Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Luthfi Assyaukanie
Sebelum William James (1842-1910) menuliskan bukunya yang terkenal, The Varieties of Religious Experience,
pengalaman personal keagamaan seseorang tak pernah dianggap sebagai argumen penting pembuktian adanya Tuhan.
Para filsuf sejak Aristoteles hingga Immanuel Kant lebih sering menggunakan argumen-argumen rasional dalam
membuktikan keberadaan Tuhan.
Ada tiga argumen penting yang mendominasi wacana filsafat tentang keberadaan Tuhan, yakni argument kosmologi,
argumen ontologi, dan argumen teleologi.Argumen kosmologi menyatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada
sebabnya. Alam raya pasti memiliki sebab akan keberadaannya, dan sebab itu adalah Tuhan. Argumen ontologi
berangkat dari pandangan bahwa Tuhan adalah zat yang sempurna, dan salah satu sifat kesempurnaan adalah ada,
dengan demikian Tuhan ada. Argumen teleologi berangkat dari penelusuran
manusia terhadap keteraturan di dunia. Jika ditelusuri terus, keteraturan mestilah bersumber pada sesuatu (zat) yang
membuatnya menjadi demikian, sesuatu (zat) itu adalah Tuhan. Argumen pengalaman keagamaan hampir tak pernah
disebut di antara daftar argumen yang jumlahnya begitu banyak itu. Hal itu karena pengalaman keagamaan dianggap
sebagai pengalaman subyektif yang tak bisa diverifikasi secara logis dan rasional. Di masa silam, khususnya pada abad
pertengahan, argumen yang mendominasi wacana filsafat agama adalah argumen rasional yang sepenuhnya berpijak
pada analisis logis. Argumen kosmologi, misalnya, berangkat dari penalaran logika murni terhadap hukum sebab-akibat.
Segala sesuatu ada karena ada yang menciptakan; alam raya ada karena ia diciptakan; dan pencipta itu adalah Tuhan.
Argumen-argumen rasional tentang keberadaan Tuhan mendapatkan kritik dan dukungan dari para filsuf. Hingga kini
tak ada sebuah penjelasan yang benar-benar meyakinkan yang dapat secara konklusif mendukung atau meruntuhkan
argumen-argumen semacam itu. Setiap ada filsuf yang mencoba mencari penjelasan baru untuk mendukung argumen
tersebut, selalu ada filsuf lain yang mengkritiknya. Dan tampaknya akan selalu begitu ad infinitum.
Di pihak lain, argumen empiris tentang keberadaan Tuhan yang lebih dikenal dengan ”pengalaman keagamaan” tak
banyak menarik perhatian para filsuf karena argumen semacam itu lebih banyak dijumpai di kalangan awam. Argumen
itu dianggap tak semena-mena karena berangkat dari pengalaman subyektifitas seseorang. Pengalaman subyektif adalah
sesuatu yang tak bisa diverifikasi dan karenanya tak bisa dijadikan landasan untuk membangun sebuah pengetahuan
yang obyektif.. Seseorang yang mengatakan ”saya yakin Tuhan ada karena saya merasakannya” tak memiliki nilai
kebenaran logis. Pertama karena pernyataan itu bersifat sirkular, yakni konklusi dari pernyataan itu telah termuat dalam
premisnya. Pernyataan ini sama saja dengan seseorang yang mengatakan: ”Tuhan ada karena Al Quran mengatakan
demikian, dan Al Quran benar karena Tuhan menjamin akan kebenarannya”. Argumen-argumen semacam ini tak
memiliki kegunaan dalam membangun kebenaran filosofis.
Bahkan ketika seseorang pendukung argumen ”pengalaman keagamaan” mengatakan, misalnya, ”ini bukan
pengalaman saya sendiri, tapi ada jutaan umat manusia di dunia ini memiliki pengalaman serupa dengan saya”, secara
logis pernyataan ini tak banyak membantu karena ujung-ujungnya merupakan argumen tentang keberadaan manusia dan
bukan Tuhan: ia berbicara tentang jumlah manusia yang banyak itu dan bukan mengungkapkan keberadaan Tuhan.
Dengan kata lain, argumen itu adalah tentang ”keyakinan” dan bukan ”keberadaan”. Kebenaran bukanlah sesuatu yang
diukur berdasarkan banyak-sedikitnya orang: kita tak bisa mem-voting kebenaran.Alasan lain dari lemahnya argumen
itu adalah bahwa pengalaman personal keagamaan sangat bergantung pada unsur sosial-budaya yang memengaruhi
kehidupan seseorang. Seorang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat misalnya tak mungkin memiliki
pengalaman keagamaan yang berbeda atau apalagi bertolak belakang dari apa yang tumbuh dalam dirinya. Misalnya,
hampir mustahil bahwa ia memiliki pengalaman tentang Yesus atau Sidharta yang datang kepadanya. Kerap kali yang
menjadi pengalaman keagamaannya adalah imajinasi-imajinasi yang dibentuk berdasarkan lingkungan sosial-
budayanya.Begitu juga seorang pemeluk Kristen, hampir mustahil memiliki pengalaman keberagamaan yang
melibatkan Tuhan di luar konsep ketuhanan yang dimilikinya. Dengan kata lain, pengalaman keberagamaan seseorang
adalah bentukan dari lingkungan di mana dia hidup. William James bukan tak mengetahui akan kritik-kritik tajam
terhadap argumen ”pengalaman keagamaan” seperti di atas. Dia sepenuhnya memahami bahwa argumen-argumen itu
cukup valid. Karenanya, James tak tertarik membela diri. Baginya, baik argumen rasional maupun argumen empiris
tentang keberadaan Tuhan sama problematisnya. Kedua-duanya tak kebal terhadap kritik. Kendati demikian, James
menganggap bahwa pengalaman keagamaan adalah sesuatu yang orisinal, sesuatu yang alami, yang tumbuh dalam diri
manusia.
Dengan pernyataan itu, James tidak hendak menegaskan argumen keberadaan Tuhan karena baginya pertanyaan yang
terpenting bukanlah ”apakah Tuhan ada?”, tapi ”apakah saya beriman pada Tuhan?” Kita meyakini Tuhan bukan karena
secara rasional atau empiris ia bisa dibuktikan, tapi karena kita merasakan keberadaannya. Problem manusia berhadapan
dengan Tuhan bukanlah problem ontologis, tapi problem epistemologis.
Pandangan James tentang keterbatasan akal pikiran dalam membuktikan keberadaan Tuhan tentu saja dipengaruhi
sangat kuat oleh Immanuel Kant, filsuf Jerman yang menguraikan hubungan agama dan akal dalam traktatnya yang
terkenal, Religion Within the Limits of Reason Alone. Dalam karya ini yang juga dijelaskannya dalam dua karya
pentingnya yang lain, The Critique of Pure Reason dan Prolegomena to Any Future Metaphysics, Kant menutup seluruh
diskusi tentang keberadaan Tuhan dengan menyatakan bahwa akal pikiran manusia punya keterbatasan.
Akal manusia tidak mungkin sampai pada pengetahuan fundamental tentang struktur realitas (pengetahuan
metafisika). Hal ini karena manusia tak dapat mengetahui sesuatu di luar pengalaman sensorisnya. Kant
memperkenalkan dua istilah yang sangat terkenal, yakni phenomena dan noumena. Phenomena adalah segala sesuatu
yang tampak dan bisa kita persepsi dengan indera kita; noumena adalah realitas yang tak bisa dipersepsi. Dalam bahasa
Jerman, ia disebut ding an sich atau sesuatu dalam dirinya sendiri. Noumena adalah realitas yang tak diketahui, tak bisa
digambarkan, dan tak bisa dicapai. Pengetahuan kita tentang Tuhan dan persoalan-persoalan metafisika lainnya masuk
ke dalam wilayah noumena yang tak tersentuh itu. (Kant, Critique of Pure Reason, 1982: 266). Ulasan James yang
begitu meyakinkan tentang pengalaman keberagamaan banyak dipakai, baik oleh penentang maupun pendukungnya.
Kaum ateis dan penentang argumen keberadaan Tuhan misalnya menganggap penemuan James sebagai bukti bahwa
agama bukanlah sebuah sistem kebenaran yang datang dari luar diri manusia (dari Tuhan), tapi merupakan implikasi
dari pengalaman psikologisnya. (Michael Martin, Atheism, Morality, and Meaning, 2002). Sementara bagi kaum
beriman, temuan James dijadikan landasan untuk memperkaya argumen keberadaan Tuhan. Pandangan James tentang
potensi jiwa manusia untuk selalu memiliki pengalaman keberagamaan dijadikan landasan untuk mendukung
pandangan kaum agamawan tentang konsep ”fitrah” (kesucian alami) dan kerinduan manusia akan Tuhan.
Salah satu penulis yang menggunakan argumen James untuk membuktikan adanya Tuhan adalah Richard Swinburne
(lahir: 1934), filsuf Kristen lulusan Universitas Oxford. Swinburne banyak menulis buku penting dan disebut-sebut
sebagai orang yang turut mengubah paradigma studi agama-agama. Dia menulis banyak buku, tapi triloginya—The
Coherence of Theism, The Existence of God, dan Faith and Reason—serta sebuah buku yang ia tulis belakangan, Is
There A God? dianggap sebagai karya terpentingnya. Dalam keempat karya inilah Swinburne banyak mendiskusikan
pengalaman keagamaan sebagai argumen tentang keberadaan Tuhan.
Salah satu teori yang dikembangkan Swinburne menyangkut argumen pengalaman keagamaan adalah ”prinsip
kepercayaan” (principle of credulity). Prinsip ini mengatakan bahwa jika kita meyakini bahwa sesuatu itu ada, maka
sesuatu itu harus dianggap ada. Umumnya, kata Swinburne, masuk akal memercayai dunia sebagai sebuah
kemungkinan tempat kita merasakan keberadaannya. Kecuali kita punya alasan yang sangat khusus mempertanyakan
pengalaman keberagamaan seseorang, maka kita harus menerima bahwa secara prima facie, hal itu merupakan bukti
akan keberadaan Tuhan. (Swinburne, The Existence of God, 1994: 303-310).
Bagi Swinburne, penuturan seseorang akan pengalaman pribadinya haruslah disikapi secara nyata (veridical) karena
pengalaman sebagai sesuatu yang empiris tak hanya mencakup konsep ”keimanan” tapi juga konsep tentang
”keberadaan.” Jika seseorang memproklamasikan diri akan pengalamannya, maka ia tak hanya menceritakan
keyakinannya akan pengalaman itu, tapi juga sedang menceritakan tentang sesuatu yang ada.
Seperti saya katakan di atas, tak ada argumen tentang keberadaan Tuhan yang secara konklusif bisa diterima atau
ditolak. Argumen Swinburne juga tak kebal dari kritik. Puluhan artikel dan buku ditulis untuk mengkritik kelemahan-
kelemahan argumen filsuf Inggris itu. Salah seorang yang banyak melakukan kritik terhadap Swinburne adalah Michael
Martin, guru besar filsafat asal Universitas Boston. Martin dikenal sebagai pembela setia ateisme dan menolak seluruh
argumen tentang keberadaan Tuhan.
Dalam karya pentingnya, Atheism: A Philosophical Justification (1990: 169-174), Martin menolak prinsip
kepercayaan yang digagas Swinburne. Baginya, prinsip ini bisa digunakan untuk membuktikan argumen terbalik.
Misalnya, dengan menggunakan prinsip itu, seseorang ateis yang memiliki pengalaman personal tentang absennya
Tuhan dapat berargumen bahwa pengalaman pribadinya adalah sesuatu yang nyata dan harus dianggap demikian.
Argumen Martin ini disanggah oleh Swinsburne sendiri dalam edisi revisi bukunya, The Existence of God. Namun,
seperti pada perdebatan-perdebatan rasional tentang keberadaan Tuhan, ia tak berhenti sampai di situ. Ada sarjana-
sarjana lain yang mengomentari dan menolak rejoinder Swinburne, dan tampaknya akan selalu begitu ad infinitum.
Psikologi iman
Argumen empiris tentang keberadaan Tuhan (lebih tepatnya persepsi tentang keberadaan Tuhan) ketika ia
ditransformasikan menjadi argumen rasional, seperti yang dilakukan Swinburne, kembali menjadi ajang perdebatan.
Selama akal pikiran diberikan ruang untuk mendiskusikan hal-hal yang noumena, maka tak ada kata akhir untuk
menyudahi perdebatan semacam itu.
Karena itu, para psikolog besar seperti William James dan juga Sigmund Freud (1856-1939) tidak pernah tertarik
dengan perdebatan spekulatif semacam itu. Mereka lebih suka menjelaskan fenomena keagamaan apa adanya, seperti
yang mereka lihat (yang kemudian banyak memunculkan studi fenomenologis terhadap agama-agama). Freud,
misalnya, mengkaji fenomena agama sebagai perilaku kejiwaan manusia. Dalam tiga karya pentingnya, Totem and
Taboo, The Future of an Illusion, dan Moses and Monotheism, psikolog raksasa ini menyikapi agama dan fenomena
keagamaan sebagai sebuah gejala nurosis dalam diri manusia.
Freud memiliki banyak teori tentang agama dan fenomena keagamaan. Lebih dari separuh hidupnya ia dedikasikan
untuk meneliti tentang masalah ini. Tak hanya mengamati ritus dan kegiatan keagamaan berbagai kelompok agama,
Freud juga rajin mengumpulkan barang-barang dan pernik yang kerap digunakan dan diagungkan para pemeluk agama,
dari patung, lukisan, salib, hingga tasbih. Dengan mengamati seluruh fenomena keagamaan ini, Freud menyimpulkan
bahwa agama adalah respons manusia terhadap situasi ketakberdayaan mereka dalam menghadapi dunia yang tak dapat
mereka kontrol.
Bencana alam seperti gempa, gunung meletus, ombak besar (tsunami), hingga kematian massal adalah fenomena
kekejaman alam di mana manusia tak berdaya menghadapinya. Seperti anak kecil yang mengharapkan perlindungan
dari orangtuanya, menghadapi situasi semacam ini, manusia, kata Freud, juga berharap akan figur orangtua (bapak)
yang bisa melindunginya. Ia menyebutnya sebagai nurosis masa kecil. (Freud, The Future of an Illusion, 1953: 75).
Seluruh pengalaman keagamaan manusia, menurut Freud, adalah refleksi terhadap ketakutan yang berlebihan. Pada
tingkatnya yang intens, obsesi ini memunculkan kreativitas manusia untuk menciptakan figur ”bapak spiritual”
(heavenly father) yang selalu diharapkan bisa menjadi pelindungnya. Dalam paradigma Kristen, bapak spiritual ini
disebut Yesus atau Tuhan. Bagi Freud, konsep akhirat (kehidupan setelah mati), juga merupakan implikasi dari faktor
ketakutan yang obsesif. Ia bisa dipahami sebagai konsep yang berfungsi untuk mengurangi ketakutan manusia terhadap
kematian. Jika ada kehidupan setelah mati, mengapa kita mesti takut mati?
James berangkat dari asumsi yang sama dengan Freud dalam memahami fenomena keagamaan manusia. Hanya saja,
berbeda dengan Freud, James melihat gejala kejiwaan agama manusia secara positif. Baginya, pengalaman keagamaan
adalah sesuatu yang unik dan merupakan kondisi alami bagi manusia yang normal. ”Seluruh manusia yang normal,”
tulis James, ”pasti memiliki pengalaman keagamaan.” Begitu seringnya pengalaman keagamaan pada diri manusia,
James mengusulkan agar fenomena ini disikapi sebagai sesuatu kenyataan yang real.
Baginya, tidak penting apakah sebuah agama harus memiliki nama atau institusi karena yang terpenting adalah
”perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman setiap individu manusia dalam kesendiriannya,
khususnya ketika dia memahami dirinya berhadapan dengan apa saja yang dia anggap agung”. (James, The Varieties of
Religious Experience, 1929: 31-32). Dengan kata lain, identitas formal agama-agama seperti Kristen, Islam, Hindu, dan
Buddha tidaklah penting. Pengalaman-pengalaman spiritual setiap pemeluk agama, bagi James, lebih penting dan
bermakna ketimbang pendakuan-pendakuan mereka tentang identitas formal yang mereka miliki.
Dengan sikap seperti itu, James tak terlalu peduli dengan konsep-konsep keagamaan yang dikembangkan dalam
wacana filsafat dan teologi seperti Tuhan, nabi, kitab suci, wahyu, dan lainnya. Ia misalnya tak terlalu menganggap
penting apakah keyakinan kita kepada Tuhan harus didasari pengetahuan kita akan keberadaan-Nya. Baginya, akal dan
iman adalah dua hal terpisah yang tak mesti punya korelasi.