Você está na página 1de 12

1

1. Pengertian Manajemen Laba

Manajemen laba sebagai bentuk dari manipulasi laporan keuangan, hingga saat ini
belum mempunyai batasan mengenai definisi dari manajemen laba. Berikut pendapat
beberapa ahli mengenai definisi manajemen laba. Menurut Davidson, Stickney dan Weil
dalam Sulistyanto (2008), manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah
tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi yang diterima umum untuk
menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.
Schipper dalam Widodo Lo (2005) mendefinisikan manajemen laba sebagai intervensi
atau campur tangan dengan maksud tertentu terhadap proses penyusunan pelaporan keuangan
eksternal dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Definisi tersebut
mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk
memaksimumkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih
metode atau kebijakan akuntansi tertentu untuk menaikkan laba atau menurunkan laba.
Manajer dapat menaikkan laba dengan menggeser laba periode-periode yang akan datang ke
periode kini dan manajer dapat menurunkan laba dengan menggeser laba periode kini ke
periode-periodeberikutnya.
National Association of Certified Fraud Examimers dalam Sulistyanto (2008),
mendefinisikan manajemen laba sebagai kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam
membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga menyesatkan ketika
semua informasi itu dipakai untuk membuat pertimbangan yang akhirnya akan menyebabkan
orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya.
Fisher dan Rosenzweig dalam Sulistyant (2008), menyebutkan bahwa manajemen
laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan
dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan)
keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.
Lewitt dalam Sulistyanto (2008), menyatakan bahwa manajemen laba adalah
fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan diri dengan inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba
ketika publik memanfaatkan hasilnya. Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan
sesungguhnya. Itu semua dilakukan untuk menutupi konsekuensi dari keputusan- keputusan
manajer.
Sementara itu Healy dan Wahlen dalam Sulistyanto (2008), mengatakan bahwa
manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan
keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan

2
stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk
mempengaruhi hasil kotrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen laba merupakan
permainan manajerial untuk memanipulasi laporan keuangan dengan mengatur besar kecilnya
laba perusahaan demi kepentingan pribadi. Sementara itu Davin (2005) menyebutkan bahwa
terdapat tujuh permainan manajerial untuk memanipulasi laporan keuangan yaitu dengan
jalan mencatat pendapatan terlalu cepat, mencatat pendapatan palsu, mengakui pendapatan
lebih cepat satu periode, mengakui biaya periode berjalan menjadi biaya periode sebelum
atau sesudahnya, tidak mengungkapkan semua kewajibannya, mengakui pendapatan periode
berjalan menjadi pendapatan periode sebelumnya dan mengakui pendapatan masa depan
menjadi pendapatan periode berjalan

2. Faktor-Faktor Pendorong Manajemen Laba

Dalam Positif Accounting Theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi


terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
a. Bonus Plan Hypothesis
Yang didasarkan adanya dorongan manajer perusahaan untuk mendapatkan bonus
berdasarkan laba yang dilaporkan oleh manajer. Motivasi bonus tersebut mendorong
manajer untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode yang
akan datang ke periode saat ini (Scott, 2000). Penelitian terkait dengan motivasi bonus
menyatakan bahwa manajer berusaha memanipulasi laba untuk memaksimalkan nilai
sekarang dari pembayaran bonus (Holthausen, 1995).
b. Debt Covenant Hypothesis
Motivasi debt covenant disebabkan oleh munculnya perjanjian kontrak antara
manajer dan perusahaan yang berbasis kompensasi manajerial. Penelitian terkait
dengan hipotesis perjanjian utang dilakukan oleh Defond dan Jiambalvo (1994).
c. Political Cost Hypothesis
Motivasi politik timbul karena manajemen memanfaatkan kelemahan akuntansi
yang menggunakan estimasi akrual serta pemilihan metode akuntansi dalam rangka
menghadapi berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Penelitian terkait dengan
hipotesis biaya politik dilakukan Cahan (1992) dan Saputro (2004).

3. Teknik Manajemen Laba

Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam
Rahmawati dkk. (2006) dapat dilakukan dengan tiga teknik, yaitu :

3
a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi
Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgement (perkiraan) terhadap estimasi
akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu
depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan
lain-lain.
b. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, Contoh:
merubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode
depresiasi garis lurus.
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan

Contohnya yaitu rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau
menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi
berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya,
mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan
aktiva tetap yang sudah tak dipakai.

4. Kondisi Untuk Praktik Manajemen Laba

Trueman dan Titman (1988) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa hanya
manajer yang dapat mengobservasi laba ekonomi perusahaan untuk setiap periode.
Sebaliknya, pihak lain mungkin dapat menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi
dari laba yang dilaporkan oleh perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh manajer.
Dalam menyiapkan laporan mungkin manajer dapat memindah, antarperiode, pada saat
sebagian laba ekonomi diketahui sebagai laba akuntansi dalam laporan keuangan.
Perpindahan tersebut dapat dicapai, sebagai contoh, melalui pengakuan biaya pensiun,
penyesuaian penaksiran umur ekonomis, dan penyesuaian penghapusan piutang. Jika manajer
tidak dapat memindah laba antarperioda maka laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan
sama dengan laba ekonomi perusahaan pada setiap perioda. Fleksibilitas untuk menunda laba
antarperioda hanya tersedia bagi beberapa perusahaan, dan hanya manajer yang mengetahui
apakah mereka mempunyai fleksibilitas tersebut atau tidak.

5. Model Empiris Manajemen Laba


Sulistyanto (2008) menyebutkan secara umum terdapat tiga kelompok model empiris
manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan yaitu
model yang berbasis akrual agregat (aggregate accruals), akrual khusus (specific accruals)
dan distribusi laba (distribution of earnings).

4
1. Model berbasis akrual agregat (aggregate accruals) merupakan model yang digunakan
untuk mendeteksi aktivitas rekayasa dengan menggunakan discretionary accruals sebagai
proksi manajemen laba. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Healy, DeAngelo dan
Jones. Selanjutnya Dechow, Sloan dan Sweeney mengembangkan model Jones menjadi
model yang dimodifikasi (modified Jones Model). Model ini menggunakan total akrual
dan model regresi untuk menghitung akrual yang diharapkan (expected accruals) dan
akrual yang tidak diharapkan (unexpected accruals).
Model Angelo dikembangkan dengan menggunakan perubahan dalam total akrual
(change in total accruals) sebagai proksi manajemen laba. Model Jones dimodifikasi
(Modified Jones Model) menggunakan sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan
dan property, plant and equipment, dimana pendapatan disesuaikan dengan perubahan
piutang yang terjadi pada periode bersangkutan.

2. Model akrual khusus (specific accruals), yaitu pendekatan yang menghitung akrual
sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item atau komponen laporan
keuangan tertentu dari industri tertentu. Misalnya piutang tak tertagih dari sektor industri
tertentu atau cadangan kerugian piutang dari industri asuransi.
Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel,
Beaver dan McNichols. McNichols dan Wilson mengembangka model yang menggunakan
sisa provisi untuk piutang tak tertagih, yang diestimasi sebagai sisa regresi provisi untuk
piutang tak tertagih pada saldo awal, serta penghapusan piutang periode berjalan dan
periode yang akan datang sebagai proksi manajemen laba. Petroni menggunakan klaim
terhadap estimasi cadanga kesalahan yang diukur selama lima tahun perkembangan
cadangan kerugian penjaminan kerusakan property sebagai proksi manajemen laba.
Model Beaver dan Engel menggunakan biaya yang tersisa dari kerugian pinjaman,
yang diestimasi sebagai sisa regresi biaya dari kerugian pinjaman pada charge-of bersih,
pinjaman yang beredar, aktiva yang tidak bermanfaat dan melebihi satu tahun perubahan
aktiva tidak bermanfaat sebagai proksi manajemen laba.

3. Model distribusi laba (distribution of earnings). Pendekatan ini dikembangkan dengan


melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk
mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba. Model ini terfokus pada
pergerakan laba disekitar benchmack yang dipakai, misalkan laba kuartal sebelumnya.
Untuk menguji apakah incidence jumlah yang berada di atas maupun di bawah bencmark
telah didistribusikan secara merata atau merefleksikan ketidak berlanjutan kewajiban
untuk menjalankan kebijakan yang telah dibuat.

5
Model ini dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev, Degeorge, Patel dan
Zeckhauser serta Myers dan Skinners. Model Burgtahler dan Dichev merupakan model
yang menguji apakah frekuensi realisasi laba tahunan yang merupakan bagian atas
(bawah) laba yang besarnya nol dan laba akhir tahun adalah lebih besar (kecil) daripada
yang diharapkan untuk mendeteksi manajemen laba.
6. Studi Kasus Manajemen Laba

Judul : Pengaruh Manajemen Laba terhadap Stock Return dengan Kualitas Audit dan
Efektivitas Komite Audit sebagai Variabel Moderasi

Dalam membuat keputusan untuk berinves-tasi seorang investor membutuhkan


informasi yang akurat dan berkualitas untuk dapat melakukan analisis investasi saham di
pasar modal, dan salah satu sumber informasi yang digunakan untuk melakukan analisis
investasi adalah laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Dalam menyusun
laporan keuangan, Standar Akuntansi Keuangan menyatakan bahwa mana jemen dapat
memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi yang sesuai dengan standar yang berlaku.
Standar akuntansi yang ditetapkan berdasarkan prinsip (principle based) membuat
manajemen dapat menggunakan penilaiannya sendiri dalam menentukan perlakuan akuntansi
atas suatu kejadian ekonomi. Perbedaan antara peraturan atau standar yang berlaku dengan
praktiknya sering terjadi di dalam perusahaan, perbedaan ini digunakan untuk memodifikasi
laporan keuangan, sehingga laporan keuangan dapat menyajikan laba sesuai dengan
keinginan dari manajemen perusahaan. Tindakan memodifikasi laporan keuangan sehingga
sesuai dengan ke-inginan dari manajemen dikenal sebagai earnings management.

Kasus earnings management bukanlah per-masalahan baru dalam dunia bisnis.


Beberapa kasus besar earnings management telah banyak terjadi misalnya kasus Enron pada
tahun 2001 dan kasus Worldcom pada tahun 2002. Di Indonesia kasus earnings management
juga bukan merupakan hal baru, beberapa kasus earnings management telah terjadi misalnya
saja kasus Kimia Farma pada tahun 2002 dan Great River Garment pada tahun 2003. Dengan
terungkapnya banyak kasus earnings management (manajemen laba) yang dilakukan oleh
perusahaan, membuat para pembuat kebijakan semakin memperketat peraturan atau
kebijakan yang ada untuk melin-dungi para pengguna laporan keuangan.

Manajemen laba sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan pemilihan kebijakan


akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan pelaporan earn-ings tertentu (Scott 2011). Praktik
manajemen laba memiliki dua sifat utama, yaitu bersifat efisien dan oportunistik. Manajemen

6
laba yang bersifat efisien akan meningkatkan kualitas informasi keuangan yang diterbitkan
perusahaan sedangkan manajemen laba yang bersifat oportunistik akan dapat merugikan para
pengguna laporan keuangan karena membuat laporan ke-uangan tidak menggambarkan
kondisi sebenarnya (Scott 2011). Manajemen laba yang bersifat oportunistik berkaitan erat
dengan permasalahan keagenan (agency problem). Beberapa motivasi di-lakukannya
manajemen laba adalah untuk memaksimalkan bonus, memenuhi persyaratan kon-trak utang,
dan motivasi politik (Watts and Zimmerman 1986). Motivasi lainnya adalah untuk
menghindari pajak dan mempengaruhi kinerja saham dalam jangka pendek (Scott 2011).

Manajemen laba sering kali dianggap sebagai tindakan akuntansi negatif oleh banyak
pihak karena pada umumnya manajemen laba menyebabkan tampilan informasi laporan
keuangan tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Manajemen laba selalu identik
dengan perilaku opportunistic, dimana dalam hal ini pihak manajemen bertindak untuk
kepentingan pribadinya. Salah satunya adalah tindakan manajemen laba telah memunculkan
kasus skandal pelaporan akuntansi yaitu kasus PT Kimia Farma Tbk.
PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF), merupakan salah satu produsen obat-obatan milik
pemerintah di Indonesia. Tujuan perusahaan sebagai badan usaha tidak berbeda dengan badan
usaha lainnya, yaitu mencari laba sebesar-besarnya. Pelaporan keuangan pada tanggal 31
Desember 2001, menunjukkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan
keuangan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementrian
BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur
manajemen. Setelah dilakukan audit ulang, pada tanggal 3 Oktober 2002 laporan keuangan
PT. KAEF tahun 2001 disajikan kembali (restated).
Hal ini disebabkan telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan
keuangan restated, laba yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah
sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul
dari:
a. Kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT KAEF. Sehingga dampak kesalahan
tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31
Desember 2001 sebesar Rp 32,6 miliar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7%
dari laba bersih PT KAEF.
b. Kesalahan tersebut terdapat pada unit-unit sebagai berikut:
1. Unit Industri Bahan Baku: Kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7
Miliar.

7
2. Unit Logistik Sentral: Kesalahan berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9
Miliar.
3. Unit Pedagang Besar Farmasi (PBF): Kesalahan berupa overstated persediaan barang
sebesar Rp 8,1 Miliar dan Kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 10,7
Miliar.
c. Bahwa kesalahan penyajian tersebut, dilakukan oleh Direksi periode 1998 - Juni 2002
dengan cara:
1. Membuat 2 (dua) daftar harga persediaan (master prices) yang berbeda masing-
masing diterbitkan pada tanggal 1 Pebruari 2002 dan 3 Pebruari 2002, dimana
keduanya merupakan master prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang
yaitu Direktur Produksi PT KAEF. Master prices per 3 Pebruari 2002 merupakan
master prices yang telah disesuaikan nilainya (penggelembungan) dan dijadikan dasar
sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT KAEF per 31 Desember
2001.
2. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit Bahan Baku.
Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh
Akuntan.
Pembahasan:

Motivasi PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF) yang sangat besar untuk memenuhi
(meraih) target laba yang telah ditetapkan menyebabkan PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF)
mengabaikan(tidak memperdulikan) praktek bisnis yang baik dan jujur. Akibat dari hal
tersebut adalah akan terjadi penurunan kualitas laba dan pelaporan keuangan di PT Kimia
Farma Tbk. (PT KAEF). Manajemen laba yang terjadi di PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF)
ini tidak hanya berkaitan dengan motivasi individu manajer, tetapi bisa juga untuk
kepentingan perusahaan tersebut.
Manajemen laba yang dilakukan oleh manajer atau penyusun laporan keuangan di PT
Kimia Farma Tbk. (PT KAEF) dikarenakan mereka menginginkan suatu manfaat dari
tindakan yang mereka lakukan tersebut. Manajemen laba dapat menggambarkan tentang
perilaku seorang manajer dalam melaporkan kegiatan usaha pada suatu periode tertentu, yaitu
adanya kemungkinan motivasi tertentu yang mendorong para manajer untuk memanajemen
data-data keuangan. Manajemen laba semacam ini memiliki dampak negatif terhadap kualitas
laba karena dapat mendistorsi informasi yang terdapat dalam laporan laba rugi. Perlu dicatat
bahwa manajemen laba juga tidak selalu dikaitkan dengan upaya memanipulasi data atau
informasi akuntansi, tetapi cenderung dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang

8
diperkenankan menurut standar akuntansi. Istilah manajemen laba menarik perhatian karena
sering dihubungkan dengan perilaku manajer atau pembuat laporan keuangan. Tampak bahwa
manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat perolehan laba (earnings) atau kinerja di
PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF). Hal tersebut karena tingkat laba yang diperoleh sangat
berkaitkan dengan kinerja manajemen. Manajer sering kali berprilaku seiring dengan reward
yang akan diperoleh. Jika reward yang akan diperoleh tergantung pada laba yang dihasilkan,
maka manajer akan melakukan manajemen akuntansi dengan meningkatkan laba. Manajemen
tersebut diatur sedemikain rupa sehingga tidak melanggar prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Karena jumlah reward yang akan diterima oleh manajer tergantung dari besar
kecilnya laba yang diperoleh, maka tidaklah mengherankan bila manajer sering kali berusaha
menonjolkan prestasi melalui tingkat laba yang dicapai.
Manajemen laba telah dikenal dampaknya negatif, dan akuntan adalah pihak yang
paling berperan untuk mengatasi praktik di dunia bisnis. Manajemen laba mungkin
merupakan permasalahan moral yang paling penting bagi profesi akuntan. Healy (1999)
menjelaskan lebih lanjut bahwa manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan
kreativitasnya dalam penyusunan laporan keuangan dan mengatur transaksi untuk mengubah
laporan keuangan dengan tujuan memberi kesan tertentu atau mempengaruhi tindakan para
pemangku kepentingan yang bergantung pada laporan keuangan tersebut. Healy beranggapan
bahwa manajer akan memilih prosedur akuntansi yang meningkatkan laba dalam upaya untuk
memaksimalkan imbalan reward.
Akuntan PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF) melakukan praktek earning management
melalui manipulasi berbagai prosedur akuntansi di bagian persediaan, produksi, penjualan,
keuangan dan metode akuntansinya, serta mengeksplorasi unsur pembentuk laba melalui
pengakuan transaksi, penilaian accounts, pengukuran accounts, serta penyajian dan pelaporan
accounts dalam laporan keuangan. Perlakuan akuntansi dilakukan treatment dalam rangka
pencapaian target laba yang diinginkan oleh semua pihak, yaitu stakeholder.
Solusi:
Seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak
yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan
keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan,
selambat-lambamya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke
Bapepam. Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat
dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib
melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal.

9
Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk.
dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor
mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan
publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan
keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa
(HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan
laporan fiktif atau tidak.
Berkaitan dengan sikap Skeptisme Profesional seorang auditor, sehingga jika akuntan
publik tersebut tidak menerapkan sikap skeptisme profesional dengan seharusnya hingga
berakibat memungkinkannya tidak terdeteksinya salah saji dalam laporan keuangan yang
material yang pada akhirnya merugikan para investor.

Seorang auditor seharusnya professional, jujur dan lebih teliti dengan bidangnya
untuk menghindari kesalahan laporan keuangan yang diauditnya karena Bapepam sebagai
lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi
para akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam
kesalahan pencatatan laporan keuangan baik disengaja ataupun tidak disengaja.

KESIMPULAN

Manajemen laba merupakan permainan manajerial untuk memanipulasi laporan


keuangan dengan mengatur besar kecilnya laba perusahaan demi kepentingan pribadi. Dalam
Positif Accounting Theory terdapat tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya
manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu: (a)Bonus Plan Hypothesis, (b) Debt
Covenant Hypothesis, (c) Political Cost Hypothesis. Teknik dan pola manajemen laba
menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) dapat dilakukan dengan
tiga teknik, yaitu :

a. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi


b. Mengubah metode akuntansi
c. Menggeser periode biaya atau pendapatan

10
Sulistyanto (2008) menyebutkan secara umum terdapat tiga kelompok model empiris
manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang digunakan yaitu
model yang berbasis akrual agregat (aggregate accruals), akrual khusus (specific accruals)
dan distribusi laba (distribution of earnings).

Dalam jurnal yang berjudul “Pengaruh Manajemen Laba terhadap Stock Return
dengan Kualitas Audit dan Efektivitas Komite Audit sebagai Variabel Moderasi” membahas
tentang PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF), merupakan salah satu produsen obat-obatan milik
pemerintah di Indonesia. Pelaporan keuangan pada tanggal 31 Desember 2001, menunjukkan
adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan keuangan tersebut di audit oleh Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementrian BUMN dan Bapepam menilai bahwa
laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur manajemen. Setelah dilakukan audit
ulang, pada tanggal 3 Oktober 2002 laporan keuangan PT. KAEF tahun 2001 disajikan
kembali (restated).
Motivasi PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF) yang sangat besar untuk memenuhi
(meraih) target laba yang telah ditetapkan menyebabkan PT Kimia Farma Tbk. (PT KAEF)
mengabaikan(tidak memperdulikan) praktek bisnis yang baik dan jujur. Akibat dari hal
tersebut adalah akan terjadi penurunan kualitas laba dan pelaporan keuangan di PT Kimia
Farma Tbk. (PT KAEF).

DAFTAR PUSTAKA

Assih, Prihat. 2004. "Pengaruh Set Kesempatan Investasi terhadap Hubungan Antara
Faktor-faktor Motivasional dan Tingkat Manajemen Laba". Disertasi. Gadjah Mada
University, Yogyakarta. Indonesia

Firdaus, M. 2007. Manajemen Agribisnis. Edisi Pertama. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara

Rahmawati, dkk. 2006. Pengaruh Asimetri Informasi terhadap Praktik Manajemen Laba
pada Perusahaan Perbankan Publik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta, Simposium
Nasional Akuntansi IX

11
Watts, R, L., and Zimmerman, J, L. 1990, “Positive Accounting Theory: A Ten Year
Perspective”. The Accounting Review, 60 (1): 131-156.

Wiwik Utami, 2005, “Pengaruh Manajemen Laba Terhadap Biaya Modal Ekuitas (Studi
Pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur)”, Simposium Nasional Akuntansi VIII

Sulistyanto, Sri. 2008. Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. PT. Grasindo. Jakarta.

http://ilmuakuntansi.web.id/motivasi-manajemen-laba/ (Diakses pada tanggal 25 November


2018)
http://nukepermatasari.blogspot.com/2015/01/kasus-manipulasi-laporan-keuangan-pt.html
(Diakses Pada Tanggal 25 November 2018)

http://jurnalakuntansi.petra.ac.id/index.php/aku/article/view/20021/19142 (Diakses Pada


Tanggal 25 November 2018)

12

Você também pode gostar