Você está na página 1de 2

Sedang Jadi Tren, Ini Risiko Persalinan

Water Birth dan Lotus Birth


Muhammad Sukardi, Jurnalis · Jum'at 15 Desember 2017 16:00 WIB

PERKEMBANGAN zaman semakin pesat. Tren pun berubah. Tak terkecuali masalah
melahirkan. Mungkin, dulu Anda familiar dengan water birth dan tentunya normal serta
caesarean (lahir operasi). Kini, yang sedang banyak dicoba masyarakat dunia adalah lotus
birth.
Bicara mengenai semua proses melahirkan tersebut, sebetulnya, mana sih yang paling
direkomendasikan dokter kandungan? Kemudian, apa sih yang sebenarnya terjadi ketika
Anda misalnya memilih water birth sebagai proses persalinan bayi Anda?

Ditemui di Chubb Square Jakarta, Dokter Ahli Kandungan dan Kebidanan Dr. dr. Ali
Sungkar, Sp.OG-KFM menjelaskan bahwa sudah tentu lahiran normal yang diharapkan
semua ibu dan tentunya juga dokter yang membantu persalinannya. Dengan persalinan
normal, si ibu bisa merasakan langsung secara alami bagaimana kelahiran itu.

Tapi, pada beberapa kasus, ada yang mengharuskan si ibu tidak bisa melakukan persalinan
normal ini. Kasus yang paling sering terjadi adalah bayi terlilit tali pusar, air ketuban telah
keluar sebelum bayi berhasil dilahirkan, atau ada masalah dengan kesehatan si ibu yang
sangat mengkhawatirkan kalau dia harus lahir normal.

“Pertimbangan ini tidak bisa asal diputuskan. Sebagai seorang dokter, tentunya harus
melihat bagaimana kemungkinan dari kondisi terakhir si ibu sebelum melahirkan bayinya.
Yang paling penting, semua selamat, baik si ibu maupun anak yang akan dilahirkannya,”
terang dr Ali pada awak media, Kamis (14/12/2017).

Nah, Dr Ali juga sedikit menjabarkan mengenai tren melahirkan yang lumayan mulai
banyak diterapkan ibu zaman now, yaitu water birth dan lotus birth.
Perlu Anda ketahui, untuk water birth sendiri, si ibu akan melahirkan di dalam air dengan
suhu hangat sekitar 38 derajat selsius sama seperti cairan yang ada di dalam perut ibu di
mana bayi berada semasa kehamilan.

Sementara itu, lotus birth, ini persalinan yang dilakukan secara alami dengan prosedur inti
adalah tidak memotong plasenta si bayi setelah dia dilahirkan. Jadi, membiarkan plasenta
yang menempel melalui tali pusat bayi terputus dengan sendirinya, yang mana tujuan
utamanya agar meminimalisir risiko penyakit.

Tapi, bagaimana Dr Ali memandang dua tren melahirkan ini?

“Menurut saya, keduanya kurang direkomendasikan. Secara akademisi, dua teknik


melahirkan ini tidak diajarkan di kedokteran. Bukan akhirnya para dokter buta tren, tetapi,
risiko dan kemungkinan terburuk dari dua tren ini masih cukup tinggi. Itu yang menjadi
alasan kenapa dokter kurang merekomendasikan dua teknik melahirkan ini,” tegasnya.

Lebih rinci, Dr Ali coba menjabarkan water birth. Menurutnya, tidak ada yang bisa
memastikan air yang dituangkan ke dalam “kolam” tempat si ibu akan melahirkan itu steril
atau bebas dari kuman bakteri.

“Yang mungkin luput dari perhatian, bisakah Anda memastikan bahwa saat melahirkan tidak
ada kotoran dalam tubuh yang keluar dikala si ibu menekan tubuh bagian dalam?”
ungkapnya.

Dr Ali melanjutkan, risiko kematian dari proses kelahiran ini juga masih ada. Ya, meskipun
misalnya 1:10, tapi tetap saja ada. “Dan, salah satu risiko kematian itu adalah bayi
tenggelam karena terlambat dikeluarkan akibat ibunya mungkin sudah tidak kuat lagi atau
saat si bayi tidak bisa bernapas dengan baik di dalam air,” sambungnya.

Sementara itu, untuk lotus birth¸di Indonesia sendiri teknik ini banyak dilakukan di Papua.
“Orang di sana lahirannya memang sangat alami. Bahkan, mereka bisa lahiran sambal
jongkok dan bayinya keluar begitu saja. Terkait plasenta yang tidak diputus setelah
dilahirkan, apakah Anda bisa menjamin itu tidak terkontaminasi kuman bakteri? Tidak ada
yang bisa memastikan itu,” paparnya.

(hel)

Você também pode gostar