasanya adalah 1,2-2,5 m (4-8 ft) yang memiliki lapisan aerob dan
anaerob dan mengandung lumpur. Waktu detensi pada kolam ini biasanya adalah 5-30 hari (USEPA, 1983b).
Kolam ini dapat diaplikasikan pada air buangan yang hanya melewati proses penyaringan. Kolam ini juga dapat
diaplikasikan mengikuti proses trickling filter, kolam aerasi, atau kolam anaerobik. Pada kolam ini kemudian
terbentuk lapisan grit dan material yang berat sebagai lapisan anaerobik. Sistem ini merupakan suatu bentuk
interaksi antara bakteri heterotrof dan alga.
Pada kolam stabilisasi, bakteri yang terdapat di zona aerob merupakan bakteri yang sama yang dapat dijumpai
pada proses lumpur aktif atau lapisan film pada media lekat di proses trickling filter. Bakteri-bakteri tersebut
meliputi Beggiatoa Alba, Sphaerotilus natans, Achromobacter, Alcaligenes, Flavobacterium,
Pseudomonas, dan Zoogloea spp. (Lynch dan Poole, 1979). Organisme-organisme tersebut akan menguraikan
material organik pada zona aerob.
Kandungan organik dalam air limbah terurai oleh aktifitas bakteri dan melepaskan fospor, nitrogen, dan
karbondioksida. Oksigen yang dibutuhkan pada proses aerob berasal dari udara luar dan hasil dari proses
fotosistesis. Pada proses fotosintesis alga menggunakan nutrien dan karbondioksida yang dihasilkan bakteri
sehingga menghasilkan oksigen yang akan terlarut di dalam air. Oksigen terlarut tersebut digunakan kembali oleh
bakteri. Hal ini menunjukkan terjadinya hubungan keduanya yang terbentuk dalam sebuah siklus. Di bagian bawah
kolam, di zona anaerob dihasilkanlah gas-gas seperti metan(CH4), karbondioksida (CO2), dan hidrogen sulfida
(H2S). Diantara zona aerob dan anaerob terdapat suatu zola lapisan yang disebut sebagai zona fakultatif
(facultative zone). Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi aktifitas simbiosis biologi tersebut.
Beban organik (organik loading rates) pada kolam stabilisasi dinyatakan dalam kg BOD5 per ha permukaan kolam
per hari (lb BOD/acre.d), atau terkadang dinyatakan sebagai populasi ekivalen BOD per unit luas. Nilai
tipikal loading rates adalah 22-26 kg BOD/ha.d (20-60 lb BOD/acre.d). Waktu detensi tipikal yang digunakan
adalah 25 hingga 180 hari. Sedangkan dimensi tipikal yang sering digunakan adalah kedalaman 1,2-2,5 m (4-8 ft)
dengan luas area 4-60 ha (10-150 acres) (USEPA, 1983b).
Kolam fakultatif biasanya dirancang untuk menurunkan nilai BOD menjadi sekitar 30 mg/L, tetapi, dalam
prakteknya, penurunan nilai BOD berkisar dari 30 sampai 40 mg/L atau lebih tergantung dari kandungan ganggang.
Penguraian zat organik yang mudah menguap berkisar antara 77-96%. Penurunan kadar Nitrogen mencapai 40-
95%. Setelah diamati kadar phophorus berkurang menjadi < 40%. Nilai TSS efluen berkisar 40-100 mg/L, terutama
ditentukan oleh kandungan ganggang (WEF dan ASCE, 1991b). Kehadiran ganggang di kolam limbah merupakan
salah satu faktor yang paling menentukan kinerja kolam fakultatif. Kolam ini juga efektif dalam penurunan nilai fecal
coliform (FC). Dalam kebanyakan kasus, nilai FC efluen densitasnya kurang dari 200 FC/100 ml.

Kolam Tersier
Kolam tersier juga disebut sebagai kolam pelengkap, terakhir atau kolam maturasi atau (pemasakan), merupakan
tahap ketiga untuk mengolah efluen yang berasal dari proses lumpur aktif atau trickling filter. Kolam ini juga
digunakan pada tahap kedua setelah proses di kolam fakultatif dan kolam aerobik.
Kedalaman air pada kolam tersier ini biasanya berkisar 1 – 1,5 m (3 – 4,5 ft). Loading Rate BODnya kecil dari 17
kg/ha . d atau 15 lb/acres . d. Sedangkan waktu detensinya relatif singkat, yaitu 4 hingga 15 hari.
2. Kolam Aerob (Aerobic Ponds)
Kolam aerobik, juga disebut sebagai kolam aerobik tinggi tingkat. Kolam ini relatif dangkal dengan kedalaman
biasanya berkisar antara 0,3 sampai 0,6 m (1 sampai 2 ft) sehingga memungkinkan cahaya untuk menembus
lapisan air hingga bagian dasar kolam. Hal ini menjaga agar DO tersebar di seluruh bagian kolam. Hal ini
meransang kinerja ganggang sehingga terjadinya kondisi anaerobik dapat dicegah. DO pada air berasal dari
proses fotosintesis yang dilakukan oleh ganggang atau alga dan oksigen yang berasal dari permukaan kolam.
Bakteri aerobik memanfaatkan dan menstabilkan kandungan organik dalam air limbah untuk memperoleh nutrisi.
Waktu tinggal (Hidraulic Retention Time) di tambak adalah singkat, yaitu 3 sampai 5 hari.
Penggunaan kolam aerobik biasanya hanya terbatas pada daerah yang beriklim hangat dan cerah, terutama di
mana tingkat tinggi penghapusan BOD diperlukan tapi ketersediaan lahan tidak terbatas. Namun, tingkat
penurunan nilai kandungan koliform melalui pengolahan air limbah dengan kolam aerob ini adalah rendah.
3. Kolam Anaerob (Anaerobic Ponds)
Kolam anaerobik biasanya relatif lebih dalam dan digunakan untuk mengolah limbah yang memiliki beban organik
tinggi. Pada kolam anaerobik tidak terdapat adanya zona aerob. Kedalaman kolam anaerobik biasanya berkisar
2,5-5 m (8-16 ft). Waktu detensi berkisar antara 20 sampai 50 hari (USEPA 1983b).
Bakteri anaerob menguraikan bahan organik menjadi karbon dioksida dan metana. Prinsip dari reaksi biologi
adalah pembentukan asam dan fermentasi metana. Proses ini mirip dengan yang terjadi pada proses kondisi
anaerobik pada pengolahan lumpur. Pada proses ini juga dihasilkan penyebab bau seperti asam-asam organik
dan hidrogen Sulfida (H2S).
Kolam anaerobik biasanya digunakan untuk mengolah limbah pekat industri dan pertanian. Kolam ini telah
digunakan sebagai pretreatment kolam fakultatif atau kolam aerobik untuk air limbah pekat industri dan limbah
area domestik di daerah pedesaan yang memiliki beban organik yang tinggi, seperti sisa-sisa makanan. Namun
kolam ini tidak terlalu banyak digunakan pada pengolahan air limbah kota.
Keuntungan dari kolam anaerobik dibandingkan dengan proses pengolahan aerobik adalah produksi lumpur yang
rendah dan tidak memerlukan peralatan aerasi. Namun, kelemahannya adalah proses ini menghasilkan senyawa
yang menyebabkan timbulnya bau. Oleh karena itu untuk menstabilisasi limbah dibutuhkan proses pengolahan
lanjutan berupa proses aerobik. Pada proses dekomposisi senyawa organik, suhu yang terjadi pada kondisi
anaerob ini relatif lebih tinggi.
Pada proses pengoperasian pada kondisi normal, untuk mencapai efisiensi penyisihan BOD minimal 75 persen,
diperlukan loading rates sebesar 0,32 kg BOD/(m3 . d) atau 20 lb/(1000 ft3 . d), waktu detensi minimal 4 hari, dan
suhu operasi minimum 24o C (75o F) (Hammer, 1986).[MN]
Kolam aerobik adalah sebuah kolam dangkal yang dapat ditembus cahaya hingga ke bagian dasarnya, hal tersebut
menyebabkan proses fotosintesis dapat terjadi pada keseluruhan sistem di dalam kolam. Sepanjang siang hari,
akibat adanya proses fotosintesis dan proses aerasi di permukaan oleh angin akan dihasilkan suplai oksigen dalam
jumlah yang besar. Suplai tersebut akan digunakan sebagai sebagai persediaan selama malam hari. Proses
stabilisasi materi organik yang masuk ke kolam aerobik dilakukan aktifitas penguraian yang dilakukan oleh bakteri
aerob.

Pada kolam aerobik terjadi suatu bentuk hubungan yang saling menguntungkan antara alga dan bakteri. Selama
proses fotosintesis, alga mensintesis materi organik yang berasal dari karbon dioksida, nutrien anorganik, dan air
dengan memanfaatkan energi cahaya, lalu kemudian sitoplasma mengeksresikan campuran organik untuk
digunakan oleh materi heterotrof. Pada proses ini hasilnya yaitu terlepaskannya elektron, proton, dan molekul-
molekul oksigen. Bakteri heterotrof kemudian menguraikan materi organik yang terbentuk yang ada dalam air
limbah untuk digunakan sebagai energi. Setelah digunakan material organik tersebut akan diuraikan kembali
menjadi karbondioksida, air, dan bentuk materi anorganik lainnya yang akan digunakan kembali oleh alga.
Begitulah seterusnya terbentuk suatu siklus dalam antara alga dan bakteri. Secara singkat dapat dilihat pada
gambar 1 berikut.

Gambar 1. Hubungan yang Terbentuk antara Alga dan Bakteri di Dalam Kolam Aerobik

A. Variasi Perhari pada Kolam Aerobik

Proses fotosintesis membutuhkan radiasi sinar matahari. Oksigen akan dilepaskan selama selang waktu siang hari.
Pada malam hari alga dan bakteri bersama-sama menggunakan oksigen terlarut dan zat-zat organik sehingga
menurunkan sejumlah cadangan oksigen. Hal ini menunjukkan variasi konsentrasi oksigen dalam air, yaitu tinggi
pada siang hari dan menurun pada malam hari.

Alga memanfaatkan karbon pada proses fotosistesi yang diperoleh dari hasil respirasi bakteri dalam bentuk karbon
dioksida. Selama proses fotosistesis berlangsung nilai pH akan meningkat. Selama selang waktu ini sejumlah besar
amoniak akan dilepas. Pada malam hari, ketika karbondioksida dihasilkan dari proses respirasi bakteri dan alga,
nilai pH akan mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan hal yang sama seperti yang terjadi pada oksigen, yaitu
nilai pH perhari juga bervariasi. Variasi harian parameter-parameter tersebut penting untuk diketahui karena salah
satunya dapat mengganggu aktivitas mikroba.
Proses respirasi alga merupakan kejadian yang menarik dan merupakan suatu bentuk model proses yang rumit.
Selama proses fotosintesis alga bertindak sebagai “pabrik” yang memproduksi zat organik dalam jumlah yang
banyak ke lingkungan. Ketika proses tersebut terhenti, alga memetabolisme kembali zat yang ia eksresikan tadi
memecahnya menjadi CO2. Kemudian, setelah memperoleh cahaya kembali maka akan tersedia CO 2 sebagai salah
satu bahan baku pada proses fotosintesis. Abeliovich dan Weismen (1977) menyatakan bahwa sekitar 15% karbon
digunakan sebagai metabolisme glukosa oleh alga dan sebagian besar lainnya digunakan oleh Scenedesmus
obliquus (bakteri) yang tumbuh/berkembang di dalam kolam oksidasi. Hal ini menunjukkan terdapat peranan alga
dalam penyisihan zat organik namun hanya peranan tersebut hanya sebagian kecil.
Penambahan proses aerob yang mengikuti pengolahan anaerob tentunya tergantung dari efluen
proses anaerob dan disesuaikan dengan baku mutu yang berlaku. Biasanya memang setelah
proses anaerob ditambah dengan pengolahan aerob karena dengan pengolahan anaerob saja
tidak cukup untuk menurunkan BOD sampai memenuhi baku mutu

erbedaan utama dari pengolahan secara aerob dan anaerob terletak pada kondisi
lingkungannya. Pada pengolahan secara aerob, kehadiran oksigen mutlak diperlukan untuk
metabolisme bakteri, sementara pada kondisi anaerob sebaliknya. Berikut ini adalah beberapa
perbedaan utama antara pengolahan secara aerob dan anaerob menurut Eckenfelder, et.al
(1988) :

Temperatur

Temperatur mempengaruhi proses aerob maupun anaerob. Pada proses anaerob, diperlukan
temperatur yang lebih tinggi untuk mencapai laju reaksi yang diperlukan. Pada proses anaerob,
penambahan temperatur dapat dilakukan dengan memanfaatkan panas dari gas methane yang
merupakan by-product proses anaerob itu sendiri.

pH dan Alkalinitas

Proses aerob bekerja paling efektif pada kisaran pH 6,5 – 8,5. Pada reaktor aerob yang dikenal
dengan istilah completely mixed activated sludge (CMAS), terjadi proses netralisasi asam dan
basa sehingga biasanya tidak diperlukan tambahan bahan kimia selama BOD kurang dari 25
mg/L.

Sementara itu proses anaerob yang memanfaatkan bakteri methanogen lebih sensitif pada pH
dan bekerja optimum pada kisaran pH 6,5 – 7,5. Sekurang-kurangnya, pH harus dijaga pada
nilai 6,2 dan jika konsentrasi sulfat cukup tinggi maka kisaran pH sebaiknya berada pada pH 7 –
8 untuk menghindari keracunan H2S. Alkalinitas bikarbonat sebaiknya tersedia pada kisaran
2500 hingga 5000 mg/L untuk mengatasi peningkatan asam-asam volatil dengan menjaga
penurunan pH sekecil mungkin. Biasanya dilakukan penambahan bikarbonat ke dalam reaktor
untuk mengontrol pH dan alkalinitas.

Produksi Lumpur dan Kebutuhan Nutrien

Bagi kebanyakan air limbah, produksi lumpur yang dihasilkan dari pengolahan aerob adalah
sebesar 0,5 kg VSS/ kg COD tersisihkan. Sementara itu, pada pengolahan anaerob, produksi
lumpur adalah sebanyak 0,1 kg VSS/kg COD tersisihkan. Pada pengolahan aerob, konsentrasi
nitrogen yang perlu ditambahkan adalah 8-12 persen dan fosfor sebesar 1,5-2,5 persen. Sebagai
“rule of thumb”, kebutuhan nutrien pada pengolahan anaerob adalah seperlima dari proses
aerob.

Tabel berikut menunjukkan perbandingan antara pengolahan secara aerob dan anaerob (sumber
: Eckenfelder, et.al , 1988)
Parameter Aerob Anaerob
Kebutuhan energi Tinggi Rendah
Tingkat pengolahan 60-90% 95%
Produksi lumpur Tinggi Rendah
Stabilitas proses terhadap toksik
dan perubahan beban Sedang sampai tinggi Rendah sampai sedang
Tinggi untuk beberapa limbah
Kebutuhan nutrien industri Rendah
Tidak terlalu berpotensi
Bau menimbulkan bau Berpotensi menimbulkan bau
Tinggi untuk beberapa limbah
Kebutuhan alkalinitas Rendah industri
Ada (dapat dimanfaatkan sebagai
Produksi biogas Tidak ada sumber energi)
Start-up time 2 – 4 minggu 2 – 4 bulan

Perbandingan antara proses aerob dan anaerob tersebut menjadi dasar pemilihan unit-unit
pengolahan biologi pada secondary treatment. Pemilihan akan tergantung dari karakteristik air
limbah yang akan diolah. Bahkan, untuk karakteristik limbah tertentu diperlukan kombinasi dari
kedua proses tersebut.

Você também pode gostar