Você está na página 1de 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH


Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum yang pada
dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan menggunakan hasil-hasil dari
filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan
nilai. Salah satunya yaitu perenialisme.
Di era sekarang ini, tidak dipungkiri bahwa globalisasi telah masuk dalam
sendi-sendi kehidupan manusia, yang telah memberikan banyak kontribusi dalam
kesejahteraan manusia di berbagai bidang. Salah satunya yaitu di bidang teknologi
dan informasi. Semakin berkembangnya teknologi dan informasi membuat
manusia memiliki kecenderungan pemikiran yang kreatif, inovatif dan efektif.
Namun, di sisi lain globalisasi juga memberikan dampak negatif dalam
kehidupan manusia. Jika perkembangan globalisasi dari berbagai bidang
digunakan dengan baik maka, akan memberikan hasil yang baik pula untuk
kehidupan manusia. Sebaliknya, bila perkembangan globalisasi disalahgunakan
maka akan berdampak buruk pula bagi kehidupan manusia. Hal ini bisa
menciptakan pribadi manusia yang menyalahi peraturan dan menyebabkan
kekacauan dalam lingkungan.
Dalam sudut pandang aliran perealis, mereka menilai permasalahan di atas
harus ditanggapi dengan kembali kepada kebudayaan masa lampau. Maka dari itu,
penulis tertarik untuk mengkaji tentang Aliran Filsafat Pendidikan terhadap
kehidupan manusia yang mengalami krisis di berbagai bidang, yaitu perenialisme.

1
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian Aliran Perenialisme?
2. Bagaimana sejarah Aliran Perenialisme?
3. Bagaimana pandangan Aliran Perenialisme terhadap pendidikan

1.3. TUJUAN PENULISAN


1. Pembaca mengetahui pengertian Aliran Perenialisme
2. Pembaca tahu mengenai sejarah Aliran Perenialisme
3. Pembaca dapat memahami pandangan Aliran Perenialisme
terhadap pendidikan.

1.4. METODE PENULISAN


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah kajian
kepustakaan (library research).

BAB II

2
ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME

2.1. PENGERTIAN PERENIALISME


Perenialisme diambil dari kata perenial, yang dalam Oxford Advanced
Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing through out
the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal. 1 Dari
makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah
menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis
ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan
masa lampau” (regresive road to culture). Oleh sebab itu perenialisme
memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan
manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap
cukup ideal yang telah teruji ketangguhannya.
Asas yang dianut perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang
terkiblat dua, yaitu: (1) perenialisme yang theologis-bernaung dibawah supremasi
gereja katolik. Dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas-dan (2)
perenialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.2

2.2. SEJARAH PERKEMBANGAN PERENIALISME


Aliran perennialisme lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir
sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan
progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme
memandang situasi dunia, yang dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio-kultural.
Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut,
yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan terpuji. Beberapa

1 Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta: Bumi Aksara), 2008, hal 27.

22Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28

3
tokoh pendukung gagasan ini adalah Robert Maynard Hutchins dan ortimer
Adler.3
Perenialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
didunia ini penuh kekecewaan, ketidakpastian dan ketidakteraturan, terutama pada
kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan ini.
Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat
Plato yang merupakan Bapak Idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak
Realisme klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara
filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) gereja katolik yang tumbuh pada
zamannya (abad pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan
keemasan filsafat perenialisme. Namun, mungkin kita bisa saja dengan terburu-
buru melihat perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerangka sejalan
pemikiran barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah lainnya dan memang harus
tetap diakui bahwasanya jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak
dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai jenis
filsafat khusus, filsafat ini mendapat elaborasi sistem dari perenialis barat, seperti
Agostino Steunco. Namun, filsafat perenial atau sering disebut sebagai
kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara
berangsur-angsur mulai menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang
paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialisme.
Filsafat materialisme ini membawa perubahan yang radikal terhadap paradigma
hidup dan pemikiran manusia pada saat itu. Memasuki abad ke-18, karena
pengaruh filsafat materialis, banyak aspek realita yang diabaikan, dan yang
tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat
mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16
hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21,
sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman

3 Di Download pada tanggal, 3 November 2014, http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-


pendidikan/

4
kotemporer. Dan zaman kotemporer inilah dapat dikatakan zaman kebangkitan
filsafat perenialisme.4

2.2.1. Tokoh-tokoh Aliran Perenialisme


Perenialisme bukan merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam
arti, perenialisme bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang
menyusun filsafat baru, yang berbeda dengan filsafat yang telah ada.
Berikut merupakan beberapa teori atau konsep perenialis menurut Plato,
Aristoteles, dan Thomas Aquina.

A. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat
akan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran
moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada
zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung
pada masing-masing individu.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak
berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada diri
manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki.
Menurut Plato, “dunia idea”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan.
Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang
semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak
mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai
moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan
menggunakan akal atau rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali
oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang utuh dan bulat. Manusia
dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan
dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusi dapat
mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia
hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan,

4 Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002,
hal. 17

5
menyelidiki, dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam
semesta.

B. Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealism. Hasil
pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berpikir
Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato yang menekankan berpikir
rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris
realistis. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih
dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari.5
Aristoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun dia
dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles
merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan
renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia
mendapatkan sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan
menghasilkan kebahagiaan dan kebaikan, bukanlah pernyataan pemikiran
atau perenungan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik
dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya
berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani
manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju
kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan
rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu
kehidupan yang abadi, alam supernatural.

C. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara kajian Kristen dan filsafat
(sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang
dijadikan dasar pemikir logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus
5 Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers), 2011, hal. 57

6
yang dikembangkan oleh St. Agustinus). Menurut Aquina, tidak dapat
pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran
agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-
masing. Thomas Aquina secara terus terang dan tanpa ragu-ragu
mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala
sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan
tergantung kepeda-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan bagaikan air
yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh
Thomas Aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang
realitasnya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan
2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja, demikian menuurut
Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan
bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar
dan/oleh akal budi, menjadi pengetahuan. selain pengetahuan manusia
yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan
melalui pengalaman dan rasionya, disinilah ia mempertemukan
pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gereja). Filsafat Thomas
Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan
antara perenialisme dengan neotomisme. Perenialisme adalah sama
dengan neotomisme dalam pendidikan.

2.2.2. Prinsip-prinsip Pendidikan Perenialisme


Dibidang pendidikan, perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh
tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok
pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga
ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran asas
normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah
“membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu
dalam semua aspek kehidupan”. Menurut Plato, manusia secara kodrati
memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan

7
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, supaya
kebutuhan yang ada disetiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide
Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekat pada dunia
kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”.6
Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi
yang intelek harus dikembangkan secara seimbang. Seperti halnya prinsip-
prinsip Plato dan Aristoteles, pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas
adalah sebagai ”Usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar
menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah
mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada padanya.
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya
telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian
kurikulum untuk sekolah dasar, menengah perguruan tinggi dan pendidikan
orang dewasa.7

2.3. PANDANGAN-PANDANGAN ALIRAN PERENIALISME


2.3.1. Pandangan tentang realita (ontologis)
Perenialisme memandang bahwa realita itu bersifat universal dan ada
dimana saja, juga sama disetiap waktu. Inilah jaminan yang dapat dipenuhi
dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun
tersembunyi dalam satu wujud materi atau peristiwa-peristiwa yang
berubah, atau pun didalam ide-de yang berenang.8
Relitas bersumber dan bertujan akhir kepada relitas
supranatural/Tuhan (asas supernatural). Relitas mempunyai watak bertujuan
(asas teleologis). Substansi realitas adalah bentuk dan materi
(hylemorphisme). Dalam pengalaman, kita menemukan individual ting.
Contohnya, batu, rumput, orang, sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan

6 Prof. DR. A. Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya), 2008,
hal 102

7 Drs, Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28.29.

87 Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh: yayasan Pena), 2009, hal 72.

8
aktivitas tertentu. Didalam individual ting tersebut, kita menemukan hal-hal
yang kebetulan (accident). Contohnya, batu yang kasar atau halus, sapi yang
gemuk, orang berbakat olahraga. Akan tetapi, di dalam realitas tersebut
terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (esensi), yaitu wujud suatu realita
yang membedakan dia dari jenis yang lainnya. Contohnya, orang atau
Ahmad adalah mahluk berfikir. Esensi tersebut membedakan Ahmad
sebangai manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang
universal dimana pun ada dan sama disetiap waktu.9
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti
benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Perenialisme membedakan
suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda
individual disini adalah benda sebagaimana nampak dihadapan manusia dan
yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang
dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu. Misalnya bila manusia
ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah
keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang
penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu
roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari
tiap-tiap individu, misalnya partikular dan universal, material dan spiritual.10

2.3.2. Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)


Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui
dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan.
Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir
dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang
adanya bersendikan atas prinsipprinsip keabadian. lni berarti bahwa
perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari
sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala
sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu

9 Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka), 2010, hal 4,28.

10 Drs. Parasetya, filsafat pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia), 2002, hal 85

9
merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal
pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika.
Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif
yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran
probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological
analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal,
hakiki dan berjalan dengan hukumhukum berpikir sendiri yang berpangkal
pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.Oleh
karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar,
sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Seperti pada prinsip-
prinsip yang di kemukakan oleh Aristoteles diatas.11

2.3.3. Pandangan tentang nilai (Aksiologi)


Pandangan tentang hakikat nilai menurut perenialisme adalah
pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Hal yang absolut atau
ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karena itu nilai selalu bersifat
teologis. Menurut perenialisme, hakikat manusia juga menentukan hakikat
perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama tergantung pada
jiwanya. Jadi persoalan nilai berarti juga persoalan spiritual. Hakikat
manusia adalah emansipasi (pancaran) yang potensial langsung yang berasal
dari dan dipimpin oleh Tuhan, dan atas dasar inilah tujuan baik buruk itu
dilakukan. Berarti dasar-dasar yang didukung haruslah teologis.12

2.3.4. Pandangan tentang pendidikan


Dalam pendidikan, kaum perenialisme berpandangan bahwa dalam
dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan,
seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat
daripada kestabilan dalam perilaku pendidik. Perenialisme memandang
education as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali atau
11 Bernadib, Imam, filsafat pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: Andi Yogayakarta),
2011, hal. 50

12 Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, … hal 74.

10
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal.
Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan
masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut. Sejalan dengan hal
diatas, perenialis percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat
universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan
mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan.
Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun
adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan
untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.

 Tujuan pendidikan
Bagi perenialis bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan
abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu,
tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan
dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai
kebijakan dan kebaikan dalam hidup.

 Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang
mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada
generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan
mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam
kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang
artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik
dari warisan sosial budaya.

 Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada
materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan
abadi. Selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada

11
pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia.
Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran
yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.

 Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan
oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan
mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam The great books
dalam rangka mendisiplinkan pikiran.

 Peranan guru dan peserta didik


Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar
serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan
ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya
karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior dibandingkan
muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect
knowladge.13

2.4 CIRI GURU PERENIALISME


Guru perenialisme memiliki kewenangan yang luas untuk mendidik anak di
sekolah, sebagai orang tua di sekolah. Tidak ada yang namanya orang tua
melaporkan guru anaknya. Orang tua dan guru bisa berhubungan dengan
harmonis dengan orang tua anak didik. Ketika pulang ke rumah, orang tua bisa
menjadi guru yang baik bagi anaknya, masyarakat mampu mengajarkan nilai
kehidupan. Di antara ciri-ciri guru perenialisme adalah sebagai berikut:

1. Cara Mengajar
Cara mengajar yang diterapkan oleh guru perenialisme umumnya adalah
dengan menggunakan penjelasan yang bertele-tele, yang sepertinya setiap kata
yang ada di buku itu dibaca. Dengan metode ini, pengetahuan yang diterima siswa
hanya bersumber dari sang guru saja, Sedangkan guru sekarang lebih sering hanya

13 Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, … hal 4.20-4.21.

12
menjelaskan secara singkat materinya, lalu mempersilahkan para siswa untuk
bertanya apabila ada kesulitan. Dengan cara ini, siswa jadi terpacu untuk
mengembangkan pengetahuannya di luar sekolah. Misalnya dengan browsing di
Internet, mengikuti kursus, dan lain sebagainya. Pengetahuan yang didapat pun
akan semakin banyak.

2. Cara Menasihati Siswa


Cara menasihati siswa yang dilakukan oleh guru-guru perenialisme adalah
dengan kalimat- kalimat yang biasanya kasar. Seperti menyinggung kondisi
ekonomi keluarganya, penampilannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan membuat
para siswa saat itu menjadi berfikir keras agar tidak akan diledek oleh guru-guru
mereka.
Perlakuan berbeda dilakukan guru sekarang. Mereka biasanya menasihati para
murid hanya dengan nasihat-nasihat yang halus dan tidak sampai menyinggung
perasaan murid tersebut. Cara ini kurang efektif karena murid kadang-kadang
hanya mendengarkan di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.

3. Cara Berinteraksi Diluar Kelas


Guru-guru perenialisme dengan gaya mengajarnya kaku, diluar kelas
apabila disapa oleh muridnya, mereka hanya tersenyum lalu berlalu begitu saja.
Karena dalam diri mereka, ada suatu doktrin yang menjelaskan bahwa ada garis
pemisah antara guru dan murid. Jadi, sang murid harus sangat menghormati
gurunya, sedangkan guru sekarang lebih luwes dalam berinteraksi diluar kelas.
Misalkan saja ada murid-muridnya yang menyapa, mereka akan tersenyum lepas
dan kadang-kadang justru bercanda dengan murid-muridnya itu. Seakan akan
tidak ada garis batas antara murid dan guru. Guru pun bisa dijadikan tempat untuk
mencurahkan segala isi hati kita (curhat) tentang sekolah maupun kehidupan
sehari-hari kita.

4. Penggunaan Teknologi
Saat teknologi belum secanggih sekarang ini, seorang guru apabila ingin
menjelaskan materinya, hanya dengan menggunakan kapur dan papan tulis kayu

13
saja. Atau bila dengan alat bantu, paling jauh hanya menggunakan peta untuk
pelajaran geografi.
Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh guru sekarang. Guru sekarang lebih
senang menuliskan materi ajarnya di sebuah file presentasi yang nanti hasilnya
bisa ditampilkan di layar menggunakan LCD proyektor. Disamping lebih praktis,
cara ini bisa membantu para siswa untuk mengetahui lebih detail suatu
gambar/objek/benda.

5. Pemberian Nilai
Pemberian nilai yang dilakukan oleh guru perenialisme adalah selain nilai
asli, ada nilai yang diambil secara subyektif oleh guru tersebut. Hal-hal yang
dinilai antara lain adalah kesopanan, etika, dan keantusiasan siswa tersebut dalam
mendalami materi yang diajarkan guru tersebut. Sehingga dengan cara itu, nilai
siswa benar-benar asli sesuai dengan kenyataan yang ada pada siswa tersebut.
Berbeda dengan guru sekarang. Kebanyakan guru sekarang hanya mengisi kolom
nilai seorang murid hanya dari hasil rata-rata ulangan ditambah tugas, dan
keaktifannya dalam bertanya ataupun menjawab. Sehingga tidak jarang nilai yang
muncul di rapor tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari murid tersebut.
Guru perenialisme dan guru sekarang ternyata memiliki perbedaan yang sangat
menonjol, dan ini menunjukkan ciri khas masing-masing guru.

2.5 POTRET GURU PERENIALISME


Guru sebagai orang yang memiliki otoritas keilmuan tertentu yang siap
membimbing dan mengarahkan kemampuan intelektual dan spiritual anak didik.
Ny. Berstein mengajar Bahasa Inggris di SMU sejak pertengahan tahun
1960-an. Di antara para siswa dan juga para guru, ia memiliki suatu reputasi
sebagai orang yang banyak menuntut. Selama pertengahan 1970-an, ia memiliki
waktu yang sulit untuk berhubungan dengan siswa yang secara agresif menuntut
diajar pelajaran-pelajaran yang “relevan”. Sebagai seorang lulusan universitas top
di Timur Amerika dimana ia menerima suatu pendidikan klasik dan liberal,
Nyonya Berstein menolak untuk memperlonggar penekanan pada karya-karya

14
besar kesusastraan di kelasnya yang ia rasa perlu diketahui oleh para siswanya,
seperti Beowulf, Chaucer, Dickens, dan Shakespeare.
Ny. Berstein yakin bahwa kerja dan usaha keras itu penting jika seseorang
ingin memperoleh pendidikan yang baik. Akibatnya, ia memberi siswa
kesempatan yang sangat sedikit untuk berbuat/bertindak salah, dan ia tampak
tahan dengan keluhan siswa yang dilakukan secara terbuka mengenai beban
belajarnya. Ia sangat bersemangat ketika ia berbicara mengenai nilai karya klasik
pada para siswa yang sedang bersiap-siap hidup sebagai orang dewasa di abad
kedua puluh satu.

BAB III
KESIMPULAN

3.1. KESIMPULAN

15
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa, perenialisme merupakan
aliran yang menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan
dan sesuatu yang baru. Dikarenakan para perenialis menganggap bahwa dunia ini
semakin krisis dalam berbagai bidang.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialisme adalah dengan jalan mundur
kebelakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum
yang setelah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan
pertengahan. Peradaban kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap
sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa, dari abad ke
abad. Tokoh-tokoh yang berperan dalam mendasari aliran perenialisme adalah
Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.
Para perenialis memiliki pandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu
dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak
ada satupun yang lebih bermanfaat daripada kestabilan dalam perilaku pendidik.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.

16
17

Você também pode gostar