Você está na página 1de 31

Manajemen Bencana

Definisi/deskribsi
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan
kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana.
(UU 24/2007).
Manajemen bencana menurut (University of Wisconsin) sebagai serangkaian kegiatan yang
didesain untuk mengendalikan situasi bencana dan darurat dan untuk mempersiapkan kerangka untuk
membantu orang yang renta bencana untuk menghindari atau mengatasi dampak bencana tersebut
Manajemen bencana menurut (Universitas British Columbia) ialah proses pembentukan atau
penetapan tujuan bersama dan nilai bersama (common value) untuk mendorong pihak-pihak yang
terlibat (partisipan) untuk menyusun rencana dan menghadapi baik bencana potensial maupun akual.
Tujuan umum
Anggota memahami dan dapat menerapkan pada kasus-kasus yang terjadi daerah maupun nasional
Tujuan khusus

Tujuan Kognitif :

Menghasilkan anggota yang memahami konsep kebencanaan, penanggulangan bencana, dan


penanganan lapangan secara komprehensif dan sistematis bersarkan protap PTBMMKI

Tujuan Psikomotor

Menghasilkan anggota yang mampu menerapkan konsep kebencanaan, penanggulangan


bencana, dan penanganan lapangan secara komprehensif dan sistematis berdasarkan
protap PTBMMKI di lapangan

Tujuan Afektif

Menghasilkan anggota yang mampu untuk:


1. Menjadi tenaga medis yang siap, sigap, dan cermat dalam penanganan kebencanaan
2. Memperlihatkan sikap empati pada korban bencana
Pokok bahasan
1. Pengertian bencana
Bencana merupakan suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam, manusia dan/atau oleh keduanya yang mengakibatkan
korban penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan,
kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.
2. Konsep dan prinsip Penanggulangan bencana
Prinsip penanggulangan bencana :
a. Cepat dan tepat
b. Prioritas
c. Koordinasi dan keterpaduan
d. Berdaya guna dan berhasil guna
e. Transparansi dan akuntabilitas
f. Kemitraan
g. Pemberdayaan
h. Nondiskriminatif
3. Organisasi yang bergerak di bidang penanggulangan bencana
Organisasi yang bergerak dalam bidang penanggulangan bencana terdiri dari dua:
a. Organisasi Formal
Organisasi formal merupakan focal point lembaga pemerintah di tingkat pusat
dengan nama Badan Nasional Penanggulangn Bencana (BNPB). Pada tingkat
provinsi dan kota/kabupaten disebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD).
b. Organisasi nonformal
Organisasi nonformal berupa forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal
yang dibentuk untuk memperkuat penyelenggaran penanggulangan bencana di
Indonesia. Di tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional (Planas) yang terdiri
dari unsur masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi, media dan lembaga
internasional.

4. Manajemen kegawatdaruratan
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
sangat penting dan tiap menit berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa
menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate,
terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujuan untuk menghambat kematian
kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu
setelah trauma).
Gambar : Alur Penderita Gawat Darurat
Sumber :Yufla, Anna Syafitri et all, 2018
Menunjuk petugas RHA (Rapid Health Assessment) merupakan pertugas yang
menilai keadaan secara cepat dengan mengumpulkan data medis, epidmiologis, dan
kesling, mengnalisisnya seta menyimpulkannya, Gunanya untuk mengajukan permintaan
jumlah dan jenis bantuan ke instansi terkait. Menunjuk petugas pelaksanan kegiatan di
lapangan dengan lokasi kerja masing – masing :
a. Komando/komunikasi/logistik: biasanya pada satu lokasi

b. Ekstrikasi

c. Triase

d. Tindakan

e. Transportasi

Dalam situasi bencana sudah pasti akan timbul korban, dari yang ringan sampai yang
berat bahkan meninggal dunia. Kondisi tersebut masih ditambah dengan jumlah korban
yang seringkali melebihi kondisi sehari-hari. Keadaan tersebut akan mudah menimbulkan
kepanikan dan kekacauan dalam penanganan korban di rumah sakit. Pimpinan
bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk diatur dan
dikoordinasikan. Disinilah diperlukan pengorganisasian yang tepat dari semua unsur.

5. Alur komunikasi dan koordinasi penanggulangan bencana


5.1. Informasi saat Bencana
a. Bagian alur penyampaian informasi langsusng
Infromasi awal tentang krisis pada saat kejadian bencana dar lokasi bencana
langsung dikirim ke dinkes kab/kota atau provinsi, maupun PPK Setjen Depkes
dengan menggunakan saranan komunikasi yang paling memungkinkan pada saat
itu. Informasi dapat disampaikan oleh masyarakat, unit pelayanan kesehatan dan
lain – lain. Unit penerimaan informasi harus melakukan konfirmasi.

Gambar : Alur Penyampaian Informasi Langsung


Sumber :Yufla, Anna Syafitri et all, 2018
b. Alur penyampain informasi penilaian kebutuhan cepat secara berjenjang
Informasi penilaian kebutuhan cepat disampaikan secara berjenjang mulai dari
institusi kesehatan di lokasi bencana ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Provinsi, dari Provinsi ke Depkes
melalui PPK dan di laporkan ke Menteri Kesehatan. Alur informasi bisa dilihat
pada bagan berikut :
Gambar : Alur Penyampain Informasi Kesiapsiagaan Sumber Daya
Sumber : Yufla, Anna Syafitri et all, 2018
c. Alur penyampaian informasi perkembangan PK-AB
Informasi perkembangn disampaikan secara berjenjangan mulai dari
institusi kesehatan di lokasi bencana ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Provinsi, dari Provinsi ke
Depkes melalui PPK dan dilaporkan ke Menteri Kesehatan. Alur informasi
bisa dilihat pada bagan berikut :

Gambar: Alur penyampaian informasi perkembangan PK-AB


Sumber : Yufla, Anna Syafitri et all, 2018
Tingkat Puskesmas
 Menyampaikan infromasi pra bencana ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
 Menyampaikan informasi rujuka ke RS Kabupaten/Kota bila perlu.
 Menyampaikan informasi perkembangan bencana ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
Tingkat Kabupaten/Kota
 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyampaikan informasi awal
bencana ke Dinas Kesehatan Provinsi.
 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan penilaian kebutuhan
pelayanan di lokasi bencana.
 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyampaikan laporan hasil penilaian
kebutuhan pelayanan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan memberi respon
ke Puskesmas dan RS Kabupaten/Kota.
 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyampaikan informasi
perkembangan bencana ke Dinas Kesehatan Provinsi.
 RS Kabupaten/Kota menyampaikan informasi rujukan dan
perkembangannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan RS Provinsi
bila diperlukan.
Tingkat Provinsi
 Dinas Kesehatan Provinsi menyampaikan bahwa informasi awal
kejadian dan perkembangannya ke Depkes melalui PPK.
 Dinas Kesehatan Provinsi melakukan kajian terhadap laporan hasil
penilaian kebutuhan pelayanan yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
 Dinas Kesehatan Provinsi menyampaikan laporan hasil kajian ke
PPK dan memberi respon ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
RS Provinsi.
 RS Provinsi menyampaikan informasi rujukan dan
perkembangannya ke Dinas Kesehatan Provinsi dan RS Rujukan
Nasional bila diperlukan.
Tingkat Pusat
 PPK menyampaikan informasi awal kejadian, hasil kajian penilaian
kebutuhan pelayanan dan perkembangannya ke Sekretari Jendral Depkes,
Pejabat Eselon I dan Eselon II terkait serta tembusan ke Mentei
Kesehatan.
 PPK melakukan kajian terhadap laporan hasil penilaian kebtuhan
pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi.
 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional menyampaikan informasi rujukan
dan perkembangannya ke PPK bila dipelrukan.
 PPK berserta unit terkait di lingkungan Depkes merespons kebutuha
 Pelayanan kesehatan yang diperlukan.
5.2. Penyampaian
Informasi yang diperoleh dapat disampaikan dengan menggunakan :
a. Kurir
b. Radio Komunikasi
c. Telepon
d. Faksimili
e. E-mail
f. SMS
6. Respon Bencana
A. Pre Penanggulangan Bencana
1) Preventif
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan
pihak yang terancam bencana (UU no. 24/2007). Upaya tidak mempertemukan
bahaya dengan kerentanan/kapasitas. Upaya yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya bencana (jika mungkin dengan meniadakan bahaya).
Misalnya :
✓ Melarang pembakaran hutan dalam perladangan
✓ Melarang penambangan batu di daerah yang curam.
Contoh kegiatan :
✓ Membuat Peta Daerah Bencana
✓ Mengadakan dan mengaktifkan isyarat-isyarat tanda bahaya
✓ Menyusun Rencana Umum Tata Ruang
✓ Menyusun Perda mengenai syarat keamanan, bangunan, pengendalian
limbah dsb.
✓ Mengadakan peralatan/perlengkapan Ops. PB
✓ Membuat Protap, Juklak, Juknis PB.
✓ Perbaikan kerusakan lingkungan.
2) Mitigasi
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
a. Penyusunan peraturan perundang-undangan
b. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
c. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
d. Pembuatan brosur/leaflet/poster
e. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
f. Pengkajian / analisis risiko bencana
g. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
h. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
i. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
j. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
a. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
b. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang
berkaitan dengan pencegahan bencana.
c. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
d. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang
lebih aman.
e. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
f. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
g. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan
sejenisnya.
3) Kesiapsiagaan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU
24/2007). Ada 9 kegiatan dalam komponen kesiapsiagaan:
✓ Penilaian Risiko (risk assessment)

✓ Perencanaan siaga (contingency planning)

✓ Mobilisasi sumberdaya (resource mobilization)

✓ Pendidikan dan Pelatihan (training & education)

✓ Koordinasi (coordination)

✓ Manajemen Darurat (response mechanism)

✓ Peringatan Dini (early warning)

✓ Manajemen Informasi (information systems)

✓ Gladi / Simulasi (drilling/simulation)

Misalnya:
✓ Penyiapan sarana komunikasi
✓ Pos komando
✓ Penyiapan lokasi evakuasi
✓ Rencana Kontinjensi dan sosialisasi peraturan / pedoman
penanggulangan bencana.
B. Penanganan Lapangan
1) Manajemen Koordinasi Lapangan
Penanggulangan masalah kesehatan di lapangan yaitu penanggulangan di
lokasi mulai dari tingkat kecamatan sampai pada tingkat kabupaten/kota dengan
memperhatikan aspek koordinasi dan kepemimpinan yang didukung oleh
sumberdaya internal dan bantuan dari luar. Koordinasi adalah upaya
menyatupadukan berbagai sumber daya dan kegiatan organisasi menjadi suatu
kekuatan sinergis, agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan
masyarakat akibat kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu
sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif serta harmonis.
Upaya menciptakan koordinasi yang baik merupakan salah satu aspek
kesiapsiagaan.
Penanggulangan Masalah Kesehatan. Koordinasi penanggulangan masalah
kesehatan ini meliputi koordinasi internal berupa kerja sama lintas program dari
sumber daya yang berbeda (Pemerintah,Ornop, LSM, Swasta dan masyarakat) di
daerah rawan bencana. Program tersebut antara lain mengintregasikan upaya
penilaian kebutuhan kesehatan akibat bencana; pelayanan kesehatan dasar dan
spesialistik; perbaikan gizi darurat; imunisasi, pengedalian vektor, sanitasai dan
dampak lingkungan; penyuluhan kesehatan; bantuan logistik kesehatan dan lain-
lain.
Koordinasi internal ini mengoptimalkan kegiatan organisasi pemerintah, non
pemerintah, LSM, dan lain lain yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
sama.

Kerangka Konsep Koordinasi

Koordinasi memerlukan :
 Manajemen penanggulangan masalah kesehatan yang baik.
 Adanya tujuan, peran dan tanggung jawab yang jelas dari organisasi.
 Sumber daya dan waktu yang akan membuat koordinasi berjalan.
 Jalannya koordinasi berdasarkan adanya informasi dari berbagai
tingkatan sumber informasi yang berbeda.
Untuk memperoleh efektifitas dan optimalisasi sumber daya PMK diperlukan
persyaratan tertentu antara lain:
 Komunikasi berbagai arah dari berbagai pihak yang dikoordinasikan.
 Kepemimpinan dan motivasi yang kuat disaat krisis.
 Kerjasama dan kemitraaan antara berbagai pihak.
 Koordinasi yang harmonis.
Keempat syarat tersebut dipadukan untuk menyusun :
 Perencanaan
 Pengorganisasian
 Pengendalian
 Evaluasi Penanggulangan Masalah Kesehatan.
 Sistem Koordinasi Penanggulangan Masalah Kesehatan

Sistem Koordinasi Penanggulangan Masalah Kesehatan


Komponen
 Badan atau media untuk berkoordinasi
 Unit atau pihak yang dikoordinasikan
 Pertemuan reguler
 Tugas pokok dan tanggung jawab yang jelas
 Informasi dan laporan
 Kerjasama pelayanan dan sarana
 Aturan (Code of conduct) organisasi yang jelas

Koordinasi Pada Saat Kedaruratan Bencana


Manajemen Penanggulangan Bencana di Lapangan (Tingkat
Kabupaten/Kota)
Penanggulangan korban bencana di lapangan pada prinsipnya harus tetap
memperhatikan factor safety/ keselamatan bagi penolongnya, setelah itu baru
prosedur dilapangan yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan,
secara umum pada tahap tanggap darurat dikelompokkan menjadi kegiatan
sebagai berikut :
 Pencarian korban (Search)
 Penyelamatan korban (Rescue)
 Pertolongan pertama (Live saving)
 Stabilisasi korban
 Evakuasi dan rujukan
Upaya ini ditujukan untuk menyelamatkan korban semaksimal mungkin guna
menekan angka morbiditas dan mortalitas. Hal dipengaruhi oleh jumlah korban,
keadaan korban, geografi, lokasi, fasilitas yang tersedia di lokasi dan sumberdaya
yang ada. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah : organisasi dilapangan,
komunikasi, dokumen dan tata kerja.

Koordinasi Pasca Kedaruratan/Bencana


Koordinasi dan pengendalian di lapangan pasca kerawanan bencana.
Koordinasi dan pengendalian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam
penanggulangan dilapangan, karena dengan koordinasi yang baik diharapkan
menghasilkan output/ keluaran yang maksimal sesuai sumber daya yang ada
meminimalkan kesenjangan dan kekurangan dalam pelayanan, adanya kesesuaian
pembagian tanggung jawab demi keseragaman langkah dan tercapainya standard
penanggulangan bencana dilapangan yang diharapkan. Koordinasi yang baik akan
menghasilkan keselarasan dan kerjasama yang efektif dari organisasi-organisasi
yang terlibat penanggulangan bencana di lapangan. Dalam hal ini perlu
diperhatikan penempatan struktur organisasi yang tepat sesuai dengan tingkat
penanggulanganbencana yang berbeda, serta adanya kejelasan tugas, tanggung
jawab dan otoritas dari masing-masing komponen organisasi yang terus menerus
dilakukan secara lintas program dan lintas sektor mulai saat persiapan, saat
terjadinya bencana dan pasca bencana. Kegiatan pemantauan dan mobilisasi
sumber daya dalam penanggulangan bencana di lapangan pada prinsipnya:
 Melaksanakan penilaian kebutuhan dan dampak keselamatan secara cepat
(Rapid Health Assesment) sebagai dasar untuk pemantauan dan
penyusunan program mobilisasi bantuan.
 Melaksanakan skalasi pelayanan dan mobilisasi organisasi yang terkait
dalam penanggulangan masalah akibat bencana dilapangan,
mempersiapkan sarana pendukung guna memaksimalkan pelayanan.
 Melakukan mobilisasi tim pelayanan ke lokasi bencana (On site) beserta
tim surveilas yang terus mengamati keadaan lingkungan dan
kecenderungan perubahan-perubahan yang terjadi.
Kendala koordinasi :
 Gangguan aksesibilitas
 Gangguan keamanan
 Pertimbangan politik
 Keengganan untuk mengamati tujuan
Masalah khusus koordinasi :
 Penundaan inisiatif
 Keikutsertaan pemerintah sangat minim dengan pertimbangan :
tidak prioritas, adanya konflik pemerintah dengan pihak lain, badan
internasional tidak sepaham dengan pemerintah, dan perbedaan tujuan
karena adanya konflik internal dalam sector pemerintah.
 Pembagian tugas tidak berjalan
 Kerangka waktu tidak disepakati
 Pengalihan tugas
2) Pembuatan Posko, RS Lapangan dan Ambulance Protokol
2.1.Pembuatan Posko
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya
yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tangap darurat, dan rehabilitasi,
serta rekonstruksi. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan prasarana dan
sarana. Masa tanggap darurat bencana adalah jangka waktu tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Pos Komando
Kedaruratan adalah pos komando yang dibentuk pada saat keadaan darurat
yang meliputi tahap siaga darurat, tahap tanggap darurat.dan transisi dari
tahap tanggap darurat ke tahap pemulihan yang dapat berupa pos komando
tanggap darurat dan atau pos komando lapangan dan pos pendukung yang
merupakan satu kesatuan sistem penanganan darurat. Pos Komando
Tanggap Darurat Bencana adalah institusi yang berfungsi sebagai pusat
komando operasi tanggap darurat bencana, untuk mengkoordinasikan,
mengendalikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tanggap darurat
bencana. Pos Komando Lapangan Tanggap Darurat Bencana merupakan
institusi yang bertugas melakukan penanganan tanggap darurat bencana
secara langsung di lokasi bencana. Pos Komando Tanggap Darurat
Bencana Nasional berkedudukan di ibu kota negara, Pos Komando
Tanggap Darurat Bencana Provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi, Pos
Komando Tanggap Darurat Bencana Kabupaten/Kota berkedudukan di
ibukota kabupaten/kota atau di tempat lain sesuai kondisi yang ada. Pada
bencana skala nasional dapat dibentuk Pos Komando Tanggap Darurat Aju
di provinsi dan pada bencana skala provinsi dapat dibentuk Pos Komando
Tanggap Darurat Aju di kabupaten/kota yang terkena bencana. Jangka
waktu keberadaan pos komando tanggap darurat bencana bersifat
sementara selama masa tanggap darurat dan beroperasi selama 24 (dua
puluh empat) jam setiap hari serta dapat diperpanjang atau diperpendek
waktunya sesuai dengan pelaksanaan tanggap darurat.
 Persyaratan Lokasi
a. Pos Komando Tanggap Darurat Bencana dapat menempati bangunan
atau tenda.
b. Bangunan atau tenda pos komando tanggap darurat bencana
menempati lokasi yang strategis dengan kriteria:
I. Mudah diakses oleh berbagai pihak yang terlibat dalam
kegiatan tanggap darurat bencana.
II. Aman dan terbebas dari ancaman bencana.
III. Memiliki lahan parkir yang memadai.
IV. Luas lahan sekurangkurangnya 500 m2.
 Pembentukan Pos Komando (Posko)
 Informasi Kejadian Awal Bencana Informasi
Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana, dapat
dilakukan pada tahap siaga darurat untuk jenis bencana yang terjadi
secara berangsurangsur, seperti banjir dan gunung meletus, atau
segera setelah dinyatakan status bencana untuk jenis bencana yang
terjadi secara tiba-tiba, seperti tanah longsor, gempa dan tsunami.
Untuk jenis bencana yang terjadi secara berangsur-angsur,
pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana dengan cara
meningkatkan status Pusat Pengendali Operasi Wilayah Provinsi/
Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk jenis bencana yang terjadi
secara tiba tiba, proses pembentukan pos komando tanggap darurat
bencana, dilakukan melalui 4 (empat) tahapan yang harus
dilaksanakan secara keseluruhan menjadi satu rangkaian sistem
komando yang terpadu, yaitu:
a. Informasi Kejadian Awal Bencana Informasi
Kebenaran informasi perlu dikonfirmasi dengan pertanyaan
apa, kapan, dimana, bagaimana, berapa, penyebab, akibat yang
ditimbulkan dan upaya yang telah dilakukan serta kebutuhan
yang mendesak.

b. Penugasan Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana


i. Dari informasi kejadian awal yang diperoleh,
BPBD/SATLAK PB dan atau BNPB menugaskan Tim
Reaksi Cepat (TRC BNPB/BPBD /SATLAK PB)
tanggap darurat bencana, untuk melaksanakan tugas
pengkajian secara cepat dan tepat, serta memberikan
dukungan pendampingan dalam rangka kegiatan
tanggap darurat.
ii. Hasil pelaksanaan tugas TRC
BNPB/BPBD/SATLAK PB tanggap darurat dan
masukan dari berbagai instansi/lembaga terkait
merupakan bahan pertimbangan bagi:
Kepala BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota 
status/tingkat bencana skala kabupaten/kota.

Kepala BPBD Provinsi  status/tingkat bencana skala


provinsi.

Kepala BNPB  status/tingkat bencana skala nasional.

c. Penetapan Status/Tingkat Bencana


i. Bupati/Walikota menetapkan status/tingkat bencana
skala kabupaten/kota.
ii. Gubernur menetapkan status/tingkat bencana skala
provinsi.
iii. Presiden RI menetapkan status/tingkat bencana
skala nasional.
Tindak lanjut dari penetapan status/tingkat bencana
tersebut, maka Kepala BNPB/BPBD
Provinsi/BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangannya dapat menunjuk seorang
pejabat sebagai komandan tanggap darurat bencana
sesuai status/tingkat bencana skala nasional/daerah.
d. Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana
Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atas usul Kepala BNPB/
BPBD Provinsi/BPBD/SATLAK PB Kabupaten/Kota sesuai
status /tingkat bencana dan tingkat kewenangannya :
i. Mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Pos
Komando Tanggap Darurat Bencana Rumah Sakit
Lapangan.
ii. Melaksanakan mobilisasi sumberdaya manusia,
peralatan dan logistic serta dana dari
instansi/lembaga terkait dan/atau masyarakat.
iii. Meresmikan pembentukan Pos Komando Tanggap
Darurat Bencana.
iv. Bilamana pemerintah kabupaten/kota atau provinsi
tidak ada BPBD, maka yang melaksanakan
pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat
adalah instansi/ Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) yang menangani bencana.
2.2.Rumah Sakit Lapangan
 Persiapan Pendirian Rumas Sakit Lapang

Sebelum menggerakkan RS lapangan kita perlu mengirimkan


tim aju yang mempunyai pengalaman dan kemampuan dalam
pengelolaan RS lapangan. Jumlah tim aju yang dikirim minimal 3
(tiga) orang terdiri dari tenaga teknis yang mempunyai pengalaman
dalam membangun RS lapangan, tenaga medis dan sanitarian. Tim
aju bertugas untuk melakukan penilaian mengenai lokasi pendirian
tenda dan peralatannya. Penilaian oleh tim aju tersebut penting
untuk memastikan bahwa RS lapangan yang akan didirikan
memang didasarkan pada kebutuhan, berada di tempat yang aman,
memiliki akses yang mudah dijangkau, dan sumber air dan listrik
yang masih dimiliki paska terjadinya bencana.Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam melakukan penilaian untuk pendirian RS
lapangan di lokasi bencana, antara lain:
a. Keamanan.
Lokasi pendirian RS lapangan harus berada di wilayah yang aman
dari bencana susulan.
b. Akses.
Kemudahan akses bagi petugas dan pasien, juga untuk mobilisasi
logistik.
c. Infrastruktur.
Apakah terdapat bangunan yang masih layak dan aman
dipergunakan sebagai bagian dari RS lapangan. Jika tidak, apakah
ada lahan dengan permukaan datar dan keras yang dapat digunakan
untuk pendirian RS lapangan. Apakah tersedia prasarana seperti
sumber air bersih dan listrik yang adekuat untuk memenuhi
kebutuhan operasional RSlapangan. Selain itu, perlu pula
dipertimbangkan ketersediaan bahan bakar untuk menghidupkan
genset dan kebutuhan operasional lain.
d. Sistem komunikasi.
Apakah tersedia sistem komunikasi di lokasi pendirian RS
lapangan atau apakah diperlukan sistem komunikasi yang
independen bagi RS lapangan. Faktor komunikasi memegang
peranan penting baik untuk keperluan internal rumah sakit maupun
untuk hubungan eksternal terkait dengan pelaporan, koordinasi dan
mobilisasi tenaga dan logistik, dsb.

NB :
Contoh tenaga medis yang terlibat, antara lain:
dokter umum, dokter spesialis bedah, dokter spesialis bedah tulang, dokter anestesi,
dokter penyakit dalam, dokter spesialis kandungan, dokter spesialis anak, dokter
spesialis jiwa, perawat mahir (gawat darurat, kamar bedah, intensif, rawat bedah),
perawat anestesi, perawat umum, radiographer, tenaga analisis laboratorium, apoteker
dan asisten apoteker, ahli gizi/dietisien. Tenaga non-medis yang terlibat, antara lain:
pengemudi/supir, juru masak, tenaga administrasi, tenaga laundry, tenaga teknisi listrik
dan
mesin, tenaga pembantu umum (untuk tenaga gudang, kebersihan, dll.), tenaga
keamanan

Tenaga non-medis yang terlibat, antara lain:

pengemudi/supir, juru masak, tenaga administrasi, tenaga laundry, tenaga teknisi listrik dan
mesin, tenaga pembantu umum (untuk tenaga gudang, kebersihan, dll.), tenaga keamanan

Beberapa pendekatan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan perhitungan


kebutuhan obat dalam situasi bencana, yaitu:

1. Melihat jenis bencana yang terjadi, misalnya bencana banjir, bencana gunung meletus,
bencana kebakaran hutan, bencana kebakaran, bencana akibat konflik (huruhara).
Berdasarkan data tersebut, kita dapat melakukan perhitungan yang relative sesuai dengan
kebutuhan selain jenis obat yang disediakan juga dapat mendekati kebutuhan nyata.

2. Mendata jumlah pengungsi, berikut usia dan jenis kelaminnya

3. Pedoman pengobatan yang umum digunakan. Dalam hal ini sebaiknya merujuk pada
Pedoman Pengobatan yang diterbitkan oleh Depkes.

Agar penyediaan obat dan perbekalan kesehatan dapat membantu pelaksanaan pelayanan
kesehatan pada saat kejadian bencana, jenis obat dan perbekalan kesehatan harus sesuai
dengan jenis penyakit dan pedoman pengobatan yang berlaku.

Perlengkapan RS lapangan harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu,


keamanan,
Keterangan

 Rs lapangan dapat mengajukan permintaan kebutuhan obat dan


bahan habis pakai ke kantor Dinkes Kab/Kota setempat yang harus
dipenuhinya
 Bila permintaan obat dan perbekalan kesehatan tidak dapat
terpenuhi, dinas kesehatan Kab/Kota dapat meneruskan permintaan
itu secara berjenjang ke dinas kesehatan provinsi dan departemen
kesehatan
 Distribusi obat tersebut bersifat situasional bergantung pada lokasi
bencana dan tingkat ketersedian obat yang ada.

 Pendirian Rumah Sakit Lapangan

Pendirian Rumah Sakit Lapangan (RS lapangan) di daerah bencana


dapat dilakukan dengan memperhatikan sarana dan fasilitas
pendukung yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
operasionalisasi RS lapangan seperti bangunan, listrik, air, dan
MCK atau dengan mendirikan tenda di ruang terbuka. Tahapan
dalam pendirian RS lapangan, antara lain:

a. Menetapkan tata letak (site plan) RS lapangan berdasarkan


prioritas.
b. Menyiapkan lokasi atau lahan untuk pendirian tenda serta
sarana dan fasilitas pendukung yang akan digunakan.
c. Mempersiapkan sistem drainase untuk menghindari genanga
air.
d. Membersihkan permukaan lokasi pendirian tenda dari benda
tajam yang dapat merusak tenda, dan apabila permukaan tanah
tidak datar harus diratakan dahulu.
e. Menyiapkan pembatas (pagar) sebagai pengaman dan
menetapkan satu pintu masuk dan satu pintu keluar untuk
membatasi keluar masuk orang yang tidak berkepentingan.
f. Mendirikan tenda berikut secara berurutan sesuai
prioritas.Berikut merupakan macam – macam tenda yang
didirikan pada rumah sakit lapangan :

1. Tenda Gudang

2. Tenda Unit Gawat Darurat (UGD)

3. Tenda Bedah

4. Tenda Perawatan
5. Tenda Intensive Care Unit (ICU)

6. Tenda Farmasi

7. Tenda Personel dan Administrasi

8. Tenda Laundry dan Sterilisasi

9. Tenda X-Ray

10. Tenda Processing Film

Berikut merupakan macam – macam prasarana yang diperlukan


di rumah sakit lapangan sebagai penunjang :

1. Alat – alat Kesehatan

2. Prasarana Radio Komunikas

3. Pengbangkit Daya Listrik (Generator Set)

4. Prasarana Penerangan

5. Prasarana Air Bersih

6. Prasarana Pembuangan Limbah

7. Prasarana Laundry dan Sterilisasi

8. Prasarana Pelayanan Gizi (Dapur Umum)

9. Prasarana Toilet dan Kamar Mandi

2.3.Ambulance Protocol

a. Macam Lampu Rotator

Mobil ambulans boleh memakai lampu rotti bulat dan light bar
merah-biru atau biru-biru.

b. Bunyi Sirine dan Artinya

i. Wail  berjalan di jalur yang lurus,


ii. Yelp  berada di persimpangan,

iii.Hi-lo  kombinasi untuk mendapatkan perhatian yang lebih


efektif,

iv.Horn  memberikan peringatan lebih jika suara- suara lainnya


tidak mendapat perhatian pengguna jalan lain.

c. Tenaga Medis di Ambulans


Petugas atau tenaga medis yang dibutuhkan disesuaikan dengan
jenis ambulans.
1. Ambulans Transport
Tujuan Penggunaan :
Pengangkutan penderita yang tidak memerlukan perawata
khusus/tindakan darurat untuk menyelamatkan nyawa dan
diperkirakan tidak akan timbul kegawatan selama perjalanan.
Petugas :
Satu orang supir dengan kemampuan BHD (Bantuan Hidup
Dasar) dan berkomunikasi serta satu orang perawat dengan
kemampuan PPGD (pertolongan Pertama Gawat Darurat)
2. Ambulans Gawat Darurat
Tujuan Penggunaan :
Pertolongan penderita gawat darurat pra rumah sakit,
pengangkutan penderita gawat darurat yang sudah distabilkan
dari lokasi kejadian ke tempat tindakan definitif atau ke rumah
sakit, sebagai kendaraan transport rujukan.
Petugas :
Satu orang pengemudi dengan kemampuan PPGD dan
komuniasi, satu orang perawat berkemampuan PPGD, dan satu
orang dokter berkemampuan PPGD atau ATLS/ACLS.
3. Ambulans Rumah Sakit Lapangan
Tujuan Penggunaan :
Merupakan gabungan ebebrapa ambulans gawat darurat dan
ambulans pelayanan medik beregrak. Sehari – hari berfungsi
sebagai ambulans gawat darurat.
Petugas :
Seorang pengemudi berkemampuan PPGD dan komunikasi,
seorang perawat berkemampuan PPGD atau BTLS/BCLS, dan
seorang dokter berkemampuan ATLS/ACLS.
d. Peraturan Lain Khusus Ambulans
1. Memarkir kendaraannya di manapun, selama tidak merusak hak
milik atau membahayakan nyawa orang lain.
2. Melewati lampu merah dan tanda berhenti.
3. Mendahului kendaraan lain di daerah larangan mendahului
setelah memberi sinyal yang tepat, memastikan jalurnya aman,
dan menghindari hal-hal yang membahayakan nyawa dan harta
benda.
4. Mengabaikan peraturan yang mengatur arah jalur dan aturan
berbelok ke arah tertentu, setelah memberi sinyal dan
peringatan yang tepat.
5. Batasan kecepatan yang diperbolehkan dalam mengemudi
ambulans, yaitu 60 km/jam ketika berangkat mengambil
penderita dan maksimum 40 km/jam ketika membawa pasien di
dalamnya.
6. Dan perlu digaris bawahi, jika ambulans membawa pasien
dengan penyakit jantung, sirine TIDAK BOLEH dibunyikan.
Jadi, ambulans hanya diperbolehkan menyalakan lampu rotator
saja, karena dikhawatirkan stress akibat bunyi sirine akan
berakibat fatal pada pasien penyakit jantung.
3) Triage
Triage adalah proses khusus memilah dan memilih pasien berdasarkan
beratnya penyakit menentukan prioritas perawatan gawat medik serta
prioritas transportasi, artinya memilih berdasarkan prioritas dan penyebab
ancaman hidup. Triage merupakan suatu sistem yang digunakan dalam
mengidentifikasi korban dengan cedera yang mengancam jiwa untuk
kemudian diberikan prioritas untuk dirawat atau dievakuasi ke fasilitas
kesehatan.
Tujuan Triage
a. Identifikasi cepat korban yang memerlukan stabilisasi segera
(lebih ke perawatan yang dilakukan di lapangan).
b. Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan
pembedahan.
c. Untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa dan kecacatan.

Prinsip Triage dan Tata Cara Melakukan Triage Triage


dilakukan berdasarkan observasi terhadap 3 hal, yaitu :
a. Pernapasan (respiratory)
b. Sirkulasi (perfusion)
c. Status mental (mental state)
Pengelompokan Triage Berdasarkan Tag Label
a. Prioritas 0 (hitam)
Pasien meninggal atau cedera parah yang jelas tidak
mungkin untuk diselamatkan
b. Prioritas 1 (merah)
Penderita cedera berat dan memerlukan penilaian cepat dan
tindakan medik atau transport segera untuk meyelamatkan
hidupnya.
c. Prioritas 2 (kuning)
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera dan
tingkat yang kurang berat dan dipastikan tidak akan
mengancam jiwa dalam waktu dekat.
d. Prioritas 3 (hijau)
Pasien dengan cedera minor dan tingkat penyakit yang tidak
membutuhkan pertolongan segera serta tidak mengancam
nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan.
Klasifikasi Triage
a. Triage di tempat
Dilakukan ditempat korban ditemukan atau pada tempat
penampungan, triage ini dilakukan oleh tim pertolongan
pertama sebelum korban dirujuk ke tempat pelayanan
medik lanjutan.
b. Triage Medic
Dilakukan pada saat korban memasuki pos pelayanan
medic lanjutan yang bertujuan untuk menentukan tingkat
perawatan dan tindakan pertolongan yang dibutuhkan oleh
korban.
c. Triage evakuasi
Triage ini ditunjukkan pada korban yang dapat dipindahkan
pada rumah sakit yang telah siap menerima korban, seperti
bencana masal.
4) Initial Assessement
Initial assessment merupakan kegiatan penting yang perlu
dilaksanakan petugas kesehatan di lokasi bencana. Kegiatan ini berupa
pemetaan kelompok rentan serta masalah kesehatan dan risiko penyakit
akibat bencana yang kemudian dari basil penilaian cepat kesehatan ini
dapat direkomendasikan upaya-upaya apa saja yang perlu dilakukan
berbagai pihak terkait untuk memulihkan sistem kesehatan.
Selain berdasarkan SK Menkes 145/2007, peran dan tugas Puskesmas
dalam penanggulangan bencana juga mengacu pada SK Menkes Nomor
1357/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan
Masalah Kesehatan akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. Dalam
dokumen tersebut, standar minimal yang harus dipenuhi meliputi berbagai
aspek:
a. Pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan masyarakat,
kesehatan reprodukse dan kesehatan jiwa3• Terkait dengan sarana
pelayanan kesehatan, satu Pusat Kesehatan pengungsi idealnya
digunakan untuk melayani 20.000 orang, sedangkan satu Rumah Sakit
untuk 200.000 sasaran. Penyediaan pelayanan kesehatan juga dapat
memanfaatkan partisipasi Rumah Sakit Swasta, Balai Pengobatan
Swasta, LSM local maupun intemasional yang terkait dengan bidang
kesehatan.
b. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, seperti vaksinasi,
penanganan masalah umum kesehatan di pengungsian, manajemen
kasus, surveilans dan ketenagaan. Berkaitan dengan sumber daya
manusia (SDM), Kementerian Kesehatan telah menetapkan jumlah
kebutuhan tenaga kesehatan untuk penanganan 10.000-20.000
pengungsi, terdiri dari: pekerja kesehatan lingkungan (10-20 orang),
bidan (5-10 orang), dokter ( 1 orang), paramedis (4-5 orang), asisten
apoteker ( 1 orang), teknisi laboratorium ( 1 orang), pembantu umum
(5-10 orang), pengawas sanitasi (2-4 orang), asisten pengawas sanitasi
(10- 20 orang).
c. Gizi dan pangan, termasuk penanggulangan masalah gizi di
pengungsian, surveilans gizi, kualitas dan keamanan pangan.
Identifikasi perlu dilakukan secepat mungkin untuk mengetahui
sasaran pelayanan, seperti jumlah pengungsi, jenis kelamin, umur dan
kelompok rentan (balita, ibu hamil, ibu menyusui, lanjut usia). Data
tersebut penting diperoleh, misalnya untuk mengetahui kebutuhan
bahan makanan pada tahap penyelamatan dan merencanakan tahapan
surveilans berikutnya. Selain itu, pengelolaan bantuan pangan perlu
melibatkan wakil masyarakat korban bencana, termasuk kaum
perempuan, untuk memastikan kebutuhankebutuhan dasar korban
bencana terpenuhi.
d. Lingkungan, meliputi pengadaan air, kualitas air, pembuangan
kotoran manusia, pengelolaan limbah padat dan limbah cair dan
promosi kesehatan. Beberapa tolok ukur kunci yang perlu
diperhatikan adalah:
 persediaan air harus cukup minimal 15 liter per orang per hari,
 jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500
meter,
 satu kran air untuk 80-100 orang,
 satu jamban digunakan maksimal 20 orang, dapat diatur menurut
rumah tangga atau menurut jenis kelamin,
 jamban berjarak tidak lebih dari 50 meter dari pemukian atau
tempat pengungsian,
 bak atau lubang sampah keluarga berjarak tidak lebih dari 15 meter
dan lubang sampah umum berjarak tidak lebih dari 100 meter dari
pemukiman atau tempat pengungsian,
 bak/lubang sampah memiliki kapasitas 100 liter per 10 keluarga,
serta
 tidak ada genangan air, air hujan, luapan air atau banjir di sekitar
pemukiman atau tempat pengungsian.
e. Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dasar kesehatan, seperti
penampungan keluarga, sandang dan kebutuhan rumah tangga. Ruang
tertutup yang tersedia, misalnya, setidaknya tersedia per orang rata-rata
berukuran 3,5-4,5 m2• Kebutuhan sandang juga perlu memperhatikan
kelompok sasaran tertentu, seperti pakaian untuk balita dan anak-anak serta
pembalut untuk perempuan remaja dan dewasa.

Selain piranti-piranti legal di atas, Peraturan Kepala BNPB Nomor 7


Tahun 2008 juga mengatur pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar, meliputi bantuan tempat penampunganlhunian sementara, pangan,
nonpangan, sandang air bersih dan sanitasi serta pelayanan kesehatan.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa bantuan pelayanan kesehatan
diberikan dalam bentuk: 1). pelayanan kesehatan umum, meliputi
pelayanan kesehatan dasar dan klinis; 2). Pengendalian penyakit menular,
meliputi pencegahan umum, campak, diagnosis dan pengelolaan kasus,
kesiapsiagaan kejadian luar biasa (KLB), deteksi K.LB, penyelidikan dan
tanggap serta HIV/AIDS; serta 3). pengendalian penyakit tidak menular,
meliputi cedera, kesehatan reproduksi, aspek kejiwaan dan social kesehatan
serta penyakit kronis. Bentuk-bentuk pelayanan kesehatan tersebut dilengkapi
dengan standar minimal bantuan yang harus dipenuhi dalam situasi bencana alam
(BNPB, 2008).

Terkait upaya pemenuhan kebutuhan dasar pada kondisi bencana, di


tingkat global sebenarnya juga sudah banyak pedoman-pedoman yang
dapat menjadi rujukan. Pedoman yang disusun The Sphere Project (2011),
misalnya, merinci prinsip-prinsip perlindungan dan standar minimal dalam
empat aspek, yakni: 1). Air bersih, sanitasi dan promosi terkait higienitas,
2). Keamanan pangan dan gizi, 3). Tempat penampungan atau hunian
sementara dan kebutuhan non-pangan, serta 4). Pelayanan kesehatan.
Dalam dokumen ini, disebutkan bahwa pelayanan kesehatan esensial yang
perlu diperhatikan meliputi: pengendalian penyakit menular, kesehatan
anak, kesehatan seksual dan reproduksi, cedera, kesehatan mental dan
penyakit tidak menular.

C. Pasca penanganan Bencana


1) Kegiatan pelayanan Kesehatan
Bencana yang disertai dengan pengungsian sering menimbulkan berbagai
masalah, terumata masalah kesehatan masyarakat yang besar. Dalam sitausi
bencana selalu terjadi kedaruratan semua aspek kehidupan. Terjadinya
kelumpuhan pemerintahan, rusaknya fasilitas umum, terganggunya system
komunikasi dan transportasi, lumpuhnya pelayanan umum yang mengakibatkan
terganggunya tatanan kehidupan masyarakat. Jatuhnya korban jiwa, hilangnya
harta benda, meningkatnya angka kesakitan merupakan dampak dari adanya
bencana. Kebutuhan pelayanan kesehatan tiap – tiap penduduk rentan adalah
tidak sama karena mereka mempunyai karakteristik kebutuhan pelayanan
kesehatan yang berbeda. Pelayanan kesehatan pada bayi berbeda dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan pada penduduk lansia. Sehingga perlu kiranya
untuk menggali informasi dari masyarakat mengenai kebutuhan pelayanan
kesehatan yang dharapkan oleh para penduduk rentan atau penduduk yang
beresiko tersebut berkenaan dengan dampak kesehatan pasca bencana. Penggalian
informasi, keinginan da saran dari kelompok penduduk rentan adalah suatu
proses pencarian informasi dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi
yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia khusunya pada
kelompok penduduk yang rentan dan beresiko terkena penyakit dengan adanya
bencana tersebut. Tindakan penting yang dapat menolong mengurangi
penderitaan korban bencana adalah dengan menolong mengurangi penderitaan
korban bencana adalah dengan memberikan perlindungan, keamanan,
maupun stabilisasi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memenuhi
kebutuhan pengungsi dan melibatkan mereka dalam mengatur semua
aspek kehidupannya yang baru.
Mortalitas
Fasilitas kesehatan harus memiliki catatan kematian pasien termasuk
sebab kematiannya dan informasi demografi lain yang relevan.
Morbiditas
Fasilitas kesehatan yang menyediakan pelayanan kesehatan, termasuk
klinik untuk balita dan program pemberian makanan yang selektif,
haruslah memiliki catatan harian medis pasien yang menginformasikan
nama, umur, jenis kelamin, diagnosa klinis, hasil laboratorium, dan
pengobatan.
Program Kesehatan Utama
Prioritas yang seharusnya dimasukkan dalam program tanggapan
darurat adalah :
 Harus ada upaya untuk meringankan (mitigasi) dari efek bencana
yang mungkin dapat melibatkan kisaran strategi kedokteran dan
kesehatan pencegahan, termasuk imunisasi untuk penyakit menular,
perbaikan sanitasi, personal hiegene, bahaya pembuangan limbah,
control vektor dan cacing, kontrol imigrasi dan bea cukai, pendidikan
dan peringatan dini masyarakat.
 Kesehatan reproduksi perihal keselamatan ibu yang meliputi
persalinan dan antenatal care (ANC).
 Meningkatkan kapasitas yang meliputi :
a. Pendidikan kesehatan
b. Pengelolaan logistik obat – obatan
c. Pelayanan laboratorium
d. Informasi sektor vital seperti : Persediaan air minum, persediaan
kakus per orang, jumlah populasi dengan penampungan yan
memadai, jumlah sabun yang disediakan untuk setiap orang
perbulannya,melaksanakan kontrol vector
e. Makanan dan Gizi
Respon cepat yang diambil adalah :
I. Memperkirakan keadaan kesehatan dan gizi secepat
mungkin
II. Menjamin tersedianya makanan, transportasi,
penyimpanan, minyak goreng, dan peralatan memasak.
III. Mengatur program pemberian makanan bagi pengungsi
IV. Mengawasi jalannya program dan buat perubahan jika
diperlukan.
f. Air
Respon cepat yang diambil adalah :
I. Menghitung kebutuhan dan kemungkinana suplai air
II. Menilai kualitas dan kuantitas sumber air
III. Menjaga sumber – sumber air yang ada dari polusi
IV. Membangun sumber – sumber air dan system
penyimpanan serta distribusi untuk menjamin air bersih
yang cukup
V. Menguji kualitas air
VI. Membentuk infrastruktur untuk operasi dan pemeliharaan
air
VII. Jika sumber air lokal tidak bisa menyediakan air dalam
jumlah tertentu (minimum) dalam waktu cepat, para
pengungsi sebaiknya dipindahkan
g. Kesehatan Lingkungan
Respon cepat yang diambil adalah :
I. Mengumpulkan tinja pada satu tempat dan mencegah
pencemaran terhadap sumber -sumber air.
II. Menentukan tempat – tempat yang berpotensi untuk
pembutan sarana sanitasi
III. Menentukan metode pembuangan tinja, sampah dan air
limbah.
IV. Mengendalikan vektor yang mengancam kesehatan,
seperti nyamuk, lalat, kutu, binatang kecil, tikus, dan
hama lainnya.
V. Merencanakan tim sanitasi untuk membangun dan
memelihara prasarana.
VI. Mendirikan pelayanan pengendalian ancaman hama
VII. Membentuk sistem pemantauan untuk smeua pelayanan
kesehatan lingkungan
VIII. Memasukkan kebersihan lingkungan sebagai bagian
pendidikan kesehatan
IX. Mengendalikan debu dengan cara menyiram jalan dan
membatasi lalu lintas
X. Mengendalikan air limbah dan menyediakan salutan
pembuangannya.
2) Trauma Healing
Pemulihan dari trauma membutuhkan waktu, berusaha meluangkan waktu untuk
diri anda, jangan terlalu memaksa proses penyembuhan dan bersabarlah dalam
melewati langkah – langkah pemulihan. Terkait dengan penanganan trauma
(trauma healing) terdapat metode sederhana antara lain:
 Jangan mengisolasi diri. Usahakan untuk menjalani hubungan dengan
orang lain dan hindari mengabiskan waktu sendiri.
 Mintalah bantuan kepada anggota keluarga, teman, konselor, atau
pemuka agaman yang bisa anda percaya.
 Kesehatan, banyaklah istirahat, berolah raga teratur, dan makan teratur.
Hindari alkohol dan obat terlarang. Alkohol dan obat terlarang dapat
memperburuk symptom trauma dan memperburuk perasaan – perasaan
depresi, kecemasan, dan isolasi.
 Lakukan pelepasan emosi, jangan tahan tangisan, mengangislah sampai
puas. Pelepasan emosi secara fisik dapat membantu mengurangi beban.
 Apabila masalah tidak juga menghilang dan korban merasa terbebani, itu
pertanda bahwa korban memerlukan bantuan profesional untuk
membantu menangani masalahnya
Alokasi waktu
Pendidikan Dasar
Pelaksanaan tekhnisnya
Materi diawali dengan ceramah dimana peserta diberikan teori-teori tentang manajemen dan
manajemen dalam TBM dan dilanjutkan dengan tanya jawab dari materi yang tidak dimengerti.

Você também pode gostar