Você está na página 1de 3

Nama: willy sandy

Nim :1702036146

A. Murji’ah

a) Latar Belakang Kemunculan Murji’ah

Nama Murji’ah diambil dari kata irja’ atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan,
dan pengharapan. Kata arja’a mengandung arti memberi pengharapan, yaitu kepada pelaku
dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT. Selain itu, arja’a berarti
pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari
iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan
seseorang yang bersengketa, yaitu ‘Ali dan Muawiyah, serta setiap pasukannya pada hari
kiamat kelak.

Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja’ atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat
dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik
dan untuk menghindari sektarianisme. Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja’ yang
merupakan basis doktrin Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar
tahun 695. Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan
Mu’awiyah, dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin ‘Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.

Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yaitu yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra
akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yaitu kubu Khawarij yang memandang bahwa tahkim
itu bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum
Allah SWT. Oleh karena itu, Khawarij berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar
dan dihukum kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba’, membunuh
tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita yang baik-baik.
Pendapat Khawarij itu kemudian ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut
Murji’ah, dengan mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir,
sementara dosanya diserahkan kepada Allah SWT., apakah akan mengampuni atau tidak.

b) Doktrin-doktrin pokok Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja’ atau arja’a
yang diaplikasikan dalam berbagai persoalan yang dihadapinya. Baik dalam bidang politik
atau teologis. Dalam politik doktrin irja’ diimplementasikan dengan sikap netral atau
nonblok. Sebab itulah kelompok Murji’ah dikenal sebagai the queietists (kelompok
bungkam). Sikap ini akhirnya beimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu
diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja’ dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi
persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Kemudian persoalan yang ditanggapi
menjadi semakin kompleks. Mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-
Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi, hukuman atas dosa,
petanyaan tentang ada yang kafir di kalangan generasi awal Islam, tobat, hakikatAl-Qur’an,
nama dan sifat Allah, serta ketentuan Allah.

Doktrin-dokrin teologi Murji’ah dirincikan sebagai berikut:

1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu’awiyah diputuskan oleh Allah di akhirat
kelak nanti.

2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-
Rasyidun.

3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat dari Allah SWT.

4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (mahzab) para skeptis dan empiris


dari kalangan Helenis

B. Mu’tazilah

a) Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti “berpisah“ atau “memisahkan
diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara teknis, istilah Mu’tazilah
dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai
respons politik murni. Golongan ini muncul sebagai kaum netral politik, khususnya
menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang
sesungguhnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khilafah.

Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan teologis yang berkembang
di kalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim. Golongan Mu’tazilah muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian
status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.

Sejarah timbulnya mu’tazilah II ini memiliki banyak versi beberapa versi analisis tentang
pemberian nama mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi
antara Washil Bin ‘Atha serta temannya, ‘Amr Bin Ubaid, dan Hasan AL-Basri di Barsah.
Pada waktu Washil mengikuti pelajaran yang di berikan oleh Hasan Al-Basri di Masjid
Basrah, datang seseorang yeng bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa
besar. Ketika Hasan Al-Basri masih berfikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya
dengan mengatakan, “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak
mukmin dan tidak kafir.” Kemudian, Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi
ketempat lain di lingkungan masjid. Di sana, Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para
pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, “Wasil menjauhkan diri
dari kita (i’tazala’anna).” Menurut Asy-Syahrastani (474-548 H), kelompok yang
memisahkan diri pada peristiwa di atas disebut kaum Mu’tazilah.

Versi lain yang dikemukakan oleh Al-Baghdadi (w. 409 H) menyatakan bahwa Washil dan
temannya, ‘Amr Bin ‘Ubaid, diusir oleh Hasan Al-Basri karena terjadi pertikaian di antara
mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari
Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu mukmin dan tidak kafir.
Oleh karena itu, golongan itu dinamakan Mu’tazilah.

Al-Mas’udi (w. 956 M) memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah


dengan tidak menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al-Basri.
Mereka diberi nama Mu’tazilah karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukan
mukmin dan bukan pula kafir, melainkan menduduki tempat di antara kafir dan mukmin (al-
manzilah bain al-manzilatain). Dalam arti, memberi status orang yang berbuat dosa besar
jauh dari golongan mukmin dan kafir.

Menurut Carlo Alfonso (C.A) Nallino berpendapat bahwa nama Mu’tazilah diberikan kepada
mereka karena berdiri netral di antara Khawarij dan Murji’ah. Oleh karena itu, golongan
Mu’tazilah II mempunyai hubungan yang erat dengan Mu’tazilah I.

Pendapat Nallino tersebut dibantah oleh ‘Ali Sami An-Nasysyar yang mengatakan bahwa
golongan Mu’tazilah II timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu
pengetahuan dan ibadah, bukan dari golongan Mu’tazilah I yang di sebut kaum netral politik.

Golongan Mu’tazilah dikenal dengan nama-nama, seperti ahl al-adl yang berarti golongan
yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl at-tawhid wa al-‘adl yang berarti golongan
yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Adapun lawan dari Mu’tazilah
memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariah dengan alasan mereka menganut paham
free will and free act, yaitu bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat;
menamakan juga Al-Mu’aththilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar dzat Tuhan; menamakan
juga wa’diyyah karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa
orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum Tuhan.

Você também pode gostar